Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SKENARIO 4: GATAL
COCCYX
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
SKENARIO : Gatal
Dimas 23 tahun, datang ke klinik pratama dengan keluhan gatal pada wajah dan seluruh
badannya, serta muncul bintik-bintik merah pada kulitnya. Keluhan tersebut terasa sehari
setelah dia belajar berenang bersama teman-temannya, tetapi teman-temannya tidak
mengeluhkan hal serupa. Bagaimana etiologi dan patofisiologi penyakit yang dialami
Dimas?
KLARIFIKASI ISTILAH
Gatal : sensasi kulit yang memicu refleks untuk menggaruk area tertentu
pada tubuh.
Etiologi : Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani αἰτιολογία, aitiologia, yang
artinya "menyebabkan". Etiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang penyebab
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi nya dan meliputi perjalanan agen
dalam menginfeksi penyakit.
Patofisologi : Ilmu yang mempelajari gangguan fungsi atau perubahan-perubahan
mekanisme fisiologi yang disebabkan oleh penyakit pada organisme hidup meliputi
asal penyakit, permulaan perjalanan dan akibat.
Gangguan sistem imun : Gangguan dalam pengawasan imun sehingga tidak terjadi
proses yang semestinya.
LEARNING OBJECTIVE
1. Sistem Integumentum
1.1. Anatomi dan Histologi Sistem Integumentum
1.1.1. Epidermis
1.1.2. Dermis
1.1.3. Struktur Aksesoris Kulit/Skin Appendages/Adnexa
1.1.4. Warna Kulit
1.2. Fisiologi Sistem Integumentum
1.2.1. Fungsi Proteksi
1.2.2. Fungsi Absorpsi
1.2.3. Fungsi Ekskresi
1.2.4. Fungsi Persepsi
1.2.5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)
1.2.6. Fungsi Pembentukan Vitamin D
2. Imunologi
2.1. Sistem/Komponen Imun
2.2. Akuisisi (Perolehan) Kekebalan
2.3. Mekanisme Kerja Sistem Imun
3. Flora Normal
3.1. Jenis-jenis Flora Normal (dalam atau luar tubuh)
3.2. Dampak Positif Flora Normal
3.3. Keadaan yang Membuat Flora Normal Merugikan
3.4. Pengertian dan Pembagian Flora Normal
4. Patofisiologi Reaksi Alergi dan Hipersensitivitas
5. Dasar Pengantar Parasitologi
6. Farmakologi AntiHistamin
1. Anatomi dan Histologi Sistem IntegumentumHistologis Epidermis
A. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan nonvascular yang dilapisi oleh epitel berlapis
pipih dengan lapisan tanduk.
Dibagi menjadi 5 stratum [lapisan], yaitu:
a. Stratum Korneum
- Terletak paling luar
- Semua nucleus dan organel telah lenyap dari sel di lapisan ini
- Terdiri dari sel mati yang gepeng yang berisi filament keratin lunak.
- Sel superfisial di lapisan ini secara terus menerus dilepaskan atau
mengalami deskuamasi serta diganti oleh sel baru yang muncul dari
stratum basal.
- Selama proses keratinisasi, enzim-enzim hidrolitik merusak nucleus
dan organel sitoplasma yang kemudian lenyap ketika sel terisi oleh
keratin
b. Stratum Lucidum
- Lapisan initerletak tepat di atas stratum granulosum dan di bawah
staratum korneum.
- Sel-selnya tersusun rapat
- Tidak memiliki nucleus atau organel yang telah mati, inti melarut
sehingga tampak sebagai lapisan yang homogeny dan transparan.
- Mengandung filamen keratin yang padat
c. Stratum Granulosum
- Sel-selnya terisi granula keratohialin yang sifatnya basofilik.
- Dibentuk oleh 3 sampai dengan 5 lapisan sel gepeng.
- Granula tidak dibungkus membrane dan berkaitan dengan berkas
toxofilamen keratin.
d. Stratum Spinosum
- Terdiri dari 4 sampai 6 tumpukan sel
- Pada lapisan ini pembentukan filament keratin masih berlanjut dari
stratum basal.
- Bentuk sel pada lapisan ini adalah polihedris
e. Stratum Basal
- Lapisan paling dalam atau dasar pada epidermis
- Menghasilkan dan mengandung filament keratin intermediate
[filamentum keratini] yang meningkatkan jumlahnya sewaktu sel
bergerak ke atas
- Sering mengalami mitosis sehingga disebut stratum germinativum
Ditinjau dari jenis sel penyusunnya, epidermis mengandung empat jenis sel :
Di dalam epidermis terdapat empat sel, yaitu:
1. Keratinosit : sel epidermis yang sedang dalam pembentukan keratin, paling banyak di
epidermis. Keratin adalah protein keras dan resilien anti air serta melindungi
permukaan kulit yang terbuka. Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin
lunak yang berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang ada pada kuku
dan rambut. Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, maka nukleus sel
berdisintegrasi, menyebabkan kematian sel.
2. Sel langerhans : seperti makropahg yang berasal dari sum-sum tulang, penting dalam
pembentukan imunitas. Morfologi mirip melanosit, bentuk bintang, Pengecatan “emas
klorida” sel tampak hitam
3. Sel granstein : berperan dalam penyajian antigen kepada supressor-T sel, berperan
dalam sistem imunitas
4. Melanosit: berasal dari sel krista saraf, sel ini memiliki juluran sitoplasma becabang
ke dalam epidermis. Melanosit terletak antara statum basal dan statum spinosum
epidermis dan menyintesis pigmen coklat melanin, melanin di bentuk dari asam
amino tirosin oleh melanosit. Melanin memberi warna gelap pada kulit, dan
pemaparan kulit terhadap sinar matahari merangsang pembentukan melanin. Melanin
ada 2 macam, eumelanin dan feomelanin. Eumelanin adalah pigmen coklat tua yang
terdapat di antara sel-sel stratum basale dan dalam folikel rambut; Feomelanin adalah
pigmen yang ditemukan di dalam rambut merah dan mengandung sistein. Fungsi
melanin adalah melindungi kulit dari efek radiasi ultraviolet yang merusak.
B. Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
Stratum papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis yang membentuk
papilla corii. Jaringan tersebut terdiri atas sel – sel yang terdapat pada jaringan pengikat
longgar dengan serabut kolagen halus.
Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut – serabut
kolagen kasar yang jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar dengan permukaan. Di
dalamnya selain terdapat sel – sel jaringan pengikat terdapat pula sel khromatofor yang di
dalamnya mangandung butir – butir pigmen.
Di bawah stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung glandula
sudorifera yang akan bermuara pada epidermis.
Kulit Tipis
Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis yang
merupakan kulit tebal. Epidermisnya tipis, sedangkan ketebalan kulitnya tergantung dari
daerah di dalam tubuh.
Pada dasarnya memiliki susunan yang sama dengan kulit tebal,hanya terdapat beberapa
perbedaan :
1. Epidermis sangat tipis,terutama stratum spinosum menipis.
2. Stratum granulosum tidak merupakan lapisan yang kontinyu.
3. Tidak terdapat stratum lucidium.
4. Stratum corneum sangat tipis.
5. Papila corii tidak teratur susunannya.
6. Lebih sedikit adanya glandula sudorifera.
7. Terdapat folikel rambut dan glandula sebacea.
Nutrisi Kulit
Epidermis tidak mengandung pembuluh darah, hingga nutrisinya diduga berasal
dari jaringan pengikat di bawahnya dengan jalan difusi melui cairan jaringan yang
terdapat dalam celah-celah di antara sel-sel stratum Malphigi.
Struktur halus sel-sel epidermis dan proses keratinisasi dengan M.E sel-sel dalam
stratum Malphigi banyak mengandung ribosom bebas dan sedikit granular endoplasmik
reticulum. Mitokhondria dan kompleks Golgi sangat jarang. Tonofilamen yang terhimpun
dalam berkas sebagai tonofibril didalam sel daerah basal masih tidak begitu pada
susunannya.
Di dalam stratum spinosum lapisan teratas, terdapat butir-butir yang di sekresikan
dan nembentuk lapisan yang menyelubungi membran sel yang dikenal sebagai butir-butir
selubung membran atau keratinosum dan mengandung enzim fosfatase asam di duga
terlibat dalam pengelupasan stratum corneum.
Sel-sel yang menyusun stratum granulosum berbeda dalam selain dalam
bentuknya juga karena didalam sitoplasmanya terdapat butir-butir sebesar 1-5 mikron di
antara berkas tonofilamen, yang sesuai dengan butir-butir keratohialin dalam sediaan
dasar.
Sel-sel dalam stratum lucidium tampak lebih panjang,inti dan organelanya sudah
hilang, dan keratohialin sudah tidak tampak lagi. Sel-sel epidermis yang terdorong ke atas
akan kehilangan bentuk tonjolan tetapi tetap memiliki desmosom.
Kuku adalah lempeng sel epitel berkeratin pada permukaan dorsal setiap
falangs distal. Sebenarnya invaginasi yang terjadi pada kuku tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi pada rambut, selanjutnya invaginasi tersebut membelah dan
terjadilah sulcus matricis unguis, dan kemudian sel-sel di daerah ini akan
mengadakan proliferasi dan dibagian atas akan menjadi substansi kuku sebagai
keratin keras. Epitel yang terdapat di bawah lempeng kuku disebut nail bed.
Bagian proksimal kuku yang tersembunyi dalam alur kuku adalah akar kuku
(radix unguis).
Lempeng kuku yang sesuai dengan stratum korneum kulit, terletak di atas
dasar epidermis yang disebut dasar kuku. Pada dasar kuku ini hanya terdapat
stratum basale dan stratum spinosum. Stratum ujung kuku yang melipat di atas
pangkal kuku disebut sponychium, sedangkan di bawah ujung bebas kuku
terdapat penebalan stratum corneum membentuk hyponychium.
a. Struktur kuku
Alat kuku berpoliferasi membentuk matriks kuku, epidermis yang
tepat di bawahnya menjadi dasar kuku yang berbentuk U bila dilihat dari atas
dan diapit oleh lipatan kulit yang merupakan dinding kuku. Lempeng kuku
terdiri dari sisik epidermis yang menyatu erat dan tidak mengelupas. Badan
kuku berwarna bening sehingga kelihatan kemerahan karena ada pembuluh
kapiler darah di dalam dasar kuku.
Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke permukaan
lempeng kuku sebgai epikondrium atau kutikula.
b. Pertumbuhan kuku
Dengan bertambahnya sel-sel baru dalam akar, kuku menghasilkan
geseran lambat lempeng kuku di atas dasar kuku. Laju pertumbuhan kuku
rata-rata 0,5 mm perminggu.
1.2.Rambut
Warna Kulit
1. Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan sel ini berasal
dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah
melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna
kulit ras maupun individu. Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen
kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.
2. Pigmentasi kulit
Warna kulit ditentukan oleh faktor warna kulitnya sendiri. Kandungan karoten
(pigmen) darah pada pembuluh darah, karoten memberi warna kuning pada kulit,
dermis memberikan warna kemerahan dan kandungan pigmen melanin memberikan
bayangan coklat.
Melanin terletak di dalam lapisan basal dan bagian bawah lapisan taju yang
dibuat oleh epidermis khusus yaitu melanosit yang bertebaran diantara keratinosit lapis
basal dan lapis taju dalam folikel rambut dan jaringan ikat dermis. Perbedaan warna
kulit disebabkan oleh karena perbedaan jumlah dan ukuran melanosom di dalam
keratinosit.
Pigmentasi kulit tergantung dari berbagai faktor yaitu keturunan, hormone, dan
lingkungan. Faktor genetic mempengaruhi ukuran satuan melanin epidermis. Hormone
pemacu malanosit MSH (melanosit stimulating hormon) merangsang perpindahan
melanosom ke dalam cabang-cabang sitoplasma melanosit dan keratinosit. Faktor
lingkungan seperti ultraviolet meningkatkan kegiatan enzim melanosit serta
meningkatkan produksi melanin dan penimbunannya di dalam keratinosit sehingga
kulit menjadi coklat.
Macam-Macam Keratin
Di dalam kulit serta apendiksnya terdapat dua macam keratin, yaitu keratin lunak dan
keratin keras. Keratin lunak selain terdapat pada folikel rambut juga terdapat di permukaan
kulit. Keratin lunak dapat diikuti terjadinya pada epidermis yang dimulai dari stratum
granulosum dengan butir-butir keratohyalinnya, kemudian sel-sel menjadi jernih pada stratum
lucidum dan selanjutnya menjadi stratum korneum yang dapat dilepaskan. Sedangkan keratin
keras terdapat pada cuticula, cortex rambut dan kuku. Keratin keras dapat diikuti terjadinya
mulai dari sel-sel epidermis yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit dan akhirnya
berubah menjadi keratin keras yang lebih homogen. Keratin keras juga lebih padat dan tidak
dilepaskan, serta tidak begitu reaktif dan mengandung lebih banyak sulfur.
Regenerasi Kulit
Dalam regenerasi ini ada 3 lapisan yang diperhitungkan, yaitu epidermis, dermis dan
subcutis. Regenerasi kulit dipengaruhi juga oleh faktor usia, dimana semakin muda, semakin
bagus regenerasinya.
2. Fisiologi Sistem Integumentum
2.1. Fungsi Proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara yaitu sebagai berikut:
- Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat seperti
batu bata di permukaan kulit.
- Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan dehidrasi;
selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh melalui kulit.
- Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di
permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi keringat, akan
menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba.
- Pigmen melanin melindungidari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada stratum
basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya.
Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi
genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan pada proteksi oleh
melanin, maka dapat timbul keganasan.
- Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai selimun yang protektif. Yang pertama
adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap mikroba.
Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang
masukmelewati keratin dan sel Langerhans.
3. Imunologi
3.1. Sistem / Komponen Imun
Tubuh kita memiliki jalur / mekanisme dalam menjaga imun tubuh dan melawan
pathogen :
a. Pengenalan (recognition), untuk:
- mengenal dan mendeterminasi substansi asing secara spesifik
- menyeleksi molekul yang bersifat imunogenik
- membedakan komponen sendiri (self) dari substansi asing (nonself).
b. Tanggapan (respon), untuk:
Mengerahkan bermacam-macam sel dan molekul sehingga menghasilkan
reaksi yang sesuai dan tepat untuk melawan dan menetralkan substansi/organisme
yang masuk.
Kesimpulan :
1. Kekebalan bawaan atau innate imunity merupakan suatu mekanisme pertahanan
tubuh yang paling pertama sehingga tubuh tidak terkena atau terlindungi dari berbagai
mikroba pathogen. Tetapi sistem pertahanan ini belum bisa mengenali mikroba
patogen secara spesifik atau masih bersifat umum untuk semua jenis mikroba.
2. Kekebalan bawaan di bagi menjadi dua langkah pertama pertahanan pertama
meliputi secara fisik, kimia dan flora normal yang ada di dalam tubuh. Pertahanan
kedua meliputi fagosit, inflamasi demam dan substansi antimikroba.
B. ADAPTIVE IMMUNOLOGY
Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh
disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang melibatkan
limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis keturunan ( sel B ). B Cells
(with co-stimulation) berubah menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. The co-
stimulation sel B dapat berasal dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel dendritik .
Seluruh proses ini dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.
Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti virus atau
bakteriKekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori yang
menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat germinal
pembentukan isotipe switching, pematangan afinitas dan memori sel generasi. Hal ini
juga mengacu pada efektor fungsi antibodi, yang mencakup netralisasi patogen dan
racun, classical complement activation, and opsonin phagocytosis dan eliminasi
patogen.
3.2. Akuisisi ( Perolehan ) Kekebalan
Kekebalan dapat dalam dua golongan besar :
I. Kekebalan alam (natural immunity), sudah ada sejak lahir
II. Kekebalan didapat (acquired immunity), didapat selama hidup
I. Kekebalan alam:
Di antara manusia dan binatang berbagai jenis ditemukan perbedaan dalam hal
kekebalan terhadap berbagai macam penyakit. Faktor konstitusi atau faktor lain yang
tidak diketahui dapat menimbulkan kekebalan alam berupa:
1. Kekebalan ras (racial immunity)
Telah ditemukan secara statistik bahwa orang kulit berwarna ternyata lebih
peka terhadap penyakit tuberkulosis daripada orang kulit putih.
2. Kekebalan spesies (species immunity)
Penyakit lepra dan gonore secara alamiahnya terdapat pada manusia dan
tidak ditemukan pada binatang. Penyakit tetanus yang terdapat pada manusia dan
kuda, tidak terdapat pada burung. Penyakit anthrax yang ditemukan pada ternak,
tidak terdapat pada anjing atau kucing.
3. Kekebalan perorangan (personalimmunity)
Ditemukan perbedaan kepekaan terhadap satu jenis penyakit pada beberapa
orang di dalam satu spesies atau ras.
4. Flora Normal
4.1. Pengertian Flora Normal
Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme (bakteri, jamur, protozoa) yang hidup
pada kulit dan mukosa
2. Kompetisi nutrisi
Flora normal di usus mengambil nutrisi di usus sebelum diabsorbsi oleh inang.
Pertumbuhan hewan tanpa bakteri lebih cepat dibanding hewan konvensional.
Peternak beri antibiotika sebagai campuran makanan ternak supaya ternaknya
tumbuh lebih cepat.
3. Menginduksi toxemia
Normal flora mengeluarkan toksin (sangat sedikit), yang dapat masuk sirkulasi
darah.
Bila keluar dari habitat aslinya dan tidak tercapai oleh sistem pertahanan
inang.
Stretococcus viridans,
E.coli,
Etiologi
Secara umum ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T supresor yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan
dan zat lain.
Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mastosit
atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE
yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan
penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin, vasoactive amine,
prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi kalau terbentuk ikat-
silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang
kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang
kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas dan menyebabkan
membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara
berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma,
sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang berwarna merah
(eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran
pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.
Manifestasi Klinis
Gejala yang umumnya muncul:
Organ yang Gejala
terkena
Hidung pembengkakan saluran hidung (rhinitis alergi), runny nose,
bersin
Sinusitis sinusitis alergi
Mata merah dan gatal pada bola mata, berair
Saluran bersin, batuk, penyempitan cabang saluran paru-paru
pernafasan (bronchoconstriction), nafasnya berisik (mengi) dan nafas
pendek/tersengal-sengal (dyspnea), kadang-kadang terjadi asma,
pada kasus yang berat saluran pernafasan menyempit karena
pembengkakan saluran ke dalam dan dikenal sebagai
pembenkakan saluran pernafasan (laryngeal edema)
Telinga terasa buntu, mungkin nyeri, dan berkurangnya pendengaran
karena kurangnya drainase pada saluran eustachia.
Kulit gatal-gatal, seperti eksim dan urticaria
Saluran sakit perut, perut teras penuh, muntah, diare
pencernaan
Reaksi Hipersentivitas
1) Reaksi Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 ini adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat,
mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu di ikat pada
permukaan sel basofilia (sel mast ) dan basofil. Pada reaksi tipe 1 diperantarai oleh
antibodi IgE ( disebut juga antibodi reaginik).
Patofisiologi
Di awali dengan pemaparan awal antigen ( sering di sebut sebagai alergen).
Alergen ini merangsang produksi IgE oleh sel B, suatu proses yang memerlukan
bantuan sel T. IgE ini bersifat sitofilik kuat bagi sel basofilia (sel mast) dan basofil
yang memiliki afinitas kuat terhadap fragmen Fc IgE. Sekali IgE diikat pada
permukaan sel basofilia (sel mast), orang itu pasti akan mengalami hipersensitivitas
tipe 1. Pemaparan ulang terhadap suatu antigen yang sama akan menghasilkan
terikatnya antigen pada IgE yang sudah terikat pada permukaan sel tersebut, sehingga
akan menimbulkan reaksi yang menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan
hipersensitivitas tipe 1. Pelepasan ini memerlukan IgE sekitarnya yang dipermukaan
sel basofilia (sel mast) dan basofil, yang dihubungkan silang dengan cara
mengikatnya pada antigen. Hubungan silang IgE yang terikat pada permukaan sel
menimbulkan sinyal membran yang memulai dua proses, yang pertama menuju
degranulasi sel basofilia dengan pelepasan zat perantara primer, sedangkan yang
kedua meliputi sintesis de novo dan pelepasan perantara sekunder seperti metabolit
asam arakidonat.
Mediator Primer
1. Histamin.
Dalam trombosit histamin ada dalam bentuk prekursor. Histamin juga ditemukan
di dalam granula sel mast dan eosinofil. Pelepasan histamin menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontaraksi otot polos (misal,
bronkospasme). Obat-obat antihistamin dapat mengahalangi tempat reseptor
histamin dan relatif efektif dalam pengobatan rinitis alergika. Histamin adalah
salah satu mediator primer pada reaksi tipe I.
2. Protease neutrofil.
Untuk menghasilkan mediator peradangan.
Perantara (Mediator) Sekunder.
Mediator ini mencakup dua kelompok senvawa: mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosfolipid
membran sel mast untuk menghasilkan asam arakidonat.Selanjulnya, asam arakidonat
mempakan senyawa induk untuk menyintesisleukotrien dan prostaglandin. Senyawa
lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasttk
rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya
melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atatt reaksi lokal.
Sering kali hai ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen
proteinatau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral)
menimbulkan anafilaksis sistemik.Dalam beberapa menit setelah pajanan,padapejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokostriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian
atas. Selain itu, otot semua saluran pencemaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan
kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya
terbatas pada ternpat tertentu sesuai dengan jalur
pemajanannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru(inhalasi, menyebabkanbronkokonstriksi).
Bentuk umum alergi kulit dan makanan, hay fever, serta bentuk tertentu asma
merupakan contoh reaksi anafilaksis yang teriokalisasi. Sebelum pembahasan
mengenai hipersensitivitas tipe I ini diakhiri, penting untuk diperhatikan bahwa reaksi
ini secara jelas tidak berkembang untuk menyebabkan ketidaknyamanan serta
penyakit pada manusia. Hipersensitivitas tipe I, khususnya reaksi peradangan fase
lambat, memainkan peran perlindungan yang penting terhadap infeksi parasit.
Antibodi IgE dihasilkan sebagai respons terhadap berbagai infeksi cacing.
2) Reaksi Tipe II
Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,
terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor
Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Terdapat dua mekanisme bergantung antibodi yang
berbeda termasuk tipe hipersensitivitas.
1. Sitotoksisitas Diperantai Komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua
mekanisme: lisis langsung dan opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai
komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan
fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui
kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen
komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam
sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun
antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan
fagositosis gagal dan jejas. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom
eksogen dan/atau metabolit toksik (misalnya, sindrom goodpasture).
2. Sitoktosisitas Diperantai Sel Yang Bergantung Antibodi Adcc (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity)
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui
jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG, sasaran yang diselubungi
oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC
dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil,
makrofag, dan sel NK, Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi
IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakan adalah antibodi IgE.
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika
seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun).
Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk
di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu
seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada
kulit.
Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit
individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap
antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu
tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada
permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan
memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah,
khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah
tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness
pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi
ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda
yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang
berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya
produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut
disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang
masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi.
Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu
deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks
imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang
darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan
cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun
pada glomerulus dan sendi.
Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di daerah pengendapan
Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi
manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia), pembesaran nodus
limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang
terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh
darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada
sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang
mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi patologis.
Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang
biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi
cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum
sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang berkaitan dengan respon antibodi
persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan
morfologis dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak
diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi
pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu
antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang
melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi
ikatan yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera
berupa iskemik.
4) Reaksi Tipe IV
Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari
autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel
dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi
sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas
jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai
contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan
responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi
granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan
normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis,
virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik
terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang
dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+.
Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T
untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap
antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal
dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel
radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autolog dapat langsung
membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang dimediasi sel T,
terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya
berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya
menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas
lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin,
anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi
inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF,
dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin.
Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis
dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk sitokin
seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang
terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel
CD8+.
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen
dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi
kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam
24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel
mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular
cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang
disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma
akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang
terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada
lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan
hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika
seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli,
sel CD4+ T naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul
kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve
menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH
bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1
akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang
lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya
terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang
ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama
IFN-γ, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH.
T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi
membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T
lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari
banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen
permukaan sel berperan penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting
dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus
terkait dengan molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke
permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+
sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui:
(1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat
di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran
plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T
CD8+ mendekati sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang
dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-
lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin.
Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi
apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke
dalam sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi
apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan
Fas ligan, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis.
Hospes
Hospes definitif
Organisme yang merupakan hospes sebenarnya dari suatu parsit, yaitu
hospes yang ditumpangi parasit dalam bentuk dewasa dan menjadi tempat
berlangsungnya reproduksi seksual.
Contoh : Manusia merupakan hospes definitif dari ascaris lumbricoides.
Penyakit Filaria – definitive: manusia, intermediet: nyamuk.
Hospes intermediet
Hospes yang menjadi perantara tertularnya penyakit parasit, di dalam
hospes ini parasit dalam bentuk larva dan tempat berlangsungnya reproduksi
aseksual.
Contoh : nyamuk merupakan hospes intermediet dari filariasis.
Penyakit malaria – definitive: nyamuk, intermediet: manusia.
Hospes paratenik
Hospes yang menjadi tempat istirahat bagi stadium larva parasit
tertentu.
Contoh : Sistiserkus pada sapi dan babi.
burung hantu yang diparasit oleh thorny-headed worms.
Hospes reservoir
Hospes yang terus-menerus bertindak sebagai sumber penularan dari
penyakit parasit.
Contoh : kera di daerah sumatera sebagai hospes reservoir malayan filariasis,
anjing dengan Leishmania spp., tikus dan hewan carnivore dengan
Trichinellaspiralis, dan hewan pemakan serangga dengan Trypanosoma cruzi.
Hospes insidental
Parasit yang secara kebetulan bersarang pada satu hospes
2. Klasifikasi parasit
The International Code of Zoological Nomenclatur (Binomial nomenclature)
Phyllum Sarcomastigophora
o subphyllum Mastigophora
Class Zoomastigophora
Ordo Kinetoplastida
Famili Trypanosomatidae
Genus Trypanosoma, Leishmania
SpesiesTrypanosoma gambiense, Leishmania donovani
Parasitologi Medik
Parasit Cacing (helminthes) = kelas Nematoda, kelas Trematoda, kelas
Cestoda
Parasit protozoa = Protozoa Usus, Rongga Atrial, Darah, Jaringan
Parasit Arthropoda = Insekta, Arachnida, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda.
Ektoparasit Endoparasit
Reinfeksi
Autoinfeksi
Parasitosis
Dikenal istilah :
Diagnosis
Gejala penyakit Parasitik umumnya tidak spesifik bahkan asymptomatik. Pemeriksaan
penunjang :
Pemeriksaan Tinja, berbagai metode
Pemeriksaan darah, urine, sputum
Biakan atau kultur
Reaksi imunologis (imunodiagnosis)
Sumber
infeksi
Cara
Hospes
masuk /
peranta
por't
ra II
d'entree
Siklus
Hidup
Hospes
Hospes
peranta
ra I definitif
Tempat
perkemba
ngan
telur/larva
Interaksi dari ketiga faktor tersebut terjadi pada siklus hidup yang masing-masing
parasit tidak sama. Oleh karena itu upaya-upaya pencegahan dilakukan dengan
memutus rantai siklus hidup.
4. Arthropoda
Artropoda merupakan adalah metazoa yang mempunyai tubuh yang bersegmen-
segmen. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang berpasangan, misalnya
antena, kaki, dan sayap sehingga tubuhnya simetris bilateral.
Salah satu parasit yang terdapat dimuka bumi ini adalah artropoda. Artropoda merupakan
metazoa yang mempunyai tubuh yang bersegmen-segmen. Hewan ini memiliki
tonjolan tubuh (appendages) yang berpasangan, misalnya antena, kaki, dan sayap
sehingga tubuhnya simetris bilateral. Dalam dunia medis, dikenal entomologi
kedokteran yakni cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang peran artropoda
yang dapat menjadi penyebab langsung penyakit bagi manusia, atau menjadi penular
penyakit.
Artropoda sebagai penyebab langsung penyakit:
1. Dermatosis
Berbagai gangguan kulit dapat terjadi karena gigitan atau infestasi serangga.
Gigitan nyamuk, kutu badan (Pediculus) dan kutu busuk (Cimex) dapat
menimbulkan iritasi kulit penderita yang menyebabkan nyeri dan gatal-gatal.
2. Alergi
Penderita yang peka terhadap protein berupa tubuh serangga atau ekskreta yang
dikeluarkan oleh serangga tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi misalnya
berupa gatal-gatal atau sesak napas. Penderita asma bronkiale sering disebabkan
oleh tungau (mites) yang terdapat dalam debu rumah (house-dust mites)
3. Miasis
Investasi larva serangga di dalam organ atau jaringan tubuh manusia atau hewan
yang masih hidup disebut miasis. Makanan kotor yang tercemar telur lalat jika
tertelan dapat juga menimbulkan miasis pada usus, karena larva lalat menetas di
dalam usus penderita.
7. Farmakologi Antihistamin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan
saingan).Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi
alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih.
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, dimana kedua
jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi
histamin dan reseptor histamin H1 atau H2.
1. Menghambat reseptor H1 (AH 1)
Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan
dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam
penggolongan antihistamin H1. Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis
reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi
molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang
antagonis reseptor histamin H1.
Penggolongan antihistamin
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur
kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan
fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif,
akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih
dikenal denagn penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam
dua hal yang segnifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan
menimbulkan efek antikolinergenik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi
pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP)
lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak
dan lebih banyak terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi
kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari
generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer
(levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memproleh
profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih
minimal.
Farmakologi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama
dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang
tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas
vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas.
Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai
gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing.
Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait
dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil
farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan
juga bisa menurunkan lipofilitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal.
Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni
sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi
pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast atau membran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion
kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja
pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet
activating factor.
Antihistamin H1 diduga juaga memiliki efek antiflamasi. Hal ini terlihat dari
study in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi
menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori,
seperti menghambat pelepasan intracelluler adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh
sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan
kenapa desloratadine secara segnifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada
beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada
generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi
lebih lanjut untuk manguak misteri dari efek tambahan ini.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor
yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini
memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan.
Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat
reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan
inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai
aktivitas intrinsik.