Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Terutama sejak tahun 1998, dalam waktu yang hampir bersamaan telah terjadi
beberapa perubahan mendasar di bidang ketenagakerjaan baik di Indonesia maupun di tingkat
dunia internasional. Perubahan tersebut secara langsung dan tidak langsung berdampak pada
sistem dan pelaksanaan hubungan industrial. Diantara perubahan tersebut adalah, pertama,
reformasi politik dan pemerintahan tahun 1998, di Indonesia. Melalui reformasi tersebut,
pengekangan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dirasakan selama
pemerintahan orde Baru menjadi eufora reformasi yang menjanjikan kebebasan dan
demokrasi. Eufora reformasi tersebut bukan saja berdampak pada pembentukan lebih dari
100 partai politik baru, akan tetapi juga pada pembentukan lebih dari 100 serikat pekerja.
Partisipasi pekerja dalam hubungan industrial dapat dilakukan secara langsung dan
atau melalui sistem perwakilan dalam bentuk serikat pekerja. Sebab itu, partisipasi pekerja
dalam hubungan industrial, juga merupakan perwujudan hak dan kebebasan pekerja untuk
berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh Konstitusi dan Undang-undang.
FBSI kemudian berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, SPSI, yang lebih
bersifat unitaris. Dengan penciutan SPSI menjadi beberapa departemen, banyak anggota
pimpinan FBSI dan SBLP tidak tertampung lagi dalam kepengurusan SPSI yang baru.
Mereka menolak bergabung dengan SPSI dan bermaksud membentuk serikat Pekerja yang
baru. Namun terbentur dengan peraturan yang membolehkan hanya satu organisasi pekerja,
SPSI seolah-olah mempunyai hak monopoli karena pekerja lain yang tidak suka dengan SPSI
tidak diperbolehkan membentuk serikat pekerja baru.
Pada tahun 1991, beberapa mantan pimpinan Serikat Pekerja, aktivis hak azasi
manusia dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membentuk Serikat Buruh Merdeka
(SBM). Setelah melakukan demonstrasi di Kantor ILO Jakarta bulan Juni 1991 menolak Drs
Cosmas Batubara, Menteri Tenagakerja RI, dicalonkan menjadi Presiden sidang Umum ILO,
SBM praktis tidak melakukan kegiatan lagi. Pada bulan April 1992 kembali aktivis LSM
dukungan beberapa Kedutaan asing mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI).
Berdasarkan kegiatannya yang dianggap Pemerintahan orde banu sangat radikal. SBSI terus
mendapat tekanan, sampai menjebloskan Ketua Umumnya, Dr. Muchtar Pakpahan, ke
penjara, SBSI terus bertahan sampai kemudian secara resmi diakui pada awal reformasi tahun
1998. Pada masa itu banyak pekerja yang merasakan pengekangan kebebasan berserikat.
Dengan reformasi, banyak pekera merasa telah memiliki kembali haknya untuk
berserikat. Serikat pekerja langsung tumbuh seperti jamur. Hingga akhir tahun 2003 sudah
terbentuk dan terdaftar di Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi 64 federasi serikat
pekerja dan lebih dari 100 serikat pekerja tingkat nasional yang non-afiliasi Demikian juga di
banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah berdiri Serikat Pekerja yang pada masa
Pemerintahan Orde Baru tidak dimungkinkan, Konvensi ILO Na. 87 dan No. 98 yang telah
diratifikasi Indonesia memungkinkan pembentukan lebih dari satu serikat pekerja di satu
perusahaan. Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja membuka
kesempatan pembentukan serika pekerja di perusahaan swasta dan BUMN dengan jumlah
anggota minimun 10 orang. Kondisi atau keberadaan serikat pekerja yang demikian menuntut
perubahan berbagai kelembagaan dan proses pelaksanaan hubungan industrial, antara lain
komposisi dan mekanisme kerja Lembaga Bipartit dan Tim Perunding di tingkat perusahaan.
Pengadilan, Hubungan Industrial Lembaga Tripartit, dan lain-lain.
2. Otonomi Daerah
3. Deklarasi ILO
Sebagaimana dikemukakan di atas, Konferensi ILO ke-86 bulan Juni 1998 telah
mengeluarkan satu Deklarasi yang intinya adalah bahwa semua negara anggota ILO
menyatakan kamitmen mereka untuk ratifikasi dan atau menerapkan prinsip-prinsip Konvensi
Dasar ILO. Konvensi Dasar tersebut kemudian berkembang yang kan menjadi 4 bidang yaitu
bidang:
a) Kebebasan dan perlindungan hak berserikat dan berunding bersama terdiri dari
Konvensi No, 87 dan No. 98
b) Larangan kerja paksa, terdiri dari Konvensi No.29 dan No.105
c) Larangan mempekerjakan anak, terdiri dari Konvensi No. 138 dan No. 182
d) Larangan diskriminasi dalam penerimaan dan perlakuan terhadap pekerja, terdiri dari
Konvensi No. 100 dan No. 111.
Konvensi dasar tersebut merupakan ketentuan minimum yang harus dipatuhi oleh
pengusaha dan Pemerintah di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Dengan demikian, perusahaan multinasional tidak mungkin menghindari kewajiban
melaksanakan Konvensi dasar tersebut misalnya dengan pindah ke negara tertentu.
4. Tantangan Globalisasi
Dalam rangka memenangkan persaingan tajam seperti itu, pengusaha dan serikat
pekerja harus bekerjasama. Bila mereka terus berselisih, bertikai, mogok dan berperkara,
perusahaan akan ambruk, dan akibatnya manajemen dan pekerja akan kehilangan kesempatan
kerja dan sumber penghasilan. Para pemimpin serikat pekerja di negara maju di dunia Barat
sudah memahami hal ini dan telah merobah sikap dan pola perjuangan. Yang dulu berjuang
secara konfrontatif kepada manajemen dengan menggunakan pemogokan. sekarang pimpinan
serikat pekerja mulai membangun kolaborasi dengan mengefektifkan dialog dan negosiasi.
Akhir-akhir ini, hampir tidak pernah lagl kedengaran berita pemogokan di negara-negara
maju tersebut.
Berbagai perubahan tersebut menuntut paradigma baru manajemen hubungan industrial serta
perubahan sikap para pelaku hubungan industrial itu sendiri, yaitu pengusaha, serikat pekeria
dan aparatur Pemerintah: Beberapa prinsip yang perlu terus dikembangkan adalah:
Manajemen dan pimpinan serikat pekerja sama sama membangun kemitraan dan
kerjasama.
Manajemen dan pimpinan serikat pekerja sama-sama mempunyai komitmen
membangun perusahaan, karena hanya dengan demikian kelangsungan perusahaan
dan kesempatan kerja dapat dipertahankan serta kesejahteraan pekerja dapat
ditingkatkan,
Manajemen dan pimpinan serikat pekerja perlu sama-sama meningkatkan kualitas
pekerja, bukan saja supaya profesional dalam melakukan pekerjaannya akan tetapi
supaya mampu berkompetisi dalam konstelasi internasional.
Manajemen dan pimpinan serikat pekerja harus sama-sama membangun hubungan
industrial yang harmonis, sama.sama menghindari pemaksaan sepihak dan
pemogokan, karena tindakan seperti itu selalu merugikan kedua belah pihak.
Setiap persoalan hubungan industrial diupayakan diselesaikan secara internal. Untuk
itu, forum konsultasi dan dialog seperti Lembaga Bipartit perlu terus difungsikan.
Dengan paradigma baru hubungan industrial sekarang ini, lembaga- lembaga
hubungan industrial perlu melakukan perubahan dan mekanisme kerja di berbagai
kelembagaan seperti Lembaga Bipartit, Tim Perunding. Lembaga Tripartit, dan
lembaga-lembaga lainnya.