Vous êtes sur la page 1sur 5

POJOKSATU.

id, JAKARTA – Baru diwacanakan dalam beberapa hari terakhir, full day school
langsung menjadi topik kontroversi di kalangan masyarakat. Terutama bagi para pemangku
kepentingan terkait pendidikan.

Hal tertsebut sebenarnya wajar-wajar saja. Sesuatu yang baru, meski baru gagasan, selalu
menjadi perbincangan. Komentar berdadatngan dari mana-mana, mulai dari kepala daerah
hingga lembaga yang pemerhati pendidikan.

Nah, apa yang membuat full day school ramai dibicarakan? Berikut sejumlah kekhawatiran dan
optimisme terkait program Mendikbud Muhadhir Effendy tersebut:

1. Full day school Murid dikhawatirkan mengalami stres

Rentang waktu yang panjang berada di sekolah dalam program full day school dihkawatirkan
akan membuat para murid SD dan SMP yang menjadi sasaran program ini menjadi jenuh
baghkan stres.

2. Murid kemungkinan besar kekurangan waktu bersama orangtua

Karena terlalu lama di sekolah, selama hampir 8 jam, dikhawatirkan akan mengurangi waktu
para murid dengan orangtuanya. Mereka akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain di
sekolah.

3. Akan semakin membuat orang tua lepas tanggungjawab

Selama ini, urusan keberhasilan siswa di sekolah selalu diserahkan kepada guru. Padahal, orang
tua mempunyai peran besar untuk kesuksesan anaknya. Dengan progran full day school, dimana
murid akan menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah, akan semakin membuat orang tua abai
atas tugas dan tanggungjawabnya.

4. Belum semua sekolah punya fasilitas memadai

Tujuan program full day school adalah supaya anak-anak selalu terawasi selama tidak berada di
dekat orangtuanya. Makanya mereka diharuskan berada di sekolah selama orang tuanya berada
di kantor.

Namun, kondisi ini tidak akan berjalan mulus, kalau sekolah tidak mempunyai sarana yang
cukup, untuk membuat siswa betah di sekolah. Setidaknya dibutuhkan anggaran untuk
memenuhi kebutuhan para murid selama berada di sekolah setelah waktu belajar. Fasilitas
bermain atau berlatih untuk kegiatan tertentu, perlu diadakan.

5. Penerapannya tidak bisa berlaku sama rata

Mengingat kondisi sosial anatar masyarakat di perkotaan dan pedesaan sangat berbeda, maka
program full day school tidak bisa diterapkan di semua daerah. Mungkin kalau di kota, program
ini bisa berjalan. Namun kalau di desa, para orang tua tidak banyak bekerja di luar rumah selama
seperti kerja kantoran di kota.

6. Full day school sangat membentu orangtua

Keuntungan program ini adalah supaya orang tua tidak perlu khawatir dengan anaknya selama
mereka bekerja di kantor, sebab anaknya berada dalam pengawsan sekolah. Di sisi lain, mereka
tidak akan terganggu dengan antar jemput anak selama jam kator.

Mengingat kondisi sosial anatar masyarakat di perkotaan dan pedesaan sangat berbeda, maka
program full day school tidak bisa diterapkan di semua daerah. Mungkin kalau di kota, program
ini bisa berjalan. Namun kalau di desa, para orang tua tidak banyak bekerja di luar rumah selama
seperti kerja kantoran di kota.

7. Waktu setelah jam belajar bisa digunakan untuk kegiatan positif

Selama berada di sekolah setelah jam belajar, para murid akan diberi kegiatan ekstra kurukuler,
seperti mengaji, olah raga kegemaran dan memberi penanaman nilai-nilai kearifan lokal,
mencintai sastra dan budaya.

8. Para murid akan punya banyak waktu dengan orang tua saat libur

Kebijakan full day school ini akan membuat waktu waktu sekolah dikurangi, Para murid akan
mendapat waktu libus selama dua hari, yakni Sabtu dan Minggu. Dengan begitu, mereka akan
mempunyai banyak waktu dengn orang tua selama masa liburan.

9. Akan menghindari kemacetan di kota-kota

Salah satu jam macet di kota-kota besar seperti Jakarta adalah waktu menjemput dan mengantar
anak sekolah. Jika program full day school diterapkan, setidaknya waktu jemput murid pada
siang hari akan ditiadakan. Itu artinya, di siang hari, mulai dari pukul 11 hingga 14 tidak akan
terjadi macet karena pulangnya anak sekolah.

10. Program ini bisa berjalan, karena sudah dipraktekkan sebelummya

Sebenarnya, Mendikbud Muhadjir Effendi terinspirasi dengan pemberlakuan sistem ful day
school dari sekolah-sekolah swasta yang ada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Makanya
program ini diyakini bisa berjalan.

Hanya saja, seperti yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, perlu ada kajian
konprehensih sebelum kebijakan itu diterapkan di sekolah-sekolah negeri. Selain itu, juga perlu
dilakukan proyek percontohan yang akan dievaluasi dampak baik buruknya.
kegiatan full day schoolakan menambah beban guru dan siswa. Guru bukan hanya mengurus
murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias
perlu diperhatikan.
Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan
protes. Dengan kegiatan belajar yang tidak sampai sore saja, guru banyak yang pulang sore
karena harus melaksanakan tugas lain, seperti menjadi wakil kepala sekolah, pembina
ekstrakurikuler, wali kelas, atau menyusun administrasi pembelajaran. Selain guru, siswa juga
berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah, apalagi
kalau program yang dilaksanakan sekolah kurang menarik atau kurang variatif. Waktu bermain
anak juga menjadi berkurang. Untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga
belajar atau mengaji pada sore hari.

Dalam konteks sosiologis, full day schooldinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya
atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan
lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap
tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman.

Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan full day
schooltentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru.
Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena
dia sampai rumah bisa waktu maghrib. Hal ini tentunya menyebabkan kelelahan bagi anak.

Sebagian pakar pendidikan menilai bahwa rencana Mendikbud menerapkan full day school
sebagai bentuk kekeliruan dalam menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah
pendidikan identik dengan persekolahan, padahal pendidikan jauh lebih luas dari persekolahan.
Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat.

Dengan demikian, sekolah hanya menjadi salah satu unsur dalam pendidikan. Banyak bukti
empirik menunjukkan bahwa orang-orang sukses bukan hanya orang yang memiliki prestasi
akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki keterampilan hidup (life skill)yang bagus.
Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa
kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh hard skill dan 80% oleh soft skill.
Pemberlakuan full day school hanya akan menempatkan sekolah sebagai penjara bagi siswa dan
membatasi mereka dalam melatih keterampilan hidup.

Kebijakan penerapan full day scholljuga berpotensi tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah
daerah tertentu, misalnya di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, dimana kegiatan belajar siswa
dimulai dari jam 06.00 sampai dengan 12.00. Setelah itu, siswa pulang ke rumah membantu
orang tua, memberikan makan binatang ternak, atau melakukan aktivitas lainnya. Berdasarkan
hal tersebut, penerapan full day scholl tentunya harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti
kondisi sekolah yang beragam, kondisi guru, kondisi siswa, dan kebijakan daerah setempat.

Bagi yang kontra pada FDS, ini alasannya.

1. Pembelajaran sehari penuh membutuhkan kesiapan fisik dan psikologis. Jika tidak siap, siswa
akan bosan bahkan frustasi. Anak tidak bisa berfikir dengan jernih. Konsentrasi belajar menjadi
terpecah antara urusan perut dan otak yang tidak lagi bisa berfikir. Meskipun siswa makan siang,
maka ini bukan menjadi solusi. Jika dipaksakan FDS, maka yang akan terjadi anak akan
mengantuk dan bosan di sekolah.

2. Anak-anak akan banyak kehilangan waktu untuk belajar tentang hidup bersama keluarganya di
rumah. Selain bercengkerama dengan keluarga di rumah, maka kegiatan sosial di masyarakat
juga berkurang. Tak sedikit anak yang tiap sore harus melakukan kegiatan di masjid atau
olahraga. Selain itu, waktu bermain anak juga berkurang bahkan tidak ada.

3. Konsep FDS juga mempersempit ruang interaksi siswa dengan lingkungan di luar sekolah
seperti keluarga dan teman-temannya. Anak-anak butuh berinteraksi dengan teman sebaya di
sekolah, di lingkungan tempat tinggal, dan dengan keluarga di rumah. Anak seusia SD sangat
membutuhkan waktu untuk bermain untuk tumbuh kembang mental dan fisiknya. Jika harus
seharian di sekolah, maka masa kecil anak akan terenggut.

4. Peran pendidikan karakter anak tidak hanya di sekolah saja, namun juga di rumah. Di rumah
orang tua dan lingkungan yang mengajarkan tentang pendidikan karakter dan budaya bangsa ini.
Jika anak harus seharian di sekolah maka pendidikan karakter yang telah diajarkan oleh orang
tua di rumah berkurang, bahkan menjadi tidak ada. Anak sangat kelelahan manakala orang tua
ingin menanamkan pendidikan di rumah sesuai dengan keinginan keluarga, misal waktu anak
belajar mengaji jadi berkurang, bahkan tidak ada.
5. FDS membutuhkan biaya yang lebih mahal dari pada sekolah yang 6 hari. Sekolah sampai
pukul 17.00 tentu akan membutuhkan uang saku yang lebih. Siswa harus mendapatkan nutrisi
yang bagus, tidak hanya sekedar makan. Otak diperas sampai sore jika hanya makan seadanya
maka tidak akan percuma saja belajar seharian.

6. FDS membutuhkan fasilitas sekolah yang memadai. Kenyatannya tak semua sekolah di
Indonesia memiliki fasilitas yang memadai. Terjadi kesenjangan yang tinggi antara fasilitas
sekolah di kota dan desa, apalagi sekolah yang ada di daerah pelosok.

7. Beban guru kian bertambah dengan adanya FDS. Guru juga manusia, bukan robot, jadi jika
beban di pundaknya terlalu berat harus mengajar sampai sore maka akan membuat beban psikis
dan fisik guru menjadi menurun. Sebelum menjajar maka guru sudah mempersiapkan mulai dari
perencanaan mengajar sampai evaluasi, ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tak jarang
guru harus melakukannya di luar waktu jam kerja, misal di rumah. Jika guru harus mengajar
sampai pukul 17.00 maka kapan guru memiliki waktu persiapan yang matang untuk persiapan
mengajar? Berbeda dengan karyawan, meskipun harus bekerja sampai sore bahkan malam
mereka tidak membutuhkan waktu untuk persiapan perencanaan bekerja. Guru juga memiliki
keluarga yang harus diperhartikan, bukan hanya seharian mengurus anak orang, sementara anak
sendiri kurang bahkan tidak terurus.

8. Guru juga memiliki beban tanggung jawab sosial di masyarakat, ini banyak terjadi di daerah
pedesaan. Tak jarang guru di masyarakat menjadi tokoh masyarakat yang menjadi panutan warga
di tempat tinggalnya. Jika harus seharian di sekolah, maka tanggung jawab sosial di masyarakat
akan berkurang.

Vous aimerez peut-être aussi