Vous êtes sur la page 1sur 693

PEMBAHASAN TO 2

OPTIMAPREP
BATCH I UKDI 2015
Dr. Widya, Dr. Cemara, Dr. Yolina, Dr. Retno, Dr. Hendra, Dr. Ayu

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta
selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan P
phone number : 021 8317064 Hone number : 061 8229229
pin BB 2A8E2925 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 www.Optimaprep.Com
Ilmu Penyakit
Dalam
1. Hepatitis Virus Akut
 Diagnosis hepatitis akut berdasarkan
keluhan atau gejala dan gambaran
laboratorium seperti:
 Hepatitis A: IgM HAV +
 Hepatitis B: HBsAg +, IgM anti HBc +
 Hepatitis C: anti HCV +
 Hepatitis D: HbsAg +, IgM anti HDV +
 Hepatitis E: IgM anti HEV +
2. Anemia Defisiensi Besi
 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi oleh
karena jumlah zat besi di dalam tubuh berkurang. Pada
wanita muda sering terdapat defisiensi besi tanpa anemia.
 Penyebab defisiensi zat besi adalah asupan yang kurang,
ekskresi berlebihan, dan gangguan absorbsi zat besi.
 Gambaran klinis anemia defisiensi besi adalah: anemia,
koilonikia, stomatitis angularis, sindroma Plummer Vinson,
Gastritis, dan ozaena.
 Kelainan laboratorium meliputi anemia hipokrom, mikrositer,
anisositosis, poikilositosis, dan retikulosit rendah.
 Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat hiperplasia
nrmoblastik dan pengecatan besi negatif.
 Pemeriksaan kimia darah didapatkan SI rendah (< 15 mcg),
TIBC meningkat ( > 500 mcg), feritin rendah (< 12 mcgr), dan
saturasi besi rendah (<16%)
Tatalaksana anemia defisiensi
besi
 Memberikan diet yang kaya kalori, protein, dan zat
besi
 Memberikan preparat besi:
 Preparat besi oral: Sulfas ferrous 4x1 tablet dan
dilanjutkan 4-6 bulan sesudah Hb normal. Efek samping
yang didapatkan adalah nyeri epigastrium, konstipasi,
dan diare
 Pemberian preparat besi parenteral hanya dianjurkan
pada penderita yang mengalami intoleransi
gastrointestinal berupa mual dan muntah. Preparat besi
parenteral yang lazim digunakan adalah Inferon,
Jectofer, dan Venofer
 Atasi penyebab kausa
3. Alur Diagnosis TB
4. Reaksi Adversi terhadap
Obat
 Reaksi yang tidak terkait langsung dengan efek obat
 Reaksi psikogenik
 Reaksi koinsidental
 Reaksi yang terkait langsung dengan efek obat
 Reaksi adversi yang dapat terjadi pada semua orang
 Overdosis: keracunan obat
 Efek samping
 Efek sekunder
 Interaksi obat
 Reaksi adversi yang hanya terjadi pada orang yang
memiliki bakat
 Intoleransi
 Reaksi idiosinkrasi
 Reaksi alergi
 Reaksi Pseudoalergi
Per definisi reaksi adversi
 Overdosis atau keracunan obat: efek toksik suatu obat terkait
langsung dengan konsentrasi lokal atau sistemik obat
tersebut di dalam tubuh. Biasanya dapat diprediksi
berdasarkan hasil uji coba pada binatang dan akan timbul
pada setiap orang bila batas nilai ambang toksiknya dilewati.
 Efek samping adalah reaksi adversi terhadap obat yang
paling sering dijumpai. Dipandang dari sudut pengobatan,
efek samping obat sebenarnya tidak dikehendaki namun
tidak dapat dihindarkan karena merupakan efek
farmakologis obat yang diberikan dalam dosis normal.
 Efek sekunder tidak terkait secara langsung dengan
farmakologis utama obat dan dapat dianggap sebagai
sesuatu yang secara alamiah terjadi sebagai konsekuensi
pemberian obat. Contoh: pemberian antibiotika dapat
menginduksi pelepasan antigen mikrobial dan endotoksin
dari kuman mati.
 Interaksi obat pada umumnya modifikasi efek suatu obat
oleh obat lain yang kebetulan diberikan sebelumnya atau
bersama-sama.
 Intoleransi adalah timbulnya efek farmakologis yang
khas dari suatu obat pada penderita tertentu
meskipun diberikan dalam dosis yang kecil.
 Reaksi idiosinkrasi adalah respons tidak terduga
terhadap suatu obat yang secara kualitatif abnormal
dan berbeda dari efek farmakologis obat tersebut.
Reaksi ini tidak melibatkan mekanisme imunologis.
 Reaksi alergi terhadap obat hanya terjadi pada
sekelompok penderita tertentu merupakan reaksi
tidak terduga yang secara kuantitatif abnormal dan
melalui mekanisme imunologis. Mekanisme imunologis
dapat dibuktikan dengan adanya antibodi spesifik,
limfosit T tersensitisasi atau keduanya.
 Reaksi pseudoalergi adalah reaksi sistemik tipe segera
yang disebabkan oleh pelepasan mediator sel mast
melalui mekanisme yang tidak melibatkan IgE.
Manifestasi klinisnya sangat menyerupai reaksi yang
dimediasi oleh IgE.
5. Anion gap
 Anion gap adalah selisih dari kation terukur dengan anion
terukur.
 Kation terukur biasanya terdiri dari ion natrium dan kalium,
sedangkan anion terukur terdiri ion klorida dan bikarbonat.
 Kalium biasanya konsentrasinya sangat rendah jadi sudah
disetujui untuk dihilangkan dari perhitungan anion gap.
 Rumus perhitungan anion gap Na+ - [Cl- + HCO3-].
 Normal anion gap 3-11 mEq/L
 Kegunaan klinis adalah untuk menentukan etiologi asidosis
 Pada anion gap lebih tinggi dari normal maka terdapat indikasi
meningkatnya anion yang tidak terukur seperti ketoacid
ataukehilangan bikarbonat tanpa disertai peningkatan ion klorida
 Anion gap normal pada asidosis adalah adanya penurunan ion
bikarbonat disertai peningkatan ion klorida. Keadaan ini sering
disebut hiperkloremik asidosis.
 Anion gap yang rendah paling sering disebabkan oleh
hipoalbuminemia. Albumin adalah protein bermuatan negatif dan
kehilangan albumin menyebabkan retensi terhadap klorida dan
bikarbonat. Anion gap meningkat 2.5-3 mEq untuk tiap penurunan
albumin 1 g/dL
6. Pankreatitis akut
 Merupakan suatu keradangan pada pankreas yang dapat
menyebabkan kematian dan merupakan kasus gawat
darurat.
 Tatalaksana pankreatitis akut bergantung pada derajat
keparahan klinis pada pasien.
 Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan radiologis hanya
dilakukan jika klinis tidak jelas atau diagnosis meragukan.
 Gejala klinis utama yang terjadi pada pankreatitis akut
adalah nyeri abdomen yang memiliki karakteristik
mendadak, perlahan meningkat intensitasnya dan dapat
menjadi terus menerus. Nyeri dapat terasa hingga
punggung. Mual muntah, riwayat operasi pada saluran
empedu dan konsumsi alkohol harus digali karena
merupakan faktor risiko.
 Komplikasi: Akut
abdomen dan segala Cullen‘s
komplikasinya Sign
 Tatalaksana: Puasa
total, jaga status hidrasi
pasien, gunakan
analgesik untuk
mengontrol nyeri.
Antibiotik umumnya
tidak diperlukan.
 Cari adanya penyebab
kausa dan segera obati
penyebab kausa.
7. ACS-
ACLS
8. Penyakit Ginjal Kronis
 Definisi penyakit ginjal menurut NKF-K/DOQI adalah
adanya kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan dengan
dijumpainya adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal
dengan atau tanpa penurunan GFR dengan
manifestasi adanya kelainan patologi atau petanda
kerusakan ginjal ATAU adanya GFR < 60
ml/menit/1,73m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
 Gejala penyakit ginjal timbul dari adanya kegagalan
fungsi ekskresi ginjal sehingga terjadi penumpukan
toksin, uremik, dan gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basah DAN kegagalan fungsi
hormonal yaitu penurunan eritropoietin, vitamin D3
aktif, dan gangguan sekresi renin
Stadium Penyakit Ginjal Kronis
Tatalaksana Penyakit Ginjal
Kronis
 Atasi penyakit dasar
 Pengendalian Kesembangan air dan garam
 Diet rendah protein dan tinggi kalori
 Pengelolaan hipertensi
 Pengendalian gangguan keseimbangan
elektrolit dan asam basa
 Pencegahan dan Pengobatan osteodistrofi
renal
 Pengobatan gejala uremik spesifik
 Pengobatan dan deteksi infeksi
 Penyesuaian dosis obat
 Deteksi dan Pengobatan Komplikasi
 Persiapan dialisis dan transplantasi
Indikasi Hemodialisis
 Indikasi dilakukannya hemodialisis adalah:
 Ensefalopati uremik
 Perikarditis atau pleuritis
 Neuropati perifer progresif
 Osteodistrofi renal progresif
 Hiperkalemia refrakter
 Sindroma overload cairan
 Infeksi yang mengancam jiwa
 sosial
9. Osteoartritis
 Osteoartritis adalah suatu sindom klinis akibat perubahan
struktur rawan sendi dan jaringan sekitarnya yang ditandai
dengan menipisnya kartilago secara progresif yang disertai
dengan pembentukan tulang baru pada trabekula
subkondral dan pada tepi sendi (osteofit)
 Faktor risiko: usia, kegemukan, pembebanan sendi
berlebihan, rauma, kelainan lokal sendi lutut seperti genu
varum, genu valgus, congenital hip dislocation, dan
displasia acetabulum
 Gejala sendi adalah nyeri sendi yang meningkat bila untuk
aktivitas disertai kaku sendi yang tidak lebih dari ½ jam dan
disebabkan oleh istirahat lama dan terdengar bunyi
cracking atau krepitasi saat digerakkan.
 Pada palpasi didapatkan sendi yang membesar disertai
kelemahan otot periartikuler.
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

 Gambaran laboratorium analisis cairan sendi pada


umumnya adalah normal.
 Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
laboratorium adalah nyeri lutut dan 5 di antara berikut ini:
 Umur > 50 tahun
 Kaku sendi < 30 menit
 Krepitus pada gerakan aktif
 Pembesaran sendi
 Nyeri Tulang
 Tidak hangat pada perabaan
 LED < 40 mm/jam
 Rheumatoid Faktor <1:40
 Analisis Cairan Sendi menunjukkan OA
 Tatalaksana Osteoartritis: Non farmakologis (penyuluhan
penderita, bantuan tenaga sosial, latihan aerobik,
fisioterapi, menurunkan berat badan, terapi kerja, proteksi
sendi), farmakologis (NSAID, COX-2 spesifik inhibitor, injeksi
steroid periartikuler hingga pembedahan)
10. Multiple Mieloma
 Mieloma multpel adalah suatu penyakit yang terjadi
akibat proliferasi sel plasma yang tidak terkendali
dalam sumsum tulang. Jumlahnya kira-kira 1% dari
seluruh penyakit keganasan.
 Faktor risiko mieloma multipel adalah radiasi, polusi,
dan faktor genetik.
 Manifestasi klinis umumnya terjadi pada dekade ke-
tujuh dengan gambaran seperti: nyeri tulang terutama
di dada dan tulang belakang, kelemahan umum oleh
karena anemia, gangguan fungsi ginjal, mudah
terkena infeksi, gejala akibat trombositopenia,
hepatomegali, splenomegali.
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gambaran
anemia, peningkatan gamma globulin yang tinggi dan
sempit (monoklonal gamopati), terdapat lesi osteolitik.
 Kriteria diagnosis: terdapat peningkatan jumlah sel plasma
pada sumsum tulang atau jaringan lain, terdapat
peningkatan protein M dalam urin dan plasma disertai
penurunanimunoglobulin, dan adanya lesi osteolitik
 Diferensial diagnosis termasuk penyakit heavy chain,
makroglobulinemia waldenstorm, monoklonal gamopati
karena limfoma, tumor lain, dan non tumor.
 Komplikasi: nyeri tulang, fraktur patolologis, hiperkalsemia,
gagal ginjal kronis, infeksi, depresi sumsum tulang,
hiperurisemia, sindroma hiperviskositas, amiloidosis.
 Tatalaksana terdiri dari suportif (pengobatan terhadap
gejala yang dialami penderita), radiasi, dan sitostatika
(melphalan dengan prednison dan siklofosfamid dengan
prednison)
11. Abses Paru
 Abses paru didefiniskan sebagai adanya nekrosis dari
jaringan paru dan pembentukan dari kavitas yang
berisi jaringan nekrotik atau cairan yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme. Pembentukan abses
multipel dan berukuran kecil < 2 cm biasanya disebut
dengan necrotizing pneumonia atau lung gangrene.
 Gejala klinis abses paru dapat muncul perlahan dari
minggu menuju bulan. Manifestasi klinis yang paling
sering adalah demam, batuk berdahak, keringat
malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan. Dahak yang dikeluarkan memiliki ciri khas
berbau busuk dan dirasakan tidak enak. Pasien dapat
batuk darah.
 Pemeriksaan fisis pada abses paru didapatkan
adanya panas badan, dan tanda konsolidasi
pada pemeriksaan fisis.
 Pemeriksaan penunjang laboratorium
didapatkan leukositosis dengan shift to the left,
sputum gram, kultur, sensitivity hingga TB.
 Pemeriksaan radiologis thoraks didapatkan
adanya kavitas berbentuk ireguler dengan
adanya air fluid level. Abses paru oleh karena
aspirasi biasanya didapatkan di segmen posterior
pada lobus superior atau segmen superior dari
lobus inferior.
 Ketebalan abses paru pada pemeriksaan
radiologis bervariasi ketebalannya dan dapat
disertai dengan empiema
 Tatalaksana: Antibiotika sesuai sensitivitas
12. Demam Rematik Akut
13. Keracunan Etanol Akut
 Sindrom yang disebabkan akibat pengonsumsian etanol
berlebihan.
 Dosis toksik umumnya 0,7 gram/kgBB etanol murni dan
menyebabkan kadar etanol di dalam darah 100 mg/dL.
Penurunan kesadaran terjadi pada kadar etanol di atas 300
mg/dL dan dapat di atas 500 mg/dL pada alkoholisme
kronis.
 Patofisiologi umumnya depresi SSP dengan gangguan
glukoneogenesis yang sering menyebabkan hipotermia
 Manifestasi Klinis:
 Keracunan ringan sampai sedang: euforia, inkoordinasi
ringan, ataksia, nistagmus, gangguan refleks, gangguan
sosialisasi, judgement, hipoglikemia, dan agresif.
 Keracunan berat: Koma, depresi pernapasan, aspirasi, pupil
mengecil, hipotermia, hipotensi, bradikardia, rabdomiolisis.
 Diagnosis: Kadar etanol, peningkatan osmolar
gap, pemeriksaan laboratorium lengkap.
 Tatalaksana:
 Resusitasi: Lindungi jalan napas untuk mencegah
kemungkinan aspirasi
 Eliminasi:
 Emesis dan Kumbah lambung bukan merupakan
indikasi kecuali waktu paparan < 30 menit.
 Karbon aktif kurang efektif untuk menyerap etanol
tetapi dapat diberikan apabila ada dugaan campuran
obat lain.
 Hemodialisis jarang dibutuhkan karena terapi suportif
biasanya efektif.
 Hemoperfusi dan diuresis paksa tidak efektif
 Tidak ada antidotum untuk keracunan etanol
 Berikan infus D-5 dan tiamine im atau iv
14. Diabetes Mellitus Tipe 2
 Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria (banyak kencing dalam arti
jumlah air seni lebih banyak daripada normal), polidipsia (sering
merasa haus), polifagia (sering cepat lapar), dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita.
 Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
 Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM
 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan
adanya keluhan klasik.
 Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban
75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
karena membutuhkan persiapan khusus.
Komplikasi Diabetes Mellitus

 Akut: Hipoglikemia, Koma laktoasidosis,


ketoasidosis diabetik, HHS
 Kronik: infeksi, retinopati diabetik,
glaukoma, katarak, xerostomia diabetik,
gingivitis, periodontic diabetik, silent
infarction, PJK, nefropati diabetic, sindrom
Kiemmelstiel Wilson, neuropati diabetik,
dermopati diabetik, necrobiosis lipoidica
diabeticorum, pseudoicterus, dll
15. Dislipidemia

 Dislipidemia adalah kelainan


metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi
lipid dalam plasma.
 Rumus Friedewald.
𝑇𝐺
𝐿𝐷𝐿 = 𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 − 𝐻𝐷𝐿 −
5
Fraksi lipid Kesimpulan
Kolesterol Total
< 200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
≥ 240 Tinggi
LDL
< 100 Optimal
100-129 Di atas optimal
130-159 Batas tinggi
160-189 Tinggi
≥ 190 Sangat tinggi
HDL
< 40 Rendah
> 60 Tinggi
Trigliserida
< 150 Normal
150-199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
≥ 500 Sangat tinggi
16. Obat anti
Dislipidemia
17. Pneumothoraks
 Merupakan penumpukan udara pada kavum pleura
yang bersifat progresif dan akut.
 Gejala klinis bersifat progresif dan akut yang terdiri dari:
nyeri dada, sesak napas yang memberat.
 Pemeriksaan fisis paru:
 Tanda distres napas
 Takipnea hingga bradipnea
 Pengembangan dada asimetris
 Suara napas menjauh hingga menghilang
 Perkusi hipersonor
 Fremitus raba menurun
 Pemeriksaan fisis sistem kardiovaskuler:
 Pulsus paradoksus
 Takipnea lebih dari 135 kali per menit
(pada tension pneumothoraks)
 Hipotensi
 Distensi vena jugular
 Pergeseran apeks jantung
 Pemeriksaan radiografi toraks
 Didapatkan garis pleura dan kolaps paru
 Pergeseran mediastinal (mediastinal shift)
menuju paru yang sehat.
 Tatalaksana: evakuasi udara dengan
needle decompression untuk gawat
darurat dan drain chest tube
18. Terapi antiretroviral
 Terapi antiretroviral adalah terapi yang digunakan untuk
infeksi HIV
 Terapi antiretroviral diprioritaskan pada semua penderita
HIV dengan stadium klinis 3 atau 4 dan semua pasien
dengan CD 4 ≤ 350 sel/mm3
 Terapi antiretroviral harus segera diberikan pada semua
penderita HIV dengan CD4 > 350 sel/mm3 dan ≤ 500
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinis HIV
 Terapi antiretroviral harus segera diberikan pada semua
penderita HIV tanpa memandang CD4 dan stadium klinis
pada pasien dengan koinfeksi TB paru, Hepatitis B, dan
pasien yang memiliki pasangan HIV negatif.
 Jenis Kombinasi ART yang digunakan adalah:
 Tenofovir + Lamivudin + Efavirenz merupakan pilihan utama
 Zidovudin + Lamivudin + Efavirenz
 Zidovudin + Lamivudin + Nevirapin
 Tenofovir + Lamivudin + Nevirapin
19. EKG – Hipertrofi Atrium
Kanan
 Hipertrofi atrium kanan dapat ditegakkan
dengan adanya:
 P tinggi dan lancip di II, III, aVF dengan
tinggi ≥ 2,5 mm dan interval ≤ 0,11 detik
 Defleksi awal gelombang P di V1 ≥ 1,5
mm
20. Ventricular Tachycardia
 Ventricular Tachycardia monomorfik

 Ventricular Tachycardia polimorfik


Kriteria Ventricular Tachycardia –
Brugada Criteria
Contoh untuk Kriteria Brugada
21. Tatalaksana
VT Pulseless
22. Helicobacter pylori
 Infeksi H. Pylori memegang peranan penting pada
patogenesis penyakit lambung seperti: gastritis akut,
gastritis kronik atrofikans, tukak peptik, dispepsia,
metaplasia intestinal, kanker lambung, dan mucosal
associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma
 Diagnosis ditegakkan dengan adanya keluhan klinis
sindrom dispepsia dan bukti infeksi H.pylori dari
pemeriksaan invasif dan noninvasif.
 Pemeriksaan invasif meliputi: rapid urea test,
histopatologi, biakan kuman dari jaringan biopsi
 Pemeriksaan noninvasif meliputi: urea breath test, test
antigen tinja, serologi h.pylori.
Tatalaksana Helicobacter
pylori
23. Sindroma Nefrotik
 Sindroma Nefrotik adalah kumpulan gejala klinis
yang terdiri dari: proteinuria > 3,5 gram/hari,
hipoalbuminemia, edema anasarka,
hiperlipidemia, lipiduria (oval fat bodies), dan
hiperkoagulabilitas
 Manifestasi klinis adalah: urin berbuih, kaki berat,
bengkak, dingin, lemah, lelah, anoreksia, diare.
 Pada pemeriksaan didapatkan edema
anasarka, hilangnya massa otot rangka,
didapatkan pita putih melintang pada kuku
(Muerchke;s Band) akibat hipoalbumin, dan
dapat didapatkan hipertensi.
 Komplikasi yang tersering adalah gagal ginjal
akut, trombosis vaskuler, malnutrisi, infeksi.
Tatalaksana Sindroma Nefrotik
 Tatalaksana Umum
 Pengobatan untuk edema: furosemid (dapat kombinasi dengan
HCT), pembatasan diet garam dan cairan, bila perlu tirah baring,
dan pengukuran BB diharapkan BB berkurang 0,5-1 kg per hari
 Pengobatan untuk proteinuria: ACE inhibitor dan ARB untuk
menghambat vasokontriksi pada arteriol eferen
 Pengobatan hipoproteinemia: Diet cukup protein (0,8-1
gram/kgBB/hari)
 Pengobatan hiperlipidemia: Statin
 Pengobatan hiperkoagulabilitas: masih dalam perdebatan
efektifitasnya
 Pengobatan infeksi: antibiotika
 Pengobatan hipertensi: ACE inhibitor, ARB
 Tatalaksana khusus
 Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 4-12 minggu dan tapering off
bertahap selama 2-3 bulan. Respon pada minimal change
disease sangat baik.
 Imunosupresif lain seperti: cyclophospamide, cyclosporine A,
chlorambucil
Efek Samping Terapi Steroid
24. SILIKOSIS
 Agen : debu silika bebas(free-crystalline silica),
(bedakan dengan silikat !)
 SiO2 , kristal heksagonal (bentuk amorf tak berbahaya)
 Mineral plg banyak di bumi
 Berisiko jika kandungan SiO2 >1%
 Sumber : pasir kwarsa, batu granit, tanah gerabah, dll
 Pekerja berisiko : tambang, drilling, keramik, sand blaster,
industri ampelas/gerinda, pencetakan logam
 Penyakit yang sering menyertai : tbc, penyakit
obstruktif paru, kanker
 Dibagi Menjadi Silikosis kronik, berkembang
(accelerated), dan akur
 SILIKOSIS KRONIK :
o Setelah terpapar > 20 tahun pada dosis rendah
o Umumnya tanpa keluhan.
o Keluhan (bila ada) : napas pendek dan batuk
o Dapat berkembang menjadi bentuk progresif :
progressive massive fibrosis (pmf)
o Progresif : penurunan fungsi (restriksi), distorsi
bronki.
o Komplikasi : kegagalan kardio-respirasi
o Radiologis : egg shell calcification (pengkapuran
getah bening hilus)
 SILIKOSIS BERKEMBANG
o Akibat paparan pada dosis tinggi > 5 tahun
o Secara cepat berkembang menjadi pmf
o Keluhan napas pendek muncul lebih awal
o Cepat mengalami hipoksia
o Nodul mengalami konsolidasi membesar > 1
cm
 SILIKOSIS AKUT :
o Akibat paparan dengan dosis sangat tinggi
dalam waktu beberapa minggu – tahun (1 – 3
tahun)
o Pekerja berisiko : sandblaster, flint crusher,
keramik
o Keluhan & gejala : sesak, febris, batuk, berat
badan turun
o Gejala lain : sering diserta odema paru atau
extrinsic allergic alveolitis
o Komplikasi silikosis
 Tuberkulosis dan infeksi aportunis
 Pnemotoraks
 Rematoid dan penyakit kolagen lain
 Penyakit ginjal
 Kanker paru
25. Hipotiroid
 Hipotiroid adalah suatu keadaan klinik yang diakibatkan
oleh kekurangan hormon tiroid.
 Manifestasi klinis terdiri dari konstipasi, cold intolerance,
refleks menurun, BB naik namun nafsu makan menurun,
kulit kering dan kaku (myxedema), kardiomegali, a-
dynamic megacolon, bradikardia.
 Pemeriksaan penunjang didapatkan Basal metabolic
rate negatif besar (<20%), kolesterol > 400 mg/dL, fT4
menurun dengan etiologi dapat diperkirakan dari nilai
TSH (primer sekunder), dan pada EKG didapatkan
bradikardia, amplitudo T datar atau terbalik
 Pengobatan dengan ekstrak tiroid 120-180 mg/hari atau
levotiroksin 0,2-0,3 mg/hari
26. Defisit Cairan
 Perhitungan defisit cairan dapat digunakan
dengan menggunakan beberapa metode,
namun metode yang sering digunakan adalah
metode pierce dan metode berat jenis plasma
 Metode Pierce didasarkan atas tanda klinis
dehidrasi:
 Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% dari BB
 Dehidrasi Sedang: kebutuhan cairan 8% dari BB
 Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% dari BB
 Metode berat jenis plasma dapat digunakan
dengan menggunakan rumus:
𝐵𝐽 𝑃𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎−1,025
 𝐷𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑡 𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 = 𝑥 𝐵𝐵 𝑥 4 𝑚𝑙
0,001
Ilmu Bedah
27. Radiologi pada CHF
 Nyeri dada kiri, jantung berdebar
 JVP (5+4)cm, sesak, BP 170/90 mmHg
28. Osteomielitis
 Peradangan pada tulang dan sumsum
tulang(bone marrow) disebabkan oleh
kuman.
 Walaupun tulang normalnya tahan
terhadap kolonisasi bakteri, trauma,
operasi, adanya benda asing atau
prostese dapat menyebabkan rusaknya
integritas tulang sehingga akan
menyebabkan infeksi pada tulang
http://emedicine.medscape.

Pathogenesis
com/article/1348767-
overview#a0112

Waldvogel, 1971 Symptoms


1. Hematogen  Nonspecific symptoms
Demam
ous

 Menggigil

2. Contiguous 

Malaise
Letargi
focus of  Iritabilitas

infection  The classic signs of


inflammation, including
3. Direct local pain, swelling, or
redness, may also occur
inoculation and normally disappear
within 5-7 days
S aureus Bakteri penyebab yang paling
sering ditemukan, diikuti dengan
Pseudomonas dan Enterobacteriaceae.
 Bakteri yang lebih jarang adalah
anaerobe gram-negative bacilli.
 Intravenous drug users may acquire
pseudomonal infections
http://www.hawaii.edu/me
dicine/pediatrics/pedtext/s
19c04.html

 Osteomielitis akut hematogenus memiliki


predileksi pada tulang panjang.
 The ends of the bone near the growth
plate (the metaphysis) is made of a maze
like bone called cancellous bone.
 It is here in the rapidly growing metaphysis
that osteomyelitis often develops
29. Sumbatan Jalan
Napas
 Mengorok Oropharyngeal Airway
• Obstruksi jalan napas • Semicircular, disposable
atas karena lidah and made of hard
plastic. Guedel and
 Gurgling Berman are the frequent
• due to obstruction of types.
upper airway by liquids • Guedel  tubular dan
memiliki lubang ditengah.
(blood, vomit)
• Berman  solid and has
• Tx: Suction channeled sides.
 Wheezing • Menarik lidah menjauh
dari dinding faring
• due to narrowing of the posterior
lower airways • Mencegah lidah untuk
jatuh ke hipofaring
30. Prostatic malignancy
PSA—Prostate Cancer
 PSA >4.0 ng/mL Biopsi Prostat
mandatory biopsy  Skrinning PSA untuk Ca

 50% of all the cancers Prostat, tidak dapat


detected because of meningkatkan survival
an elevated PSA level rate
are localized USG Prostat
 these patients are  Hanya dapat melihat
candidates for pembesaran prostat
potentially curative  Tidak menunjukkan
therapy derajat obstruksinya
What‘s LUTS?
Voiding (obstructive) Storage (irritative or
symptoms filling) symptoms
 Hesitancy  Urgency
 Weak stream  Frequency
 Straining to pass urine  Nocturia
 Prolonged micturition  Urge incontinence
 Feeling of incomplete
bladder emptying
 Urinary retention

LUTS is not specific to BPH – not everyone with


LUTS has BPH and not everyone with BPH has LUTS

Blaivas JG. Urol Clin North Am 1985;12:215–24


31. Lipoma
 Massa yang berasal dari sel adiposa,
tumbuh dengan lambat
 Lokasi: Punggung atas, leher, bahu

 terletak subkutan di daerah yang


terdapat jaringan adiposa
Tipe tumor jinak jaringan lunak yang
tersering
 Menyerupai jaringan adiposa normal
 Subtipe:angiolipoma, spindle cell
lipoma
 Massa yang berasal dari sel adiposa, tumbuh
dengan lambat,berbatas tegas, kenyal, mobile,
pseudokistik (pseudofluctuant)
 Pseudokistik/Pseudofluctuant Karena
konsistensi sel lemak yang kenyal
 Paget's test
 Massa di fiksasi oleh ibu jari dan jari telunjuk,
kemudian bagian tengah ditekanbila bagian
tengah menonjol keatas, maka fluctuant atau
kistikfluktuasi +
Diagnosis Histologic

Lipoma Soft mass, pseudofluctuant with a slippery edge

Atherom cyst Occur when a pilosebaceous unit or a sebaceous gland


becomes blocked. Skin Color is usually normal, and there is
a punctum (comedo, blackhead) on the dome

Dermoid Cyst Lined by orthokeratinized, stratified squamous epithelium


surrounded by a connective tissue wall. The lumen is
usually filled with keratin. Hair follicles, sebaceous glands,
and sweat glands may be seen in the cyst wall
Epidermal A raised nodule on the skin of the face or neck.
Cyst HistologicLined by keratinizing epithelium the resembles
the epithelium of the skin
•Most commonly superotemporal •Occasionally superonasal
•Freely mobile under skin •Posterior margins are easily palpable

Dermoid Cyst

Lipoma
32. Tetanus
 Itis found worldwide in soil, in inanimate
environment, in animal faeces & occasionally
human faeces.
 An anaerobic, motile, gram positive rod that forms
oval, colourless, terminal spores – tennis racket or
drumstick shape.
Stadium Tetanus
Tatalaksana Tetanus
National Immunization Program
Centers for Disease Control and
Prevention. Revised March 2002

33. Tetanus Wound Management


Clean, minor All other
wounds wounds
Vaccination History Td TIG Td TIG

Unknown or <3 doses Yes No Yes Yes

3+ doses No* No No** No

* Yes, if >10 years since last dose


** Yes, if >5 years since last dose
Perawatan luka
• Wound toilet
• Semua luka
harus
dibersihkan
sesegera
mungkin
• Debridement
• Bersihkan luka
dari tanah,
debu jaringan
nekrotik dan
benda asing
lainnyaall
foreign bodies,
soil, dust,
necrotic tissue
Dosis ATS dan HTIG
http://www.cdc.gov/rabies/medical

34.Rabies _care/index.html

Purified Chick Embryo Cell Vaccine (PCEC) Human Diploid Cell Vaccine (H
Rabies
 Envelope virus ini
antara lain
mengandung lipid
dapat larut oleh eter
 virus rabies mudah
diinaktivasi dengan
lipid solvent
 air sabun 20%
 eter
35. Pemeriksaan Penunjang Ca Colon
• Barium Enema
• Barium enema dimasukkan,
akan terlihat gambaran apple
core
• Double contrast barium
enema (DCBE):
• Barium enema dimasukkan,
diikuti dengan pemasukan
udara untuk
mengembangkan colon.
Hasilnya adalah lapisan tipis
dari barium akan meliputi
dinding sebelah dalam dari
colon yang akan terlihat pada
hasil pemeriksaan sinar X.
36. Dis.Bahu
(D.Glenohumeralis)
 Keluarnya caput humerus dari
cavum gleinodalis
 Etio : 99% trauma
 Pembahagian
1. Dis. Anterior (98 %)
2. Dis.Posterior (2 %)
3. Dis. Inferior

 Mekanisme Trauma
1. Puntiran sendi bahu tiba-tiba
2. Tarikan sendi bahu tiba-tiba
3. Tarikan & puntiran tiba-tiba
Dislokasi Anterior
 Lengkung (contour) bahu berobah,

 Posisi bahu abduksi & rotasi ekterna

 Teraba caput humeri di bag anterior

 Prominent acromion, sulcus sign

 Back anestesi  ggn n axilaris

 Radiologis  memperjelas Diagnosis

 Rontgen Foto

 CT Scan
Penanganan
 Reduction, as quickly and gently as possible

 Tertutup atau Terbuka

1. Tarikan langsung
1. Teknik Traksi & Teknik Counter traksi

2. Teknik Hippokrates

2. Reposisi sesuai arah trauma


1. Teknik Stimson (Gravitasi),

2. Teknik Milch

3. Teknik Kocher
1.Teknik Tarikan langsung
Reposisi dengan penarikan langsung
 Teknik Hipokrates
 Penderita tidur telentang
 Tangan ditarik dan kaki mendorong
diketiak
 Teknik Traksi & Kounter Traksi
 Penderita duduk
 Tangan ditarik kebawah dan ketiak
ditarik keatas
 Keduanya sangat traumatis  n axilaris
2.Teknik Sesuai Arah Trauma
Teknik Stimson
 Reposisi oleh berat tangan & gravitasi
 Telungkup dipinggir meja, Beban  2,5
kg selama 15- 20 min
Teknik Milch

 Reposisi: tarikan dalam posisi telungkup


 Humerus di abduksi & rotasi ekterna
 Caput humeri didorong kedalam

Teknik Kocher

 Reposisi menyesuaikan arah trauma

 Humerus diputar keluar & siku kedada


Perawatan Pasca Reposisi
 Imobilisasi bahu posisi adduksi & rotasi interna 
Pelvow sling

 Latihan ROM sendi.

 Komplikasi
1. Ggn ligament & kapsul sendi

2. Fraktur tulang sekitar sendi

3. Trauma vaskular (a. axilaris)

4. Habitual Dislocation

5. Trauma syaraf (10 %)  n. axilaris


Dislokasi Posterior: Klinis
 Lengan dipegang di depan dada
 Adduksi
 Rotasi interna
 Bahu tampak lebih datar (flat and squared
off)
Reposisi
 Reduksi tertutup dengan sedasi
 Traksi aksial, tekanan pada caput humeri
dan rotasi eksterna
 Komplikasi:
 Missed Dx: “locked” – ORIF
 fraktur glenoid rim, tuberosities, humeral
head
37. FOREHAND FRACTURE
Montegia Fracture Dislocation
 Fraktur 1/3 proksimal Ulna
disertai dengan dislokasi Lateral displacement
kepala radius ke arah
anterior, posterior, atau
lateral
 Head of Radius dislocates
same direction as fracture
 Memerlukan ORIF

http://www.learningradiology.com
Galleazzi Fracture
 Fraktur distal radius
dan dislokasi sendi
radio-ulna ke arah
inferior
 Like Monteggia
fracture if treated
conservatively it will
redisplace
 This fracture appeared
in acceptable position
after reduction and
POP

http://www.learningradiology.com
38. Greenstick Fracture
• A Greenstick fracutre is a
fracture that is incomplete,
where the bone is bent
• Pada fraktur ini, hanya
bagian terluar tulang yang
patah/retak, bagian tulang
yang lain membengkok
untuk mengakomodasi
gaya dari luar
• Biasanya pada anak-anak
atau bayi
Greenstick Fractures

http://www.learningradiology.com
http://www.merckmanuals.com/professional/injuries_poisoning/fr
actures_dislocations_and_sprains/fractures.html
39. The Breast
Tumors Onset Feature
Breast cancer 30- Invasive Ductal Carcinoma , Paget’s disease (Ca
menopause Insitu), Peau d’orange , hard, Painful, not clear
border, infiltrative, discharge/blood, Retraction of
the nipple,Axillary mass
Fibroadenom < 30 years They are solid, round, rubbery lumps that move
a mammae freely in the breast when pushed upon and are
usually painless.
Fibrocystic 20 to 40 years lumps in both breasts that increase in size and
mammae tenderness just prior to menstrual
bleeding.occasionally have nipple discharge
Mastitis 18-50 years Localized breast erythema, warmth, and pain.
May be lactating and may have recently
missed feedings.fever.
Philloides 30-55 years intralobular stroma . “leaf-like”configuration.Firm,
Tumors smooth-sided, bumpy (not spiky). Breast skin
over the tumor may become reddish and warm
to the touch. Grow fast.
Duct 45-50 years occurs mainly in large ducts, present with a
Papilloma serous or bloody nipple discharge
Mastalgia: Fibrocystic Disease
 Differential  Fibrocystic disease
Diagnosis:  Premenopausal women
 Cyclic  Premenstrual breast
 Cyclic mastalgia swelling/tenderness
 Fibrocystic disease  Nodules/masses/lumps
 Non-cyclic related to dense breast
 Mastitis
tissue or cysts
 Hormone replacement
therapy
 Ductal ectasia
 Inflammatory breast
cancer
 Extramammary (non-
breast) pain
40. Inhalation Injury
• Antisipasi gangguan respirasi pada korban luka bakar
yang memiliki luka di :
– Kepala, wajah, atau dada
– Rambut hidung, atau alis terbakar
– Suara serak, takipnea atau keluar air liur yang
banyak(pasien kesulitan untuk menelan air liur)
– Kehilangan kesadaran di lokasi kejadian
– Mukosa Nasal atau Oral berwarna merah atau kering
– Jelaga pada mulut atau hidung
– Batuk dengan sputum kehitaman
– Lokasi kebakaran yang tertutup atau terdapat
riw.terperangkap
• Semua pasien yang terperangkap dalam api memiliki
kemungkinan keracunan CO atau mengalami hipoksia
Inhalation Injury
 Supraglottic Injury • Subglottic Injury
– Jarang terjadiRare injury
 Terjadi pada
– Menandakan kemungkinan
kebakaran dengan kerusakan pada parenkim
suhu yang tinggi paru
 Dapat langsung – Usually due to superheated
mengakibatkan steam, aspiration of
scalding liquid, or inhalation
edema faring dan of toxic chemicals
laring – Bisa langsung
 Brassy cough menyebabkan edema, tapi
 Stridor biasanya terjadi lebih
ambat
 Suara serak • Wheezing or Crackles
 Carbonaceous sputum • Productive cough
 Facial burns • Bronchospasm
Inhalation Injury Management
• Airway, Oxygenation and
Ventilation • Circulation
– Penilaian awal dan sering
terhadap edema jalan napas
– Tatalaksana syok
– Pertimbangkan Intubasi awal – IV Access
dengan RSI(rapid sequence • LR/NS large bore,
intubation)Ventilator multiple IVs
• Inflamasi dari • Titrate fluids to
alveolimengurangi oxigenasi
maintain systolic BP
– Bila terdapat keragu-raguan and perfusion
oxygenate and ventilate
– High flow oxygen – Avoid MAST/PASG
– Bronkodilator dapat
dipertimbangkan bila terdapat
bronkospasm
– Diuretik tidak sesuai untuk
pulmonary edema
41. BLADDER CANCER
Symptoms
 The second most  Hematuria
common  80% of patients present
with gross, painless
genitourinary hematuria
20% of patients present
neoplasm 
solely with microscopic
hematuria.
 The peak  Dysuria and irritative
incidence: 50 to  up to 30% of patients—
especially those with
70 years old carcinoma in situ
Upper urinary tract
Male-to-female

 obstruction
predominance of  rare on initial presentation
a sign of advanced
almost 3:1. 
disease in 50% of cases.
Diagnosis
 Hematuria
 Intravenous urography (IVU)
 Radiolucent filling defect
 Urinary cytology
voided urinary cytology is not particularly
sensitive, but selective cytology and brush
biopsy specimens are usually positive for
carcinoma.
 CT or MRI
 Staging and evaluating regional lymph
nodes.
 Cystoscopy
all patients suspected of having bladder
cancer should have careful cystoscopy and
bimanual examination. Abnormal areas
should be biopsied.
Clinical Stage

optimized by optima
42. GANGLION Cyst
 Kista
ganglion
merupakan tumor
yang sangat sering
muncul pada tangan
dan pergelangan
tangan
 Timbul pada daerah
yang berdekatan
dengan sendi atau
tendon.
 Lokasi tersering:
pergelangan tangan
(top of the wrist)
American Society for
Surgery of the Hand •
www.handcare.org

 Diagnosis
 Berdasarkan lokasi dari tumor dan
penampakannya
 Karakteristik
 Bulat atau oval
 Lunak atau kenyal(oft or firm)
 Nyeri saat terkena tekanan, contohny
pada saat menggenggam.
 Transillumination +
43. Syok Anafilaktik
www.resus.org.uk/page
s/reaction.pdf.2012.

If there are symptoms of


airway obstructionconsider
early intubation
44. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common


and incorrect terminology
Superficial vein systems
 Signs and symptoms of
DVT include :
 Pain in the leg
 Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
 Leg tenderness
 Swelling of the leg
 Increased warmth of the
leg
 Redness in the leg
 Bluish skin discoloration
 Discomfort when the foot
is pulled upward
(Homan‘s)

http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

Venous duplex scan negative


Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


45. Breast Cancer
I T1N0
T1N1
IIA
T2N0 • Localized breast
T2N1 cancer
IIB
T3N0 – Surgery is mainstay
T1N2 – Halsted, 1882, radical
T2N2 mastectomy
IIIA • John Hopkins
T3N1
T3N2
T4N0 • Metastatic breast
IIIB T4N1 cancer
T4N2 – Systemic treatment
IIIC N3
IV M1
Modified radical mastectomy
(MRM)
 A. Entire breast is
removed

 Classically some lymph


nodes in the level 1 (B)
and level 2 (C ) were
removed, called an
axillary lymph node
dissection.

MRM = simple mastectomy + ALND


 Neoadjuvant or preoperative induction
chemotherapy is now considered a
legitimate strategy for inclusion in the
multidisciplinary approach to locally
advanced breast cancer
 To downstage the tumour
 to facilitate less invasive surgery
 hopefully improve treatment outcome.
http://emedicine.medscape.com/article/2047916

46. Chest Trauma


Disorders Etiology Clinical
Hemothorax lacerated Anxiety/Restlessness,Tachypnea,Signs of
blood vessel in Shock,Tachycardia
thorax Frothy, Bloody Sputum
Diminished Breath Sounds on Affected
Side,Flat Neck Veins, Dullness to
percussion
Simple/Closed Blunt trauma Opening in lung tissue that leaks air into
Pneumothorax spontaneous chest cavity, Chest
Pain,Dyspnea,Tachypnea
Decreased Breath Sounds on Affected
Side,hipersonor
Open Penetrating Opening in chest cavity that allows air to
Pneumothorx chest wound enter pleural cavity, Dyspnea,Sudden
sharp pain,Subcutaneous Emphysema
Decreased lung sounds on affected side
Red Bubbles on Exhalation from wound
(Sucking chest wound)
Disorders Etiology Clinical
Tension Anxiety/Restlessness, Severe ,Poor Color
Penumothorax Dyspnea,Tachypnea,Tachycardia
Absent Breath sounds on affected side,
Accessory Muscle Use, JV Distention
Narrowing Pulse Pressures,Hypotension
Tracheal Deviation, hypersonor
Flail Chest Trauma a segment of the rib cage breaks
becomes detached from the rest of the
chest wall, 3 ribs broken in 2 or more
places,painful when
breathing,Paradoxical breathing
Pleural Efusion congestive heart Dyspnea, cough, chest pain, which results
failure, pneumonia, from pleural irritation, Dullness to
malignancy, or percussion, decreased tactile fremitus,
pulmonary and asymmetrical chest expansion, with
embolism diminished or delayed expansion on the
infection side of the effusion, decreased tactile
fremitus, and asymmetrical chest
expansion, diminished or delayed
expansion on the side of the effusion
Pneumonia Infection, Fever,dysnea,cough,rales in ausultation
inflammation
Tension
Pneumothoraks
Treatment
 ABC‘s dengan c-spine
control sesuai indikasi
 Needle Decompression
• Udara yang pada bagian yang
terkumpul di rongga terkena
pleura tidak dapat
keluar lagi  Oksigen aliran
• Tekanan pada tinggibag valve mask
mediastinum,paru
dan pembuluh darah  Atasi syok karena
besar meningkat kehilangan darah
• Menyebabkan paru  Memberitahukan RS
pada bagian yang
terkena kolaps dan unit trauma
secepatnya
http://www.trauma.org/index.php/main/article/19
http://emedicine.medscape.com/article/424547

Needle Decompression
 Tandai sela iga 2-3 garis
midklavikularis
 Asepsis-antisepsis
 Tusukkan jarum ( 14G atau
lebih besar) diatas iga ke 3
(saraf, arteri, vena berjalan
di sepanjang bag.bawah
iga)
 Lepaskan Stylette dan
dengarkan adanya suara
udara yang keluar
 Place Flutter valve over
catheter
 Reassess for Improvement
http://emedicine.medscape.com/ Saat darah semakin banyak, akan
Rongga pleura terisi oleh darah menimbulkan tekanan pada jantung dan
pembuluh darah besar di rongga dada

Treatment for
Hemothorax
• ABC‘s dengan c-spine control sesuai
indikasi
• Amankan Airway dengan bantuan
ventilasi bila dibutuhkan
• Atasi syok karena kehilangan darah
• Pertimbangkan posisi LLD bila tidak di
kontraindikasikan
• Transport Secepatnya
• Memberitahukan RS dan unit trauma
secepatnya
• Needle decompressionBila ada indikasi
• Chest tubesegera setelah pasien stabil Upright chest radiograph:
blunting at the costophrenic
angle or an air-fluid interface
http://emedicine.medscape.com/

Open Pneumothorax
Inhale Th/ :
• ABC‘s dengan c-spine
Inhale control sesuai indikasi
• Oksigen aliran
tinggibag valve mask
• Suara napas berkurang
pada dada yang
terkena
• Pasang occlusive
dressing pada luka
Luka pada dinding dada • Memberitahukan RS
menyebabkan paru kolaps karena dan unit trauma
peningkatan tekanan pada rongga secepatnya
pleura
Dapat mengancam jiwa dan
memburuk dengan cepat
Occlusive
http://www.cssolutions.biz

dressing
http://emedicine.medscape.com/article
/433779 Flail chest:
• Beberapa tulang iga
FLAIL CHEST • Beberapa garis fraktur
pada satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If
Fraktur segmental dari tulang-tulang multiple rib fractures occur
iga yang berdekatan, sehingga ada along the midlateral (red
bagian dari dinding dada yang arrows) or anterior chest wall
bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC‘s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen
darah meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan
membantu mengurangi nyeriPasien miring pada sisi
yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
47. GIT Congenital Malformation
Disorder Clinical Presentation

Hirschprung Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)


Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic
constipation since birth, bowel obstruction with bilious vomiting,
abdominal distention, poor feeding, and failure to thrive, Chronic
Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment  remove the poorly functioning aganglionic bowel and
create an anastomosis to the distal rectum with the healthy
innervated bowel (with or without an initial diversion)
Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal
distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the
fistula (perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric functional gastric outlet obstruction
Stenosis Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric
tumor(Olive sign).Vomiting  occur after every feeding,starts 3-4
weeks of age
Disorder Clinical Presentation

Oesophagus Congenitally interrupted esophagus


Atresia Drools and has substantial mucus, with excessive oral
secretions,. Bluish coloration to the skin (cyanosis) with
attempted feedings
Coughing, gagging, and choking, respiratory
distressPoor feeding
Intestine Malformation where there is a narrowing or absence of
Atresia a portion of the intestine
Abdominal distension (inflation), fails to pass stools,
Bilious vomiting

http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
http://en.wikipedia.org/wiki/ aafp.org
48.Gastroskisis vs Omphalocele
• Gastroskisis
– Defek pada dinding anterior abdomen sehingga organ
abdomen dapat keluar melalui defek tersebut
– Tidak terdapat selaput yang melapisi dan ukuran defek
biasanya kurang dari 4 cm
– Defek pada dinding abdomen merupakan
persambungan antara umbilikus dengan kulit
– Hampir selalu terletak disebelah kanan dari umbilikus
– Usus yang keluar dapat mengalami inflamasi,edema
– Hal ini akan menentukan apakah reduksi dari usus
ersebut dan penutupan defek dapat langsung dilakukan
atau harus dilakukan dalam beberapa tahap

http://www.chop.edu/service/fetal-diagnosis-and-treatment/fetal-diagnoses/gastroschisis.html
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1514688/

Treatment:
• Pimary Closure
– Usus dikembalikan ke dalam rongga abdomen dan defek
langsung ditutup dalam satu kali operasi
– Bergantung pada:
• Perbandingan antara organ abdomen dan rongga abdomen
• Kondisi pasien
– Komplikasiterjadi bila dipaksakan untuk melakukan primary
closure
• Infeksi
• Abdominal compartment syndrome
– respiratory compromise
– hemodynamic compromise of intra-abdominal organshypoxia
– Structural or functional damage to the bowel
• Staged Closure
– Pendekatan bertahap untuk memperbaiki defekrata-rata 5
sampai 10 hari
– a spring-loaded silastic (silicone plastic) pouch placed around
the herniated bowel
– The bowel is slowly and gently pushed back down
into the abdomen over the course of a few days
– Surgical facial repair

http://neoreviews.aappublications.org/content/7/8/e419.full
• Omphalocele
– Tipe lain dari defek dinding abdomenusus, hati, dsn
terkadang organ lain tetap berada di luar abdomen
didalam sebuah kantong karena adanya defek pada
perkembangan otot dinding abdomen
– Melibatkan tali pusat(umbilical cord)
• Treatment:
– Operasi harus ditunda sampai bayi stabil, selama
selaput ompfalokel masih intak
– Small omphaloceles  repaired immediately
– Larger omphaloceles  require gradual reduction by
enlarging the abdominal cavity to accommodate the
intestinal contents

http://en.wikipedia.org/wiki
Treatment
• Semua kasus anak wajib
memperhatikan
• Jaga stabilitas air dan
elektrolit,
• asam basa
• dan suhu

http://neoreviews.aappublications.org/content/7/8/e419.full
Omphalocele
http://emedicine.medscape.com/article/ http://en.wikipedia.org/wi

49. Male Genital Disorders


Disorders Etiology Clinical
Testicular Intra/extra-vaginal Sudden onset of severe testicular pain followed by
torsion torsion inguinal and/or scrotal swelling. Gastrointestinal
upset with nausea and vomiting.
Abses testis complication of most cases epididymo-orchitis has been present
severe epididymo- for some time
orchitis
Epididimoor Infection Gradual onset of scrotal pain and swelling, usually
kitis located on 1 side, dysuria, frequency, and/or
urgency, fever, Testicular pain and swelling,
fatigue, fever, chills, Testicular enlargement,
induration of the testis, Erythematous scrotal skin
Hernia persistent patency Mass in scrotum when coughing or crying
skrotalis of the processus
vaginalis
Tumor testis a lump, irregularity or enlargement in either
testicle; a pulling sensation or feeling of unusual
heaviness in the scrotum; a dull ache in the groin
or lower abdomen; and pain or discomfort (which
may come and go) in a testicle or the scrotum
Torsio Testis
Gejala dan tanda:
 Nyeri hebat pada skrotum yang
mendadak
 Pembengkakan skrotum
 Nyeri abdomen
 Mual dan muntah
 Testis terletak lebih tinggi dari biasanya
atau pada posisi yang tidak biasa
Tatalaksana Torsio Testis
• Manual detorsion
– Dapat dilakukan saat pasien di IGD dan merupakan terapi
sementara
– Cara manual detorsion
• Seperti Opening of a book bila dokter berdiri di kaki pasien
• Sebagian besar torsio testis , terpelintir kearah dalam dan medial,
sehingga manual detorsion akan memutar testis kearah luar dan
lateral
• Bila testis kiri yang terkena, dokter memegang testis dengan ibu
jari dan telunjuk kanan kemudian memutar kearah luar dan lateral
180derajat
• Rotasi testis mungkin memerlukan pengulangan 2-3 kali sampai
detorsi terpenuhi
– Bila berhasil (dikonfirmasi dengan USG color Doppler dan gejala
yang membaik)terapi definitif masih harus dilakukan sebelum
keluar dari RS
• Surgical detorsion Terapi definitif
• Untuk memfiksasi testis
• Tetap dilakukan walaupun,manual detorsion berhasil
• CITO bila manual detorsion tidak berhasil dilakukan
• Bila testis yang terkena sudah terlihat, testis dibungkus
kassa hangatuntuk memperbaiki sirkulasi dan menentukan testis
masih hidup atau tidak
• OrchiectomyBila testis telah nekrosis
http://emedicine.medscape.com/article/2036003-treatment#a1156
Epididymitis  Inflamasi dari epididimis
 Bila ada keterlibatan
testisepididymoorchitis
 Biasanya disebabkan
oleh STD
 Common sexually
transmitted pathogen,
Chlamydia
PRESENTATION TREATMENT
 Nyeri skrotum yang  ORAL ANTIBIOTIC.
menjalar ke lipat paha  SCROTAL ELEVATION,
dan pinggang.
bed rest,&use of NSAID.
 Pembengkakan
skrotum karena  admission & IV drugs
inflamasi atau hidrokel used.
 Gejala dari uretritis,  in STD treat partner.
sistitis, prostatitis.
 in chronic pain do
 O/E tendered red
scrotal swelling. epididymectomy.
 Elevation of scrotum
relieves painphren
sign (+)
http://www.racgp.org.au/afp/2013/november/acute-scrotal-
50. Umbilical Hernia
 Signs and symptoms  Natural history 90 %
 Age disappear
 Doesn‘tappear until spontaneously during
the umbilical cord has the first year
separated and healed
 Most close by age 3
.
 No specific symptoms  May remain small and
asymptomatic
 Have wide neck and
reduce easily , rarely
give intestinal
obstruction.
Umbilical Hernia  caused when an
opening in the
abdominal wall,
which normally
closes before birth,
doesn‘t close
completely.
soundnet.cs.princeton.edu
51. Posterior Hip Dislocation netterimages.com
Gejala
• Nyeri lutut
• Nyeri pada
sendi panggul
bag.
belakang
• Sulit
menggerakka
n ekstremitas
bawah
• Kaki terlihat
memendek
dan dalam
posisi fleksi,
endorotasi
dan adduksi
Risk Factor
• Kecelakaan
• Improper
seating
adjustment
• sudden break
in the car
soundnet.cs.princeton.e

Anterior Hip Dislocation

Gejala
• Nyeri pada sendi panggul
• Tidak dapat berjalan atau
melakukan adduksi dari
kaki.
• The leg is externally
rotated, abducted, and
extended at the hip

netterimages.com
http://www.aaos.org/

TREATMENT
Survei primer (ABC) selalu didahulukan
Setelah pasien stabil dan
diamankanperiksa fraktur/dislokasi
yang dialami
Tatalaksana terpenting untuk fraktur dan
dislokasiPembidaian, terutama
sebelum transport
Tatalaksana Definitif Dislokasi
Sendi Panggul: Reposisi
 Bila pasien tidak memiliki komplikasi lain:
 Berikan Anestetic atau sedative dan manipulasi
tulang sehingga kembali pada posisi yang
seharusnya reduction/reposisi
 Pada beberapa kasus, reduksi harus
dilakukan di OK dan diperlukan pembedahan
 Setelah tindakan, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis ulang atau CT-scan
untuk mengetahui posisi dari sendi.
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00352

Anterior
reduction/reposition

Posterior reduction/reposition
52.

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
 Takipnea dan DOE, rest  Takikardi
air hunger  Hypotension shock

 Weakness  Elevated JVP with


blunted y descent
 Presyncope
 Muffled heart sounds
 Dysphagia
 Pulsus paradoxus
 Batu
 Bunyi jantung masih
 Anorexia terdengar namun nadi
radialis tidak teraba
 (Chest pain)
saat inspirasi
 (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

―Water bottle configuration"


bayangan pembesaran
jantung yang simetris
 Dicurigai Tamponade
jantung:
 Echocardiography
 Pericardiocentesis
 Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
 Needle pericardiocentesis
 Sering kali merupakan
pilihan terbaik saat
terdapat kecurigaan
adanya tamponade
jantung atau terdapat
penyebab yang diketahui
untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Ilmu Kesehatan
Mata
53. ASTIGMATISME - DEFINISI
 Ketika cahaya yang
masuk ke dalam
mata secara paralel
tiudak membentuk
satu titik fokus di
retina.

http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/ima
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry ges//astigmatism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME
 Kornea seharusnya berbentuk
hampir sferis sempurna (bulat) 
pada astigmat kornea berbentuk
seperti bola rugby.
 Bagian lengkung yang paling landai
dan yang paling curam
mengakibatkan cahaya
direfraksikan secara berbeda dari
kedua meridian  mengakibatkan
distorsi bayangan
 Kekuatan refraksi pada horizontal
plane memproyeksikan gambar/
garis vertikal.
 Kekuatan refraksi pada vertical
plane memproyeksikan gambar/
garis horizontal.
 The amount of astigmatism is equal
to the difference in refracting power
of the two principal meridians
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI :
ETIOLOGI
 Astigmatisme korneal: When
the cornea has unequal curvature
on the anterior surface – 90% PLACIDO
penyebab astigmatisme  bisa
dites dgn tes Placido
(keratoscope)
 Astigmatisme lentikular: When
the crystalline lens has an
unequal on the surface or in its
layers
 Astigmatigma total: The sum of
corneal astigmatism and Astigmatisme korneal akibat
lenticular astigmatism trauma pada kornea. Perhatikan
iregularitas bayangan placido
http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornha
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry utabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG
MERIDIAN
• Kedua bidang meridian
utamanya saling tegak  Kebanyakan kasus
lurus. (meredian di mana astigmatisme adalah
terdapat daya bias terkuat
dan terlemah di sistem astigmatisme reguler
optis bolamata).  3 tipe:
• Cth:
 are with-the-rule
– jika daya bias terkuat
berada pada meredian  against-the-rule
90°, maka daya bias  oblique astigmatism
terlemahnya berada pada
meredian 180°
– Jika daya bias terkuat
berada pada meredian
45°, maka daya bias
terlemah berada pada
meredian 135°.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG
MERIDIAN

ASTIGMATISME IREGULER

• When the two principal


meridians are not
perpendicular to each
other
• Curvature of any one
meridian is not uniform
• Associated with trauma,
disease, or degeneration
• VA is often not correctable
to 20/20

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


ASTIGMATISME REGULER

With-The-Rule (WTR)
Astigmatism
 Jika meredian vertikal
memiliki daya bias lebih kuat
dari pada meredian
horisontal.
 The greatest refractive power is
within 030 of the vertical
meridian (i.e., between 060 and
120 meridians)
 axis is between 0 and 30 or
150 and 180 degrees
 Minus cylinder axis around
horizontal meridian
 The most common type of
astigmatism based on the
orientation of meridians

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


ASTIGMATISME REGULER

Against-The-Rule
(ATR) Astigmatism
 Jika meredian horisontal
memiliki daya bias lebih
kuat dari pada meredian
vertikal.
 The greatest refractive
power is within 030 of the
horizontal meridian (i.e.,
between 030 and 150
meridians)
 axis is between 60 and
120 degrees
 Minus cylinder axis around
vertical meridian
ASTIGMATISME REGULER

Oblique (OBL) Astigmatism


 When the greatest
refractive power is within
030 of the oblique
meridians (i.e., between
030 and 060 or 120 and
150)
 oblique astigmatism :
axis is between 30 and
60 or 120 and 150
degrees

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
SIMPLE
ASTIGMATISM COMPOUND ASTIGMATISM
 When both principal
 When one of the principal meridians are focused
meridians is focused on either in front or behind the
retina (with accommodation
the retina and the other is relaxed)
not focused on the retina  Terdiri dari
(with accommodation  astigmatisme miopikus kompositus
 dan astigmatisme hipermetrop
relaxed) kompositus

 Terdiri dari
MIXED ASTIGMATISM
 astigmatisme miopikus simpleks
 dan astigmatisme hipermetrop • When one of the principal meridians
simpleks is focused in front of the retina and
the other is focused behind the
retina (with accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
1. Simple Myopic Astigmatism
 When one of the principal
meridians is focused in front of
the retina and the other is
focused on the retina (with
accommodation relaxed)
 Astigmatisme jenis ini, titik A
berada di depan retina,
sedangkan titik B berada
tepat pada retina.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
2. Simple Hyperopic Astigmatism
 When one of the principal
meridians is focused behind the
retina and the other is focused
on the retina (with
accommodation relaxed)
 Astigmatisme jenis ini, titik A
berada tepat pada retina,
sedangkan titik B berada di
belakang retina.

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


What Patient Sees in Simple Astigmatism
One meridian is out of focus

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
3. Compound Myopic Astigmatism
 When both principal
meridians are focused
in front of the retina
(with accommodation
relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
4. Compound Hyperopic Astigmatism

 When both principal


meridians are focused
behind the retina (with
accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
5. MIXED ASTIGMATISM
 When one of the principal
meridians is focused in front of
the retina and the other is
focused behind the retina (with
accommodation relaxed)

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR
AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES

SYMMETRICAL ASTIGMATISM
 The principal meridians or  Example
axes of the two eyes are  OD: pl -1.00 x 175
symmetrical (e.g., both
 OS: pl -1.00 x 005
eyes are WTR or ATR)
 Ciri yang mudah  Both eyes are WTR
dikenali adalah axis astigmatism, and the sum
cylindris mata kanan of the two axes equal
dan kiri yang bila approximately 180
dijumlahkan akan
bernilai 180° (toleransi
sampai 10-15°).

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR
AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES

ASYMMETRICAL ASTIGMATISM

 The principal meridians or  Example:


axes of the two eyes are  OD: pl -1.00 x 180
not symmetrical (e.g., one  OS: pl -1.00 x 090
eye is WTR while the  One eye is WTR
other eye is ATR) astigmatism, and the
 The sum of the two axes other eye is ATR
of the two eyes does not astigmatism, and the sum
equal approximately 180 of the two axes do not
equal approximately 180

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
Toric/Spherocylinder lens pada
koreksi Astigmatisme

They have a different focal power in different


meridians.
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif
http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK
 Gampang untuk menentukan jenis jenis astigmatisme
berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberikan
rumus astigmatnya sbb:

1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus sesuai


dengan di soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 OS ∫-5,00 C-1,00 X 900
2. Sferis (+) silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada) silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada) silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

 Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk
menemui jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme
berdasarkan kedudukannya di retina kalau
disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)
 PERTAMA, rumus kacamata astigmat
adalah
SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z

 Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika


tidak ada, nilai sferis akan dihilangkan
penulisannya menjadi
C (silinder) ± …….. x …..° atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …….. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
 NOTASI SILINDER BISA DITULIS DALAM NILAI MINUS ATAU PLUS
 RUMUS INI BISA DITRANSPOSISIKAN (DIBOLAK-BALIK) TETAPI
MAKNANYA SAMA.
Cara transposisi:
 To convert plus cyl to minus cyl:
 Add the cylinder power to the sphere power
 Change the sign of the cyl from + to –
 Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the
original axis is greater than 90.
 To convert minus cyl to plus cyl:
 add the cylinder power to the sphere
 Change the sign of the cylinder to from - to +
 Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

 Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder


notation yang jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00
C+1,00 X 900 (plus cylinder notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
 OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah
kekuatan lensa pada aksis 180 adalah -
4.00 D. Kemudian kita transposisikan
menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900 artinya
kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

 OS∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah


kekuatan lensa pada aksis 90 adalah -
5.00 D dan Kemudian kita transposisikan
menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 18000 artinya
kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
KEEMPAT, MENENTUKAN JENIS ASTIGMATISME
BERDASARKAN KEDUDUKANNYA DI RETINA
 Prinsipnya: selalu lihat besarnya sferis di kedua rumus
baik rumus silinder plus maupun silinder minus
(makanya kenapa harus tahu transposisi)

 Contoh: OD rumusnya ∫-4,00 C+1,00 X 1800  sferis= -


4D (MIOP di aksis 180) dan rumus satu lagi ∫-3,00 C-
1,00 X 90  sferis= -3D (MIOP di aksis 90) untuk mata
kanan.

 Bayangan di kedua aksis jatuh di depan retina maka


jenis astigmatnya miopik kompositus, bukannya
astigmat mikstus
Contoh notasi kacamata
S -5.00 Myopia
S +5.00 Hyperopia
pl, Add +3.50 Presbyopia
+2.00 -1.00 x090 Compound hyperopic astigmatism
pl -2.50 x120 simple myopic astigmatism
-2.00 -2.00 x135 compound myopic astigmatism
+1.00 -1.00 x045 simple hyperopic astigmatism
+1.00 -2.00 x115 mixed astigmatism
54. Dakrioadenitis
 Gejala: nyeri, kemerahan,
 Peradangan dari kelenjar dan gejala penekanan pada
lakrimalis unilateral supratemporal
orbita
 Kelenjar lakrimalis berada di
 Tanda: Khemosis
supratemporal orbita +
 Injeksi konjungtiva
lobus palpebral
 Sekret mukopurulent
 Patofisiologi masih belum  Kelopak merah
dimengerti, diperkirakan  Limfadenopati
akibat ascending infection submandibular
kuman dari duktus lakrimalis  Bengkak pada 1/3 lateral
ke dalam kelenjar kelopak mata (S-shaped lid)
 Proptosis
 Lobus palpebral biasanya  Gangguan gerak bola
juga ikut terkena mata
 Penyebab: mumps, EBV,  Pembesaran kelenjar parotis
stafilokokus, GO  Demam
 ISPA
 Malaise
DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS
Tatalaksana
 Viral (paling sering) - Self-
limiting, tx suportif
(kompres hangat, NSAID
oral)
 Bacterial – 1st generation
cephalosporins
 Protozoa / fungal –
antiamoebic/ antifungal
 Inflammatory
(noninfectious) – cek
penyebab sistemik,
tatalaksana berdasarkan
penyebabnya.
55. Presbiopia
 Koreksi→ lensa positif  Pemeriksaan dengan kartu
untuk menambah Jaeger untuk melihat
kekuatan lensa yang ketajaman penglihatan jarak
dekat.
berkurang sesuai usia
 The card is held 14 inches
 Kekuatan lensa yang (356 mm) from the persons's
biasa digunakan: eye for the test. A result of
+ 1.0 D → usia 40 tahun 14/20 means that the person
can read at 14 inches what
+ 1.5 D → usia 45 tahun someone with normal vision
+ 2.0 D → usia 50 tahun can read at 20 inches.
 (HOTV chart  kartu utk
+ 2.5 D → usia 55 tahun
memeriksa visual acuity pd
+ 3.0 D → usia 60 tahun anak-anak; sedangkan ETDRS
(Early Treatment of Diabetic
Retinopathy Study) adalah
salah satu jenis kartu selain
snellen optic chart yang
digunakan untuk ketajaman
penglihatan pada umumnya
http://www.ivo.gr/files/items/1/145/51044.jpg
56. KATARAK TRAUMATIK

Typical stellate/rosette/flower-shaped
cortical lens opacity
56. KATARAK TRAUMATIK
 Most common complication of  Clinical features:
non-perforating and  Cataract formation after non-
perforating injuries to the perforating injuries such as contusion
globe. or concussion may occur without
any damage to the lens capsule
 Intraocular trauma by surgical
 The cataract formation may be
instruments, lodged foreign slowly progressive or mature
body or intraocular filtration suddenly
tube is also a possible cause.  It is not always easy to observe initial

 Cataracts caused by blunt changes of the lens


trauma classically form stellate-  Vossius' ring can be seen as circular
iris pigment imprinted on the surface
or rosette-shaped posterior
of the lens anterior capsule
axial opacities that may be
 Opacification can occur in a variety
stable or progressive, whereas of lens structures resulting in discrete,
penetrating trauma with punctate subepithelial changes, or
disruption of the lens capsule deep in the cortex with the typical
forms cortical changes that rosette (flower-shaped) opacity
may remain focal if small or  Trauma may also produce anterior
or posterior subcapsular opacities.
may progress rapidly to total
cortical opacification.
57. Blepharitis
 Terdiri dari blefaritis anterior dan  Tx blefaritis seboroik:
perbaikan hygiene mata
posterior dengan cara:
 Blefaritis anterior: radang  kompres hangat untuk
evakuasi dan melancarkan
bilateral kronik di tepi palpebra sekresi kelenjar
 Blefaritis stafilokokus: sisik  tepi palpebra dicuci +
digosok perlahan dengan
kering, palpebra merah, shampoo bayi untuk
terdapat ulkus-ulkus kecil membersihkan skuama
sepanjang tepi palpebra, bulu  pemberian salep antibiotik
eritromisin (bisa digunakan
mata cenderung rontok  kombinasi antibioti-KS)
antibiotik stafilokokus
 Blefaritis seboroik: sisik  Blefaritis posterior:
peradangan palpebra akibat
berminyak, tidak terjadi difungsi kelenjar meibom
ulserasi, tepi palpebra tidak bersifat kronik dan bilateral
begitu merah  Kolonisasi stafilokokus
 Blefaritis tipe campuran  Terdapat peradangan muara
meibom, sumbatan muara
oleh sekret kental
Definisi Gejala Tatalaksana

Blefaritis Infeksi kelopak superfisial Terdapat krusta dan bila Salep antibiotik
superfisial yang diakibatkan menahun disertai (sulfasetamid dan
Staphylococcus dengan meibomianitis sulfisoksazol),
pengeluaran pus

Hordeolum Peradangan supuratif Kelopak bengkak, sakit, Kompres hangat,


kelenjar kelopak mata rasa mengganjal, merah, drainase nanah,
nyeri bila ditekan antibiotik topikal

Blefaritis Blefaritis diseratai skuama Etiologi: kelainan Membersihkan tepi


skuamosa atau krusta pada pangkal metabolik atau jamur. kelopak dengan sampo
bulu mata yang bila dikupas Gejala: panas, gatal, sisik bayi, salep mata, dan
tidak terjadi luka pada kulit, halus dan penebalan topikal steroid
berjalan bersamaan dengan margo palpebra disertai
dermatitis sebore madarosis
Meibomianitis Infeksi pada kelenjar Tanda peradangan lokal Kompres hangat,
meibom pada kelenjar tersebut penekanan dan
pengeluaran pus,
antibiotik topikal
Blefaritis Angularis Infeksi Staphyllococcus pada Gangguan pada fungsi Dengan sulfa, tetrasiklin,
tepi kelopak di sudut kelopak pungtum lakrimal, sengsulfat
atau kantus rekuren, dapat
menyumbat duktus
lakrimal sehingga
mengganggu fungsi
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas lakrimalis
58. Trauma Mekanik Bola Mata
• Pemeriksaan Rutin :
• Cedera langsung berupa
 Visus : dgn kartu
ruda paksa yang mengenai Snellen/chart projector +
jaringan mata. pinhole
• Beratnya kerusakan jaringan  TIO : dgn tonometer
bergantung dari jenis trauma aplanasi/schiotz/palpasi
serta jaringan yang terkena  Slit lamp : utk melihat
• Gejala : penurunan tajam segmen anterior
penglihatan; tanda-tanda  USG : utk melihat segmen
trauma pada bola mata posterior (jika
memungkinkan)
• Komplikasi :
 Ro orbita : jika curiga fraktur
 Endoftalmitis dinding orbita/benda asing
 Uveitis • Tatalaksana :
 Perdarahan vitreous  Bergantung pada berat
 Hifema trauma, mulai dari hanya
 Retinal detachment pemberian antibiotik sistemik
 Glaukoma
dan atau topikal, perban
tekan, hingga operasi repair
 Oftalmia simpatetik
Panduan Tatalaksana Klinik RSCM Kirana, 2012
TRAUMA MATA
Kondisi Akibat trauma mata
Iridodialisis known as a coredialysis, is a localized may be asymptomatic and require no treatment,
separation or tearing away of the iris but those with larger dialyses may have
from its attachment to the ciliary body; corectopia (displacement of the pupil from its
usually caused by blunt trauma to the normal, central position) or polycoria (a
eye pathological condition of the eye characterized by
more than one pupillary opening in the iris) and
experience monocular diplopia, glare, or
photophobia
Hifema Blood in the front (anterior) chamber Treatment :elevating the head at night, wearing
of the eye a reddish tinge, or a small an patch and shield, and controlling any increase
pool of blood at the bottom of the iris in intraocular pressure. Surgery if non- resolving
or in the cornea. hyphema or high IOP
May partially or completely block Complication: rebleeding, peripheral anterior
vision. synechiea, atrophy optic nerve, glaucoma (months
The most common causes of hyphema or years after due to angle closure)
are intraocular surgery, blunt
trauma, and lacerating trauma
The main goals of treatment are to
decrease the risk of rebleeding within
the eye, corneal blood staining, and
atrophy of the optic nerve.
TRAUMA MATA
Kondisi Akibat trauma mata
Hematoma Pembengkakan atau Sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila
Palpebral penimbunan darah di bawah kulit perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai
kelopak akibat pecahnya kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata
pembuluh darah palpebra. hitam yang sedang dipakai
Perdarahan Pecahnya pembuluh darah yang Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan pada
Subkonjungtiva terdapat dibawah konjungtiva, setiap penderita dengan perdarahan
seperti arteri konjungtiva dan subkonjungtiva akibat trauma tumpul. Akan
arteri episklera. Bisa akibat dari hilang atau diabsorbsi dengan sendirinya dalam
batu rejan, trauma tumpul atau 1 – 2 minggu tanpa diobati.
pada keadaan pembuluh darah
yang mudah pecah.
Terjadi akibat disfungsi endotel Penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar
Edema Kornea kornea local atau difus. Biasanya bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat.
terkait dengan pelipatan pada Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasedo
membran Descemet dan yang positif
penebalan stroma. Rupturnya
membran Descemet biasanya
terjadi vertikal dan paling sering
terjadi akibat trauma kelahiran.
Ruptur Koroid Trauma keras yang mengakibatkan Perdarahan subretina, visus turun dengan sangat, bila
ruptur koroid  perdarahan subretina, darah telah terabsorpsi maka daerah ruptur akan tampak
biasanya terletak di posterior bola mata berwarna putih (daerah sklera)
Subluksasi Lensa berpindah tempat Penglihatan berkurang, pada iris tampak iridodenesis (iris
tampak bergetar atau bergoyang saat mata bergerak)
http://www.patient.co.uk/doctor/Eye-Trauma.htm
ttp://www.patient.co.uk/doctor/Eye-Trauma.htm
http://www.patient.co.uk/doctor/Eye-Trauma.htm
59. TRAUMA KIMIA MATA
 Merupakan trauma yang mengenai  Klasifikasi :
bola mata akibat terpaparnya
bahan kimia baik yang bersifat  Derajat 1: kornea jernih dan
asam atau basa yang dapat tidak ada iskemik limbus
merusak struktur bola mata tersebut (prognosis sangat baik)
 Keadaan kedaruratan oftalmologi
karena dapat menyebabkan  Derajat 2: kornea berkabut
cedera pada mata, baik ringan, dengan gambaran iris yang
berat bahkan sampai kehilangan masih terlihat dan terdapat
penglihatan
kurang dari 1/3 iskemik limbus
 Etiologi : 2 macam bahan yaitu
yang bersifat asam (pH < 7) dan (prognosis baik)
yang bersifat basa (pH > 7,6)  Derajat 3: epitel kornea hilang
 Pemeriksaan Penunjang : total, stroma berkabut dengan
Kertas Lakmus : cek pH berkala

 Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan
gambaran iris tidak jelas dan
lokasi luka sudah terdapat 1/2 iskemik
 Tonometri limbus (prognosis kurang)
 Funduskopi direk dan indirek
 Derajat 4: kornea opak dan
sudah terdapat iskemik lebih
dari 1/2 limbus (prognosis
sangat buruk)
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-
TRAUMA KIMIA MATA
TRAUMA BASA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN ASAM; gejala: epifora,
blefarosasme, nyeri
Trauma Asam : Trauma Basa :
• Bahan asam mengenai mata • Bahan kimia basa bersifat
maka akan segera terjadi koagulasi sel dan terjadi
koagulasi protein epitel kornea proses safonifikasi, disertai
yang mengakibatkan dengan dehidrasi
kekeruhan pada kornea, • Basa akan menembus
sehingga bila konsentrasi tidak kornea, kamera okuli anterior
tinggi maka tidak akan bersifat sampai retina dengan cepat,
destruktif sehingga berakhir dengan
kebutaan.
• Biasanya kerusakan hanya
• Pada trauma basa akan
pada bagian superfisial saja terjadi penghancuran
• Bahan kimia bersifat asam : jaringan kolagen kornea.
asam sulfat, air accu, asam • Bahan kimia bersifat basa:
sulfit, asam hidrklorida, zat NaOH, CaOH, amoniak,
pemutih, asam asetat, asam Freon/bahan pendingin
nitrat, asam kromat, asam lemari es, sabun, shampo,
hidroflorida kapur gamping, semen, tiner,
lem, cairan pembersih dalam
rumah tangga, soda kuat.
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-
TRAUMA KIMIA MATA -
TATALAKSANA
Tatalaksana Emergensi : Tatalaksana
 Irigasi : utk Medikamentosa :
meminimalkan durasi  Steroid : mengurangi
kontak mata dengan inflamasi dan infiltrasi
bahan kimia dan neutrofil
menormalkan pH  Siklopegik :
mata; dgn larutan mengistirahatkan iris,
normal saline (atau mencegah iritis
setara) (atropine atau
 Double eversi kelopak scopolamin) → dilatasi
mata : utk pupil
memindahkan material  Antibiotik : mencegah
 Debridemen : pada infeksi oleh kuman
epitel kornea yang oportunis
nekrotik

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf; Ilmu Penyakit Mata,


TRAUMA KIMIA MATA -
TATALAKSANA
• Removing the offending agent
– Immediate copious irrigation
• With a sterile balanced buffered solution
normal saline solution or ringer's lactate
solution
• Until the ph (acidity) of the eye returns to
normal
– Pain relief → Topical anesthetic
• Promoting ocular surface(epithelial)healing
– artificial tears
– Ascorbate → collagen remodeling
– Placement of a therapeutic bandage contact
lens until the epithelium has regenerated
• Controlling inflammation
– Inflammatory inhibits reepithelialization and
increases the risk of corneal ulceration and
perforation
– Topical steroids
– Ascorbate (500 mg PO qid)
• Preventing infection
– Prophylactic topical antibiotics
• Controlling IOP
– In initial therapy and during the later recovery
phase, if IOP is high (>30 mm Hg)
• Control pain
– Cycloplegic agents → ciliary spasm
– Oral pain medication
60. TAJAM PENGLIHATAN
 Bila tajam penglihatan 6/6: dapat melihat huruf
pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal
dapat dilihat pada jarak 6 mtr
 Bila tidak dapat melihat huruf terbesar pada
kartu Snellen : dilakukan uji hitung jari pemeriksa
dengan dasar putih. Jari dapat terlihat oleh
orang normal pada jarak 60 mtr
 Bila pasien tidak dapat menghitung jari pada
jarak 1 mtr → uji lambaian tangan. Orang
normal dapat melihat lambaian tangan pada
jarak 300mtr. Bila mata hanya dapat melihat
pada jarak 1mtr : visus 1/300
 Bila hanya mengenal adanya sinar : 1/~
 Bila tidak mengenal adanya sinar: visus 0 atau
buta total
Ilmu Penyakit Mata,Sidarta Ilyas
61. KONJUNGTIVITIS NEONATAL
 Bacterial conjunctivitis contracted by newborns during delivery
 Cause:
 Neisseria gonorrhoeae ( inkubasi 1-7 hari)
 Chlamydia trachomatis (inkubasi 5-14 hari)
 S. Aureus (inkubasi nongonokokal dan nonklamidial 5-14 hari)
 Mucopurulent discharge
 Chlamydial  less inflamed  eyelid swelling, chemosis, and
pseudomembrane formation
 Complication in chlamydia infection  pneumonia (10-20%
kasus)
 Blindness in chlamydia rare and much slower to manifes than
gonococcal  caused by eyelid scarring and pannus
 Terapi konj. Klamidial  oral erythromycin (50 mg/kg/d divided
qid) for 14 days (because of the significant risk for life-threatening
pneumonia)

http://emedicine.medscape.com/article
Neisseria Chlamydia
gonorrhoeae trachomatis
 manifests in the first five  5 to 12 days after birth
days of life  Mucopurulent discharge
 marked bilateral purulent  less inflamed  eyelid
 discharge swelling, chemosis, and
 local inflammation 
 pseudomembrane
palpebral
formation
 edema
 Complication 
 Complication  diffuse
epithelial edema and pneumonitis (range 2
ulceration, perforation of weeks – 19 weeks after
the cornea and delivery)
endophthalmitis  Blindness rare and much
 Gram-negative intracellular slower to menifest
diplococci on Gram stain caused by eyelid
 Culture  Thayer-Martin scarring and pannus
agar
Microscopic Findings
Etiology Findings
Chemical PMNs, few lymphocytes
Chlamydia PMNs, lymphocytes, plasma cells,
Leber cells, intracytoplasmic
basophilic inclusions
Bacteria PMNs, bacteria
Virus Lymphocytes, plasma cells,
multinucleated giant cells,
intranuclear eosinophilic inclusion

http://80.36.73.149/almacen/medicina/oftalmologia/enciclopedias/duane/pages/v4/v4c006.htm
l
KONJUNGTIVITIS GO
 Neisseria gonorrhoeae Gram-negative
intracellular diplococci on Gram stain
 Masa inkubasi: 1-7 hari
 manifests in the first five days of life
 Marked bilateral purulent discharge
 local inflammation  palpebral edema
 Complication  diffuse epithelial edema and
ulceration, perforation of the cornea and
endophthalmitis  kebutaan
 Culture  Thayer-Martin agar
 Topical erythromycin ointment and IV or IM
third-generation cephalosporin
Non-Infectious • Nasolacrimal duct obstruction may cause ‘sticky’ eyes.
• Corneal abrasion following trauma at delivery.
• Glaucoma (watch for corneal clouding or proptosis, is associated with portwine stains in the ophthalmic
region).
• Foreign body.

Infectious Organism Age of Onset Clinical Features Therapy


# Uncommon,
potential for
serious
consequences - Staphylococcus aureus 2-5 days Unilateral, crusted purulent Topical soframycin drops qds for 5
severe keratitis
and Streptococcus discharge days
endophthalmitis.
Requires early pneumoniae,
recognition and
treatment. Needs Haemophilus spp,
blood and CSF
culture. Consider Enterococci
concomitant
chlamydial
infection if poor Neisseria gonorrhoeae # 3 days to 3 Bilateral, hyperaemic, Ceftriaxone 50mg/kg IV/IM as a
response to
cephalosporin. Infants who are positive weeks chemosis, copious thick single dose (maximum 125mg),
Parents require
investigation and need to be evaluated for white discharge Saline irrigations hourly until exudate
screening.
+ Risk of rapid disseminated infections resolves.
progression from
purulent discharge
to denuding of
corneal
Pseudomonas 5-18 days Oedema and erthyema of lid, IV anti-pseudomonal antibiotics.
epithelium, and
perforation of
aeruginosa + purulent discharge.
cornea. The Topical Gentamicin.
anterior chamber
can fill with
fibrinous exudate, Chlamydia trachomatis * 5-14 days Unilateral or bilateral, mild PO erythromycin 50mg/kg/day x 14d
iris can adhere to
cornea and later conjunctivitis, copious (qid)Alternative, 5 days Azithromycin
blood vessel
invasion. The late purulent discharge. syrup
ophthalmic
complications can (= pertussis dosing 10mg/kg/day and
be followed by
bacteraemia and 5mg/kg day 2-5)
septic foci.
* Most common
pathogen, 20-50% Herpes simplex Conjunctivitis with vesicles Acyclovir 30mg/kg/day IV tid x 14-
of exposed infants
will develop elsewhere 21d.
chlamydia
conjunctivitis, 10- Need ophthalmology review
20% will develop
pneumonia. If within 24 hours. Topical acyclovir 3% 5 times daily.
relapse occurs
http://www.adhb.govt.nz/newborn/guidelines/infection/neonatalconjunctivitis.htm
repeat course of
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006

62. KATARAK-SENILIS
 Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas
50 tahun
 Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak
 Etiologi :belum diketahui secara pastimultifaktorial sehingga menimbulkan degenerasi
protein lensa
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut
lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek
radiasi cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at this stage, lens may become swollen due to
continued hydration  ‗intumescent cataract‘), matur, hipermatur
 Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
 Penyulit : Glaukoma, uveitis
 Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
Bedah Katarak
 Lensa intraokuler salah satu koreksi penglihatan
pasca operasi yang paling sering digunakan.
 Tidak perlu melepaskan lensa kontak,
mengurangi serta mencegah distorsi lapang
pandang
 Indikasi :
 Pada katarak monokuler, hemiplegia, memerlukan
visus baik, manula
 Kontraindikasi :
 Tidak dapat dipasang pada gangguan endotel
kornea, glaukoma tidak terkontrol, rubeosis iridis,
uveitis berulang, retinopati diabetik proliferatif,
penderita yang senang lensa kontak atau kacamata
atau menolak dipasang

Vaughn, Oftalmologi Umum


63. OKLUSI ARTERI RETINA
 Kelainan retina akibat sumbatan akut arteri retina
sentral yang ditandai dengan hilangnya
penglihatan mendadak.
 Predisposisi
 Emboli paling sering (hipertensi, aterosclerosis,
penyakit katup jantung, trombus pasca MCI,
tindakan angiografi,
 Penyakit spasme pembuluh darah karena
endotoksin (keracunan alkohol, tembakau, timah
hitam
 Trauma(frakturorbita)
 Koagulopati (kehamilan, oral kontrasepsi)
 Neuritis optik, arteritis, SLE
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA
ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Gejala Klinis :
 Visus hilang mendadak tanda nyeri
 Amaurosis Fugax (transient visual loss)
 Lebih sering laki-laki diatas 60thn
 Fase awal setelah obstruksi gambaran fundus
normal.
 Setelah 30 menit retina polusposterior pucat
kecuali di daerah foveola dimana RPE dan
koroid dapat terlihat  Cherry Red Spot
 Setelah 4-6 minggu : fundus normal kembali
kecuali arteri halus, dan berakhir papil atropi

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Cherry red Spot

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Penatalaksanaan :
 Tx berkaitan dengan  Gradient perfusion
penyakit sistemik pressure :
 Untuk memperbaiki visus  Parasentesis sumbatan
harus waspada sebab 90 di bawah 1 jam 0,1 –
menit setelah sumbatan 0,4cc
kerusakan retina  Masase bola mata
ireversible. (dilatasi arteri retina)
 Prinsip ―gradient perfusion  ß blocker
pressure‖ (menurunkan
TIO secara mendadak  acetazolamide
sehingga terjadi referfusi  Streptokinase
dengan menggeser (fibrinolisis)
sumbatan)  Mixtur O2 95% dengan
CO2 5% (vasodilatasi)

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Defini dan gejala

Oklusi Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh


arteri radang arteri, thrombus dan emboli pada arteri, spsame
sentral pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant
retina cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan
trauma. Secara oftalmoskopis, retina superficial mengalami
pengeruhan kecuali di foveola yang memperlihatkan bercak
merah cherry(cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang
timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap.
Penurunan visus mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang
vena ditandai dengan penglihatan hilang mendadak.
sentral Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped ,
retina Perdarahan masif pada ke 4 kuadran , Cotton wool spot, dapat
disertai dengan atau tanpa edema papil

Ablatio suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina
retina (RIDE). Gejala:floaters, photopsia/light flashes, penurunan tajam
penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk parabola yang
naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup
64. Konjungtivitis Alergi
 Allergicconjunctivitis may be divided into 5
major subcategories.
 Seasonal allergic conjunctivitis (SAC) and
perennial allergic conjunctivitis (PAC) are
commonly grouped together.
 Vernal keratoconjunctivitis (VKC), atopic
keratoconjunctivitis (AKC), and giant papillary
conjunctivitis (GPC) constitute the remaining
subtypes of allergic conjunctivitis.
Konjungtivitis Atopi
 Biasanya ada riwayat  Terapi topikal jangka
atopi
 Gejala + Tanda: sensasi
panjang: cell mast
terbakar, sekret mukoid stabilizer
mata merah, fotofobia  Antihistamin oral
 Terdapat papila-papila
halus yang terutama ada  Steroid topikal jangka
di tarsus inferior pendek dapat
 Jarang ditemukan papila meredakan gejala
raksasa
 Karena eksaserbasi
datang berulanga kali 
neovaskularisasi kornea,
sikatriks
KONJUNGTIVITIS VERNAL
 Nama lain:
 spring catarrh
 seasonal conjunctivitis
 warm weather conjunctivitis
 Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
 Epidemiologi:
 Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-
10 tahun sejak awitan
 Laki-laki > perempuan
 Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
 Temperate climate > warm climate > cold climate
(hampir tidak ada)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
 Gejala & tanda:
 Rasa gatal yang hebat,
dapat disertai fotofobia
 Sekret ropy
 Riwayat alergi pada
RPD/RPK
 Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
 Gambaran cobblestone
(papila raksasa
berpermukaan rata pada
konjungtiva tarsal)
 Tanda Maxwell-Lyons
(sekret menyerupai
benang &
pseudomembran fibrinosa
halus pada tarsal atas, • Komplikasi:
pada pajanan thdp • Blefaritis & konjungtivitis
panas) stafilokokus
 Bercak Trantas (bercak
keputihan pada limbus
saat fase aktif penyakit)
 Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana
 Self-limiting
 Jangka panjang &
 Akut: prevensi sekunder:
 Steroid topikal  Antihistamin topikal
(+sistemik bila perlu),  Stabilisator sel mast
Sodium kromolin 4%: sebagai
jangka pendek  pengganti steroid bila gejala
mengurangi gatal sudah dapat dikontrol
(waspada efek  Tidur di ruangan yang
samping: glaukoma, sejuk dengan AC
katarak, dll.)  Siklosporin 2% topikal
(kasus berat & tidak
 Vasokonstriktor responsif)
topikal  Desensitisasi thdp antigen
 Kompres dingin & ice (belum menunjukkan
pack hasil baik)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Table. Major Differentiating Factors Between VKC and
AKC
Characteristics VKC AKC
Age at onset Generally presents at a younger age -
than AKC
Sex Males are affected preferentially. No sex predilection
Seasonal variation Typically occurs during spring months Generally perennial
Discharge Thick mucoid discharge Watery and clear discharge
Conjunctival - Higher incidence of
scarring conjunctival scarring
Horner-Trantas Horner-Trantas dots and shield ulcers Presence of Horner-Trantas
dots are commonly seen. dots is rare.
Corneal Not present Deep corneal
neovascularization neovascularization tends to
develop
Presence of Conjunctival scraping reveals Presence of eosinophils is
eosinophils in eosinophils to a greater degree in less likely
conjunctival VKC than in AKC
scraping
65. DAKRIOSISTITIS
 Partial or complete obstruction of the nasolacrimal
duct with inflammation due to infection
(Staphylococcus aureus or Streptococcus B-
hemolyticus), tumor, foreign bodies, after trauma or
due to granulomatous diseases.
 Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal
punctum, fever, general malaise, pain radiates to
forehead and teeth
 Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably
skin abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis.
Swab and culture
 Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation
of lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS
Uji Anel
 Evaluasi Sistem Lakrimal-Drainase Lakrimal :
 Uji Anel : Dengan melakukan uji anel, dapat diketahui
apakah fungsi dari bagian eksresi baik atau tidak.
 Cara melakukan uji anel :
 Lebarkan pungtum lakrimal dengan dilator pungtum
 Isi spuit dengan larutan garam fisiologis. Gunakan jarum
lurus atau bengkok tetapi tidak tajam
 Masukkan jarum ke dalam pungtum lakrimal dan suntikkan
cairan melalui pungtum lakrimal ke dalam saluran eksresi ,
ke rongga hidung
 Uji anel (+): terasa asin di tenggorok atau ada cairan yang
masuk hidung. Uji anel (-) jika tidak terasa asinberarti
ada kelainan di dalam saluran eksresi.
 Jika cairan keluar dari pungtum lakrimal superior, berarti
ada obstruksi di duktus nasolakrimalis. Jika cairan keluar
lagi melalui pungtum lakrimal inferior berarti obstruksi
terdapat di ujung nasal kanalikuli lakrimal inferior, maka
coba lakukan uji anel pungtum lakrimal superior.
Atlas of ophthalmology; Pedoman pelayanan medis RS Cicendo
66. RETINOPATI DIABETIK
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA


MATA TENANG
VISUS NORMAL VISUS TURUN TENANG
VISUS TURUN
VISUS TURUN
• struktur yang MENDADAK
bervaskuler  mengenai media • uveitis posterior
PERLAHAN
• Katarak
sklera refraksi (kornea, • perdarahan • Glaukoma
konjungtiva uvea, atau vitreous • retinopati
• tidak seluruh mata) • Ablasio retina penyakit
menghalangi • oklusi arteri atau sistemik
vena retinal • retinitis
media refraksi
• Keratitis • neuritis optik pigmentosa
• Konjungtivitis • Keratokonjungtiviti • neuropati optik • kelainan
murni s akut karena obat refraksi
• Trakoma • Ulkus Kornea (misalnya
• mata kering, • Uveitis etambutol),
xeroftalmia • glaukoma akut migrain, tumor otak
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
66. RETINOPATI DIABETIK
DM ophthalmic complications :

 Diabetic Retinopathy :
• Corneal Retinopathy (damage to
abnormalities the retina) caused by
• Glaucoma complications of
diabetes, which can
• Iris neovascularization eventually lead to
• Cataracts blindness.
 It is an ocular
• Neuropathies manifestation of systemic
• Diabetic retinopathy disease which affects up
→ most common to 80% of all patients who
and potentially most have had diabetes for 10
years or more.
blinding
RETINOPATI DIABETIK
Signs and Symptoms Pemeriksaan :
• Tajam penglihatan
• Seeing spots or floaters • Funduskopi dalam keadaan
in the field of vision pupil dilatasi : direk/indirek
• Blurred vision • Foto Fundus
• Having a dark or • USG bila ada perdarahan
empty spot in the vitreus
center of the vision
• Difficulty seeing well at
night Tatalaksana :
• On funduscopic exam :
cotton wool spot, • Fotokoagulasi laser
flame hemorrhages,
dot-blot hemorrhages,
hard exudates
RETINOPATI DIABETIK
 Riwayat DM yang lama, biasa > 20 tahun
 Mata tenang visus turun perlahan
 Pemeriksaan Oftalmoskop
 Mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler)
 Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang
letaknya dekat dengan mikroaneurisma di polus posterior
(dot blot hemorrhage)
 Dilatasi vena yang lumennya ireguler dan berkelok
 Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari
peningkatan permeabiitas kapiler), warna kekuningan
 Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina
tampak sebagai bercak kuning bersifat difus dan warna
putih
 Neovaskularisasi
 Edema retina
RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI
RETINOPATI DIABETIK NONPROLIFERATIF
 ditandai dengan kebocoran darah dan serum
pada pembuluh darah kapiler
 menyebabkan edema jaringan retina dan
terbentuknya deposit lipoprotein (hard
exudates)
 Tidak menyebabkan gangguan penglihatan
 mengenai makula
 Edema makula  penebalan daerah makula
sebagai akibat kebocoran kapiler perifoveal
RETINOPATI DIABETIK - KLASIFIKASI
RETINOPATI DIABETIK PROLIFERATIF
 ditandai dengan adanya proliferasi jaringan
fibrovaskular atau neovaskularisasi pada permukaan
retina & papil saraf optik serta vitreus
 Proliferasi  respon dari oklusi luas pembuluh darah
kapiler retina yang menyebabkan iskemia retina
 menyebabkan gangguan penglihatan sampai
kebutaan melalui mekanisme;
 Perdarahan vitreus
 Tractional retinal detachment
 Glaukoma neovaskular
KLASIFIKASI RETINOPATI DM
 Derajat I : Mikroaneurisama dengan atau
tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
 Derajat II: Mikroaneurisma, perdarahan
bintik dan bercak dengan atau tanpa
eksudat lemak pada fundus okuli
 Derajat III: Mikroaneurisma, perdarahan
bintik dan bercak, neovaskularisasi
Pra Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi iregular dan
Proliferatif(Non mungkin terlihat membentuk lingkaran.
proliferatif)
Proliferatif Perubahan oklusif menyebabkan pelepasan substansi
vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah baru di lempeng optik atau ditempat lain
pada retina. Penglihatan normal, mengancam penglihatan

Proliferatif Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan pada


lanjut vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik dari epitel
pigmen di bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang berkaitan
dengan pertumbuhan pembuluh darah baru. Penglihatan
berkurang, mengancam penglihatan
NEUROLOGI
67. Glasgow Coma Scale
68. Siringomielia
 Siringomielia adalah suatu penyakit di mana terjadi
pembentukan kista di sekitar kanalis sentralis mielum.
Di sekitar kiste ini terjadi proliferasi jaringan glia.
 Etiologi yang sering adalah kelainan kongenital di
mana kanalis sentralis tidak menutup dengan baik
sehingga terdapat kiste yang tertinggal dengan di
sekitarnya tumbuh jaringan glia.
 Manifestasi klinis adalah gangguan sensasi suhu dan
nyeri tanpa disertai gangguan sensibilitas rasa raba
oleh karena gangguan pada traktus spinotalamikus
yang menyilang di posterior kanalis sentralis,
gangguan kornu anterior yang menyebabkan
terjadinya kelemahan dan atrofi otot mm. Interossei,
gangguan traktus piramidalis, sindroma horner, dan
artropati sendi disertai rasa nyeri.
 Pemeriksaan likuor tidak didapatkan kelainan,
radiologis foto servikal biasanya didapatkan kanalis
spinalis, pelebaran mielum tampak pada mielografi
dan CT-scan. Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan
adanya syrinx di dalam mielum dan perlbuasan dari
abnormalitas pada irisan sagital.
 Tatalaksana utama adalah operasi dan radiasi
69. Likuor Serebrospinal pada
Stroke
Likuor serebrospinalis Perdarahan Infark
Tekanan pada Meningkat Normal
permulaan penyakit
Warna Kemerahan Jernih
Eritrosit > 1000 sel/mm3 < 500 sel/mm3
70. Pemeriksaan Tanda
Meningeal
Brudzinski contralateral leg
sign
 Jenis tanda Brudzinski
 Brudzinski cheek sign: adanya penekanan
pada pipi akan membangkitkan refleks berupa
elevasi dan fleksi pada kedua lengan bawah
 Brudzinski symphyseal sign: adanya penekanan
pada simfisis pubis akan membangkitkan refleks
berupa fleksi pada sendi panggul dan lutut
disertai abduksi pada tungkai bawah.
 Brudzinski neck sign: adanya fleksi pada leher
akan membangkitkan refleks berupa fleksi pada
kedua sendi panggul
 Brundzinski contralateral leg sign: apabila salah
satu tungkai bawah dilakukan fleksi pada sendi
lutut dan panggul maka tungkai bawah
kontralateral akan ekstensi
71. Meningoensefalitis
 Meningoensefalitis adalah suatu infeksi pada selaput
otak dan jaringan otak.
 Etiologi berupa adanya infeksi yang dapat disebabkan
oleh protozoa, bakteri, mikosis, riketsia, dan virus.
 Patogenesis terjadinya infeksi pada selaput otak dapat
melalui hematogen, fokus infeksi di dekat kepala,
trauma kapitis, dan per kontinuatum.
 Gejala klinis yang sering terjadi akut maupun kronis
(tbc). Gejala klinis terdiri dari nyeri kepala, muntah,
tidak suka makan, kesadaran menurun, dan kejang.
 Pemeriksaan fisis pada kasus meningoensefalitis
dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk,
tanda kernig, tanda brudzinski, kelainan saraf otak,
gangguan kesadaran, dan adanya hemiparesis
 Pemeriksaan penunjang adalah dengan pemeriksaan
likuor serebrospinal. Kontraindikasi pemeriksaan likuor
serebrospinal adalah peningkatan tekanan
intrakranial, radang pada tempat yang ditusuk.
 Tatalaksana meningoensefalitis sesuai dengan
etiologinya.
 Pada meningitis purulenta tatalaksana utama adalah
antibiotik (ampisilin 8-12 gram intravena; sefotaksim 6-
8 gram intravena).
72. Perdarahan
Subarakhnoid
73. Status epileptikus
 Suatu keadaan kejang atau serangan epilepsi yang
terus-menerus disertai kesadaran menurun selama >
30 menit; atau kejang beruntun tanpa disertai
pemulihan kesadaran yang sempurna.
 Merupakan keadaan gawat darurat →
menyebabkan kematian dan kecacatan permanen
 Tatalaksana : Perbaiki jalan nafas, pasang jalur IV,
diazepam 0,3mg/kgBB IV sampai maksimum 20 mg,
dapat diulang jika masih kejang stlh 5 menit, bila
kejang teratasi lanjutkan dengan fenitoin IV
18mg/kgBB
Sumber: Harrison, 18th Edition;
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/Ge
tImage.aspx?ImageId=161363;
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-

74. Bell’s palsy


overview

 Penyebab tersering dari kelemahan wajah unilateral yang


muncul tiba-tiba adalah stroke dan Bell‘s palsy.
 Penyebab yang paling umum dari kasus Bell‘s palsy adalah
HSV tipe 1, diduga akibat reaktivasi virus dari tempat latennya.
 Selain itu, yang banyak diperdebatkan adalah iritasi terus-
menerus dalam durasi yang cukup lama menyebabkan
pembengkakan nervus fasialis sehingga terjepit diduga juga
sebagai penyebab Bell‘s palsy.
 Gejala yang didapatkan adalah: kelumpuhan otot wajah
unilateral, gangguan pada telinga (hyperacusis, otalgia),
gangguan pada mata (nyeri, mata kering oleh karena
menurunnya produksi air mata, lagoftalmus, penglihatan
kabur), gangguan sensoris (rasa tebal pada pipi dan mulut)
 Terapi: Kortikosteroid, antiviral (efektifitas kurang bila
dibandingkan steroid), dan perawatan mata (untuk
mencegah timbulnya ulkus kornea), dan bedah.
75. Polimiopati
 Polimiopati adalah gangguan otot non-herediter
yang sering dijumpai pada orang dengan
gangguan endokrin seperti diabetes mellitus dan
hipotiroid.
 Manifestasi klinis terutama kelemahan otot dan
keadaan umum yang menurun tanpa disertai nyeri.
Gangguan yang terkena terutama pada otot
proksimal.
 Pada pemeriksaan EMG tidak didapatkan fasikulasi,
fibrilasi, dan potensial menurun. Pada pemeriksaan
PA tidak didapatkan adanya round cell infiltration
 Tatalaksana ditujukan pada gangguan endokrin
yang mendasari
76. Demensia
 Demensia adalah kelainan kognitif dan perilaku yang
mengakibatkan gangguan fungsi sosial dan okupasional.
 Demensia bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan.
 Pada penyakit Alzheimer, didapatkan plak pada
hipokampus, struktur di dalam otak yang mengkode
memori dan area otak yang mengatur pusat berpikir dan
membuat keputusan.
 Faktor risiko demensia; faktor genetik, lingkungan, toksin
(mangan dan aluminium), infeksi, autoimun, trauma
 Gejala klinis meliputi: lupa, kebingungan mengenai lokasi
rumah, memerlukan waktu lebih lama untuk
menyelesaikan tugas sehari-hari, sering lupa menghitung
uang, kehilangan spontanitas dan inisiatif, perubahan
mood, tidak dapat mengingat hal baru, kesulitan
membaca, menulis, menghitung, kehilangan perhatian,
kehilangan kendali untuk buang air kecil maupun besar,
berat badan berkurang, hingga kesulitan menelan.
Diagnosis Demensia
 Pemeriksaan kognitif meliputi atensi, konsentrasi, ingatan, bahasa, praksis, fungsi
luhur, dan fungsi visuospasial
 Diagnosis Demensia
 The development of multiple cognitive deficits manifested by both of the
following:
Memory impairment (impaired ability to learn new information or to recall
previously learned information)
 One or more other cognitive disturbances: aphasia (language disturbance),
apraxia (impaired ability to carry out motor activities despite intact motor
function), agnosia (failure to recognize or identify objects despite intact
sensory function), disturbance of executive functioning
 The cognitive deficits must each cause significant impairment in social or
occupational function and represent a significant decline from a previous
level of functioning.
 The course of disease is characterized by gradual onset and
continuing decline.
 The cognitive deficits are not due to any of the following:
 Other central nervous system conditions that cause
progressive deficits in memory and cognition
 Systemic conditions that are known to cause dementia
 Substance-induced conditions
 The deficits do not occur exclusively during the course of a
delirium.
 The disturbance is not better accounted for by another
DSM-IV Axis I disorder (ie, a clinical disorder).
77. Carpal Tunnel Syndrome
 Carpal tunnel syndrome
 Merupakan kompresi nervus medianus oleh
karena penggunaan telapak tangan secara
berlebihan dan mikrotrauma.
 Manifestasi gejala umumnya berupa gejala
sensoris. Kehilangan fungsi sensoris karena
adanya gejala superfisial yang terjadi di daerah
palmar di digiti I, II, III, dan setengah digiti IV.
 Parestesi umumnya memburuk pada malam hari
 Nyeri dapat menjalar ke lengan bawah hingga
ke biseps dan otot bahu.
 Modalitas terapi: Rehabilitasi fisik, farmakologis
(injeksi steroid dan NSAID), bedah
Pemeriksaan CTS
78. Tension-type Headache
 Tension-type Headache merupakan penyebab utama dari nyeri kepala
berulang yang dirasakan tidak enak, seperti tertekan sesuatu maupun
kepala terasa diikat.
 Manifestasi klinis lain yang sering didapatkan adalah leher terasa kaku,
tidak dapat tidur, tegang pada otot leher, otot bahu maupun otot lainnya
di tubuh.
 Umumnya tidak didapatkan kelainan neurologis, keluhan bersifat kontinyu
dan derajatnya sama.
 Tekanan darah dapat meningkat oleh karena penderita tegang
 Terdiri dari 2 bentuk yaitu Episodik dan Kronik
 Bentuk Episodik dari Tension-type headache dipengaruhi oleh adanya stress,
bersifat kronis, intensitas sedang, self-limited, responsif terhadap obat-obatan
bebas.
 Bentuk kronik dari tension-type headache dapat kambuh setiap hari, disebabkan
oleh adanya kontraksi otot leher dan scalp. Biasanya dirasakan di seluruh kepala
dan paling parah pada daerah okisipitofrontal.
 Pengobatan: analgesik, bila masih nyeri pemberian oksigen aliran rendah
dapat digunakan untuk menurunkan intensitas nyeri saat serangan di ruang
gawat darurat.
79. Guillain Barre Syndrome
 Nama lain: Acute Inflammatory Demyelienating
Polyradiculoneuropathy
 Sindrom Guillain Barre adalah kumpulan gejala klinis
yang bermanifestasi kelemahan otot atau
menurunnya refleks akibat acute inflammatory
polyradiculoneuropathy
 Gejala klasik GBS ada demyelinating neuropathy
dengan kelemahan yang bersifat ascending yang
muncul 2-4 minggu setelah infeksi saluran napas
akut atau gastrointestinal.
 Kelemahan yang terjadi bersifat akut, progresif, dan
dalam beberapa hari dapat memengaruhi
keempat otot ekstremitas, otot trunkal, saraf kranial,
dan otot respirasi.
Tanda dan Gejala GBS
 Kelemahan otot ekstremitas
 Gejala saraf kranial meliputi: kelemahan otot fasialis
(dapat rancu dengan Bell‘s palsy), diplopia, disartria,
disfagia, oftalmoplegia, gangguan pupil.
 Gangguan sensoris yang dirasakan umumnya
perasaan tebal, parestesia, tebal.
 Gangguan otonomik pada GBS meliputi: takikardia,
bradikardia, paroksismal hipertensi, kemerahan pada
wajah, anhidrosis atau diaforesis, retensio urin
 Gangguan pernapasan pada GBS meliputi: dispnea
pada saat aktivitas, sesak, kesulitan menelan, dan
bicara pelo
Diagnosis GBS
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan fisis.
 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
 Kadar elektrolit
 Pemeriksaan fungsi hepar
 Pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase
 Pemeriksaan EMG: adanya tanda demyelinisasi dari
perlambatan konduksi, perpanjangan latensi distal,
perpanjangan gelombang F, blok konduksi atau
berkurangnya respon terhadap rangsang.
 Pemeriksaan penyulit: fungsi paru dan sistem saraf
pusat (LCS)
http://emedicine.medscape.com/arti
cle/315632 ; Harrison 18th Edition

Tatalaksana GBS
 Perawatan intensif diperlukan apabila
didapatkan gejala disautonomia, berkurangnya
forced vital capacity (< 20 mL/kg), kelemahan
otot bulbar, dan berkurangnya trigger napas.
 Imunomodulasi dengan Intravenous
Immunoglobulin (IVIG) dan plasma exchange
memiliki efektivitas yang sama untuk
memercepat proses penyembuhan
 Terapi rehabilitasi untuk fisik, okupasi, dan wicara.
80. Absence Seizure
 Absence seizure merupakan suatu bentuk dari kejang
umum dan dapat timbul pada kejang idiopatik
maupun kejang umum.
 Pada usia anak, kejang sering didapatkan dan
berlangsung dalam waktu hanya beberapa detik
(pycnoleptic). Sebagian anak dapat kejang berkali-
kali dalam sehari.
 Kejang mioklonik dan tonik klonik dapat ditemukan
pada usia yang lebih tua.
 Terbagi menjadi dua bentuk yaitu
 Kejang absans tipikal atau atipikal
 Kejang absans dengan adanya bentuk kejang lain
(mioklonik absans)
 Keluhan utama yang sering didapatkan adalah sering
bengong dan adanya penurunan kualitas hidup seperti
nilai sekolah atau yang lain.
 Pemeriksaan fisis dan neurologis pada umumnya normal
 Pemeriksaan baku emas untuk kejang absans adalah EEG.
Pada EEG didapatkan gambaran yang khas yaitu dalam 1
detik terdapat 3 kompleks gelombang tumpul dan runcing
disebut 3 seconds spike slow wave.
 Terapi yang direkomendasikan: Ethosuximide dan Asam
Valproat
Ilmu Psikiatri
81. Sign & Symptom
Symptoms Description
Illusion Perceptual misinterpretation of a real external stimulus.

Delusion False belief, based on incorrect inference about


external reality, that is firmly held despite objective and
obvious contradictory proof or evidence and despite
the fact that other members of the culture do not
share the belief.
Incoherence Communication that is disconnected, disorganized, or
incomprehensible.
Depersonalizati Sensation of unreality concerning oneself, parts of
on oneself, or one's environment that occurs under
extreme stress or fatigue.
Derealization Sensation of changed reality or that one's surroundings
have altered.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Symptoms Description
Hallucination False sensory perception occurring in the absence of any
relevant external stimulation of the sensory modality involved.
Idea of Reference Misinterpretation of incidents and events in the outside world as
having direct personal reference to oneself; occasionally observed
in normal persons, but frequently seen in paranoid patients.
Dereism Mental activity that follows a totally subjective and idiosyncratic
system of logic and fails to take the facts of reality or experience
into consideration. Characteristic of schizophrenia.
Loosening of a disorder in the logical progression of thoughts, manifested as a
associations failure to communicate verbally adequately; unrelated and
unconnected ideas shift from one subject to another
Idea of reference Misinterpretation of incidents and events in the outside world as
having direct personal reference to oneself. If present with
sufficient frequency or intensity or if organized and systematized,
they constitute delusions of reference.
Circumstantiality Disturbance in the associative thought and speech processes in
which a patient digresses into unnecessary details and
inappropriate thoughts before communicating the central idea.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


82. ISI PIKIR
 Waham/delusi
 satu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru,
berdasarkan simpulan yang keliru tentang kenyataan
eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia dan latar
belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat
penalaran atau dengan jalan penyajian fakta.
 Jenis-jenis waham:
1. waham bizarre: keyakinan yang keliru, mustahil
dan aneh (contoh: makhluk angkasa luar
menanamkan elektroda di otak manusia)
2. waham sistematik: keyakinan yang keliru atau
keyakinan yang tergabung dengan satu
tema/kejadian (contoh: orang yang dikejar-kejar
polisi atau mafia)
3. waham nihilistik: perasaan yang keliru bahwa diri
dan lingkungannya atau dunia tidak ada atau
menuju kiamat
Jenis-jenis waham:
4. waham somatik: keyakinan yang keliru melibatkan
fungsi tubuh (contoh: yakin otaknya meleleh)
5. waham paranoid:
a. waham kebesaran: keyakinan atau kepercayaan,
biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah
orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau
sangat besar
b. waham kejaran (persekutorik): satu delusi yang
menandai seorang paranoid, yang mengira bahwa
dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya,
atau yang mendorong agar dia gagal dalam
tindakannya. Keyakinan bahwa dokter dan
keluarga berkomplot untuk merugikan, merusak,
mencederai, atau menghancurkan diri pasien
Jenis-jenis waham:
c. waham rujukan (delusion of reference): satu
kepercayaan keliru yang meyakini bahwa tingkah
laku orang lain itu pasti akan memfitnah,
membahayakan, atau akan menjahati dirinya
d. waham dikendalikan: keyakinan yang keliru bahwa
keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan
oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya:
 thought withdrawal: waham bahwa pikirannya ditarik
oleh orang lain atau kekuatan lain
 thought insertion: waham bahwa pikirannya disisipi oleh
orang lain atau kekuatan lain
 thought broadcasting: waham bahwa pikirannya dapat
diketahui oleh orang lain, tersiar di udara
 thought control: waham bahwa pikirannya dikendalikan
oleh orang lain atau kekuatan lain
Jenis-jenis waham:

6. waham cemburu: keyakinan yang keliru yang


berasal dari cemburu patologis tentang pasangan
yang tidak setia
7. erotomania: keyakinan yang keliru, biasanya pada
wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat
mencintainya
8. waham curiga : kecurigaan yang berlebihan atau
irasional dan tidak percaya dengan orang lain
83. Sexual Dysfunction
 Sexual desire disorders
 Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD);
 Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual
fantasies and desire for sexual activity
 Sexual Aversion Disorder (SAD)
 Persistent or recurrent extreme aversion to, and
avoidance of, all (or almost all) genital sexual contact
with a sexual partner.
 Sexual arousal disorders
 Female Sexual Arousal Disorder (FSAD)
 Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain
until completion of the sexual activity, an adequate
lubrication-swelling response of sexual excitement.
 Male Erectile Disorder
 Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain
until completion of the sexual activity, an adequate
erection.

(APA, 2000)
 Orgasmic disorders
 Female Orgasmic Disorder (Inhibited Female Orgasm)
 Male Orgasmic Disorder (Inhibited Male Orgasm)
 Premature Ejaculation
 Sexual pain disorders
 Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain
associated with sexual intercourse.
 Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer
third of the vagina that interferes with penile insertion and
intercourse.
 Sexual dysfunction due to general medical
condition
 Substance-Induced Sexual Dysfunction
 With impaired desire/With impaired arousal/With impaired
orgasm/With sexual pain/With onset during intoxication
 Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)
84. TILIKAN ( INSIGHT )
 Tilikan wawasan diri
 pemahaman seseorang terhadap kondisi dan
situasi dirinya dalam konteks realitas sekitarnya
 pemahaman pasien terhadap penyakitnya
 Tilikan terganggu
 hilangnya kemampuan untuk memahami
kenyataan obyektif akan kondisi dan situasi
dirinya

Darmono S. In
http://xa.yimg.com/kq/groups/20899393/913752678/n
ame/11.+Gambaran+dan+Gejala+Klinis+Gangguan+
Jiwa.ppt. FKUI/RSCM
DERAJAT GANGGUAN TILIKAN
1. Penyangkalan total terhadap penyakitnya
2. Ambivalensi terhadap penyakitnya
3. Menyalahkan faktor lain sebagai penyebab
penyakitnya
4. Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan
namun tidak memahami penyebab
sakitnya
5. Menyadari penyakitnya dan faktor faktor
yang berhubungan dengan penyakitnya
namun tidak menerapkan dalam perilaku
praktisnya
6. Tilikan yang sehat, yakni sadar sepenuhnya
tentang situasi dirinya disertai motifasi untuk
mencapai perbaikan
85. Terapi Depresi
 Kombinasi psikoterapi & farmakoterapi adalah terapi
paling efektif.

 The different antidepressant class adverse effect profiles


make the SSRIs more tolerable than the TCAs  SSRI is
commonly used as first line drug for major depression.
Antidepressan
 A review of the use of antidepressants (Anderson, ‗01):
 There is little difference in efficacy among most new (post-
1980) and older TCAs & monoamine oxidase inhibitor
(MAOI) antidepressants;
 The serotonin (5-HT) and norepinephrine (NE) reuptake
inhibitors (SNRIs), including venlafaxine, and the TCAs are
superior in efficacy to the selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs);
 Fluoxetine has a slower onset of therapeutic action than the
other SSRIs;
 The different antidepressant class adverse effect profiles
make the SSRIs more tolerable than the TCAs. (Case files:
SSRI is commonly used as first line drug for major depression)
Antidepressan
Cardiac Toxicity:
1. Tricyclic antidepressants may slow cardiac
conduction, resulting in intraventricular
conduction delay, prolongation of the QT
interval, and AV block. Therefore, TCAs should
not be used in patients with conduction
defects, arrhythmias, or a history of a recent
MI.
2. SSRIs, venlafaxine, bupropion, mirtazapine,
and nefazodone have no effects on cardiac
conduction.
Antidepresan Dosis anjuran/hari
Amitriptiliin 75 – 150 mg
Imipramin 75 – 150 mg
Maprotilin 75 – 150 mg
Sertralin 50 – 10 mg
Fluoxetin 20 – 40 mg
Citalopram 20 – 60 mg
Venlafaxin 75 – 150 mg
Moclobemid 300 – 600 mg

Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


86. Gangguan Disosiatif
• Gejala utama adalah adanya kehilangan dari
integrasi normal, antara:
• ingatan masa lalu,
• kesadaran identitas dan penginderaan segera, &
• kontrol terhadap gerakan tubuh
• Terdapat bukti adanya penyebab psikologis,
kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu
• Tidak ada bukti adanya gangguan fisik.

PPDGJ
Diagnosis Karakteristik
Amnesia Hilang daya ingat mengenai kejadian stressful atau
traumatik yang baru terjadi (selektif)
Fugue
Gangguan Disosiatif
Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar
kebiasaan, tapi tidak mengingat perjalanan tersebut.
Stupor Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan
volunter & respons normal terhadap rangsangan luar
(cahay, suara, raba)
Trans Kehilangan sementara penghayatan akan identitias
diri & kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai
kepribadian lain.
Motorik Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian
anggota gerak.
Konvulsi Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai
kehilangan kesadaran, mengompol, atau jatuh.
Anestesi & Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom.
kehilangan Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area
sensorik lapang pandang sama, tidak tergantung jarak).
Contoh: buta konversi dan tuli konversi
PPDGJ
87. Stages of Grief & Loss
Stages of Grief & Loss
1. Denial — "I feel fine."; "This can't be happening, not to me.―

2. Anger — "Why me? It's not fair!"; "How can this happen to
me?"; '"Who is to blame?‖

3. Bargaining — "I'll do anything for a few more years."; "I will


give my life savings if...―

4. Depression — "I'm so sad, why bother with anything?"; "I'm


going to die soon so what's the point?"; "I miss my loved
one, why go on?―

5. Acceptance — "It's going to be okay."; "I can't fight it, I may


as well prepare for it."
88. Gangguan Fobik
Diagnosis Karakteristik
Fobia Khas Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu
objek atau situasi, antara lain: hewan, bencana,
ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Fobia sosial Rasa takut yang berlebihan akan dipermalukan atau
melakukan hal yang memalukan pada berbagai
situasi sosial, seperti bicara di depan umum, berkemih
di toilet umum, atau makan di tempat umum.
Agorafobia Kecemasan timbul di tempat atau situasi di mana
menyelamatkan diri sulit dilakukan atau tidak tersedia
pertolongan pada saat terjadi serangan panik. Situasi
tersebut mencakup berada di luar rumah seorang diri,
di keramaian, atau bepergian dengan bus, kereta,
atau mobil.
PPDGJ
89. Gangguan Disosiatif
• Gejala utama adalah adanya kehilangan
dari integrasi normal, antara:
• ingatan masa lalu,
• kesadaran identitas dan penginderaan segera,
&
• kontrol terhadap gerakan tubuh
• Terdapat bukti adanya penyebab psikologis,
kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu
• Tidak ada bukti adanya gangguan fisik.

PPDGJ
90. Defense Mechanism IN
OCD
• Defence/defense mechanisms : psychological
strategies brought into play by the unconscious
mind to manipulate, deny, or distort reality and to
maintain a socially acceptable self-image or self-
scheme
• From a psychoanalytic perspective, 3 major
psychological defensive mechanisms of
obsessive-compulsive symptoms and character
traits : isolation, undoing, and reaction formation
Isolation :
• Splitting/separating an idea from the affect that
accompanies it but is repressed.
• Protects an individual from anxiety-provoking affects
and impulses
• Characteristic of the orderly, controlled people.
Remember the truth in fine detail but without affect

Undoing :
• a compulsive act that is performed in an attempt to
prevent or undo the consequences that the patient
irrationally anticipates from a frightening obsessional
thought or impulse

Reaction Formation :
• manifest patterns of behavior and consciously
experienced attitudes that are exactly the opposite of
the underlying impulses
Defense Mech. Definition Example
Projection Attributing one’s own if you have a strong dislike for
thoughts, feelings or motives someone, you might instead
to another believe that he or she does
not like you
Conversion Cognitive tensions manifest A person's arm becomes
themselves in physical suddenly paralyzed after they
symptoms. The symptom may have been threatening to hit
well be symbolic and dramatic someone else.
and it often acts as a
communication about the
situation, such as paralysis,
blindness, deafness, becoming
mute or having a seizure.

Identification Bolstering self-esteem by An insecure young man joins a


forming an imaginary or real fraternity to boost his self-
alliance with some person or esteem
group
Rasionalization Creating false but plausible a student stealing money from
excuses to justify a wealthy friend of his, telling
unacceptable behavior himself “Well he is rich, he can
afford to lose it.
91. Ansietas Masa Kanak
 Gangguan ansietas perpisahan masa kanak:
 Ansietas berkaitan dengan perpisahan dari tokoh
yang akrab (orang tua atau kerabat)
 Bentuk ansietas:
 Kekhawatiran mendalam tokoh itu pergi & tidak
kembali
• Enggan masuk sekolah karena takut berpisah
• Terus-menerus enggan/menolak tidur tanpa
ditemani tokoh kesayangannya tsb
• Terus-menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggal
seorang diri)
 Mimpi buruk berulang tentang perpisahan.
 Sering timbul gejala fisik (rasa mual, sakit kepala,
sakit perut, muntah) pada peristiwa perpisahan.
 Rasa susah berlebihan pada saat sebelum, selama,
atau sehabis berlangsungnya perpisahan.

PPDGJ
Kriteria Gangguan Perpisahan Fobia Sosial Gangguan Cemas
Menyeluruh
Durasi minimal 4 minggu Tidak ada minimum 6 bulan
Usia awitan Prasekolah-18 tahun Tidak spesifik Tidak spesifik
Presipitasi Perpisahan Social pressure Tekanan berprestasi,
kurang percaya diri
Relasi dengan Baik jika tidak ada Menahan diri Ingin menyenangkan
sebaya perpisahan orang lain, dependen
Masalah tidur Enggan untuk tidur, Sulit untuk tertidur Sulit untuk tertidur
takut gelap, mimpi
buruk
Gejala Sakit perut, mual, Blushing, tegang. Sakit perut, mual,
psikofisiologis muntah, flu like, sakit muntah, rasa
kepala, pusing, mengganjal di
palpitasi, pingsan. kerongkongan, sesak,
pusing, palpitasi.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


92. PHOBIAS
SPECIFIC PHOBIAS, of animals, events (flying),
bodily (blood), situations (enclosed places).
SOCIAL PHOBIAS, of social situations, public
speaking, parties, meeting new people.
AGORAPHOBIA, of public crowded places (not
open spaces), of leaving safety of home
All phobias are more common in women than
men, in particular Agoraphobia.
Social Phobia is most prevalent in
adolescence and Agoraphobia in middle
age.
Psychodynamic explanations of PHOBIAS
Freud explained phobias using his
idea of Ego Defence mechanisms.
• Anxiety provoking thoughts or
desires coming from the ID are
REPRESSED into the unconscious
where the anxiety is DISPLACED
onto another neutral object
which becomes the subject of
the phobia.
The Psychodynamic
Approach to Anxiety
 Anxiety is a signal that the ego is having a
hard time mediating between reality, id and
superego.
 Different anxiety disorders are the result of
different defense mechanisms used to cope.
 Repression  phobia
 Reaction Formation  OCD
 Freud believed that this occurs in the Anal stage
Defense Mechanism
93. Intoksikasi Zat
 Kelompoksindrom  Opiate
simpatomimetik  koma, depresi nefas,
 takikardi, hipertensi, miosis, hipotensi,
bradikardi, hipotermia,
hiperpireksia, keringat edema paru, bising usus
banyak, midriasis, menurun, hiporefleks
hiperefleksi, kejang
 Contoh:
 Contoh  narkotika
 amfetamin  barbiturate
 MDMA dan derivatnya  benzodiazepine
 Kokain  meprebamat
 Dekongestan  etanol
INTOKSIKASI KOKAIN
Tanda dan gejala :  agitasiatau
 takikardia atau bradikardi retardasi psikomotor,
a,  kelemahan otot,
 dilatasi pupil,
 depresi, nyeri dada
 peningkatan atau penuru atau arimia jantung,
nan tekanan darah,
 bingung(confusion),
 berkeringat atau rasa
dingin,  Kejang,

 mual atau muntah,


dyskinesia, dystonia,hin
gga dapat
menimbulkan koma
Zat Intoksikasi Withdrawal
Alkohol Cadel, inkoordinasi, unsteady gait, nistagmus, Hiperaktivitas otonom, tremor, insomnia,
gangguan memori/perhatian, stupor/koma mual/muntah, halusinasi, agitasi,
ansietas, kejang.
Heroin Euforia, analgesia, ngantuk, mual, muntah, Miosis/midriasis, mengantuk/koma,
napas pendek, konstipasi, midriasis, gangguan cadel, gangguan perhatian/memori
jiwa
Kanabis/ganja Injeksi konjungtiva, peningkatan nafsu makan,
/marijuana mulut kering, takikardia, halusinasi,delusi
Kokain Taki/bradikardia, dilatasi pupil, Disforik mood, fatigue, mimpi buruk,
peningkatan/penurunan TD, insomnia/hipersomnia, peningkatan
perspirasi/menggigil, mual/muntah, turun BB, nafsu makan, agitasi/retardasi psikomotor
agitasi/retardasi psikomotor, kelemahan otot.
Depresi napas, nyeri dada, aritmia, bingung,
kejang, distonia, koma
Amfetamin Taki/bradikardia, dilatasi pupil, Disforik mood, fatigue, mimpi buruk,
peningkatan/penurunan TD, insomnia/hipersomnia, peningkatan
perspirasi/menggigil, mual/muntah, turun BB, nafsu makan, agitasi/retardasi psikomotor
agitasi/retardasi psikomotor, kelemahan otot.
Depresi napas, nyeri dada, aritmia
Benzodiazepin Cadel, inkoordinasi, gangguan berjalan, Hiperaktivitas otonom, tremor, insomnia,
nistagmus, gangguan perhatian/memori, mual/muntah, halusinasi
stupor/koma. visual/taktil/auditorik, agitasi psikomotor,
ansietas, bangkitan grand mal.
94. Sexual Disorder
Diagnosis Karakteristik
Fetishism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors
involving the use of nonliving objects (e.g., female
undergarments).
Frotteurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors
involving touching and rubbing against a nonconsenting
person.
Masochism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors
involving the act (real, not simulated) of being humiliated,
beaten, bound, or otherwise made to suffer.
Sadism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors
involving acts (real, not simulated) in which the
psychological or physical suffering (including humiliation)
of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors
involving the act of observing an unsuspecting person
who is naked, in the process of disrobing, or engaging in
sexual activity.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Ilmu Penyakit
Kulit dan
Kelamin
95. Hidradenitis suppurativa
• Infeksi kelenjar apokrin
• Etiologi : Staphylococcus aureus
• Didahului oleh trauma, ex:
keringat berlebih, pemakaian
deodorant, dll.
• Gejala konstitusi : demam,
malaise
• Ruam berupa nodus dan tanda
inflamasi (+) lalu melunak
menjadi abses, pecah
membentuk fistel dan sinus yang
multiple
• Lokasi : ketiak, perineum
• Lab : leukositosis
• Th/ antibiotik sistemik

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 61-62
Penyakit Keterangan
Karbunkel - Radang folikel rambut (furunkel) yang berkumpul
- Disebabkan oleh S. aureus
- Nodus eritematosa berbentuk kerucut dengan
tengah berupa pustul
- Terapi: Antibiotik topikal, sistemik (bila banyak)
Selulitis -Infeksi akut oleh Streptococcus
-Infiltrat difus (batas tidak tegas) di subkutan, tanda
inflamasi (+)
-Predileksi: tungkai bawah
-Lab: leukositosis
Skrofulode - Abses dingin
rma - Disebabkan oleh M. Tuberkulosis
- Abses akibat TB ekstra paru, livid, teraba dingin,
tidak nyeri

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61
96. Skabies
 Etiologi: Sarcoptes scabiei

 Gejala (4 tanda kardinal):


 Pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang,
ditemukan terowongan, ditemukan s. scabiei

 Burrow ink test:


 Papul skabies dilapisi dengan tinta cina  biarkan 20-30
menit bersihkan dengan kapas alkohol: terowongan
terlihat lebih gelap dibanding kulit sekitar karena akumulasi
tinta didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila
terbetuk gambaran kanalikuli yang khas berupa garis
menyerupai bentuk zigzag.

• Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals, in:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
Vol.2. USA: Blackwell publishing; 2004. 37-47.
• Itzhak Brook. Microbiology of Secondary Bacterial Infection in Scabies
Lesions.
Pengobatan Skabies
 Permethrin 5%
 Pilihan utama, kontra indikasi pada bayi < 2 bulan , ibu
hamil (penggunaan < 2 jam) dan menyusui

 Sulfur presipitat (2-10%), biasanya 6%


 Aman pd segala umur, dioles 24 jam selama 3 hari

 Benzil benzoat 12,5% (anak), 25%


 Kontraindikasi menyerupai permethrin

 Gameksan 1%
 Selama 6 jam, kontraindikasi < 6 tahun

• Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit.Ed.1. Jakarta: Hipokrates; 2000. 109-13.


• Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas
97. Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS)
 Kemerahan dan pengelupasan
pada wajah, dada, dan daerah
lipatan
 Bula kendor berdinding tipis yang
mudah pecah
 Daerah krusta terbentuk sekitar
mulut
 Khas:
 Usia muda (infant)
 Lebih superfisial
 Tidak ada lesi oral
 Durasi pendek
 Berhubungan dengan toksin
Staphilococcus
 Lesi steril (berbeda dengan
imppetigo bulosa)
 Dapat disertai konjungtivitis,
rinorrhea, otitis media, faringitis
98. Dermatitis Kontak
Dermatitis Kontak Iritan
 Reaksi peradangan kulit nonimunologik (tanpa didahului
proses desensitisasi)
 Dapat diderita semua orang
 Penyebab: bahan iritan
 Gejala: beragam tergantung sifat iritan
 Akut: kulit terasa pedih, panas, terbakar, eritema edema, bula
 Kronik: kulit kering, eritema, skuama, hiperkeratosis, likenifikasi
 Jenis:
 Kategori mayor: DKI akut, DKI kumulatif (kronis)
 Kategori lain: DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI
eritematosa, DKI subyektif
 Pengobatan: menghindari pajanan, KS

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis kontak alergi
 Reaksi peradangan kulit imunologik, diperantarai cell-
mediated immune response (hipersensitivitas tipe IV)
 Mengenai orang yang kulitnya hipersensitif
 Penyebab: hapten (alergen yang belum diproses, lipofilik,
sangat reaktif, mampu menembus stratum korneum)
 Fase: sensitisasi & elitisasi
 Gejala:
 Akut: gatal, eritema, edema, papulovesikel, vesikel, bula
 Kronik: kulit kering, skuama, papul, likenifikasi, fisur
 DD: DKI
 Pemeriksaan: uji tempel
 Pengobatan: menghindari pajanan, KS

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
 Uji tempel digunakan untuk membedakan DKA dengan DKI
 Antigen dibiarkan menempel selama 48 jam
 Pembacaan dilakukan 2 kali: pertama dilakukan 15-30 menit
setelah dilepas; kedua dilakukan 72-96 jam setelah dilepas
 Bila reaksi bertambah (crescendo) di antara kedua pembacaan,
cenderung ke respons alergi. Disesuaikan juga dengan keadaan
klinis.

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
99. Schistosomiasis
 Bertempat di sistem vena porta

 Etiologi
 Kulit berkontak dengan air yang terkontaminasi oleh
serkaria

 Lesi
patologis adalah akibat granuloma yang
dibentuk oleh telur di hati dan usus besar

 Stadium
 Schitosomiasis akut
 Demam, pembesaran hari, eosinofilia, disentri
 Schitosomiasis kronik
 Lesi fibro-obstruktif di sekitar vena portal
 Stadium Lanjut
 Splenomegali, asites, hipertensi vena porta
Etiology
 Cacing dewasa: Dioecious (menyatu)
 Betina: Panjang dan tipis
 Jantan: Pendek dan tebal
 Telur: terdapat mirasidia
25-30℃毛蚴
Schistosoma egg

 JK

Sch.mansoni egg Sch. japonicum egg

Sch. Haematobium
egg
100. SKROFULODERMA
 Penjalaran perkontinuitatum dari organ dibawah kulit
yang diserang penyakit TB (kelenjar getah bening,
sendi, tulang)
 Lokasi
 leher : dari tonsil atau paru
 ketiak : dari apeks pleura
 lipat paha : dari ekstremitas bawah  KGB Inguinal lateral
 Perjalanan penyakit:
 Awal : limfadenitis TB
 KGB membesar tanpa tanda radang akut
 Periadenitis
 perlekatan kelenjar dengan jaringan sekitar sekitar
 Perlunakan tidak serentak cold abses  Pecah
 Fistelmemanjang, tidak teratur, sekitarnya livide
menggaung tertutup pus seropurulen
 Sikatrik  skin bridge
 DD/ : limfosarkoma, limfoma malignum, hidradenitis
supurativa LGV
Histopatologi

Cuboid
cell lining
101. Neurodermatitis
 Nama lain Liken Simplek kronikus sebuah
peradangan kulit kronis, gatal, sirkusrip. Ditandai
dengan kulit tabal dan likenifikasi.
 Etiologi: pruritus yang diakibatkan oleh gagal
ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma
hodgkin, dermatitis atau aspek psikologi
 Gejala klinis: pruritus, plak eritematosa, likenifikasi
dan ekskoriasi.

Buku ajar ilmu penyakit kulit dan


kelamin FKUI edisi kelima
 Tata laksana neurodermatitis:
 Edukasi bahwa garukan akan
memperburuk lesi
 Antipruritus: antihistamin dengan efek
sedatif
 Kortikosteroid topikal atau intalesi
 Ter yang mempunyai efek antiinflamasi
102. Kandidosis
 Kandidosis: penyakit jamur bisa bersifat akut/subakut
disebabkan oleh genus Candida
 Klasifikasi
 Kandidosis mukosa: kandidosis oral, perleche, vulvovaginitis,
balanitis, mukokutan kronik, bronkopulmonar
 Kandidosis kutis: lokalisata, generalisata, paronikia &
onikomikosis, granulomatosa
 Kandidosis sistemik: endokarditis, meningitis, pyelonefritis,
septikemia
 Reaksi id (kandidid)
 Faktor
 Endogen: perubahan fisiologik (kehamilan, obesitas,
iatrogenik, DM, penyakit kronik), usia (orang tua & bayi),
imunologik
 Eksogen: iklim panas, kelembaban tinggi, kebiasaan
berendam kaki, kontak dengan penderita

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Kandidosis kutis
 Bentuk klinis:
 Kandidosis intertriginosa: Lesi di daerah lipatan kulit ketiak,
lipat paha, intergluteal, lipat payudara, sela jari, glans penis,
dan umbilikus berupa bercak berbatas tegas, bersisik,
basah, eritematosa. Dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-
vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula
 Kandidosis perianal: Lesi berupa maserasi seperti dermatofit
tipe basah
 Kandidosis kutis generalisata: Lesi terdapat pada glabrous
skin. Sering disertai glossitis, stomatitis, paronikia
 Pemeriksaan: KOH (selragi, blastospora, hifa semu), kultur
di agar Sabouraud
 Pengobatan: hindari faktor predisposisi, antifungal
(gentian violet 0,5-1%, nistatin, amfoterisin B, grup azole)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
103.
Vaginal Discharge
Patologi Candida Trikomonas BV Gonorre Chlamydia

Warna Putih seperti Kuning keabuan Kuning Non spesifik,


santan kehijauan keruh (pus) ada darah

Bau Asam Seperti ikan Amis, ikan Purulen mukopurulen


busuk
Serviks Bercak putih Strawberry Putih Edema Edema
menempel cervix homogen, serviks serviks, rapuh
pada serviks melekat
Px/ Pseudohifa, Parasit Clue cell Diplokokus PMN > 30/LPB
blastospora berflagel gram (-)
intrasel
Trikomoniasis
 Infeksi saluran urogenital bagian bawah oleh Trichomonas vaginalis, bisa
bersifat akut/kronik, penularan biasanya melalui hubungan seksual (dapat
juga melalui pakaian atau karena berenang)
 Gejala klinis:
 Pada wanita:
 Sekret vagina seropurulen berwana kekuningan, kuning-hijau,
berbau tidak enak, berbusa
 Dinding vagina kemerahan, terdapat abses yang tampak sebagai
granulasi berwarna merah (strawberry appearance), dispareunia,
perdarahan pascakoitus, perdarahan intermenstrual
 Pada laki-laki: gambaran klinis lebih ringan, mirip uretritis nongonore
 Pemeriksaan:
 Sediaan basah
 Pemeriksaan pewarnaan Giemsa
 Pengobatan:
 Topikal: cairan irigasi (H2O, asam laktat), supositoria/gel
trikomoniasudal
 Sistemik: metronidazol (2 g single dose atau 500 mg x 7 hari), tinidazol
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
104. Investasi cacing
A. Lumbricoides A. duodenale N. T. trichiura O. vermicularis
americanus
Morf 12-49 cm 8-13 mm 7-11 mm 30-50 mm 8-13 mm

Entry Telur terfertilisasi Larva Larva Telur Telur


filariform filariform

Parasitologi Kedokteran
Loeffler's syndrome
 Eosinofil terakumulasi di paru-paru akibat reaksi
hipersensitivitas terhadap infeksi parasit 
pneumonia eosinofilik
 Etiologi:
 Ascaris lumbricoides, Strongyloides stercoralis,
Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus
105. Kemoprofilaksis Malaria
 Tujuan
 Mengurangi risiko terjangkit penyakit malaria sehingga bila
terinfeksi gejala klinis tidak berat

 Sasaran Pengguna
 Orang yang akan bepergian ke daerah endemis malaria
dalam waktu yang tidak terlalu lama (turis, peneliti)
 Untuk orang yang menetap lama: personal protection
(kelambu, repellent, kawat kassa, dll)

 Terutama ditujukan untuk P. falciparum karena memiliki


virulensi tertinggi  resisten kloroquin

 Dosis
 2 mg/kgBB diminum mulai H-1 keberangkatan hingga tidak
lebih dari 2 minggu
 Kontraindikasi: anak < 8 tahun dan ibu hamil
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan DepKes RI
106.
Gas gangrene
 Itis a rapidly progressive, potentially fatal
condition characterized by widespread
necrosis of the muscles and subsequent
soft-tissue destruction.

 Thisis a dreaded consequence of


inadequately treated missile wounds,
crushing injuries and high-voltage
electrical injuries.
Causative agent
 Closteridium species – spore forming,
Gram(+)

c.septicum

c.novyi
c. Perfringens
(mostly)
Pathogenesis

- The toxins Examples of


- Bacteria (lecithinase enzyme:
enters the ) and colagenases,
broken skin enzyme are proteases and
or wound produced lipases
- These enzymes
- The bacteria will kill other host
- Spores
are are grow and cell and extend
ferment the the anaerobic
produced environment
muscle - Produce gases
- The carbohydrate (nitrogen, hydrogen
the sulphide and carbon
bacteria dioxide)
present in anaerobic
tissue - Crepitant tissue
circulation
system present ( destroyed tissue)
Symptoms
 High fever
 Shock
 Massive tissue destruction
 Blackening of skin
 Severe pain around a skin of wound
 Blisters with gas bubbles form near the infected
area,
 the heartbeat and breathing become
rapid.
Presentation

Crepitation in tissues,
sickly sweet odor discharge,
rapidly progressing necrosis,
fever, hemolysis, toxemia,
shock,
renal failure, and death
107. Pedikulosis
 Infeksi
kulit/rambut pada manusia yang
disebabkan Pediculus
 3 macam infeksi pada manusia
 Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus
var. capitis
 Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus humanus
var. corporis
 Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis kapitis
 Infeksi
kulit dan rambut kepala
 Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk
 Gejala: mula-mula gatal di oksiput dan temporal,
karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi
sekunder
 Diagnosis: menemukan kutu/telur, telur berwarna
abu-abu/mengkilat
 Pengobatan: malathion 1%, gameksan 1%, benzil
benzoat 25%
Pedikulosis korporis
 Biasanya menyerang orang dewasa dengan
higiene buruk (jarang mencuci pakaian)
 Kutu melekat pada serat kapas dan hanya
transien ke kulit untuk menghisap darah
 Gejala: hanya bekas garukan di badan
 Diagnosis: menemukan kutu/telur pada serat
kapas pakaian
 Pengobatan: gameksan 1%, benzil benzoat 25%,
malathion 2%, pakaian direbus/disetrika
Pedikulosis pubis
 Infeksirambut di daerah pubis dan sekitarnya
 Menyerang dewasa (tergolong PMS), dapat
menyerang jenggot/kumis
 Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu
mata dan pada tepi batas rambut kepala
 Gejala: Gatal di daerah pubis dan sekitarnya,
dapat meluas ke abdomen/dada, makula serulae
(sky blue spot), black dot pada celana dalam
 Pengobatan: gameksan 1%, benzil benzoat 25%
108. Acne vulgaris
 Akne vulgaris adalah penyakit peradangan
menahun folikel sebasea yang ditandai
dengana danya komedo, papul, pustul.
 Biasa terjadi pada masa remaja.
 Etiologi:
 Perubahan pola keratinisasi folikel
 Produksi sebum meningkat
 Terbentuknya fraksi asam lemak bebas
 Derajat acne vulgaris:
 Ringan: beberapa lesi tidak beradang
pada satu lesi, lesi tidak beradang pada
beberapa tempat predileksi
 Sedang: Banyak lesi tidak beradang pada
1 predileksi, beberapa lesi beradang pada
lebih dari 1 predileksi
 Berat: banyak lesi meradang pada lebih
dari 1 predileksi.
 Sedikit:
<5 lesi, Beberapa: 5-10 lesi,
Banyak:>10
Ilmu Kesehatan
Anak
Tekanan di dalam Jantung

109. Congenital Heart


Disease
Congenital
HD

Acyanotic Cyanotic

With ↓ With ↑
With ↑ volume pulmonary pulmonary
With ↑ pressure
load: blood flow: blood flow:
load:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of vessels
- PDA pulmonal
aorta
- Atresia - Truncus
- Valve arteriosus
tricuspid
regurgitation

1. Nelson‘s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
 Asianotik: L-R shunt
 ASD: fixed splitting S2, murmur
ejeksi sistolik
 VSD: murmur pansistolik
 PDA: continuous murmur
 Sianotik: R-L shunt
 TOF: AS, VSD, overriding aorta,
RVH. Boot like heart pada
radiografi
 TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ volume load Clinical Findings
The most common: left to e.g. ASD, VSD, PDA
right shunting
↓ compliance & ↑ work of
Blood back into the lungs breathing

Pulmonary edema,
Fluid leaks into the interstitial
space & alveoly tachypnea, chest retraction,
wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output ->
↑Oxygen consumption ->
↑sympathetic nervous system
sweating, irritability, FTT
Remodelling: dilatation &
hypertrophy
If left untreated, ↑ volume load will
increase pulmonary vascular resistance Eventually leads to Eisenmenger
Syndrome

1. Nelson‘s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings
Obstruction to normal
blood flow: pulmonic stenosis, Murmur PS & PS: systolic
aortic stenosis, coarctation of murmur;
aorta.

Hypertrophy & dilatation of Dilatation happened in the


ventricular wall later stage

Severe pulmonic stenosis in newborn


Defect location  right-sided HF (hepatomegaly,
peripheral edema)
determine the symptoms
Severe aortic stenosis  left-sided
(pumonary edema, poor perfusion) &
right-sided HF
1. Nelson‘s textbook of pediatrics. 18th ed.
109. Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right - enlargement of RV, RA, &
side of the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of
Wide, fixed 2nd heart
ventricular diastolic
sound splitting
volume

Increased flow across Mid-diastolic murmur at the


tricuspid valve lower left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur,


best heard at left middle &
pulmonary valve upper sternal border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the
pressure gap between LA & RA is not significant
1. Nelson‘s textbook of pediatrics. 18th ed.
110. Tata laksana thalassemia
 Transfusi darah rutin  target  Splenektomi  kriteria:
Hb 12 g/dl  Splenomegali masif
 Medikamentosa  Kebutuhan transfusi PRC >
 Asam folat (penting dalam 200-220 ml/kg/tahun
pembentukan sel)  usia: > thn
 Kelasi besi  menurunkan  Be careful with
kadar Fe bebas dan me<<<
deposit hemosiderin). trombocytosis and
Dilakukan Jika Ferritin level > infection
1000 ng/ul, atau 10-  Immunizations are
20xtransfusi, atau menerima 5
L darah. important
 Vitamin E (antioksidan karena  Transplantasi (sumsum tulang,
banyak pemecahan eritrosit darah umbilikal)
 stress oksidatif >>)
 Vitamin C (dosis rendah, pada  Fetal hemoglobin inducer
terapi denga n deferoxamin) (meningkatkan Hgb F yg
 Nutrisi: kurangi asupan besi membawa O2 lebih baik dari
 Support psikososial Hgb A2)
 Terapi gen
TRANSFUSI DARAH
Terdiri dari The transfusion trigger,
kapan darah harus diberikan

 Darah lengkap (whole


blood)  Anemia akut
 Komponen darah  Hb ≤ 6 g/dL
(1960)  volume darah
~ Sel darah merah ↓: 30% - 40%
~ Leukosit  Pra-bedah
~ Trombosit (Hb<8g/dL)
~ Plasma (beku-  Anemia kronik
segar)
 Neonatus dengan
~ Kriopresipitat distres pernapasan
JENIS KOMPONEN DARAH
SEL DARAH MERAH (SDM)

 Darah lengkap  SDM rendah-leukosit


(whole blood)  leukosit disaring / filter
 Operasi jantung  mencegah: reaksi
transfusi, penularan
 Perdarahan masif penyakit dan GVHD
 SDM pekat (packed  SDM cuci (washed
red cell) RBC)
 sumber: donor  menghilangkan:
tunggal antibodi, K+, leukosit
 Ht ~ 55%  untuk: transfusi
berulang, ada antibodi,
 Anemia simptomatik: PNH
thalassemia
JUMLAH DARAH YANG DIPERLUKAN
Darah lengkap:
BB(kg) x 6x (Hbdiinginkan – Hbtercatat)

SDM pekat (2/3 dari darah lengkap)


BB(kg) x 4x (Hbdiinginkan – Hbtercatat)

Hb penderita Jumlah SDM


(g/dL) (diberikan dalam 3-4 jam)
-------------------------------------------------------------------------------
7-10 10 mL/kg.bb
5-7 5 mL/kb.bb*
<5, payah jantung (-) 3 mL/kg.bb*
<5, payah jantung (±) 3 mL/kg.bb+furosemid
<5, payah jantung (+) transfusi tukar
-------------------------------------------------------------------------------
*dapat diulang dengan interval 6-12 jam
JENIS KOMPONEN DARAH
Suspensi trombosit Plasma Segar Beku
(platelet concentrate) (Fresh Frozen Plasma)
 diperoleh dari :
~ 1 unit darah  Defisiensi faktor
lengkap, segar, donor pembekuan
tunggal
 Renjatan hipovolemik
~ tromboferesis (perdarahan >>)
 diberikan pada :
 perdarahan karena
 Penyakit hati
trombosit ↓ ↓  Defisiensi imun
 persiapan operasi dg
trombosit ↓
 Protein-losing
 dosis yang dipergunakan
enteropathy
(unit) Dosis: 20-40
BB(kg) x 1/13(lt) x mL/kgbb
(1000/300)
JENIS KOMPONEN DARAH
Kriopresipitat
(Cryoprecipitate) Konsentrat VIII
 1 kantong (± 20 mL) kriopresipitat
mengandung:  Tersedia sebagai
~ 80-120 unit faktor VIII
~ 150-200 mg fibrinogen
produk komersial
~ faktor von Willebrand  Mengandung 250
~ faktor XIII U dan 1000 U
 dipergunakan untuk pengobatan:
~ hemofilia A dalam bentuk
~ penyakit von Willebrand bubuk kering
 Dosis: dengan 10 mL
~ 40-50 U/kgbb,
loading dose pelarut
~ 20-25 U/kgbb, tiap 12
jam
JENIS KOMPONEN DARAH
Kompleks faktor IX
(kompleks protrombin aktif) ALBUMIN
 Mengandung  Hipoproteinemia
protrombin, faktor
VII, IX, dan X serta  Luka bakar hebat
protein C
 Hiperbilirubinemia
 Untuk mengobati
hemofilia B, penyakit pada neonatus
hati  Dosis: 1-3 g/kgbb
 Dosis: 80-100 U/kgbb
setiap 24 jam
111. Demam rematik
 Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
 Usia rerata penderita: 10 tahun
 Komplikasi: penyakit jantung reumatik biasanya berupa
insufisiensi katup, katup yang paling sering terkena
adalah katup mitral (insufisiensi mitral 65-70%), disusul
dengan katup aorta. Stenosis mitral biasanya terjadi
akibat residual dan progresivitas RHD.
 Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
 Pengobatan:
 Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
 Dalam kasus demam rematik:
 Antibiotik: penisilin/eritromisin
 Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
 Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin

Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview


Behrman RE. Nelson‘s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket:
ASO=ASTO
112. Food Allergy (Protein Susu Sapi)
 Hipersensitivitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein &
whey dari produk sapi)
 Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum
sempurna, antigen masuk lewat saluran cerna  hipersensitivitas
 Hipersensitivitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
 The prevalence of food allergies has been estimated to be 5-6% in
infants and children younger than 3 years and 3.7 % in adults
 Gejala:
 Anafilaktik
 Kulit: dermatitis atopik, urtikaria, angioedema
 Saluran nafas: asma, rinitis alergi
 Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis eosinofilik,
gastroenteritis eosinofilik, konstipasi kronik, dll.
 Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge
 Tata laksana:
 Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen
 Breastfeeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya
 Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breastfeeding
Nocerino A. Protein intolerance. http://emedicine.medscape.com/article/931548-overview
PPM IDAI
Common Food Allergens
PPM IDAI
113. Kejang demam
 Kejang yang terjadi akibat kenaikan suhu tubuh di atas 38,4°
C tanpa adanya infeksi SSP atau gangguan elektrolit pada
anak di atas usia 1 bulan tanpa riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya (ILAE, 1993)
 Umumnya berusia 6 bulan – 5 tahun
 Kejang demam sederhana (simpleks)
 Berlangsung singkat, tonik klonik, umum, tidak berulang dalam 24
jam
 Kejang demam kompleks
 Lama kejang > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial menjadi umum
 Berulang dalam 24 jam
 Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk usia < 12 bulan dan
dianjurkan untuk usia 12-18 bulan
 Diagnosis banding: meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis,
APCD (pada infant), epilepsi

Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. IDAI. 2006


Profilaksis Intermiten untuk
Pencegahan Kejang Demam
 Faktor risiko berulangnya kejang demam:
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Usia kurang dari 12 bulan
 Temperatur yang rendah saat kejang
 Cepatnya kejang setelah demam

 Pada saat demam


 Parasetamol 10-15 mg/kg diberikan 4 kali/hari
 Diazepam oral 0,3 mg/kg setiap 8 jam, atau per
rektal 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >38,5⁰C
Pengobatan Jangka Panjang
Kejang Demam
 Fenobarbital 3-6 mg/kg/hari atau asam valproat 15-40
mg/kg/hari  fenobarbital biasanya tidak digunakan
krn terkait ES autisme
 Dianjurkan pengobatan rumatan:
 Kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang
(paresis Tod‘s, CP, hidrosefalus)
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal
 Dipertimbangkan pengobatan rumatan :
 Kejang berulang dalam 24 jam
 Bayi usia < 12 bulan
 Kejang demam kompleks berulang > 4 kali
 Lama pengobatan rumatan 1 tahun bebas
kejang, dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan
114. Meningitis & ensefalitis
 Meningitis
 Meningitis bakterial: E. coli, Streptococcus grup B
(bulan pertama kehidupan); Streptococcus
pneumoniae, H. influenzae, N. meningitidis (anak
lebih besar)
 Meningitis viral: paling sering pada anak usia < 1
tahun. Penyebab tersering: enterovirus
 Meningitis fungal: pada imunokompromais
 Gejala klasik: demam, sakit kepala hebat, tanda
rangsang meningeal (+). Gejala tambahan:
iritabel, letargi, muntah, fotofobia, gejala
neurologis fokal, kejang
 Ensefalitis: inflamasi pada parenkim otak
 Penyebab tersering: ensefalitis viral
 Gejala: demam, sakit kepala, defisit neurologis
(penurunan kesadaran, gejala fokal, kejang)
Hom J. Pediatric meningitis and encephalitis.
http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview
Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap dan kultur darah
 Gula darah dan elektrolit jika terdapat indikasi
 Pungsi lumbal untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi
 Pada kasus berat sebaiknya ditunda
 Kontraindikasi mutlak : Terdapat gejala peningkatan
tekanan intrakranial
 Diindikasikan pada suspek meningitis, SAH, dan penyakit SSP
yang lain (eg. GBS)
 Protokol pertama pada kasus kejang pada anak usia < 1
tahun  sangat dianjurkan; 12-18 bln  dianjurkan; > 18 bln
 tidak rutin dilakukan
 CT Scan dengan kontras atau MRI pada kasus berat,
atau dicurigai adanya abses otal, hidrosefalus, atau
empiema subdural
 EEG jika ditemukan perlambatan umum
CSF interpretation
Normal CSF Values in Children
White cell count Biochemistry
Neutrophils Lymphocytes Protein Glucose
(x 106 /L) (x 106/L) (g/L) (CSF:blood ratio)

Normal 0 ≤5 < 0.4 ≥ 0.6 (or ≥ 2.5


(>1 month of mmol/L)
age)
Normal 0 < 20 <1.0 ≥ 0.6 (or ≥ 2.5
neonate mmol/L)
(<1 month of
age)

http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/CSF_Interpretation/
Diagnosis diferensial infeksi SSP
Klinis/Lab. Ensefalitis Meningitis Mening.TBC Mening.viru Ensefalopati
bakterial s
Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik

Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)

Kejang Umum/fo Umum Umum Umum Umum


kal
Penurunan Somnolen Apatis Variasi, apatis CM - Apatis Apatis -
kesadaran - sopor - sopor Somnolen
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Etiologi Tidak dpt ++/- TBC/riw. - Ekstra SSP
diidentifik kontak
asi
Terapi Simpt/ant Antibiotik Tuberkulostatik Simpt. Atasi penyakit
iviral primer
Cairan serebrospinal pada infeksi SSP
Bact.men Viral men TBC men Encephali Encephal
tis opathy
Tekanan  Normal/   

Makros. Keruh Jernih Xantokrom Jernih Jernih

Lekosit > 1000 10-1000 500-1000 10-500 < 10

PMN (%) +++ + + + +

MN (%) + +++ +++ ++ -

Protein  Normal/  Normal Normal

Glukosa  Normal  Normal Normal

Gram Positif Negatif Negatif Negatif Negatif


/Rapid T.
115. Imunisasi
Vaksin Pertusis
 Vaksin pertussis whole cell:  Kejadian ikutan pasca
merupakan suspensi kuman imunisasi DTP
B. pertussis mati.  Reaksi lokal kemerahan,
 Vaksin pertusis aselular bengkak, dan nyeri pada
adalah vaksin pertusis yang lokasi injeksi terjadi pada
berisi komponen spesifik separuh (42,9%) penerima
toksin dari DTP.
Bordettellapertusis.  Demam
 Vaksin pertussis aselular bila  Anak gelisah dan
dibandingkan dengan menangis terus menerus
whole-cell ternyata selama beberapa jam
memberikan reaksi lokal pasca suntikan
dan demam yang lebih (inconsolable crying).
ringan, diduga akibat
dikeluarkannya komponen  Kejang demam
endotoksin dan debris.  ensefalopati akut atau
reaksi anafilaksis
Vaksin Pertusis
 Kontraindikasi mutlak  Keadaan lain dapat
terhadap pemberian dinyatakan sebagai
vaksin pertusis baik perhatian khusus
whole-cell maupun (precaution):
aselular, yaitu  bila pada pemberian
pertama dijumpai
 Riwayat anafilaksis riwayat hiperpireksia,
pada pemberian keadaan hipotonik-
vaksin sebelumnya hiporesponsif dalam 48
 Ensefalopati sesudah jam, anak menangis
terus menerus selama 3
pemberian vaksin
jam dan riwayat
pertusis sebelumnya
 kejang dalam 3 hari
sesudah imunisasi DTP.
116-117. Congenital Hypothyroidism
Etiology
 Thyroid Function:  The fetal pituitary-thyroid axis is
 normal brain growth and believed to function independently of
myelination and for normal the maternal pituitary-thyroid axis.
neuronal connections.  The contributions of maternal thyroid
 The most critical period fis the hormone levels to the fetus are thought
first few months of life. to be minimal, but maternal thyroid
 The thyroid arises from the disease can have a substantial
fourth branchial pouches. influence on fetal and neonatal thyroid
 The thyroid gland develops function.
between 4 and 10 weeks'  Immunoglobulin G (IgG)
gestation. autoantibodies, as in autoimmune
 By 10-11 weeks' gestation, the thyroiditis, can cross the placenta
fetal thyroid is capable of and inhibit thyroid function
producing thyroid hormone. (transient)
 By 18-20 weeks' gestation,  Thioamides (PTU) can block fetal
blood levels of T4 have thyroid hormone synthesis
reached term levels. T (transient)
 Radioactive iodine administered to
a pregnant woman can ablate the
fetus's thyroid gland permanently.
http://emedicine.medscape.com/article/919758-
overview#aw2aab6b2b2aa
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-
CAR1.gif
Pathology: Congenital
Hypotyroidism

http://php.med.unsw.edu.au/embr
yology/index.php?title=File:Congen
ital_hypothyroidism.jpg

 Causes:
 Deficient production of thyroid
hormone
 Disgenesis congenital
Hypothyroidism
 Iodine deficiencyendemic
goiter
 Defect in thyroid hormonal
receptor activity
Hipotiroid kongenital pada
Anak
 Hipotiroid kongenital (kretinisme) ditandai produksi
hormon tiroid yang inadekuat pada neonatus
 Penyebab:
 Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme
hormon tiroid
 Inborn error of metabolism
 Merupakan salah satu penyebab retardasi mental
yang dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3
bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna.
 Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu
dan normalisasi hormon tiroid (levotiroksin)sebelum
usia 3 minggu.
Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview
 Most affected infants have few or no
symptoms, because their thyroid
hormone level is only slightly low.
However, infants with severe
hypothyroidism often have a unique
appearance, including:
 Dull look
 Puffy face
 Thick tongue that sticks out
 This appearance usually develops as the
disease gets worse. The child may also
have:
 Choking episodes
 Constipation
 Dry, brittle hair
 Jaundice
 Lack of muscle tone (floppy infant)
 Low hairline
 Poor feeding
 Short height (failure to thrive)
 Sleepiness
 Sluggishness
Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital
hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
http://findmeacure.com/2008/04/13/growth-
118. Patent Ductus Arteriosus
2.119. Leukemia
Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they
should crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets.
This makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grow slowly may Grow quickly feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is their doctor.
found during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature Lymphoblast Myeloblast
lymphocyte granulocyte >20% >20%
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away

CDC.gov
Leukemia
 Jenis leukemia yang paling sering terjadi
pada anak-anak adalah Acute
Lymphoblastic Leukemia (ALL) dan Acute
Myelogenous Leukemia (AML)
 ALL merupakan keganasan yg paling
sering ditemui pada anak-anak (1/4 total
kasus keganasan pediatrik)
 Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
Clinical Manifestation
 More common in AML
 Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA,
dyspnea, hypoxia
 DIC (promyelocitic subtype)
 Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
 Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
 More common in ALL
 Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also
seen in
 monocytic AML)
 CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting,
headache, anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
 Tumor lysis syndrome
Leukemia Limfoblastik Akut
 Merupakan keganasan yang paling sering ditemukan
pada masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh
keganasan pada anak.
 Lebih sering pada laki-laki, usia 3-4 tahun
 Manifestasi klinis
 Penekanan sistem hemopoetik normal, anemia (pucat),
neutropenia (sering demam), trombositopenia
(perdarahan)
 Infiltrasi jaringan ekstramedular, berupa pembesaran
KGB, nyeri tulang, dan pembesaran hati serta limpa
 Penurunan BB, anoreksia, kelemahan umum
 Pemeriksaan Penunjang: Gambaran darah tepi dan
pungsi sumsum tulang untuk memastikan diagnosis
 Tatalaksana : Kemoterapi dan Pengobatan suportif
ALL AML
epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling 15% dari leukemia pada pediatri, juga
sering ditemui pada anak-anak (1/4 ditemukan pada dewasa
total kasus keganasan pediatrik)
Puncak insidens usia 2-5 tahun
etiologi Penyebab tidak diketahui Cause unknown. Risk factors: benzene
exposure, radiation exposure, prior
treatment with alkylating agents
Gejala dan Gejala dan tanda sesuai dengan Pucat, mudah lelah, memar, peteki,
tanda infiltrasi sumsum tulang dan/atau epistaksis, demam, hiperplasia gingiva,
gejala ekstrameduler: konjungtiva chloroma, hepatosplenomegali
pucat, petekie dan memar akibat
trombositopenia; limfadenopati,
hepatosplenomegali.Terkadang ada
keterlibatan SSP (papil edem, canial
nerve palsy); unilateral painless
testicular enlargement.
Lab Anemia, Trombositopenia, Trombositopenia,
Leukopeni/Hiperleukositosis/normal, leukopenia/leukositosis, primitif
Dominasi Limfosit, Sel Blas (+) granulocyte/monocyte, auer rods (hin,
needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic
inclusions)
Terapi kemoterapi kemoterapi
120. Enkopresis
 involuntary discharge of feces  Diagnostic criteria (DSM 5):
(ie, fecal incontinence)
 divided into 2 subtypes:  Repeated passage of
encopresis with constipation feces into inappropriate
(retentive encopresis) and places, whether
encopresis without constipation involuntary or intentional
(non retentive encopresis)  One such event occurs
 Signs and symptoms each month for at least 3
 History of constipation or painful months
defecation (~80-95% of children
with encopresis)  Occurs in children at least
 Inability to differentiate passing age 4 years (or of
gas and passing feces in equivalent developmental
underwear level)
Soiling episodes usually occurring

during the daytime (soiling during  The behavior is not
sleep is uncommon) attributable to the
 With retentive encopresis, physiologic effects of a
intermittent passage of extremely substance or another
large bowel movements medical condition except
through a mechanism
involving constipation
progressive
rectal
distention
Soft or
Chronic liquid stool
and
constipatio eventually
stretching of
n due to the child leaks
both the no longer
irregular habituates
internal senses the around
and to chronic
incomplet
anal
rectal
normal urge the
sphincter to defecate retained
e distention
and the fecal mass
evacuatio
external —> fecal
n
anal
sphincter
soiling.
(EAS)
Konstipasi
Enuresis
 Eneuresis: mengompol
 Diagnostic criteria:
 Repeated voiding of urine into bed or clothes, whether
involuntary or intentional
 The behavior either (a) occurs at least twice a week for
at least 3 consecutive months or (b) results in clinically
significant distress or social, functional, or academic
impairment
 The behavior occurs in a child who is at least 5 years
old (or has reached the equivalent developmental
level)
 The behavior cannot be attributed to the physiologic
effects of a substance or other medical condition
121. Ikterus Neonatorum
 Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
 Ikterus fisiologis:
 Awitan terjadi setelah 24 jam
 Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
 Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak
adalah 7-15 mg/dl pada NCB
 Ikterus non fisiologis:
 Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
 Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
 Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
 Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
 Tanda penyakit lain
 Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk.
Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil
direk >20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier,
kista duktus koledokus.
Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Kolestatis
Bilirubin Larut air: dibuang lewat
Bilirubin
Direk ginjal
indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses
Tidak ada bilirubin direk yg menuju
warna
usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver
Disease)
 Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin
total < 5 mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin
total bila kadar bil.total >5 mg/dl
 Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs
Obstruktif (Kolestasis ekstrahepatik)
 Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale
stools, nonspecific poor feeding and sleep disturbances,
bleeding and bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
 Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada
bayi yang terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
 Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu
karena destruksi atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus
biliaris. Merupakan proses yang bertahap dengan inflamasi
progresif dan obliterasi fibrotik saluran bilier
 Etiologi masih belum diketahui
 Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
 sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia,
vena porta preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
 Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama
kehidupan
 tipe perinatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus
atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada
minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kehidupan.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA
Atresia Bilier
 Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi
perempuan, lahir normal, bertumbuh dengan baik
pada awalnya, bayi tidak tampak sakit kecuali
sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus menerus.
Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu
 Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-
sedang. Peningkatan GGT (gamma glutamyl
transpeptidase) dan fosfatase alkali progresif.
 Diagnostik: USG dan Biopsi Hati
 Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
 Komplikasi: Progressive liver disease, portal
hypertension, sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA
122. Trauma Jalan Lahir
 Komplikasiyang sering terjadi akibat
trauma jalan lahir:
 Kaput suksedanum
 Sefalohematoma
 Paralisis lengan
 Paralisis wajah
 Fraktur humerus
 Fraktur klavikula
 Fraktur femur
Trauma Lahir Ekstrakranial
Perdarahan
Kaput Suksedaneum Subgaleal
 Paling sering ditemui  Darah di bawah
 Tekanan serviks pada galea aponeurosis
kulit kepala  Pembengkakan kulit
 Akumulasi kepala, ekimoses
darah/serum subkutan,  Mungkin meluas ke
ekstraperiosteal daerah periorbital
 TIDAK diperlukan dan leher
terapi, menghilang  Seringkali berkaitan
dalam beberapa hari. dengan trauma
kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial
Sefalhematoma
 Perdarahan sub periosteal akibat  Ukurannya bertambah
ruptur pembuluh darah antara sejalan dengan
tengkorak dan periosteum bertambahnya waktu
 Etiologi: partus lama/obstruksi,  5-18% berhubungan dengan
persalinan dengan ekstraksi fraktur tengkorak g foto
vakum, Benturan kepala janin kepala
dengan pelvis  Umumnya menghilang
 Paling umum terlihat di parietal dalam waktu 2 – 8 minggu
tetapi kadang-kadang terjadi  Komplikasi: ikterus, anemia
pada tulang oksipital
 Tanda dan gejala: massa yang  Kalsifikasi mungkin bertahan
teraba agak keras dan selama > 1 tahun.
berfluktuasi; pada palpasi  Catatan: Jangan
ditemukan kesan suatu kawah mengaspirasi
dangkal didalam tulang di sefalohematoma meskipun
bawah massa; pembengkakan teraba berfluktuasi
tidak meluas melewati batas
sutura yang terlibat
123. Neonatal Asphyxia

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
123. Neonatal Asphyxia
 Deprivation of oxygen to a newborn infant
that lasts long enough during the birth process
to cause physical harm, usually to the brain
 Etiology:
 Intrauterine hypoxia
 Infant respiratory distress syndrome
 Transient tachypnea of the newborn
 Meconium aspiration syndrome
 Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
 Bronchopulmonary dysplasia

http://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
123. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(Hyaline membrane disease)
 Etiology:
 Surfactant deficiency
(decreased production
and secretion)
 Surfactant
 Necessary for the lung
alveoli to overcome
surface tension and
remain open
 The major constituents
 dipalmitoyl
phosphatidylcholine
(lecithin)
 Phosphatidylglycerol
 apoproteins (surfactant
proteins SP-A, -B, -C, -D)
 Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000


Textbook of Pediatrics /010/10291-0550x0475.jpg
 Pada
dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
 sel epitel gepeng ( squamous pulmonary
epitheal atau sel alveolar kecil atau
pneumosit tipeI).
 sel kuboid yang disebut sel septal atau
alveolar besar atau pneumosit tipe II.
 Menghasilkansurfaktan untuk menurunkan
tegangan permukaan dan mempertahankan
bentuk dan besar alveolus
Patomekanisme
HMD
HMD Tatalaksana
 Pada bayi prematur, pada bayi  endotracheal (ET) tube
dengan ibu DM atau kelahiran SC,  Continuous positive airway
gejala muncul progresif segera pressure (CPAP)
setelah lahir.  Surfactant replacement
 Pada radiologi tampak gambaran • Corticosteroid  reduced overall
diffuse “ground-glass” or finely incidence of death or chronic
granular appearance, air lung disease
bronkogram, ekspansi paru jelek.
 Early Postnatal Corticosteroids
 Lung immaturity  salah satu (<96 hours)  not suggested
penyebab Chronic Lung Disease because risk> benefit (CP,
(bronchopulmonary dysplasia) development delay,
 Komplikasi Hyperglicemia, hypertension,
 Septicemia GI bleeding)
 Bronchopulmonary dysplasia (BPD)  Moderately Early Postnatal
 Patent ductus arteriosus (PDA) Corticosteroids (7-14 days) 
 Pulmonary hemorrhage not suggested because risk>
 Apnea/bradycardia benefit
 Necrotizing enterocolitis (NEC)  Delayed Postnatal
 Retinopathy of prematurity (ROP) Corticosteroids (> 3 weeks) 
 Hypertension can be used for ventilator
 Failure to thrive dependant infants in whom it
 Intraventricular hemorrhage (IVH) is felt that steroids are essential
to facilitate extubation.
Distres Pernapasan pada Neonatus
Kelainan Gejala
Sindrom aspirasi Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat,
mekonium terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku,
atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan
hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran
syndrome (penyakit SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi
membran hyalin) tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular
appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul
newboorn setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir.
Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar,
hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan
amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala
sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous
infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah,
ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
124. Disentri
 Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian
besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir
semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik
 Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk
mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia.
Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang
pandang mendukung etiologi bakteri invasif
 Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda dan
gejala: Feses dominan lendir dan darah, kesakitan
dan gelisah, muntah, massa intra-abdomen (+)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


(shigellosis)
 Bakteri (Disentri basiler)
 Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan
tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta
hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella.
 Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
 Salmonella
 Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
 Amoeba (Disentri amoeba),
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering
pada anak usia > 5 tahun
Gejala klinis
Disentri basiler Disentri amoeba
 Diare mendadak yang disertai
darah dan lendir dalam tinja. • Diare disertai darah dan
Pada disentri shigellosis, pada lendir dalam tinja.
permulaan sakit, bisa terdapat
diare encer tanpa darah dalam • Frekuensi BAB umumnya
6-24 jam pertama, dan setelah
12-72 jam sesudah permulaan
lebih sedikit daripada
sakit, didapatkan darah dan disentri basiler (≤10x/hari)
lendir dalam tinja.
 Panas tinggi (39,5 - 40,0 C),
• Sakit perut hebat (kolik)
kelihatan toksik. • Gejala konstitusional
 Muntah-muntah. biasanya tidak ada
 Anoreksia.
(panas hanya ditemukan
 Sakit kram di perut dan sakit di
anus saat BAB. pada 1/3 kasus).
 Kadang-kadang disertai dengan
gejala menyerupai ensefalitis
dan sepsis (kejang, sakit kepala,
letargi, kaku kuduk, halusinasi).
PENGOBATAN
 Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.
 Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) :
Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol
50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
 Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis,
Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam
nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis.
 Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun,
sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
 Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
 Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
 Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika
berturut-turut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang
biasanya efektif untuk disentri basiler.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


PENGOBATAN
 Terapi antiamebik intestinal pada anak adalah
Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis selama 5 hari. Bila disentri memang
disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan
membaik dalam 2-3 hari terapi.
 Jika negatif amuba, berikan antibiotik oral lain (lini ke-2)
yang sensitif shigella : sefiksim dan asam nalidiksat.
 Pada anak < 2 bulan, evaluasi penyebab lain (Cth.
Invaginasi)
 Penanganan lain sama dengan penanganan diare
akut (cairan, zinc)
 Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan
gejala simptomatis seperti nyeri atau untuk mengurangi
frekuensi BAB
125. Developmental Milestone
Skrining Tumbuh Kembanga
Anak
 Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak
dalam hal panjang/tinggi badan, berat badan,
dan lingkar kepala
 Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran
antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)
 Perkembangan : bertambahnya kemampuan
fungsi individu antara lain dalam bidang motorik
kasar, motorik halus, komunikasi dan bahasa,
intelektual, emosi, dan sosial
 Pemantauan : penilaian klinis dan skrining
perkembangan Denver II
 Pemantauan setiap bulan hingga usia 1 tahun dan
setiap 3 bulan hingga 5 tahun
Denver II
 Mencakup usia 0-6 tahun
 Ada 4 bidang perkembangan
 Personal-sosial: berhubungan dengan orang
lain dan pemenuhan kebutuhan sendiri
 Motorikhalus: koordinasimata- tangan,
manipulasi objek kecil
 Motorik kasar: meliputi gerakan yang
menggunakan otot-otot besar secara
keseluruhan (duduk, berjalan, melompat)
 Bahasa-dengar: mengerti dan menggunakan
bahasa
Interpretasi Denver II
 Skor Penilaian
 P (Pass) : Anak dapat melakukan ujicoba dengan baik, atau
terdapat laporan yang dapat dipercaya
 F (Fail) L : Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik
 No (No opportunity) : Tidak ada kesempatan untuk ujicoba
karena ada hambatan
 R (Refusal) : Anak menolak melakukan ujicoba
 Interpretasi
 Lebih (advanced) : bila anak Pass pada uji coba yang terletak
di kanan garis umur
 Normal : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba di sebelah kanan
garis
 Caution/peringatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang
dilewati garis umur pada persentil 75-90
 Delayed/keterlambatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba
yang terletak lengkap di sebelah kiri garis umur
Motorik Kasar Motorik Halus

125.Perkembangan
Anak
126. ITP: Epidemiology
 (ITP)/ primary immune  Insidens tertinggi usia 2-5
thrombocytopenic tahun dan dewasa usia
purpura/ autoimmune 20-50 thn.
thrombocytopenic
purpura merupakan  40% diagnosis ditegakkan
kelainan trombositopenia pada pasien dibawah 10
murni dengan sumsum th
tulang yg normal dan  Remisi spontan pada 80%
tidak ada penyebab kasus dan < 20% dewasa
trombositopenia itu
sendiri  Children  Laki-laki dan
 ITP akut pd anak perempuan 1:1
sebagian besar bersifat  Adults  Laki-laki:
ringan dan self limiting perempuan (1:3)
ITP: Cardinal Features
 Trombositopenia <100,000/mm3
 Purpura dan perdarahan membran mukosa
 Diagnosis of exclusion
 2 jenis gambaran klinis
 ITP akut
 Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3
bulan.
 ITP kronik
 Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang
berlangsung selama 6 bulan
 >90% kasus anak merupakan bentuk akut
 Most adults have the chronic form
 Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan
intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering
(1-2% dr kasus ITP)
ITP
Patofisiologi Tatalaksana
 Perdarahan yang mengancam
 Peningkatan destruksi nyawa  penanganan intensif
platelet di perifer,  Glukokortikoid IV dosis tinggi & IV
biasanya pasien immunoglobulin (IVIg), dengan
memiliki antibodi yang atau tanpa transfusi trombosit
Transfusi Tc diindikasikan untuk
spesifik terhadap 
pengontrol perdarahan yg
glikoprotein membran parah
platelet (IgG  6-8 U of platelet concentrate,
autoantibodi pada or 1 U/10 kg
permukaanplatelet)  1 U of platelets to increase
count of a 70-kg adult by 5-
10,000/mm3 and an 18-kg
child by 20,000/mm3
 Splenectomi untuk pasien yang
gagal terapi medikamentosa

http://emedicine.medscape.com/article/779545-clinical#a0218
TTP
 Thrombotic Gejala dan tanda
Thrombocytopenic Purpura  acute or subacute onset
(TTP) merupakan kelainan
darah dengan karakteristik berkaitan dengan gejala
adanya trombosis sehingga neurologis, anemia, dan
terjadi trombositopenia trombositopenia
 Dalam bentuk lengkap,  Kelainan neurologis:
terdiri dari pentad penurunan kesadaran,
microangiopathic hemolytic kejang, hemiplegia,
anemia, thrombocytopenic parestesia, gangguan
purpura, kelainan visual, afasia.
neurologis, demam, dan
kelainan ginjal.  Mudah lelah akibat
 Etiologi belum diketahui anemia
 Therapy of choice : plasma  Perdarahan akibat
exchange with fresh frozen trombositopenia jarang
plasma. terjadi; biasanya muncul
petekie
127. HEMOSTASIS
Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the
stoppage of bleeding, which is vitally important when
blood vessels are damaged.
Following an injury to blood vessels several actions
may help prevent blood loss, including:

Formation of a clot
Hemostasis
1. Fase vaskular: vasokonstriksi
2. Fase platelet: agregasi dan
adhesi trombosit
3. Fase koagulasi: ada jalur
ekstrinsik, jalur intrinsik dan
bersatu di common
pathway
4. Fase retraksi
5. Fase destruksi / fibrinolisis

http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/healt
h-general/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors

Components of coagulation factor:


~ fibrinogen factor I
~ prothrombin factor II
~ tissue factor (thromboplastin) factor III
~ Ca-ion (Ca++) factor IV
~ pro-accelerin (labile factor) factor V
~ pro-convertin (stable factor) factor VII
~ anti-hemophilic factor factor VIII
~ Christmas-factor factor IX
~ Stuart-Prower factor factor X
~ plasma tromboplastin antecedent factor XI
~ Hageman factor factor XII
~ fibrin stabilizing factor(Laki-Roland) factor XIII

Kuliah Hemostasis FKUI.


PT & APTT
 activated partial thromboplastin time
(aPTT)  untuk mengevaluasi jalur intrinsik
kaskade koagulasi
 prothrombin time (PT)  untuk
mengevaluasi jalur ekstrinsik kaskade
koagulasi
http://practical-
Bleeding

Mild Severe

intervention

stopped
continues

prolonged delayed

Platelet disorder Coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Spontaneous bleeding
(without injury)

superficial, multiple deep, solitary


hematoma
petechiae, ,
purpura, hemarthros
ecchymoses is

platelet disorder coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic
disorders
Finding: Type of disorder:
Clinical: Vascular Platelet
Coagulation
Petechiae typical typical
rare
Ecchymoses typical typical
present
Hematoma rare rare
typical
Hemarthrosis rare rare
typical
Laboratory:
peripheral blood normal low p.c.
normal
bleeding time prolonged prolonged normal
clotting time normal normal
abnormal
tourniquet test (+) (+)
(-)
clot retraction normal abnormal
normal

Kuliah Hemostasis FKUI.


Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-
disorders.jpg
127. Bleeding Disorder
128. Malnutrisi Energi Protein
 Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan
kebutuhan energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan
mempertahankan fungsinya (WHO)
 Dibagi menjadi 3:
 Overnutrition (overweight, obesitas)
 Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
 Defisiensi nutrien spesifik
 Malnutrisi energi protein (MEP):
 MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
 MEP derajat berat (gizi buruk)
 Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
 Marasmus
 Kwashiorkor
 Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus
 wajah seperti
orang tua
 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk
tampak terlihat jelas
 kulit paha
berkeriput
 terlihat tulang
belakang lebih
menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor
 edema
 rambut kemerahan,
mudah dicabut
 kurang aktif,
rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa
bercak merah muda yg
meluas & berubah warna
menjadi coklat kehitaman
dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
 Terdapat
tanda dan gejala klinis
marasmus dan kwashiorkor secara
bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
 Z-score
→  BB/IBW(Ideal Body
menggunakan kurva Weight) →
WHO weight-for-height menggunakan kurva
 <-2 – moderate wasted CDC
 <-3 – severe wasted  gizi  ≥80-90%  mild
buruk malnutrition
≥70-80%  moderate
 Lingkar
Lengan Atas < 
malnutrition
11,5 cm  ≤70%  severe
malnutrition  Gizi Buruk
Cause difference
Marasmus Kwashiorkor
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the
deficiency lack of proteins in a person's
diet
Marasmus usually affects very Kwashiorkor affects slightly
young children older children mainly children
who are weaned away from
their mother's milk
Marasmus is usually the result of Kwashiorkor can occur rapidly
a gradual process
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Carbohydrate 

Fat analysis  + Protein analysis 

Subcutaneous Fat 

Muscle wasting
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi
Rehabilitasi Tindaklanjut H 1-2 H
3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe
+ Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi
Emergency Signs in Severe Malnutrition

 Dibutuhkantindakan resusitasi
 Tanda gangguan airway and breathing :
 Tanda obstruksi
 Sianosis
 Distress pernapasan
 Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
 Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
 Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
HIPOGLIKEMIA
 Semua anak dengan gizi  Jika anak tidak sadar,
buruk berisiko
hipoglikemia (< 54 mg/dl) beri larutan glukosa
 Jika tidak memungkinkan 10% IV bolus 5 ml/kg BB,
periksa GDS, maka atau larutan
semua anak gizi buruk
dianggap hipoglikemia glukosa/larutan gula
 Segera beri F-75 pasir 50 ml dengan
pertama, bila tidak NGT.
dapat disediakan
dengan cepat, berikan  Lanjutkan pemberian F-
50 ml glukosa/ gula 10% 75 setiap 2–3 jam, siang
(1 sendok teh munjung dan malam selama
gula dalam 50 ml air)
oral/NGT. minimal dua hari.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
 Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
 Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
 Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
 Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
 Apabila pemberian makan oral tidak mencapai
kebutuhan minimal, berikan sisanya melalui NGT
 Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
 Fase stabilisasi (Inisiasi)
 Energi: 80-100 kal/kg/hari
 Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
 Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari
(edema)
 Fase transisi
 Energi: 100-150 kal/kg/hari
 Protein: 2-3 gram/kg/hari
 Fase rehabilitasi
 Energi: 150-220 kal/kg/hari
 Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C)
 Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk
kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan
letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau
lakukan metode kanguru.
 Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu
menjadi 36.5° C/lbh.
 Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu
mencapai 36.5° C
DEHIDRASI
 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali
pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
 Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT
 beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam
pertama
 setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10
ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama, setiap jam selama
10 jam.
Atasi Infeksi
 Anggap semua anak  Jika ada komplikasi
dengan gizi buruk (hipoglikemia, hipotermia,
mengalami infeksi saat atau anak terlihat letargis
mereka datang dan segera atau tampak sakit berat),
diberi antibiotik. atau jelas ada infeksi 
Ampisilin (50 mg/kgBB
PILIHAN ANTIBIOTIK SPEKTRUM IM/IV/6 jam selama 2 hari),
LUAS dilanjutkan Amoksisilin PO (15
 Jika tidak ada komplikasi
mg/kgBB/8 jam selama 5
atau tidak ada infeksi nyata hari) ATAU Ampisilin PO (50
 Kotrimoksazol PO (25 mg mg/kgBB/6 jam selama 5
SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12 jam hari) sehingga total selama 7
selama 5 hari. hari, DITAMBAH Gentamisin
(7.5 mg/kgBB/hari IM/IV)
setiap hari selama 7 hari.
 Jika anak tidak membaik dalam waktu 48
jam, tambahkan Kloramfenikol (25
mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5
hari.
 Jika diduga meningitis, lakukan pungsi
lumbal untuk memastikan dan obati
dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6
jam) selama 10 hari.
Mikronutrien
 Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1
mg/hari)
 Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
 Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
 Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik
(mulai fase rehabilitasi)
 Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:

 Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit


campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan
dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
129. Tatalaksana kejang akut
130. Ikterus Neonatorum
 Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
 Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab lebih
jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
 Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
 Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Penyebab ikterik ec. Anemia Hemolisis
pada neonatus
Penyakit Keterangan
Inkompatibilitas ABO Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak
terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan
golongan darah O, memproduksi antibodi IgG Anti-
A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama.
Pemeriksaan: Coomb‘s Test
Inkompatibilitas Rh Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh–
berarti tidak memiliki antigen D. Hemolisis terjadi
karena adanya antibodi ibu dgn Rh- yang bersirkulasi
di darah anak terhadap antigen Rh anak (berati anak
Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
terhadap antigen D anak yg berhasil melewati
plasenta belum banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh
+ antibodi yang terbentuk sudah cukup untuk
menimbulkan anemia hemolisis. Pemeriksaan:
Coomb‘s Test
Inkompatibilitas ABO
 Terjadi pada ibu dengan  Gejala yang timbul
golongan darah O adalah ikterik, anemia
terhadap janin dengan ringan, dan peningkatan
golongan darah A, B, bilirubin serum.
atau AB  Lebih sering terjadi pada
bayi dengan gol darah A
 Tidak terjadi pada ibu gol dibanding B, tetapi
A dan B karena antibodi hemolisis pada gol darah
yg terbentuk adalah IgM tipe B biasanya lebih
yg tdk melewati plasenta, parah.
sedangkan 1% ibu gol  Inkompatibilitas ABO
darah O yang memiliki jarang sekali
titer antibody IgG menimbulkan hidrops
terhadap antigen A dan fetalis dan biasanya tidak
B, bisa melewati plasenta separah inkompatibilitas
Rh
Kenapa tidak separah
Inkompatibilitas Rh?
 Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM
yang tidak bisa melewati sawar darah plasenta
 Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas
pada berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada
eritrosit, hanya sebagian kecil antibodi ibu yang
berikatan dengan eritrosit.
 Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit
mengekspresikan antigen permukaan A dan B
dibanding orang dewasa, sehingga reaksi imun
antara antibody-antigen juga lebih sedikit 
hemolisis yang parah jarang ditemukan.
 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah direct Coombs test.
 Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg
lebih dominan adalah hiperbilirubinemia,
dibandingkan anemia, dan apusan darah
tepi memberikan gambaran banyak
spherocyte dan sedikit erythroblasts,
sedangkan pada inkompatibilitas Rh banyak
ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
 Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
131. PATOGENESIS: Sekretorik & Osmotik
 Diare Sekretorik:
 Sekresi air & elektrolit ke usus halus akibat gangguan
absorpsi Na+ oleh vilus saluran cerna, sedangkan
sekresi Cl- tetap berlangsung/ meningkat  air &
elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair
 Penyebab: toksin E.coli atau V.cholera
 Diare Osmotik:
 Bila di lumen usus ada bahan yang secara osmotik
aktif & sulit diserap  diare.
 Penyebab: larutan isotonik, air atau bahan yang larut
 melewati mukosa usus halus tanpa diabsorbsi 
diare
Secretory Diarrhea
Electrolyte transport diarrhea
 The intestine is able to
Secret
Fluids & electrolytes
Absorb
 Secretion originates in the crypts
 Absorption is mainly a villous function

Intracellular cyclic-AMP & -GMP


are a corner stone in initiating Intestinal secretion
Mechanism of Secretory Diarrhea
Neurotransmitters
Hormones
Bacterial Enterotoxins
Cathartics

Stimulate receptors on the enterochromaffin cells


stimulate

Cyclic AMP – Cyclic GMP


Ca ions
stimulate

Cl-, H2O and CHO3


Secretion by the enterocytes
PATOFISIOLOGI KOLERA
Terapi
 Terapi A, B, C sesuai jenis dehidrasi
 Terapi kolera:
 Cairan parenteral
 Antibiotika peroral yang efektif untuk strain
V. Cholera (oksitetrasiklin atau doksisiklin)
 Suplementasi zinc secepatnya setelah
gejala muntah berhenti

V. Cholera: bentuk
Patogen Penyebab Diare Akut dan
Karakteristik
Patogen Karakteristik
Kolera Diare seperti air cucian beras yang sering dan
banyak, cepat menimbulkan dehidrasi berat.
Hasil kultur tinja positif V. Cholerae
Shigella Short period of watery diarrhoea with intestinal
cramps and general malaise, soon followed by
permanent emission of bloody, mucoid, often
mucopurulent stools
Salmonella Abrupt onset of nausea, vomiting, and crampy
abdominal pain. Sudden onset of sustained
fever, severe headache. Mild to severe watery
diarrhea and sometimes by diarrhea containing
blood and mucus
Enterotoksigenik Watery, nonmucoid, nonbloody diarrhea,
Escheria Coli abdominal pain, nausea, vomiting, and little or
no fever. The illness is usually self-limited in 3–5
days
132. Demam Tifoid
 Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S.
paratyphi
 Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
 Penularan : fekal-oral
 Masa inkubasi : 10-14 hari
 Gejala
 Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus
menerus tinggi
 Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
 Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
 Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor,
pinggir hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali
(jarang). Kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Demam Tifoid
 Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole
S. paratyphi
 Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
 Penularan : fekal-oral
 Masa inkubasi : 10-14 hari
 Gejala
 Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama. Minggu kedua demam
terus menerus tinggi
 Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
 Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


 Clinical features:
 Step ladder fever
in the first week,
the persist
 Abdominal pain
 Diarrhea/constipat
ion
 Headache
 Coated tongue
 Hepatosplenomeg
aly
 Rose spot
 Bradikardia relatif

Harrison‘s principles of internal medicine.


Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi perifer
 Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus
 Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
 Pemeriksaan serologis
 Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase
akut ke konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku
normal di berbagai tempat endemis cenderung berbeda-beda dan perlu
penyesuaian
 Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
 Tubex Test
 Pemeriksaan biakan Salmonella
 The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture
isolation of the organism. Cultures are widely considered 100% specific
 Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum
tulang masih positif hingga munggu ke-4
 Pemeriksaan radiologis
 Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
 Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi)
Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Tatalaksana (WHO) dan
Komplikasi
 Tatalaksana:
 Obati dengan kloramfenikol (50-100mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 dosis per oral atau intravena)
selama 10-14 hari
 Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai
amoksisilin 100 mg/kgBB/haro peroral atau ampisilin
intravena selama 10 hari, atau kotrimoksazol 48
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral selama 10 hari
 Bila tidak ada perbaikan klinis, berikan sefalosporin
generasi ke-3 seperti seftriakson (80 mg/kgBB IM
atau IV sekali sehari, selama 5-7 hari) atau sefiksim
oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari
Tatalaksana dan Komplikasi
Tingkat Kerentanan Obat Dosis (mg/kg/hari)
Demam tifoid tanpa komplikasi
Sensitif Kloramfenikol 50-75
Amoksisilin 75-100
MDR Florokuinolon (tidak boleh pada 15
anak)
Sefiksim 15-20
Resisten kuinolon Azithromisin 8-10
Seftriakson 75
Demam tifoid dengan komplikasi
Sensitif Ampisilin 100
Seftriakson 60-75
 Lain –lain: Tirah baring, isolasi
MDR memadai,
Florokuinolon cukupi
(tidak boleh kebutuhan cairan
pada 15 dan
kalori, terapi simptomatik lain anak)
Resisten kuinolon Seftriakson 60-75
 Komplikasi :
 Intraintestinal : perforasi usus atau perdarahan saluran cerna
 Ekstraintestinal : Tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia,
syok septik, pielonefritis, osteomielitis dll
http://www.scienceinschool.org/repository/images/diabetes_glucose_l
arge.jpg

133. DM
PHYSIOLOGY OF INSULIN
http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy%20&%20Physiology/2010
/2010%20Exam%20Reviews/Exam%205%20Final%20Review/insulin.Fig.25.18.j
Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes
mellitus)
 Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
 Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β pankreas
sehingga produksi insulin berkurang, bahkan terhenti.
Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
 Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
 Komplikasi : Hipoglikemia, KETOASIDOSIS
DIABETIKUM, retinopathy , nephropathy and
hypertension, peripheral and autonomic neuropathy,
macrovascular disease
 Manifestasi Klinik:
 Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
 Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas
cepat dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
PATHOGENESIS DM Tipe 1

http://www.msdlatinamerica.com/diabetes/files/5dd56fc20582fb58eef8a00bf267
Pemeriksaan Fisik dan Tanda Klinis
Catatan:
Pemeriksaan Penunjang
Diabetes Melitus Tipe 1
 Tatalaksana :
 Pengobatan dilakukan seumur hidup
 Diet DM
 Kontrol Metabolik dengan Insulin
 olahraga
 Edukasi pertolongan pertama pada kedaruratan seperti
hipoglikemia dan ketoasidosis
 Pemantauan mandiri
Diagnostic Considerations
 Maturity onset diabetes of the young (MODY) or Monogenic
Diabetes (mutation in a single gene). Always consider the
diagnosis of MODY in the following circumstances:
 A strong family history of diabetes across 2 or more
generations - The age of diagnosis usually falls with each
successive generation
 Persistently low insulin requirements, particularly with good
blood glucose control. MODY respond better to oral
hypoglycemic agents
 Development of diabetes from birth or within the first 9
months of life
 Absence of obesity (although overweight or obese people
can get MODY) or other problems associated with type 2
diabetes or metabolic syndrome (e.g., hypertension,
hyperlipidemia, polycystic ovary syndrome)
Patogenesis KAD
Diagnostic Criteria and Typical Total Body
Deficits of Water and Electrolytes in Diabetic
Ketoacidosis
 Diagnostic criteria*  Typical deficits
 Blood glucose: > 250 mg per  Water: 6 L, or 100 mL
dL (13.9 mmol per L)
 pH: <7.3
per kg body weight
 Serum bicarbonate: < 15  Sodium: 7 to 10 mEq
mEq/L per kg body weight
 Urinary ketone: ≥3+  Potassium: 3 to 5 mEq
 Serum ketone: positive at 1:2 per kg body weight
dilutions†
 Serum osmolality: variable  Phosphate: ~1.0 mmol
per kg body weight

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and other
factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA.
Diabetic ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg
and Rifkin's Diabetes mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.:
Appleton & Lange, 1997;827–44.

CLASSIC TRIAD OF DKA


Goals of Treatment KAD
 Restore perfusion, which will increase glucose
uptake in the periphery, increase glomerular
filtration, and reverse the progressive acidosis.
 Arrest ketogenesis with insulin administration,
which reverses proteolysis and lipolysis while
stimulating glucose uptake and processing,
thereby normalizing blood glucose
concentration.
 Replace electrolyte losses.
 Intervene rapidly when complications,
 especially CE, occur.
IV Fluid Key Points
Start IV fluids: 10-20 ml/kg of 0.9%NS over the first hour
In a severely dehydrated patient, this may need to be repeated
Fluids should not exceed 50 ml/kg over first 4 hours of therapy

Clinical assessment of dehydration to determine fluid volume


Children with DKA have a fluid deficit in the range of 5-10%
Mild DKA 3-4% dehydration
Moderate DKA 5-7% dehydration
Severe DKA 10% dehydration
Shock is rare in pediatric DKA

Replace fluid deficit evenly over 48 hours

ALL PATIENTS WITH DKA REQUIRE SUPPLEMENTAL FLUIDS


50
until SQ insulin the ph >7.30 and/or the HCO3 >15 mEq/L an

Insulin Administration initiated serum ketones have cleared


Adapted from:
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, et al; American Diabetes Association. Hyperglycemic crises in
Insulin
diabetes.treatment is begun
Diabetes Care. 2004;27(Suppl. after the initial fluid resuscitation
1):S94-S102

Insulin therapy
INSULIN
Turns off the production of ketones
Decreases blood glucose

IV insulin infusion
regular insulin Low-dose insulin infusion
0.1 units/kg/hr Decreases risk of hypoglycemia or
hypokalemia
Goal is to decrease blood glucose by
100mg/dL/hour
Continue until acidosis

Insulin Key Points


clears
(pH >7.30, HC03 >15 mEq/L)
Do not reduce or discontinue the insulin infusion
based solely upon the blood glucose
Prior to insulin administration, reassess vital signs, blood glucose
Decrease to Thestatus
insulin infusion should be continued until
and neurological
0.05 units/kg/hr
until SQ insulin the ph >7.30 and/or the HCO3 >15 mEq/L and the
initiated serum ketones have cleared
Adapted from: Insulin is administered as a continuous intravenous infusion of
regular insulin at a rate of 0.1 units/kg per hour (prepared by
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, et al; American Diabetes Association. Hyperglycemic crises in
diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl. 1):S94-S102 51
pharmacy)
Do not give insulin as a bolus
Insulin Key Points
 The dose of insulin should remain at 0.1
units/kg/hour until the acidosis resolves (pH 7.3
and/or bicarbonate >15 mEq/L)

 Do not decrease rate or stop the insulin


administration based solely on glucose values

 Once blood glucose reaches 250 mg/dL,


maintain insulin and begin dextrose infusion
http://dtc.ucsf.edu/types-of-diabetes/type2/treatment-of-type-2-
diabetes/medications-and-therapies/type-2-insulin-rx/types-of-
Onset of Duration of
Category Generic type Examples action (mins) action (hours)

Rapid Aspart, lispro 10-20 2-5


Rapid- Novomix®, 10-20 8-16+
intermediate Humalog
Short Regular* Actrapid®, Humulin S®, 15-60 4-8
Insuman Rapid®
Short- Regular- Mixtard®, 15-60 8-16+
intermediate isophane
Humulin M2/3/5®,
(NPH) mixture
Insuman Comb®
'Biphasic'
Intermediate Isophane (NPH) Insulatard®, 60-120 8-16+
Humulin I®,
Insuman Basal®
Long Crystalline zinc Ultratard®, 120-240 16-30
suspensions Humulin Zn®
'Lente'
Very long Glargine 60-120 24+

http://www.medscape.com/viewarticle/462554_4
Dextrose Administration
Dextrose

Maintain glucose between


Add to IV fluids when the blood glucose 150 to 250 mg/dL to
concentration reaches 250 mg/dL prevent hypoglycemia

Check glucose hourly until


Change to 5% dextrose with 0.45 NaCl at a
rate to complete rehydration in 48 hr stable

Check electrolytes every 2-


Check glucose hourly and electrolytes every 4 hrs until stable
2-4 hr until stable

After resolution of DKA, initiate SQ insulin


0.5 – 1.0 units/kg/day (or according to insulin Adapted from:
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, et al; American
dosing guidelines per institution or physician Diabetes Association. Hyperglycemic crises in diabetes.
policy) Diabetes Care. 2004;27(Suppl. 1):S94-S102
61
Potassium Administration
initial serum potassium is <2.5 mmol/L (hypokalemia)
• Administer 0.5-1 mEq/kg of potassium chloride in IV
• Start potassium replacement early, even before starting insulin
therapy

Initial serum potassium is 2.5 - 3.5 mmol/L


• Administer potassium 40 mEq/L in
IV solution until serum potassium > 3.5 mmol/L
• Monitor serum potassium hourly
• Administer potassium 30 – 40 mEq/L in IV solution to maintain serum
potassium at 3.5 – 5.0 mmol/L

initial serum potassium is 3.5 - 5.0 mmol/L


• Administer potassium 30 – 40 mEq/L in IV solution to maintain serum
potassium at 3.5 – 5.0 mmol/L
• Monitor serum potassium hourly
Bicarbonate
 Bicarbonate therapy is generally
contraindicated in Pediatric DKA due to
increased risk of cerebral edema.
 Bicarbonate therapy should only be
considered in cases of:
 Severe acidemia
 Life-threatening hyperkalemia

Pediatric Hyperglycemia and Diabetic Ketoacidosis (DKA). EMSC Illinois


Komplikasi KAD pada Anak
 Cerebral oedema
This is unpredictable, occurs more frequently in younger children and newly
diagnosed diabetes and has a mortality of around 25%. The causes are not
known.
 Hypokalaemia
This is preventable with careful monitoring and management
 Aspiration pneumonia
Use a naso-gastric tube in semi-conscious or unconscious children.
134. Kelainan Kongenital
Penyebab Temuan klinis

Rubella IUGR, kelainan kardiovaskular (biasanya


PDA/ pulmonary artery stenosis), katarak,
tuli. retinopati, mikroftalmia, hearing loss,
mental retardation, speech defect,
trombositopenia,
Varicella IUGR, kelainan kulit sesuai distribusi
dermatomal: sikatriks kulit, kulit tampak
merah, berindurasi, dan meradang,
kelainan tulang:hipoplasia ekstrimitas
dan jari tangan kaki, kelainan mata, dan
kelainan neurologis
Toxoplasma IUGR, chorioretinitis, Cerebral calcification,
hydrocephalus,
Abnormal cerebrospinal fluid (xanthochromia
and pleocytosis), Jaundice,
Hepatosplenomegaly, Neurologic signs are
severe and always present. (Microcephaly or
macrocephaly, Bulging fontanelle, Nystagmus
Abnormal muscle tone, Seizures, Delay of
development)
Citomegalovi Retinitis, Jaundice, Hepatosplenomegali, BBLR,
rus Mineral deposits in the brain, Petechiae, Seizures,
Small head size (microcephaly)
Herpes Trias:
1. Kulit (scarring, active lesions, hypo- and
hyperpigmentation, aplasia cutis, and/or an
erythematous macular exanthem)
2. Mata (microopthalmia, retinal dysplasia, optic
atrophy, and/or chorioretinitis)
3. Neurologis (microcephaly, encephalomalacia,
hydranencephaly, and/or intracranial
calcification) http://cmr.asm.org/content/17/1/1.fu
Ilmu Kebidanan
dan
Kandungan
135. Ruptur Uterus
Ruptur uteri
 Gejala ruptura uteri ‘iminen’ :
1. Lingkaran retraksi patologis Bandl
2. Hiperventilasi
3. Gelisah – cemas
4. Takikardia
 Etiologi: trauma, riwayat sc, distosia,
grandemultipara, partus percobaan,
gagal induksi, CPD, histerorafia.
Ruptur Uteri
 Tindakan yang segera dilakukan memperbaiki
keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan
persiapan tranfusi ) dan persiapan tindakan
SC dan laparotomi.
 Tindakan definitif:
- Histerorafia (bila robekan melintang dan
tidak mengenai daerah yang luas), atau
- Histerektomi (bila robekan uterus mengenai
jaringan yang sangat luas serta sudah banyak
bagian yang nekrotik)
136. Perdarahan Post partum
Postpartum
Haemorrhage

Question 9
136. Retensio Plasenta
 Plasenta atau bagian-bagiannya dapat
tetap berada dalam uterus setelah bayi
lahir.
 Sebab: plasenta belum lepas dari dinding
uterus atau plasenta sudah lepas tetapi
belum dilahirkan
 Plasenta belum lepas: kontraksi kurang
kuat atau plasenta adhesiva (akreta,
inkreta, perkreta)
Tatalaksana Retensio Plasenta
 Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu
mengedan. Jika Anda dapat merasakan plasenta
dalam vagina keluarkan plasenta tersebut.
 Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika
diperlukan lakukan kateterisasi kandung kemih.
 Jika plasenta belum keluar berikan oksitosin 10 unit
IM.
 Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit
pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi,
lakukan penarikan tali pusat terkendali.
 Jika traksi tarikan tali pusat terkendali belum
berhasil, cobalah untuk mengeluarkan plasenta
secara manual.
137. Demam Tifoid Pada Kehamilan
 Gejala dan manifestasi klinis sama dengan gejala
klinis demam tifoid pada umumnya
 Pada minggu pertama didapatkan demam
terutama pada sore hari, setiap hari suhu demam
meningkat (step ladder phenomenon), didapatkan
rose spots, dengan mual, muntah, hingga
didapatkan gangguan status mental.
Demam Tifoid Obat Lini Obat Alternatif
Pertama
Tanpa Sefiksim po Azitromisin
Komplikasi Amoksisilin
Kloramfenikol
Dengan Ceftriaxone IV Aztreonam IV
Komplikasi atau Imipenem IV
Sumber:
Cefotaxime IV http://emedicine.me
dscape.com/article/
231135
138. Ketuban Pecah Dini
 Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan (sebelum
onset persalinan berlangsung)
 PPROM (Preterm Premature Rupture of Membranes) :
ketuban pecah saat usia kehamilan < 37 minggu
 PROM (Premature Rupture of Membranes) : usia kehamilan
> 37 minggu
 Kriteria diagnosis :
 Usia kehamilan > 20 minggu
 Keluar cairan ketuban dari vagina
 Inspekulo : terlihat cairan keluar dari ostium uteri eksternum
 Kertas nitrazin merah  biru
 Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa
 Pemeriksaan penunjang : USG (menilai jumlah cairan
ketuban, menetukan usia kehamilan, berat janin, letak
janin, kesejahteraan janin dan letak plasenta)
Tatalaksana Ketuban Pecah
Prematur
 Konservatif : dilakukan bila tidak ada penyulit, pada usia
kehamilan 28-36minggu, dirawat selama 2 hari
 Selama perawatan dilakukan:
 Observasi adanya amnionitis/tanda infeksi (demam,
takikardia,lekositosis,nyeri pada rahim,sekret vagina purulen,
takikardi janin)
 Pengawasan timbulnya tanda persalinan
 Pemberian antibiotika
 USG menilai kesejahteraan janin
 Bila ada indikasi melahirkan janin → pematangan paru
 Aktif :
 Dengan umur kehamilan 20-28mg dan > 37mg
 Ada tanda-tanda infeksi
 Timbulnya tanda persalinan
 Gawat janin
139. Perdarahan Antepartum
 Perdarahan dari jalan lahir setelah usia
kehamilan 22 minggu

 Etiologi
 Kelainan implantasi plasenta : Plasenta
Previa
 Kelainan insersi tali pusat atau pembuluh
darah pada selaput amnion → Vasa Previa
 Solusio Plasenta
PLASENTA PREVIA
SOLUSIO PLASENTA
 Perdarahan disertai nyeri.  Perdarahan tanpa nyeri
 Perdarahan hanya keluar sedikit  Perdarahan berulang-ulang
 Palpasi sukar karena abdomen sebelum partus
terus menerus tegang dan  Perdarahan keluar banyak
adanya nyeri tekan.
 Fundus uteri lama-lama menjadi  Darah berwarna merah segar
naik.  Bagian depan tinggi
 Rahim keras seperti papan.  Pada pemeriksaan dalam teraba
 Anemia dan syok, beratnya jaringan plasenta.
anemia dan syok sering tidak
sesuai dengan banyaknya darah  Robekan selaput marginal
yang keluar.
 Pada toucher teraba ketuban VASA PREVIA
yang tegang terus-menerus
karena isi rahim bertambah. • Perdarahan per vaginam, merah
 Darah berwarna merah segar dan tidak nyeri
tua/kehitaman.
• DJJ lambat atau tidak beraturan
 Tatalaksana
 Resusitasi Cairan • Pembuluh janin dapat terpalpasi
 Terminasi Kehamilan pada pemeriksaan vagina
SOLUSIO PLASENTA
• Solusio plasenta → pelepasan sebagian
atau seluruh placenta yang normal
implantasinya antara minggu ke22 sampai
lahirnya anak.
• Faktor Resiko : Hipertensi dalam
kehamilan, merokok, trauma, overdistensi
uterus, riwayat solusio plasenta
Klasifikasi solusio plasenta:
 Solutio plasenta dengan
perdarahan keluar
 Solutio plasenta dengan
perdarahan tersembunyi
(haematoma retroplacenta)/
concealed bleeding
 Solutio plasenta dengan
perdarahan tersembunyi dan keluar
Diagnosis : USG, cek darah lengkap, cek
Clotting Time/Fibrinogen/FDP/PTT, periksa
keadaan janin (CTG)
Solusio Plasenta

http://emedicine.medscape.com/article/252810-overview
www.aafp.org
140. Polihidramnion
 Volume air ketuban lebih 2000 cc
 Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu
 Penyebab
 Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiophatic.
 Gejala
 Sering pada trimester terakhir kehamilan.
 Fundus uteri ≥ tua kehamilan.
 DJJ sulit didengar.
 Polihidramnion
 Ringan: Sesak nafas ringan
 Berat: Air ketuban > 4000 cc.
 Dyspnoe & orthopnea, oedema pada extremitas bawah .
 Diagnosis
 Palpasi dan USG
Tatalaksana Polihidramnion
 Identifikasi penyebab
 Kronik hidramnion: diet protein ↑, cukup istirahat.
 Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi.
 Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
 Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis
 Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari
 Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik

 Komplikasi
 Kelainan letak janin
 partus lama
 solusio plasenta
 tali pusat menumbung dan
 PPH
 Prematuritas dan kematian perinatal tinggi
Oligohidramnion
 Definisi
 Volume air ketuban < 500 cc saat usia 32-36 minggu atau
 Ukuran satu kantong (kuadran) < 2 cm atau
 Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < presentil kelima

 Etiologi & Faktor Risiko


 Fetal
 Kromosom
 Kongenital
 Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim
 Kehamilan postterm
 Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
 Maternal
 Dehidrasi
 Insufisiensi uteroplasental
 Preeklamsia
 Diabetes
 Hypoxia kronis
 Induksi Obat
 Indomethacin and ACE inhibitors Idiopatik
Buku Ajar Kebidanan MYLES, Ed. 14
Oligohidramnion
Gambaran Klinis
 Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada
ballotemen.
 Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
 Sering berakhir dengan partus prematurus.
 Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan
terdengar lebih jelas.
 Persalinan lebih lama dari biasanya.
 Sewaktu his akan sakit sekali.
 Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak
ada yang keluar

Pemeriksaan Penunjang
 USG ibu (menunjukkan oligohidramnion serta tidak adanya
ginjal janin atau ginjal yang sangat abnormal)
 Rontgen perut bayi
 Rontgen paru-paru bayi
 Analisa gas darah
Oligohidramnion
Penatalaksanaan:
 Tindakan Konservatif :
 Tirah baring.
 Hidrasi.
 Perbaikan nutrisi.
 Pemantauan kesejahteraan janin ( hitung pergerakan janin, NST,
Bpp ).
 Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion.
 Amnion infusion.
 Induksi dan kelahiran

 Penatalaksanaan bergantung pada usia kehamilan :


 a. Pre-term : mengevaluasi dan memonitor keadaan fetal dan
maternal agar tetap dalam kondisi optimal.
 b. Aterm : persalinan.
 c. Post-term : Persalinan
141. Toksoplasmosis
 Toksoplasmosis adalah suatu infeksi yang disebabkan
oleh parasit Toxoplasma gondii.
 Sekali seseorang terinfeksi, infeksi akan terus berada
seumur hidup biasanya dalam bentuk inaktif dan
dapat mengalami reaktivasi ketika terjadi penurunan
sistem imunitas.
 Pada orang dengan imunitas baik pada umumnya
tidak ada gejala.
 Pada orang dengan immunocompromised
didapatkan keluhan berupa pembesaran kelenjar
getah bening, infeksi pada sistem saraf pusat seperti
demam, kejang, nyeri kepala, psikosis, gangguan
penglihatan, bicara, gerakan, maupun fungsi
kognitif.
142. Diagnosis Kehamilan
Kehamilan dapat didiagnosis melalui:
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Lab
 USG
Tanda Awal Kehamilan Pemeriksaan
 Serivks dan vagina
Penunjang
kebiruan (Chadwick's sign)
 Perlunakan serviks  HCG terdeteksi pada
(Goodell'ssign) test pack (kualitatif)
 Perlunakan uterus (Ladin's atau Plano Test
sign dan Hegar's sign) (kuantitatif)
 Puting berwarna lebih USG
gelap
 Adanya kantong
 Massa di pelvis atau
abdomen janin
 Rasa tegang pada
putting dan payudara
 Mual terutama pagi hari
 Sering berkemih
143. Perubahan fisiologis kehamilan
 Spider veins atau spider nevi
 Adalah pelebaran pembuluh
kapiler dengan satu titik pembuluh
darah kecil yang terlihat menyebar
 Disebabkan karena meningkatnya
sirkulasi darah
 Biasanya muncul di wajah, leher,
dada bagian atas dan lengan
 Menghilang tidak lama setelah
persalinan

http://www.americanpregnancy.org/pregnancyhealth/skinchanges.html
144. Antibiotika KI untuk Ibu Hamil
Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-nya)
 Amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate, gentamycin
sulfate, kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate
 Efek samping: Nefrotoksik dan ototoksik

Golongan Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan thiamfenicol


 Sindrom Grey pada bayi: kulit sianotik (keabu-abuan), hipotermia,
muntah, abdomen protuberant dan menunjukkan reaksi menolak
menghisap susu, pernapasan yang cepat dan tidak teratur serta letargi

Golongan Tetracyclin
 Doxycycline, tetracyclin dan turunan HCl-nya (tidak boleh untuk wanita
hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita hamil)
 trimester pertama: menyebabkan deposisi tulang in utero  gangguan
pertumbuhan tulang , terutama pada bayi prematur, bersifat tidak
menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling
 Trimester 2 dan 3: Perubahan pada warna gigi menjadi kekuning-
kuningan, bersifat menetap disertai hipoplasia enamel

Golongan Sulfonamid
 mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya oleh protein dan
menyebabkan kern ikterus pada bayi yang baru dilahirkan
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. 2007. Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
145. Skrining Diabetes gestasional
146. Diagnosis Diabetes Gestasional
 Adanya satu atau lebih peningkatan
parameter pemeriksaan kadar glukosa
darah harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan Oral Glucose Tolerance Test
(OGTT).
 Kriteria pemeriksaan glukosa plasma
pada Diabetes Gestasional

Waktu Pemeriksaan Kadar glukosa setelah


100 gram Loading
glukosa
Puasa 95
1 Jam pp 180
2 Jam pp 155
3 Jam pp 140
Tatalaksana Diabetes Gestasional
 Manajemen diet: hindari 1 porsi besar dengan
dominan karbohidrat. Makanlah kurang lebih 6 kali
sehari dengan komposisi 3 kali makan makanan
utama dan 3 kali snack. Makanan hendaknya terdiri
dari 35-40% karbohidrat, 30% lemak, 30% protein.
 Insulin: lispro, aspart, regular, dan NPH adalah insulin
yang direkomendasikan oleh karena keamanannya.
Insulin glargin tidak direkomendasikan karena efek
farmakologisnya yang lama dapat menyebabkan
maternal hipoglikemia.
 Antidiabetika oral: Gliburide, metformin.

Sumber:http://emedicine.medscape.com/article/127547-
overview#a30
147. Grave’s Disease
Nilai rujukan :
TSH : 0.47 –
4.64 µIU/mL
FT3 : 2.3-4.2
ng/L
FT4 : 0.89-1.76
ng/L
148. KPD/PROM
 Pecahnya selaput ketuban secara spontan
sebelum proses persalinan dimulai yang ditandai
dengan keluarnya cairan berupa air-air dari
vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu.
 Berdasarkan usia kehamilan :
 KPD pada kehamilan aterm (aterm PROM), yaitu
pecahnya selaput ketuban secara spontan pada
usia kehamilan ≥ 37 minggu
 KPD pada kehamilan preterm (preterm PROM),
yaitu pecahnya selaput ketuban secara spontan
pada usia kehamilan < 37 minggu, dibagi
menjadi :
1. KPD pada 32-36 minggu (preterm PROM near term)
2. KPD pada 23-31 minggu (preterm PROM remote from term),
3. KPD < dari 23 minggu (previable PROM)
Diagnosis
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
 keluar cairan per vaginam • Tes lakmus (tes nitrazin)
 kontraksi
• Tes pakis (arborization)
 perdarahan pervaginam
 riwayat hubungan seksual
• Pemeriksaan USG (menilai
jumlah air ketuban)
 Demam posisi janin,TBJ, letak
Pemeriksaan fisik plasenta, anomali
 Identifikasi bau cairan • Amniosentesis
ketuban yang khas.
 inspekulo cairan keluar
melalui OUE atau
terkumpul di forniks
posterior.
 Batuk atau fundal
pressure
 Jangan lakukan
pemeriksaan dalam
149. HPP
 Palpasi uterus : bagaimana
Etiologi kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
Tone - uterine
 Memeriksa plasenta dan
atony ketuban : apakah lengkap
atau tidak.
Trauma - genital  Melakukan eksplorasi kavum
tract trauma uteri untuk mencari :
 Sisa plasenta dan ketuban.
Tissue - retained  Robekan rahim.
 Plasenta suksenturiata.
placenta  Inspekulo : untuk melihat
robekan pada serviks, vagina
Thrombin – dan varises yang pecah.
coagulopathy  Pemeriksaan laboratorium :
periksa darah, hemoglobin, clot
Inversio Uteri observation test (COT), dan
lain-lain.
Inversio Uteri
 Reposisi
Tatalaksana Inversio Uteri
 Segera reposisi uterus
 Namun jika reposisi tampak sulit, apalagi jika
inversio telah terjadi cukup lama, bersiaplah untuk
merujuk ibu
 Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1
mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM atau IV
secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB
IM
 Jika usaha reposisi tidak berhasil, lakukan
laparotomi.
 Jika laparotomi tidak berhasil, lakukan
histerektomi.
Sumber: Buku Kesehatan Ibu di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Dasar dan Rujukan, 2013
150. Oksitosin

1. Penderita diberi oleum ricini, kemudian klisma


3
jam

2. Infus oksitosin 5 Unit dalam 500 cc lar glukosa 5%


awal: 8 tts/menit

Pantau FN,TD, DJJ, His

3. Naikkan kecepatan 4 tts/mnt tiap 30’ (s.d 60 tts)

His adekuat pertahankan sampai kelahiran


His belum adekuat

Ulangi langkah 2 & 3


(ttsn lanjut) His adekuat

His belum adekuat pertahankan sampai


kelahiran

Ulangi langkah 2&3 (ttsn


lanjut) His adekuat
+ pecahkan ketuban

His belum adekuat


(KP 24 jam) SC
Efek samping pemberian oksitosin
 Efek maternal terlihat pada pemakaian IV
 hipertensi, mual, muntah, penurunan aliran darah
uterus, ruam kulit, dan anoreksia, tetani uterus,
anafilaksis, asfiksia, kejang, koma, pendarahan
intracranial, intoksikasia air, dan Aritmia.

• Pada Janin
 Karena induksi motilitas uterus, oksitosin dapat
menyebabkan bradikardia, kontraksi ventrikel
premature, dan aritmia lain, dan sangat jarang
kematian janin, nilai Apgar rendah, ikterik, dan
pendarahan retina

Oxytocin(pitocin). VIHA pharmacy. 2006


151. Manajemen Kala III
 Setelah bayi dilahirkan, berikan suntikan oksitosin 10 unit
IM di bagian paha atas bagian distal lateral agar
kontraksi uterus baik
 Jika tidak ada oksitosin, dapat dilakukan:
 Merangsang puting payudara ibu atau minta ibu untuk
menyusui agar menghasilkan oksitosin alamiah.
 Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah injeksi
ergometrin 0,2 mg IM namun tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan preeklampsia, eklampsia, dan hipertensi
karena dapat memicu penyakit serebrovaskular.
 Lakukan peregangan tali pusat terkendali
 Sumber: Buku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas
kesehatan dasar dan rujukan
152. Kontrasepsi Darurat
 Kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan
setelah senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian
kontrasepsi yang tepat dan konsisten sebelumnya.
 Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
 Perkosaan
 Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
 Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
 Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
 Diafragma pecah, robek, atau diangkat terlalu cepat
 Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi
di vagina atau genitalia eksterna
 Salah hitung masa subur
 AKDR ekspulsi (terlepas)
 Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
 Terlambat suntik progestin lebih dari 2 minggu atau terlambat
suntik kombinasi lebih dari 7 hari
 Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila digunakan dalam 5
hari pertama, namun lebih efektif bila dikonsumsi sesegera
mungkin. Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan tingkat
kehamilan <3%.
 Efek samping:
 mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama sesudah
minum pil pertama atau kedua, berikan dosis ulangan),
perdarahan/bercak.
153. Himen Imperforata
 Himen imperforata adalah suatu variasi ekstrim dari
bentuk himen dimana bentuk himen tidak
memungkinkan adanya pembukaan himen. Akibat
dari bentuk anatomis tersebut, darah menstruasi
tidak dapat mengalir keluar sehingga dapat
menyebabkan penimbunan darah menstruasi di
kavum uteri dan menyebabkan massa abdomen

 Gejala klinis tersering adalah amenorrhea primer di


mana pasien tidak pernah merasakan menstruasi
walaupun gejala menstruasi seperti nyeri abdomen
dapat ditemukan

 Terapi: Bedah

Sumber:http://emedicine.medscape.com/article/269050-overview#a03
Variasi Bentuk Himen
154. Karsinoma Serviks
 Karsinoma serviks adalah keganasan ke-3 yang
paling sering didapatkan pada perempuan.
 Gejala klinis yang paling sering adalah adanya
perdarahan vagina, rasa tidak nyaman pada
vagina, dispareunia, adanya keputihan
berbau, dan gangguan pada proses buang air
kecil maupun buang air besar.
 Infeksi HPV merupakan predisposisi penting
pada timbulnya karsinoma serviks
 Diagnosis skrining dengan Papanicolaou testing
(Pap smear)
Sumber:
http://www.uspharmacist.com/content/s/229/c/36526/
http://emedicine.medscape.com/article/253513
155. Pap Smear
 Sumber:
http://jnci.oxfordjournals.o
rg/content/suppl/2010/12/
27/djq562.DC1/jnci-JNCI-
09-0418-s01.pdf
Papanicolaou Displasia CIN Bethesda sistem
classification nomenclature nomenclature
I Negatif Negatif NILM
II Squamous Squamous ASC-US
atypical atypical ASC_H
III Mild dysplasia CIN 1 LSIL
Moderate CIN 2
dysplasia
IV Severe CIN 3 HSIL
dysplasia
Carcinoma in
situ
V Karsinoma Karsinoma Karsinoma
Sumber:: http://www.phoebeblogspot.com/pap-smear-
guidelines/
156. Malaria pada Kehamilan
 Malaria pada kehamilan memiliki kecenderungan
lebih besar untuk berkembang menjadi malaria
berat.
 Perempuan hamil terutama primigravida memiliki
risiko 10 kali lebih besar untuk menderita malaria
daripada perempuan yang tidak hamil.
 Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum
memiliki predisposisi lebih besar untuk menjadi
malaria berat
 Banyak obat antimalaria dan antiprotozoal aman
bagi kehamilan, baik bagi ibu dan janin. Obat
harus segera diberikan oleh karena keuntungan
lebih besar dari risiko.
Tatalaksana Malaria pada Kehamilan

Sumber:
http://emedicine.medscape.c
om/article/221134-treatment
Tatalaksana Malaria Berat pada
Kehamilan
 Stabilisasi keadaan ibu
 Periksa usia kehamilan, periksa tanda-tanda vital
 Periksa adanya tanda rangsang meningeal
 Bila ibu kejang, posisikan miring untuk mengurangi risiko
aspirasi
 Tatalaksana farmakologis
 Quinidine Gluconate
 Loading dose: 6,25 mg basa/kgBB (ekivalen = 10 mg garam/kg)
IV melalui infus dalam 1-2 jam dilanjutkan dengan infus kontinu
dengan 0,0125 mg basa/kgBB/menit (ekivalen 0,02 mg
garam/kg/menit)
 Efek samping: perpanjangan interval QT, Hipoglikemia, dan
Hipotensi
 Artesunat: 2,4 mg/kgBB IV 3 kali tiap jam ke 0, 12, dan 24.
Selanjutnya 2,4mg/kgBB IV tiap 24 jam hingga pasien
dapat minum obat dan dapat dilanjutkan dengan
dihydroartemisin-piperakuin + primakuin
Sumber: Buku Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan
http://emedicine.medscape.com/article/221134
http://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_treatment/clinicians3.html
157. Superimposed Preeklampsia
pada Hipertensi Kronik

 Adanya gejala preeklampsia pada ibu


dengan riwayat hipertensi kronik di mana
hipertensi sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu.
 Tes celup urin menunjukkan proteinuria
>+1 atau trombosit <100.000 sel/µL pada
usia kehamilan <20 minggu,
 Tatalaksana: Sama dengan manajemen
preeklampsia

Sumber: Buku Kesehatan Ibu di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan
158. Asherman’s Syndrome
 Definisi
 Perlengketan intrauterus, dimana kavitas uterus membentuk
jaringan parut yang beradhesi

 Etiologi
 Post kuretase, post operasi uterus, infeksi pelvis post partum,
post keguguran, TB pelvis

 Gejala
 Infertilitas
 Abortus habitualis
 Gangguan menstruasi seperti oligomenorrhea dan
amenorrhea akibat jaringan parut yang menggantikan
endometrium, atau menyumbat jalan keluar darah
 Nyeri pada pelvis saat menstruasi dan kram uterus

http://www.nwh.org/departments-and-services/migs/conditions-
treated/ashermans-syndrome/
Asherman‘s Syndrome
 Diagnosis
 Baku emas: histeroskopi
 HSG
USG transvaginal untuk evaluasi dan mengukur ketebalan
endometrium
 Biopsi endometrium untuk menentukan apakah endometrium normal
masih tersedia

 Terapi
 Pengangkatan jaringan parut
 Mencegah pembentukan jaringan parut kembali dengan cara:
 Estrogen oral selama 30 hari untuk merangsang pembentukan
endometrium normal dan mencegah pembentukan parut ulang
 Histeroskopi ulang 14 hari pasca pengangkatan jaringan parut
 Penempatan balon intrauterus atau akdr untuk mencegah
pembentukan aprut ulang
 USG dan biopsi untuk menentukan pertumbuhan endometrium
yang sehat

http://www.nwh.org/departments-and-services/migs/conditions-treated/ashermans-syndrome/
159. Hiperemesis Gravidarum
 Definisi: keluhan mual,muntah pada ibu hamil
yang berat hingga mengganggu aktivitas
sehari-hari.
 Biasanya mulai setelah minggu ke-6 dan baik
dengan sendirinya sekitar minggu ke-12
 Etiologi : Kemungkinan kadar BhCG yang tinggi
atau faktor psikologik
 Predisposisi :primigravida, mola hidatidosa dan
kehamilan ganda.
 Akibat mual muntah → dehidrasi → elektrolit
berkurang, hemokonsentrasi, aseton darah
meningkat → kerusakan liver
Tingkatan Hiperemesis Gravidarum
 Tingkat 1 :
 lemah,napsu makan↓, BB↓,nyeri epigastrium,
nadi↑,turgor kulit berkurang,TD sistolik↓, lidah kering,
mata cekung.
 Tingkat 2 :
 apatis, nadi cepat dan kecil, lidah kering dan kotor,
mata sedikit ikterik, kadang suhu sedikit ↑, oliguria,
aseton tercium dalam hawa pernafasan.
 Tingkat 3 :
 KU lebih lemah lagi, muntah-muntah berhenti,
kesadaran menurun dari somnolen sampai koma, nadi
lebih cepat, TD lebih turun. Komplikasi fatal ensefalopati
Wernicke : nystagmus, diplopia, perubahan
mental.Ikterik
Tatalaksana Hiperemesis
Gravidarum
 Tatalaksana umum Hiperemesis Gravidarum:
 Pertahankan kecukupan nutrisi ibu.
 Istirahat cukup dan hindari kelelahan
 Tatalaksana Medikamentosa
 Berikan 10 mg doksilamin dikombinasikan dengan 10 mg
piridoksin hingga 4 tablet per hari (2 tablet saat akan tidur,
1 tablet saat pagi dan 1 tablet saat siang)
 Dimenhidrinat 50-100 mg per oral atau supositoria 4-6 kali
sehari ATAU prometazine 5-10 mg 3-4 kali sehari per oral
atau supositoria dapat diberikan bila doksilamin tidak
berhasil
 Bila masih tidak teratasi dapat diberikan Ondansetron 8 mg
per oral tiap 12 jam atau Klorpromazin 10-25 mg per oral
atau 50-100 mg IM tiap 4-6 jam bila masih berlum teratasai
dan tidak terjadi dehidrasi.
Tatalaksana dehidrasi pada Hiperemesis
Gravidarum
 Atasi dehidrasi dan ketosis
 Berikan Infus Dx 10% + B kompleks IV
 Lanjutkan dengan infus yang mempunyai komposisi kalori dan elektrolit
yang memadai seperti: KaEN Mg 3, Trifuchsin dll.
 Atasi defisit asam amino
 Atasi defisit elektrolit
 Balans cairan ketat hingga tidak dijumpai lagi ketosis dan defisit elektrolit
 Berikan obat anti muntah: metchlorpropamid, largactil, ondansetron, atau
metilprednisolon
 Berikan suport psikologis
 Jika dijumpai keadaan patologis: atasi
 Jika kehamilannya patologis (misal: Mola Hidatidosa) lakukan evakuasi
 Nutrisi per oral diberikan bertahap dan jenis yang diberikan sesuai apa yang
dikehendaki pasien
 Perhatikan pemasangan kateter infus untuk sering diberikan salep
heparinkarena cairan infus yang diberikan relatif pekat.
 Infus dilepas bila kondisi pasien benar-benar telah segar dan dapat makan
dengan porsi wajar
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview
160. Ekstraksi Vakum
 Indikasi: Kala II memanjang, ibu tidak memiliki tenaga
untuk meneran, dan terdapat kontraindikasi medis
bagi ibu untuk meneran.
 Kontraindikasi: didapatkan kelainan anatomi pada
bayi, cephalopelvic disproportion, malpresentasi fetal,
selapit amnion belum pecah.
 Syarat: Letak bayi harus berada di hodge III-IV,
pembukaan lengkap, janin cukup bulan, presentasi
kepala
 Komplikasi: perdarahan intrakranial, edema skalp,
sefalhematoma, aberasi, dan laserasi kulit kepala
pada janin, laserasi perineum, laserasi anal, maupun
laserasi jalan lahir pada ibu.
Bioetika, ikk,
dan forensik
161. Desain
penelitian
Exposure
assignment (+)

Exposure and
outcome analyzed
prospectively (+)

Kohort
Relative risk
 Risiko
munculnya penyakit pada
populasi yang terpajan risiko (relatif
terhadap populasi yang tidak
terpajan risiko)
162. Bentuk Keluarga
 Keluarga inti (nuclear family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri
serta anak-anak kandung.
 Keluarga besar (extended family): Keluarga yang disamping
terdiri dari suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak
saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek,
nenek, mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal
(kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak suami atau pihak isteri.
 Keluarga campuran (blended family): Keluarga yang terdiri dari
suami, istri, anak-anak kandung serta anak-anak tiri.
 Keluarga orang tua tunggal (single parent family): Keluarga yang
terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena bercerai, berpisah,
ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-
anak mereka tinggal bersama.
 Keluarga hidup bersama (commune family): Keluarga yang
terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama,
berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan
bersama.
 Keluarga serial (serial family): Keluarga yang terdiri dari pria dan
wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak,
tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta
memiliki anak-anak dengan pasangan masing-masing, tetapi
semuanya menganggap sebagai satu keluarga.
163. Uji Hipotesis

* : Uji Parametrik; Tanda panah ke bawah : Uji alternatif jika parametrik


tidak terpenuhi
Korelasi
 Metode untuk mencari hubungan antara 2 variabel
numerik
 Tidak mengenal variabel bebas dan tergantung →
menunjukan hubungan antara 2 variabel numerik
 Langkah:
 Menggambar scatter plot atau diagram baur
 Bila terdapat hubungan linear, hitung koefisien korelasi
 Hasil perhitungan: koefisien korelasi pearson (r) → korelasi
mutlak: nilai r=1 (nyaris tidak pernah ada dalam fenomena
biologis)
 Tafsiran nilai r
 Baik : r > 0,8
 Sedang : r = 0,6 – 0,79
 Lemah : r = 0,4 – 0,59
 Sangat lemah : r < 0,4

Sudigdo. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2011


Regresi vs Korelasi
 Analisis Korelasi : mengetahui APAKAH ADA
HUBUNGAN antara dua variabel atau lebih
 Analisis Regresi : MEMPREDIKSI SEBERAPA JAUH
pengaruh yang ada tersebut (yang telah
dianalisis melalui analisis korelasi)
 Tujuan dari analisis regresi adalah untuk
memprediksi besar Variabel Terikat
(Dependent Variable) dengan menggunakan
data Variabel Bebas (Independent Variable)
yang sudah diketahui besarnya
Regresi Linier (RL) vs Regresi
Logistik (RG)
1. Dalam RL variabel respon (dependen) berskala
metrik dan prediktor (independen) dapat berskala
interval atau kategori, sebaliknya, dalam
RG var.respon (dependen) berskala non-metrik
(kategorik) dan prediktor (independen) dapat
berskala interval atau kategori (mixed/bebas).
2. Regresi logistik digunakan pada kasus dimana
variabel dependent bersifat dikotomi dan kategori
dengan dua atau lebih kemungkinan
3. Dalam RL asumsi normalitas, homogenitas varians,
linieritas harus terpenuhi (masing2 dibuktikan
melalui uji statistik tersendiri)
164. Penanggulangan TB Nasional
The Mandala of Health culture
A model of human ecosystem
community

165. lifestyle

family
Personal Psycho-socio-
behavior Economic
spirit Environment

Sick
care body mind work
system

Human Physical
biology environment

Human-Made Environment

biosphere
166. Analisis SWOT
 Analisis SWOT
(singkatan bahasa
inggris dari strenghts,
weakness,
opportunities, dan
threats) adalah
metode
perencanaan
strategis yang
digunakan untuk
mengevaluasi
kekuatan,
kelemahan, peluang
dan ancaman dalam
suatu proyek
SIKLUS PEMECAHAN MASALAH (Problem
Solving Cycle)
Analisis
Situasi Identifikasi
Evaluasi Masalah

Pengawasan & Prioritas


Pengendalian Masalah
Problem
Solving
Tujuan
Pemantauan Cycle

Pelaksanaan & Alternatif


Penggerakkan Pemecahan
Rencana Masalah
Operasional
Cara Analisis
 Menggunakan informasi dari sistem informasi
yang sudah ada. Mis. Laporan-laporan
kegiatan dari program-program kesehatan
yang ada, Survailans epidemiologi atau
pemantauan penyebaran penyakit.
 Memanfaatkan data-data diperkirakan sudah
cukup representatif untuk suatu daerah;
 Menggunakan berbagai Pendekatan dan
Model: sistem, supply-demand, HL Blum, Milton
Roemer, dll.
 Memperhatikan berbagai faktor yg
mempengaruhi kesehatan
DETERMINANTS OF HEALTH
(HL. Blum, 1981)
Heredity

Environment Health Medical


Status Service

Behaviour
Penentuan Prioritas Masalah
 Carapemilihan prioritas masalah banyak
macamnya. Secara sederhana dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu
 Scoring Technique (Metode Penskoran) Mis:
metode delbeg, metode hanlon, metode
delphi, metode USG , metode
pembobotan dan metode dengan rumus
 Non Scoring Technique.
Scoring Technique
 CaraBryant : Cara ini telah dipergunakan di
beberapa negara yaitu di Afrika dan Thailand.
Cara ini menggunakan 4 macam kriteria :
 Community Concern, yakni sejauh mana masyarakat
menganggap masalah tersebut penting.
 Prevalensi, yakni berapa banyak penduduk yang
terkena penyakit tersebut.
 Seriousness, yakni sejauh mana dampak yang
ditimbulkan penyakit tersebut
 Manageability, yakni sejauh mana kita memiliki
kemampuan untuk mengatasinya.
Cara Bryant

 Menurut cara ini masing-masing


kriteria tersebut diberi scoring,
kemudian masing-masing skor
dikalikan. Hasil perkalian ini
dibandingkan antara masalah-
masalah yang dinilai.Masalah-
masalah dengan skor tertinggi, akan
mendapat prioritas yang Tinggi pula.
Metode Hanlon
 Kriteria besarnya masalah
 Kriteria tingkat kegawatan masalah
 Kriteria penanggulangan masalah
Non Scoring Technique
 Memilih prioritas masalah dengan
mempergunakan berbagai parameter,
dilakukan bila tersedia data yang
lengkap
 Bila tidak tersedia data, maka cara
menetapkan prioritas masalah yang
lazim digunakan adalah :
 Delphin Technique
 Delbech Technique
Delphin Technique
 penetapan prioritas masalah tersebut
dilakukan melalui kesepakatan sekelompok
orang yang sama keahliannya. Pemilihan
prioritas masalah dilakukan melalui
pertemuan khusus. Setiap peserta yang
sama keahliannya dimintakan untuk
mengemukakan beberapa masalah pokok,
masalah yang paling banyak dikemukakan
adalah prioritas masalah yang dicari
Delbech Technique
 Penetapan prioritas masalah dilakukan
melalui kesepakatan sekelompok orang
yang tidak sama keahliannya. Sehingga
diperlukan penjelasan terlebih dahulu
untuk meningkatkan pengertian dan
pemahaman peserta tanpa
mempengaruhi peserta. Lalu diminta
untuk mengemukakan beberapa
masalah. Masalah yang banyak
dikemukakan adalah prioritas
167. MALPRAKTEK
 ―INTENTIONAL‖ (secara sadar)
 PROFESSIONAL MISCONDUCTS
 NEGLIGENCE
 MALFEASANCE, MISFEASANCE,
NONFEASANCE
 LACK OF SKILL
 DI BAWAH STANDAR KOMPETENSI
 DI LUAR KOMPETENSI
PROFESSIONAL MISCONDUCT
 PELANGGARAN DISIPLIN PROFESI
 PELANGGARAN STANDAR SECARA SENGAJA
(DELIBERATE VIOLATION)
 PELANGGARAN PERILAKU PROFESI
 PIDANA UMUM:
 PEMBOHONGAN (FRAUD / MISREPRESENTASI)
 KETERANGAN PALSU
 PENAHANAN PASIEN
 BUKA RAHASIA KEDOKTERAN TANPA HAK
 ABORSI ILEGAL
 EUTHANASIA
 PENYERANGAN SEKSUAL
LACK OF SKILL

 KOMPETENSI
KURANG ATAU DI LUAR KOMPETENSI /
KEWENANGAN
 SERING MENJADI PENYEBAB ERROR ATAU KELALAIAN
 SERING DIKAITKAN DENGAN KOMPETENSI INSTITUSI
 KADANG DAPAT DIBENARKAN PADA SITUASI-KONDISI
LOKAL TERTENTU (LOCALITY RULE, LIMITED
RESOURCES)
 TUNTUTAN DAPAT BERUPA KELALAIAN
Tingkatan malpraktik
(ringan – berat)
1. Eror of jugdment (kesalahan penilaian)
2. Slight negligence (kelalaian ringan)
3. Gross negligence (kelalaian berat)
4. Intentional wrongdoing atau criminal
intent (tindakan dengan sengaja yg
bernafas kriminal)
KELALAIAN MEDIK
 JENISMALPRAKTIK TERSERING
 BUKAN KESENGAJAAN
 TIDAK MELAKUKAN YG SEHARUSNYA DILAKUKAN,
MELAKUKAN YG SEHARUSNYA TIDAK DILAKUKAN
OLEH ORANG2 YG SEKUALIFIKASI PADA SITUASI
DAN KONDISI YG IDENTIK
SYARAT KELALAIAN (4D)
 DUTY (Duty of care)
 KEWAJIBAN PROFESI
 KEWAJIBAN AKIBAT KONTRAK DG PASIEN

 DERELICTION / BREACH OF DUTY


 PELANGGARAN KEWAJIBAN TSB
 DAMAGES
 CEDERA, MATI ATAU KERUGIAN
 DIRECT CAUSALSHIP
 HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT, SETIDAKNYA
PROXIMATE CAUSE
RISIKO MEDIS
 INHEREN PADA SETIAP TINDAKAN MEDIS
 SEBAGIAN DIANGGAP ACCEPTABLE:
1. TINGKAT PROBABILITAS DAN KEPARAHANNYA MINIMAL
(UMUMNYA BERSIFAT FORESEEABLE BUT UNAVOIDABLE:
CALCULATED, CONTROLLABLE)
2. RISIKO ―BERMAKNA‖ TETAPI HARUS DIAMBIL KARENA
―THE ONLY WAY‖ (UNAVOIDABLE, UNPREVENTABLE))
3. RISIKO YG UNFORESEEABLE = UNTOWARD RESULTS

1 DAN 2 PERLU INFORMED CONSENT, SEHINGGA BILA TERJADI,


DOKTER TIDAK BERTANGGUNGJAWAB SECARA HUKUM
TANGGUNGJAWAB HUKUM

Disiplin Pidana Perdata Etika

Polisi,jaksa
MKDKI Hakim IDI
hakim

Pencabutan STR/ Denda/Kurungan Cabut Reko


Ganti Rugi mendasi
SIP Penjara

DOKTER
168. Jenis Variabel
Berdasarkan skala pengukurannya
 Variabel nominal: variabel dengan skala paling sederhana
karena fungsinya hanya untuk membedakan atau memberi
label suatu subjek atau kategori. Contoh variabel nominal :
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
 Variabel ordinal: variabel yang dibedakan menjadi beberapa
secara bertingkat, contoh status sosial ekonomi : rendah,
sedang, tinggi.
 Variabel interval: variabel yang selain dimaksudkan untuk
membedakan, mempunyai tingkatan, juga mempunyai jarak
yang pasti atau satu kategori dengan kategori lainnya,
contoh prestasi belajar : 5, 6, 7, 8, dst.
 Variabel rasio: variabel selain bersifat membedakan,
mempunyai tingkatan yang jaraknya pasti, dan setiap nilai
kategori diukur dari titik yang sama, contoh : berat badan,
tinggi badan, dst.
Berdasarkan konteks hubungannya
 Variabel bebas (independent, predictor, risiko atau kausa): variabel
yang bila ia berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain.
 Variabel terikat (dependent, efek, hasil, outcome, respons, atau event,
tergantung) : variabel yang berubah akibat variabel bebas.
 Variabel Moderator: variabel yang mepengaruhi (memperkuat atau
memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan
dependen. Variabel ini sering disebut sebagai variabel independen
kedua. Contoh: Anak adalah variabel yang memperkuat hubungan
suami isteri. Pihak ketiga adalah variabel yang memperlemah
hubungan suami isteri.
 Variabel Intervening (Antara): menghubungkan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang dapat memperkuat
atau memperlemah hubungan namun tidak dapat diamati atau
diukur. Contoh: Hubungan antara Kualitas Pelayanan (Independent)
dengan Kepuasan Konsumen (Intervening) dan Loyalitas (Dependen).
 Variabel perancu (counfounding) : variabel yang berhubungan
dengan variabel bebas dan variabel terikat, tetapi bukan merupakan
variabel antara. Cara menyingkirkan perancu yaitu dalam desain
(dengan restriksi, matching atau randomisasi) dan dalam analisis
(dengan stratifikasi atau analisis multivariat).
169. Trias WHO
170. Keterampilan Attending
 Keterampilan attending adalah perilaku dokter
menghampiri pasien yang diwujudkan dalam
bentuk kontak mata dengan pasien, bahasa tubuh
dan bahasa lisan.
 Ciri-ciri Attending yang baik adalah:
 Menganggukkan kepala dengan apabila menyetujui
pernyataan klien
 Ekspresi wajah tenang, ceria dan senyum
 Posisi tubuh agak condong kearah klien, jarak antara
konselor dengan klien dekat, duduk akrab
berhadapan atau berdampingan
 Variasi isyarat gerakan tangan berubah- ubah untuk
menekankan suatu pembicaraan
 Mendengarkan secara aktif, penuh perhatian,
menunggu ucapan klien hingga selesai.
 Pemilihan tujuh kelompok keterampilan yang digagas oleh Brammer
dan MacDonald's karena mengandung berbagai macam tanggapan
konselor
 listening skill (keterampilan menyimak)
 leading skill (keterampilan memimpin)
 reflecting skill (keterampilan merefleksi)
 challenging skill (keterampilan dalam menantang)
 interpreting skill (keterampilan menafsirkan)
 informing skill (keterampilan menjelaskan)
 summarizing skill (keterampilan meringkas)
 Keterampilan memimpin dan mengarahkan berfungsi untuk mengajak
konseli untuk secara aktif berpartisipasi dalam proses konseling, untuk
memandu atau memfokuskan konseli bila diperlukan, dan untuk
menggali topik-topik tertentu secara lebih mendalam.
 Kemampuan ini salah satunya ditunjukan dengan teknik probing, yaitu
dengan memberikan bentuk pertanyaan terbuka atau pertanyaan
tertutup. Pertanyaan terbuka mendorong konseli untuk menjelaskan
atau menjelajahi (misalnya, "Bagaimana hal itu terjadi pada Anda?"),
Sedangkan pertanyaan tertutup untuk jawaban tertentu (misalnya,
"Apakah Anda tiba tepat pada waktunya?").
171. Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
172. Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban
untuk kepentingan orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya
menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan
keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
173. Autonomy
 Pandangan Kant
 Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan
diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya
yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau
campur tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi
dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation
dari manusia
 Tell the truth
 Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
174. Komunikasi
 Komunikasi intrapersonal: komunikasi yang terjadi
dalam diri sendiri maka tindak balas yang
dilakukan ialah dalam internal diri sendiri. Contoh,
komunikasi yang terjadi saat kita merenung,
berdialog dengan diri sendiri (baik sadar maupun
secara tidak sadar, misalnya sedang tidur).
 Komunikasi interpersonal: komunikasi yang
dilakukan dengan orang lain sehingga tindak
balas dan evaluasinya memerlukan orang lain.
Contoh, komunikasi dengan pacar, teman, dosen,
orang tua dan lain sebagainya.
 Komunikasi massa: komunikasi yang dilakukan
dalam kumpulan manusia yang terjadi proses
sosial di dalamnya, baik melalui media atau
langsung dan bersifat one way communication.
Contoh, komunikasi yang terjadi di televisi, web-
site, blog, iklan dan lain sebagainya
175. The Five-Star Doctor
 The concept of the ―five-star doctor‖ is proposed
as an ideal profile of a doctor possessing a mix of
aptitudes to carry out the range of services that
health settings must deliver to meet the
requirements of relevance, quality, cost-
effectiveness and equity in health
 The five sets of attributes:
 Care provider
 Decision-maker
 Communicator
 Community leader
 Manager

The Five-Star Doctor. Dr Charles Boelen . World Health Organization, Geneva, Switzerland
The Five-Star Doctor
Attributes Definition
Care-provider Besides giving individual, must take into account the total
(physical, mental and social) needs of the patient. Ensure that a
full range of treatment - curative, preventive or rehabilitative - will
be dispensed in ways that are complementary, integrated and
continuous.
Decision- Taking decisions that can be justified in terms of efficacy and
maker cost. The one that seems most appropriate in the given situation
must be chosen
Communicat Excellent communicators in order to persuade individuals,
or families and the communities in their charge to adopt healthy
lifestyles and become partners in the health effort
Community Take a positive interest in community health activities which will
leader benefit large numbers of people. Understanding the
determinants of health inherent in the physical and social
environment and by appreciating the breadth of each problem
or health risk
Manager Initiate exchanges of information in order to make better
decisions, and to work within a multidisciplinary team in close
association with other partners for health and social
development
176. Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
177. Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan
dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
178. Patient safety
NEAR MISS
Adalah tindakan yg dapat mencederai pasien,
tetapi tidak mengakibatkan cedera karena
faktor kebetulan, pencegahan atau mitigasi
ERRORS
VIOLATION Setiap cedera yang lebih disebabkan oleh
manajemen medis drpd akibat penyakitnya

ADVERSE
EVENTS

UNPREVENTABLE

ACCEPTABLE UNFORESEEABLE DISEASE /


RISKS RISKS COMPLICATION
 Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah suatu
sistem di Rumah Sakit yang mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
 Insiden Keselamatan Pasien: setiap kejadian atau
situasi yang dapat mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan harm (penyakit,
cedera, cacat, kematian, dll) yang tidak
seharusnya terjadi
 Kejadian Tidak Diharapkan (KTD): suatu kejadian
yang mengakibatkan cedera tidak diharapkan
pada pasien karena suatu tindakan (commission)
atau karena tidak bertindak (omission) ketimbang
karena ―underlying disease‖ atau kondisi pasien.
179. Angka Kematian Ibu
 MMR = (I/T) x konstanta
I = adalah jumlah kematian ibu akibat komplikasi
kehamilan, persalinan, dan masa nifas
T = Kelahiran hidup pada tahun yang sama.
k = konstanta (1000)

 Tinggirendahnya angka MMR tergantung kepada:


• Sosial ekonomi
• Kesehatan ibu sebellum hamil, persalinan, dan
masa nasa nifas
• Pelayanan terhadap ibu hamil

 Kasus: (5+10+5)/(5000-30) x 1000 = 4.02


180. Visum et Repertum
 VeR hidup
 VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana
korban tidak memerlukan perawatan dan pemeriksaan
lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban.
Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian kesimpulan yaitu
luka derajat I atau luka golongan C.
 VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara
waktu, karena korban memerlukan perawatan dan
pemeriksaan lanjutan sehingga menghalangi pekerjaan
korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak ditulis
pada kesimpulan.
 VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban
telah dinyatakan sembuh atau pindah rumah sakit atau
pindah dokter atau pulang paksa. Bila korban
meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter
menulis kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.
 VeR Jenazah: VeR yang dibuat terhadap korban yang
meninggal. Tujuan pembuatan VeR ini adalah untuk
menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian.
181. VeR untuk perlukaan
 Tujuan pemeriksaan forensik pada korban hidup :
Untuk mengetahui penyebab luka dan derajat
parahnya luka
 Dalam pemberitaan disebutkan : Keadaan umum
korban, luka-luka dengan uraian letak, jenis, sifat,
ukuran, serta tindakan medik yang dilakukan,
riwayat perjalanan penyakit, dan keadaan akhir
saat perawatan selesai.
 Dalam kesimpulan disebutkan : luka-luka atau
cedera yang ditemukan, jenis benda penyebab,
serta derajat perlukaan. Tidak dituliskan pendapat
bagaimana terjadinya luka dan oleh siapa.
VeR untuk perlukaan
 Luka ringan :
 Tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan. (KUHP 352)
 Umumnya tanpa luka, atau dengan luka
lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak
berbahaya/tidak menurunkan fungsi alat
tubuh.
 Lukasedang : diantara luka ringan dan
berat
VeR untuk perlukaan
 Luka berat (KUHP 90)
 Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali.
Atau menimbulkan bahaya maut
 Tidak mampu terus menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
 Kehilangan salah satu panca indra
 Cacat berat
 Sakit lumpuh
 Terganggu daya pikir selama empat minggu
lebih
 Gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan
182. Perkiraan Kematian
 Lebam mayat
 Mulai tampak 20-30 menit pascamati. Well
developed within the next 3 to 4 hours
 Lengkap & menetap setelah 8-12 jam, sebelumnya
masih dapat memucat pada penekanan dan
berpindah
 Kaku mayat:
 Mulai tampak 2 jam pascamati, dimulai dari bagian
luar tubuh/otot-otot kecil (sentripetal)
 Lengkap setelah 12 jam & dipertahankan selama 12
jam, lalu menghilang dalam urutan yang sama
 Pembusukan:
 Tampak kehijauan di perut kanan bawah 24 jam
pasca mati
 Larva lalat dijumpai 36-48 jam pascamati
183. Visum et Repertum
 VeR : keterangan yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang, mengenai
hasil pemeriksaan medik, berdasarkan keilmuannya
dan dibawah sumpah, untuk kepentingan peradilan
 Pasal 133 KUHAP:
 Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korbanbaik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya
 Permintaan bantuan kepada dokter sebagai ahli
hanya dapat diajukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas jenis pemeriksaan yang
dikehendaki
 Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP : yang
berwenang meminta keterangan ahli → penyidik &
penyidik pembantu
Visum et Repertum
 Pada korban yang diduga korban tindak pidana,
dilakukan tindakan perawatan/pengobatan dan
dibuatkan catatan medik lengkap
 Penegak hukum yang menangani tindak pidana
yang korbannya masih hidup segera mengajukan
permintaan VeR atau korban tindak pidana harus
segera melaporkan tindak pidana yang dialami ke
penegak hukum
 Jika permintaan pembuatan Visum et Repertum
diajukan ditengah masa perawatan atau setelah
sembuh, maka substansi keterangan yang boleh
dituangkan ke dalam Visum et Repertum hanyalah
mengenai fakta – fakta sejak diterimanya surat
tersebut. Fakta-fakta sebelumnya akan menjadi
rahasia kedokteran yang hanya boleh diungkapkan
kepada hakim di sidang pengadilan
VeR Korban Kejahatan Asusila
 Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP :
pemerkosaan, persetubuhan pada wanita tidak
berdaya, persetubuhan dengan wanita yang
belum cukup umur
 Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus
berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang
berwenang
 Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh
korban merupakan benda bukti. Jika korban
datang sendiri dengan membawa surat permintaan
dari polisi, jangan diperiksa, minta korban kembali
kepada polisi
 Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan
keadaan yang didapatkan pada tubuh korban
pada waktu permintaan VeR diterima oleh dokter
VeR Korban Kejahatan Asusila
 Kesimpulan VeR berisi :
 Ada/tidaknya bukti persetubuhan, dan kapan
perkiraan terjadinya
 Ada/tidaknya kekerasan pada perineum dan
daerah lain (termasuk pemberian
racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) →
toksikologi
 Usia korban (berdasarkan haid, dan tanda seks
sekunder)
 Penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan
kelainan kejiwaan sebagai akibat dari tindak
pidana
VeR Korban Kejahatan Asusila
 Dokter tidak dibebani pembuktian
adanya pemerkosaan
 Pembuktian persetubuhan : Deflorasi
himen, laserasi vulva-vagina, adanya
cairn mani dan sel sperma (mikroskopik
sediaan usap vagina) dalam vagina
 Bukti persetubuhan mempunyai nilai bila
sesuai waktu kejadiannya dengan
persetubuhan yang diperkarakan
184. Sebab, Cara, &
Mekanisme Kematian
 Sebab mati adalah penyakit atau cedera/luka
yang bertanggung jawab atas terjadinya
kematian.
 Cara kematian adalah macam kejadian yang
menimbulkan penyebab kejadian:
 Wajar: semata-mata karena penyakit
 Tidak wajar: kematian dipercepat oleh adanya
luka/cedera (kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan)
 Mekanisme kematian:
 Gangguan fisiologik dan atau biokimiawi yang
ditimbulkan oleh penyebab kematian sehingga
seseorang tidak dapat terus hidup.
Sebab, Cara, & Mekanisme Kematian
Contoh:
1.Penderita
tb paru yang mengalami hemoptoe hebat &
meninggal.
 Penyebab kematian: tb paru. Mekanisme kematian: shock akibat
perdarahan paru-paru. Cara kematian wajar.
2.Autopsilebam mayat merah gelap, paru & hati merah
gelap, ada massa putih di jantung 2x3 cm.
 Penyebab kematian: trombus putih di jantung. Mekanisme kematian:
asfiksia akibat sumbatan di jantung. Cara kematian: wajar.
3.Seseorangmengalami perdarahan subdural akibat terjatuh
dari sepeda motor yang mengalami slip. Selama
perawatan 4 hari tidak pernah sadar, mendapat komplikasi
pneumonia ortostatik & meninggal.
 Sebab kematian: trauma kapitis. Cara kematian: tidak wajar.
Mekanisme kematian: perdarahan subdural dengan penyulit radang
paru-paru.
185. Kasus Pencekikan
 Penekanan leher dengan tangan yang
menyebabkan dinding saluran napas bagian
atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran
nafas sehingga udara pernapasan tidak dapat
lewat
 Mekanisme:
 Asfiksia
 Refleks vagal: akibat rangsangan pada reseptor
nervus vagus pada corpus caroticus di
percabangan arteri karotis interna dan eksterna
Pencekikan
 Ditemukan pembendungan pada muka dan kepala
karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri
superfisial, arteri vertebralis tidak terganggu
 Tanda kekerasan pada leher: luka lecet kecil,
dangkal, berbentuk bulan sabit akibat penekanan
kuku jari, luka memar
 Fraktur tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior
rawan gondok unilateral. Patah tulang lidah terkadang
merupakan satu-satunya bukti adanya kekerasan bila
mayat sudah lama dikubur sebelum diperiksa.
186. Penyebab Kematian
 Penyebab kematian dapat disebabkan oleh penyakit
atau cedera/luka yang bertanggung jawab terhadap
timbulnya kematian
Sebab kematian :
 Penyakit : gangguan SCV, SSP, respirasi, GIT, urogenital
 Trauma
 Mekanik :
tajam : iris, tusuk, bacok
tumpul : memar, lecet, robek, patah
senjata api (balistik)
bahan peledak/bom
 kimiawi : asam, basa, intoksikasi (keracunan)
 Untuk kasus kriminal maka cara penentuan sebab dan
cara kematian ditentukan dengan Pemeriksaan AUTOPSI
 Autopsi (juga dikenal pemeriksaan kematian
atau nekropsi) adalah investigasi medis
jenazah untuk memeriksa sebab kematian.
Kata ―otopsi‖ berasal dari bahasa Yunani
yang berarti ―lihat dengan mata sendiri‖.
―Nekropsi‖ berasal dari bahasa Yunani yang
berarti ―melihat mayat‖.

Ada 2 jenis otopsi:


 Forensik: Ini dilakukan untuk tujuan medis
legal
 Klinikal: Cara ini biasanya dilakukan di rumah
sakit untuk menentukan penyebab kematian
untuk tujuan riset dan pelajaran.
Ilmu Telinga,
Hidung,
Tenggorok
187. Karsinoma Nasofaring
Insepsi Invasi lokal
• Genetik • Mukus campur
Silent period darah
• Lingkungan
• Sumbatan tuba
• Viral eustachius

Kelenjar limfe
retrofaringeal/penyebar
Penyebar an lokoregional
an sistemik (paranasofaringeal/par
afaringeal, erosi dasar
tengkorak)
Manifestasi Klinis
Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok,
yaitu:
1. Gejala nasofaring
2. Gejala telinga
3. Gejala mata
4. Gejala saraf
5. Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
 Gejala telinga:  Gejala hidung:
 rasa penuh di  ingus bercampur
telinga, darah,
 rasa berdengung,  post nasal drip,
 rasa tidak nyaman  epistaksis berulang
di telinga  Sumbatan hidung
 rasa nyeri di telinga, unilateral/bilateral
 otitis media serosa
sampai perforasi
membran timpani
 Gejala telinga,
hidung, nyeri kepala
 gangguan
>3 minggu  sugestif
pendengaran tipe
konduktif, yang KNF
biasanya unilateral
Manifestasi Klinis
 Gejala lanjut   Gejala lokal lanjut 
Limfadenopati gejala saraf
servikal  Penjalaran petrosfenoid
 Penyebaran  dapat mengenai
limfogen saraf anterior (N II-VI),
 Konsistensi keras, sindroma petrosfenoid
tidak nyeri, tidak Jacob
mudah digerakkan  Penjalaran
 Soliter petroparotidean 
mengenai saraf
 KGB pada leher posterior (N VII-XII),
bagian atas sindrom horner,
jugular superior, sindroma
bawah angulus petroparatoidean
mandibula Villaret


DIAGNOSIS
Rhinoskopi posterior
Nasofaring
•DPL
•Evaluasi gigi geligi
direct/indirect •Audiometri
• Biopsi •Neurooftalmologi
• CT Scan/ MRI •Ro Torax
• FNAB KGB •USG Abdomen, Liver
• Titer IgA anti : Scinthigraphy
– VCA: sangat sensitif, •Bone scan
kurang spesifik
– EA: sangat kurang
sensitif, spesifitas
tinggi
Staging
 Untukpenentuan stadium dipakai sistem TNM
menurut UICC (2002)
Staging KNF

optimized by optima

http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthPro
T : tumor primer
 T1 : tumor terbatas di nasofaring
 T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa
hidung
 T2a – tanpa perluasan ke parafaring
T2b – dengan perluasan ke parafaring
 T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
 T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau
keterlibatan saraf cranial, fossa infratemporal, hipofaring,
orbit
N : pembesaran kelenjar getah bening regional
 Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih
(KGB)
 N0 : tidak ada keterlibatan KGB
 N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang
di atas fossa supraklabikula
 N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa
supraklavikula
 N3a : > 6 cm
 N3b : pada fossa supraklavikula
M : metastasis jauh
 M0 : tidak ada metastasis jauh
 M1 : ada metastasis jauh
PENGOBATAN
• Radioterapi
Stadium dini tumor primer
Stadium lanjut tumor primer (elektif),
KGB membesar
• Kemoterapi
Stadium lanjut / kekambuhan sandwich
• Operasi
– sisa KGB  diseksi leher radikal
– Tumor ke ruang paranasofaringeal/ terlalu
besar  nasofaringektomi
188. Hearing Loss
Disorder Description
Presbycusis Sensorineural hearing impairment in elderly
individuals. Characteristically, presbycusis involves
bilateral high-frequency hearing loss associated with
difficulty in speech discrimination and central
auditory processing of information
Meniere A disorder of the inner ear that is also known as
idiopathic endolymphatic hydrops.Diagnosis: Triad:
vertigo, tinitus, hearing loss

Otomycosis Aspergillus sp. infection in the external ear.


Presentation: a fine white mat topped by black
spheres on the ear canal
Cerumen Obstruction of the ear canal by cerumen
impaction
Otosclerosis An osseous dyscrasia limited to the temporal bone.
Slowly, progressive conductive hearing loss results
Presbikusis
 Tuli saraf sensorineural frekuensi
tinggi, terjadi pada usia lanjut,
 Patofisiologi
simetris kiri dan kanan, disebabkan
Terjadi perubahan struktur koklea dan
proses degenerasi di telinga dalam. nervus akustik, berupa atrofi dan
degenerasi selsel rambut penunjang
 Etiologi : proses degenerasi yang pada organ Corti, disertai perubahan
berhubungan dengan faktor-faktor vaskular pada stria vaskularis. Jumlah
: dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf
juga berkurang.
 herediter, kebisingan lingkungan  Manifestasi Klinis
hidup dan kerja, penyakit Pendengaran berkurang secara
perlahan-lahan, progresif, dan simetris
sistemik, hipertensi, diabetes pada kedua telinga. Telinga berdenging.
melitus, anemia, Pasien dapat mendengar suara
percakapan tapi sulit memahaminya,
arteriosklerosis, infeksi, bising, terutama bila cepat dan latarnya riuh.
gaya hidup, atau bersifat Bila intensitas ditinggikan akan timbul
rasa nyeri. Dapat disertai tinitus dan
multifaktor. vertigo.
 Biasanya terjadi pada usia lebih  Pada pemeriksaan otoskop tampak
membran timpani suram dan
dari 60 tahun. Progresivitasnya mobilitasnya berkurang.
dipengaruhi usia dan jenis
kelamin.
189. Pemeriksaan Pendengaran
Function

Otoacoustic emission ₋ a sound which is generated from within the inner ear;
₋ related to the amplification function of the cochlea;
₋ simple, non-invasive, test for hearing defects in newborn babies and in children who are
too young to cooperate in conventional hearing tests
Auditory brainstem ₋ an auditory evoked potential extracted from ongoing electrical activity in the brain and
response recorded via electrodes placed on the scalp.;
₋ The resulting recording is a series of vertex positive waves of which I through V are
evaluated;
₋ used for newborn hearing screening, auditory threshold estimation, intraoperative
monitoring, determining hearing loss type and degree, and auditory nerve and brainstem
lesion detection
Behavioural observation ₋ presenting sounds to a baby and observing their responses;
audiometry

Visual reinforcement ₋ The procedure relies on continued cooperation of the child, in particular their ability to
audiometry stay in the required test position;
₋ VRA uses lighted and/or animated toys that are flashed on simultaneously with the
presentation of an auditory signal (warble tones, narrow band noise or speech) during a
conditioning period.
Pure tone audiometry - a subjective, behavioural measurement of hearing threshold, as it relies on patient
response to pure tone stimuli.
- used on adults and children old enough to cooperate with the test procedure
- hearing test used to identify hearing threshold levels of an individual, enabling
determination of the degree, type and configuration of a hearing loss;
190. OMA
Acute Otitis Media Phase
1. Tubal Occlusion Phase
 Rectraction of tymphanic membrane
2. Pre-suppurative Phase
 Hiperemia and edema of tymphanic membrane
3. Suppurative Phase
 Bulging of tymphanic membrane and suppuration in
tymphanic cavity
4. Perforation Phase
 tymphanic membrane rupture
5. Resolution Phase
191. OMSK
Deskripsi
Batasan Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi MT dan
sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul (> 2
bulan)
Klasifikasi OMSK tipe benigna/aman/mukosa
- Perforasi sentral
- Tidak dijumpai kolesteatoma

OMSK tipe maligna/bahaya/tulang


-Perforasi marginal/atik
-Kolesteatoma (+)
Diagnosis Anamnesis: riwayat keluar cairan dari telinga > 2 bulan
PF: perforasi MT
Penunjang: Audiometri, rontgen mastoid, kultur dan uji
resistensi, CT scan
optimized by optima
Terapi OMSK benigna: konservatif + medikamentosa
OMSK maligna: pembedahan (mastoidektomi)
Komplikasi OMSK
Complication of Otitis Media
 Chronic suppurative otitis
media
 Postauricular abscess
 Facial nerve paresis
 Labyrinthitis
 Labyrinthine fistula
 Mastoiditis
 Temporal abscess Mastioidectomy
 Petrositis
 Intracranial abscess
 Meningitis
 Otitic hydrocephalus
 Sigmoid sinus thrombosis
 Encephalocele
 Cerebrospinal fluid (CSF)
leak
Miringoplasty
192. Presbikusis
 Tuli saraf sensorineural frekuensi  Patofisiologi
tinggi, terjadi pada usia lanjut, Terjadi perubahan struktur koklea dan
simetris kiri dan kanan, disebabkan nervus akustik, berupa atrofi dan
proses degenerasi di telinga dalam. degenerasi selsel rambut penunjang
pada organ Corti, disertai perubahan
 Etiologi : proses degenerasi yang vaskular pada stria vaskularis. Jumlah
berhubungan dengan faktor-faktor : dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf
juga berkurang.
 herediter, kebisingan lingkungan
 Manifestasi Klinis
hidup dan kerja, penyakit Pendengaran berkurang secara
sistemik, hipertensi, diabetes perlahan-lahan, progresif, dan
melitus, anemia, arteriosklerosis, simetris pada kedua telinga. Telinga
berdenging. Pasien dapat mendengar
infeksi, bising, gaya hidup, atau suara percakapan tapi sulit
bersifat multifaktor. memahaminya, terutama bila cepat
 Biasanya terjadi pada usia lebih
dan latarnya riuh. Bila intensitas
ditinggikan akan timbul rasa nyeri.
dari 60 tahun. Progresivitasnya Dapat disertai tinitus dan vertigo.
dipengaruhi usia dan jenis  Pada pemeriksaan otoskop tampak
kelamin. membran timpani suram dan
mobilitasnya berkurang.
193. Tonsilitis Kronis
Deskripsi
Batas Radang berulang pada tonsil menyebabkan
an jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut
Etiolog Rangsangan menahun akibat rokok, makanan,
i higyne mulut yang buruk, pengobatan tonsilitis yang
tidak adekuat
Gejala Anamnesis: Rasa mengganjal di tenggorok, kering,
nafas berbau
PF: Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh
deritus
Terapi Menjaga hygine mulut
Pertimbangkan tonsilektomi optimized by optima

Sumber: Buku ajar ilmu THT 2007


Tonsilitis Bakteri
Deskripsi
Batasan Radang akut tonsil akibat infeksi Streptokokus beta
hemolitikus
Klasifikasi Tonsilitis folikularis: tonsilitis dengan detritus yang jelas
Tonsilitis lakunaris: tonsilitis dengan bercak-baercak detritus
yang membentuk alur

Diagnosis Anamnesis: Nyeri tenggorokan, nyeri menelan, demam,


malaise, otalgia
PF: Tonsil hiperemis, membesar disertai detritus berbentuk
folikel, membran semu atau lakunaris, petekie pada
palatum dan faring, pembesaran KGB mandibula
Penunjang: Apusan tonsil
Terapi Antibiotik sistemik
Kortikosteroid
Analgetik dan antipiretik optimized by optima

Obat kumur antiseptik


Sumber: Buku ajar ilmu THT 2007
Indikasi Tonsilektomi
 Tonsilitis > 3 kali pertahun walau dengan terapi adekuat
 Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
gangguan pertumbuhan orofasial
 Sumbatan jalan nafas berupa hipertrofi tonsil dengan
sleep apnea, ganggua menelan, berbicara, cor
pulmonale
 Rinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil dengan pengobatan
 Halitosis yang tidak respon dengan pengobatan
 Tonsilitis berulang karena Streptococcus beta hemolitikus
 Curiga keganasan
 OME/ Otitis media supuratif optimized by optima

Sumber: Buku ajar ilmu THT 2007


194. Rinitis Alergi
Deskripsi
Batasan Penyakit inflamasi karena reaksi alergi pada pasien atopi
WHO ARIA: kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapan alergen yang
dierantarai Ig E
Patofisiologi Reaksi alergi fase cepat : berlangsung sejak kontak sampai 1 jam
Reaksi lergi fase lambat: berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8
jam setelah pemaparan dan berlangsung 1 – 2 hari.
Histamin merangang reseptor H1 pada saraf vidianus sehingga timbul
rasa gatal, bersin dan hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet
Klasifikasi Berdasarkan sifat
Intermitten: gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
Persisten: gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu
Berdasarkan tingkat
Ringan : tidak ditemukan gangguan aktivitas dan tidur
optimized by optima
Berat: terdapat gangguan aktivitas
optimized by optima

ARIA 2007. http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG_08_View_WM.pdf


Rinitis Alergi
Deskripsi
Diagnosis Anamnesis: Serangan bersin berulang terutama bila
terpajan alergen disertai rinore yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, gatal, lakrimasi, riwayat atopi
PF dan Rinoskopi anterior: Mukosa edema, basah,
pucat/livid, sekret banyak, allergic shiner, allergic salute,
allergic crease, facies adenoid, geographic tongue,
cobblestone appearance
Penunjang: Darah tepi: eosinofil meningkat, IgE spesifik
meningkat, Sitologi hidung, Prick test, Alergi makanan : food
challenge test
Terapi Menghindari alergen
Medikamentosa: AH1 reseptor, Dekongestan oral, KS
topikal, Natrium kromoglikat, Antileukotrine
Operasi optimized by optima

Imunoterapi
Sumber: Buku ajar ilmu THT 2007
 Antihistamine : stop the symptoms caused by histamines
by blocking the body's receptors that trigger
inflammation. Antihistamines are commonly used to
treat allergic diseases
 Pseudoephedrine: a sympathomimetic drug of the
phenethylamine and amphetamine chemical classes. It
may be used as a nasal/sinus decongestant
 Antileukotriene: potent proinflammatory mediators
derived from arachidonic acid through the 5-
lypoxigenase (5-LO) pathway. alleviate the symptoms of
many chronic diseases, especially bronchial asthma
and allergic rhinitis
 Oxymetazoline: a selective alpha-1 agonist and partial
alpha-2 agonist topical decongestant
 Corticosteroid: reducing inflammation, swelling, and
mucus production in the airways of a person with
asthma
195. Benda asing telinga
 Mengeluarkan benda asing harus hati-hati, jangan
sampai menimbulkan trauma
 Binatang  Bila masih hidup, matikan lebih dahulu
dengan memasukkan tampon basah ke liang telinga,
lalu teteskan cairan (misal rivanol atau obat anestesi
lokal) sekitar 10 menit. Setelah binatang mati,
keluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air
bersih hangat
 Zat korosif  jangan dibasahi
 Benda asing besar  tarik dengan pengait serumen
 Benda asing kecil  ambil dengan cunam atau
pengait
196. Otitis Externa
OE Karakteristik Terapi
Sirkump Lokasi: 1/3 luar liang telinga Antibiotik topikal
skripta/ Etiologi: S. aureus, S. albus (bacitracin, polimyixin)
furunkel Gejala: Nyeri hebat yang tidak sesuai dengan antiseptik
besarnya bisul, nyeri tarik, nyeri saat membuka Aspirasi abses
mulut Analgetik
Difus Lokasi: 2/3 dalam liang telinga Bersihkan liang telinga
Etiologi: Pseudomonas, S.albus Tampon antibiotik
Gejala: Nyeri tekan tragus, liang telinga sempit, Antibiotik sistemik
edema difus, sekret (+)
Maligna Lokasi: infeksi difus liang telinga luar dan Antibiotik sistemik
struktur sekitarnya Debridement
Etiologi: Pseudomonas
Predisposisi: Orang tua dengan
DM/imunodefisiensi
Gejala: gatal diikuti nyeri, sekret yang banyak,
pembengkakan liang telinga, disertai
pembentukan jaringan granulasi
197. Pseudomonas
 Pseudomonas aeruginosa is a Gram-negative, aerobic rod
belonging to the bacterial family Pseudomonadaceae.
 It is the predominant bacterial pathogen in some cases of
external otitis, including "swimmer's ear".
 The bacterium is infrequently found in the normal ear, but often
inhabits the external auditory canal in association with injury,
maceration, inflammation, or simply wet and humid conditions.
 P. aeruginosa produces two extracellular protein toxins:
 Exoenzyme S is produced by bacteria growing in burned tissue
and may be detected in the blood before the bacteria are. It
may act to impair the function of phagocytic cells in the
bloodstream and internal organs as a preparation for invasion
by P. aeruginosa.
 Exotoxin A has exactly the same mechanism of action as the
diphtheria toxin; it causes the ADP ribosylation of eucaryotic
elongation factor 2 resulting in inhibition of protein synthesis in the
affected cell. Exotoxin A appears to mediate both local and
systemic disease processes caused by Pseudomonas aeruginosa.
It has necrotizing activity at the site of bacterial colonization and
is thereby thought to contribute to the colonization process.
198. Stadium OMA
Stadium Gejala dan tanda Terapi
Oklusi tuba MT retraksi, sulit dibedakan HCl efedrin ,
dengan OME antibiotika
Hiperemis MT hiperemis dan edem Antibiotika,
(presupurasi) analgetik,
dekongestan
Supuratif MT bulging akibat eksudasi Antibiotika,
sekret purulen. Pasien tampak analgetik,
sakit, nadi dan suhu miringotomi
meningkat, nyeri telinga
bertambah hebat
Perforasi MT ruptur dan nanah mengalir Antibiotika, cuci
keluar telinga dengan
Anak menjadi tenang, suhu H2O2 3%
turun, dapat tidur nyenyak
Resolusi Perbaikan MT., sekret Antibiotika
berkurang dan kering
199. Etiologi Otitis Media
OMA OMSK
Utamanya bakteri piogenik, Pada keadaan munculnya
seperti Streptokokus kolestatoma, merupakan
hemolitikus, Stafilokokus media yang baik untuk
aureus, dan Pneumokokus. pertumbuhan kuman, paling
Pada anak < 5 tahun, sering sering Proteus dan
ditemukan Hemofilus Pseudomonas aeruginosa
influenza
200. Terapi OMSK
Tipe aman: terbatas mukosa, Tipe bahaya: mengenai
perforasi sentral, tulang, perforasi atik atau
kolesteatom (-) marginal, kolesteatom (+)
• Cuci telinga dengan H2O2 • Mastoidektomi, dengan
3% bila sekret keluar atau tanpa
terus-menerus timpanoplasti
• Obat tetes telinga • Medikamentosa untuk
(antibiotik + steroid) konservatif
• Antibiotika oral • Insisi abses jika terdapat
• Bila 2 bulan belum abses subperiosteal
resolusi  miringoplasti retroaurikular
atau timpanoplasti
TERIMA KASIH

SELAMAT BELAJAR

Vous aimerez peut-être aussi