Vous êtes sur la page 1sur 28

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM IMUNITAS

PADA KASUS HIV-AIDS

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3

RIAN INDRA SUARI (024SYE16) SAPTONI (029SYE16)


RIJAL HAMBALI (025SYE16) SILFIA HIJRIANA (030SYE16)
RIZA FEBRINA R. (026SYE16) SOLATIYAH (031SYE16)
ROSITA RAHMAYANI (027SYE16) ZUHRUL CHAIRY (032SYE16)
NOPINAH (023SYE16)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG D III

MATARAM

2018
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 KONSEP TEORI


A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus yang dapat menyebabkan
AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama CD4 sehingga
dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah beberapa tahun jumlah
virus semakin banyak sehingga sistem kekebalan tubuh tidak lagi mampu
melawan penyakit yang masuk. Virus HIV menyerang CD4 dan merubahnya
menjadi tempat berkembang biak virus HIV baru kemudian merusaknnya
sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk
sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit
maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat
meninggal dunia terkena pilek biasa.

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai


gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika
individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit
dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya
menjadi sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi
sangat berbahaya.

Acquired: dapat, bukan penyakit keturunan

Immune: sistem kekebalan tubuh

Deficiency: kekurangan

Syndrome: kumpulan gejala penyakit

Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA


(Orang Dengan HIV/AIDS) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam
penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan
akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. AIDS adalah
sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan
tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar (bukan dibawa sejak lahir). AIDS
diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi human immunodefciency virus (HIV). (Suzane C.
Smetzler dan Brenda G.Bare)

AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari
kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga
keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat
membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi (Center
For Disease Control and Prevention). Disebabkan oleh Human
Immunideficiency Virus (HIV), ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk
immunodefisiensi berat disertai infeksi oportunistik dan keganasan dan degerasi
susunan saraf pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel sistem imunn
termasuk sel T, macrofag, dan sel dendritik.

B. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human
immunedeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi
retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang
pathogen dibandingkan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya
disebut HIV

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Priode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gelaja tidak
ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, berat menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati,
lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun
wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
c. Orang yang ketagihan obat intravena.
d. Pertner seks dari penderita aids.
e. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
C. Tahapan Perubahan HIV/AIDS
a. Fase 1
Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) indidu sudah terpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes
darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat
mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasnya 2-3 hari dan sembuh
sendiri).
b. Fase 2
Umur infeksi 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu
sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat
menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan,
seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
c. Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS.
Gejala yang berkaitan anatara lain keringat yangberlebihan pada waktu malam
hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat
badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai
berkurang.
d. Fase 4
Sudah masuk pada fase aids. Aids baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan
tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu
yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru
yangmenyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarkoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan
diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
menta dan sakit kepala.
D. Manifestasi Klinik
a. Manifestasi klinis HIV
Gejala infeksi HIV akut tidak spesifik dan meliputi rasa mudah lelah, ruam,
sakit kepala, mual dan keringat malam yang hilang dalam beberapa minggu.
Setelah beberapa waktu, infeksi HIV mengakibatkan kerusakan yang luas dan
terus menerus pada sel-sel CD4 hospes, yang pada akhirnya mengakibatkan
patogen oportunistik menginvasi hospes dengan tanggap imun lemah dan
menyebabkan penyakit.
b. Manifestasi klinis AIDS
1. Manisfestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai
setiap sistem organ
2. Pneumonia disebabkan oleh protozoa pneumocystis carini (paling
sering ditemui pada AIDS) sangat jarang mempengaruhi orang sehat.
Gejala : sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada, demam tidak teratasi
dapat gagal nafas (hipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubahan
status mental)
3. Gagal nafas dapat terjadi 2 – 3 hari
4. TBC
5. Nafsu makan menurun, mual, muntah
6. Diare merupakan masalah pada klien AIDS 50 – 90 %
7. Kandidiasis oral – infeksi jamur
8. Bercak putih dalam rongga mulut tidak di obati dapat ke esophagus dan
lambung
9. Wasthing sindrom penurunan berat badan /kheksia (malnutrisi akibat
penyakit kronis, diare, anoreksia, amlabsorbsi gastrointestinal)
10. Kanker : klien AIDS insiden lebih tinggi mungkin adanya stimulasi
HIV terhadap sel 2 kanker yang sedang tumbuh atau berkaitan dengan
defesiensi kekebalan mengubah sel yang rentang menjadi sel maligna.
11. Sarcoma kaposis kelainan maligna berhubungan dengan HIV paling
sering ditemukan penyakit yang melibatkan endotel pembuluh darah
dan limfe. Secara khas ditemukan sebagai lesi pada kulit sebagian
tungkai terutama pada pria. Ini berjalan lambat dan sudah diobati.
Lokasi dan ukuran lesi dapat menyebabkan statis aliran vena,
limfedemaserta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit
dan meningkatakan ketidaknyamanan serta kerentanan terhadap infeksi.
12. Diperkirakan 80% klien AIDS mengalami kelainan neurologis
gangguan pada saraf pusat, perifer dan otonom. Respon umum pada
sistem saraf pusat mencangkup implamasi, atropi, denielinisasi,
degenerasi dan nekrosis.
13. Herpes zoster yaitu pembentukan vesikel yang nyeri pada kulit
14. Dermatitis serboeoik yaitu ruam yang difus, bersisik yang mengenai
kulit kepala dan wajah.
15. Pada wanita: kandidiasis vagina dapat merupakan tanda pertama yang
menunjukan HIV pada wanita.

E. Patofisiologi
Menginfeksi limposit T4 dan monosit. Partikel-2 HIV bebas yang dilepas
dari sel yang terinfeksi dapat berikatan dengan sel lain tidak terinfeksi.segera
setelah masuk ke dalam sel, enzim dalam kompleks nukleuoprotein menjadi
aktif dan dimulailah siklus reproduksi.

Limfosit T, monosit/makrofag adalah sel pertama yang terinfeksi. Besar


kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebabaran HIV dalam
jaringan limfoid, fungsi sel dendritik menangkap antigen dalam epitel lalu
masuk melalui kontak antar sel.

Dalam beberapa hari jumlah virus dalam kelenjar berlipat ganda dan
mengakibatkan viremia. Pada saat itu jumlah virus dalam darah, infeksi akut.
Viremia menyebabkan virus menyebar diseluruh tubuh dan menginfeksi sel T,
monosit maupun makropag dalam jaringan limpoid perifer. System imun
spesifik akan berupaya mengendalikan infeksi yang Nampak dari menurunnya
kadar viremia.

Setelah infeksi akut, berlangsung fase kedua dimana kelenjar getah


bening dan limfa merupakan tempat replikasi virus dan dekstruksi jaringan
secara terus menerus, fase laten

Destruksi sel T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga


jumlah sel T makin lama makin menurun ( jumlah sel T dalam jaringan limfoid
90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh )

Selama masa kronik progresif, merespon imun terhadap infeksi lain akan
merangsang produksi HIV dan mempercepat dekstruksi sel T, selanjutnya
penyakit bertambah progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS.
Viremis meningkat drastic karena replikasi virus dibagian lain dalam tubuh
meningkat pasien menderita infeksi oportunistik,cacheksia, keganasan dan
degenerasi susunan saraf pusat.

Kehilangan limfosit th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis


infeksi dan menunjukkan respon imun yang inefektif terhadap virus onkogenik.
Masa inkubasi diperkirakan bervariasi 2 - 5 tahun.
F. Woc HIV/ AIDS

Hubungan seksual dengan pasangan yang Transfusi darah yang Tertusuk jarum bekas Ibu hamil
berganti-ganti, dengan yang terinfeksi HIV terinfeksi HIV penderita HIV menderita HIV

Virus masuk dalam tubuh lewat luka berdarah

Sperma terinfeksi masuk kedalam


tubuh pasangan lewat membran
Virus Masuk Dalam Peredaran Darah Dan Invasi Sel Target Hospes
mukosa vagina, anus yang lecet atau
luka

T helper / CD4+ Makrofag Sel B

Terjadi perubahan pada struktural sel diatas akibat transkripsi RNA virus + DNA sel sehingga terbentuknya provirus

Sel penjamu (T helper, limfosit B, makrofag) mengalami kelumpuhan

Menurunnya sistem kekebalan tubuh

Infeksi Oportunistik

Sistem GIT Integumen Sistem Reproduksi Sistem respirasi Sistem neurologi


Virus HIV + kuman Herpes zoster + Candidiasis Mucobakterium TB Kriptococus
salmonela, Herper simpleks
clostridium, candida

PCP (Pneumonia
Pneumocystis) Meningitis Kriptococus
Ulkus Genital
Dermatitis Serebroika
Menginvasi
mukosa saluran
cerna Demam, Batuk Non
Perubahan Status
Produktif, Nafas Pendek
Mental, Kejang,
Ruam, Difus, Bersisik, Kaku Kuduk,
Peningkatan peristaltik Folikulitas, kulit kering, Kelemahan, Mual,
mengelupas eksema kehilangan nafsu
MK :
- Hipertermi makan, Vomitus,
- Bersihan Jalan Demam, Panas,
Nafas Pusing
Diare Psoriasi - Pola Nafas
s Tidak Efektif
Terapi trimetoprim
sulfame

Mk : MK :
MK : Resiko
- Perubahan - Resiko tinggi cedera
kerusakan - Ggn. Nutrisi < Keb.
Eliminasi (Bab) Integritas Ruam, Pruritus,
- Gangg Nutrisi < Tubuh
Kulit Papula, Makula Merah - Risiko tinggi
Keb. Tubuh Muda
- Resiko kekurangan volume
Kekurangan cairan
Volume Cairan - Intoleransi Aktivitas
MK : Nyeri
G. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a) ELISA
Hasil tes Elisa (-) kembali melakukan konseling untuk penataan
perilaku seks yang lebih aman (safer sex). Pemeriksaan diulang kembali
dalam waktu 3-6 bulan berikutnya. Hasil tes Elisa (+), konfirmasi
dengan western blot.

b) Western blot
Hasil tes western blot (+) laporkan ke dinas kesehatan (dalam keadaan
tanpa nama). Lakukan pasca konseling dan pendampingan
(menghindari emosi putus asa keinginan untuk bunuh diri). Hasil tes
western blot (-) sama dengan elisa (-).

c) P24 antigen test


d) Kultur HIV
e) Tes fungsi paru, broskoscopi
b. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a) Hematokrit.
b) LED
c) CD4 limfosit
d) Rasio CD4/CD limfosit
e) Serum mikroglobulin B2
f) Hemoglobulin

H. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik
menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif (Bertozzi et al., 2006).
1. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly
Active Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal
tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi
virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu
memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
ARV akan diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila
infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
dibuktikan secara laboratories (Hammer et al., 2008).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau
menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat
ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah
limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan
limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi.
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat
ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini
adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti
reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari
inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease
inhibitor (PI) (Gatell, 2010).
Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV.
Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya
protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein
fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan
sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius
terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV),
Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir
(LPV) and Saquinavir (SQV) (Maggiolo, 2009).
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah
dan dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh
akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai
perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+
dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi
terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+. Selain itu terjadinya
toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping
dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut
dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan
fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari
macam kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo, 2009).
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan
kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu
keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini
ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART
dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang
semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan
gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi
dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Apabila
terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini
pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan
untuk mengganti terapi (Maggiolo, 2009)

2. Terapi Infeksi Opportunistik


Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik
disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari
mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga
jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita
(Paterson et al., 2000).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi
pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi
oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia
bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang
terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis
pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar
secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun noninfeksius dari
luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen terhadap
virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi
pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium
dengan berbagai manifestasi (Paterson et al., 2000).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia
yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita
harus di rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan
ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol
intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari.
Penderita yang berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat
melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah
memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau
gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan
sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan
risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus
ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960
mg selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah
pentamidin intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin
(pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone
plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin, atovaquone atau
trimetrexate plus leucovorin (Harris dan Bolus, 2008).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama
dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV
harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang
ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka
kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus,
2008).
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan
yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang
disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di
daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan
rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,
berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui
kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di
daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan
kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan
neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif
bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan
imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan
untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan
(Sheng Wu et al., 2008).
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau
dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah
Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan
fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis
yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit,
sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan
dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat
dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita
lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga
penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus
diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai
sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat
pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung
mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan
tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah
penderita (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).
Penatalaksanaan menurut (Clevo Rendy & Margareth. 2012)

1. Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi


HIV perlu dilakukakan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan
cairan tubuh yang tercemar HIV
2. Pengobatan pada infeksi umum
3. Penatalaksanaan diare
4. Penatalaksanaan nutrisi yang adekuat
5. Penanganan keganasan
6. Terapi anti retrovirus
7. Terapi alternatif : terapi spiritual, terapi nutrisi, terapi obat tradisional,
terapi tenaga fisik dan akufungtur, yoga, terapiu message,terapi
sentuhan.
1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I PENGKAJIAN.
1. Identitas pasien

a) Meliputi nama, jenis kelamin, umur (dapat terjadi pada semua umur),
alamat (Lebih beresiko pada lingkungan yang pergaulannya bebas),
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan (untuk mengetahui
penularan melalui cairan tubuh atau cairan vagina), pendidikan,
pekerjaan (faktor resiko lebih tinggi pada pekerjaan dengan PSK,
sopir), ras, suku/bangsa, no. register, tanggal masuk rumah sakit,
alasan berobat ke fasilitas kesehatan serta harapan pasien.

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama : biasanya pasien dengan HIV AIDS mengeluhkan
demam terus menerus, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam
hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit
tidur,diare
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pasien dengan HIV AIDS datang ke playanan kesehatan
karena infeksi opertunistik (IO) dan imunodefisiensi berat seperti :diare
lebih dari 1 bulan dan (kronis atau berulang),demam lebih dari 1bulan
(kronis atau berulang),infeksi saluran nafas bawah yang parah dan
menetap (TBC)
c. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pasien dengan HIV AIDS mempunyai riwayat penyakit
infeksi opertunistik (IO) dan imunodefisiensi berat seperti :diare lebih
dari 1 bulan dan (kronis atau berulang),demam lebih dari 1bulan (kronis
atau berulang),infeksi saluran nafas bawah yang parah dan menetap
(TBC)
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya HIV AIDS dapat di tularkan seperti : ibu hamil ke pada
anaknya,antenatal (saat bayi masih berada dalam rahim,melalui
plasenta),intranatal (saat proses persalinan,bayi terpapar darah ibu atau
cairan vagina),posnatal (setelah proses persalinan,melalui air susu ibu)
e. Riwayat: tes HIV positif, riwayat prilaku beresiko tinggi yang
menggunakan obat-obatan.

3. Riwayat Bio-Psiko-Sosial
1) Respon Biologis
Secara imunologi, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4 akan mengalami perubahan baik secara kualitas. HIV
menyerang CD4 baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivitas sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui
reseptor CD4 dan ko-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan
fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel
membran. pada bagian inti terdapat enzim reverse transcriptase yang
terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang
mengandung RNA, enzim DNA polimerase kemudian membentuk
kopi DNA kedua dari DNA pertama tersusun sebagai cetakan
(Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka
akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA kopi
dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada
pada limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997).
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada limfe,
sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek infeksi pada
sel mikroglia di otak adalah ensefalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare yang kronis (Stewart,1997)
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak
mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak
memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. sepanjang
perjalanan penyakit tersebut sel CD4 mengalami penurunan
jumlahnya dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl
setelah terinfeksi 2-10 tahun (Stewart, 1997).
2) Respon Adaptif Psikologis
Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan
berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan,
penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi
terhadap penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Stewart, 1997) adalah seperti
terlihat pada tabel:
Reaksi Proses Psikologis Hal-hal yang biasa
dijumpai

Shock (kaget, Merasa bersalah, Rasa takut, hilang akal,


goncangan batin) marah dan tidak frustasi, rasa sedih,
berdaya. susah, acting out.

Mengucilkan diri Merasa cacat, tidak Khawatir menginfeksi


berguna, dan menutup orang lain, murung.
diri.
Membuka status secara Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stres, dan
terbatas lain, pengalihan stres, konfrontasi.
ingin dicintai.
Mencari orang lain Berbagi rasa, Ketergantungan,
yang HIV positif pengenalan, campur tangan, tidak
kepercayaan, percaya pada
penguatan, dan pemengang rahasia
dukungan sosial. lainnya.

Status khusus Perubahan Ketergantungan,


keterasingan menjadi dikotomi kita dan
manfaat khusus, mereka (semua orang
perbedaan menjadi hal dilihat sebagai
yang istimewa, terinfeksi HIV dan
dibutuhkan oleh yang direspon seperti itu),
lainnya. over identification.

Prilaku mementingkan Komitmen dan Pemadaman, reaksi,


orang lain kesatuan kelompok, dan konpensasi yang
kepuasan memberi dan berlebihan.
berbagi, perasaan
sebagai kelompok.
Penerimaan Integrasi status positif Apatis dan sulit
HIV dengan identitas berubah.
diri, keseimbangan
antara kepentingan
orang lain dengan diri
sendiri, bisa
menyebutkan kondisi
seseorang.
3) Respon Adaptif Sosial
aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal,
yaitu:
a. Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pandangan yang
negatif tentang harga diri pasien.
b. Diskriminasi terhadapat orang yang terinfeksi hiv, misalnya
penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksual,
penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap
kurangnya dukungan sosial, hal ini akan memperparah stres
pasien.
c. Terjadinya waktu yang lama terhadap respon psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi
berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan
pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat
terlarang untuk menghilangkan stres yang dialami.
4. Pemeriksaan fisik
a. Persistem
1) Penampilan umum: pucat, kelaparan.
2) Heent: nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka,
tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah,
disfagia, epsitaksis.
3) Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan, kaku kuduk, kejang, paraplegia.
4) Muskuloskeletal: focal motor defisit, lemah, tidak mampu
melakukan adl.
5) Kardiovaskuler: takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer,
dizziness.
6) Pernafasan: dyspnea, takipnea, sianosis, sob, menggunakan otot
bantu pernafasan, batuk produktif atau non produktif.
7) Gi: intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun,
diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
8) Gu: lesi atau eksudat pada genital.
9) Intergumen: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
b. Pemeriksaan fisik head to toe : Biasanya pasien dengan HIV-AIDS
akan terdapat :
1) Kepala :
Sebhorroic dermatitis, gejala pneumocystis cranii, nyeri kepala
menetap, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut
kering disfagia, epsitaksis.
2) Kulit :
Infeksi kulit umum, herpes simplex, Papular pruritic eruption
(PPE) pada lengan, tungkai dan bokong, turgor kulit tidak elastis,
sarkoma kaposi
3) Mata: Retinitis
4) Hidung : -
5) Telinga: -
6) Mulut

a. Lesi pada mulut  Kapossi sarkoma


b. Candida oral  plaque putih yang melapisi rongga mulut dan
lidah  candidiasis
c. Candidiasis esofagus
d. Hairy leukoplakia : lesi/plaque atau seperti proyeksi rambut
bergelombang pada bagian lateral lidah yang tidak nyeri & tidak
dapat hilang dengan menggosoknya
e. Ginggivitis
f. Angular chelitis
7) Leher
Lymphadenopathy persistent
8) Dada / Pernafasan

a. Sesak nafas (dispneu, takipneu)


b. Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
c. Retraksi interkostalis
d. Infeksi saluran pernafasan atas yang berulang
e. Batuk menetap > 4 minggu
f. Gejala tuberculosis paru
9) Abdomen/ Gastrointestinal
a. Anoreksia
b. Muntah
c. Diare kronis
d. Inkontinen alvi
e. Hepatosplenomegali
f. Mual
g. BB menurun
h. Perut kram
i. Hepatosplenomegali
j. Kuning.
10) Sistem Reproduksi
Adanya lesi atau keluaran dari genital (herpes simpleks)
11) Ekstremitas atas/ bawah
Wasting syndrome, Papular pruritic eruption (PPE) simetris
12) Neurologis
Ataxia, kurang kordinasi (ADC), kehilangan sensori, apasia,
kehilangan konsentrasi, kehilangan memori (ADC= AIDS
Dementia Complex), apatis, depresi, paralysis.

II DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia) diagnosis
keperawatan yang kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS
antara lain:
1. Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
2. Resiko infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi hiv,
adanya infeksi nonportunistik yang dapat ditransmisikan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya
kebutuhan metabolik, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Defisit ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan diare berat,
status hipermetabolik.
6. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
7. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru, melemahnya
otot pernafasan.
8. Resiko cedera (jatuh) berhubungan dengan kelelahan, kelemahan,
perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
9. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit terminal, bahan
pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
10. Defisit perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental,
makan/minum, dan mandi berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/kronis
11. Harga diri rendah (kronis dan situasional) berhubungan dengan
penyakit kronis dan situasional.
12. Gangguan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan) berhubungan
dengan kehilangan pendengaran skunder efek pengobatan, kehilangan
penglihatan akibat infeksi CMV.
13. Pola seksual tidak efektif berhubungan dengan tindakan seks yang
lebih aman, takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak
berhubungan seks, inpoten skunder akibat efek obat.
14. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan otot dan
jaringan skunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum
sekunder akibat diare dan lesi (kandidiasi dan herpes), dan kerusakan
mobilitas fisik.
15. Gangguan pola tidur b.d nyeri, berkeringat di malam hari, obat-
obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan putus obat
(heroin,kokain)
16. Isolasi sosial b.d stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran
infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral,
budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan
gambaran diri.
17. Distres spiritual b.d tantangan sistem keyakinan dan nilai dan tes
keyakinan spiritual.
18. Resiko prilaku kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti
adanya ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan.
19. Hipertermia b.d proses infeksi
III NTERVENSI
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasional

Resiko tinggi Pasien akan bebas infeksi 1. Monitor tanda-tanda infeksi baru.
infeksi oportunistik dan 2. gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan 1. Untuk pengobatan dini
berhubungan komplikasinya dengan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan 2. Mencegah pasien terpapar oleh kuman
dengan kriteria tak ada tanda- tindakan. patogen yang diperoleh di rumah sakit.
imunosupresi, tanda infeksi baru, lab 3. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar 3. Mencegah bertambahnya infeksi
malnutrisi dan pola tidak ada infeksi terhadap lingkungan yang patogen. 4. Meyakinkan diagnosis akurat dan
hidup yang oportunis, tanda vital 4. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai pengobatan
beresiko. dalam batas normal, tidak order. 5. Mempertahankan kadar darah yang
ada luka atau eksudat. 5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order terapeutik

Resiko tinggi Infeksi HIV tidak 1. Anjurkan pasien atau orang penting lainnya
infeksi (kontak ditransmisikan, tim metode mencegah transmisi HIV dan kuman 1. Pasien dan keluarga mau dan
pasien) kesehatan memperhatikan patogen lainnya. memerlukan informasikan ini.
berhubungan universal precautions 2. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution 2. Mencegah transimisi infeksi HIV ke
dengan infeksi dengan kriteriaa kontak bial merawat pasien. Gunakan masker bila orang lain
HIV, adanya pasien dan tim kesehatan perlu.
infeksi tidak terpapar HIV, tidak
nonopportunisitik terinfeksi patogen lain
yang dapat seperti TBC.
ditransmisikan.

Intolerans aktivitas Pasien berpartisipasi 1. Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas


berhubungan dalam kegiatan, dengan 2. Berikan bantuan perawatan yang pasien 1. Respon bervariasi dari hari ke hari
dengan kelemahan, kriteria bebas dyspnea dan sendiri tidak mampu 2. Mengurangi kebutuhan energi
pertukaran takikardi selama aktivitas. 3. Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak 3. Ekstra istirahat perlu jika karena
oksigen, mengganggu isitirahat. meningkatkan kebutuhan metabolik
malnutrisi,
kelelahan.

Nutrisi kurang dari Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan mengunyah, merasakan 1. Lesi pada mulut, esofagus dapat
kebutuhan tubuh tindakan keperawatan dan menelan menyebabkan disfagia
b/d hambatan selama x jam diharapkan 2. Auskultasi bising usus 2. Hipermetabolisme saluran
asupan makanan pasien mampu 3. Timbang BB settiap hari gastrointestinalakan menurunkan tingkat
(mual, muntah), 4. Hindari adanya stimulus lingkungan yang penyerapan usus.
gangguan a. Menunjukan berlebihan 3. BB sebagai indikator kebutuhan nutrisi
intestinal, peningktan BB ideal 5. Berikan perawatan mulut, awasi tindakan yang adekuat
hipermetabolik pencegahan sekresi. Hindari obat kumur 4. Pengeringan mucosa, lesi pada mulut dan
yang mengandung alchol bau mulut akan menurunkan nafsu makan
6. Rencanakan makan bersama keluarga atau
orang terdekat. Berikan makan sesuai
keinginannya (bila tidak ada kontraindikasi)
7. Sajikan makanan yang hangat dan berikan
dalam volume sedikit
8. Dorong klien untuk duduk saat makan
Defisit volume Setelah dilakukan 1. Pantau tanda-tanda vital termasuk CVP buila 1. Denyut nadi/HR meningkat, suhu tubuh
cairan tubuh b/d tindakan keperawatan terpasang menurun, Tdmenurun menunjukan adanya
diare berat, status selama x jam diharapkan 2. Catat peningkatan suhu dan lamanya, berikan dehidrasi
hipermetabolik pasien mampu kompres hangat, pertahankan pakaian tetap 2. Suhu badan meningkat menunjukan
kering, kenyamanan suhu lingkungan pengurangan volume cairan tubuh
Mempertahankan tingkat 3. Kaji turgor kulir dan membran mukosa dan 3. –
hidrasi yang adekuat rasa haus 4. Penurunan BB menunjukkan pengurangan
4. Timbang BB setiap hari volume cairan tubuh.
5. Catat masukan cairan mll oral sedikitnya
2500 ml/hr
6. Mempertahankan keseimbangan,
mengurangi rasa haus dan melembabkan
membrane mucosa
7. Berikan makanan yang mudah di cerna dan
tidak merangsang
8. Penmingkatan peristaltik menyebabkan
penyerapan cairan pada dinding usus akan
kurang
Tidak efektif Keluarga atau orang 1. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan
koping keluarga penting lain perawatannya 1. Memulai suatu hubungan dalam bekerja
berhubungan mempertahankan suport 2. Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara konstruktif dengan keluarga.
dengan cemas sistem dan adaptasi secara verbal 2. Mereka tak menyadari bahwa mereka
tentang keadaan terhadap perubahan akan 3. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit berbicara secara bebas
yang orang kebutuhannya dengan dan transmisinya. 3. Menghilangkan kecemasan tentang
dicintai. kriteria pasien dan transmisi melalui kontak sederhana.
keluarga berinteraksi
dengan cara yang
konstruktif

Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Auskultasi bunyi nafas tambahan 1. Bunyi nafas tambahan menunjukan
efektif b/d tindakan keperawatan 2. Catat kemungkinan adanya sianosis, adanya infeksi jalan nafas/ melemahnya
penurunan selama x jam diharapkan perbahan frekuensi nafas dan penggunaan otot pernafasan.
ekspansi paru, pasien mampu asesoris
melemahnya otot 3. Berikan posisi semi powler
pernafasan a. Mempertahankan 4. Lakukan section bila terjadi retensi sekresi
pola nafas yang jalan nafas
efektif
IV IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang ada.

V EVALUASI
1. Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tidak ada
demam, sekresi tidak purulent).
2. Klien akan menunjukkan peningkatan dalam aktivitas.
3. Klien akan menunjukan bb ideal.
4. Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat.
5. Klien dan keluarga akan menunjukkan interaksi yang konstruktif.
6. Klien akan mempertahankan pola nafas yang efektif.
7.
DAFTAR PUSTAKA

Wijayaningsih, Kartika Sari. 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta Timur: Cv


Trans Info Media.
Rendy, Clevo M & Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
H.R, Hasdianah & Prima Dewi. 2014. Virologi Mengenal Virus, Penyakit, Dan
Pencegahannya. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sears, Benjamin W. Dkk. 2011. Intisari Mikrobiol

Nursalama & Ninuk Dian Kurniawati. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV AIDS. Jakarta: Salemba Medika

Vous aimerez peut-être aussi