Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva


yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik
UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi
lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara
beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki
risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari
Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau,
didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10%
sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.1,2,3

Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya


frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di
Indonesia adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain
itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu
penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2,3

1
BAB II

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Banyuasin
Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2018

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh mata kanan merah, perih dan berair sejak 3 minggu
yang lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanan yang
semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6 bulan
yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah.
Os mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan
lain seperti penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat
dalam terowongan (-), sakit kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-)
dan seperti melihat asap (-). Keseharian os selalu menggunakan
motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari. Pasien belum
pernah berobat mata sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat trauma / operasi mata (-)
 Riwayat mata merah sebelumnya (-)
 Riwayat menderita darah tinggi (-)
 Riwayat menderita kencing manis (-)
 Riwayat alergi (-)

2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga (-)

3. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 75 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 37,5o C
Status Gizi : Baik

b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus 6/9 6/6


Ph: 6/9
Tekanan intraocular 11,0mmHg 11,0mmHg

Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM

Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Terdapat jaringan
Tenang
fibrovaskular yang berbentuk

3
segitiga dari kantus media
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
Kornea segitiga dari kantus media Tenang
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, Refleks Bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm

Lensa Jernih Jernih


Refleks Fundus RFOD (+) RFOS (+)
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal merah normal
Makula Refleks fovea (+) di sentral Refleks fovea (+) di sentral
Retina Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah
baik

4. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Slit lamp
 Pemeriksaan tonometri

5. Diagnosis Banding
 Pterygium grade III OD
 Pseudopterygium OD
 Pingeukula

6. Diagnosis Kerja
Pterygium grade III OD

7. Tatalaksana
1. Informed Consent
2. KIE
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan rencana
terapi
 Menyarankan menghindari debu dan paparan sinar matahari

4
 Menyarankan memakai kaca mata hitam atau topi lebar saat
beraktivitas di luar rumah pada siang hari.
3. Kombinasi antibiotik dan steroid tetes mata 3x1 OD
4. Rujuk ke dokter spesialis mata untuk saran tindakan pro operasi
pterygium OD dengan teknik konjungtival autograft

8. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

Gambar 1.1. Gambaran Pterygium Okuli Dekstra

Gambar 1.2. Gambaran Okuli Sinistra

5
Gambar 1.3. Gambaran Kedua Okuli

Gambar 1.4. Gambaran Kedua Okuli

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Konjungtiva Dan Kornea

Gambar 3.1.Anatomi Mata

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.1,2
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva melipat
ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat
berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara
ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan

7
konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2

Gambar 3.2 Konjungtiva

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral


dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan
konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan
dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm.
Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar
7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar
74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian
mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi
kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui
lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi
limbal.

8
Fisiologi Kornea

Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium


refraksi dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut
dapat dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang
unik avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut
melalui transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler
perilimbal. Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama
bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi
secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.

3.2 PTERIGIUM

3.2.1 Definisi

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva


berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra, bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap)
adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk
segitiga (sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain
lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. 3-6
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap.

9
Gambar 3.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk
segitiga

3.2.2 Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang
dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu
dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan
sinar matahari yang kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,
riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)

10
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

3.2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.3,4,7
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigiumadalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigiumdan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
4. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
5. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama

11
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium.

3.2.4 Patogenesis
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang
melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya
bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.5,6,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium.


Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis
termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan

12
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal.8

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali


muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya
matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh
dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih
sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh
lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,


termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu
regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi
beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya
perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi
menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA.
Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan
tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi
memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor
integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor
pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth
factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth
factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth
factor binding proteins (IGF-BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh


fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap

13
berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan
konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat
menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell menyebabkan
konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.

14
Gambar 3.5 Patofisiologi Pterigium

3.2.5 Gambaran Klinis Dan Klasifikasi Pterigium


Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium
yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun
pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi
jarang simetris. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus
sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3-7

15
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Deposit
besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterigium(stoker's line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium.8

Gambar 3.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan
terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan
lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

Pembagian pterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,


yaitu :8
1. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterigium(disebut cap pterigium).
2. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan
terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme
karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga
menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Pembagian lain pterigium yaitu :8


1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis

16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 –
4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Gambar 3.7 Derajat Pterigium

17
3.2.6 Diagnosis

- Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal,
iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva
dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.3,4

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi
pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan
mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan
ganda atau diplopia.

- Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.

- Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah


topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa
besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.8

3.2.7 Diagnosis Banding


Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah
lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena
adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya
terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.8

18
a) Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang


berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi
ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak
diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

Gambar 3.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang
berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang


merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan
kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea


yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari
ulkuskornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissure
palpebra seperti halnya pada pterigium.Pada pseudopterigium juga dapat

19
diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya
kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudo
pterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan
kista dermoid.

Gambar 3.9. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjunctiva bulbar
yang diikuti luka bakar asam local

20
c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 3.10.OSSN yang searah dengan limbal

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia,


pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spectrum
konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva
yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan
karakteristik berkas dari pembuluh darah pada fissure intra palpebral.
Biasanya pasien datang diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan
sensasi benda asing.

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum OSSN

Reaksi tubuh
Iritasi atau
penyembuhan dari Dispalsia epitel
Sebab Proses degeneratif kualitas higienitas
luka bakar, GO, sel squamous
air yang kurang.
difteri,dll.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan -
dibawahnya -
dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak Tidak

Dewasa dan anak-


Usia Dewasa Anak-anak Dewasa
anak
Subkonjunctiva
Bisa terjadi Terbatas pada Di sekitar daerah
Lokasi yang dapat
darimana saja konjuntiva bulbi limbus
mencapai kornea

21
3.2.8 Penatalaksanaan 1,5,8
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan
pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan
yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating


drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali
penggunaan jangka pendek tetes mata kortiko steroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata
anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang


dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks,collum dan


corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan
gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah
menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk
mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium
sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan
stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan


pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Kekambuhan pterygium
merupakan pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskuler konjungtiva ke kornea
pada bekas pembedahan. Pterygium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan
operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterygium yang

22
disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea .
Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2
bulan sesudah pengangkatan.

Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi pterygium, pada
dasarnya tindakan operasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu, mengangkat
pterygium dengan membiarkan luka bekas pterygium terbuka ( Bare sclera ), dan
mengangkat pterygium kemudian luka pterygium ditutup dengan graft (
transplantasi ).

Masing-masing teknik operasi yang ada memiliki kelebihan dan


kekurangan. Idealnya operasi tersebut haruslah simpel, cepat, tingkat komplikasi
dapat diterima, tingkat rekurennya rendah dan bagus secara kosmetik. Sayangnya
belum ada teknik yang memenuhi semua kriteria tersebut.

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan


pterigium:

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima
karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai
40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

23
Konjungtival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada
tahun 1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang
sama untuk menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya
memiliki resiko paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai
graft. Angka kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium
rekuren, 16 pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik
transplantasi konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah
teknik jahitan dengan vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0. Graft konjungtiva
dapat menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen
korneosklera. Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma,
granuloma kapsul tenon, nekrosis graft dan disinsersi muskulus
ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa waktu operasi relatif lebih lama
dan rasa tidak nyaman setelah tindakan.
Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut :
- dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera
- Bola mata diposisikan lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva
bulbi superior
- Blunt scissor Wescott digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi
superior, undermind dengan diseksi tumpul dan sisakan kapsul
tenon.
- Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit
pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan
terbuka.
- Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien,
jahit dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0
- Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6
minggu untuk mengatasi inflamasi

Teknik Mc. Reynolds


Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva dilakukan dengan
cara ;
a. Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah
konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya

24
disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga
diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah
di bawah konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea
dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.
Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:
1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di
fiksasi pada episklera.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari
pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut,
kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya
seperti sayap.
3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan
jaringan pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup
konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka.
Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas.
Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig
dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva
kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium.
Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai
penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau
membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan
cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah


yakni sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai
langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin

25
secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-
iradiasi, dan metode pembedahan.

Gambar 2.11 Tindakan Operatif pada Pterigium

Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah


kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungan dari penggunaan membran amnion
ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu
adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan
fibrosis dan epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada
studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknikini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian konjungtiva bulbar.
Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal
menghadap keatasdan stroma menghadap kebawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi membran
amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah
digunakan dalam autograft konjungtiva.

26
Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan


sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa
alternatif medis lainnya, seperti5-fluorouracil dan daun orubisin, juga telah
dicoba.

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan


pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat kekambuhan yang
berhubungan dengan terapi mitomycin C secara signifikan lebih
rendahdibandingkandenganeksisi bare sclera. Pada dasarnyadua bentukaplikasi
mitomycin C yang saat ini digunakan aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang
direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera setelah
eksisi pterigium,dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagaiobat
tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan terkait
penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda secara
signifikan.

3.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular
dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani
bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah
penyebab paling umum dari diplopia.

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat


meliputi:Scleradan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa
tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat
sulit untuk ditangani.

27
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah
rekurensi.Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-
80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion
pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel
yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.

3.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi
terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.

28
BAB IV

ANALISIS KASUS

Tn. K usia 41 tahun datang dengan keluhan timbulnya selaput putih


pada mata kanan yang semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal
sejak ± 6 bulan yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan
bertambah. Os mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan
lain seperti penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat dalam
terowongan (-), sakit kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-) dan seperti
melihat asap (-). Keseharian os selalu menggunakan motor dan sering terpapar
debu dan cahaya matahari. Pasien belum pernah berobat mata sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dalam batas normal.
Sedangkan dari pemeriksaan status oftalmikus didapatkan visus VOD 6/9 dan
VOS 6/6. Pada konjungtiva kanan didapatkan pterigium grade III , sedangkan
konjungtiva tidak ditemukan kelainan.
Diagnosis pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan fisik mata kanan didapati jaringan
fibrovaskular berwarna putih pada berbentuk segi tiga dari kantus media dengan
puncak melewati limbus lebih dari 2mm. Pada mata kiri tidak terdapat kelainan.
Berdasarkan literatur, pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskuler konjungtiva bulbi patologik yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segi tiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterygium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):

 Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


 Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea

29
 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan .

Pada kasus ini Tn. K didiagnosis dengan pterigium grade III OD.Indikasi
operasi pterigium yaitu pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya
gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (>3-4mm),
pergerakan bola mata yang terganggu dan bersifat progresif dari pusat kornea.
Pada pasien ini, terdapat indikasi untuk dilakukan operasi pada mata kanan karena
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada pasien ini diberikan obat tetes mata
dengan kombinasi antibiotik dan steroid sebagai lubricant pada mata yang kering
dan teriritasi karena kondisi lingkungan.
Edukasi yang dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi dan prognosis prnyakit
yang diderita, serta menyarankan pasien memakai kacamata hitam atau topi lebar
saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan,


Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002.
2. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G.
Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.2002.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.
4. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera
Utara (Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2011.
5. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 40-2.
6. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity,
And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.
8. Pterygium. Diunduh dari http://www.repository.usu.ac.id
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002.

31

Vous aimerez peut-être aussi