Vous êtes sur la page 1sur 8

Adagium to big to fail ternyata benar adanya, bahwa bank besar

yang melakukan pelanggaran seberat apapun pasti akan dibantu.


Alasannya, jika bank besar berbuat salah lalu dilikuidasi, akan
muncul dampak sistemik yang melibatkan banyak bank lain maupun
para pejabat atau konglomerat yang ada di belakangnya.

Sebaliknya bank kecil menganut adagium to little to fail, sekecil


apapun kesalahan yang dialaminya serta merta mendapat hukuman
dari sang otoritas. Alasannya sederhana, karena penutupan bank
kecil tidak akan berdampak sistemik, dan hanya melibatkan
segelintir pemilik, pejabat itu pun kalau ada.

Itulah yang terjadi pada Bank Kosagraha Semesta, bank kecil yang
banyak menyalurkan kredit pada segmen ritel. Logikanya, bank ritel
adalah yang yang alot dan bandel dalam menghadapi dan
mengatasi krisis, tapi nyatanya Bank Kosa—demikian bank ini biasa
dipanggil–babak belur menghadapi krisis sehingga harus dibantu
dengan BLBI.

Pada awalnya bank ini tergolong bank yang kecil tapi kokoh,
dikelola secara profesional oleh para pengurusnya seperti Eric
Johannes Lazuardi (dirut), Y. Diasmono (direktur). Sementara di
jajaran komisaris ada nama-nama Setiawan Chandra (komut),
Hartatie NP, dan Asrianty Purwantini.

Kepemilikan saham Bank Kosa sebanyak 80% dikuasai oleh


Hartatie NP dan sisanya 20% dimiliki oleh Setiawan Chandra.

Bank kecil, baik dari segi aset, kegiatan maupun jaringan kerja, ini
sempat digadang-gadang dan dipersuasi oleh otoritas moneter
untuk melakukan merger guna memaksimalkan layanan dan tingkat
persaingan. Namun pengelolanya berkilah, bahwa bank kecil akan
tetap hidup karena masing-masing bank memiliki pangsa pasar
tersendiri. Dengan kata lain, bank kecil memiliki ruang gerak
tersendiri sesuai dengan pangsa pasar yang dibidiknya.
Direktur Bank Kosa, Diasmono, sebelum bank itu bermasalah
mengatakan, Kredit Usaha Kecil (KUK) merupakan lahan yang
cukup potensial untuk digarap. Di samping itu, bank kecil yang
terbatas dalam penyaluran kredit karena ketentuan Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat menempatkan dananya
dengan turut serta dalam sindikasi kredit. Namun kadang-kadang
debitor yang sejak lama kami besarkan dapat saja tiba-tiba dibajak
oleh bank besar melalui proses sindikasi kredit.

Selain itu, dapat juga menempatkan pada surat-surat berharga,


misalnya commercial paper (CP) dan obligasi yang sudah
diperingkat dan terlebih dahulu melihat siapa penerbitnya.

Alasan dia, bank kecil mempunyai keunggulan karena birokrasinya


tidak berbelit-belit. Hal ini yang dibutuhkan oleh calon nasabah yang
ingin secara cepat membutuhkan jawaban ya atau tidak.

Diakui Diasmono, biasanya bank kecil mengalami kesulitan untuk


memiliki account officer yang mempunyai intuisi bisnis yang tajam.
Banyak account officer yang tidak mengetahui kebutuhan para
calon nasabah, bagaimana mengambil keputusan dan kemampuan
berbahasa Inggris kerap terbatas. Kendala langkanya sumber daya
manusia juga dihadapi oleh bank dalam ekspansi usahanya.

Hanya saja kendala itu bisa diatasi, tenaga account officer bisa
didapatkan dari bank lain. Walaupun harus membayar mahal tapi
selama return-nya lebih tinggi itu tidak menjadi soal. Sedangkan
kalau mengambil tenaga account officer yang fresh graduate,
memerlukan waktu lama untuk menumbuhkan pola pikir seorang
account officer. Bank biasanya tidak peduli apakah seorang account
officer lulusan dari sastra Inggris atau fakultas lainnya. Kebanyakan
mereka lebih banyak menunggu perintah daripada menciptakan
sesuatu. Peran account officer inilah yang menjadi ujung tombak
jatuh bangunnya sebuah bank.

Itu pula yang terjadi pada Bank Kosa, kerjasama account officer
dan pengelola bank pada awalnya memang membuat bank itu
tampil lincah dan menawan. Namun lama kelamaan bank itu harus
lebih lincah dalam hal penempatan dana.

Selain itu, bagaimana bank kecil dapat bertahan akan sangat


tergantung bagaimana bank tersebut menempatkan atau
menginvestasikan dananya. Di sinilah persoalan itu mulai muncul.

Pengelola Bank Kosa tampaknya mulai tergiur dengan trend yang


berkembang, dimana sejumlah korporasi lokal dan asing saat-saat
sebelum krisis gemar menerbitkan CP. Bank Kosa ternyata ikut-
ikutan membeli CP yang pada saat itu memang belum diatur,
namun memiliki tingkat return yang tinggi hanya saja pengelola lupa
akan adanya risiko yang amat sangat tinggi.

Benar saja, CP yang dibeli Bank Kosa mulai mengalami macet,


sementara dana yang digunakan untuk membeli adalah dana pihak
ketiga, alias dana nasabah atau dana masyarakat. Alhasil,
penempatan dana Bank Kosa pun macet.

Berdasarkan hasil audit investigasi BPK No. 06/01/Auditama


II/AI/VII/2000 per tanggal 31 Juli 2000 terungkap, Bank Kosa
mengalami kesulitan likuiditas sehingga harus dibantu dengan dana
talangan rupiah sebesar Rp154,94 miliar dan dana talangan valas
sebesar Rp46,87 miliar. Sehingga total bantuan BLBI untuk Bank
Kosa mencapai Rp201,81 miliar.

Tanda-tanda masalah

Sebenarnya, sebelum perbankan diterpa krisis 1997, tanda-tanda


zamannya sudah nampak. Seperti ekonomi yang mengalami
overheating karena dipicu oleh sektor perumahan maupun
maraknya penerbitan CP. Bahkan tanda-tanda itu satu dua tahun
sebelum krisis sudah terlihat, seperti terjadinya penurunan kinerja.

Pada 1995, sedikitnya 33 bank nondevisa beraset di bawah Rp500


miliar labanya pada semester I/1995 merosot 1,8% hingga 97,98%,
sekaligus menurunkan return on assets kelompok bank itu dari rata-
rata 0,91% menjadi 0,69%.

Berdasarkan laporan keuangan publikasi per Juni 1995-Juni 1996,


terungkap laba usaha 33 bank non-devisa mengalami penurunan,
kendati secara keseluruhan [64 bank] selama semester I tahun itu
keuntungan meningkat rata-rata 2,38% dibanding periode yang
sama 1995.

Data itu memperlihatkan prosentase penurunan laba terbesar


dialami Bank Kosa yang mencapai 97,98% dari Rp346 juta menjadi
Rp7 juta. Hingga Juni 1995 total aset bank ini Rp125,39 miliar [naik
23,06%]. Merosotnya perolehan laba kotor itu menjadikan tingkat
ROA-nya anjlok menjadi 0,01% dari sebelumnya 0,34%.

Penurunan laba cukup besar juga menimpa Bank Indomonex


[86,67%], disusul Bank Jasa Arta [84,07%], Bank Global [83,22%]
dan Bank Swaguna [80,79%].

Selama Juni 1995-Juni 1996 ke-64 bank non-devisa itu melakukan


ekspansi kredit rata-rata 39,98% jauh di atas peningkatan labanya
yang hanya 2,38%, sedangkan asetnya naik 46,35%.

Merosotnya laba bank-bank kecil ini karena kian berkurangnya


interest margin yang diperoleh. Ketatnya persaingan antarbank
berebut dana, menjadikan harga dana semakin mahal. Akibatnya
sulit meningkatkan laba. Tingginya suku bunga deposito yang harus
dibayar bank tidak sebanding dengan perolehan bunga dari kredit
yang disalurkan.

Selain itu, ketentuan Bank Indonesia agar bank meningkatkan giro


wajib minimum (reserve requirement-RR) dari 2% menjadi 3% yang
berlaku sejak Februari 1995 membuat biaya yang harus dikeluarkan
bank menjadi lebih besar. Karena bank juga tetap menyiapkan uang
tunai di banknya masing-masing sehingga total RR-nya mencapai
5%. Peningkatan RR berdampak pada loan to deposit ratio pada
bank, sehingga ekspansi kredit yang disalurkan tidak akan besar.
Penurunan laba bank non-devisa disebabkan menipisnya perolehan
spread akibat adanya kenaikan RR. Bank tidak dapat menaikkan
lagi tingkat bunga pinjamannya karena bila dilakukan tidak akan
kompetitif dibanding bank lain.

Rendahnya perolehan laba itu juga akibat bank nondevisa tidak


banyak memperoleh pendapatan fee based. Pendapatan di luar
hasil bunga bisa diraih bank devisa melalui pelayanan jasa
perbankan seperti letter of credit (L/C) dan transaksi valuta asing,
layanan ATM, maupun layanan teknologi informasi.

Semua hampir dialami oleh Bank Kosa, itu sebabnya dari 33 bank
nondevisa, kinerja bank itu merupakan yang paling buruk.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kondisi Bank
Kosa terus memburuk, hingga akhirnya pada 1 November 1997
pemerintah menerbitkan surat likuidasi atas bank yang diperkosa
bermain CP tersebut. Lagu haru mengantarkan Bank Kosa ke
pemakaman, bersama riuh rendah, sedu sedan dan tangis para
karyawannya.

Urusan dengan aparat

Di luar persoalan CP, pengurus Bank Kosa (bersama lima bank


lainnya) juga melakukan tindak kriminal, yakni melakukan
penyelewengan dana BLBI. Kesimpulan itu diperoleh dari hasil
penyelidikan ke penyidikan sejak 9 Januari 2002. Bank-bank itu
adalah Bank Putra Surya Perkasa (PSP), Bank Kosa Graha
Semesta (Bank Kosa), Bank Sewu, Bank Baja, dan Bank Papan
Sejahtera (BPS).

Setelah peningkatan status tersebut, Kejaksaan Agung juga telah


mencegah tiga pengelola dari dua bank pelaku penyelewengan
untuk bepergian ke luar negeri. Mereka adalah Eric Johannes
Lazuardi, mantan Direkktur Utama Bank Kosa, serta Irwandi
Pranata dan Ikhwan Miyono, keduanya mantan Dirut PT Bank PSP.
Selain melakukan pencegahan kepada para bankir bermasalah,
menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum)
Kejaksaan Agung Muljohardjo (ketika itu), Kejaksaan Agung
memeriksa tiga saksi untuk kasus Bank Kosa. Mereka yang
diperiksa jaksa adalah ketua tim care taker Bank Kosa Rusman
Effendi, wakil ketua tim Ong Gwat Jiang, dan anggota tim Maftowi
Saleh. Ketiganya diperiksa karena dianggap ikut mengetahui
penyaluran dana BLBI ke bank itu.

Audit terhadap Bank Kosa dilakukan oleh akuntan publik Prasetyo


Utomo & co yang hasilnya telah dilaporkan pada 16 Februasi 1998.
Tim penyidik juga memeriksa tim likuidasi Bank Indonesia dan
akuntan publik Prasetyo Utomo.

Meskipun telah meningkatkan status kelima bank ke tahap


penyelidikan, namun Kejaksaan Agung tidak bersedia mengungkap
para tersangkanya. Namun menurut sumber di kejaksaan,
tersangka antara lain adalah Eric, Irwandi, dan Ikhwan yang telah
lebih dulu dicekal
KoranTempo - Kejaksaan Sidik Lima Bank Penerima BLBI

Rabu, 23 Januari 2002.


Kejaksaan Sidik Lima Bank Penerima BLBIJAKARTA -- Kejaksaan Agung meningkatkan tahap
penanganan kasus lima bank pelaku penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dari penyelidikan ke penyidikan sejak 9 Januari 2002. Bank-bank itu adalah Bank Putra
Surya Perkasa (PSP), Bank Kosa Graha Semesta (Bank KGS), Bank Sewu, Bank Baja, dan Bank
Papan Sejahtera (BPS).

Setelah peningkatan status tersebut, Kejaksaan Agung juga telah mencegah tiga pengelola dari
dua bank pelaku penyelewengan untuk bepergian ke luar negeri. Mereka adalah Eric Johannes
Lazuardi, mantan Direkktur Utama PT Bank Kosa Graha Semesta, serta Irwandi Pranata dan
Ikhwan Miyono, keduanya mantan Dirut PT Bank PSP.

Selain melakukan pencegahan kepada para bankir bermasalah, menurut Kepala Pusat
Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Muljohardjo, Kejaksaan Agung
kemarin mulai memeriksa tiga saksi untuk kasus PT Bank KGS. Mereka yang diperiksa jaksa
Saman itu adalah ketua tim care taker Bank KGS Rusman Effendi, wakil ketua tim Ong Gwat
Jiang, dan anggota tim Maftowi Saleh. Ketiganya diperiksa karena dianggap ikut mengetahui
penyaluran dana BLBI ke bank itu.

"Dari hasil pemeriksaan oleh jaksa Saman, diketahui PT Bank KGS telah menerima dana BLBI
sebesar Rp 154 miliar dalam kurun waktu 13 Agustus - 31 Oktober 1997," ujar Muljohardjo.

Audit terhadap PT Bank KGS dilakukan oleh akuntan publik Prasetyo Utomo & co yang
hasilnya telah dilaporkan pada 16 Februasi 1998. "Rencananya tim penyidik juga akan
memeriksa tim likuidasi Bank Indonesia dan akuntan publik Prasetyo Utomo dalam waktu
dekat," kata Muljohardjo.

Meskipun telah meningkatkan status kelima bank ke tahap penyelidikan, sejauh ini pihak
Kejaksaan Agung belum bersedia mengungkap para tersangkanya. Namun menurut sumber,
tersangka antara lain adalah Eric, Irwandi, dan Ikhwan yang telah lebih dulu dicekal. Tersangka
lainnya adalah Lanny Ongkosubroto (Bank Sewu), Nyoo Kok Kiong (BPS), Jean Ronald Rea,
Benny Thee, dan Thai Sun (Bank Baja).

Selain mencekal ketiga mantan Dirut Bank, Kejaksaan Agung juga mengumumkan pencegahan
terhadap 6 pelaku tindak pidana korupsi untuk kasus proyek pengerukan sungai Mahakam dan
korupsi di Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK), dan korupsi pajak ekspor kayu log
di Jawa Tengah. Surat pencekalan ditandatangani Jaksa Agung bidang Intelejen Basri Arief pada
21 Januari 2002 dan berlaku satu tahun. sudrajat
DAFPUS

http://djonyedward.wordpress.com/2007/12/18/serial-blbi-bank-kosa-diperkosa-bermain-cp/

http://kumpulanberitalama.blogspot.com/2013/05/korantempo-kejaksaan-sidik-lima-
bank.html

Vous aimerez peut-être aussi