Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ii. Urinalisis
- Urin berwarna kuning, jernih
- pH : 6,5 (Normal : 5-9)
- Berat jenis : 1015 (Normal : 1001-1035)
- Protein (-)
- Glukosa (-)
- Keton (-)
- Bilirubin (-)
- Urobilinogen : 0.2 EU
- Darah samar (-)
- Silinder (-)
- Bakteri (-)
A. Sejarah
Kedua parasit ini diberi nama “cacing tambang” karena pada zaman dahulu
cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan yang belum mempunyai
fasilitas sanitasi yang memadai. Terdapat 2 spesies cacing tambang yang bersifat
parasit pada manusia yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
B. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes parasit ini adalah manusia; cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan
ankilostomiasis.
C. Distribusi Geografis
Tersebar luas (cosmopolitan) terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis
termasuk di Indonesia. Prevalensi di Indonesia tinggi terutama di daerah perdesaan
sekitar 40%.
D. Cara Infeksi
Larva filariform Necator americanus menginfeksi dengan menembus kulit di
bawah kuku, sela jari, kulit perianal dan perineum.
Larva filariform Ancylostoma duodenale secara per oral tertelan bersama
makanan yang terkontaminasi tanah.
E. Siklus Hidup
F. Gejala Klinis
Larva di sekitar tempat menembus kulit menyebabkan iritasi local disebut
ground itch yang merupakan reaksi alergi, paling sering terjadi di kaki. Gejala akibat
larva di jaringan paru mirip pharingitis.
Keberadaan cacing dewasa di usus halus menyebabkan keluhan tidak enak
pada perut, nyeri epigastrium, mual, muntah dan diare. Gejala anemia terjadi secara
perlahan sesuai infeksi yang menahun terjadi anemia kekurangan zat besi atau anemia
hipokromik mikrositik.
G. Diagnosis
Menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses.
H. Terapi
Mebendazole
Albendazole
Pyrantel pamoat
Anti anemia
I. Pencegahan
Perbaikan hygiene sanitasi perorangan dan lingkungan.
Pengobatan penderita atau sumber infeksi.
J. Morfologi
a. Morfologi Telur
Telur kedua spesies tidak dapat dibedakan
Berdinding tipis, jernih, tampak transparan
Ukuran 60x40 μ
4. Klasifikasi Anemia
Jawab :
Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi
Anemia yang terjadi akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoiesis karena cadangan besi kosong. Hal tersebut
mengakibatkan berkurangnya pembentukan besi.
Anemia defisiensi asam folat
Merupakan anemia makrositik yang ditandai dengan adanya
peningkatan ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh adanya
abnormalitas hematopoiesisakibat gangguan sintesis DNA
Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia yang dijumpai pada pasien dengan infeksi, inflamasi
kronis, maupu keganasan. Anemia ini umumnya bersifat ringan atau
sedang, disertai dengan rasa lelah atau penurunan berat badan.
Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
Anemia anaplastik
Pansitopenia yang disertai dengan dengan hiposelularitas
sumsum tulang
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Epidemiologi
Merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara berkembang berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Di Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada 16-50% laki-laki dan 25-48%
perempuan: 46-92% ibu hamil dan 55,5% balita.
C. Klasifikasi
defisiensi besi merupakan tahapan akhir dari penurunan cadangan besi yang telah
menimbulkan gejala klinis. Berikut adalah tahapannya:
Deplesi besi (iron depleted state). Cadangan besi menurun, penyediaan
besi untuk eritropoiesis belum terganggu.
Eritropoiesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis. Cadangan besi
kosong, penyediaan besi untuk eritropoiesis terganggu, belum muncul
anemia secara laboratoris;
Anemia defisiensi besi. Cadangan besi kosong, sudah muncul anemia
defisiensi besi.
D. Etiologi
2. Kebutuhan zat besi meningkat: anak dan masa pertumbuhan, kehamilan, dan
laktasi;
3. Kehilangan zat besi karena perdarahan;
a. Traktus gastrointestinal: pemakaian OAINS, tukak peptik, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, infeksi cacing tambang (sering di Indonesia).
b. Traktus urinaria: hematuria
c. Organ genitalia perempuan: menoragia, metroragia;
d. Saluran nafas; hemoptoe
4. Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rerdah
vitamin C, dan rendah daging).
5. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi. tropical sprue atau kolitis kronik.
E. Patogenesis
F. Tanda dan Gejala
1. Gejala umum
Disebut sindrom anemia (anemic sindrome) apabila :
Kadar Hb turun dibawah 7-8 g/dL.
Badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
berdenging.
Bila Hb turun terdapat pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di
bawah kuku.
2. Gejala khas defisiensi besi
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail),kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah
liat, es, lem, dan lain-lain.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
G. Diagnosis
Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria WHO
atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang
terjadi.
Secara laboratorium untuk menegakkan diagnosis anemiia defisiensi besi
(tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi
besi modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl
dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c atau d :
a) Dua dari parameter ini : Besi serum < 50 mg/dl, TIBC > 350 mg/dl,
Saturasi transferin < 15% atau
b) Serum feritinin < 20 g/dl atau
c) Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
menunjukan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif atau
d) Dengan pemberian sulfas fenosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi
lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin
lebih dari 2 g/dl.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan ditemukan :
Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: Hb , MCV , MCH ,MCHC ;
Apusan darah tepi. Dapat ditemukan gambaran anemia mikrositik
hipokrom, anisositosis, polikilositosis, sel cincin, sel pensil;
Besi (Fe) serum menurun hingga <50 g/dL. Besi termasuk acute phase
reactant yang akan meningkat pada kondisi inflamasi (positif palsu)
Total iron-binding capacity (TIBC) meningkat >350 µg/dL. TIBC
menggambarkan jumlah total besi yang dapat di bawa oleh protein
transferin;
Saturasi transferin <155. Saturasi transferin menggambarkan persentase
dari transferin yang sedang berikatan dengan besi;
Penurunan kadar feritin serum. Feriti merupakan indikator cadangan besi
yang baik, namun tidak dapat dijadikan patokan pada keadaan inflamasi.
Untuk daerah tropik di anjurkan menggunakan angka feritin <20 mg/L
sebagai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi.
H. Faktor Resiko
1. Diet rendah Fe.
2. Pertumbuhan yang cepat.
Remaja/masa pertumbuhan.
Kehamilan : karena turunnya volume darah, pertumbuhan fetal dan
plasental.
Kehamilan berulang.
3. Kehilangan darah
Pada menstruasi, gangguan pencernaan, pembedahan, dan donor darah.
4. Kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai.
5. Rasial
Sering pada Afrika-Amerika dan Meksiko-Amerika.
6. Perdarahan setelah melahirkan.
I. Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah:
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi
kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali
2. Pemberian preparat besi :
Ferrous sulfate peroral 3x200 mg selama 3-6 bulan, ada pula yang
menganjurkan hingga 12 bulan, obat di berikan setelah perut kosong.
Pada pasien yang tidak tahan dengan keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah, konstipasi, pemberian ferrous sulfate dapat
dilakukan saat makan atau dosis diturunkan menjadi 3x100 mg
Dapat diberikan vitamin C 3x100 mg untuk meningkatkan
penyerapan zat besi.
3. Terapi besi parentral
iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), Besi parenteral dapat
diberikan secara subkutan atau intravena pelan. Terapi besi parental
bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi
sebesar 500-1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus
di bawah ini :
Kebutuhan besi (mg) : {(15-Hb sekarang) x BB x 2,4} + (500 atau 1000) mg)
4. Pengobatan lain
Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein
terutama yang berasal dari protein hewani.
Transfusi darah : anemia defisiensi jarang memerlukan transfusi darah.
Indikasi pemeberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi
adalah :
o Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung.
o Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala
pusing yang sangat menyolok.
o Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasl.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk
mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat
dipertimbangkan pemberian furosemid intravena.
Pada pasien di pemicu diberikan :
J. Komplikasi
1. Gagal jantung kongestif
2. Parestesia
3. Konfusi kanker
4. Penyakit ginjal
5. Gondok
6. Gangguan pembentukan heme
7. Penyakit infeksi kuman
8. Talasemia
9. Kelainan jantung
10. Rematoid
11. Meningitis
12. Gangguan sistem imun
K. Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat
maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan
pencegahan tersebut dapat berupa :
Pendidikan kesehatan:
o Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban,
perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga
dapat mencegah penyakit cacing tambang.
o Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorbsi besi.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik paling yang sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian
infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal
Fpdengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen
penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia
diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan
folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makan. Di negara Barat dilakukan denganmencapur tepung untuk
roti atau bubuk susu dengan besi.
L. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi zat besi dalam kehamilan umumnya baik
bagi ibu dan anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa
perdarahan atau komplikasi lain. Anemia berat yang tidak diobati dalam
kehamilan muda dapat menyebabkan abortus dan dalam kehamilan tua dapat
menyebabkan partus lama, perdarahan dan infeksi.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, Aru. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Halaman 1127-1136 . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta .
1996.
2. Tanto, Liwang, Hanifati, Pradipta. Kapita Selekta Kedokteran. Hal. 653-656. Edisi IV.
MEDIA AESCULAPIUS FKUI. Jakarta .2014
3. Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitolagi Kedokteran. Jakarta .seyung seto