Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
BAB II
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Banyuasin
Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2018
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh mata kanan merah, perih dan berair sejak 3 minggu
yang lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanan yang
semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6 bulan
yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah.
Os mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan
lain seperti penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat
dalam terowongan (-), sakit kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-)
dan seperti melihat asap (-). Keseharian os selalu menggunakan
motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari. Pasien belum
pernah berobat mata sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma / operasi mata (-)
Riwayat mata merah sebelumnya (-)
Riwayat menderita darah tinggi (-)
Riwayat menderita kencing manis (-)
Riwayat alergi (-)
2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga (-)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 75 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 37,5o C
Status Gizi : Baik
b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM
3
segitiga dari kantus media
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
Kornea segitiga dari kantus media Tenang
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, Refleks Bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Slit lamp
Pemeriksaan tonometri
5. Diagnosis Banding
Pterygium grade III OD
Pseudopterygium OD
Pingeukula
6. Diagnosis Kerja
Pterygium grade III OD
7. Tatalaksana
1. Informed Consent
2. KIE
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan rencana
terapi
Menyarankan menghindari debu dan paparan sinar matahari
4
Menyarankan memakai kaca mata hitam atau topi lebar saat
beraktivitas di luar rumah pada siang hari.
3. Kombinasi antibiotik dan steroid tetes mata 3x1 OD
4. Rujuk ke dokter spesialis mata untuk saran tindakan pro operasi
pterygium OD dengan teknik konjungtival autograft
8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
5
Gambar 1.3. Gambaran Kedua Okuli
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
7
konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2
8
Fisiologi Kornea
3.2 PTERIGIUM
3.2.1 Definisi
9
Gambar 3.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk
segitiga
3.2.2 Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang
dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu
dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan
sinar matahari yang kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,
riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)
10
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
11
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium.
3.2.4 Patogenesis
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang
melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8
12
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal.8
13
berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan
konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat
menggunakan RT-PCR assay.
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan
konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.
14
Gambar 3.5 Patofisiologi Pterigium
15
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Deposit
besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterigium(stoker's line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium.8
Gambar 3.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan
terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan
lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata.
17
3.2.6 Diagnosis
- Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,
iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva
dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.3,4
- Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.
- Pemeriksaan penunjang
18
a) Pinguekula
Gambar 3.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang
berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.
b) Pseudopterigium
19
diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya
kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudo
pterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan
kista dermoid.
Gambar 3.9. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjunctiva bulbar
yang diikuti luka bakar asam local
20
c) Ocular Surface Squamous Neoplasm
Reaksi tubuh
Iritasi atau
penyembuhan dari Dispalsia epitel
Sebab Proses degeneratif kualitas higienitas
luka bakar, GO, sel squamous
air yang kurang.
difteri,dll.
Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya -
dibawahnya
21
3.2.8 Penatalaksanaan 1,5,8
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan
yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.
Terapi Konservatif
Terapi pembedahan
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
22
disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea .
Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2
bulan sesudah pengangkatan.
Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi pterygium, pada
dasarnya tindakan operasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu, mengangkat
pterygium dengan membiarkan luka bekas pterygium terbuka ( Bare sclera ), dan
mengangkat pterygium kemudian luka pterygium ditutup dengan graft (
transplantasi ).
23
Konjungtival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada
tahun 1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang
sama untuk menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya
memiliki resiko paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai
graft. Angka kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium
rekuren, 16 pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik
transplantasi konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah
teknik jahitan dengan vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0. Graft konjungtiva
dapat menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen
korneosklera. Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma,
granuloma kapsul tenon, nekrosis graft dan disinsersi muskulus
ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa waktu operasi relatif lebih lama
dan rasa tidak nyaman setelah tindakan.
Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut :
- dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera
- Bola mata diposisikan lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva
bulbi superior
- Blunt scissor Wescott digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi
superior, undermind dengan diseksi tumpul dan sisakan kapsul
tenon.
- Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit
pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan
terbuka.
- Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien,
jahit dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0
- Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6
minggu untuk mengatasi inflamasi
24
disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga
diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah
di bawah konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea
dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.
Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:
1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di
fiksasi pada episklera.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari
pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut,
kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya
seperti sayap.
3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan
jaringan pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup
konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka.
Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas.
Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig
dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva
kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium.
Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai
penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau
membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan
cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.
25
secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-
iradiasi, dan metode pembedahan.
26
Terapi adjuvant
3.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular
dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani
bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah
penyebab paling umum dari diplopia.
27
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah
rekurensi.Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-
80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion
pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel
yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.
3.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi
terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
28
BAB IV
ANALISIS KASUS
29
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan .
Pada kasus ini Tn. K didiagnosis dengan pterigium grade III OD.Indikasi
operasi pterigium yaitu pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya
gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (>3-4mm),
pergerakan bola mata yang terganggu dan bersifat progresif dari pusat kornea.
Pada pasien ini, terdapat indikasi untuk dilakukan operasi pada mata kanan karena
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada pasien ini diberikan obat tetes mata
dengan kombinasi antibiotik dan steroid sebagai lubricant pada mata yang kering
dan teriritasi karena kondisi lingkungan.
Edukasi yang dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi dan prognosis prnyakit
yang diderita, serta menyarankan pasien memakai kacamata hitam atau topi lebar
saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari.
30
DAFTAR PUSTAKA
31