Vous êtes sur la page 1sur 12

ANALISIS UU NO.

41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

TUGAS POLITIK HUKUM

SRI RISKA PUTRI


17

Kelas A (Khairani)
A. Pendahuluan

Hukum adalah suatu kata yang bermakna kompleks dan sampai sekarang pun tidak
ada satu pun para ahli yang bisa bersepakat untuk menyamakan satu persepsi dalam
memberikan pengertian apa itu “hukum”, bahkan berbagai teori pun muncul mengenai
keberadaan hukum, bagaimana hukum, berkembang hukum, dan bagaimana timbulnya
hukum. Masih menjadi tanda tanya dalam kehidupan sampai sekarang. Berbagai pengertian
hukum yang menyertai keberadaan hukum seperti yang diungkapkan oleh Prof. Mr. E. M.
Meyers bahwa hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi
penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya. Lain hal dengan Immanuel Kant
yang menyatakan hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas
dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lai,
menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.1 Masih banyak pengertian hukum yang
diungkapkan oleh para ahli hukum berdasarkan pemikiran dan hal yang melatarbelakangi
mereka sehingga mereka bisa mengambil kesimpulan bahwa itulah yang disebut hukum,
sehingga berbagai teori pun bisa muncul mengenai keberadaan hukum sesuai dengan
perkembangannya.
Berbicara hukum berarti berbicara permasalahan manusia yang rumit. Walaupun
ada teori hukum yang dinyatakan oleh Hans Kelsen yakni hukum murni bahwa hukum
tidak bisa dicampur adukkan dengan hal lain yaitu permasalahan politik, kesusilaan,
sejarah, kemasyarakatan, keadilan atau hal lainnya. Tapi seperti yang kita tahu dalam

1
. Prof. Drs. C. S. T. Kansil, SH. Pengantar Ilmu Hukum Jilid 1. Balai Pustaka. Jakarta. 2002. hlm. 9
pelaksanaannya hukum tidak bisa berdiri sendiri karena aspek-aspek tersebut memang telah
memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hukum sebagai jenis ilmu manakah saat ini masih perdebatan yakni antara ilmu
alam dan ilmu sosial. Dan antara alam dan masyarakat sebagai dua objek pemahaman
ilmiah yang berlainan. Sehingga hukum masuk ilmu alam atau ilmu sosial, atau hukum
termasuk fenomena alam atau fenomena sosial. Namun pembatasan antara alam dan sosial
bukanlah hal yang mudah karena masyarakat sebagai kehidupan yang aktual bersama umat
manusia, dapat dianggap sebagai bagian dari kehidupan secara umum dan juga bagian dari
alam.2 Oleh karena itu permasalahan hukum tidak bisa pula dipisahkan secara tegas dengan
disiplin ilmu lain bahkan hal-hal sosial lain yang berkembang dalam masyrakat karena
mereka saling taril menarik dan saling memepengaruhi. Sehingga tergantung siapa yang
paling bisa bertahan atau yang paling dominan dalam pelaksanaan maka itulah yang
dianggap hukum secara mata kasar oleh masyarakat, tanpa mengetahui bagaimana proses
yang terjadi sebelumnya. Akibatnya setiap orang akan memandang hukum dari sisi dan
sudut pandang yang berbeda menjadi hal yang lumrah.
Pengertian hukum yang banyak versi, sehingga produk hukum yang dibuat dengan
lembaga legislatif otomatis juga sarat dengan berbagai kepentingan dan belum tentu semua
terakomodir hak, kewajiban atau kepentingannya semua warga dengan baik. Ibarat
peraturan dibuat oleh penguasa untuk kepentingan penguasa yang bertujuan mengatur
rakyat. Walaupun pada intinya peraturan perundang-undangan itu bermanfaat supaya
terjadi ketertiban. Tapi tidak semua tujuan belum tentu terlaksana, sama seperti halnya cita-
cita undang-undang tersebut bisa jadi tidak terealisasi di lapangan. Seperti yang banyak
terjadi dalam produk hukum yang bertema lingkungan banyak sekali tumpang tindih serta
rancu, bahkan hanya menguntungkan aspek tertentu saja. Sehingga tujuan untuk menjaga
lingkungan warisan untuk anak cucu tidak tercapai yang akibatnya peraturan hanya dibuat
sekedar tender legislatif saja tapi tidak memberikan faedah bagi masyarakat banyak.
Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 merupakan salah satu contoh nyata,
di mana undang-undang ini bukanlah undang-undang penyelamat hutan bagi hutan
Indonesia tapi malah bisa jadi boomerang yang bisa membinasakan lingkungan hayati kita

2
. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Nusa Media. Bandung. 2008. hlm. 2
krena banyak pasal karet yang bertengger di dalamnya. Walapun pada inti niat baik yang
tercantum pada bagian pertimbangan sangat bernilai luhur tapi apakah pasal yang didalam
juga mencerminkan hal tersebut, itu masih tanda tanya. a) bahwa hutan sebagai karunia dan
amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia,
karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga
kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun
generasi mendatang; b) bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu
keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari,
dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta
bertanggung-gugat; c) bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan
budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. Itulah isi
dari pertimbangan undang-undang kehutanan ini walaupun prinsip utama yang
melatarbelakangi diterapkannya UU No 41 Tahun 1999 tersebut selain sebagai pengganti
UU No. 5 Tahun 1967 tetapi tiga hal diatas juga menjadi tujuan pemberlakuan undang-
undang ini.
Ada beberapa prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang
harus termuat di dalam Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Diantaranya prinsip-prinsip Pengelolaan SDA itu adalah,
1. Good Governance Principle,
2. Subsidiarity Principle,
3. Equity Principle,
4. Priority Use,
5. Prior Appropriation Principle (First in time, First in Right Principle),
6. Sustainable Development Principle,
7. Good Sustainable Development Governance,
8. Principle of Participatory Development
Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan
terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Di
dalam Pasal tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Hal ini juga terkait dengan pasal-pasal yang ada di UU Kehutanan
bahwa selain untuk melindungi terdapat juga fungsi pemanfaatan seluas-luasnya untuk
masyarakat secara terkendali.

B. Analisis
Pada umumnya pelaksanaan undang-undang ini berkemungkinan besar gagal karena
dari 84 pasal yang ada, undang-undang ini membutuhkan 21 peraturan pelaksana baik berbentuk
peraturan pemerintah maupun berbentuk peraturan setingkat mentri. Dari 21 peraturan pelaksana
tersebut terdapat pada pasal 9 ayat (2), 13 ayat (5), 16 ayat (3), 17, 19 ayat (2), 20 ayat (3), 22 ayat
(5), 31 ayat (2), 33 ayat (3), 35 ayat (4), 39, 42 ayat (3), 44 ayat (3), 45 ayat (4), 48 ayat (6), 58, 66
ayat (3), 67 ayat (3), 70 ayat (4), 79 ayat (3), 80 ayat (3). Pasal-pasal tersebut bisanya menjadi pasal
pengunci (locking provisions). Sehingga solusinya adalah mengurangi pasal-pasal pengunci
terutama yang terdapat dalam Pasal 31 tentang pemberian izin dimana tidak dijelaskan siapa yang
berwenang dalam pemberian izin, apalagi dengan adanya penggolongan jenis hutan yang fungsinya
saling tumpang tindih terletak pada Pasal 6 sampai Pasal 9. Juga mengenai pengakuan hak adat
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 yang hanya sekedar basa-basi bahkan peran masyarakat sekitar atau adat
hanya bisa dikatakan sebagai pengawas tanpa bisa melakukan pemanfaatan karena kembali apakah
memiliki izin atau tidak (terkait Pasal 59 dengan Pasal 67).
Begitu banyak pasal dalam undang-undang ini yang masih terus dipertanyakan karena
selalu ada pernyataan akan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Contonya yang terjadi dalam pasal 31
sampai pasal 33 UU No. 41 Tahun 1999.

Pasal 31

(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan
hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian
usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk
menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.

Pasal 33

(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,


pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.

(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

Dalam pemberian izin tidak jelas siapa yang berwenang mengeluarkan. Apalagi
dengan kondisi otonomi daerah, maka akan ditemui pemberian izin yang saling tumpang
tindih. Dan pejabat level rendah seperti RT/RW, Kelurahan serta Kecamatan yang hanya
berposisi sebagai pengawas tidak pernah ditanya pendapatnya tentang pemberian izin
tersebut. Padahal ialah yang paling tahu kondisi areal tersebut belum lagi dengan pendapat
masyrakat sekitar yang kadang-kadang sengaja dikaburkan untuk merelakan hutan adat
mereka. Yang nanti berujung , hutan rusak tidak ada pertanggungjawaban yang lebih
parahnya sesudah hutan dieksploitasi hutan tidak kembali ke masyarakat adat tapi malah
menjadi hutan Negara yang di miliki oleh Negara. Sehingga kembali kepada pasal yang
mengakui hukum adat tersebut, hanya sekedar basa basi. Istilahnya yang penting ada, tapi
mau dilaksanakan itu tergantung kepada kepentingan penguasa.
Bagaimanapun juga masih ada pasal karet yang bercokol dalam undang-undang ini yakni
pasal 50 dan pasal 51. Pasal ini jika diterapkan dengan sebenar-benar bukan dengan
“sebenar-benarnya” membuat hutan Indonesia aman dari penjarahan, pencurian, tebangan
liar (Ilegal Logging), perladangan dan sebagainya. Tetapi apakah praktek lapangannya
memang sudah seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang ? sebuah pertanyaan yang
menggelitik karena jawabannya ada tiga yakni ya, tidak dan tergantung. Ya, jika yang
melakukan kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat kecil. Tidak, jika yang melakukan
kegiatan tersebut dilakukan oleh para cukong kayu dan oknum pembesar. Tergantung, jika
yang terlibat didalamnya adalah para penegak hukum itu sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut mari kita lihat kembali pasal 50 dan 51 Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 50

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

Ini memang seharusnya, karena apapun barangnya jika sudah merusak berarti
merubah/mengganti dari sesuatu yang benar menjadi tidak benar. Tapi bagaimana dengan
pemberian izin terhadap hutan lindung kepada pertambangan yang terdapat dalam Pasal 38

(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.

Ini adalah tanggung jawab para pemegang IUPHHK, apakah pengawasan yang
dilaksanakan oleh Departemen terkait memang sudah seharusnya selama ini ataukah hanya
formalitas saja. Mengapa IUPHHK karena memang sebagian besar kawasan hutan produksi
negeri ini dikuasai oleh IUPHHK.

(3) Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;

Memang sepantasnya tapi bagaimana dengan masyarakat hukum adat yang telat
tinggal di sana lebih dahulu yang tidak memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu
IUPHHK, seharusnya dijelaskan lebih rinci masyarakat yang mana. Jadi Pasal 4 dan Pasal 5
tentang pengakuan adat tidak hanya menjadi pasal basa basi, yang sebenarnya pemerintah
dengan berat hati mengakuinya, sehingga dibatas dengan kalimat sepenjang tidak
bertentangan dengan peraturan berlaku.

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak
sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai.

Tapi dalam pelaksanaan pemberian izin benar-benar bertolak belakang. Karena bagi
pengusaha pemilik izin dalam melakukan penebangan ternyata melewati standar yang
ditentukan. Jadi dimana pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait, atau ini memang
berasal akibat izin yang diberikan selama ini tanpa memperhatikan kondisi hutan di
lapangan selama ini. Karena izin yang diberikan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan
pemerintahan terkecil yang ada dimasyarakat apalagi masyarakat yang tinggal di sekitar
area hutan. Sebab jika hal itu dilaksanakan seharusnya hutan kita masih utuh sampai
sekarang.

d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus
untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin
pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

Alat yang lazim ini apa chainsaw, kampak, beliung, Parang. Karena seperti yang
kita tahu selama ini penangkapan illegal logging hanya sebatas mobil mengangkut hasil
hutan dan sopir yang membawanya. Jadi bagaimana dengan peralatan yang menyebabkan
hutan bisa ditebang. Tidak mungkin langsung ada di atas mobil itu bukan. Sehingga
pembuktian dan penagkapan yang dilakukan aparat hukum hanya sebatas kepada pelaku
yang berposisi sebagai peran pembantu, tapi bagi pelaku yang menjadi otak sehingga hutan
itu rusak tidak dikejar. Ternyata hukum memang pandang bulu dalam hal ini. Karena
seperti kita tahu pelaku yang menjadi otak inilah yang paling besar mendapatkan
keuntungan dan dialah yang tidak akan pernah merasakan penderitaan masyarakat sekitar
hutan, jika terjadi bencana alam akibat kerusakan hutan.

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta


membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan
hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang
tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari
pejabat yang berwenang.

(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau
satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagaimana dengan komunitas masyarakat adat yang memang memenuhi kebutuhan


sehari-hari dengan berburu. Ini terlalu umum seharusnya dijelaskan golongan masyarakat
apa dan untu kepentingan hobby, di jual/bisnis atau untuk makan seharusnya dicantumkan
supaya jangan rancu.

Pasal 51

(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat


kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian
khusus.

(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:

a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;


b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil
hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada
yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Pasal inilah yang sering menjadi sumber petaka bagi masyarakat kecil dan sering
dijadikan senjata oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Terlalu banyak
kita mendengar keluhan masyarakat yang kesulitan membangun bangunan tempat tinggal
karena langkanya kayu sebagai bahan baku. Seharusnya aparat yang diberikan wewenang
oleh Undang-undang melihat permasalahan tersebut mulai dari akar, tidak dengan serta
merta semua kegiatan yang berada dalam kawasan hutan melanggar Undang-undang
kehutanan No. 41 Tahun 1999. Dan perlu dikaji lebih jauh dampak terhadap kondisi
masyarakat sekitar hutan. Yang terjadi saat ini adalah semut diseberang lautan kelihatan
sementara gajah bengkak didepan tak kelihatan. Kewenangan yang tidak dibatasi akan
menimbulkan anarkisme kekuasaan dan akibatnya masyarakat yang tidak tahu menahu
menjadi korban, sementara para petinggi dan cukong lenggang kangkung melangkahi
undang-undang tersebut.

C. Penutup

Ternyata dalam contoh 5 Pasal di atas terdapat banyak ketimpangan dan kerancuan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa UU N0. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan belum
memiliki prinsip-prinsip hukum yang sehrusnya ada disetiap undang-undang, sehingga
dalam pelaksanaannya dapat berjalan baik. Prinsip-prinsip yang tidak ada itu adalah :
1. Good Governance Principle,
2. Subsidiarity Principle,
3. Equity Principle,
4. Priority Use,
5. Prior Appropriation Principle (First in time, First in Right Principle),
6. Sustainable Development Principle,
7. Good Sustainable Development Governance,
8. Principle of Participatory Development

Yang kita lihat baru 5 Pasal, belum lagi dengan pasal-pasal lain yang tidak
berkesinambungan dengan yang lain.
Maka dapat diberikan rekomendasi pasal, yang seharusnya ada dalam undang-undang ini
yaitu :
1. Dalam hal pemberian izin untuk pemanfaat hutan seharusnya harus mendapatkan
pertimbangan dan izin dari masyarakat adat yang memiliki hutan adat.
Hal ini disebabkan terhadap prinsip yang lebih dahulu, ialah yang berhak mengelola
dan prinsip penggunaan SDA seharusnya diutamakan untuk kebutuhan vital
manusia serta untuk mempertahankan kehidupan manusia. Karena tidak mungkin
pengelolaan hutan harus menjadi hutan produksi. Jika masyarakat sekitar sudah
bergantung kepada mata pencarian dari pertanian atau berladang. Sebab pemaksaan
hanya akan menimbulkan tidak stabilnya kondisi lingkungan dengan masyarakat
sekitar. Sehingga tujuan untuk mensejahterakan rakyat jadi tidak tercapai
2. Dalam penetapan pemanfaatan hutan produksi seharusnya Pemerintah level bawah
seperti RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan menjadi pertimbangan dan memiliki
peran untuk mengeluarkan izin tersebut.

3. Pemanfaatan hutan adat oleh pemegang izin usaha, seharusnya menjelaskan


perjanjian yang melibatkan masyarakat adat sehingga ketika perjanjian berakhir
maka hutan dikembalikan ke masyarakat adat dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk
kepentingan masyarakat sekitar.
Sehingga dalam pemungutan hasil yang mana pemilik izin pemanfaatan hutan harus
membayar retribusi seharusnya masyarakat adat harus menerimanya. Tidak hanya
sebatas kepada pemerintah saja. Apalagi dengan tanggung jawab masyarakat adat
yang harus mengawasi dan menjaga kelestarian hutan yang selama ini mereka
lakukan.

4.

Vous aimerez peut-être aussi