Vous êtes sur la page 1sur 65

RESUME KOMPILASI

SKENARIO 4: GATAL

COCCYX

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
SKENARIO : Gatal

Dimas 23 tahun, datang ke klinik pratama dengan keluhan gatal pada wajah dan seluruh
badannya, serta muncul bintik-bintik merah pada kulitnya. Keluhan tersebut terasa sehari
setelah dia belajar berenang bersama teman-temannya, tetapi teman-temannya tidak
mengeluhkan hal serupa. Bagaimana etiologi dan patofisiologi penyakit yang dialami
Dimas?

KLARIFIKASI ISTILAH

 Gatal : sensasi kulit yang memicu refleks untuk menggaruk area tertentu
pada tubuh.
 Etiologi : Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani αἰτιολογία, aitiologia, yang
artinya "menyebabkan". Etiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang penyebab
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi nya dan meliputi perjalanan agen
dalam menginfeksi penyakit.
 Patofisologi : Ilmu yang mempelajari gangguan fungsi atau perubahan-perubahan
mekanisme fisiologi yang disebabkan oleh penyakit pada organisme hidup meliputi
asal penyakit, permulaan perjalanan dan akibat.
 Gangguan sistem imun : Gangguan dalam pengawasan imun sehingga tidak terjadi
proses yang semestinya.
LEARNING OBJECTIVE
1. Sistem Integumentum
1.1. Anatomi dan Histologi Sistem Integumentum
1.1.1. Epidermis
1.1.2. Dermis
1.1.3. Struktur Aksesoris Kulit/Skin Appendages/Adnexa
1.1.4. Warna Kulit
1.2. Fisiologi Sistem Integumentum
1.2.1. Fungsi Proteksi
1.2.2. Fungsi Absorpsi
1.2.3. Fungsi Ekskresi
1.2.4. Fungsi Persepsi
1.2.5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)
1.2.6. Fungsi Pembentukan Vitamin D
2. Imunologi
2.1. Sistem/Komponen Imun
2.2. Akuisisi (Perolehan) Kekebalan
2.3. Mekanisme Kerja Sistem Imun
3. Flora Normal
3.1. Jenis-jenis Flora Normal (dalam atau luar tubuh)
3.2. Dampak Positif Flora Normal
3.3. Keadaan yang Membuat Flora Normal Merugikan
3.4. Pengertian dan Pembagian Flora Normal
4. Patofisiologi Reaksi Alergi dan Hipersensitivitas
5. Dasar Pengantar Parasitologi
6. Farmakologi AntiHistamin
1. Anatomi dan Histologi Sistem IntegumentumHistologis Epidermis
A. Epidermis
 Epidermis merupakan lapisan nonvascular yang dilapisi oleh epitel berlapis
pipih dengan lapisan tanduk.
 Dibagi menjadi 5 stratum [lapisan], yaitu:
a. Stratum Korneum
- Terletak paling luar
- Semua nucleus dan organel telah lenyap dari sel di lapisan ini
- Terdiri dari sel mati yang gepeng yang berisi filament keratin lunak.
- Sel superfisial di lapisan ini secara terus menerus dilepaskan atau
mengalami deskuamasi serta diganti oleh sel baru yang muncul dari
stratum basal.
- Selama proses keratinisasi, enzim-enzim hidrolitik merusak nucleus
dan organel sitoplasma yang kemudian lenyap ketika sel terisi oleh
keratin
b. Stratum Lucidum
- Lapisan initerletak tepat di atas stratum granulosum dan di bawah
staratum korneum.
- Sel-selnya tersusun rapat
- Tidak memiliki nucleus atau organel yang telah mati, inti melarut
sehingga tampak sebagai lapisan yang homogeny dan transparan.
- Mengandung filamen keratin yang padat
c. Stratum Granulosum
- Sel-selnya terisi granula keratohialin yang sifatnya basofilik.
- Dibentuk oleh 3 sampai dengan 5 lapisan sel gepeng.
- Granula tidak dibungkus membrane dan berkaitan dengan berkas
toxofilamen keratin.
d. Stratum Spinosum
- Terdiri dari 4 sampai 6 tumpukan sel
- Pada lapisan ini pembentukan filament keratin masih berlanjut dari
stratum basal.
- Bentuk sel pada lapisan ini adalah polihedris
e. Stratum Basal
- Lapisan paling dalam atau dasar pada epidermis
- Menghasilkan dan mengandung filament keratin intermediate
[filamentum keratini] yang meningkatkan jumlahnya sewaktu sel
bergerak ke atas
- Sering mengalami mitosis sehingga disebut stratum germinativum

Ditinjau dari jenis sel penyusunnya, epidermis mengandung empat jenis sel :
Di dalam epidermis terdapat empat sel, yaitu:
1. Keratinosit : sel epidermis yang sedang dalam pembentukan keratin, paling banyak di
epidermis. Keratin adalah protein keras dan resilien anti air serta melindungi
permukaan kulit yang terbuka. Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin
lunak yang berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang ada pada kuku
dan rambut. Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, maka nukleus sel
berdisintegrasi, menyebabkan kematian sel.
2. Sel langerhans : seperti makropahg yang berasal dari sum-sum tulang, penting dalam
pembentukan imunitas. Morfologi mirip melanosit, bentuk bintang, Pengecatan “emas
klorida” sel tampak hitam
3. Sel granstein : berperan dalam penyajian antigen kepada supressor-T sel, berperan
dalam sistem imunitas
4. Melanosit: berasal dari sel krista saraf, sel ini memiliki juluran sitoplasma becabang
ke dalam epidermis. Melanosit terletak antara statum basal dan statum spinosum
epidermis dan menyintesis pigmen coklat melanin, melanin di bentuk dari asam
amino tirosin oleh melanosit. Melanin memberi warna gelap pada kulit, dan
pemaparan kulit terhadap sinar matahari merangsang pembentukan melanin. Melanin
ada 2 macam, eumelanin dan feomelanin. Eumelanin adalah pigmen coklat tua yang
terdapat di antara sel-sel stratum basale dan dalam folikel rambut; Feomelanin adalah
pigmen yang ditemukan di dalam rambut merah dan mengandung sistein. Fungsi
melanin adalah melindungi kulit dari efek radiasi ultraviolet yang merusak.

B. Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
Stratum papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis yang membentuk
papilla corii. Jaringan tersebut terdiri atas sel – sel yang terdapat pada jaringan pengikat
longgar dengan serabut kolagen halus.
Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut – serabut
kolagen kasar yang jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar dengan permukaan. Di
dalamnya selain terdapat sel – sel jaringan pengikat terdapat pula sel khromatofor yang di
dalamnya mangandung butir – butir pigmen.
Di bawah stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung glandula
sudorifera yang akan bermuara pada epidermis.

Kulit Tipis
Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis yang
merupakan kulit tebal. Epidermisnya tipis, sedangkan ketebalan kulitnya tergantung dari
daerah di dalam tubuh.
Pada dasarnya memiliki susunan yang sama dengan kulit tebal,hanya terdapat beberapa
perbedaan :
1. Epidermis sangat tipis,terutama stratum spinosum menipis.
2. Stratum granulosum tidak merupakan lapisan yang kontinyu.
3. Tidak terdapat stratum lucidium.
4. Stratum corneum sangat tipis.
5. Papila corii tidak teratur susunannya.
6. Lebih sedikit adanya glandula sudorifera.
7. Terdapat folikel rambut dan glandula sebacea.

Subcutis atau Hypodermis


Merupakan jaringan pengikat longgar sebagai lanjutan dari dermis. Demikian pula
serabut-serabut kolagen dan elastisnya melanjutkan ke dalam dermis. Pada daerah-daerah
tertentu terdapat jaringan lemak yang tebal sampai mencapai 3 cm atau lebih,misalnya
pada perut. Didalam subcutis terdapat anyaman pembuluh dan syaraf.

Nutrisi Kulit
Epidermis tidak mengandung pembuluh darah, hingga nutrisinya diduga berasal
dari jaringan pengikat di bawahnya dengan jalan difusi melui cairan jaringan yang
terdapat dalam celah-celah di antara sel-sel stratum Malphigi.
Struktur halus sel-sel epidermis dan proses keratinisasi dengan M.E sel-sel dalam
stratum Malphigi banyak mengandung ribosom bebas dan sedikit granular endoplasmik
reticulum. Mitokhondria dan kompleks Golgi sangat jarang. Tonofilamen yang terhimpun
dalam berkas sebagai tonofibril didalam sel daerah basal masih tidak begitu pada
susunannya.
Di dalam stratum spinosum lapisan teratas, terdapat butir-butir yang di sekresikan
dan nembentuk lapisan yang menyelubungi membran sel yang dikenal sebagai butir-butir
selubung membran atau keratinosum dan mengandung enzim fosfatase asam di duga
terlibat dalam pengelupasan stratum corneum.
Sel-sel yang menyusun stratum granulosum berbeda dalam selain dalam
bentuknya juga karena didalam sitoplasmanya terdapat butir-butir sebesar 1-5 mikron di
antara berkas tonofilamen, yang sesuai dengan butir-butir keratohialin dalam sediaan
dasar.
Sel-sel dalam stratum lucidium tampak lebih panjang,inti dan organelanya sudah
hilang, dan keratohialin sudah tidak tampak lagi. Sel-sel epidermis yang terdorong ke atas
akan kehilangan bentuk tonjolan tetapi tetap memiliki desmosom.

Hubungan antara Epidermis dan Dermis


Epidermis melekat erat pada dermis dibawahnya karena beberapa hal:
 Adanya papila corii.
 Adanya tonjolan-tonjolan sel basal kedalam dermis.
 Serabut-serabut kolagen dalam dermis yang berhubungan erat dengan sel basal
epidermis.

C. STRUKTUR AKSESORIS KULIT / SKIN APPENDAGES / ADNEXA


Kulit merupakan suatu organ tunggal yang memiliki massa terbesar pada tubuh
manusia, dimana sekitar 15-20 % massa tubuh seseorang merupakan massa kulit yang
terbentuk. Kulit terdiri atas epidermis dan dermis. Taut epidermis dengan dermis
memiliki struktur yang tidak teratur.
Turunan epidermis membentuk rambut, kuku, kelenjar sebasea, dan kelenjar
keringat. Dibawah dermis terdaoat hypodermis / jaringan subkutan yang merupakan
jaringan ikat longgar yang mengandung bantalan adiposity. Jaringan subkutan megikat
kulit secara longgar pada jaringan dibawahnya.
1. MACAM-MACAM
1.1.Kuku

Kuku adalah lempeng sel epitel berkeratin pada permukaan dorsal setiap
falangs distal. Sebenarnya invaginasi yang terjadi pada kuku tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi pada rambut, selanjutnya invaginasi tersebut membelah dan
terjadilah sulcus matricis unguis, dan kemudian sel-sel di daerah ini akan
mengadakan proliferasi dan dibagian atas akan menjadi substansi kuku sebagai
keratin keras. Epitel yang terdapat di bawah lempeng kuku disebut nail bed.
Bagian proksimal kuku yang tersembunyi dalam alur kuku adalah akar kuku
(radix unguis).

Lempeng kuku yang sesuai dengan stratum korneum kulit, terletak di atas
dasar epidermis yang disebut dasar kuku. Pada dasar kuku ini hanya terdapat
stratum basale dan stratum spinosum. Stratum ujung kuku yang melipat di atas
pangkal kuku disebut sponychium, sedangkan di bawah ujung bebas kuku
terdapat penebalan stratum corneum membentuk hyponychium.
a. Struktur kuku
Alat kuku berpoliferasi membentuk matriks kuku, epidermis yang
tepat di bawahnya menjadi dasar kuku yang berbentuk U bila dilihat dari atas
dan diapit oleh lipatan kulit yang merupakan dinding kuku. Lempeng kuku
terdiri dari sisik epidermis yang menyatu erat dan tidak mengelupas. Badan
kuku berwarna bening sehingga kelihatan kemerahan karena ada pembuluh
kapiler darah di dalam dasar kuku.
Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke permukaan
lempeng kuku sebgai epikondrium atau kutikula.
b. Pertumbuhan kuku
Dengan bertambahnya sel-sel baru dalam akar, kuku menghasilkan
geseran lambat lempeng kuku di atas dasar kuku. Laju pertumbuhan kuku
rata-rata 0,5 mm perminggu.

1.2.Rambut

Rambut merupakan benang keratin elastic yang berkembang dari epidermis


dan tersebar disekujur tubuh kecuali telapak kaki dan telapak tangan, permukaan
dorsal falang distal, lingkung lubang dubur dan urogenital. Setiap rambut
mempunyai batang yang bebas dan akan yang tertanam dalam kulit.
Akar rambut dibungkus oleh folikel rambut yang berbentuk dari bagian
yang bersal dari epidermis (epitel) dan bagian yang berasal dari dermis (jaringan
ikat).
Rambut merupakan struktur berkeratin panjang yang berasal dari invaginasi
epitel epidermis. Rambut ditemukan diseluruh tubuh kecuali pada telapak tangan,
telapak kaki, bibir, glans penis, klitoris dan labia minora. Pertumbuhan rambut
pada daerah-daerah tubuh seperti kulit kepala, muka, dan pubis sangat
dipengaruhi tidak saja oleh hormon kelamin-terutama androgen-tetapi juga oleh
hormon adrenal dan hormon tiroid. Rambut tidak tumbuh terus-menerus setiap
waktu karena rambut memiliki masa pertumbuhan serta masa istirahat. Namun
jangka waktu masa pertumbuhan dan masa istirahat pada kulit berbeda-beda
bergantung pada area kuliat tersebut. Di kulit kepala, masa pertumbuhan
(anagen) dapat berlangsung beberapa tahun, sementara masa regresi folikel
(katagen) dan inaktivitas (telogen) bersama-sama dapat hanya berlangsung 3
hingga 4 bulan.
Pada jenis rambut kasar tertentu, sel-sel bagian pusat akar rambut pada
puncak papila dermis menghasilkan sel-sel besar, bervakuola, cukup berkeratin
yang akan membentuk medula rambut. Sel-sel yang terletak sekitar bagian pusat
dari akar rambut membelah dan berkembang menjadi sel-sel fusiform
berkelompok padat yang berkeratin banyak, yang akan membentuk korteks
rambut. Lebih ke tepi terdapat sel-sel yang menghasilkan kutikula rambut, sel-sel
paling luar menghasilkan sarung akar rambut dalam. Yang memisahkan folikel
rambut dari dermis ialah lapisan hialin nonseluler, yaitu membran seperti kaca
(glassy membrane), yang merupakan lamina basalis yang menebal. Sarung akar
rambut dalam ini memiliki 3 lapisan, pertama cuticula ranbut yang terdiri atas
lapisan tipis bangunan sebagai sisik dari bahan keratin yang tersusun dengan
bagian yang bebas kearah papilla rambut. Lapisan kedua yaitu lapisan Huxley
yang terdiri atas sel-sel yang saling beruhubungan erat. Dibagian dekat papila
terlihat butir-butir trikhohialin di dalamnya yang makin keatas makin berubah
menjadi keratin seperti corneum epidermis. Lapisan ketiga adalah lapisan Henle
yang terdiri atas satu lapisan sel yang memanjang yang telah mengalami
keratinisasi dan erat hubungannya satu sama lain dan berhubungan erat dengan
selubung akar luar.selubung akar luar berhubungan langsung dengan sel
epidermis dan dekat permukaan sarung akar rambut luar memiliki semua lapisan
epidermis.
Muskulus arektor pili tersusun miring, dan kontraksinya akan menegakan
batang rambut. kontraksi otot ini dapat disebabkan oleh suhu udara yang dingin,
ketakutan ataupun kemarahan. Kontraksi muskulus arektor pili juga menimbulkan
lekukan pada kulit tempat otot ini melekat pada dermis, sehingga menimbulkan
apa yang disebut tegaknya bulu roma. Sedangkan warna rambut disebabkan oleh
aktivitas melanosit yang menghasilkan pigmen dalam sel-sel medula dan korteks
batang rambut. Melanosit ini menghasilkan dan memindahkan melanin ke sel-sel
epitel melalui mekanisme yang serupa dengan yang dibahas bagi epidermis.
a. Struktur rambut
- Medula
Merupakn bagian tengah rambut yang longgar terdiri dari 2-3 lapis sel
kubis yang mengkerut satu sam lain, dan dipisahkn oleh ruang berisi
udara.
- Korteks
Merupakan bagian utama rambut yang terbentuk dari beberapa lapis sel
gepeng, panjang, dan berbentuk gelombang yang membentuk keratin
keras.
- Kutikula
Terdapat pada permukaan, selapis sel tipis, jernih dan kutikula tidak
berinti, kecuali yang terdapat pada akar rambut.
- Folikel rambut
Folikel rambut merupakan selubung yang terdiri dari sarung jaringan
ikat bagian luar (sarang akar dermis) yang berasal dari dermis dan
sarung akar epitel bagian dalam berasal dari epidermis. Folikel yang
mengembung membentuk bulbus rambut dan berhubungan dengan
papilla di tempat persatuan akar rambut dan selubungnya.
- Sarung akar asal dermis
Lapisan paling luar berkas serat kolagen kasar yang berjalan memanjang
sesuai dengan lapisan reticular dermis.
Lapisan tengah lebih tebal sesuai dengan lapisan papilla dermis. Lapisan
dalam berupa sabk homogeny sempit yang disebut glassy, membrane
basal di bawah epidermis. Sarung akar rambut luar mempunyai selapis
sel polyangonal yang menyerupai sel-sel stratum spinosum epidermis.
Sedangkan sarung akar rambut dalam merupakan sarung berat tanduk
yang membungkus akar rambut yang sedang tumbuh, menghasilkan
keratin lunak, juga ditemukan pada epidermis.
(Penampang membujur)
(Penampang melintang)
Terlihat :
1. Inner root sheat.
• - Lapisan kutikula,
• - Lapisan Huxley, &
• - Lapisan Henle.
• 2. External root sheat
• 3. Selubung jaringan ikat

1.3 Kelenjar-kelenjar kulit


1.3.1 Kelenjar Minyak (Glandula Sebacea)
Kelenjar ini bermuara pada leher folikel rambut dan sekret yang
dihasilkan berlemak (sebum), yang berguna untuk meminyaki rambut dan
permukaan kulit. Glandula ini bersifat holokrin. Glandula sebacea biasanya
disertai dengan folikel rambut kecuali pada palpebra, papila mammae, labia
minora hanya terdapat glandula sebacea tanpa folikel rambut.
Kelenjar ini terletak dalam dermis dan tidak terdapat pada kulit
telapak kaki dan tangan. Perkembangan dan pertumbuhan kelenjar sebasea
terutama terjadi selama pubertas di bawah control hormone, sekresi sebum
terjadi terus menerus dan bermanfaat untuk pemeliharaan kesehatan kulit.
1.3.2 Kelenjar keringat (Glandula Sudorifera)
Kelenjar keringat adalah kelenjar tubular bergelung yang tidak
bercabang, terdapat pada seluruh kulit kecuali pada dasar kuku, batas bibir,
glans penis dan gendang telinga. Kelenjar ini paling banyak terdapat pada
telapak tangan dan kaki. Bagian sekretorisnya terletak di dalam dermis atau
hypodermis dan bergabung membentuk massa tersendiri.
- Pars secretoria terdapat pada subcutis dibawah dermis. Bentuk
tubuler dengan bergelung-gelung ujungnya. Tersusun oleh
epitel kuboid atau silindris selapis. Kadang-kadang dalam
sitoplasma selnya tampak vakuola dan butir-butir pigmen. Di
luar sel epitel tampak sel-sel fusiform seperti otot-otot polos
yang bercabang-cabang dinamakan: sel mio-epitilial yang
diduga dapat berkontraksi untuk membantu pengeluaran
keringat kedalam duktus ekskretorius
- Ductus ekskretorius lumennya sempit dan dibentuk oleh epitel
kuboid berlapis dua. Kelenjar keringat ini bersifat merokrin
sebagai derivat kelenjar keringat yang bersifat apokrin ialah:
glandula axillaris, glandula circumanale, glandula mammae dan
glandula areolaris Montogomery.
Pars ekskretoris Pars sekretoris
Sel berlapis kubis Selapis sel kubis/silindris
Sitoplasma tercat lebih gelap Sitoplasma pucat
Pada membrana basalis Di antara epitel dan membran
basalis tampak sabut otot polos
myoepithel

Duktusnya keluar menuju epidermis dan berjalan berkelok-kelok


menyatu dengan epidermis dan berjalan spiral untuk mencapai permukaan
kulit. Tempat bermuaranya disebut pori keringat. Terdapat 2 macam
kelenjar keringat yaitu kelenjar keringat ekrin dan apokrin.
a. Kelenjar keringat ekrin
Tersebar diseluruh kulit tubuh, kecuali kulup penis bagian
dalam dan telinga luar, telapak tangan, telapak kaki dan dahi. Badan
kelenjar terdapat diantara perbatasan kulit ari (epidermis) dan kulit
dermis. Salurannya berkelok-kelok keluar dan berada pada lapisan
jangat yang berjalan lurus ke pori-pori keringat. Secara kolektif, 3 juta
kelenjar keringat ekrin pada rerata seseorang setara dengan massa
sebuah ginjal dan dapat menghasilkan sebanyak 10 liter/hari, yaitu
laju sekresi yang jauh melebihi laju sekresi kelenjar eksokrin lainnya.
Keringat adalah respons fisiologis terhadap peningkatan suhu tubuh
selama aktivitas fisis atau stres termal dan pada manusia, merupakan
cara terefektif untuk pengafuran suhu.
Bagian sekretorik dan duktus kelenjar keringat ekrin
bergelung dan memiliki lumen yang kecil. Bagian sekretorik
umumnya terpulas yang lebih pucat ketimbang duktus dan memiliki
epitel kuboid berlapis yang terdiri atas tiga tipe sel. Sel jernih pucat
berbentuk piramid atau kolumnar menghasilkan keringat dengan
sejumlah besar mitokondria dan mikrovili unfuk menambah luas
permukaan. Cairan interstisial dari dermis yang kaya akan kapiler di
sekitar kelenjar tersebut diangkut melalui sel jernih, baik secara
langsung ke dalam lumen atau ke dalam kanalikuli antarsel yang
membuka ke lumen. Sel yang berjumlah setara dengan sel jernih
adalah sel gelap yang melapisi sebagian besar permukaan luminal dan
tidak menyentuh lamina basal. Sel gelap bersifat mukoid dan terisi
dengan granul berisi glikoprotein dengan fungsi yang belum dipahami
tetapi mencakup komponen imunitas alami dengan aktivitas
bakterisidal. Sel mioepitelial di lamina basal menghasilkan kontraksi
yang membantu melepaskan secret ke dalam duktus.
Duktus kelenjar keringat ekrin terdiri atas dua lapisan sel
epitel yang lebih bersifat asidofilik dan terisi dengan mitokondria dan
memiliki membran yang kaya akan Na*, K*-ATPase. Sel-sel dukfus
ini menyerap ion Na* untuk mencegah kehilangan berlebih elektrolit
tersebut. Setelah dilepaskan pada permukaan kulit, keringat menguap
dan mendinginkan kulit. Selain fungsi pendinginan yang penting,
kelenjar keringat juga berfungsi sebagai organ ekskretorik tambahan /
yang menghilangkan sejumlah kecil limbah nitrogen dan kelebihan
garam.

b. Kelenjar keringat apokrin


Kelenjar keringat yang besar dan hanya dapat ditemukan
pada ketiak, kulit puting susu, kulit sekitar alat kelamin dan dubur.
Perkembangannya (tetapi bukan aktivitas fungsional) bergantung
pada hormon kelamin dan tidak tuntas hingga mencapai pubertas.
Kelenjar ini terletak lebih dalam dan saluran keduanya berbelok-
belok kemudian lurus menuju epidermis dan bermuara pada folikel
rambut.
Perbedaan histologis yang paling jelas antara kedua jenis
kelenjar keringat adalah lumen kelenjar apokrin yang lebih besar.
Bagian sekretorik kelenjar keringat apokrin terdiri atas selapis sel
kuboid eosinofilik dengan sejumlah besar granula sekretorik yang
mengalami eksositosis. Jadi, kelenjar tersebut mendapatkan nama
yang keliru: sel-sel tersebut memperlihatkan sekret merokrin dan
bukan apokrin. Lumen kelenjar apokrin sering memperlihatkan
simpanan produk yang kaya-protein dan sel mioepitelial membantu
memindahkannya.ke dalam muara duktus ke dalam folikel rambut.
Dinding duktus serupa dengan dinding kelenjar ekrin. Sekret yang
agak kental awalnya tidak berbau, tetapi dapat memiliki bau yang
khas akibat aktivitas bakteri. Produksi feromon oleh kelenjar apokrin
sangat jelas pada banyak mamalia dan mungkin pada manusia,
meskipun kapasitasnya sudah berkurang atau hampir hilang. Kelenjar
keringat apokrin disarafi oleh serabut saraf adrenergic, sedangkan
kelenjar keringat ekrin menerima serabut kolinergik.
Kelenjar keringat Ekrin Kelenjar Keringat Apokrin

Kecil-kecil, terletak dangkal di dermis, Lebih besar, terletak lebih dalam,


sekret encer. sekret kental
Di seluruh permukaan kulit, terbanyak Di aksila, areola mamae, pubis, labia
di telapak tangan, telapak kaki, dahi, minora, saluran telinga luar
dan aksila
Lumen teratur Lumen tidak teratur karena ada
sebagian sel berubah menjadi secret
1.3.3 Kelenjar payudara (glandula mamae)
Glandula mamae termasuk kelenjar kulit karena berasal dari lapisan
ektodermal yang secara fungsional termasuk sistem reproduksi. Kelenjar ini
terletak di atas fasia pektoralis superfisilis yang dihubungkan dengan
perantaraan jaringan ikat longgar dan jaringan lemak. Kelenjar ini melekat
erat dengan kulit diatasnya. Disekitar putting susu (papila mamae) terdapat
reticulum kutis yang tumbuh dengan baik dan dinamakan ligamentum
suspensorium. Ke dalam putting susu bermuara 15-20 duktuli laktiferus.
Disekitar papilla mamae terdapat areala mamae yang mengandung
kelenjar sebasea montgomeri (glandula areola mammae) yang berfungsi
untuk melindungi dan melicinkan putting susu pada waktu bayi mengisap.
Pada wanita yang tidak hamil dan tidak menyusui, alveoli tampak kecil dan
padat berisi sel-sel granular. Pada waktu hamil, alveoli akan membesar dan
sel-sel membesar.

Warna Kulit
1. Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan sel ini berasal
dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah
melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna
kulit ras maupun individu. Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen
kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.

2. Pigmentasi kulit
Warna kulit ditentukan oleh faktor warna kulitnya sendiri. Kandungan karoten
(pigmen) darah pada pembuluh darah, karoten memberi warna kuning pada kulit,
dermis memberikan warna kemerahan dan kandungan pigmen melanin memberikan
bayangan coklat.
Melanin terletak di dalam lapisan basal dan bagian bawah lapisan taju yang
dibuat oleh epidermis khusus yaitu melanosit yang bertebaran diantara keratinosit lapis
basal dan lapis taju dalam folikel rambut dan jaringan ikat dermis. Perbedaan warna
kulit disebabkan oleh karena perbedaan jumlah dan ukuran melanosom di dalam
keratinosit.
Pigmentasi kulit tergantung dari berbagai faktor yaitu keturunan, hormone, dan
lingkungan. Faktor genetic mempengaruhi ukuran satuan melanin epidermis. Hormone
pemacu malanosit MSH (melanosit stimulating hormon) merangsang perpindahan
melanosom ke dalam cabang-cabang sitoplasma melanosit dan keratinosit. Faktor
lingkungan seperti ultraviolet meningkatkan kegiatan enzim melanosit serta
meningkatkan produksi melanin dan penimbunannya di dalam keratinosit sehingga
kulit menjadi coklat.

Macam-Macam Keratin
Di dalam kulit serta apendiksnya terdapat dua macam keratin, yaitu keratin lunak dan
keratin keras. Keratin lunak selain terdapat pada folikel rambut juga terdapat di permukaan
kulit. Keratin lunak dapat diikuti terjadinya pada epidermis yang dimulai dari stratum
granulosum dengan butir-butir keratohyalinnya, kemudian sel-sel menjadi jernih pada stratum
lucidum dan selanjutnya menjadi stratum korneum yang dapat dilepaskan. Sedangkan keratin
keras terdapat pada cuticula, cortex rambut dan kuku. Keratin keras dapat diikuti terjadinya
mulai dari sel-sel epidermis yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit dan akhirnya
berubah menjadi keratin keras yang lebih homogen. Keratin keras juga lebih padat dan tidak
dilepaskan, serta tidak begitu reaktif dan mengandung lebih banyak sulfur.

Regenerasi Kulit
Dalam regenerasi ini ada 3 lapisan yang diperhitungkan, yaitu epidermis, dermis dan
subcutis. Regenerasi kulit dipengaruhi juga oleh faktor usia, dimana semakin muda, semakin
bagus regenerasinya.
2. Fisiologi Sistem Integumentum
2.1. Fungsi Proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara yaitu sebagai berikut:
- Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat seperti
batu bata di permukaan kulit.
- Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan dehidrasi;
selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh melalui kulit.
- Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di
permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi keringat, akan
menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba.
- Pigmen melanin melindungidari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada stratum
basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya.
Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi
genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan pada proteksi oleh
melanin, maka dapat timbul keganasan.
- Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai selimun yang protektif. Yang pertama
adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap mikroba.
Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang
masukmelewati keratin dan sel Langerhans.

2.2. Fungsi Absorbsi


Absorbsi pada kulit dipengaruhi oleh tebal-tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban,
metabolisme, jenis vehikulum. Penyerapan dapat melalui celah antar sel, menembus
sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar. Kulit tidak dapat menyerap air, tetapi
dapat menyerap bahan-bahan larut lemak seperti vitamin A, D, E, K.

2.3. Fungsi Ekskresi


Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut dan
melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen (Harien, 2010). Sebum
dikeluarkan ketika muskulus arektorpili berkontraksi menekan kelenjar sebasea
sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum
tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan elektrolit.
Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri, melumasi dan memproteksi
keratin (Tortoradkk., 2006).
2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat keluar
dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari (Djuanda, 2007). Seorang
yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat tambahan, dan bagi
orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air dan panas,
keringat juga merupakan sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan
dua molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea (Martini, 2006).
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan
kelenjar keringat merokrin.
- Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan pubis,
serta aktif pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang kental dan bau
yang khas (Djuanda, 2007). Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika ada
sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel yang ada di
sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar keringat apokrin.
Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan sekretnya ke folikel rambut
lalu ke permukaan luar (Tortoradkk., 2006).
- Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan dan
kaki. Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrienorganik, dan sampah
metabolism (Harien, 2010). Kadar pH-nya berkisar 4,0−6,8 dan fungsi dari
kelenjar keringat merokrin adalah mengatur temperatur permukaan,
mengekskresikan air dan elektrolit serta melindungi dari agen asing dengan
cara mempersulit perlekatan agen asing dan menghasilkan dermicidin, sebuah
peptida kecil dengan sifat antibiotik (Djuanda, 2007).

2.4. Fungsi Persepsi


Kulit adalah organisme sensorik bagi lingkungan luar. Banyak ujung saraf
sensorik terbungkus dan bebas di dalam kulit merespons perubahan suhu (panas dan
dingin), sentuhan, nyeri, dan tekanan. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik
di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan
Ruffini di dermis dan subkutis.Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause
yang terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.
Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf
sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.

2.5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termogulasi)


Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui
dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler.
Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta
memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari
tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit
keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi
pengeluaran panas oleh tubuh.

2.6. Fungsi Pembentukan Vitamin D


 Epidermis membentuk vitamin D jika terkena sinar matahari
 Vitamin D yang berasal dari molekul prec
 kursor yang disintesis dalam epidermis, berkaitan dengan kolesterol mendorong
penyerapan Ca2+ dari saluran cerna kedarah. Biasanya diperlukan suplemen
vitamin D dalam makanan karena kulit umumnya tidak terpajan ke sinar
matahari dalam jumlah memadai untuk menghasilkan zat ini secara adekuat.
 Vitamin D digunakan untuk absorbsi kalsium dari mukosa usus dan
metabolisme mineral yang memadai

3. Imunologi
3.1. Sistem / Komponen Imun
Tubuh kita memiliki jalur / mekanisme dalam menjaga imun tubuh dan melawan
pathogen :
a. Pengenalan (recognition), untuk:
- mengenal dan mendeterminasi substansi asing secara spesifik
- menyeleksi molekul yang bersifat imunogenik
- membedakan komponen sendiri (self) dari substansi asing (nonself).
b. Tanggapan (respon), untuk:
Mengerahkan bermacam-macam sel dan molekul sehingga menghasilkan
reaksi yang sesuai dan tepat untuk melawan dan menetralkan substansi/organisme
yang masuk.

Imun terdiri dari imun innate dan imun adaptif


A. INNATE IMMUN
Innate immunity atau kekebalan alami adalah pertahanan paling awal pada
manusia untuk mengeliminasi mikroba patogen bagi tubuh. Innatte immunity
merupakan kekebalan non-spesifik. Artinya semua bentuk mikroba yang masuk akan
dieliminasi tanpa memperhatikan jenis dari mikroba itu. Pada imunitas bawaan ini
memiliki dua sistem pertahanan, pertahanan tingkat pertama dan pertahanan tingkat
kedua. Pada pertahanan tingkat pertama tubuh akan dilindungi dari segala macam
mikroba patogen yang menyerang tubuh secara fisik, kimia dan flora normal
opurtunistik, yang akibat menurunnya kekebalan tubuh menjadi patogeg bagi kita.
Dan pertahanan kedua yang dilakukan oleh tubuh untuk melawan mikroba
patogen meliputi fagosit, inflamasi demam dan substansi antimikroba. Yang termasuk
sel fagosit adalah makrofag, sel dendrit, neutrofil. Sedangkan Inflamasi merupakan
respon tubuh terhadap sel yang rusak, repon ini ditandai dengan adanya kemerahan,
nyeri, panas, bengkak. Tujuan inflamasi adalah untuk membatasi invasi oleh mikroba
agar tidak menyebar lebih luas lagi, serta memperbaiki jaringan atau sel yang telah
rusak oleh mikroba. Dan jenis pertahanan kedua yang terakhir yaitu substansi
mikroba.
Substansi mikroba yang dimaksud adalah komplemen. Sistem komplemen
merupakan sistem yang penting dalam innate immunity karena fungsinya sebagai
opsonisator untuk meningkatkan fagositosis sel fagosit dan kemoatrtaktor untuk
menarik sel-sel radang yang menyebabkan inflamasi.
Sedangkan menurut Sherwood (2001) sistem imun bawaan atau sistem imun
nonspesifik adalah respon pertahanan inheren yang secara nonselektif
mempertahankan tubuh dari invasi benda asing atau abnormal dari jenis apapun,
walaupun baru pertama kali terpajan. Respon ini membentuk lini pertama pertahanan
terhadap berbagai faktor yang mengancam, termasuk agen infeksi, iritan kimiawi, dan
cedera jaringan yang menyertai trauma mekanis atau luka bakar termasuk dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme.

Fungsi utama dari sistem imun turunan vertebrata yaitu:


1. Mengambil sel imun ke wiayah infeksi dan inflamasi, melalui produksi faktor
kimia, termasuk mediator kimia terspesialisasi yang disebut sitokin.
2. Aktivasi lembah komplemen untuk mengidentifikasi bakteri, mengaktivasi sel
dan melakukan pembersihan sel mati atau sisa-sisa antibodi.
3. Identifikasi dan memindahkan substansi asing yang terdapat pada organ,
jaringan, darah dan limpa, oleh sel darah putih yang terspesialisasi.

Macam-macam innate imune (kekebalan bawaan)


Innate immune atau kekebalan bawaan merupakan salah satu macam dari kekebalan
bawaan.

Komponen lain yang berperan sebagai innate immunity :


Sel mast
Sel mast adalah tipe sel imun turunan yang berdiam di antara jaringan dan di
membran mucus, dan sel mast sangat berhubungan dengan bertahan melawan
patogen, menyembuhkan luka, dan juga berkaitan dengan alergi dan anafilaksis.
Ketika diaktivasi, sel mast secara cepat melepaskan granula terkarakterisasi, kaya
histamin dan heparin, bersama dengan berbagai mediator hormonal, dan kemokin,
atau kemotaktik sitokin ke lingkungan. Histamin memperbesar pembuluh darah,
menyebabkan munculnya gejala inflamasi, dan mengambil neutrofil dan makrofaga.
Basofil dan Eosinofil
Basofil dan eosinofil adalah sel yang berkaitan dengan neutrofil. Ketika
diaktivasi oleh serangan patogen, basofil melepaskan histamine yang penting untuk
pertahanan melawan parasit, dan memainkan peran dalam reaksi alergi (seperti asma).
Setelah diaktivasi, eosinofil melepaskan protein yang sangat beracun dan radikal
bebas yang sangat efektif dalam membunuh bakteri dan parasit, namun juga
bertanggung jawab dalam kerusakan jaringan selama reaksi alergi berlangsung.
Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah
penghancuran jaringan yang tidak diperlukan.
Sel pembunuh alami
Sel pembunuh alami adalah komponen dari sistem imun turunan. Sel
pembunuh alami menyerang sel yang terinfeksi oleh mikroba, namun tidak
menyerang mikroba tersebut. Sel pembunuh menyerang dan menghancurkan sel
tumor, sel yang terinfeksi virus, dan sebagainya dengan proses yang disebut dengan
“missing-self”. Istilah ini muncul karena rendahnya jumlah penanda (marker)
permukaan sel yang disebut MHC I (major histocompatibility complex), suatu
keadaan yang muncul ketika terjadi infeksi. Mereka dinamai sel pembunuh alami
karena mereka bergerak tanpa membutuhkan aktivasi.

Kesimpulan :
1. Kekebalan bawaan atau innate imunity merupakan suatu mekanisme pertahanan
tubuh yang paling pertama sehingga tubuh tidak terkena atau terlindungi dari berbagai
mikroba pathogen. Tetapi sistem pertahanan ini belum bisa mengenali mikroba
patogen secara spesifik atau masih bersifat umum untuk semua jenis mikroba.
2. Kekebalan bawaan di bagi menjadi dua langkah pertama pertahanan pertama
meliputi secara fisik, kimia dan flora normal yang ada di dalam tubuh. Pertahanan
kedua meliputi fagosit, inflamasi demam dan substansi antimikroba.

B. ADAPTIVE IMMUNOLOGY
Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh
disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang melibatkan
limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis keturunan ( sel B ). B Cells
(with co-stimulation) berubah menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. The co-
stimulation sel B dapat berasal dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel dendritik .
Seluruh proses ini dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.
Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti virus atau
bakteriKekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori yang
menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat germinal
pembentukan isotipe switching, pematangan afinitas dan memori sel generasi. Hal ini
juga mengacu pada efektor fungsi antibodi, yang mencakup netralisasi patogen dan
racun, classical complement activation, and opsonin phagocytosis dan eliminasi
patogen.
3.2. Akuisisi ( Perolehan ) Kekebalan
Kekebalan dapat dalam dua golongan besar :
I. Kekebalan alam (natural immunity), sudah ada sejak lahir
II. Kekebalan didapat (acquired immunity), didapat selama hidup

I. Kekebalan alam:
Di antara manusia dan binatang berbagai jenis ditemukan perbedaan dalam hal
kekebalan terhadap berbagai macam penyakit. Faktor konstitusi atau faktor lain yang
tidak diketahui dapat menimbulkan kekebalan alam berupa:
1. Kekebalan ras (racial immunity)
Telah ditemukan secara statistik bahwa orang kulit berwarna ternyata lebih
peka terhadap penyakit tuberkulosis daripada orang kulit putih.
2. Kekebalan spesies (species immunity)
Penyakit lepra dan gonore secara alamiahnya terdapat pada manusia dan
tidak ditemukan pada binatang. Penyakit tetanus yang terdapat pada manusia dan
kuda, tidak terdapat pada burung. Penyakit anthrax yang ditemukan pada ternak,
tidak terdapat pada anjing atau kucing.
3. Kekebalan perorangan (personalimmunity)
Ditemukan perbedaan kepekaan terhadap satu jenis penyakit pada beberapa
orang di dalam satu spesies atau ras.

Diketahui juga faktor-faktor antimikroba yang bekerja tidak khas yang


membantu kekebalan alam:
a. Kulit
Tebal kulit dengan lapisan strarum korneum dapat menghambat masuknya
kuman dan sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sebaseum yang mengandung
asam laktat dan asam lemak akan menurunkan pH kulit sehingga bersifat
bakteriostatik atau bakterisid.
b. Selaput lendir
Selaput lendir saluran pernapasan yang rertutup silia merupakan
penghalang bagi kuman dan benda asing lainnya. Pergerakan silia ke satu arah
dan refleks batuk mengusahakan keluarnya kuman dari saluran pernapasan.
Selaput lendir saluran pencernaan dilindungi oleh beberapa sekret seperti air
ludah yang mengandung lisozim, cairan lambung yang mengandung asam
lambung dan kelenjar empedu yang mengeluarkan zat empedu yang dapat
melisiskan kuman pneumokokus. Sekresi lendir atau mukus dapat menahan
masuknya virus ke dalam sel karena mampu berkompetisi dengan reseptor pada
sel untuk neuraminidase pada virus.
c. Fagositosis
Sel leukosit polimorf dan sel makrofag dapat melakukan fagositosis
kuman. Kuman ini masuk ke dalam fagosom yang kemudian bergabung dengan
granula lisosom membentuk fagolisosom yang mampu menghancurkan kuman.
d. Reaksi radang
Reaksi yang timbul terhadap kuman dan kerusakan pada jaringan
menimbulkan dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler.
Akibatnya adalah keluarnya sel polimorf dan makrofag ke dalam sela-sela
jaringan dan transudasi serum yang mengandung beberapa faktor yang bersifat
bakterisid:
 protein C - reaktif, zat yang tidak menyerupai imunoglobulin yang dapat
mengendapkan C karbohidrat kuman pneumokokus dengan adanya ion Ca2+
 properdin, yang bekerja sama dengan sistem komplemen dan ion Mg2+
dapat menghancurkan kuman melalui aktivasi jalan metabolisme alternatif
reaksi komplemen.
e. Interferon
Suatu zat anti virus bersifat tidak khas yang atau dapat menghambat
replikasi virus di dalam sel. Daya pertahanan tubuh yang berdasarkan faktor-
faktor tidak khas tersebut di atas merupakan daya pertahanan yang amat penting,
akan tetapi daya pertahanan tubuh yang berdasarkan kekebalan didapat ternyata
lebih penting lagi dan merupakan daya vital untuk kelangsungan hidup manusia.

II. Kekebalan didapat


Pada kekebalan yang didapat, pencegahan terjadinya penyakit ditujukan pada
bahan asing yang masuk ke dalam jaringan tubuh, mungkin berupa kuman tertentu,
virus atau toksin. Bahan asing yang masuk disebut "antigen" dan terhadap antigen ini
dalam tubuh dibentuk bahan yang disebut Antibodi yang termasuk zat
imunoglobulin, dapat disuntikkan ke dalam orang lain dan akan memberi proteksi
kepada orang lain. Dengan demikian dikenal berbagai cara untuk mencapai
kekebalan.
3.3. Mekanisme Sistem Imun
Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam. Prinsipnya adalah
terjadi pengikatan antigen oleh antibodi, yang selanjutnya antigen yang telah diikat
antibodi akan dimakan oleh sel makrofag. Berikut ini adalah cara pengikatan antigen
oleh antibodi.
 Netralisasi. Antibodi menonaktifkan antigen dengan cara memblok bagian
tertentu antigen. Antibodi juga menetralisasi virus dengan cara mengikat bagian
tertentu virus pada sel inang. Dengan terjadinya netralisasi maka efek merugikan
dari antigen atau toksik dari patogen dapat dikurangi.
 Aglutinasi. Penggumpalan partikel-partikel antigen dapat dilakukan karena
struktur antibodi yang memungkinkan untuk melakukan pengikatan lebih dari
satu antigen. Molekul antibodi memiliki sedikitnya dua tempat pengikatan
antigen yang dapat bergabung dengan antigen- antigen yang berdekatan.
Gumpalan atau kumpulan bakteri akan memudahkan sel fagositik (makrofag)
untuk menangkap dan memakan bakteri secara cepat.
 Presipitasi. Prinsip pengendapan hampir sama dengan penggumpalan, tetapi pada
pengendapan antigen yang dituju berupa antigen yang larut. Pengikatan antigen-
antigen tersebut membuatnya dapat diendapkan, sehingga selsel makrofag mudah
dalam menangkapnya.
 Aktivasi. Komplemen Antibodi akan bekerja sama dengan protein komplemen
untuk melakukan penyerangan terhadap sel asing. Pengaktifan protein
komplemen akan menyebabkan terjadinya luka pada membran sel asing dan
dapat terjadi lisis.
 Sistem imun dapat mengenali antigen yang sebelumnya pernah dimasukkan ke
dalam tubuh, disebut memori imunologi. Dikenal respon primer dan respon
sekunder dalam sistem imun yang berkaitan dengan memori imun. Berikut ini
adalah gambaran respon primer dan sekunder.

3.4. Sistem Imun Bawaan


Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan memiliki
respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang sehat. Sistem
imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam menghadapi infeksi dan tidak perlu
menerima pajanan sebelumnya, bersifat tidak spesifik karena tidak ditunjukkan terhadap
patogen atau mikroba tertentu, telah ada dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak
menunjukkan spesifitas dan mampu melindungi tubuh terhadap patogen yang
potensial.Manifestasi respon imun alamiah dapat berupa kulit, epitel mukosa, selaput
lendir, gerakan silia saluran nafas, batuk dan bersin, lisozim, IgA, pH asam lambung.
Pertahanan bawaan juga mencakup :
 Inflamasi
Respons non spesifik terhadap cedera jaringan. Tujuan terjadi inflamasi (1)
mengisolasi, meghancurkan atau menginaktifkan penyerang; (2) membersihkan
debris; dan (3) mempersiapkan penyembuhan dan perbaikan.
 Interferon
Interferon adalah suatu kelompok tiga sitokin yang saling terkait, dilepaskan dari sel
yang terinfeksi virus dan segera menyediakan pertahanan nonspesifik terhadap
infeksi virus yang sama atau tidak berhubungan di dalam sel pejamu lain. Interferon
memiliki efek, yakni :
- Efek Antivirus
Ketika suatu virus menginvasi sebuah sel, sel tersebut menyintesis dan
menyekresikan interferon sebagai respons terhadap pejanan asam nukleat virus.
Kemudian interferon berikatan dengan reseptor sel, memberi sinyal ke sel-sel
tersebut untuk bersiap menghadapi kemungkinan serangan virus. Karena itu,
interferon juga disebut sebagai “pemberi peringatan”. Interferon tidak memiliki
efek antivirus secara langsung, zat ini memicu pembentukan enzim penghambat
virus oleh penjamu.
Interferon dibebaskan secara non-spesifik dari semua sel yang terinfeksi oleh
virus apapun dan dapat mengiduksi aktivitas proteksi-diri temporer terhadap
berbagai virus di sel lain yang dicapainya. Selain mempermudah inhibisi
replikasi virus, interferon memperkuat aktivitas imun lain. Contohnya, interferon
meninkatkan aktivitas fagosit makrofag, merangsang membentukan antibodi,
dan meningkatkan kemampuan sel-sel pemusnah.
- Efek Anti Kanker
Interferon sangat meningkatkan efek sel-sel pemusnah, natural killer cells, yang
menyerang dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker.
Interferon juga menghambat pembelahan sel dan menekan pertumbuhan tumor.
 Sel Pembunuh Alami
Sel pembunuh alami atau sel natural killer (NK) adalah sel alami mirip limfosit yang
secara non-spesifik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker dengan
mengeluarkan bahan-bahan kimia yang secara langsung melisiskan membran sel-sel
tersebut pada pajanan pertama terhadapnya. Sel NK menyeddiakan pertahanan non-
spesifik dan segera terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker sebelum sel T
sitotoksik yang lebih spesifik dan lebih banyak berfungsi.
 Sistem Komplemen
Sistem komplemen adalah mekanisme pertahanan lain yang bekerja secara
nonspesifik sebgai respons terhadap invasi organisme. Sistem ini dapat diaktifkan
dengan dua cara :
- Oleh pejanan ke rantai karbohidrat tertentu yang terdapat di ppermukaan
mikroorganisme tetapi tidak terdapat di sel manusia, suatu respons imun bawaan
non-spesifik yang dikenal sebagai jalur komplemen alteratif.
- Oleh pejanan ke antibodi yang dihasilkan terhadap mikro organisme penginvasi
spesifik, suatu respons imun didapat yang dikenal sebagai jalur komplemen
klasik.

3.5. Sistem Imun Didapat


Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang
dianggap asing. Benda asing yang pertama kali muncul akan segera dikenali dan terjadi
sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan
dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan.Respon sistem imun spesifik lebih lambat
karena dibutuhkan sensitisasi oleh antigen namun memiliki perlindungan lebih baik
terhadap antigen yang sama. Sistem imun ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T
yang berasal dari sel progenitor limfoid.
 Sistem Imun Spesifik Humoral
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B
yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama
antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya. Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap
molekul antigen.
Sel B memiliki reseptor yaitu reseptor sel B (RSB) dipermukaannya untuk mengikat
satu jenis tertentu dari sejumlah kemungkinan antigen. Sel B dapat berikatan dengan
dan dapat diktifkan langsung oleh antigen polisakarida tanpa adanya bantuan dari sel
T, antigen independen-T, kemudian merangsang antibodi tanpa bantuan keterlibatan
sel T. Sebaliknya, antigen dependen-T, yang biasanya merupakan antigen protein,
tidaak secara langsung merangsang produksi antibodi tanpa bantuan dari sel T helper.
Ketika RSB dirangsang oleh antigen, sebagian besar berdiferensiasi menjadi sel
plasma aktif sedangkan sebagian menjadi sel memori yang dorman. Sel plasma
menghasilkan antibodi yang dapat berikatan dengan jenis antigen tertenntu yang
merangsang pengaktifan sel plasma tersebut. Selama berdiferensiasi menjadi sel
plasma, sel B membengkak karena retikulum endoplasma kasar sangat
berekspansi.Karena antibodi adalah protein, sel plasma memproduksi protein dalam
jumlah besar sehingga sel tersebut tidak dapat memproduksi protein untuk dirinya
sendiri sehingga sel plasma mati setelah menjalani masa produktif.
Antibodi yang dikenal sebagai imunoglobulin, dikelompkkan menjadi lima
subkelasberdasarkan perbedaan dalam aktifitas biologisnya:
 IgM berfungsi sebagai RSB untuk perlekatan antigen dan diproduksi pada tahap-
tahap awal respons plasma.
 IgG, imunoglobulin terbanyak dalam darah, diproduksi dan disekresikan dalam
jumlah besar ketika tubuh terpejan antigen yang sama. IgG menghasilkan
sebagian respons imun spesifik terhadap bakteri penginvai.
 IgE ikut melindungi tubuh dari cacing parasitik dan merupakan mediator
antibodi untuk respons alergi umum.
 IgD terdapat di permukaan banyak sel B tetapi fungsinya belum diketahui.

 Sistem imun spesifik selular


Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Pada orang dewasa, sel T
dibentuk di sumsung tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di kelenjar
timus. Persentase sel T yang matang dan meninggalkan timus untuk ke sirkulasi
hanya 5-10%. Fungsi utama sistem imun spesifik selular adalah pertahanan terhadap
bakteri intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.
Berdasarkan perannya, set T dikelompokkan menjadi:
 Sel sitotoksik, atau killer, menghancurkan sel menjamu yang mengandug apapun
yag asing dan karenanya menganndung antigen asing, seperti sel tubuh yang
terinfeksi virus, sel kanker yang memiliki sel mutan akibat transformasi maligna,
dan sel cangkokan. Resepor sel T untuk sel T killer berikatan dengan koreseptor
yang dirancang CD8, yang disisipkan di membran plasma sewaktu sel ini
berjalan melewati timus, karena hl tersebut, sel T killer disebut juga sel T CD8+.
 Sel T helper, sel ini memodulasi aktifitas sel imun aktifitas sel imun lain.
Merupakan sel yanng paling banyak. Reseptor sel T untuk sel T helper berkaitan
dengan koreseptor yang dirancang CD4. Sehingga sel T helper disebut juga sel T
CD4+.
 Sel T regulatorik (T-reg) memiliki koreseptor CD4 dan CD25, oleh karena itu,
sel ini juga disebut sel T CD4+CD25+. Fungsinya untuk menekan respons imun
dibawah pengendalian yag ketat.

4. Flora Normal
4.1. Pengertian Flora Normal
Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme (bakteri, jamur, protozoa) yang hidup
pada kulit dan mukosa

4.2. Pembagian Flora Normal


 Flora tetap (resident flora)
Terdiri atas mikroorganisme relatif menetap dan ditemukan pada bagian tubuh
tertentu manusia, jenisnya tergantung pada usia, jenis kelamin, dan apabila berubah
mereka akan segera kembali seperti semula. ex : Streptococcus viridans, S.
faecalis,Candida albicans
 Flora sementara (Transient flora)
Terdiri dari mikroorganisme non patogen atau potensial patogen yang tinggal
dikulit dan selaput mukosa selama 1 jam sampai beberapa minggu. Umumnya
berasal dari lingkungan sekitar. Pada kondisi normal tidak menimbulkan penyakit
kecuali flora resident sedang terganggu. ex : Staphylococcus aureus pada pekerja
RS
Pembagian flora normal berdasarkan system
 Flora normal pada kulit
Mudah kontak dengan lingkungan (air,tanah,udara), maka cenderung diketemukan
kuman flora normal transient. Jumlah kuman flora normal tidak selalu sama pada
bagian tubuh, tergantung:
- Perbedaan sekresi
- Kebiasaan memakai pakaian
- Kebiasaan membersihkan badan
- Kedekatan dengan selaput lendir
- Jenis kelamin dan umur
Contoh :
 Staphylococcus
 Enterobacter
 Streptococcus Sp
 Corynebacterium
 Flora normal pada mata
Mikroorganisme pada konjungtiva:
 Corynebacterium Xerosis
 Staphylococcus haemolyticus
 Streptococcus nonhaemolyticus
 Haemophilus Sp
Flora konjungtiva pada keadaan normal dikendalikan oleh kelanjar airmata yang
keluar dan mengandung lizosim.
 Flora normal pada Saluran Pernapasan
Kuman yang masuk hidung telah disaring oleh bulu-bulu hidung namun masih
sebagian bisa menempel sebagai penghuni flora normal. Kuman penghuni mukosa
hidung adalah :
 Streptococcus haemolyticus
 Staphylococcus Sp
 Korinebacteria
Beberapa kuman asal mukosa hidung dapat masuk ke trakhea dan bronkhi tapi
segera dikeluarkan melalui mekanisme batuk.
 Flora normal pada saluran pencernaan
Pada mulut bayi, sewaktu lahir steril, namun mudah terkontaminasi melalui
jalan lahir juga minum susu. Dalam 4-12 Jam setelah lahir, sudah ditemukan
streptococcus viridans kemudian staphylococcus, diplococcus, mycoplasma
ditambah flora-flora normal lain.
Pada lambung kosong, bebas dari mikroba. Umumnya mikroba masuk
bersama dengan makanan, namun mati karena pH dan asam lambung serta enzim-
enzim pencernaan lainnya. Namun ada beberapa mikroba yang tahan terhadap pH
dan asam lambung, seperti : Helicobacter pylori, Salmonella, Shigella, V Colera.
 Flora normal pada urogenital
Pada uretra: kuman pada uretra dapat mengakibatkan masalah seperti
kontaminasi saat pengambilan spesimen dan beberapa dapat menyebabkan ISK
(infeksi saluran kemih).
Pada vagina: pada bayi baru lahir, mulai muncul Lactobacillus Bordelein yang
berguna untuk mempertahankan pH asam. Pada masa muda, campuran kokus dan
basil menyebabkan pH menjadi netral. Kemudian setelah menjadi pubertas, pH
menjadi asam kembali akibat penguraian glikogen oleh Lactobacillus. Pertahanan
pH sangat penting untuk mencegah kolonisasi kuman patogen.

4.3. Peran Penting Flora Normal


 Membantu pencernaan di usus dengan cara mempermudah penyerapan makanan
di usus (Lactobacillus)
 Membuat Vit K dan B kompleks
 Mencegah kolonisasi kuman patogen
 Menjaga keseimbangan lingkungan pada tubuh

4.4. Keadaan tertentu Flora Normal merugikan :


1. Sinergisme bakteri

 Sinergi flora normal dan bakteri patogen.

 Membantu pertumbuhan bakteri lain, misalnya memasok vitamin atau faktor


pertumbuhan.

2. Kompetisi nutrisi

 Flora normal di usus mengambil nutrisi di usus sebelum diabsorbsi oleh inang.
 Pertumbuhan hewan tanpa bakteri lebih cepat dibanding hewan konvensional.
Peternak beri antibiotika sebagai campuran makanan ternak supaya ternaknya
tumbuh lebih cepat.

3. Menginduksi toxemia

 Normal flora mengeluarkan toksin (sangat sedikit), yang dapat masuk sirkulasi
darah.

4. Flora normal menjadi agen penyakit

 Bila keluar dari habitat aslinya dan tidak tercapai oleh sistem pertahanan
inang.

 Stretococcus viridans,

 Di saluran napas atas: normal

 Di peredaran darah: sepsis, endocarditis

 E.coli,

 Di usus besar: normal, tapi

 Di saluran kencing : ISK


5. Beberapa bakteri anggota flora normal, dapat menjadi patogen bila ditransfer /
dipindahkan / menular kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun
(immunocompromised).

5. Patofisiologi Reaksi Alergi dan Hipersensitivitas


Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat
(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun, sebagian besar
para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun
berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi
hipersensitivitas.Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan,
tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan
ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem
kekebalan normal.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.
Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan
IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-
antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity)
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel
CD8+ (Baratawidjaja, 2006). Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat
pada permukaan mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi
antara alergen dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc
mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya
histamin, vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat
terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan
anti-IgE.

Etiologi
Secara umum ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T supresor yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan
dan zat lain.

Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mastosit
atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE
yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan
penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin, vasoactive amine,
prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi kalau terbentuk ikat-
silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang
kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang
kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas dan menyebabkan
membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara
berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma,
sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang berwarna merah
(eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran
pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.

Manifestasi Klinis
Gejala yang umumnya muncul:
Organ yang Gejala
terkena
Hidung pembengkakan saluran hidung (rhinitis alergi), runny nose,
bersin
Sinusitis sinusitis alergi
Mata merah dan gatal pada bola mata, berair
Saluran bersin, batuk, penyempitan cabang saluran paru-paru
pernafasan (bronchoconstriction), nafasnya berisik (mengi) dan nafas
pendek/tersengal-sengal (dyspnea), kadang-kadang terjadi asma,
pada kasus yang berat saluran pernafasan menyempit karena
pembengkakan saluran ke dalam dan dikenal sebagai
pembenkakan saluran pernafasan (laryngeal edema)
Telinga terasa buntu, mungkin nyeri, dan berkurangnya pendengaran
karena kurangnya drainase pada saluran eustachia.
Kulit gatal-gatal, seperti eksim dan urticaria
Saluran sakit perut, perut teras penuh, muntah, diare
pencernaan

Reaksi Hipersentivitas
1) Reaksi Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 ini adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat,
mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu di ikat pada
permukaan sel basofilia (sel mast ) dan basofil. Pada reaksi tipe 1 diperantarai oleh
antibodi IgE ( disebut juga antibodi reaginik).
Patofisiologi
Di awali dengan pemaparan awal antigen ( sering di sebut sebagai alergen).
Alergen ini merangsang produksi IgE oleh sel B, suatu proses yang memerlukan
bantuan sel T. IgE ini bersifat sitofilik kuat bagi sel basofilia (sel mast) dan basofil
yang memiliki afinitas kuat terhadap fragmen Fc IgE. Sekali IgE diikat pada
permukaan sel basofilia (sel mast), orang itu pasti akan mengalami hipersensitivitas
tipe 1. Pemaparan ulang terhadap suatu antigen yang sama akan menghasilkan
terikatnya antigen pada IgE yang sudah terikat pada permukaan sel tersebut, sehingga
akan menimbulkan reaksi yang menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan
hipersensitivitas tipe 1. Pelepasan ini memerlukan IgE sekitarnya yang dipermukaan
sel basofilia (sel mast) dan basofil, yang dihubungkan silang dengan cara
mengikatnya pada antigen. Hubungan silang IgE yang terikat pada permukaan sel
menimbulkan sinyal membran yang memulai dua proses, yang pertama menuju
degranulasi sel basofilia dengan pelepasan zat perantara primer, sedangkan yang
kedua meliputi sintesis de novo dan pelepasan perantara sekunder seperti metabolit
asam arakidonat.

Mediator Primer
1. Histamin.
Dalam trombosit histamin ada dalam bentuk prekursor. Histamin juga ditemukan
di dalam granula sel mast dan eosinofil. Pelepasan histamin menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontaraksi otot polos (misal,
bronkospasme). Obat-obat antihistamin dapat mengahalangi tempat reseptor
histamin dan relatif efektif dalam pengobatan rinitis alergika. Histamin adalah
salah satu mediator primer pada reaksi tipe I.
2. Protease neutrofil.
Untuk menghasilkan mediator peradangan.
Perantara (Mediator) Sekunder.
Mediator ini mencakup dua kelompok senvawa: mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosfolipid
membran sel mast untuk menghasilkan asam arakidonat.Selanjulnya, asam arakidonat
mempakan senyawa induk untuk menyintesisleukotrien dan prostaglandin. Senyawa
lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasttk
rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya
melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atatt reaksi lokal.
Sering kali hai ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen
proteinatau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral)
menimbulkan anafilaksis sistemik.Dalam beberapa menit setelah pajanan,padapejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokostriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian
atas. Selain itu, otot semua saluran pencemaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan
kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya
terbatas pada ternpat tertentu sesuai dengan jalur
pemajanannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru(inhalasi, menyebabkanbronkokonstriksi).
Bentuk umum alergi kulit dan makanan, hay fever, serta bentuk tertentu asma
merupakan contoh reaksi anafilaksis yang teriokalisasi. Sebelum pembahasan
mengenai hipersensitivitas tipe I ini diakhiri, penting untuk diperhatikan bahwa reaksi
ini secara jelas tidak berkembang untuk menyebabkan ketidaknyamanan serta
penyakit pada manusia. Hipersensitivitas tipe I, khususnya reaksi peradangan fase
lambat, memainkan peran perlindungan yang penting terhadap infeksi parasit.
Antibodi IgE dihasilkan sebagai respons terhadap berbagai infeksi cacing.

2) Reaksi Tipe II
Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,
terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor
Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Terdapat dua mekanisme bergantung antibodi yang
berbeda termasuk tipe hipersensitivitas.
1. Sitotoksisitas Diperantai Komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua
mekanisme: lisis langsung dan opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai
komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan
fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui
kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen
komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam
sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun
antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan
fagositosis gagal dan jejas. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom
eksogen dan/atau metabolit toksik (misalnya, sindrom goodpasture).
2. Sitoktosisitas Diperantai Sel Yang Bergantung Antibodi Adcc (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity)
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui
jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG, sasaran yang diselubungi
oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC
dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil,
makrofag, dan sel NK, Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi
IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakan adalah antibodi IgE.

3) Reaksi Tipe III


Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang
mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan
tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik
pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada
ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan
dari peredaran darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil
ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai
kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel
yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III
ialah vaskulitis nekrotikans.

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika
seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun).
Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk
di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu
seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada
kulit.
Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit
individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap
antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu
tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada
permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan
memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah,
khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah
tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness
pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi
ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda
yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang
berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
 Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya
produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut
disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang
masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi.
 Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu
deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks
imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang
darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan
cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun
pada glomerulus dan sendi.
 Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di daerah pengendapan
 Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi
manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia), pembesaran nodus
limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang
terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh
darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada
sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang
mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi patologis.
Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang
biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi
cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum
sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang berkaitan dengan respon antibodi
persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan
morfologis dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak
diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi
pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu
antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang
melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi
ikatan yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera
berupa iskemik.
4) Reaksi Tipe IV
Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari
autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel
dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi
sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas
jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai
contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan
responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi
granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan
normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis,
virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik
terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang
dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+.
Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T
untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap
antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal
dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel
radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autolog dapat langsung
membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang dimediasi sel T,
terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya
berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya
menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas
lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin,
anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi
inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF,
dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin.
Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis
dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk sitokin
seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang
terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel
CD8+.
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen
dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi
kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam
24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel
mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular
cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang
disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma
akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang
terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada
lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan
hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika
seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli,
sel CD4+ T naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul
kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve
menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH
bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1
akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang
lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya
terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang
ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama
IFN-γ, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH.

T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi
membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T
lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari
banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen
permukaan sel berperan penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting
dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus
terkait dengan molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke
permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+
sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui:
(1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat
di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran
plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T
CD8+ mendekati sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang
dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-
lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin.
Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi
apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke
dalam sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi
apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan
Fas ligan, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis.

6. Dasar Pengantar Parasitologi


1. Definisi parasitologi
Ilmu yang mempelajari organisme yang hidup/ tinggal pada atau di dalam
organisme lain secara permanen atau sementara dengan tujuan untuk mengambil
makanan melalui hubungan diantara keduanya (Brown, 1994). Dari definisi tersebut
menunjukkan adanya dua macam organisme yang penting yaitu yang berperan sebagai
parasit dan ada yang berperan sebagai hospes/inang. Hubungan yang terjadi
diantaranya keduanya disebut sebagai host-parasite relationship yang meliputi ;
 Simbiosis : hubungan diantara dua organisme yang tidak saling merugikan.
- Simbiosis mutualisme : hubungan diantara dua organisme yang saling
menguntungkan
- Simbiosis komensalisme: hubungan diantara organisme yang menguntungkan
salah satu organisme dan tidak merugikan yang lainnya.
 Parasitisme : hubungan timbal balik diantara dua organisme yang merugikan salah
satu pihak.

Zoonosis  parasit hewan ke manusia ex. Balantidiasis, Fascioliasis hepatica


Anthroponosis  parasit manusia ke hewan ex. Trypanosomiasis

 Hospes
 Hospes definitif
Organisme yang merupakan hospes sebenarnya dari suatu parsit, yaitu
hospes yang ditumpangi parasit dalam bentuk dewasa dan menjadi tempat
berlangsungnya reproduksi seksual.
Contoh : Manusia merupakan hospes definitif dari ascaris lumbricoides.
Penyakit Filaria – definitive: manusia, intermediet: nyamuk.
 Hospes intermediet
Hospes yang menjadi perantara tertularnya penyakit parasit, di dalam
hospes ini parasit dalam bentuk larva dan tempat berlangsungnya reproduksi
aseksual.
Contoh : nyamuk merupakan hospes intermediet dari filariasis.
Penyakit malaria – definitive: nyamuk, intermediet: manusia.
 Hospes paratenik
Hospes yang menjadi tempat istirahat bagi stadium larva parasit
tertentu.
Contoh : Sistiserkus pada sapi dan babi.
burung hantu yang diparasit oleh thorny-headed worms.
 Hospes reservoir
Hospes yang terus-menerus bertindak sebagai sumber penularan dari
penyakit parasit.
Contoh : kera di daerah sumatera sebagai hospes reservoir malayan filariasis,
anjing dengan Leishmania spp., tikus dan hewan carnivore dengan
Trichinellaspiralis, dan hewan pemakan serangga dengan Trypanosoma cruzi.
 Hospes insidental
Parasit yang secara kebetulan bersarang pada satu hospes

2. Klasifikasi parasit
The International Code of Zoological Nomenclatur (Binomial nomenclature)
 Phyllum  Sarcomastigophora
o subphyllum  Mastigophora
 Class  Zoomastigophora
 Ordo  Kinetoplastida
 Famili  Trypanosomatidae
 Genus Trypanosoma, Leishmania
 SpesiesTrypanosoma gambiense, Leishmania donovani

Parasitologi Medik
 Parasit Cacing (helminthes) = kelas Nematoda, kelas Trematoda, kelas
Cestoda
 Parasit protozoa = Protozoa Usus, Rongga Atrial, Darah, Jaringan
 Parasit Arthropoda = Insekta, Arachnida, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda.

Berdasarkan lokasi atau predileksinya:

Ektoparasit Endoparasit

Reinfeksi

Investasi Infeksi Superinfeksi

Autoinfeksi

Parasitosis

a. Ektoparasit atau ectozoa


Ektoparasit adalah parasit-parasit yang hidup berparasitnya pada permukaan
tubuh hospes atau di dalam liang-liang pada kulit yang masih mempunyai
hubungan bebas dengan dunia luar. Termasuk golongan ini adalah parasit
temporer atau non periodik atau dikenal parasit datang pergi. Disebut parasit
datang pergi karena parasit mengunjungi hospesnya hanya pada waktu tertentu
saja. Contohcontoh ektoparasit Nyamuk dan lalat. Nyamuk dan lalat seperti
nyamuk Anopheles (manusia) dan lalat Stomoxys (kuda, sapi) termasuk parasit
temporer karena keduanya mengunjungi hospesnya untuk hidup berparasit pada
waktu tertentu untuk menghisap darah. Kutu, pinjal dan caplak. Kutu seperti
Pediculus ( manusia ), Haematopinus (sapi) dan Linognathus (sapi, domba,
kambing, anjing), pinjal seperti Pulex (tikus), dan Ctenocephalus (anjing,
kucing), caplak seperti Ixodes, Boophilus, Riphicephalus (herbivora, karnivora)
semuanya termasuk ektoparasit karena hidup pada permukaan tubuh hospesnya.
Tungau, tungau-tungau seperti Sarcoptes, Psoroptes, Chorioptes ( herbivora ),
Demodex ( anjing, sapi, manusia ), Cnemidocoptes (unggas ), Otodectes
(kelinci) adalah tungau yang hidup di dalam liang-liang kulit dan karena liang-
liang tersebut masih berhubungan dengan dunia luar maka tungau juga termasuk
ektoparasit.
b. Endoparasit atau entozoon
Endoparasit adalah parasit-parasit yang berlokasi didalam jaringan tubuh
hospesnya kecuali yang hidup dipermukaan tubuh dan di dalam liang-liang kulit.
Contoh-contoh endoparasit: Di dalam saluran pencernaan. Saluran pencernaan
tampaknya lokasi yang banyak disenangi sebagai tempat tinggal atau predileksi
parasit. Parasit dan berbagai spesies cacing nernatoda, trematoda dan cestoda
banyak tinggai di dalam lumen atau di dalam mukosa dinding saluran
pencernaan. Cacing nematoda yang berlokasi di dalam lumen contohnya adalah
Spirocerca (esophagus anjing), Ascaridia (Ayam), Ascaris (babi, manusia),
Neoascaris (sapi), Parascaris (kuda), Toxocara (anjing, kucing).

Berdasar sifat parasitisme


 Parasit obligat (permanen) = parasit yang tidak dapat bertahan hidup tanpa hospes
atau parasit akan mati kalau tidak menemuhan hospesnya, parasit yang hidup pada
hospes selama hidupnya
Misalnya Ascaris lumbricoides (cacing gelang) dan parasit Lernea sp. Pada
stadium larva copepodid, jika tidak mendapat inang (ikan, kecebong) akan mati
demikian pula dengan Argulus (kutu ikan).
 Parasit fakultatif (opportunist) = parasit yang dapat hidup bebas dan dapat pula
hidup sebagai parasit
Misalnya jamur Saprolegna dapat hidup pada telur yang mati atau ikan hidup dan
spora hidup bebas atau cacing Strongyloides larva rhabditisnya ditemui di alam dan
dalam usus manusia. Acanthamoeba (menimbulkan ulkus kornea dan alveolitis
alergik), Naegleria fowleri (penyebab primery amebic meningoencephalitis).
 Parasit temporer / intermiten = parasit nonperiodis (nonberkala) yang
mengunjungi hospesnya pada waktu-waktu berselang atau parasit tersebut tidak
menetap pada tubuh hospesnya.
Misalnya Strongyloides stercoralis (Threadworm, Cacing benang)
 Parasit koprozoik / spuria = parasit semu adalah Suatu spesies asing yang
melewati traktus digestivus tanpa menyebabkan infeksi pada manusia,
Misalnya parasit insidentil di feses

 Parasit Komensal = parasit yang untung tetapi hospes tidak mendapatkan


keuntungan
 Parasit patogen = parasit yang menimbulkan kerusakan pada hospes karena
pengaruh mekanik, traumatik dan toksik
 Parasit apatogen = parasit yang hidup dengan mengambil sisa makanan dalam
Sumber Infeksi Parasit
 Tanah terkontaminasi  Ascariasis
 Air terkontaminasi  Amoebiasis, Giardiasis
 Makanan yang mengandung stadium infektif  ikan air tawar 
Dyphillobotriasis, daging babi  Trichinellosis, Taeniasis
 Arthropoda penghisap darah  nyamuk Anopheles, Xenopsilla cheopsis
 Tumbuhan air  Trapa sp.  Fasciolopsiasis
 Dari diri sendiri  Strongyloidiasis, Enterobiasis
 Manusia lain Entamoeba histolytica.

Tempat / Cara Masuk


Portal of entry / port d’entree dari parasit:
 Mulut  protozoa usus, nematoda usus
 Menembus kulit Ancylostoma duodenale
 Gigitan arthropoda  baik sbg vektor atau ektoparasit  anopheles, scabies
 Inhalasi  telur cacing Enterobius vermicularis
 Transplacental Toxoplasma gondii
 Transmammary Strongyloides stercoralis
 Hub seksual Trichomonas vaginalis
 Transfusi darah Plasmodium sp.

Materi pembahasan Parasitologi Kedokteran :


 Helminthology : mempelajari parasit cacing (helminth) yang termasuk dalam
phyllum berikut ini.
- Nemathelminthes : Nematoda
- Platyhelminthes : Cestoda dan Trematoda
 Protozoology : mempelajari organisme ber sel satu yang hidup sebagai parasit
 Entomology : mempelajari serangga (arthropoda) yang pending dalam ilmu
kedokteran
- Arthropoda : Crustacea, Arachnida, Insecta / Hexapoda, Chilopoda,
Diplopoda
3. Epidemiologi Parasit:
→ menunjukkan manifestasi penyakit parasit pada suatu komunitas atau populasi.

Dikenal istilah :

- Endemi : apabila prevalensi suatu penyakit parasit di suatu wilayah cenderung


tetap/stabil pada level moderat.
- Epidemi : apabila terjadi peningkatan yang tajam dari insiden atau terjadi wabah.
- Pandemi : apabila penyebaran penyakit meliputi wilayah yang luas di dunia.
- Sporadis : apabila hanya muncul kadang-kadang pada satu atu beberapa
komunitas.
Penyebaran tergantung:
 Sumber infeksi (penderita ataupun hospes reservoir)
 Keadaan lingkungan (iklim, curah hujan, kelembaban suhu, sinar matahari,
sanitasi, dll)
 Tersedianya vektor
 Keadaan penduduk (kepadatan, sosial, pendidikan, dll)
Distribusi kosmopolit, regional, lokal.

Diagnosis
Gejala penyakit Parasitik umumnya tidak spesifik bahkan asymptomatik. Pemeriksaan
penunjang :
 Pemeriksaan Tinja, berbagai metode
 Pemeriksaan darah, urine, sputum
 Biakan atau kultur
 Reaksi imunologis (imunodiagnosis)

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan
 Pengobatan massal atau perorangan
 Pengobatan ditujukan yang mempunyai efek letal bagi parasit tapi minimal
efek bagi hospes
 Tindakan bedah
Pencegahan
 Mengurangi sumber infeksi  mengobati penderita
 Pendidikan kesehatan utk mencegah penyebaran penyakit
 Pengawasan sanitasi air, makanan, tempat tinggal
 Pengendalian hospes reservoir dan vektor
 Mempertinggi pertahanan biologis terhadap penularan penyakit

Sumber
infeksi
Cara
Hospes
masuk /
peranta
por't
ra II
d'entree
Siklus
Hidup
Hospes
Hospes
peranta
ra I definitif
Tempat
perkemba
ngan
telur/larva

Interaksi dari ketiga faktor tersebut terjadi pada siklus hidup yang masing-masing
parasit tidak sama. Oleh karena itu upaya-upaya pencegahan dilakukan dengan
memutus rantai siklus hidup.

Penyakit Parasit Yang Banyak Di Indonesia


1. Helminthology :
- Askariasis
- Ankylostomiasis
- Enterobiasis
- Filariasis
- Schistosomiasis japonica
- Taeniasis dan sistiserkosis
- Trikuriasis
2. Protozology :
- Amoebiasis
- Giardiasis
- Malaria
- Toxoplasmosis
- Trikomoniasisvaginalis
3. Entomology:
- Skabies
- Dengue fever/DHF: Aedesaegypti
- Chikunguya :Aedesalbopictus
- Malaria: Anopheles
- Insect bite : Scorpion, Black Widow Spider, Centipedes, Millipedes

4. Arthropoda
Artropoda merupakan adalah metazoa yang mempunyai tubuh yang bersegmen-
segmen. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang berpasangan, misalnya
antena, kaki, dan sayap sehingga tubuhnya simetris bilateral.
Salah satu parasit yang terdapat dimuka bumi ini adalah artropoda. Artropoda merupakan
metazoa yang mempunyai tubuh yang bersegmen-segmen. Hewan ini memiliki
tonjolan tubuh (appendages) yang berpasangan, misalnya antena, kaki, dan sayap
sehingga tubuhnya simetris bilateral. Dalam dunia medis, dikenal entomologi
kedokteran yakni cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang peran artropoda
yang dapat menjadi penyebab langsung penyakit bagi manusia, atau menjadi penular
penyakit.
Artropoda sebagai penyebab langsung penyakit:

1. Dermatosis
Berbagai gangguan kulit dapat terjadi karena gigitan atau infestasi serangga.
Gigitan nyamuk, kutu badan (Pediculus) dan kutu busuk (Cimex) dapat
menimbulkan iritasi kulit penderita yang menyebabkan nyeri dan gatal-gatal.
2. Alergi
Penderita yang peka terhadap protein berupa tubuh serangga atau ekskreta yang
dikeluarkan oleh serangga tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi misalnya
berupa gatal-gatal atau sesak napas. Penderita asma bronkiale sering disebabkan
oleh tungau (mites) yang terdapat dalam debu rumah (house-dust mites)
3. Miasis
Investasi larva serangga di dalam organ atau jaringan tubuh manusia atau hewan
yang masih hidup disebut miasis. Makanan kotor yang tercemar telur lalat jika
tertelan dapat juga menimbulkan miasis pada usus, karena larva lalat menetas di
dalam usus penderita.

Artropoda sebagai penular penyakit atau vektor:


Vektor dalah organisme yang dapat membawa atau memindahkan penyebab
suatu penyakit parasit dari satu hospes ke hospes lainnya.
a. Artropoda sebagai vektor penular
- Vektor Mekanik
Artropoda bertindak selaku vektor mekanik, hanya membawa
mikroorganisme penyebab penyakit yang berasal dari penderita , lalu
mencemari makanan atau minuman yang ditelan oleh orang sehat. Selama
di tubuh artropoda mikroorganisme tidak mengalami perubahan jumlah
maupun bentuk.
- Vektor Biologi
1. Cyclopropagative
Di dalam tubuh vektor, mikroorganisme penyebab penyakit berubah
bentuknya dan bertambah jumlahnya karena berkembang biak.
Contoh : penyakit malaria penyebabnya adalah plasmodium dan
penularanya adalah nyamuk Anopheles
2. Cyclodevelopment
Mikroorganisme hanya mengalami perubahan bentuk saja.
Contoh : Penularan filariasis yang penyebabnya adalah Wuschereria
bancrofti dan vektor penularnya adalah nyamuk Culex fatigans.
3. Propagative
Mikroorgansime penyebab penyakit bertambah jumlahnya tetapi
bentuk morfologi mikroorganisme tidak berubah.
Contoh : penularan penyakit Pes yang menyebabkan adalah Yersinia
pestis dan vektornya adalah pinjal tikus (flea)
Selain tiga cara penularan tersebut, penularan dapat terjadi dari induk serangga ke
generasi berikutnya.

Artropoda sebagai hospes perantara

Sebagai hospes perantara artropoda menularkan mikroorganisme secara pasif.


Yang aktif memasukkan mikroorganisme penyebab penyakit adalah hospes sendiri,
misalnya dengan memasukkan makanan atau minuman yang tercemari
mikroorganisme.

PERAN ARTHROPODA DALAM KEDOKTERAN


1. Artropoda yang menularkan penyakit (vektor dan hospes perantara)
2. Artropoda yang menyebabkan penyakit (parasitik)
3. Artropoda yang menimbulkan kelainan krn toksin yang dikeluarkan
4. Artropoda yang menyebabkan alergi
5. Artropoda yang menyebabkan entomofobia

7. Farmakologi Antihistamin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan
saingan).Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi
alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih.
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, dimana kedua
jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi
histamin dan reseptor histamin H1 atau H2.
1. Menghambat reseptor H1 (AH 1)
Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan
dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam
penggolongan antihistamin H1. Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis
reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi
molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang
antagonis reseptor histamin H1.
Penggolongan antihistamin
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur
kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan
fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif,
akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih
dikenal denagn penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam
dua hal yang segnifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan
menimbulkan efek antikolinergenik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi
pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP)
lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak
dan lebih banyak terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi
kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari
generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer
(levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memproleh
profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih
minimal.
Farmakologi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama
dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang
tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas
vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas.
Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai
gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing.
Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait
dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil
farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan
juga bisa menurunkan lipofilitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal.
Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni
sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi
pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast atau membran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion
kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja
pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet
activating factor.
Antihistamin H1 diduga juaga memiliki efek antiflamasi. Hal ini terlihat dari
study in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi
menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori,
seperti menghambat pelepasan intracelluler adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh
sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan
kenapa desloratadine secara segnifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada
beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada
generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi
lebih lanjut untuk manguak misteri dari efek tambahan ini.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor
yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini
memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan.
Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat
reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan
inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai
aktivitas intrinsik.

2. Menghambat reseptor H2.


- H2-blockers (Penghambat asma)
- Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat
akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung.
- Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi
vasodilatasi dan tekanan darah menurun.
- Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi
sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan
kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas
lambung (cisaprida) pada penderita reflux.
- Penghambat asam yang sekarang ini banyak digunakan adalah simetidin,
ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-
senyawa heterosiklis dari histamin.
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos antara lain pada bronkus dan usus,
tetapi menyebabkan relaksasi kuat pada otot polos pembuluh darah kecil, sehingga
permeabilitasnya meningkat. Selain itu, histamin merupakan perangsang kuat sekresi
asam lambung dan kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran nafas.
Akibat vasodilatasi pada pembuluh darah kecil maka timbul kemerahan dan rasa panas di
daerah wajah, resistensi perifer menurun sehingga tekanan darah menurun (hipotensi).
Permeabilitas kapilar meningkat sehingga protein dan cairan plasma keluar ke ruangan
ekstraselular dan menimbulkan edema. Efek bronkokonstriksi dan kontraksi usus karena
histamin dapat dihambat oleh AH1. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai
penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Secara klinis alergi
terdapat pada penyakit rinitis alergika, urtikaria dan angioedema. Efek histamin terhadap
sekresi asam lambung dapat dihambat oleh AH2, misalnya simetidin dan ranitidin.

7.1. Cara Kerja Obat Antihistamin


Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya
peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan
gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin
berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi
akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptoryang baru tersebut akan diisi oleh
antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya reaksi
alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel,
pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna, saluran
genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam
jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus. Di
kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan
sintesis histamin. Namun, peranan dalam menimbulkan gatal dan inflamasi masih belum
jelas.
 Antihistamin Generasi Pertama
Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi
berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 di organ sasaran.
Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1.
Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi pertama.
Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal
atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan
influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin,
hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini
mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan
dan dapat dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun,
efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk. Efek
sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat
lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada
reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor
H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Di samping itu,
beberapa antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti mulut menjadi
kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.
 Antihistamin Generasi Kedua
Dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid,
metilamid dan simetidin. Antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk
pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin generasi kedua
mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik
yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi
histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis yang
tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita
alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan
jangka panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan
histamin pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat
mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala
ringan asma kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita
dengan hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan
terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin
generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan dalam
antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin.
 Antihistamin Generasi Ketiga
Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole
dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan metabolit
antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga
adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta
menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.
Kadar antihistamin generasi ketiga ini dalam plasma mempunyai batas
keamanan yang lebih baik, sehingga dapat digunakan secara luas seperti pada rinitis
alergika, urtikaria dan kemungkinan untuk asma.

7.2. Efek Samping Obat Antihistamin


Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan antihistamin
generasi kedua, pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang sama terhadap gejala-
gejala alergi. Yang berbeda adalah antihistamin klasik mempunyai efek samping sedatif.
Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin klasik (AH1) dapat menembus
sawar darah otak (blood brain barrier) sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di sel-
sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel di reseptor H1 sel otak,
kewaspadaan menurun sehingga timbul rasa mengantuk. Sebaliknya, antihistamin
generasi kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga reseptor H1 sel otak tetap
diisi histamin, sehingga efek sedatif tidak terjadi. Oleh karena itulah antihistamin
generasi kedua disebut juga antihistamin non-sedatif.
Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus memenuhi kriteria sebagai berikut
yaitu keamanan, kualitas hidup, pemberian mudah dengan absorpsi cepat, kerja cepat
tanpa efek samping dan mempunyai aktifitas anti alergi.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :
1. Efek sedasi (menenangkan atau mengantuk).
Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi.Tetapi intensitas
efek tersebut bervariasi.Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya
sebagai bantuan tidur dan tidak cocok digunakan di siang hari.Efek tersebut
menyerupai beberapa obat antimuskarinik.
2. Efek antimual dan antimuntah
Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah
terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.
3. Kerja antikolinoreseptor
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna
pada muskarinik perifer.
4. Kerja penghambatan adrenoreseptor
Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1,
namun penghambatan terhadap reseptor beta tidak terjadi.Penghambatan terhadap
reseptor alfa tersebut dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.Contoh obatnya
adalah Promethazine.
5. Kerja penghambatan serotonin
Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen
antagonis H-1 generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.
6. Efek parkinsonisme
Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek
antikolinergik
Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur
kimianya karena meskipun memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih
memiliki gugus fungsional tambahan yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole,
nuratadine, ketotifen, levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat
dimasukkan dalam satu golongan karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang
berbeda.

7.3. Antialergi Lain


AH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simatomatik reaksi
hipersensitivitas akut. Hal ini dikarenakan fungsi histamin yang sebenarnya merupakan
pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain.
Pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan anatgonis fisiologis
misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala alergi yang tidak
berespon terhadap AH1. Adapun beberapa contoh antialergi lain, yaitu:
1. Natrium Kromolin
Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari sel
mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu.Obat ini berharga untuk profilaksis asma
bronchial dari kasus atopic tertentu.Penggunaan utama kromolin untuk terapi
profilaksis serangan asma bronchial pada pasien asma bronchial ringan sampai
sedang.Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronchial akut atau pada status
asmatikus.
2. Nedokromil
Nedokromil merupakan senyawa dengan struktur kimia dan efek
farmakodinamik dan efek samping mirip kromolin.Nedokromil menghambat
penglepasan mediator dari sel mast bronkus dan diindikasikan untuk mencegah
serangan asma pada pasien asma bronkil ringan sampai sedang. Berbeda dengan
kromolin yang boleh diberikan pada semua umur,nedokromil hanya diiindikasikan
untuk pasien asma yang berusia 12 tahun keatas. Dosis untuk dewasa dan anak
diatas 12 tahun: 2-4 kali mg/hari diberikan secara inhalasi/semprotan.
3. Ketotifen
Ketotifen bersifat antianafilaktik karena menghambat penglepasan
histamin.Ketolifen juga bersifat antihistmin kuat.Ketofilen telah digunakan untuk
profilaksis asma brinkial.Untuk tujuan ini ketofilen diberikan secara oral untuk
jangka waktu 12 bulan.Kombinasi ketofilen dengan antidiabetik oral telah
dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversible.Ketofilen harus
diberikan secara hati” kepada pasien yang alergi terhadap obat ini.

Vous aimerez peut-être aussi