Vous êtes sur la page 1sur 70

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker kolorektal merupakan suatu jenis penyakit keganasan atau
tumor ganas yang tumbuh dan berkembang dalam struktur lapisan epitel
kolon atau rektum (Sjamsuhidayat, 2006; American Cancer Society, 2011;
Healtcare Improvment Scotland, 2011). Meningkatnya insiden kanker
kolorektal sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan gaya hidup. Pengaruh
lingkungan khususnya diet mempunyai peranan penting dan dapat
menjadikan penyebab terjadinya kanker kolon dan rektum. Tingginya
kosumsi protein hewani, lemak dan rendahnya kosumsi makanan rendah serat
merupakan faktor insiden yang tinggi terjadinya kanker kolon (Desen, 2011).
Faktor keturunan dapat juga berperan sebagai pencetus timbulnya kanker
jenis ini. Pengaruh genetik yang berasal dari sindrom karsinoma poliposis
dapat menjadi predisposisi genetik timbulnya penyakit kanker. Terdapat
pengaruh dari sejumlah sidroma genetik menurut hukum mandel dan
kecenderungan terjadi pada tumor jinak dan ganas. Garis keturunan pertama
(first degree relatives) dari pasien yang menderita karsinoma kolorektal
mempunyai risiko tiga kali lipat lebih besar (Kamp, 2004; Sjamsuhidayat,
2006). Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap
predisposisi genetik yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal
(Robbins, 2005).

Insiden rata-rata kanker kolon di dunia mencapai 16,6 per 100.000


laki-laki dan 14,7 per 100.000 perempuan, sedangkan kanker rektum rata-rata
pada laki-laki adalah 11,9 per 100.000 orang dan perempuan 7,7 per 100.00.
Besarnya angka kejadian ini memberikan informasi bahwa kejadian kanker
kolon di dunia merupakan suatu ancaman dan harus dilakukan suatu tindakan

1
2

pencegahan yang optimal. Insiden kanker kolon tertinggi di dunia adalah pria
Amerika keturunan Jepang yang tinggal di Hawai, sedangkan untuk kanker
rektum tertinggi adalah pria asal Hongaria. Kanker kolorektal menduduki
peringkat ke tiga dan sekaligus menjadi penyebab utama kematian ketiga di
Amerika Serikat (Desen, 2011). Kanker kolon rektal merupakan kanker jenis
kanker yang menduduki peringkat kedua dan hampir duapertiga dari semua
kusus yang ada di negara berkembang. Kanker kolorektal lebih sering terjadi
di negara-negara kaya, namun sekarang kasusnya meningkat di negara
berkembang (WHO, 1997). Angka kejadian kanker yang disediakan oleh
National Cancer Institute survelance, Epidemologi dan hasil akhir program
The North America Assotiation of Central Cancer Registries serta data
kematian dari National Center for Health Statistics, menyebutkan bahwa
pada tahun 2014 diperkiran 71.830 laki-laki dan 65.000 perempuan akan
terdiagnosis kanker kolorektal dan 26.270 laki-laki dan 24.040 perempuan
akan meninggal akibat dari kanker kolorektal (Siegel, 2014).

Menurut Departemen Kesehatan (2006), kanker kolon dan rektum


menempati urutan ketiga terbanyak di Indonesia. Data yang dikumpulkan dari
13 pusat kanker di Indonesia, kanker kolorektal merupakan salah satu dari 5
kanker yang paling sering terjadi baik pada pria maupun wanita. Kasus
kanker kolorektal di Indonesia mencapai 1,8 per 100.000 penduduk dan
berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita dengan
catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita
berusia antara 20-71 tahun (Depkes 2006; RS. Dharmais). Sejak tahun 1994-
2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker
Dharmais. Berdasarkan survei Jakarta Cancer Regestry yang dilakukan pada
79 rumah sakit di Jakarta menempatkan kanker kolorektal pada urutan ketiga.
Insiden kanker kolorektal pada laki-laki mencapai 12,49% menduduki urutan
ketiga setelah kanker paru dan prostat, sedangkan pada perempuan dengan
prosentase kasus 11,68%, menduduki urutan ketiga, setelah kanker payudara
dan servik (Palupi, 2013). Kejadian penyakit kanker kolon cukup tinggi dan
kejadian terus meningkat pada usia 40 tahun (Sjamsuhidayat, 2006).
3

Kanker kolon dan rektum jenis adenokarsinoma sebagian besar berawal dari
lapisan epitel kolon dan rektum. Dimulai dengan adanya polip jinak
kemudian berkembang terus menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal bahkan meluas ke dalam struktur organ sekitarnya. Sel
kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang
lain dan paling sering terjadi ke hati (Corwin, 2009). Kanker kolorektal dapat
terjadi karena adanya proses interaksi yang komplek antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melalui
proses rentang waktu yang lama yang diakibatkan faktor lingkungan. Kondisi
ini yang dapat menimbulkan berbagai perubahan genetik yang kemudian
berkembang menjadi kanker.

Kanker kolorektal tidak akan muncul secara mendadak, melainkan


melalui proses yang dapat diidentifikasi dengan melihat mukosa kolon seperti
pada displasia adenoma. Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma
kolon dan rektum. Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam
lumen usus dan berbentuk bunga kol ditemukan terutama di sekum dan kolon
asenden. Tipe skirus sering mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi
stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di kolon desenden,
sigmoid, dan rektum. Bentuk ulseratif dapat terjadi karena nekrosis pada
bagian sentral rektum, kemudian pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma
kolon mengalami ulserasi dan menjadi tukak maligna (Abdullah, 2006).

Kanker kolon stadium dini tidak ada gejala yang jelas, namun setelah
penyakit berkembang ke tingkat lanjut akan timbul gejala klinis. Tanda iritasi
usus seperti sering buang air besar, diare atau konstipasi dan nyeri pada
abdomen. Tumor yang sudah mengalami ulserasi akan terjadi perdarahan dan
akan terlihat dari warna feses yang bercampur dengan darah seperti selai
hitam. Ileus merupakan suatu tanda lanjut dari kanker kolon yang disebabkan
oleh adanya ulserasi atau hiperplastik yang menginvasi kesekitar dinding usus
dan membuat lumen usus menyempit sehingga terjadi ileus. Massa di
abdominal akan terus tumbuh hingga batas tertentu didaerah abdomen
sehingga pada pemeriksaan palpasi akan mudah teraba (Desem, 2011).
Penatalaksanaan kanker kolon dan rektum saat ini yang paling efektif
adalah operasi. Terapi lain yang digunakan untuk pengobatan kanker kolon
dan rektum efektifitasnya masih kurang baik. Tindakan yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan reseksi secara radikal harus diupayakan
dengan tindakan reseksi paliatif. Efektifitas tindakan operasi radikal pada
kanker kolon memiliki survival 5 tahun atau sekitar 70% dan pada kanker
rektum sekitar 50%, namun efektifitas pada kanker stadium dini akan lebih
baik respon pengobatannya dari pada stadium lanjut. Kemoterapi umumnya
digunakan sebagai terapi adjuvan intra dan paska operasi dan dapat diberikan
pada pasien dengan stadium lanjut yang nonoperabel. Beberapa obat yang
digunakan untuk kemoterapi kanker kolon dan rektum adalah golongan
fluorourasil, nitrousourea, dan saat ini banyak yang menggunakan xeloda,
oksaliplatin, irinotekan, C225, avastin dan lain-lain. Penatalaksanaan lain
adalah dengan terapi radioterapi. Terapi ini dapat digunakan untuk terapi pre,
paska atau intra operasi radikal karsinoma rektum. Tujuan radioterapi ini
untuk memperkuat kontrol lokal dan mengurangi angka rekuensi lokal serta
meningkatkan survival. Terapi radioterapi murni memiliki angka survival 5
tahun hanya sekitar 5-10%. Upaya rekurensi paska operasi dan metastase jauh
dapat diberikan terapi radioterapi selektif untuk mengurangi gejala. Terapi
biologis untuk kanker kolon masih dalam tingkat penelitian secara klinis.
Penggunaan sitokin, antibodimonoklonal, imunostimulator, dan vaksen
protein masih pada tahap eksplorasi. Semua tindakan penatalaksanaan
pengobatan untuk kanker kolon saat ini belum memiliki efektifitas yang pasti
(Desen, 2011).
Tindakan operasi reseksi pada kanker kolon dan rektum yang disertai
dengan prosedur tindakan laparotomi sering diakhiri dengan pembuatan
stoma. Stoma merupan suatu tindakan dengan membuat lubang pada dinding
perut atau abdomen yang berfungi sebagai tempat untuk mengeluarkan
kotoran feses atau urin (Kozier & Erb, 2009). Insiden pasien yang dilakukan
pembuatan stoma di Inggris mencapai 20.000 pasien per tahun, yang terdiri
dari pasien dengan kolostomi 11.800 kasus, ileostomi 6.500 kasus dan 2.300
kasus dengan urostomi (Coloplast dikutip oleh Choudhri, 2005).

Luka laparotomi yang letaknya berdekatan dengan stoma mempunyai resiko


yang besar terhadap kejadian infeksi. Lubang stoma yang mengeluarkan
cairan dan feses dimungkinkan dapat mengkontaminasi luka laparotomi.
Hasil penelitian Piccinellil, Brazzale, dan Saracco (2009), menunjukkan dari
48 pasien, 35 (73%) menyatakan tidak ada masalah kulit tapi secara
keseluruhan 27 pasien memiliki gangguan kulit dan 13 terdeteksi oleh
perawat stoma memiliki erosi kulit.
Perawatan pasien kanker kolorektal dengan stoma memerlukan
perawat yang mempunyai pengetahuan klinis onkologi yang spesifik dan
mampu menawarkan bantuan individual kepada pasien, keluarga dan
pendamping dalam mengatasi masalah kesehatan pasien. Pendekatan proses
keperawatan yang dilakukan oleh perawat onkologi harus mampu
memberikan pendidikan dan mampu memfasilitasi pengambilan keputusan
dengan sumber daya yang ada. Selain itu perawat onkologi juga harus
mempunyai kemampuan mendapatkan akses yang tepat terhadap kualitas
kesehatan dan psikososial selama perawatan, mulai dari fase awal sampai
akhir perjalanan dari penyakit kanker kolorektal (Oncology Nursing Society,
2013).
Keperawatan onkologi terus berkembang sebagai respon terhadap
kemajuan dalam pengobatan kanker, informasi dan bioteknologi. Penemuan-
penemuan ilmiah dan teknologi baru yang terintegrasi dalam perawatan
kanker terus bermunculan. Perawat kanker sangat penting peranannya dalam
pengelolaan pasien kanker. Peranan perawat onkologi yang telah berkembang
secara nyata, dengan perawatan yang canggih. Kemajuan terapi kanker akan
menciptakan tantangan baru dan memastikan perawat yang bekerja di area
onkologi harus terdidik, pemikir dan independen. Perawat onkologi yang
bekerja dalam unit perawatan kanker akan berfokus pada penilaian pasien,
pendidikan, memenejemen gejala, dan perawatan suportif, sedangkan
onkologi medis akan memerankan peran integral dalam pemberian agen
antineoplastik dan bertanggungjawab dalam penggunaan obat secara tepat
dan aman (Quinn, 2008).
Peranan ners spesialis yang didasari oleh sain keperawatan lanjut akan
mengoptimalkan dalam melakukan pelayanan dan pengelolaan asuhan
keperawatan secara terampil dan inovatif yang mencakup semua lingkup area
promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif.
Asuhan keperawatan spesialis dilakukan secara holistik dalam
memenuhi pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual dengan tetap
mengacu pada standar asuhan keperawatan dan standar prosedur (HPEQ,
2012). Standar pasient safety harus tetap terjaga dengan selalu
memperhatikan keselamatan pasien, rasa aman dan kenyamanan pasien.
Pelaksanakan riset yang berbasis pada bukti klinik merupakan tuntutan
pelayanan saat ini. Hasil penelitian atau evidence base nursing (EBN) mampu
menjawab permasalahan sain dan tehnologi dalam bidang spesialisasinya.
Kemampuan dalam pengelolaan asuhan keperawatan secara klinis dengan
menjaga hubungan kerjasama dengan tim lain dan berkoordinasi serat
berkolaborasi dengan tim kesehatan yang terkait. Kemampuan kepakaran
yang lebih tinggi dalam mengatasi masalah keperawatan yang komplek
sangat diperlukan dalam menjalankan peranan sebagai ners spesialis yang
dapat berfungsi sebagai pusat rujukan bagi tenaga keperawatan (HPEQ,
2012).

Aplikasi teori keperawatan merupakan salah satu jawaban untuk


mengatasi permasalahan-permasalahn yang ada di tatanan klinik. Pendekatan
dalam asuhan keperawatan pasien kanker dengan menerapkan teori peaceful
end of life yang merupakan middle range teory. Teori ini dapat
mendefinisikan atau menghaluskan substansi ilmu dan praktek keperawatan.
Hal ini sangat penting bagi perawat praktisioner dan perawat pendidik yang
secara terus menerus membangun pengetahuan untuk disiplin ilmu
keperawatan. Middle range theory merupakan teori yang banyak digunakan
untuk paktek dan penelitian keperawatan (Peterson, 2004).

Penerapan teori peaceful end of life dalam asuhan keperawatan pasien


kanker oleh penulis dipilih karena teori ini memiliki kedekatan dengan status
atau kondisi yang dirasakan oleh pasien. Pengembangan teori ini memberikan
kontribusi dalam meningkatkan standar asuhan keperawatan dengan
menyelaraskan dan menyatukan fenomena-fenomena akhir dari hidup yang
damai bagi pasien yang sakit parah. Konsep ini memberikan wawasan baru
dalam rangka meningkatkan pengetahuan dalam intervensi keperawatan dan
dapat membantu pasien dalam menuju akhir hidup yang damai (Ruland &
Moore, 1998).
Aplikasi dan pengembangan intervensi keperawatan pada praktik
residensi keperawatan ini penulis menerapkan pendekatan dengan EBN
dalam praktik klinik. EBN merupakan pendekatan klinik yang dapat
memberikan kualitas perawatan yang lebih tinggi dalam memenuhi
kebutuhan yang diperlukan oleh pasien dan keluarga. Pasien dan perawat
akan merasa percaya diri dalam melakukan suatu intervensi keperawatan
yang didasarkan EBN, sehingga pencapaian kriteria hasil dapat dicapai secara
optimal (Melnyk & Fineout, 2005).
Intervensi keperawatan yang diterapkan oleh penulis dengan
pendekatan EBN adalah tentang edukasi perawatan stoma dengan
menggunakan media audovisual. Kurangnya pengetahuan pasien tentang
perawatan stoma akan memunculkan masalah-masalah baru. Adanya stoma
juga akan menimbulkan masalah psikologis yang secara signifikan akan
mempengaruhi angka morbiditas pasien. Masalah ini dapat dikurangi dengan
adanya edukasi sebelum dilakukan operasi dan dukungan psikologis dari
keluarga akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dari pasien.
Peningkatan biaya akibat dari perawatan yang lama paska operasi yang
disebabkan oleh karena pasien yang belum mampu melakukan perawatan
stoma dengan baik. Perawatan stoma harus diajarkan pada pasien dan
keluarga sedini mungkin. Singkatnya masa perawatan 2-4 minggu membuat
pasien belum dapat sepenuhnya terlatih dalam teknik perawatan stoma
sebelum pulang (Smeltzer &Bare, 2008)

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membuat suatu karya ilmiah


tentang” Analisis Asuhan Keperawatan pada Kanker Kolon Melalui
Pendekatan Teori Peaceful End Of Life dan Edukasi Perawatan Kolostomi
Berdasarkan Evidence Based Nursing.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Melakukan analisis menggunakan teori keperawatan sebagai kerangka
kerja dalam menerapkan asuhan keperawatan pada klien kanker kolon

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan dengan
pendekatan teori peaceful end of life pada klien kanker kolon
1.2.2.2 Melakukan analisis terhadap penerapan evidence base nursing (EBN)
pada klien kanker dengan kolostomi

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Pelayanan Kesehatan
diharapkan menambah pengetahuan dan kompetensi perawat dalam
menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan kanker kolon melalui
pendekatan teori keperawatan, EBN dan inovasi sebagai bahan pemikiran
dan pertimbangan dalam peningkatan kualitas pelayanan keperawatan

1.3.2 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan


Hasil ini diharapkan dapat memperkuat aplikasi teori keperawatan. Selain
itu dapat menjadi bahan acuan dalam pengembangan keperawatan onkologi
terutama dalam menerapkan EBN serta inovasi dalam lingkup keperawatan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 menguraikan tentang tinjauan pustaka yang akan membahas
tentang perspektif teoritik dan kajian pustaka yang relevan terkait dengan asuhan
keperawatan pada kanker kolon melalui pendekatan teori peaceful end of life, dan
edukasi perawatan kolostomi.

2.1 Anatomi Fisiologi Kolon dan Rektum


Kolon dibagi menjadi empat bagian yaitu; asenden, transversum, desenden
dan sigmoid. Secara klinis kolon dibagi menjadi dua yaitu kolon belahan
kanan dan kiri. Kolon belahan kanan terdiri dari sekum, kolon aseden, dan
duapertiga kolon transversum sedangkan kolon belahan kiri terdiri dari kolon
transversum, desenden dan sigmoid. Kolon kanan belahan kanan diperdari
oleh mesenterika superior sedangkan yang kiri diperdarahi oleh masenterika
inferior. Fungsi utama belahan kanan untuk menyerap air, glukosa garam
anorganik dan sebagaian asam empedu, sedangkan kolon belahan kiri untuk
storasi dan eksresi feses (Price & Wilson, 2006; Black & Hawks, 2009).

Secara anatomis posisi rektum berada sejajar dengan vertebra sakrum ketiga
sampai dengan garis anorektal. Rektum terbagi menjadi dua bagian yaitu;
bagian ampula dan spincter. Bagian spinter dinamakan annulus hemoroidalis
yang dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra
ani. Bagian ampula terbentang mulai dari vertebra sakrum ke-3 sampai
diagfragma pelvis pada insersio muskuluslevator ani. Panjang rektum sekitar
12-15cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction, dan 35
cm pada daerah ampula. Dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu;
mukosa, submukosa, muskularis dan lapisan serosa (Price & Wilson, 2006;
Black & Hawks, 2009).

9
Gambar 2.1 Anatomi kolon dan rektum

2.2 Karsinoma Kolorektal


2.2.1 Definisi
Kanker kolon adalah suatu bentuk keganasan yang sering terjadi pada
daerah sekum dan kolon asenden yang dapat berupa massa polipoid yang
besar dan dapat tumbuh ke dalam lumen dengan cepat meluas ke sekitar
usus melalui proses invasif atau menginfiltrasi jaringan lain, dan
bermetastasis (Price & Wilson, 2006). Penyebaran secara lokal bermula dari
dinding usus, kemudian kanker mengelilingi sirkumferensia dinding usus.
Proses ini memerlukan waktu dua tahun, setelah menginvasi tunika
muskularis akan timbul penyebaran secara hematogen. Kanker dapat
menginvasi seluruh dinding usus dan oragan sekitar seperti kandung kemih,
prostat, uterus, hati, lambung dan pankreas. Penyebaran secara limfogen
terjadi melalui jaringan limfatik submukosa menembus dinding usus menuju
ke kelenjar limfe parakolon yang selanjutnya ke kelenjar limfe media dan
pada akhirnya menuju ke kelenjar limfe sentral (Desen, 2011).

Kanker kolon sering disebut penyakit mukosa karena semua kanker kolon
berasal dari lapisan mukosa dinding usus. Dari dalam keluar dinding usus
terbagi menjadi beberapa lapisan, yang meliputi mukosa, submukosa,
muskularis propia, dan serosa. Bagian terdalam lapisan dinding usus,
mukosa adalah satu lapisan kolumnar yang dapat memproduksi lendir dalam
jumlah yang banyak atau disebut dengan sel goblet. Ini merupakan situs dari
permulaan genetik awal yang mengarah pada perkembangan sel-sel kanker.
Lapisan dibawah mukosa adalah submukosa yang merupakan lapisan yang
kuat di usus. Lapisan ini berisi pembuluh darah, limfatik dan serabut saraf,
sehingga pada lapisan ini berperan penting dalam pertumbuhan sel kanker.
Melalui lapisan ini tumor akan menginfiltrasi dinding usus melalui aliran
darah dan sistem limfatik (Yeatman, 2001).

2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab kanker kolon sama seperti kanker lain pada umumnya masih
belum jelas hingga saat ini, namun telah dikenali beberapa faktor
predisposisi. Faktor-faktor yang berperan antara lain; hereditas, diet,
penyakit kolon nonkarsinoma, dan lainnya seperti defisiensi molibdenum,
kosumsi aspirin atau NSAID yang terus menerus (Price & Wilson, 2006;
Black & Hawks, 2009; Desen, 2011).

Resiko terkena kanker kolon untuk generasi pertama meningkat menjadi


tiga kali. Familial adenomatous polyposis (FAP) adalah kelainan yang
diturunkan secara autosomal dominan yang ditandai oleh ratusan hingga
ribuan adenoma kolorektal pada usia 20-30 tahun (Half, 2009). Hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) merupakan kelainan yang
dturunkan secara autosomal dominan dan ditandai oleh gangguan pada
DNA mismatch repair. Karakteristik HNPCC adalah onset yang lebih awal
pada usia 50 tahun, lokasi pada kolon proksimal, dan adanya tumor diluar
kolon yang bervariasi lokasinya (Robinson, 2006; Black & Hawks, 2009).

Faktor diet umumnya disebabkan karena kosumsi makanan tinggi protein


hewani, lemak dan rendah serat. Makanan menjadi menjadi faktor insiden
yang tinggi terjadinya kanker kolon. Masukan tinggi lemak akan
merangsang lebih banyak sekresi empedu, hasil uraian asam empedu yang
banyak dan aktifitas bakteri anaerob dalam usus meningkat sehingga
karsinegen sebagai pemicu karsinogenesis dalam usus bertambah dan
mengarah timbulnya kanker kolon (Price & Wilson, 2006; Black & Hawks,
2009; Desen, 2011). Pengolahan dengan suhu tinggi hingga mencapai
150celcius dan makanan berwarna terlalu kecoklatan semakin
meningkatkan risiko karena terbentuknya mutagenic heterocyclic amines
(Kizil, 2009).

Penyakit usus besar non karsinoma seperti kolitis kronis, poliposis dan
adenoma diperkiran sekitar 3-5% dapat menimbulkan kanker. Karsinoma
kolon yang berawal dengan poliposis dengan prekanker 5-20 tahun
mencapai 15-40% kemungkinan menderita kanker kolon. Paparan
lingkungan yang dimaksud adalah rokok, asbes, dan radiasi. Perokok
mengalami peningkatan risiko kanker kolon sebanyak dua sampai tiga kali
lipat (Desen, 2011).

2.2.3 Patofisiologi
Adenomatus polip atau adenoma merupakan proses yang mengawali
terjadinya kanker kolorektal, lebih dari 95% kanker kolorektal disebabkan
oleh adenomas. Adenomas terdiri dari tiga jenis yaitu; tubular, tubulovillous
dan villous. Jenis villous yang mempunyai resiko tinggi terjadinya kanker.
Polip tumbuh secara pelan-pelan sekitar 5-10 tahun atau lebih untuk
berubah menjadi maligna atau keganasan. Polip yang mengalami keganasan
akan terjadi peningkatan ukuran dalam lumen dan selanjutnya akan
menyerang dan merusak dinding kolon. Tumor dalam kolon yang
cenderung terus membesar dapat menyebabkan ulserasi, infeksi sekunder
dan nekrosis. Umumnya ini terjadi pada belahan kanan kolon dan ampula
rekti (Black & Hawks, 2009).

Setiap tumor dengan permukaan memiliki tukak jelas yang dalam, biasanya
mencapai atau melebihi tunika muskularis termasuk dalam tipe ulseratif.
Tipe ini merupakan jenis kanker kolon yang paling sering dijumpai.
Karakteristik tipe ulseratif adalah massa terdapat tukak yang dalam dan
bentuk luar mirip kawah gunung merapi, tepi kokoh dan keras menonjol,
dasar tidak rata, nekrosis, derajat keganasan tinggi, metastase limfogen lebih
awal, dibawah mikroskop sebagai adenokarsinoma diferensiasi buruk.
Tipe kedua yaitu infiltrasi, tumor menginfiltrasi lapisan dinding usus secara
difus, sehingga dinding usus setempat menebal, tepi tampak dari luar sering
kali tidak jelas terdapat tukak atau tonjolan. Tumor sering mengenai
sekeliling saluran usus disertai dengan hiperplasie abnormal jaringan ikat,
lingkaran usus menyusut, permukaan serosa sering tampak cincin kontriksi
yang memudahkan terjadinya ileus. Pemeriksaan mikroskopis tampak
sebagai adenokarsinoma berdeferensi sangat buruk (Desen, 2011).

Klasifikasi histologik tumor ganas kolon terdiri dari; adenokarsinoma


papiler, adenokarsinoma tubular, adenokarsinoma musinosa, karsinoma
signet ring, karsinoma tak berdeferensiasi, adenokarsinoma skuamosa,
karsinoma sel skuamosa, karsinoid. Tumor ganas kanalis analis terdiri dari;
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel basaloid, karsinoma epidermaoid
musinosa, adenokarsinoma, karsinoma tak berdeferensiasi, dan maligna
malignum. Meskipun klasifikasinya banyak, karsinoma kolon lebih dari
90% adalah adenokarsinoma (Desen,2011).

2.2.4 Gambaran Klinis


Kanker kolon pada stadium dini tidak menunjukkan gejala yang jelas,
namun setelah penyakit progresi ke tingkat tertentu baru muncul gejala
klinis. Gambaran klinis kanker kolon yang paling sering adalah perubahan
kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri, anemia, anoreksia dan penurunan
berat badan. Tanda iritasi usus dan perubahan defekasi diantaranya sering
buang air besar, diare atau konstipasi, kadangkala obstipasi dan diare silih
berganti, tenesmus, sering muncul nyeri samar abdomen. Gejala klinis
hematokezia terjadi saat luka ulserasi berdarah, kadang darah merah atau
gelap, biasanya tidak banyak, intermiten. Pada posisi yang tinggi darah dan
feses bercampur akan menjadikan feses seperti selai hitam. Pembesaran
massa yang tumbuh di daerah abdomen dapat diraba adanya massa dan
sering ditemukan pada kolon belahan kanan. Gejala pengurusan, demam,
astenia dan gejala toksik sistemik lain dikarenakan oleh pertumbuhan tumor
yang menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis jangka panjang dan
infeksi sekunder tumor yang menyebabkan demam dan gejala toksik (Price
& Wilson, 2006; Black & Hawks, 2009; Desen, 2011).

2.2.5 Pemeriksaan Kanker Kolon


Pemerikasaan fisik dengan infeksi dan palpasi abdomen untuk menentukan
ada tidaknya massa. Kanker kolon belahan kanan 90% lebih teraba massa
dengan colok dubur. Pemeriksaan ini dapat diketahui lokasi massa, bentuk,
ukuran dan lingkup sirkumferens yang terkena dan derajat mobilitas
dasarnya, ada tidaknya lesi mengenai organ sekitarnya. Ada tidaknya nodul
di dasar pelvis dapat dilihat dari sarung tangan pada jari terdapat noda darah
dan feses. Pemeriksaan yang lebih dalam dengan menggunakan endoskopi
mampu melihat lesi pada kolon sampai 25 cm dengan menggunkan
kolonoskopi fibrotik.
Pemeriksaan sinar x dengan barium enema diperlukan untuk kanker di
segmen tengah kolon sigmoid dapat menemukan lokasi tumor terdapat
defek pengisian menetap, distruksi mukosa usus, kekakuan dinding usus dan
konstriksi lumen usus. Namun pada kasus ileus pemeriksaan ini tidak boleh
dilakukan apalagi dengan memasukkan barium enema dengan ditelan.
Pencitraan USG dapat menemukan lesi metastasik hati diatas 1 cm.
Pemeriksaan ini harus dijadikan pemeriksaan rutin dalam tindak lanjut
sebelum dan sesudah operasi (Desen, 2011).
Pemeriksaan CT, MRI, kolonoskopi dan Virtual CT (CTVC).
Pemeriksaan CT dan MRI sulit untuk membedakan lesi jinak dan ganas,
kelebihan utamanya adalah mampu menunjukkan situasi terkenanya
jaringan sekitar, ada tidaknya metastase kelenjar limfe ke organ jauh,
sehingga membantu dalam penentuan stadium klinis dan memperkirakan
operasi. CTVC menggabungkan CT dan tehnik piranti lunak pencitraan
mutakhir hingga menghasilkan gambar 3 dimensi dan 2 dimensi. PET
(Tomografi emisi positron) dan PET/CT dapat mendeteksi lesi primer
kanker kolon dengan kepekaan tinggi, tepi pencitraan seluruh tubuh
terutama bertujuan untuk mengetahui luas lesi secara menyeluruh,
menetapkan stadium klinis dan menjadi dasar seleksi terapi yang rasional
(Desen, 2011).
Zat penanda tumor seperti antigen karbohidrat 19-9 (CA 19-9) bukan
antigen spesifik kanker kolon sehingga tidak bisa dijadikan diagnosis dini,
sedangkan antigencarsinoembrionic (CEA) dapat dijadikan pedoman untuk
melaihat perkembangan penyakit kanker (Black & Hawks, 2009).

2.2.6 Klasifikasi Stadium


Pembagian stadium berdasarkan pengelolaan dengan metode klasifikasi
kanker kolon menurut Dukes terbagi menjadi stadium A, B, C, C1, C2, dan
D. Stadium A kedalaman invasi kanker belum menembus tunika muskularis
dan tidak ada metastase kelenjar limfe. Stadium B kanker sudah menembus
tunika muskularis dalam, dapat menginvasi tunika serosa, di luar serosa atau
jaringan perirektal, namun tidak terjadi metastase kelenjar limfe. Stadium C
menunjukkan kanker sudah terjadi metastase ke kelenjar limfe. Berdasarkan
lokasi kelenjar limfe yang terkena terbagi menjadi stadium C1 dan C2.
Stadium C1 kanker sudah bermetastase ke kelenjar limfe samping usus dan
masenterium, sedangkan stadiem C2 kanker sudah metastase ke kelenjar
limfe di pangkal arteri masenterium. Stadium D kanker sudah bermetastase
ke organ yang jauh, atau metastase luas kelenjar limfe sehingga paska
reseksi tidak mungkin kuratif atau nonresektabel (Desen, 2011).
Pembagian stadium sistem TNM pada kanker kolon berdasarkan tiga
kategori yaitu; T (tumor primer), N (Nodul kelenjar limfe), dan M
(metastase). Masing-masing kategori tersebut dibagi lagi menjadi sub
kategori untuk menggambarkan masing-masing kategori dengan cara
memberi indeks angka dan huruf didepan T, N, dan M. Kategori T atau
tumor primer terdiri dari Tx yang artinya tumor primer tidak dapat dinilai,
Tis karsinoma insitu dan tumor terbatas pada intraepitel atau hanya,
mengenai tunika propia mukosa, pada T0 adalah tidak ada bukti tumor
primer dan T1 tumor menginvasi sampai tunika submukosa. Tumor
menginvasi sampai tunika sampai tunika muskularis propria terjadi pad T2,
T3 Tumor menembus sampai tunika sampai tunika muskularis propria
mencapai subserosa atau mengenai kolon ekstraperitoneal, sedangkan T4
tumor langsung meninvasi organ atau struktur lain atau menembus pars
veseralis peritonium.
Kategori N atau kelenjar limfe regional, pada kategori Nx kondisi
kelenjar limfe tidak dapat dinilai, N0 tidak ada metastase kelenjar limfe
regional, N1 terjadi metastase 1-3 buah kelenjar limfe regional dan N3 telah
terjadi metastase lebih dari 4 kelenjar limfe regional. Pada kategori M atau
metastase jauh terdiri dari Mx, tidak dapat dinilai ada tidaknya metastase
jauh, M0 tidak ditemukan adanya metastase jauh dan M1 sudah ada
metastase jauh.

Menurut situasi pertumbuhan tumor pada tahun 2002 UICC menetapkan


klasifikasi stadium klinis 0-IV untuk kanker kolon.
KGB Metastasis Stadium
Stadium Tumor
Regional Jauh Dukes
Stadium 0 Tis N0 M0 A

Stadium I T1-T2 N0 M0 A

Stadium II T3-4 N0 M0 B

Stadium IIIA T1-T2 N1 M0

Stadium IIIB T3-T4 N1 M0 C

Stadium IIIC Semua T N2 M0

Stadium IV Semua T Semua N M1 D

2.2.7 Penataksanaan Medis dan Keperawatan


Terapi primer untuk pengobatan kanker kolon adalah dengan pembedahan.
Terapi kemoterapi digunakan sebagai tambahan untuk menjaga tumor tidak
tumbuh lagi. Kemoterapi digunakan untuk menghilangkan atau menekan
pertumbuhan tumor yang ada di hepar. Radiasi dan kemoterapi dapat
diberikan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Terapi kombinasi dapat
meningkatkan survival pasien kanker kolon (Black & Hawks, 2009).

2.2.7.1 Pembedahan
Tiga dari empat pasien menjalani operasi kanker kolon dan 60% menjalani
pengobatan. Intervensi operasi tergantung dari jenis kanker, lokas, stadium
dan keadaan umum pasien (Black & Hawks, 2009). Kontraindikasi operasi
apabila kondisi fisik umum tidak baik. Jenis operasi yang sering dilakukan
adalah operasi radikal, paliatif, dan operasi untuk mengurangi gejala.
Tindakan operasi radikal dilakukan dengan prinsip jarak dari tumor
minimal 5-10cm bersama-sama lesi primer, masenterium dan kelenjar
limfe regional dilakukan reseksi untuk mencegah penyebaran sel kanker.
Walaupun tidak dilakukan eksisi radikal, namun eksisi lesi pada operasi
paliatif. Operasi ini dilakukan untuk menunjang kemoterapi atau terapil
lainnya serta memperbaiki gejala.

Tindakan operasi untuk mengurangi gejala dalam bentuk operasi


pemintasan dan operasi fistulasi kolon dilakukan untuk mengatasi ileus,
ligasi arteri iliaka interna yang dapat mengurangi perdarahan kanker
rektum (Desen, 2011).
Operasi kanker kolon kadang diperlukan tindakan pembentukan
kolostomi. Prosedur kolostomi dilakukan dengan membuat lubang dinding
perut atau abdomen yang berfungi sebagai tempat untuk mengeluarkan
feses (Kozier & Erb, 2009). Karena fungsi dari usus besar untuk absorbsi
air kolostomi akan lebih mudah dalam mengelola jika dibuat di dekat
sigmoid sehingga feses dapat berbentuk. Biasanya pasien sudah mampu
melakukan perawatan stoma secara mandiri antara 4-6 minggu sehingga
direncanakan untuk terapi atau radiasi pasien sudah siap (Black & Hawks,
2009).

2.2.7.2 Perawatan pre Operasi


Perawatan pre operasi pasien sering ditemukan dengan penurunan berat
badan dan perubahan kebiasaan buang air besar. Untuk mendapatkan
gambaran yang akurat dari manifestasi klinik pada pasien diperlukan
pengkajian faktor resiko seperti riwayat keluarga dengan kanker, ulserasi
kolitis, atau poliposis familial. Pengkajian abdomen seperti ada tidaknya
ketidaknormalan abdomen, nyeri, distensi dan adanya massa. Diet tinggi
kalori, protein dan karbohidrat dapat diberikan secara parenteral jika
dibutuhkan. Pemeriksaan untuk memastikan bakteri pada tingkat yang
rendah pada saat preoperasi untuk menurunkan resiko infeksi (Black &
Hawks, 2009).

Mengidentifikasi kecemasan pasien dan dukungan dan suport sistem,


mulai dari penjelasan tentang pengobatan dan prosedur yang akan
dilakukan. Memberikan kesempatan pasien untuk berdiskusi tentang
prosedur yang akan dilakukan dengan tim kesehatan. Jika dilakukan
tindakan kolostomi diperlukan enterostomal therapy nurse untuk edukasi
tentang kolostomi dan perawatannya (Black & Hawks, 2009).

2.2.7.3 Perawatan Post Operasi


Setelah pasien keluar dari ruang operasi atau ICU dan dikirim ke ruang
perawatan, perawat tetap melakukan pengkajian dan intervensi seperti
pada ruang perawatan intensif. Pengkajian dan intervensi pada keadaan
post anestesi general dapat menyebabkan komplikasi sehingga tetap
memerlukan monitoring sistem respiratori, kardiovaskular, renal dan
cairan elektrolit. Perawat harus melakukan monitoring output dan
melakukan perwatan khusus stoma terutama menjaga kontaminasi
bakteri ke luka insisi. Pengkajian stoma apakah stoma mengalami
iskemia. Stoma harus dalam keadaan merah dan lembab, seandainya
stoma gelap dan kehitam-hitaman maka segara laporkan ke dokter bedah
untuk dilakukan tindakan secepatnya. Jika dilakukan abdominoperineal
reseksi dengan kolostomi dan drain maka penggantian dressing dan
memonitor output drain harus dilakukan dengan baik. Diagnosa
keperawatan pada kondisi seperti ini adalah resiko injuri dan efektifitas
managemen terapi regimen (Black & Hawks, 2009).
2.2.7.4 Fistula Enterocutaneous
Fistula merupakan hubungan yang abnormal yang terjadi antara kolon
dan permukaan kulit yang ditunjukkan dengan adanya material kolon
yang keluar ke permukaan kulit. Fistula biasanya terjadi akibat
pembedahan, infeksi, cidera atau peradangan (Carville, 2005). Kerusakan
kolon akan menyebabkan gangguan pada fungsi kolon dalam sistem
pencernaan. Fungsi dari kolon akan terganggu dalam penyerapan cairan
yang dibutuhkan oleh tubuh. Tingkat keparahan akibat fistula ini dapat
dilihat dari pemenuhan asupan nutrisi dan cairan yang dibutuhkan pasien.
Gangguan nutrisi yang terjadi akibat fistula enterocutaneous
mengharuskan pemenuhan cairan dan nutrisi melalui parenteral.
Kurangnya pemenuhan gisi dan cairan yang cukup dapat menyebabkan
gangguan fistula yang kronis yang pada akhirnya akan menimbulkan
komplikasi (William, 2010).

Komplikasi yang berhubungan dengan fistula enterocutaneous yang


umum terjadi adalah sepsis, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.

Fistula enterocutaneous akibat kegagalan penyembuhan akibat


pembedahan, cidera atau infeksi merupakan salah satu komplikasi yang
paling ditakuti karena menghasilkan tingkat morbiditas dan motalitas
secara significant. (William, 2010).
Pengetahuan tentang anatomi termasuk bentuk operasi yang
dilakukan akan membantu mengidentifikasikan jenis fistula yang
muncul. Pemeriksaan infeksi yang meliputi jumlah cairan yang keluar,
warna, konsistensi, ph, bau, dan gas akan mendukung penegakan
diagnosis. Pencatatan yang akurat akan jumlah dan tipe cairan akan
membantu dalam merencanakan dan melakukan terapi yang tepat.
Identifikasi pemeriksaan laboratorium terhadap cairan yang keluar dakan
membantu untuk menentukan kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
Inspeksi kulit sekitar fistula dilakukan untuk meluhat adanya maserasi
dan erosi akibat cairan yang keluar dari fistula. Pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk memastikan gambaran yang sebenarnya dari fistula,
sehingga dapat ditentukan diagnosa pastinya (Carville, 2005)
Manajemen fistula merupakan suatu strategi yang dilakukan untuk
memastikan pasien dalam kondisi nyaman, terpenuhi kebutuhan cairan
eletrolit, pemenuhan nutrisi yang adekuat, menjaga integritas kulit sekitar
fistula, mengelola eksudat dan bau serta mencegah terjadinya infeksi
(Carville, 2005).
Dukungan akan kenyamanan pada perawatan fistula ditujukan pada
pengelolaan cairan yang keluar dari fistula. Banyaknya cairan yang
keluar akan menyebabkan balutan cepat basah dan keluar menyebabkan
baju dan linen tempat tidur terkena cairan fistula. Cairan yang berisi
eksudat dari isi kolon akan menimbulkan bau yang tidak enak. Keluarnya
eksudat cairan juga akan berdampak pada gangguan integritas kulit
seperti maserasi atau iritasi. Kondisi itu semua akan menjadi penyebab
dari ketidaknyamanan pasien. Lamanya perawatan dirumah sakit karena
adanya fistula sering menimbulkan kebosanan pasien dalam menjalani
perawata. Peranan tim kesehatan, psikolog dibutuhkan pada fase seperti
ini.

Penggantian cairan dan elektrolit merupakan bagian yang penting,


tindakan mengkaji dan memonitor jumlah dan jenis cairan yang keluar
serta pemeriksaan analisa laboratorium tentang elektrolit dan
keseimbangan cairan harus dilakukan dengan tepat. Penggantian cairan
melalui oral, enteral ataupun perenteral harus memperhatikan jenis
fistula, kondisi pasien dan kebutuhan akan cairan dan elektrolit.
Pemberian makan melalui yeyenum dilakukan jika terjadi fistula pada
gaster.

Pemberian nutrisi yang baik akan memberikan kepastian penyembuhan


fistule. Banyak penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% pasien
medikal bedah menderita malnutrisi. Status nutrisi pasien dengan luka
terbuka harus menerima asupan nutrisi yang adekuat. Penyebab
terjadinya malnutris akibat dari tidak adekuatnya nutrisi, malabsorbsi
akibat penyakit, peningkatan metabolisme, peningkatan nutrisi akibat
hilangnya makanan karena adanya fistula dan lamanay menggunaan
obat-obatan yang menekan mual. Pasien dengan luka terbuka dengan
eksudat atau cairan yang banyak akan menimbulkan resiko yang tinggi
terjadinya mal nutrisi.
Pengkajian status nutrisi sangat penting untuk mendukung
kesehatan pasien. Makanan yang dikosumsi oleh pasien dipengaruhi oleh
faktor budaya, tradisional, fisik, psikologi, keuangan dan sosial.
Pengkajian diet meliputi riwayat pengobatan, pencatatan yang ditail akan
cairan yang keluar dari fistula, pengkajian fisik untu tanda dan gejala dari
dehidrasi dan malnutrisi. Pengukuran berat badan dan tinggi badan dan
pemeriksaan laboratorium yang terkait dengan defisiensi nutrisi.
Kebutuhan kalori untuk orang dewasa sekitar 1500-2000 kalori per hari
untuk keseimbangan nutrisi (Carville, 2005).

2.2.7.5 Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk menurunkan metastase dan mengontrol
manifestasi kanker kolon (Black & Hawks, 2009). Umumnya digunakan
sebagai terapi adjuvan intra dan paska operasi serta dapat digunakan pada
pasien dengan stadium lanjut. Obat yang sering dipakai adalah
fluorourasil (5FU, FT-207, UFT, dll), nitrosourea (CCNU, MeCCNU),
dan sekarang xeloda, oksaliplatin, irinoteka, avastin dll. Obat ini secara
klinis terbukti berefek terapeutik tertentu terhadap kanker kolorektal
stadium lanjut. Formula kombinasi dan tambahan mempunyai efektifitas
46-57% dapat menghambat aktifasi tiroksinkinase yang berefek pada anti
tumor (Desen, 2011)

2.2.7.6 Manajemen Keperawatan Pada Pasien Dengan Terapi Kemoterapi


Pemberian kemoterapi seharusnya dilakukan oleh perawat yang teregister
dan mempunyai kompetensi untuk melakukan pemberian kemoterapi ke
pasien. Minimal perawat yang sudah menyelesaikan pelatihan pemberian
kemoterapi. Idealnya perawat onkologi atau perawat yang sudah
tersertifikasi seperti OAN (oncology association nursing) yang
mempunyai ketrampilan dan kemampuan dalam mengelola pasien kanker
kolon yang menerima pengobatan.
Pentingnya mengetahui efek samping pemberian kemoterapi
sehingga pemberian kemoterapi harus hati-hati sesuai dengan prosedur
yang sudah ditetapkan oleh oncology nursing society (ONC).
Pengkajian harus dilakukan dengan teliti sebelum memberikan obat
cytotoksik. Mengkaji kembali riwayat kesehatan yang terkait dengan
faktor resiko toksisitas dari kemoterapi seperti riwayat gangguan jantung,
pernafasan dan fungsi renal. Melihat kembali nilai laboratorium yang
mengindikasikan organ spesifik yang tidak mampu menerima
kemoterapi. Resep kemoterapi harus jelas dan mencakup; nama obat,
dosis dan total dosis, route pemberian, pemberian lewat IV atau infus,
frekuensi pemberian. Rencanakan terapi antiemetik, hidrasi, diuresis, dan
suplemen elektrolit dengan baik (Black & Hawks, 2009).

2.2.7.7 Radioterapi
Tindakan terapi radiasi digunakan sebelum tindakan operasi adalah untuk
mengecilkan ukuran tumor sehingga tumor dapat direseksi (Black &
Hawks, 2009). Tujuan radioterapi pre, paska atau intra operasi radikal
karsinoma kolorektal bertujuan untuk memperkuat kontrol lokal,
mengurangi angka rekuensi lokal dan meningkatkan survival.
Radioterapi murni memiliki survival 5 tahun (Desen, 2011).
2.2.7.7 Manajemen Keperawatan pada Pasien yang Menerima Radioterapi
Semua staf departemen radioterapi termasuk perawat harus mengerti dan
melaksanakan managemen dalam memenuhi kebutuhan pasien.
Memberikan edukasi tentang dampak radioterapi dan memberikan
kesempatan kepada klien untuk menceritakan pengalaman akan rasa
takut terbakar saat terkena radiasi. Klien kadang tidak merasa saat
diberikan radioterapi karena radiasi tidak dapatdilihat selama pengobatan
dan klien takut pengobatannya tidak berdampak baik. Edukasi
diharapkan memberikan persepsi yang sama dalam pengobatan
radioterapi.
Efek samping pada umumnya terjadi reaksi kulit sekitar radiasi
dan kelelahan dapat terjadi setelah radiasi. Respon kulit normal yang
terkena radiasi akan mengalami eritema dan sampai terjadi seperti luka
bakar stadium dua. Berikan perawatan kulit dan edukasi tentang
perawatan kulit secara mandiri. Manifestasi lain yang mungkin muncul
adalah mucositis, mulut kering, gigi berlobang, disfagia, mual dan
muntah alopesia, dan supresi sumsum tulang belakang (Black & Hawks,
2009).

2.2.8 Pendidikan Kesehatan


Keefektifan pendidikan kesehatan (edukasi) merupakan dasar yang kuat
untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan pasien atau masyarakat.
Mengajar merupakan suatu cara yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu pasien dan keluarga dalam merubah perilaku kesehatan dan
dapat mengubah gaya hidup yang dapat mempengaruhi seseorang terhadap
terjadinya resiko gangguan kesehatannya.

Pendidikan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi secara langsung


terkait dengan hasil perawatan yang diberikannya. Perawat harus
mempertimbangkan ketersediaan layanan, penyedia layanan, dan strategi
dalam memberikan pendidikan kesehatan pada saat merencanakan suatu
pendidikan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.8.1 Tujuan pendidikan Kesehatan


Pendidikan kesehatan merupakan hak dari pasien dalam menerima
perawatan dirinya. Pendidikan kesehatan berawal dari munculnya
pertanyaan yang diajukan oleh pasien tentang perawatan dan kesehatan
dirinya. Masyarakat Amerika menempatkan pendidikan sebagai bagian
dari tanggung jawab secara individu dalam meningkatkan kesehatannya
sendiri. Tim perawatan diwajibkan menyiapkan dan menyediakan sumber-
sumber tentang pendidikan kesehatan. Tanpa pengetahuan dan ketrampilan
perawat yang memadahi akan terjadi ketidakefektifan dalam memutuskan
keputusan yang akan dilakukan oleh pasien (Smeltzer & Bare, 2008).
Pasien dengan penyakit kronis sangat membutuhkan pendidikan kesehatan
yang cukup. Sumber-sumber informasi dengan mudah dapat diakses oleh
pasien sehingga usaha dalam meningkatkan pengetahuannya dapat dicapai
dengan mudah. Partisipasi aktif dari pasien dan keluarga dalam
mendapatkan pengetahuan tentang perawatan dirinya, sehingga pendidikan
kesehatan tersebut dapat membantu pasien untuk beradaptasi dengan
penyakitnya, mencegah komplikasi, melaksanakan terapi yang ditentukan
dan untuk memecahkan masalah ketika menghadapi situasi yang baru
Akibat informasi yang tidak memadahi akan dapat menyebabkan krisis
dalam perawatan diri pasiennya (Smeltzer & Bare, 2008).
Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah untuk mengajarkan seseorang
untuk menjalani kehidupannya dengan baik dan sehat serta berusaha
dengan kuat dalam mencapai tujuan akan kesehatan diri yang optimal.
Pendidikan juga merupakan setrategi untuk mengurangi biaya yang harus
dikeluarkan selama perawatan dirumah sakit dengan mencegah penyakit,
mengurangi pengobatan medis yang mahal, dan dapat menurunkan rawat
inap yang panjang. Lembaga pelayanan kesehatan selalu menawarkan
program-program kesehatan masyarakat seperti promosi dalam
meningkatkan kepuasan pasien dan mengembangkan citra positif lembaga
tersebut.

Belajar dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh pengetahua,


sikap, atau ketrampilan, sedangkan pengajaran didefinisikan sebagai alat
untuk membantu orang lain belajar. Salah satu faktor yang paling
signifikan mempengaruhi seseorang belajar adalah kesiapan untuk belajar.
Pada orang dewasa kesiapan belajar didasarkan pada budaya, nilai-nilai
pribadi, status fisik dan emosional serta pengalaman masa lalunya
(Smeltzer & Bare, 2008)
Kultur meliputi nilai-nilai, cita-cita dan perilaku serta tradisi yang
disiapkan sebagai kerangka kerja untuk menyiapkan pemecahan masalah
dan kekawatiran dari kehidupan sehari-hari. Setiap individu dengan lata
belakang yang berbeda akan memegang nilai-nilai dan gaya hidup serta
pilihan tentang perawatan yang bervariasi. Kultur sangat mempengaruhi
variaberl utama seperti kesiapan belajar akan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana dia belajar dan informasi apa yang didapatkannya. Kadang
seseorang tidak akan menerima pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh
perawat karena bertentangan dengan kultur yang selama ini diyakini.
Perawat harus mengetahui nilai-nilai pasien yang tentang kesehatan
selama mendapatkan perawatan yang diberikan sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dan tidak terjalin kerjasama (Smeltzer & Bare, 2008).

Teknik dan metode pengajaran mampu meningkatkan pembelajaran


jika sesuai dengan kebutuhan mereka. Banyak teknik yang dikembangkan
seperti ceramah, demontrasi, belajar kelompok semua dapat ditingkatkan
dengan menyediakan bahan-bahan yang khusus sesuai dengan informasi
yang dibutuhkan. Demontrasi dan praktik merupakan bagian yang penting
dalam program pengajaran, terutama ketika mengajarkan ketrampilan.
Cara yang terbaik adalah menunjukkan atau mendemontrasikan didepan
mereka dan kemudian memberikan banyak kesempatan pada mereka untuk
melatih dirinya sendiri. Alat peraga yang mampu meningkatkan proses
pembelajaran adalah buku, pamflet, gambar, film, slide, audio, dan kaset
vidio. Alat peraga tersebut sangat penting sekali jika digunakan sesuai den
tepat sehingga dapat menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan pendidikan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.9 Kolostomi
Tindakan operasi reseksi pada kanker kolon dan rektum yang disertai
dengan prosedur tindakan laparotomi sering diakhiri dengan pembuatan
stoma. Stoma merupan suatu tindakan dengan membuat lubang pada
dinding perut atau abdomen yang berfungi sebagai tempat untuk
mengeluarkan kotoran feses atau urin (Kozier & Erb, 2009; Black &
Hawks, 2009). Terdapat banyak tipe dan macam dari enterostoma. Setiap
tipe memiliki ciri masing-masing, misalnya ileostomi cenderung
menghasilkan output yang lebih cair dibandingkan dengan kolostomi yang
menghasilkan output yang lebih padat menyerupai feses yang sebenarnya
Hal ini dikarenakan oleh fungsi kolon adalah untuk menyerap air (Black &
Hawks, 2009; Rasjidi, 2011). Lokasi kolostomi menentukan konsistensi
tinja baik padat ataupun cair. Pada kolostomi transversum umumnya
menghasilkan feses lebih padat. Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah
medis pasien dan kondisi umum. Ada 3 jenis kolostomi, yaitu; kolostomi
loop atau loop colostomy, biasanya dilakukan dalam keadaan darurat, end
colostomy, terdiri dari satu stoma dibentuk dari ujung proksimal usus
dengan bagian distal saluran pencernaan. End colostomy adalah hasil
pengobatan bedah kanker kolorektal, double-barrel colostomy terdiri dari
dua stoma yang berbeda stoma bagian proksimal dan stoma bagian distal
(Perry & Potter, 2005).
Jenis kolostomi berdasarkan lokasinya adalah transversokolostomi
merupakan kolostomi di kolon transversum. Sigmoidostomi yaitu suatu
tindakan kolostomi di area sigmoid, sedangkan kolostomi desenden adalah
kolostomi yang dibuat di area kolon desenden. Kolostomi asenden
merupakan suatu kolostomi yang dilakukan pada area asenden (Perry &
Potter, 2005; Black & Hawks, 2009).

2.2.9.1 Perawatan Kolostomi


Secara umum hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi
adalah edukasi pasien dan keluarganya, perawatan kolostomi secara rutin,
pemilihan kantung kolostomi, aktifitas yang direkomendasikan dan
pengaturan diet pasien dengan kolostomi Edukasi tentang kondisi stoma
seperti adanya edema stoma yang akan berlangsung mulai hari ke 5 sampai
ke 7 setelah operasi dilakukan. Stoma tidak berfungsi dalam 2 – 4 hari
setelah operasi. Drainase awal berupa mukus dan cairan serosanguinus
(Rasjidi, 2011).
Fungsi kolostomi akan mulai tampak pada hari ke 6 setelah operasi.
Perawat melakukan perawatan kolostomi sampai pasien dapat mengambil
alih perawatan ini. Perawatan kulit harus diajarkan bersamaan dengan
bagaimana menerapkan drainase kantung dan melaksanakan irigasi.
Menurut Smeltzer & Bare (2008), ada beberapa yang harus diperhatikan
dalam menangani kolostomi, antara lain perawatan kulit, memasang
katung kolostomi dan mengangkat alat drainase.

Perawatan kulit pada kolostomi transversal, terdapat feses lunak


dan berlendir yang mengiritasi kulit. Pada kolostomi desenden atau
kolostomi sigmoid, feses agak padat dan sedikit mengiritasi kulit. Pasien
dianjurkan melindungi kulit peristoma dengan sering mencuci area
tersebut menggunakan sabun ringan, memberikan barrier kulit protektif di
sekitar stoma, dan mengamankannya dengan meletakan kantung drainase.
Kulit dibersihkan dengan perlahan menggunakan sabun ringan dan waslap
lembab serta lembut. Adanya kelebihan barrier kulit dibersihkan. Sabun
bertindak sebagai agen abrasif ringan untuk mengangkat residu enzim dari
tetesan fekal. Selama kulit dibersihkan, kasa dapat digunakan untuk
menutupi stoma.

Pemilihan kantung stoma diukur untuk menentukan ukuran


kantung yang tepat. Kulit dibersihkan terlebih dahulu sebelum barier kulit
peristoma dipasang. Kemudian kantung dipasang dengan cara membuka
kertas perekat dan menekanya di atas stoma. Iritasi kulit ringan
memerlukan tebaran bedak stomahesive sebelum kantung dilekatkan.

Alat drainase dapat diganti bila isinya telah mencapai sepertiga


sampai seperempat bagian sehingga berat isinya tidak menyebabkan
kantung lepas dari diskus perekatnya dan keluar isinya. Pasien dapat
memilih posisi duduk atau berdiri yang nyaman dan dengan perlahan
mendorong kulit menjauh dari permukaan piringan sambil menarik
kantung ke atas dan menjauh dari stoma. Tekanan perlahan mencegah kulit
dari trauma dan mencegah adanya isi fekal yang tercecer keluar.

2.2.9.2 Edukasi Perawatan Stoma


Edukasi pada pasien pertama kali adalah mengajarkan bagaimana memilih
kantung yang tepat untuk pasiennya. Pasien ditawarkan untuk mencoba
beberapa jenis kantung yang ada sesuai dengan kebutuhan dan
kenyamanan pasien. Pertimbangan dalam memilih kantung selain nyaman,
aman, terjangkau harganya oleh pasien dan mudah untuk mendapatkan
kantung tersebut. Pemilihan kantung yang akan dipakai oleh pasien
seharusnya didiskusikan dengan perawat stoma, karena penggunaan
kantung akan berlangsung cukup lama (Black & Hawks, 2009).
Stoma yang sehat terlihat merah dan menonjol sekitar 2 cm dari
permukaan dinding perut. Kolostomi jenis end stoma, loop, atau doubel
barrel, akan mudah dilakukan perawatan stoma jika tidak terjadi
komplikasi seperti prolap, hernia, dan iritasi. Bentuk stoma yang menonjol
2 cm akan memudahkan dalam pemasangan kantung kolostomi. Stoma
dan kulit sekitarnya harus dibersihkan sampai bersih. Pencucian kulit
sekitar luka dapat menggunakan sabun dan pelaksaannya pembilasan
dilakukan sampai hilang sabunnya. Kemudian kulit sekitar stoma
dikeringkan sebelum dilakukan pemasangan kolostomi. Kondisi basah
akan menyebabkan kantung kolostomi tidak dapat menempel pada dinding
perut (Black & Hawks, 2009).
Pengukuran stoma dilakukan dengan membuat pola yang
berukuran sama dengan luas atau diameter stoma. Pembuatan pola ini
bertujuan untuk memastikan lubang kantung stoma tepat sesuai ukuran
stoma yang akan dipasang kantung kolostomi. Tahap berikutnya membuat
lubang kantung stoma yang dibuat sesuai pola yang sudah dibuat
sebelumnya. Sebelum memasangkan kantung stoma, harus memastikan
kulit sekitar stoma kering. Kemudian menempelkan kantung stoma ke
tempat kolostomi dan merekatkannya (Black & Hawks, 2009).
Membimbing dan mengajarkan teknik perawatan stoma kepada
pasien serta mengajari cara membuang atau mengosongkan kantung
stoma. Apabila kantung stoma telah terisi sepertiga bagian maka pasien
diharapkan membuang cairan atau feses yang ada dalam kantung stoma
tersebut (Black & Hawks, 2009). Edukasi perawatan kolostomi akan
mudah dilakukan dengan menggunakan audovisual. Gambaran langsung
cara merawat kolostomi dapat diterima pasien dengan melihat film yang
berisi tentang perawatan stoma.

2.3 Teori Peaceful End of Life


Teori peaceful end of life dikembangkan oleh Cornelia M, Ruland dan Shirley
M, Moore. Teori ini berdasarkan pada model Donabedian yang dimulai dari
struktur, proses dan hasil yang dicapai. Pengembangan teori ini berasal dari
general system theory (Alligood & Tomey, 2010). Kontribusi pengembangan
teori ini berasal dari standar perawatan yang ingin membuat ide baru tentang
fenomena akhir hidup yang bahagia pada pasien dengan sakit terminal.
Standar perawatan ini dikembangkan oleh sekelompok perawat yang
berpengalaman di Norwegia. Sekelompok perawat ini memiliki pengalaman
lebih dari 5 tahun dan mempunyai pendidikan paska sarjana serta sudah
mendapatkan pelatihan atau seminar tentang pasien terminal. Mereka
mengidentifikasikan kebutuhan klinis pasien untuk membantu dalam
memberikan perawatan yang berkualitas. Ide atau wawasan baru yang
mempunyai kontribusi dalam peningkatan pengetahuan tentang intervensi
yang dapat dilakukan oleh perawat untuk menciptakan atau membantu pasien
dalam mencapai akhir hidup yang damai. Perawat klinis mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan konsep peaceful end of life, namun
sebagian perawat tidak menerapkan teori ini sebagai panduan atau acuan
dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit yang parah atau
terminal (Ruland & Moore, 1998).

2.4 Kriteria Hasil Sebagai Indikator Standar Teori Peaceful End of Life

Konsep tidak merasakan nyeri indikator standarnya adalah pasien tidak


merasakan nyeri. Konsep pengalaman nyaman indikator standarnya adalah
pasien tidak mengalami mual, muntah, kehausan, pasien mengalami
pengalaman kenyamanan yang optimal, pasien mengalami kenyaman
lingkungan. Konsep bermartabat dan dihormati indikator standarnya adalah
pasien dan keluarga berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang
perawatan pasien, pasien dan keluarga selama dirawat merasa dihargai dan
dihormati. Konsep damai indikator standarnya adalah pasien dan keluarga
tetap mempunyai harapan yang baik, pasien dan keluarga mendapat bantuan
dan penjelasan terkait isue-isue tentang akhir kehidupan dari pasien, pasien
tidak meninggal sendirian dan pasien merasa damai. Konsep kedekatan
dengan orang yang bermakna dengan indikator ikut terlibat dalam merawat
pasien, mampu mengucapkan selamat tinggal sesuai dengan keyakinan, dan
mendapatkan informasi prosedur pemakaman (Ruland & Moore, 1998).

2.5 Kriteria Hasil Standar Peaceful End Of Life


Kriteria hasil yang pertama adalah pasien tidak mengalami nyeri, mual
kehausan, pengalaman kenyamanan yang optimal, apakah merasa damai dan
pasien tidak meninggal sendirian. Kriteria hasil yang kedua adalah pasien
dan keluarganya memiliki keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan
pelayanan yang terbaik, menjaga harapan yang bermakna, terlibat dalam
pengambilan keputusan mengenai perawatan pasien, mendapatkan bantuan
dan menjelaskan isue-isue yang terkait dengan akhir kehidupan,
pengalaman lingkungan yang menyenangkan. Kriteria hasil yang ketiga
adalah orang lain yang bermakna yaitu mengambil bagian dalam merawat
pasien, dapat mengucapkan selamat tinggal sesuai dengan keyakinan atau
budaya mereka, dan ditawarkan kunjungan folow up setelah kematian
(Ruland & Moore, 1998).
2.6 Aplikasi Peaceful End of Life pada Asuhan Keperawatan Pasien Kanker
Seting struktur teori peaceful end of life menempatkan sistem kekeluargaan
sebagai bagian utama dari pasien yang sakit terminal. Pasien akan menerima
perawatan secara profesional pada perawatan akut di rumah sakit. Proses
asuhan keperawatan akan menetapkan dan merancang intervensi keperawatan
yang mempertimbangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai diantaranya; bebas
dari rasa nyeri, merasakan kenyamanan, perasaan bermartabat dan dihormati,
merasakan kedamaian, dan merasakan adanya kedekatan dengan orang yang
bermakna (Alligood & Tomey, 2010).

Fokus penerapan teori peaceful end of life bukan pada kematian, namun pada
kehidupan yang damai, berarti bagi keluarga dan orang lain diakhir hari-hari
terakhirnya. Hal ini mencerminkan kompleksitas dalam perawatan pasien
yang sakit parah atau terminal dan kebutuhan pasien dalam mengelola gejala
serta pengetahuan tentang cara menghilangkan nyeri. Untuk itu diperlukan
sikap peduli, kesadaran, kepekaan dan kasih sayang pada pasien terminal
(Ruland & Moore, 1998).

2.6.1 Pengkajian Keperawatan


Pendekatan pengkajian pasien kanker mengacu pada lima konsep dalam
teori peaceful end of life. Lima konsep utama adalah bebas dari rasa nyeri,
merasakan kenyamanan, pengalaman bermartabat dan dihormati,
merasakan kedamaian, dan merasakan adanya kedekatan dengan orang
yang bermakna (Ruland & Moore, 1998).

2.6.1.1 Pengkajian Nyeri


Tidak merasakan sakit pada teori ini didefinisikan dengan tidak
mempunyai pengalaman nyeri. Nyeri lanjut digambarkan sebagai
pengalaman yang tidak menyenangkan baik perasaan emosional atau
sensori yang mempunyai resiko terjadinya kerusakan jaringan dan atau
adanya bentuk suatu kerusakan (Ruland & Moore, 1998).
Nyeri pada pasien kanker merupakan suatu fenomena subjektif yang
dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik dapat berasal dari
berbagai bagian tubuh atau sebagai akibat dari terapi dan prosedur yang
dilakukan, termasuk operasi, kemoterapi dan radioterapi. Nyeri juga
dapat dianggap sebagai ungkapan suatu proses patologis tubuh, sehingga
pasien dengan keluhan nyeri harus dicari penyebabnya. Secara umum
nyeri ada beberapa jenis yaitu nyeri; nosispetif, neuropatik, radikular,
sentral, deferensiasi, simpatetik, dan psikogenik (Rasjidi, 2010).

Nyeri nosispetif berasal dari aktifitas nosispeptor pada semua jaringan


kecuali sistem saraf pusat. Informasi mengenai rasa nyeri ditransmisikan
dari jaringan yang terluka menuju ke kortek serebral. Nyeri neuropatik
berasal dari lesi saraf perifer atau sentral, sedangkan nyeri radikular
bersumber pada tulang belakang tertentu menjalar secara dermartomal
dari radik posterior yang bersangkutan. Nyeri sentral merupakan nyeri
yang berasal dari susunan saraf pusat, sedangkan nyeri deferensiasi
adalah nyeri kronik sebagai akibat dari hilangnya rangsangan aferen yang
masuk ke dalam susunan saraf sentral atau perifer. Nyeri simpatetik
bersumber dari lesi simpatis perifer. Nyeri psikogenik dapat diawali
dengan adanya konflik mental seseorang dapat memperoleh gangguan
somestesia. Pada umumnya psikogenik merupakan suatu konversi
histerik, yaitu penderitaan batin yang diproyeksikan menjadi rasa nyeri
secara fisik (Rasjidi, 2010).

Pengkajian nyeri terdiri dari dua komponen utama yaitu; riwayat nyeri
dan observasi langsung terhadap respon perilaku nyeri. Riwayat nyeri
memberikan kesempatan bagi klien untuk mengungkapkan rasa dengan
kat-katanya sendiri dan bagaimana mereka memandang nyerinya.
Pengkajian nyeri awal untuk orang yang sedang mengalami nyeri hebat,
mungkin hanya terdiri dari beberapa pertanyaan saja, sebelum intervensi
dilakukan. Namun sebaliknya bagi orang yang mengalami nyeri kronis
perawat harus lebih banyak memberikan pertanyaan yang berfokus pada
mekanisme koping, keefektifan penatalaksanaan nyeri saat ini, dan
bagaimana nyeri dapat mempengaruhi aktifitas hidup sehari-hari. Data
yang harus dikumpulkan secara komprehensif meliputi; lokasi nyeri,
intensitas, kualitas, faktor presipitasi, faktor yang mengurangi,
pengalaman nyeri masa lalu, makna nyeri bagi orang tersebut, sumber
koping dan respon efektif (Kozier & Erb, 2009).

2.6.1.2 Pengkajian Nyaman


Perasaan nyaman didefinisikan sebagai kondisi yang bebas dari
ketidaknyamanan, kemudahan, kepuasan kedamaian dan apapun yang
membuat hidup lebih mudah dan menyenangkan (Ruland & Moore,
1998). Pengkajian untuk menilai kemampuan selama perawatan
menggunakan instrumen ECOG performance (eastern cooperative
oncology group). Penilaian ECOG dikembangkan oleh peneliti klinis dari
Amerika Serikat yang meneliti semua klien kanker yang berusia dewasa.
Status ECOG performance adalah skala yang digunakan untuk menilai
bagaimana penyakit pasien ini mengalami kemajauan, menilai bagaimana
penyakit ini dapat mempengaruhi kemampuan hidup sehar-hari, serta
menentukan prognosis dan pengobatan dengan tepat (Jones & Muzio,
2005).

Penilaian Status ECOG performance meliputi; skala 0 yang berarti klien


mampu melakukan aktifitas secara aktif tanpa dibatasi oleh adanya
gangguan akibat penyakit yang dirasakannya, skala 1 klien mampu
melakukan aktifitas pekerjaan fisik yang berat, namun untuk melakukan
aktifitas pekerjaan rumah ringan, pekerjaan kantor klien masih mampu
melaksanakannya, skala 3 klien mampu merawat diri sendiri, namun
tidak mampu untuk melakukan pekerjaan ringan, skala 4 klien hanya
mampu melakukan aktifitas di tempat tidur atau kursi roda dan tidak
mampu merawat dirinya sendiri, sedangkan pada skala 5 klien sudah
meninggal (Jones & Muzio, 2005).
2.6.1. 3 Pengkajian Pengalaman Bermartabat dan Dihormati
Pengalaman bermartabat didefinisikan sebagai manusia yang dihormati,
dihargai dan memiliki nilai yang layak ketika bermasyarakat. Ini
termasuk pengakuan dan dihormati karena tidak terkena kasus yang
melanggar nilai-nilai dan integritas pasien. Kelemahan,
ketidakmampuan, dan perasaan tidak berguna sering timbul dalam
perasaan pasien selama menjalani perawatan. Kesendirian selama
perawatan kadang akan membawa pikiran yang negatif dalam
mengartikan situasi dan kondisi sekarang. Mudah kecewa, tersinggung
biasanya mengawali perasaan tidak dihargai sebagai orang yang kuat.
(Ruland & Moore, 1998).

2.6.1.4 Pengkajian Damai


Definisi untuk menjadi damai pada teori ini adalah perasaan tenang,
harmoni, dan kepuasan. Bebas dari ketakutan, kekawatiran dan
kecemasan. Perasaan tenang berawal dari kepuasan atas apa yang ingin
dicapai dalam kehidupannya. Tujuan hidup yang tidak rasional dilakukan
pada saat sakit seperti ini akan menimbulkan perasaan kecewa terhadap
dirinya sendiri. Tujuan hidup sekarang harus melihat keadaan diri pasien,
sehingga tujuan yang berasal dari suatu keinginan dapat terpenuhi.
Pendekatan spiritual dalam merumuskan tujuan hidup akan lebih terasa
bermakna, sehingga kehidupan yang dijalani akan mendapatkan manfaat
secara spiritual. Kepuasan merupakan bentuk perasaan sukses akan
keberhasilan mencapai tujuan yang ditentukannya. Kehidupan yang
harmoni dan selaras dengan tercapainya tujuan hidup. Pendekatan
psikososial dan spiritual akan lebih berperan dalam menciptakan
keharmonian diri pasien (Ruland & Moore, 1998).
2.6.1.5 Pengkajian Kedekatan dengan Orang yang Bermakna
Kedekatan orang lain yang signifikan pada teori ini maksudnya perasaan
berhubungan dengan orang lain dan terjadi kepedulian. Peranan keluarga,
sahabat dan rekan kerja dirasakan selama pasien sakit. Kunjungan dan
dukungan kepada pasien pada masa perawatan sangat berpengaruh pada
kondisi pasien. Hubungan komunikasi yang hangat dengan saudara,
kerabat sangat diharapkan pada masa-masa seperti ini.
Pasien harus menjalani perawatan di rumah sakit yang jauh dari kerabat
dan keluarga menimbulkan perasaan asing dan merasa sendiri dan tidak
ada tempat untuk berkomunikasi secara fisik. (Ruland & Moore, 1998).

2.6.2 Diagnosis Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan label singkat yang menggambarkan
kondisi pasien yang diobservasi di klinik. Kondisi ini berupa masalah-
masalah aktual atau potensial atau diagnosis sejahtera (Wilkinson, 2012).
Pendekatan teori peaceful end of life pada diagnosa keperawatan
dikembangkan dari lima konsep peaceful end of life yang terdiri dari;
masalah nyeri, ketidaknyamanan, perasan tidak bermartabat dan dihormati,
tidak merasakan kedamaian, dan tidak merasakan adanya kedekatan
dengan orang yang bermakna (Ruland & Moore, 1998). Namun demikian
didalam perumusan diagnosa keperawatan yang digunakan dalam asuhan
keperawatan pasien dengan kanker kolon tetap mengacu pada terminologi
NANDA (north american nursing diagnosis association) (Wilkinson,
2012).

2.6.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi dalam asuhan keperawatan pasien dengan kanker kolon
mengacu pada nursing intervention classification (NIC) yang secara
komprehensif mengklasifikasikan standar intervensi yang dijadikan
pedoman perawat (Bulechek, 204). Kriteria hasil yang sesuai dengan Teori
peaceful end of life adalah tetap mengaju pada lima konsep teori tersebut.
Kriteria hasil nyeri, diharapkan pasien tidak merasakan atau mengalami
nyeri, mual, kehausan, pengalaman kenyamanan yang optimal, damai dan
pasien tidak meninggal sendirian. Kriteria hasil nyaman, pasien dan
keluarganya memiliki keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan
pelayanan yang terbaik, menjaga harapan yang bermakna, terlibat dalam
pengambilan keputusan mengenai perawatan pasien, mendapatkan bantuan
dan menjelaskan isue-isue yang terkait dengan akhir kehidupan,
pengalaman lingkungan yang menyenangkan. Kriteria hasil damai adalah
orang lain yang bermakna mampu mengambil bagian dalam merawat
pasien, dapat mengucapkan selamat tinggal sesuai dengan keyakinan atau
budaya mereka, dan ditawarkan kunjungan folow up setelah kematian
(Ruland & Moore, 1998).
2.6.4 Evaluasi Keperawatan
Proses asuhan keperawatan untuk melakukan implementasi dan evaluasi
merupakan proses yang komplek dan dinamis. Praktek perawat spesialis
dalam melakukan evaluasi harus berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
sebagai perawat spesialis yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasien
melalui asuhan keperawatan yang terkoordinasi yang melibatkan hubungan
kolaboratif antara petugas kesehatan (Lukosius & DiCenco, 2004).
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Tn. S DENGAN KANKER KOLON

A. Pengkajian
- Nama : Sdr. S
- Umur : 33 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Agama : Islam
- Suku : Jawa
- Tanggal MRS : 28 Januari 2014
- Pekerjaan : Karyawan
- Tanggal Pengkajian : 26 Pebruari 2014
- No Register : 317406300
- Diagnosa Medis : Kanker Kolon
Penanggung Jawab
- Nama : Ny. S
- Umur : 61 Tahun
- Pekerjaan : Swasta
- Hubungan dengan Klien : Ibu

1. Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak bulan Oktober 2012 klien mengeluh nyeri pada perutnya dan
mendapat perawatan di Rumah Sakit Pasar Rebo di Jakarta serta dilakukan
tindakan operasi laparotomi dengan kolostomi. Hasil Patologi Anatomi
(PA) klien terdiagnosa kanker kolon stadium IIIb. Klien sempat mendapat
kemoterapi dan pada daerah mata kaki kiri terdapat luka ekstravasasi dari
pemberian kemoterapi. Empat bulan kemudian klien dirujuk ke RSK
Darmais. Klien di RSK Darmais diberikan kemoterapi selama 6 kali dan 1
kali remisi. Pada tanggal 20 pebruari 2014 pasien dilakukan operasi
laparotomi untuk penutupan kolostomi. Satu minggu setelah itu klien tidak
bisa buang air besar dan klien juga sudah diberikan dulcolac dan microlac,

36
namun tetap tidak ada perubahan. Pada saat dilakukan pengkajian klien
mengeluh bagian bekas jahitan laparotomi di perutnya perutnya terasa
nyeri seperti berdenyut, hilang timbul skala 6, klien meringis saat menahan
nyerinya ketika merubah posisi setengah duduk. Pada perut bagian
kwadran 3 terpasang selang klem terbuka dengan produksi cairan yang
berwarna kehijauan dengan konsistensi cair. Terdapat luka jahitan stapler
laparotomi mulai dari daerah gaster sampai dibawah umbilikus dengan
panjang luka ± 10 cm, dari jahitan yang sepertiga atas dan tengah keluar
cairan yang berwarna hijau. Produksi drain 900cc warna kehijauan,
produksi cairan dari fistula 450 cc. Produksi urine 750cc. Auskultasi:
bising usus 3kali/mnt, teraba distensi, di sebelah kwadaran kanan atas
teraba keras dan balance cairan -620 cc. Klien sebenarnya tidak ada
gangguan dalam beraktivitas, akan tetapi klien merasa badannya lemah
yang menjadikan klien kurang beraktivitas. Pengkuran kekuatan otot:
55555 55555
55555 55555
Keterangan:
Semua ekstremitas dalam keadaan normal
Klien tidak mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan dan pola
tidur. pada aktivitas dan istirahat tidak ditemukan gangguan. persepsi
pasien menunjukkan bahwa dia mampu beraktifitas secara normal, akan
tetapi klien merasakan lemah dan seakan tidak ada energy. Keluarga
memberi dukungan dan membantu dalam mobilisasi dan kebutuhan
istirahat klien.
Hasil observasi TTV: TD 110/80 mmHg, nadi 96 x/mnt, RR 22
x/mnt, Suhu 37,2oC. bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop
(-). Capillary Refill < 3 detik, akral hangat, wheezing (-), ronchi (-), batuk
(-), vocal fremitus simetris paru kanan-kiri, gerakan paru simetris, retraksi
suprasternal tidak ada.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Klien tidak memiliki riwayat alergi, asma ataupun diabetes militus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti
ini. keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti klien ataupun
penyakit kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga tidak
ada yang menderita penyakit pasien. Hasil anamesa untuk keluarga nenek dan
kakek pasien tidak diketahui karena sudah meninggal.

a. Pemeriksaaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Lab tanggal 25-2-2014


Hematologi
Hb 10,9 L g/dL 12.0– 16.0
Leukosit 18,31 103/μL 5.0 – 10.0
Trombosit 398 103/μL 150– 440
Eritrosit 4.98 106/μL 4.00– 5.00
Hematokrit 42,7 L % 37– 43

Elektrolitdan Gas
Darah 137 mmol/L 137– 150
Natrium (Na+) 3,5 mmol/L 3.5– 5.3
Kalium (K+) 98,1 mmol/L 99 – 111
Klorida (Cl-)
5,6 g/dl
ProteinTotal 2,6 g/dl
Albumin 3,0 g/dl
Globulin
38 mg/dL 15– 39
Ureum 0,47 mg/dL < 1.4
Kreatinin

1. Pemeriksaan Penunjang
Therapy Medis
Monitor Harian Pemberian Obat

TGL Nama Obat Dosis Cara Pemberian

25/2/14 Parasetamol 3x1 Oral

Tramadol 1x1 IV
Amiparen 12 jam IV

Infus Nacl 0.9 % 12 jam IV

Cefotaxim 12 jam IV

Pengkajian Peaceful End Life Thoery


1. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri pada bagian abdomen dan menjalar ke sekitarnya.
kualitas nyeri yang dirasakan seperti nyeri di seluruh perutnya seperti
berdenyut, hilang timbul dengan durasi hilang timbul lebih dari 15 menit,
nyeri akan dirasakan saat dilakukan perawatan luka dan saat
menggerakkan tubuhnya untuk miring atau duduk, intensitas nyeri sedang
dengan skala 6 nyeri berkurang jika diistirahatkan. Perilaku dengan
ekspresi menahan nyeri terlihat ketika nyeri itu timbul. Pasien kadang
meringis sambil memegangi perutnya. Pemberian obat dirasakan oleh
pasien, namun beberapa saat saja, nyeri akan timbul kembali ketika
menggerakkan badannya.
2. Rasa nyaman
Berdasarkan pengkajian terbebas dari rasa kenyamanan pasien berasal
dari adanya nyeri, adanya luka operasi diarea umbilikal yang terus
mengeluarkan cairan yang berbau. Ketidakmampuan dalam merawat diri
pasien dapat dikaji dengan nilai skore ECOG performance 4, semua
aktifitas dibantu oleh perawat dan keluarga. Kepuasan tentang kedamaian
yang sampai saat ini pasien merasa bosan dengan kondisi sakit yang tidak
sembuh-sembuh.
3. Rasa bermartabat dan dihargai
Pasien merasa saat merasa senang karena masih merasa diakui sebagai
orang yang bermartabat. Hal ini terlihat selama dirawat temen-temennya
juga banyak yang menjenguk ke rumah sakit dan selama sakit ibunya
selalu menungguinya. Saudaranya juga banyak memberikan dukungan
materiil dan non materiil selama pasien dirawat. Pasien berharap
memperoleh pelayanan terbaik untuk pemulihan fisiknya. Pasien saat ini
merupakan pasien jamkesmas, pasien tidak merasa malu sebagai pasien
jamkesmas justru sebaliknya pasien merasa bersyukur karena biaya
pengobatannya dapat ditanggung oleh pemerintah. Pasien mengaku
sampai saat ini merasa tetap dihargai dan dihormati oleh masyarakat
karena pasien tidak pernah terlibat dengan masalah-masalah atau kasus
yang sifatnya negatif dimasyarakat. Sebelum sakit pasien bekerja sebagai
karyawan, namun kedepan dimungkinkan pasien tidak dapat menjalani
pekerjaan diperusahaannya karena kesehatannya, namun pasien tetap
mempunyai nilai-nilai integritas. Pasien meminta dukungan keluarga
dalam menjalani pengobatan di rumah sakit. Pasien juga minta dukungan
perawat untuk memberikan perawatan yang terbaik bagi dirinya.

4. Kedamaian
Pasien merasa takut, kawatir dan cemas dengan kondisi kesehatannya.
Pasien tidak bisa membayangkan akan menderita sakit seperti ini karena
sebelumnya pasien sehat dan tidak ada keluhan sakit yang parah. Pasien
kadang merasa pesimis dengan kondisi kesehatannya serta proses terapi
yang akan dilanjutkan. Pasien kadang merasa tenang ketika sedang
menjalankan sholat, dan berzikir kepada Alloh. Saat ini pasien sering
mendekatkan diri dan berdoa untuk dirinya.
41

5. Kedekatan dengan orang yang bermakna


Pasien merasa dekat sangat senang ibunya memberi dukungan
yang sangat baik. Hal ini terlihat selama di rumah sakit selalu
ditunggu oleh ibunya dan pemenuhan kebutuhannya selalu
dibantu oleh ibunya.
A. ANALISA DATA

No Data Fokus Problem Etilogi

1 Nyeri kronik agen cidera:


DS: Pasien mengatakan nyeri pada tumor rektum
bagian abdomen dan menjalar ke yang
sekitarnya. Kualitas nyeri yang dirasakan mengifiltrasi
seperti nyeri di seluruh perutnya seperti jaringan dan
berdenyut, hilang timbul dengan durasi organ sekitar
hilang timbul lebih dari 15 menit.
DO: Nyeri akan Dirasakan saat
dilakukan perawatan luka dan saat
menggerakkan tubuhnya untuk miring
atau duduk. skala 6 nyeri
ekspresi menahan nyeri

DS: Setiap kali cairan masuk sering


2. dimuntahkan lagi, Resiko asupan cairan
DO: Intake cairan parenteral 2000cc, per ketidakseimba yang tidak
oral 100cc dan output produksi cairan ngan volume adekuat
drain 900cc, pada kantung stoma cairan sekunder akibat
450cc, urin kanker kolon
750cc dan IWL 720cc. Balance cairan
-620cc
DS: -
3. DO : Pembentukan keterlambatan
terdapat luka jahitan stapler Fistula pemulihan
laparotomi mulai dari daerah gaster paska bedah
sampai dibawah umbilikus dengan akibat infeksi
panjang luka ± 10 cm, dari jahitan
yang sepertiga atas dan tengah keluar
cairan yang berwarna hijau sejumlah
450cc, dan pus, terjadi iritasi dan
kemerahan sekitar luka, lekosit 18,8
x 103.
4 DS: klien mengatakan mual, perut Ketidak seimb Faktor
kembung dan sebah angan nutrisi bilogis:ketidak
DO : kurang dari mampuan
- Klien makan cair 150 cc kebutuhan mengabsorsi
- BB: 55 kg, TB: 166 cm (kurus) tubuh nutrien
- Hb: 10.9 gr % (turun), albumin 2.6
g/dl

- Klien terlihat massa otot menurun,


rambut kasar, kulit kering, lemah

5 DS: klien merasakan keadaan yang Hambatan kelemahan


lelah dan merasa khawatir dengan mobilitas fisik
kondisi kolostomi
DO:
- Pasien hanya tampak berbaring di
tempat tidur

6 DS :Klien merasa takut dan cemas dengan Ansietas Adanya


kondisi kesehatannya. Klien tidak bias ancaman dan
membayangkan akan seperti ini karena perubahan
sebelumnya klien sehat dan tidak ada status kesehatan
Keluhan
DO: Pasien tampak gelisah
Sering bertanya pada petugas
kesehatan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN UTAMA


1. Nyeri kronik berhubungan dengan agen cidera: tumor rektum
yang mengifiltrasi jaringan dan organ sekitar
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorsi nutrien
3. Pembentukan fistula berhubungan dengan keterlambatan
pemulihan paska bedah akibat infeksi
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder akibat
kanker kolon
5. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman perubahan
status kesehatan.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan.
Data yang mendukung: klien merasakan keadaan yang lelah
dan merasa khawatir dengan kondisi kolostomi
3.1 Diskripsi Kasus Kelolaan Utama

Tn. S, Usia 33 tahun, nomer rekam medis 317406300, jenis kelamin laki-laki,
pendidikan tamat SMU, pekerjaan karyawan swasta, status belum menikah,
agama islam, masuk rumah sakit tanggal 28 Januari 2014, dirawat di kamar
601 ruang Teratai Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, dengan diagnosa
kanker kolon stadium IV (T4,N1,M1). Pengkajian dilakukan pada tanggal 26
Pebruari 2014 jam 09.00 WIB. Status antropometri dengan berat badan 48 kg,
tinggi badan 164 cm, IMT 17,8.
Riwayat kesehatan pasien dengan sakit seperti ini sudah dimulai sejak bulan
Oktober 2012. Sebelumnya pasien telah mendapat perawatan di swasta di
Jakarta serta dilakukan tindakan operasi laparotomi dengan kolostomi. Hasil
pemeriksaan patologi anatomi (PA) pasien terdiagnosa kanker kolon stadium
IIIb. Pasien pernah mendapat kemoterapi sampai terjadi luka ekstravasasi
akibat pemberian kemoterapi daerah pada mata kaki kiri, namun saat ini
hanya terlihat bekas lukanya, pasien tidak tahu berapa kali diberikan
kemoterapi. Empat bulan kemudian sekitar bulan Pebruari 2013 pasien
dirujuk ke RSKD Jakarta. Pasien di RSKD diberikan kemoterapi selama 6
kali dan 1 kali remisi. Pada tanggal 20 pebruari 2014 pasien dilakukan
operasi laparotomi untuk penutupan kolostomi. Satu minggu setelah itu
pasien mengeluh tidak bisa buang air besar dan sudah diberikan tindakan,
namun tetap tidak ada perubahan. Pada saat dilakukan pengkajian pasien
mengeluh bagian bekas jahitan laparotomi di perutnya perutnya terasa nyeri
seperti berdenyut, hilang timbul dengan skala nyeri 6, pasien meringis saat
menahan nyerinya ketika merubah posisi setengah duduk, saat ini pasien
hanya terbaring, setiap mobilisasi miring kanan atau kiri pasien terlihat
menahan nyeri. Pada perut bagian kuadran 3 terpasang selang klem terbuka
dengan produksi cairan yang berwarna kehijauan dengan konsistensi cair
sejumlah 900cc. Terdapat luka jahitan stapler laparotomi mulai dari daerah
gaster sampai dibawah umbilikus dengan panjang luka ± 10 cm, sekitar luka
kemerahan, dari jahitan yang sepertiga atas dan tengah keluar cairan yang
berwarna hijau sejumlah 450cc, dan pus. Jumlah urin 750. Auskultasi: bising
usus 3 kali/mnt, teraba distensi, di sebelah kuadran kanan atas teraba keras.
terpasang infus triway dengan line I amiparen per 12 jam dan line II NaCl
0.9% per 12 jam. Terpasang dower kateter produksi 750 cc dan hasil
perhitungan balance cairan -620 cc.
Pasien sebenarnya tidak mengalami gangguan dalam beraktivitas, akan
tetapi pasien merasa badannya lemah yang menjadikan pasien kurang
bertenaga. Saat ini aktifitas dilakukan di tempat tidur dan pasien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari dibantu oleh perawat dan ibunya. Pasien
tidak mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur,
hanya karena sering tertidur di siang hari maka malam harinya kadang
tidurnya

sampai malam sehingga saat ini istirahat tidurnya tidak ditemukan gangguan.
Persepsi pasien menunjukkan bahwa dia mampu beraktifitas secara normal,
akan tetapi pasien merasakan lemah dan seakan-akan tidak ada energi.
Keluarga memberi dukungan dan membantu dalam mobilisasi dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari.

Hasil riwayat penyakit dahulu pasien tidak memiliki riwayat alergi,


asma ataupun diabetes militus. Hasil riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien ataupun penyakit
kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga tidak ada yang
menderita penyakit pasien. Hasil anamnesa keluarga nenek dan kakek pasien
tidak diketahui karena sudah meninggal. Pasien memiliki riwayat merokok 1
bungkus tiap hari dan suka mengkosumsi mie instan sejak duduk di SMP.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum pasien sakit
sedang dengan kesadaran komposmentis, status ECOG performance (eatern
cooperative oncology group) 4. Observasi tanda-tanda vital; tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 96 x/mnt, pernafasan 22 x/mnt, suhu 37,2oC. bunyi
jantung S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-). Capillary Refill < 3 detik,
akral hangat, wheezing (-), ronchi (-), batuk (-), vocal fremitus simetris paru
kanan-kiri, gerakan paru simetris, retraksi suprasternal tidak ada. Hasil
pemeriksaan laboratorium tanggal 25 Pebruari 2014; hemoglobin 10,9 g/dl,
lekosit 18,31 . 103 /µL, trombosit 398 x 103 /µL, eritrosit 4.98 106 /µL dan
hematokrit 43.7% sedangkan hasil pemeriksaan natrium (Na+) 137 mmol/L,
kalium (K+) 3.5 mmol/L, dan clorida (CL-) 98,1%. Pemeriksaan albumin total
5,6 g/dl, albumin 2,6g/dl dan globulin 3,0 g/dl, sedangkan urem 38 mg/dl dan
kreatinin 0,47 mg/dl.
Terapi medis pasien mendapatkan; infus NaCl 0,9% dosis 500 cc tiap 12
jam melalui intravena, amiparen dosis 500 cc tiap 12 jam melalui intravena,
tramadol 100 mg melalui intravena tiap 8 jam, cefotaksim 1 gram tiap 12 jam
melalui intravena, dan parasetamol 3 x 1 tab, serta diet cair 100 cc tiap 6 jam.

3.2 Penerapan Peaceful End Life Thoery


Asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. S menggunakan teori peaceful
end of life. Teori ini diaplikasikan dengan menguraikan lima konsep mulai dari
nyeri, rasa nyaman, bermartabat, damai, dan kedekatan dengan orang yang
bermakna. Pendekatan lima konsep ini dimulai dari pengkajian dengan
menempatkan dan mengelompokkan data-data pasien ke dalam lima konsep
peaceful end of life.

3.2.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian yang dilakukan pada Tn.S dengan pendekatan teori peaceful
end of life. Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan data pasien
berdasarkan lima konsep dari teori peaceful end of life.

3.2.1.1 Nyeri
Pasien mengeluh nyeri pada bagian abdomen dan menjalar ke sekitarnya.
kualitas nyeri yang dirasakan seperti nyeri di seluruh perutnya seperti
berdenyut, hilang timbul dengan durasi hilang timbul lebih dari 15 menit,
nyeri akan dirasakan saat dilakukan perawatan luka dan saat
menggerakkan tubuhnya untuk miring atau duduk, intensitas nyeri
sedang dengan skala 6 nyeri berkurang jika diistirahatkan. Perilaku
dengan ekspresi menahan nyeri terlihat ketika nyeri itu timbul. Pasien
kadang meringis sambil memegangi perutnya. Pemberian obat dirasakan
oleh pasien, namun beberapa saat saja, nyeri akan timbul kembali ketika
menggerakkan badannya. Nilai skor ESAS 6.

3.2.1.2 Rasa nyaman


Berdasarkan pengkajian terbebas dari rasa kenyamanan pasien berasal
dari adanya nyeri, adanya luka operasi diarea umbilikal yang terus
mengeluarkan cairan yang berbau. Ketidakmampuan dalam merawat diri
pasien dapat dikaji dengan nilai skore ECOG performance 4, semua
aktifitas dibantu oleh perawat dan keluarga. Kepuasan tentang kedamaian
yang sampai saat ini pasien merasa bosan dengan kondisi sakit yang
tidak sembuh-sembuh. Pengkajian perasaan nyaman dikaji dengan
instrumen ESAS diantaranya adalah skor ESAS kelelahan 7.

Aktifitas sehari-hari sebagian di bantu, berpakaian, toileting, dan mandi.


skor ESAS mual 6, skor ESAS tidak nafsu makan 6. Setiap kali cairan
masuk sering dimuntahkan lagi. Cairan masuk melalui oral 100 cc.

3.2.1.3 Rasa bermartabat dan dihargai


Pasien merasa saat merasa senang karena masih merasa diakui sebagai
orang yang bermartabat. Hal ini terlihat selama dirawat temen-temennya
juga banyak yang menjenguk ke rumah sakit dan selama sakit ibunya
selalu menungguinya. Saudaranya juga banyak memberikan dukungan
materiil dan non materiil selama pasien dirawat. Pasien berharap
memperoleh pelayanan terbaik untuk pemulihan fisiknya. Pasien saat ini
merupakan pasien jamkesmas, pasien tidak merasa malu sebagai pasien
jamkesmas justru sebaliknya pasien merasa bersyukur karena biaya
pengobatannya dapat ditanggung oleh pemerintah. Pasien mengaku
sampai saat ini merasa tetap dihargai dan dihormati oleh masyarakat
karena pasien tidak pernah terlibat dengan masalah-masalah atau kasus
yang sifatnya negatif dimasyarakat. Sebelum sakit pasien bekerja sebagai
karyawan, namun kedepan dimungkinkan pasien tidak dapat menjalani
pekerjaan diperusahaannya karena kesehatannya, namun pasien tetap
mempunyai nilai-nilai integritas. Pasien meminta dukungan keluarga
dalam menjalani pengobatan di rumah sakit. Pasien juga minta dukungan
perawat untuk memberikan perawatan yang terbaik bagi dirinya.

3.2.1.4 Kedamaian
Pasien merasa takut, kawatir dan cemas dengan kondisi kesehatannya.
Pasien tidak bisa membayangkan akan menderita sakit seperti ini karena
sebelumnya pasien sehat dan tidak ada keluhan sakit yang parah. Pasien
kadang merasa pesimis dengan kondisi kesehatannya serta proses terapi
yang akan dilanjutkan. Pasien kadang merasa tenang ketika sedang
menjalankan sholat, dan berzikir kepada Alloh. Saat ini pasien sering
mendekatkan diri dan berdoa untuk dirinya. skor ESAS cemas 5, dan
pasien juga masih sering bertanya tentang sakitnya apa bisa sembuh dan
pasien mengatakan bingung apa yang harus dilakukan jika masih sakit
seperti sekarang.

3.2.1.5 Kedekatan dengan orang yang bermakna


Pasien merasa dekat sangat senang ibunya memberi dukungan yang
sangat baik. Hal ini terlihat selama di rumah sakit selalu ditunggu oleh
ibunya dan pemenuhan kebutuhannya selalu dibantu oleh ibunya.

3.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada kasus ini mengacu pada NANDA dalam
melakukan proses asuhan keperawatan. Berdasarkan data hasil pengkajian
maka diagnosa keperawatan adalah sebagai berikut;

1. Nyeri kronis berhubungan dengan proses perkembangan penyakit


akibat infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar ditandai oleh keluhan
nyeri pada bagian abdomen dan menjalar ke sekitarnya. Kualitas nyeri
yang dirasakan seperti nyeri di seluruh perutnya seperti berdenyut,
hilang timbul dengan durasi hilang timbul lebih dari 15 menit. Nyeri
akan dirasakan saat dilakukan perawatan luka dan saat menggerakkan
tubuhnya untuk miring atau duduk. Intensitas nyeri sedang dengan
skala 6 nyeri berkurang jika diistirahatkan. Perilaku dengan ekspresi
menahan nyeri terlihat ketika nyeri itu timbul.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan ketidakmampuan untuk menyerap nutrien akibat faktor biologis
ditandai dengan pasien mengatakan mual, muntah, dan terasa sebah,
berat badan 48 kg, tinggi badan 164cm, IMT 17,8 atau kurus.
Pemeriksaan albumin total 5,6 g/dl, albumin 2,6g/dl, globulin 3,0g/dl,
dan hemoglobin 10,9 gr%.

3. Pembentukan fistula berhubungan dengan keterlambatan pemulihan


paska bedah akibat infeksi ditandai dengan terdapat luka jahitan stapler
laparotomi mulai dari daerah gaster sampai dibawah umbilikus dengan
panjang luka ± 10 cm, dari jahitan yang sepertiga atas dan tengah
keluar cairan yang berwarna hijau sejumlah 450 cc, dan pus, terjadi
iritasi dan kemerahan sekitar luka, lekosit 18,8 x 103.

4. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan asupan


cairan yang tidak adekuat sekunder akibat kanker kolon ditandai dengan
setiap kali cairan masuk sering dimuntahkan lagi, intake cairan
parenteral 2000 ml, per oral 100 ml dan output produksi cairan drain
900 ml, pada kantung stoma 450 ml, urin 750 ml dan IWL 720 ml.
Balance cairan -620 ml.

5. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman dan perubahan status


kesehatannya ditandai dengan skor ESAS cemas 5. Pasien juga masih
sering bertanya tentang sakitnya apa bisa sembuh. Pasien mengatakan
bingung apa yang harus dilakukan jika masih sakit seperti sekarang ini.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
yang ditandai dengan pasien mengeluh lemas dan merasa tidak berdaya.

3.2.3 Penetapan Tujuan


Diagnosa keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan proses
perkembangan penyakit akibat infiltrasi sel kanker ke jaringan. Setelah
dilakukan tindakan manajemen nyeri, pasien akan mampu mengontrol nyeri
(1605) dengan kriteria mampu menyatakan rasa nyaman setelah nyerinya
berkurang, mampu menggunakan non analgesik untuk menghilangkan
nyeri, mampu menggunakan analgetik yang direkomendasikan, mampu
melakukan pencatatan perkembangan nyerinya dengan ESAS.
Diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menyerap
nutrien akibat faktor biologis. Setelah dilakukan tindakan nutritional status
fluid and intake (1008) dan nutritional status nutrien intake (1009) dengan
criteria peningkatan cairan intavena, peningkatan nutrisi parenteral,
masukan kalori, karbohidrat, protein dan lemak.

Diagnosa keperawatan pembentukan fistula berhubungan dengan


keterlambatan pemulihan paska bedah akibat infeksi. Setelah dilakukan
tindakan wound healing; secondary intention (1103) dengan kriteria terjadi
penurunan ukuran luka, pus tidak ada, tidak ada tanda inflamasi sekitar luka,
tidak ada eritema sekitar luka, tidak ada fistula atau tanneling.
Diagnosa keperawatan resiko ketidakseimbangan volume cairan
berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder akibat
kanker kolon. Setelah dilakukan tindakan nutritional status food & fluid
intake (1008) dengan kriteria pemasukan cairan secara intravena dan
pemasukan cairan secara parenteral.
Diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan adanya ancaman
dan perubahan status kesehatannya. Setelah dilakukan tindakan anxiety self
control (1402) dengan kriteria pasien dapat mencari informasi yang dapat
menurunkan kecemasannya, pasien mampu merencanakan strategi koping
yang efektif, mampu menggunkan teknik relaksasi untuk menurunkan
cemas.
Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik tingkat 3
berhubungan dengan penurunan kekuatan. Setelah dilakukan tindakan body
positioning self initiated (0203) dengan kriteria pasien mampu berganti
posisi dari tidur ke duduk, dari duduk ke berdiri, dan pasien mampu berjalan
kedepan dan mundur ke belakang.
3.2.4 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dilakukan dalam asuhan keperawatan pasien kanker kolon
ini mengacu pada NIC (nursing intervention classification)
3.2.4.1 Pain Management (1400)
Tindakan utama yang dilakukan adalah melakukan pengkajian secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, onset, dan durasi secara
berkala. mengajarkan teknik nonfarmakologi berupa relaksasi nafas
dalam dan dan imajinasi terbimbing saat merasakan nyeri, memberikan
obat analgetik tramadol 3 x 100 mg lewat intravena, menganjurkan
pasien untuk beristirahat yang cukup dan mengevaluasi keefektifan
kontrol nyeri pasien setelah dilakukan intervensi keperawatan.

3.2.4.2 Nutrition Therapy (1120)


Tindakan yang dilakukan adalah melakukan pengkajian kebutuhan nutrisi
secara yang lengkap dan tepat, memonitor makanan dan cairan yang
masuk dan menghitung intake kalori, melakukan kolaborasi dengan diet
terkait kebutuhan kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan pasien,
memilihkan nutrisi tambahan yang tepat, memberikan pasien nutrisi
tinggi protein dan kalori, memonitor kadar albumin, hemoglobin dan
hematokrit.

3.2.4.3 Woundcare: Closed Drainage (3662)


Tindakan yang dilakukan adalah menutup luka dengan system drainage
atau parcel dressing dengan menggunakan kantong stoma, mencatat
volume dan karakteristik cairan yang keluar, memonitor kantong stoma
tidak ada penyumbatan drainase, mengganti dressing, dan membuang
sisa kotoran serta cairan drainage.

3.2.4.4 Fluid Management (4120)


Tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan catatan intake dan
output yang akurat, memonitor status hidrasi seperti kelembaban mukosa
mulut, nadi dan tekanan darah orthostatik, melakukan kolaborasi
pemberian cairan intravena dan pemberian cairan melalui parenteral,
memonitor keseimbangan cairan.
3.2.4.5 Anxiety Reduction (5820)
Tindakan yang dilakukan adalah melakukan pendekatan yang
menentramkan pasien, menjelaskan semua prosedur yang akan
dilakukan, memberikan informasi yang nyata tentang diagnosis dan
pengobatannya, membantu pasien dalam mengambil keputusan,
membantu pasien mengidentifikasi situasi dan faktor pencetus cemas,
dukung aktifitas yang dapat menurunkan kecemasan, anjurkan pasien
untuk melakukan relaksasi.
3.2.4.6 Energy Management (0180)
Tindakan yang dilakukan adalah memonitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah latihan dan melihat respon pasien saat latihan,
mengkonsultasikan dengan fisioterapis tentang rencana ambulasi sesuai
kebutuhan.

mengajarkan pada pasien dan keluarga tentang tehnik ambulasi,


melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara mandiri,
mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan membantu
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mengajarkan bagaimana merubah
posisi dan memberikan bantuan jika diperlukan.
3.2.5 Evaluasi
Tindakan evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses asuhan
keperawatan yang dilakukan. Evaluasi perkembangan pasien dilakukan
dengan menilai efektifitas dari implementasi keperawatan.
3.2.5.1 Nyeri Kronis
Setelah dilakukan tindakan manajemen nyeri baik secara farmakologi
dan non farmakologi keluhan nyeri pasien berkurang dengan penilaian
skala nyeri 3. Pasien mampu menggunakan tehnik relaksasi dan distraksi
serta mampu mencatat perkembangan nyeri yang dirasakannya dengan
melakukan pengkajian ESAS. Manajemen nyeri tetap dilakukan selama
pasien mengeluh nyeri.
3.2.5.2 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Setelah dilakukan nutritional status fluid and intake dan nutritional
status nutrien intake, pasien menerima tambahan terapi parenteral
climinix 1000cc tiap 24 jam dan amiparen 500cc tiap 12 jam, masukan
kalori, karbohidrat, protein dan lemak. Masukan nutrisi cair melalui oral
300cc setiap hari tidak dimuntahkan.
3.2.5.3 Pembentukan Fistula
Setelah dilakukan intervensi terjadi penurunan ukuran luka yang semula
10cm menjadi 3 cm berupa fistula di bekas jahitan atas dan 2 cm berupa
fistula di bekas jahitan tengah. Eksudat pus produksi sedikit dan produksi
dari kedua fistule 950 ml, berwarna hijau dan berbau feses, tidak terjadi
iritasi sekitar luka
3.2.5.4 Risiko Ketidakseimbangan Volume Cairan
Setelah dilakukan intervensi keperawatan nutritional status food & fluid
intake pemberian terapi melalui pemasukan cairan amiparen secara
intravena 1000 ml dan pemasukan cairan climinix secara intravena 1000
ml dan oral 400 ml. Balance cairan intake cairan parenteral 2000 ml, per
oral 500 ml dan output produksi, pada kantung stoma 950 ml, urin 850
ml dan IWL 720 ml. Balance cairan -120 ml.

3.2.5.5 Ansietas
Setelah dilakukan tindakan dalam mengatasi kecemasan, maka pasien
dapat beradaptasi dengan kecemasannya dengan skor ESAS 2. Hal ini
ditunjukkan dengan wajah yang lebih rilek dan tenang. Pasien
mengatakan ketenangan terasa ketika mendekatkan diri pada Alloh.

3.2.5.6 Hambatan Mobilitas Fisik


Setelah dilakukan tindakan body positioning self initiated pasien sudah
mampu ke toilet sendiri, duduk, berdiri dan berjalan tanpa bantuan,
namun aktifitas pasien tidak dapat dilakukan terlalu lama dan pasien
masih mengeluh kelelahan jika terlalu lama aktifitas. Tanda-tanda vital
tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 68x/menit, pernafasan
18x/menit. Skor ESAS kelemahan 2, Nilai ECOG 2.

3.3 Edukasi Perawatan Kolostomi Berdasarkan Evidence Based Nursing


Kejadian infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi luka laparotomi yang
letaknya berdekatan dengan kolostomi. Lubang stoma yang mengeluarkan
cairan dan feses dimungkinkan dapat mengkontaminasi luka laparotomi
(Murwani, 2009). Penggunaan kantong stoma menurut penelitian Lyiod,
(2000) menemukan adanya masalah kulit seperti dermatosis termasuk iritasi
yang disebabkan oleh kebocoran tinja dan cairan. Selain itu juga
ditemukannya penyakit psoriasis, infeksi dan reaksi alergi terhadap
pemakaian kontung stoma. Hasil penelitian Piccinellil, Brazzale, dan Saracco,
(2009) menunjukkan bahwa dari 48 pasien, 35 (73%) menyatakan tidak ada
masalah kulit tapi secara keseluruhan 27 pasien memiliki gangguan kulit dan
13 terdeteksi oleh perawat stoma memiliki erosi kulit.
Keberadaan stoma pada pasien akan menimbulkan masalah psikologis
yang secara signifikan akan mempengaruhi angka morbiditas pasien,
kurangnya pengetahuan tentang kolostomi dan perawatannya dapat diatasi
dengan adanya edukasi pre dan post operasi serta dukungan psikologis dari
keluarga. Edukasi tentang kolostomi akan berdampak pada peningkatan
kesejahteraan dari pasien. Peningkatan biaya akibat dari perawatan yang lama
paska operasi yang disebabkan oleh karena pasien yang belum mampu
melakukan perawatan kolostomi secara mandiri.

Perawatan kolostomi seharusnya diajarkan pada pasien dan keluarga sebelum


operasi dan setelah operasi. Singkatnya masa perawatan 2-4 minggu
membuat pasien belum dapat sepenuhnya terlatih dalam teknik perawatan
kolostomi sebelum pulang (Smeltzer & Bare, 2006). Tidak dilakukannya
edukasi perawatan luka meningkatkan pembiayaan yang lebih besar. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan dengan tidak
adanya edukasi perawatan stoma di inggris mencapai $ 2,104 tiap pasien atau
sekitar Rp. 20.000.000,-(Sanjay, 2005).
Edukasi perawatan kolostomi dengan menghadirkan audiovisual
sebagai media merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan untuk
mempercepat kemandirian pasien dalam perawatan kolostomi. Media
audovisual yang digunakan dalam edukasi perawatan kolostomi akan
memudahkan dalam menjelaskan prosedur, ketrampilan dan pengetahuan
yang terkait dengan kolostomi. Upaya ini yang pada akhirnya mampu
menurunkan biaya yang harus dikeluarkan dalam perawatan kolostomi. Salah
satu peneliti dari Inggris menggunakan edukasi perawatan stoma dengan
media audovisual sebagai salah satu cara dan telah membuktikan bahwa
edukasi perawatan kolostomi sebelum dan sesudah operasi dengan
menggunakan media audovisual mampu mempercepat lama perawatan dan
tentunya dapat menurunkan biaya perawatan (Sanjay, 2005).

Peran perawat untuk memberikan edukasi perawatan stoma diawal akan


menurunkan masalah yang mengganggu pada stoma. Tujuan umumnya
adalah menerapkan edukasi tentang perawatan kolostomi pada pasien pre dan
post operasi yang berdasarkan hasil-hasil riset terkini (evidence-based
nursing practice), sedangkan tujuan khususnya adalah melakukan studi
literatur untuk memperoleh bukti ilmiah tentang edukasi perawatan kolostomi
pada pasien yang dilakukan operasi kolostomi, mengujicobakan edukasi
perawatan kolostomi dengan menggunakan audiovisual untuk meningkatkan
ketrampilan pasien dalam perawatan stoma dan mengevaluasi penerapan
edukasi perawatan kolostomi dengan audiovisual pre dan post operasi.
Berdasarkan telaah beberapa jurnal hasil penelitian yang telah dikritisi dan
memiliki clinical significant, edukasi perawatan kolostomi pada pasien

kanker mampu memberikan manfaat dalam meningkatkan atau mempercepat


kemandirian pasien dalam perawatan luka, menurunkan lama rawat dirumah
sakit, menurunkan biaya perawatan dan menurunkan kecemasan akibat dari
ketidakmampuan dalam merawat stoma (Sanjay, 2005).
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Asuhan Keperawatan pada Kanker Kolon dengan Pendekatan Teori Peaceful
End of Life
Tn. S merupakan seorang karyawan yang kesehariannya bekerja di dealer
motor. Sejak usia 12 tahun Tn. S sudah mulai merokok dan menyukai makanan instan
seperti mie. Tn. S mulai didiagnosa kanker kolon sejak bulan Oktober 2012.
Sebelumnya Tn.S telah mendapat perawatan di RS swasta serta dilakukan tindakan
operasi laparotomi dengan kolostomi. Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA)
pasien terdiagnosa kanker kolon stadium IIIb. Pasien pernah mendapat kemoterapi
sampai terjadi luka ekstravasasi akibat pemberian kemoterapi daerah pada mata kaki
kiri, namun saat ini hanya terlihat bekas lukanya. Tn. S tidak tahu berapa kali
diberikan kemoterapi. Empat bulan kemudian sekitar bulan Pebruari 2013 pasien
dirujuk ke RS. Pasien di RSdiberikan kemoterapi selama 6 kali dan 1 kali remisi.
Pada tanggal 20 pebruari 2014 pasien dilakukan operasi laparotomi untuk penutupan
kolostomi.
Berdasarkan hasil pengkajian riwayat kesehatan keluarga Tn. S tidak ada yang
menderita penyakit kanker, demikian juga keluarga dari ibu dan bapak pasien tidak
ada yang menderita penyakit kanker kolon. Salah satu faktor predisposisi dari
penyakit kanker adalah faktor genetik. Pengaruh genetik yang berasal dari sindrom
karsinoma poliposis dapat menjadi predisposisi genetik timbulnya penyakit kanker.
Terdapat pengaruh dari sejumlah sidroma genetik menurut hukum mandel dan
kecenderungan terjadi pada tumor jinak dan ganas. Garis keturunan pertama (first
degree relatives) dari pasien yang menderita karsinoma kolorektal mempunyai risiko
tiga kali lipat lebih besar (Kamp, 2004; Sjamsuhidayat, 2006). Melihat hasil
pengkajian pada Tn. S sangat dimungkinkan tidak disebabkan oleh faktor genetik.

Hasil anamnesa pasien memiliki riwayat merokok 1 bungkus tiap hari dan suka
mengkosumsi mie instan sejak duduk di SMP. Respon tubuh terhadap tembakau pada
rokok dapat memicu adanya mutasi P53. Protein dengan berat 53 dalton atau P53
merupakan tumor suppressor genes yang berfungsi untuk menghambat proliferasi sel,
berhentinya aktifitas P53 akan memicu terjadi kanker (Evelyn, 2013). Hasil penelitian
Pfeifer (2002), menemukan adanya mutasi P53 yang lebih tinggi pada perokok
dibandingkan dengan yang tidak merokok.

55
Adanya mutasi P53 akan menyebabkan perubahan peran dari P53 dalam
mengendalikan pertumbuhan sel kanker. Pengaruh makanan seperti mie instan
dimungkinkan dapat menjadi salah satu resiko penyebab kanker. Permukaan mie instan
dilapisi oleh lilin sehingga tidak pernah lengket satu dengan yang lainnya. Tubuh
membutuhkan waktu dua hari untuk mencerna zat ini. Efek zat lilin yang terus
menumpuk di dalam kolon, akibat dari kosumsi yang terus menerus akan menyebabkan
penumpukan zat lilin pada daerah kolon yang pada akhirnya dapat memicu terjadi kanker
kolon.
4.1.1 Aplikasi Teori Peaceful End of Life
Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada Tn. S ini menggunakan pendekatan teori
peaceful end of life. Pendekatan teori ini sangat tepat diterapkan pada pasien paliatif
dan saat ini Tn. S sudah didiagnosis kanker dengan stadium lanjut atau IV, sehingga
pengobatan ataupun terapi yang diberikan kepada pasien bersifat paliatif. Pengkajian
dengan pendekatan teori ini mampu mengkaji dan mengekplorasi secara lebih dalam
akan kondisi yang sangat dirasakan oleh pasien. Pendekatan pengkajian ini dilakukan
secara aktif dengan penuh kasih sayang, menghibur, mendukung dari suatu kondisi
yang mengancam kehidupannya, sehingga pasien memperoleh kenyamanan saat
pengkajian dilakukan. Pelaksanaan pengkajian ini harus dilandasi kepercayaan dan
keakraban perawat dengan pasien sehingga masalah-masalah sifatnya pribadi dapat
digali lebih jauh (Ciplaskey, 2014).

4.1.2 Penerapan Teori Peaceful End of Life Pada Kasus Kelolaan


Alasan pendekatan teori peaceful end of life ini penulis aplikasikan pada tiga
puluh kasus keloaan karena rata-rata pasien kelolaan merupakan pasien paliatif atau
stadium lanjut. Kondisi keparahan pada stadium lanjut akan banyak memunculkan
masalah masalah yang bersifat komplek. Keperawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien kanker. Perawatan paliatif adalah suatu pendekatan
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi masalah terkait dengan penyakit yang mengancam nyawa melalui
pencegahan dan mengurangi penderitaan. Tindakan pencegahan diantaranya dengan
cara mengidentifikasi dini, pemeriksaan yang baik, terapi rasa sakit, dan
menyelesaikan masalah psikososial, dan spiritual (Rasjdi, 2010).
Pendekatan teori peaceful end of life sangat tepat diterapkan pada pasien
dalam kasus kelolaan. Teori ini mampu memberikan kontribusi dalam peningkatan
pengetahuan terutama tentang intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat dalam
menciptakan atau membantu pasien dalam mencapai akhir hidup yang damai. Akhir
kehidupan yang damai menjadi harapan baru untuk pasien terminal atau paliatif.
Keterbukaan untuk melihat kenyataan yang sebenarnya melalui diskusi yang positif
akan memberikan kesadaran untuk bertindak secara rasional (Ruland & Moore, 1998).
Penerapan teori ini dapat memberikan inspirasi atau ide baru perawat dalam
menjalankan tugasnya dalam merawat pasien paliatif. Perasaan damai, nyaman,
dihargai, dan adanya kedekatan dengan keluarga serta terbebas dari rasa sakit
merupakan impian yang ingin dicapai pasien paliatif.

Kondisi sakit yang parah pada pasien akan menempatkan keluarga sebagai
bagian yang penting. Keterlibatan keluarga dalam perawatan menjadi bagian yang
harus diutamakan selain mengelola keluhan pasien. Proses asuhan keperawatan pada
pasien paliatif akan menempatkan intervensi keperawatan yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh pasien. Pengkajian yang dilakukan diharapkan mencakup
masalah rasa nyeri, merasakan adanya ketidaknyamanan, perasaan tidak bermartabat
dan dihormati, tidak merasakan adanya kedamaian, dan merasakan tidak adanya
kedekatan dengan orang yang bermakna (Alligood & Tomey, 2010).

Hampir semua pasien kelolaan melaporkan adanya keluhan yang dirasakan


secara umum meliputi masalah rasa nyeri, merasakan adanya ketidaknyamanan,
perasaan tidak bermartabat dan dihormati, tidak merasakan adanya kedamaian, dan
merasakan tidak adanya kedekatan dengan orang yang bermakna. Fokus pada
pengkajian dengan pendekatan teori peaceful end of life adalah menciptakan
kenyamanan, kedamaian dengan melibatkan keluarga (Alligood & Tomey, 2010).
Seringkali prioritas pasien dalam perawatan adalah kualitas hidup dan bukan
kesembuhan dari penyakitnya. Pasien lebih cenderung untuk memilih hidup yang
singkat, namun bahagia daripada hidup yang lama tapi penuh dengan keterbatasan dan
ketergantungan (Rasjidi, 2010).
4.2 Edukasi Perawatan Kolostomi dengan Audovisial Sebagai Evidence Based
Nursing
Stoma merupakan suatu lubang yang ada di dinding perut hasil dari tindakan
operasi yang dilakukan oleh dokter yang bertujuan untuk mengeluarkan feses.
Pembuatan stoma bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, meskipun
kondisi ini dapat mempengaruhi pasien secara individu karena pasien akan lama
hidup dengan stoma. Kondisi kehidupan pasien dengan stomanya sampai bertahun-
tahun dan bisa selamanya hidup dengan stoma. Edukasi perawatan stoma yang
dilakukan oleh perawat diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup dari pasien
(Danielsen, 2013).

Pasien dengan stoma menghadapi isu, anggapan tabu akan tindakan seperti ini
menyebabkan pasien malu dan tertekan. Proses rehabiltitasi dengan memberikan
informasi, pendidikan, dorongan dan konseling akan meningkatkan kualitas hidup
mereka menjadi meningkat (Diament, 2009). Upaya dalam meningkatkan
pengetahuan diantaranya dengan memberikan informasi melalui edukasi yang jelas
dan tersetruktur sesuai dengan kebutuhan pasien. Penerapan eveidence base practice
tentang perawatan sangat dibutuhkan oleh pasien.

Edukasi merupakan salah satu tindakan yang penting dalam asuhan


keperawatan Pembentukan kolostomi merupakan suatu tindakan yang biasa dilakukan
setalah dilakukan operasi kolorektal. Sebelum dilakukan tindakan pembentukan
kolostomi dilakukan suatu tindakan konseling atau edukasi tentang stoma, terutama
perawatan kolostomi yang bertujuan untuk mempercepat kemandirian pasien dalam
merawat kolostominya setelah operasi dan untuk mempercepat rawat lama tinggal
dirumah sakit. Perbandingan antara pasien yang diberikan konseling dan edukasi
sebelum operasi dengan yang tidak diberikan edukasi dan konseling terjadi perbedaan
dalam masa rawat dirumah sakit. Bedasarkan hasil penelitian dari Younis, J., Salemo,
G, Fanto, D., Hdjipavlou M., Chellar D., Trickett, J.P. (2011), yang berjudul focused
preoperative patient stoma education, prior to ileostomi formation after anterior
resection, contributes to areduction in delayed discharge within the enhanced
recovery programme meneliti 120 pasien yang dilakukan ileostomi dengan tidak
dilakukan konseling menunjukan bahwa masa perawatan rata-rata mencapai 14 hari
dengan rentang waktu 7-25 hari, sedangkan pasien yang dilakukan konseling dan
edukasi rata-rata masa perawatan dirumah sakitnya 8 hari dengan rentang 3–17 hari.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Danielsen dan Rosenberg, (2014) tentang
health related of life may increase when patient with a stoma attend patient education
menunjukkan bahwa edukasi yang tepat sebelum operasi dapat mengurangi waktu
perawatan dengan mempercepat kemahiran dalam perawatan stoma selain itu juga
membantu meningkatkan pengetahuan pasien tentang stoma.

Tujuan edukasi perawatan stoma adalah untuk mengajarkan pasien tentang


perawatan stoma sehingga pasien secara mandiri dapat melakukan perawatan stoma.
Kemandirian pasien ini diharapkan akan mempercepat masa rawat dan
ketergantungan pasien dengan perawat stoma. Pada pelaksaan penerapan edukasi
perawatan dengan audovisual ini, penulis menemukan adanya dampak yang sangat
penting dari sekedar kemampuan ketrampilan merawat stoma yaitu adanya
empowering pasien setelah melihat vidio perawatan stoma. Vidio perawatan ini
memberikan inspirasi akan kondisi pasien selanjutnya. Gambaran perawatan stoma
yang sederhana dan mudah mampu memotivasi pasien, bahwa setelah operasi akan
mampu melakukan perawatan secara mandiri seperti apa yang dilihat dalam vidio
perawatan stoma. Penelitian Metcalf (1999), tentang stoma care empowering patient
through teaching practical skill menunjukkan bahwa dalam proses edukasi perawatan
stoma yang dilakukan oleh perawat spesialis akan mampu membantu adaptasi pasien
dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Hal ini memperkuat hasil
penerapan EBN tentang perawatan kolostomi yang penulis lakukan, bahwa edukasi
yang dilakukan juga berdampak pada keinginan dan dorongan yang besar untuk
melakukan perawatan secara mandiri.
Penerapan edukasi dengan audovisual ini merupakan hasil dari penelitian
Sanjay Chaudhri, M.S., F.R.C.S., Lesley Brown, R.G.N., Imran Hassan, M.D., Alan F.
Horgan, M.D., F.R.C.S.(Gen) dengan judul Preoperative Intensive, Community-Based
vs. Traditional Stoma Education yang dilakukan pada tahun 2005.
Hasil penelitian ini menunjukkan kemandirian pasien lebih cepat, lama rawat pasien
lebih singkat, cost-efffectiveness pada kelompok intervensi dapat menghemat $ 2.104
setiap pasiennya serta nilai rata-rata tingkat kecemasan dan depresi pada kelompok
intervensi lebih rendah dari kelompok kontol. Hasil penelitian ini masih relevan untuk
diaplikasikan oleh klinisi dalam melakukan pendidikan kesehatan tentang perawatan
kolostomi dan ileostomi dengan menggunakan media audovisual.
Penggunaan media audiovisual dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada
pasien dan keluarga. Penerapan hasil penelitian ini sangat memungkinkan untuk
diaplikasikan di rumah sakit. Penggunaan smartphone dapat mempermudah dalam
pelaksanaa pendidikan kesehatan menggunakan audiovisual.
Kesimpulan dari evidence based nursing tentang perawatan kolostomi ini
bahwa edukasi dengan media audiovisual dapat di aplikasikan di RSKD Jakarta.
Pengembangan edukasi dengan audiovisual ke depat dapat dikembangkan dengan
memanfaatkan fasilitas TV kabel yang ada di RSKD. Ketersediaan fasilitas untuk
mengakses film-film yang berisi tentang edukasi baik sebagai promosi kesehatan
ataupun memberikan informasi tentang pencegahan, pengobatan, atau rehabilitatif,
sehingga tayangan televisi yang ada dirumah sakit dapat memberikan pengetahuan
bagi pasien dan keluarga.
Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan pasien tentang kolostomi
merupakan salah satu bagian yang bertujuan memandirikan pasien dan keluarga dalam
merawat dirinya. Memberikan panduan yang praktis merupakan suatu langkah yang
juga dirumuskan dalam penerapan teori peaceful end of life. Panduan praktis ini
diharapkan mampu membangkitkan kepercayaan pasien dalam merawat dirinya.
Akhir dari tindakan ini adalah kepuasan pasien akan dirinya sehingga perasaan
bermartabat, dihormati, dan kedamaian dapat dicapai. Elemen damai dan bermartabat
termasuk dalam konsep yang ada dalam teori peaceful end of life. Konsep ini
memberikan panduan kepada perawat dan pasien untuk mengfokuskan tindakan
keperawatan yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian (Ruland & Moore,
1998).
Konsep teori peaceful end of life sangat relevan diterapkan pada pasien yang
sakit parah atau dalam kategori terminal seperti pasien kanker dengan kolostomi.
Penderitaan yang dirasakan pasien akan penyakitnya terus ditambah dengan adanya
kolostomi di perunya akan semakin menambah beban yang harus dirasakan terus-
menerus oleh pasien. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus
sehingga tidak terjadi koping yang maladaptif. Pendekatan teori peaceful end of life
memberikan suatu solusi dalam pengelolaan pasien dengan sakit kanker. Struktur teori
peaceful end of life menempatkan sistem kekeluargaan sebagai bagian utama dari
pasien yang sakit terminal.
Pasien akan menerima perawatan secara profesional di rumah sakit. Proses
asuhan keperawatan akan menetapkan dan merancang intervensi keperawatan sangat
mempertimbangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pasien, diantaranya; bebas
dari rasa nyeri, merasakan kenyamanan, perasaan bermartabat dan dihormati,
merasakan kedamaian, dan merasakan adanya kedekatan dengan orang yang
bermakna (Ruland & Moore, 1998).

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab 5 ini berisi kesimpulan dari uraian yang terkait dengan asuhan
keperawatan dengan pendekatan teori peaceful end of life, penerapan EBN

5.1 Kesimpulan
Penerapan lima konsep teori peaceful end of life dalam pengelolaan asuhan
keperawatan dapat dijadikan kerangkan kerja dalam mencapai tujuan yang ingin
dicapai oleh pasien dengan kanker yaitu mencapai kehidupan yang damai.
Pendekatan lima konsep ini meliputi; tidak nyeri, nyaman, dihargai, damai dan
kedekatan. Fokus teori peaceful end of life bukan pada kematian, namun lebih
mengarah pada pencapaian kehidupan yang damai, berarti bagi keluarga dan orang
lain diakhir kehidupannya. Teori peaceful end of life sangat tepat diterapkan pada
pengelolaan asuhan keperawatan pada pasien kanker karena teori ini dengan lima
konsepnya mampu menilai secara spesifik kondisi pasien dengan penyakit kanker.
Edukasi perawatan kolostomi merupakan bagian yang terpenting dalam
asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat profesional kepada pasiennya
untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pasien. Metode
edukasi yang disajikan dengan audovisual lebih mudah diterima pasien serta
mampu memberikan suatu dorongan yang positif kepada pasien. Edukasi
perawatan kolostomi dengan audovisual mampu memotivasi pasien, bahwa setelah
operasi pasien merasa mampu untuk melakukan perawatan secara mandiri seperti
apa yang dilihat dalam vidio perawatan kolostomi.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Pelayanan Keperawatan


Penerapan teori peaceful end of life harus terus menerus dilakukan kajian
dan pengembangan oleh perawat terutama yang berada di lapangan. Kemanfaatan
yang dirasakan pasien dengan pendekatan teori ini merupakan tantangan perawat
untuk terus memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dan bermutu.
Pengembangan teori peaceful end of life pada pasien kanker mampu memberikan
arah dalam praktik keperawatan profesional yang selanjutnya akan memberikan
hasil yang lebih optimal.

62
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Askep tentang teori peaceful end of life pada pasien kanker, sakit yang
parah atau paliatif harus terus digali lebih dalam untuk meningkatkan mutu asuhan
keperawatan. Penerapan dan pengembangan teori ini merupakan suatu tugas yang
harus dilakukan oleh dosen, perawat, ataupun mahasiswa untuk memberikan suatu
palayanan yang terbaik pada pasien kanker.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah., Murdani. (2006). Tumor kolorektal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta.

Ackley, J.B., Ladwig, B.G., Swan, B.A., Tucker, S.J. (2006). Evidence Based
Nursing Guidline Medical Surgical Intervention. St. Louis: Mosby Elvesier.

Alberta Health Services & Convenan Health. (2010). Edmonton Symptom


Assessment System. Edmonton Symptom Assessment System (ESAS-r).doc

America Nursis Association. (2014). Nursing Process. Diakses dalam


www.nursingworld.org

American Cancer Society. (2011). Colorectal Cancer Detailed Guide. Diakses


dalam www.nice.org.uk

Anaraki, F., Vafaie, M., Behboo, R, Maghsoodi, N., Esmaeilpour, S., Safaee, A.
(2012). Qualty of Life Outcome in Patients With Stoma. Indian Journal
paliative Care. Vol 18. Issue 3. Page 176-180.

Black, J.M., Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing. Ed 8. Sauder


Elsevier.

Bussing, A., Balzt, H.J., Heusse, P. (2010). Spiritual Need of Patients with
Chronic Pain Disease and Cancer Validation of the Spiritual Need
Questionaire. European Journal Medical research. Vol. 15. Page. 266-273.

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochtermen, J.Mc.C. (2004). Nursing


Intervention Classification (NIC). 5ed. Mosby Elsevier. United Stated of
America.

Boyle., Boffetta., Autier. (2008). Diet, Nutrition And Cancer. Annals of Oncology.
Vol 9. Issue 10. Page 1665-1667

Carvajal, A., Centeno, C., Watson, R., Bruera. (2011). A Comprehensive Study of
Psychometric Properties of The Edmonton Sysmptom Assessment System
(ESAS) in Spanish Advanted Cancer Patiens. European Journal Of Cancer.
Page 1863-1872. Elvesier.

Carville, K. (2007). Wound Care Manual. 5edition. Silver Chain Foundation.


Australia.

Chaudhri, S., M.S., F.R.C.S., Lesley Brown, R.G.N., Imran Hassan, M.D., Alan F.
Horgan, M.D., F.R.C.S.(Gen). (2005). Preoperative Intensive, Community-
Based vs. Traditional Stoma Education: A Randomized,
Controlled Trial. The American Society of Colon and Rectum Surgeon.
Texas.
Ciplaskey, L.M. (2014). End of Life: Are Nurse Educationally Prepared. RN
Journal. Times Publising. rnjournal.com/journal

Dalal, S., Bruera, E. (2004). Dehydration in Cancer Patients: To Traet or Not To


Treat. The Journal of suportif Oncology. Vol. 2. No.6: 467-486.

Danielsen, A.,K., Rosenberg, J. (2014). Health Related of life may increase when
patient with a stoma attend patient education Case Control study. www
plosone.org. Vol 1. Issue 3. 1-6.

Danielsen, A.K (2013). Dealey, C. (2005). The Care of Wound. 3rd edition.
London: Blacwell Publishing.

Corwin, E., J., (2009). Patofisiologi: Buku Saku. EGC. Jakarta.

Depkes. (2006). Gaya hidup penyebab kolorektol. (Online). Diakses dalam


http://www.depkes.go.id

Desen Wan, (2011). Onkologi Klinik. Ed.2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

DeLaune, S.C & Ladner, P.K. (2002). Fundamental of Nursing: Standart and
Practice. 2thed. New York. Delmar Thomson Inc.

Dhillon, W., Noor, N.A., Gill, A., Gupta, N., DeBari, V., Maroules, M., (2009).
Impact of Deep Breating and Relaxation on Health Related Quality of Life
in Breast Cancer Patiens Receiving Chemotherapy. The Journal of Cancer
Research. Vol.69 Issue 24.

Diament, R.H. (2009). Clinical Nurse Specialist Stoma Care. Royal Collage of
Nursing. Safron House Published.

Dunford, E., Thompson, M. (2010). Relaxation and Mindfulness in Pain: A


Review. British Journal of Pain. Vol.4 No.1. 18-22

Evelyn, Dr, Sp.PA. (2013). Replikasi Sel. Disampaikan dalam pelatihan


kemoterapi di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta

Golipour, B (2014). Diet High in Meat Proteins Raises cancer Risk for Middle
Age People. Scientific American. www.scientificamerican.com

Half, E., Bercovich, D., Rozen, P. (2009) Familial Adenomatous Polyposis.


Orphanet Journal OF Rare Diseases. Vol 4. No 22.

Halter, M.J.,(2010). Foundation of Psyichiatric Mental Health Nursing: A


Clinical Approach. 7ed. Elsevier Saunder Inc.
Healthcare Improvement Scotland. (2011). Sign 126. Diagnosis and Management
of Colorectal Cancer. A national Clinical Guidline. www.sign.ac.uk

HPEQ. (2012). Standar Kompetensi Perawat. PPNI, AIPNI, AIPDikTI. Jakarta.


http://hpeq.dikti.go.id

Hoedema, R., Suryadevara. (2010). Enterostomal Therapy and Wound Care of


Enterocutaneus Fistula Patient. Clinics and Colon Rectal surgery. Vol. 3.
No. 23: 161-168

Jones, J., Muzio, B. (2005). ECOG Performent Status. radiopaedia.org

Joaqium, A., Custodiol, S., Oliveira, A., Pimentel, F.L. (2012). Differnces
between Cancer Patient’ Symptoms Reported Themselves and in Medical
Records. Cancer and Clinical Oncology. Vol 1. No.1. www.ccsenet.org

Kamp, Z, Trilwell, C, Saiber, O., Silver, A., Tolinson I, (2004). An Update on The
Genetic of Colorectal Cancer. Human Molecular Genetic. Vol. 13. Issue 2.

Kanker Kolorektal. Rumah sakit Kanker Dharmais. www.dharmais.co.id

Kashani, F., Babaee, S., Bahrami, M., Valiani, M. (2012). The efects of Relaxation
on Reducing depression, Anxiety and Stress in Women who Underent
mastectomy for Breast Cancer. Iranian Journal Nursing and Midwifery
Risearch. Vol.17. No.1: 30-33

Kizil, M., Fatih, O., Besler H.J. (2011). A Review the Formation of Carcinogenic
Heterocyclic Aromatic Amines. Food processing and Technlogy. Vol. 2.
Issue 5.

Kozier, B., Erb, G., Snyder S., Berman, A. (2009). Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis. Ed.5. EGC. Jakarta

Lucey, M., Conroy, M., Ryan. (2012). Exploring the Chalenges of Implementing
the Edmonton Symptom Scale In A Specialist Paliative Care Unit. Journal
Paliative Care And Medicene.

Lukosius, B.D., DiCenco, A. (2004). A framework for the Introduction and


Evaluation of Advanced Practice Nursing roles. Advant Practice Nursing
Rules. Blackwell Published Ltd.

Lyon C.C., Smith A.J., Griffiths CE, Beck M.H. (2000). The Spectrum of Skin
Disorders in Abdominal Stoma Patients. The British Journal Of
Dermatology. Vol. 143 (6), pp. 1248-60.

Lorenzo, F., Ballatori, E., DiCostanzo, F., Giacolano, A., Ruggeri, B., Tirelli, U.
(2004). Improving information to Italian Cancer Patient: Result of a
Randomized Study. Annals of Oncology. Vol. 15 No. 5: 721-725.
Melnyk., Fineout, O., (2005). Evidence Base Practice in Nursing & Healthcare.
Lippincott William & Wlikins

Metcalf, C. (1999). Stoma Care Empowering Patient Through Teaching Practical


Skill. Bristish Journal of Nursing. Vol. 8 Issue 9. Page 593.

Muwarni. (2009). Keterampilan Dasar Praktek Klinik Lapangan. Yogyakarta:


Fitramaya.

Moro, C. et. Al. (2005). Edmonton symptom assessment scale: Italian validation
in two palliative care settings. Support Care Cancer. Vol 14: 30–37

Myers, Celia. (1996). Stoma care nursing a patient-centred approach. London:


Arnold.

Narayanasamy, A. (2003). Spiritual coping Mechanisms in Chronically Patients.


PubMed.Gov. Vol. 8. No.11: 1461-1470.

Nilsson, L.M., Winkvist, A., Johansson, I., Lindhl, B., Hallmans, G., Lenner, P.,
Guelpen, B.V. (2013). Low Carbohydrate, High Protein Diet Score Risk Of
Incident Cancer: A Prospective Cohort Study. Nutrition Journal. Vol 12.
Issue 58.

O, Cannor, G. (2005). Teaching Stoma: management skill the important of self


care. British Journal of Nursing. Vol 14. Issue 6. Page 320

Oncology Nursing Society (ONS). 2013. Oncology Nurse Novigator Core


Competencies. 125 Enterprise Drive Pittsburgh, PA 15275. 412-859-6100.
www.ons.org. https://www.ons.org

Palupi, N.W., MKM., DR. (2013). Kebijakan Pengendalian Kanker di Indonesia.


Subdit Kanker Kemenkes RI. Disampaikan dalam workshop deteksi dini
kanker di RS. Dharmais.

Paice, J.A., Ferrell, B. (2011). The Managemen of Cancer Pain. Cancer Journal
of Clinician. Vol 61. Issue 3. 157-182.

Petel.B.P ., Kofp A. (2010). Guide of Pain Mangement in Low Resource Setting.


International Association For the Study of Pain.

Peterson, S.J. ( 2004 ). Middle range theories aplication to nursing research.


Philadelphia : Lippincot, Williams & Wilkins.

Piccinellil M, Brazzale R, and Saracco, C. (2009). Assessment of the prevalence


and perception of skin problems in patients with permanent stoma. Journal
Article Country of Publication: Nursing, 2009 Oct-Dec. Vol. 28
Pfeifer, G.P., Denissenko, M.F., Olivier M., Tretyakova, N., Hecht, S.S., Hainaut,
P. (2002). Tobacco Smoke Carcinogens, DNA Dame And P53 Mutation In
Smoking Associated Cancer. Oncogene Journal. Vol. 21. Number 48. Page
7435-7451

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006) Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep,
proses dan praktik (Edisi 4, Vol 2). (Yasmin, dkk, Alih Bahasa). Jakarta :
EGC

Price S. A., Wilson L.M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. EGC. Jakarta.

Quinn, A (2008). Expanding The Role Of The Oncology Nurse. Biomedical


Imaging and Intervention Journal. University of Pittsburgh Cancer Centers,
Radiation Oncology, Pittsburgh, Pennsylvania, United States.

Richardson BSc* and G.W. Jones MSc MD*† (2009) A review of the reliability
and validity of the Edmonton Symptom Assessment System. Cancer
Rehabilitation and Survivorship. Volume 16. Number 1.

Ruland, CM., Moore SM. (1998). Theory construction based on standards of care:
a proposed theory of the peaceful end of life. MIDLINE. Vol. 46(4):169-75

Robbins. (2005). Pathologic Basis of Disease.7th Edition. International Edition.


Pennsylvania: Elsevier.

Robinson, K.L., Liu, T., Vandrovcova, J., et al. (2006). Lynch Syndrome.
Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer. Diagnostics. Journal of the
National Cancer Institute. Vol 99. Issue 4.

Sanjay Chaudhri, M.S., F.R.C.S., Lesley Brown, R.G.N., Imran Hassan, M.D.,
Alan F. Horgan, M.D., F.R.C.S.(Gen). (2005). Preoperative Intensive,
Community-Based vs. Traditional Stoma Education: A Randomized,
Controlled Trial. The American Society of Colon and Rectum Surgeon.
Texas.

Siegel Rabecca, MPH., DeSantis Carol, MPH., Jemal Ahmedin, PhD. (2014).
Colorectal Cancer Statistic. A Cancer Journal For Clinicians. Vol 64. Issue
2. Pages 104-117.

Sjamsuhidayat, Karnadihardja, W., Rudiman, R., Lukman, K., Ruchiyat, Y.,


Prabani, C. (2006). Panduan Pengelolaan Adenokarsinoma Kolorektal. PT.
Roche Indonesia.

Shah, I., Zaeem, K., Ibrahim, M.W., Hussain I., Hassan, A. (2010). Commpation
of Analgesic Efficacy Tramadol Hydroclhoride With Diclofenac Sodium in
Dento –Alveolar Surgery. Pakistan Oral End Dental Journal. Vol.28. No.2.
241-244.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2008). Textbook of medical surgical nursing.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.

Smith AJ, Griffiths CE, and Beck MH, The Spectrum of Skin Disorders in
Abdominal Stoma Patients. The British Journal Of Dermatology. Vol. 143.
Page 1248-60.

Trecova, N., Bunatin, A., Jovorovsky, A.,(2004). Tramadol Hydroclhoride for


treatment of shivering after cardiac surgery. European Journal of
Anaesthesiology. Vol. 21. Issue 17

Vergenoud, A.C et, al. (2013). Adherence To The Word Cancer Research
Fund/American Institute for Cancer Research Guidlines and Risk of Death
in Europe: Results From The European Prospective Investigation into
Nutrition And Cancer Cohort Study. American Society of Nutrition. Vol. 98.
Page 506-507.

WHO. (2006). The Impact of Cancer, (Online). Diakses dalam


http://www.who.int

WHO. (1997). Conquering Saffering and Riching Humanity. Diakses dalam


http://www.who.int

Williams, L., Zolfaghari, S., Boushey, R.P. (2010). Complication of


Enterocutaneous Fistulas and Trheir Management. Clinics in Colon and
Rectal Surgery. Vo. 23. No. 3. Page 209-220.

Wilkinson J.M., Ahern N.R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9.
EGC. Jakarta

Yeatman, T.J. (2001). Colon Cancer. Encyclopedia of Life Science. MacMilan


Published Ltd. www.els.net.

Yondell Masten. (2007). Nursing Theory Peaceful End of Life-Cornelia Ruland


and Shirley Moore Nursing 5330 Theories and Therapies Texas Tech
University Health Sciences Center School of Nursing.

Vous aimerez peut-être aussi