Vous êtes sur la page 1sur 625

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR.

RIFDA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. REYNALDO

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan
(belakang pasaraya manggarai)
phone number : 021 8317064
WA 081380385694
WA 081314412212
Medan
082122727364
ILMU
P E N YA K I T
DALAM
1. Hipertiroidisme

• Tirotoksikosis:
manifestasi
peningkatan
hormon tiroid
dalam sirkulasi.
• Hipertiroidisme:
tirotoksikosis
yang disebabkan
oleh kelenjar
tiroid hiperaktif.

Kumar and Clark Clinical Medicine


Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Graves’ disease(penyebab Manifestasi klinis hipertiroid
hipertiroid terbanyak) • Apathetic thyrotoxicosis
• Pr:Lk5–10:1, usia terbanyak – dpt terjadi pada org tua dengan
40 - 60 thn satu2nya gejala berupa letargi

• Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII • Thyroid storm/krisis


(+pada 80%), anti-TPO, tiroid(mengancam jiwa,
antithyroglobulin; ANA mortalitas 20–50%):
• Manifestasi klinis yaitu gejala – delirium, demam, takikardia,
hipertiroid ditambah: – hipertensisistolik dengan tekanan
nadi melebar &↓MAP, gejala
– Goiter
pencernaan;
• diffusa, tdk nyeri, terdengar
bruit
– ophthalmopati: 90% kasus
• Edema periorbital, retraksi
kelopak, proptosis
– myxedema pretibial (3%):
• edema di tungkai bawah akibat
dermopati infiltratif
Pemeriksaan penunjang • Hipertiroid Subklinis
• ↑FT4 &FT3; ↓TSH (↑ pada sebab
sekunder) – ↓TSH ringan &free T4
• RAIU scan utk menentukan normal,tanpa gejala klinis
penyebab – 15%  hipertiroid dlm 2 thn;
• Tidak perlu periksa autoantibodi ↑resiko AF & osteoporosis
kecuali pada kehamilan (resiko fetal
Graves)
• Dapat terjadi hipercalciuria,
hipercalcemia, anemia
• Indeks Wayne
– Skor>19 hipertiroid
– Skor<11 eutiroid
– Antara 11-19 equivocal
20.
Radioactive Iodine

• TMNG : Toxic multinodular goiter


• GD : Grave’s Disease
• TED :Thyroid Eye Disease
Radioiodine Terapi (Radioaktif Iodine [RAI; 131I])

• RAI is the treatment of choice for patients aged >21 yr and


younger patients who have not achieved remission after 1 yr
of antithyroid drug therapy. RAI is also used in
hyperthyroidism caused by toxic adenoma or toxic
multinodular goiter.
• Contraindicated during pregnancy (can cause fetal
hypothyroidism) and lactation. Pregnancy should be excluded
in women of childbearing age before RAI is administered.
• A single dose of RAI is effective in inducing a euthyroid state in
nearly 80% of patients.
• There is a high incidence of post-RAI hypothyroidism (>50%
within first year and 2%/ yr thereafter); these patients should
be frequently evaluated for the onset of hypothyroidism
2. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
Coombs murmur);
• Carditis: – and a high-pitched,
decrescendo, diastolic murmur
– (40% of patients) of aortic regurgitation heard at
– and may include cardiomegaly, the aortic area.
new murmur, congestive heart – Murmurs of mitral and aortic
failure, and pericarditis, with or stenosis are observed in
without a rub and valvular chronic valvular heart disease.
disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.

• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.

• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):


– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic fever-treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic
to penicillin  erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat
culture is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks
to be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day
– for 2-6 weeks to be tapered off
Rheumatic fever- prevention
Secondary prevention – prevention of recurrent
attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice
daily orally
Rheumatic fever- prevention
Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis
• Rheumatic fever + carditis + persistent valve
disease - 10 years since last episode or until 40
years of age, sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease –
10 years or well into adulthood whichever is
longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until
21 years whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)
3. STEMI
EKG Pada STEMI
4. Cerebral Malaria

• Possible cause:
• Binding of
parasitized red cells
in cerebral capillaries
→ sekuestrasi →
severe malaria
•  permeability of the
blood brain barrier
• Excessive induction
ofcytokines

http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Pilihan utama Malaria Berat di RS: Artesunat

• Artesunate parenteral tersedia • Artesunat (AS) diberikan dengan


dalam vial yang berisi 60 mg dosis 2,4 mg/kgBB per-iv,
serbuk kering dan pelarut dalam sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
ampul yang berisi 0,6 ml natrium Selanjutnya diberikan 2,4
bikarbonat 5%. mg/kgbb per-iv setiap 24 jam
• Untuk membuat larutan sampai penderita mampu minum
artesunat dengan mencampur 60 obat.
mg serbuk kering dengan larutan • Larutan artesunat bisa diberikan
0,6 ml biknat 5%. Kemudian secara intramuskular dengan
ditambah larutan Dextrose 5% dosis yang sama.
sebanyak 3-5 cc. • Apabila sudah dapat minum obat,
pengobatan dilanjutkan dengan
dihydroartemisinin-piperakuin
atau ACT lainnya selama 3 hari +
primakuin
Pilihan lainnya: Artemeter

• Artemeter intramuskular • Apabila sudah dapat minum


tersedia dalam ampul yang obat, pengobatan
berisi 80 mg artemeter dilanjutkan dengan
dalam larutan minyak. dihydroartemisinin-
• Artemeter diberikan dengan piperakuin atau ACT lainnya
dosis 3,2 mg/kgBB selama 3 hari + primakuin
intramuskular. Selanjutnya
artemeter diberikan 1,6
mg/kgBB intramuskular satu
kali sehari sampai penderita
mampu minum obat.
Pilihan lainnya: Kina

• Kina per-infus masih • Kina tidak boleh diberikan


merupakan obat alternatif secara bolus intra vena,
untuk malaria berat pada karena toksik bagi jantung
daerah yang tidak tersedia dan dapat menimbulkan
derivat artemisinin kematian.
parenteral dan pada ibu
hamil trimester pertama.
• Dalam bentuk ampul kina
hidroklorida 25%.
• Satu ampul berisi 500 mg/2
ml.

*Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
Pilihan lainnya: Kina
• Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose
5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
• Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau
NaCl 0,9%.
• Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam
larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam.
• Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%.
• Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat
minum kina per oral.
• Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet
dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.
• Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa
atau klindamisin pada ibu hamil.
• Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang
pertama
5. Anemia
• Menurut WHO, anemia merupakan keadaan
dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah
merah, baik itu dalam kadar hemoglobin dan
atau hematokrit, selama volume darah total
dalam batas normal. WHO memakai standard
kadar Hb < 12,5 g/dL untuk dapat
menegakkan diagnosis anemia. Di Amerika,
digunakan batas Hb < 13,5 g/ dL untuk laki-laki
dan <12,5 dL untuk perempuan.
Gejala anemia
• Gejala dapat bervariasi
• Pada anemia karena
kehilangan darah yang akut,
lemah atau pun tidak
sadar.
• Sementara pada keadaan
pendarahan kronisbadan
lemah atau bahkan tidak
bergejala sama sekali.
• Pada anemia hemolisis
perubahan warna kulit
menjadi warna kuning
(ikterus) karena proses
hemolisis yang menghasilkan
bilirubin
5. Anemia
6. Tiroiditis Subakut
• Didahului oleh infeksi virus
• Lebih sering terjadi pada wanita (3:1)

Patofisiologi
Adanya patchy inflammatory infiltrate pd folikel
tiroid dan multinucleated giant cell pd beberapa
folikel.
Perubahan folikular akan berkembang menjadi
granuloma yg diikuti dengan fibrosis.
6. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis
• Laboratorium
 TSH, free T4: may be normal or indicative of hypothyroidism or
hyperthyroidism depending on the stage of the thyroiditis.
 White blood cell (WBC) with differential: increased WBC with
left shift occurs with subacute and suppurative thyroiditis.
 Antimicrosomal antibodies: detected in >90% of patients with
Hashimoto’s thyroiditis and 50% to 80% of patients with silent
thyroiditis.
 Serum thyroglobulin levels are elevated in patients with
subacute and silent thyroiditis;

• Imaging
 Twenty-four–hour radioactive iodine uptake (RAIU) is useful to
distinguish Graves’ disease (increased RAIU) from thyroiditis
(normal or low RAIU).
6. Tiroiditis
Tatalaksana
 The duration of the thyrotoxic phase of thyroiditis is usually 3 to
6 wk. This phase is followed by a hypothyroid phase typically
lasting up to 12 wk.
 Treat hypothyroid phase with levothyroxine 25 to 50 mcg/day
initially and monitor serum thyroid-stimulating hormone initially
every 6 to 8 wk.
 Control symptoms of hyperthyroidism with beta-blockers (e.g.,
propranolol 20-40 mg PO q6h).
 Control pain in patients with subacute thyroiditis with
nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Prednisone 20 to 40 mg
qd may be used if nonsteroidals are insufficient, but it should be
gradually tapered off over several weeks.
 Use IV antibiotics and drain abscess (if present) in patients with
suppurative thyroiditis.
7. Tiroiditis
• Merupakan penyakit inflamasi pada tiroid.
• It is a multifaceted disease with various
etiologies, different clinical characteristics
(depending on the stage), and distinct
histopathology.
7. Tiroiditis
Sinonim
 Hashimoto’s thyroiditis: chronic lymphocytic thyroiditis,
chronic autoimmune thyroiditis, lymphadenoid goiter
 Painful subacute thyroiditis: subacute thyroiditis, giant cell
thyroiditis, de Quervain’s thyroiditis, subacute
granulomatous thyroiditis, pseudogranulomatous thyroiditis
 Painless postpartum thyroiditis: subacute lymphocytic
thyroiditis, postpartum thyroiditis
 Painless sporadic thyroiditis: silent sporadic thyroiditis,
subacute lymphocytic thyroiditis
 Infectious thyroiditis: acute suppurative thyroiditis, bacterial
thyroiditis, microbial inflammatory thyroiditis, pyogenic
thyroiditis
 Riedel’s thyroiditis: fibrous thyroiditis
Etiologi Tiroiditis
Tiroiditis
Manifestasi Klinis dan PF
 Hashimoto’s: tanda hyperthyroidism (tachycardia, diaphoresis,
palpitations, weight loss) or hypothyroidism (fatigue, weight gain, delayed
reflexes) depending on the stage of the disease. Terdapat pembesaran
difuse kelenjar tiroid, firm enlargement of the thyroid gland; the gland may
also be of normal size (atrophic form with clinically manifested
hypothyroidism).
 Painful subacute: terdapat nyeri, pembesaran tiroid, demam; signs of
hyperthyroidism are initially present; signs of hypothyroidism can
subsequently develop.
 Painless thyroiditis: clinical features are similar to subacute thyroiditis
except for the absence of tenderness of the thyroid gland.
 Suppurative: patient is febrile with severe neck pain, focal tenderness of
the involved portion of the thyroid, erythema of the overlying skin.
 Riedel’s: slowly enlarging hard mass in the anterior neck; often mistaken
for thyroid cancer; signs of hypothyroidism occur in advanced stages.
8. Osteoporosis
• Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
• Compromised bone strength
• Tipe osteoporosis
– Osteoporosis tipe I  pasca menopause (defisiensi esterogen)
– Osteoporosis tipe II  senilis (gangguan absorbsi kalsium di
usus)
• Faktor risiko osteoporosis
– Usia, genetik, lingkungan, hormon, sifat fisik tulang
• Dapat menyebabkan fraktur patologis
8. Klasifikasi Osteoporosis
8. Osteoporosis
Tanda dan Gejala
• Seringnya tanpa
gejala – silent
disease
• Gejala lain yang
dapat muncul
Nyeri punggung
Fraktur patologis
Penurunan tinggi
badan
Imobilisasi
Kifosis bertambah
Fraktur Kompresi pada Osteoporosis
• Wedge fractures –
collapse of the
anterior or posterior
of the vertebral body

• Biconcave
fractures – collapse of
the central portion of
both vertebral body
endplates

• Crush fractures –
collapse of entire
vertebral body
Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Female>male, >50 Female>male Male>female, >30 Male>female,
tahun, obesitas 40-70 tahun thn, hiperurisemia dekade 2-3
Awitan
Inflamasi
gradual
-
Arthritis gradual
+
akut
+
Variabel
+
Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis
Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli
Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st pergelangan pergelangan kaki Spine
CMC, DIP, PIP tangan/kaki, kaki & tangan Perifer besar
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis,
splenomegaly batu ginjal insuf aorta,
psoriasis
Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat
9. Rheumatoid Arthritis
• Penyakit inflamasi kronik dengan penyebab yang belum diketahui, ditandai oleh
poliartritis perifer yang simetrik.
• Merupakan penyakit sistemk dengan gejala ekstra-artikular.
• Berbagai faktor risikonya meliputi infeksi (mycoplasma, EBV, parvovirus, rubella), genetik,
wanita usia produktif.
• Terdapat:
• inflamasi dan proliferasi synovium
• Kartilago sendi menghilang
• Erosi juxtarticular
Rheumatoid Arthritis

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
Gambaran Klinis dan Patofisiologi
• GEJALA UMUM
– Demam
– Lemas
– Penurunan Berat Badan
• GEJALA LOKAL
– Poliartritis simetris terutama
pada PIP, MCP
– Kekakuan sendi >30 menit
– Sendi merah, bengkak
– Deformitas sendi
• EKSTRA-ARTIKULAR
– Nodul Rematoid
– Keratokonjungtivitis sicca
– Efusi pericardium
– Pyoderma gangrenosum
– Anemia
Rheumatoid Arthritis

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Rheumatoid Arthritis
• Skor 6/lebih: definite RA.
• Faktor reumatoid: autoantibodi terhadap IgG
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint
hyperextension of the DIP joint. with flexion of the DIP joint .

Rheumatoid Arthritis
Ulnar deviation of the fingers with wasting
Rheumatoid nodules &
of the small muscles of the hands and
olecranon bursitis.
synovial swelling at the wrists, the extensor
tendon sheaths, MCP & PIP.
Terapi
1. Synthetic DMARDS 3. low-dose
glucocorticoids

2. Biologic DMARDS

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
Rheumatoid Arthritis
Kompetensi Dokter Umum

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
10. Malaria
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis
plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat
menimbulkan berbagai gejala antara lain:
– Plasmodium vivax  malaria tertian benigna/malaria
vivax
– Plasmodium falciparum  malaria tertiana maligna/
malaria Tropicana
– Plasmodium malariae  malaria kuartana
– Plasmodium ovale  malaria tertian benigna ovale
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria the disease

• 9-14 day incubation


period
• Fever, chills, headache,
back and joint pain
• Gastrointestinal
symptoms (nausea,
vomiting, etc.)
Malaria the disease

• Malaria tertiana: 48h


between fevers (P. vivax
and ovale)

• Malaria quartana: 72h


between fevers (P.
malariae)

• Malaria tropica: irregular


high fever (P. falciparum)
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale

• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix
(Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT
– Dosis primakuin hari pertama 0.75 mg/kgBB
– Hari 2-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
11. Gagal Jantung Kongestif
11. Gagal Jantung Kongestif
• Adanya 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor
• Kriteria minor dapat diterima bila tidak
disebabkan oleh kondisi medis lain seperti
hipertensi pulmonal, penyakit paru kronik,
asites, atau sindrom nefrotik
• Kriteria Framingham Heart Study 100% sensitif
dan 78% spesifik untuk mendiagnosis
Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
Archives of Family Medicine 1999.
11. Gagal Jantung

• Contoh aktivitas fisik biasa: berjalan cepat, naik tangga 2 lantai


• Contoh aktivitas fisik ringan: berjalan 20-100 m, naik tangga 1 lantai
Pathobiology of Human Disease: A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms
11. Gagal Jantung

• B-type Natriuretic Peptide (BNP) adalah hormon yang dihasilkan


oleh otot jantung ketika otot bilik (ventrikel) jantung meregang
atau mengalami tekanan. BNP berfungsi mengatur keseimbangan
pengeluaran garam dan air, termasuk mengatur tekanan darah.
BNP diproduksi sebagai pre-hormon yang disebut proBNP.
• Jika jantung, khususnya ventrikel kiri fungsinya terganggu, kadar
NT-ProBNP di dalam darah akan meningkat. Karena itu, NT-proBNP
digunakan sebagai penanda untuk deteksi gagal jantung.
11. Gagal Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. LWW; 2011.


11. Gagal Jantung
11. Gagal Jantung
11. Gagal Jantung
12-13. Infeksi Saluran Kemih
• Escherichia coli is by far the most frequent cause
of uncomplicated community-acquired UTIs.

• Other bacteria frequently isolated from patients


with UTIs are:
Klebsiella spp.,
other Enterobacteriaceae,
Staphylococcus saprophyticus, and
enterococci.
12-13. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
12-13. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
• Rute infeksi saluran kemih:
Ascending
• kolonisasi uretra, lalu infeksi menyebar ke atas
Hematogen
• bakteri ke ginjal berasal dari bakteremia
Limfogen
•dari abses retroperitoneal atau infeksi intestin
12-13. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
12-13. Infeksi Saluran Kemih
• Pielonefritis
 Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
 Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
 Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit
esterase +.
• Sistitis:
 Inflamasi pada kandung kemih
 Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau,
 Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis:
 Inflamasi pada uretra
 Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh.
 Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
14. DKA and HHS

Diabetic Ketoacidosis (DKA) Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

Plasma glucose >250 mg/dL Plasma glucose >600 mg/dL

Arterial pH <7.3 Arterial pH >7.3

Bicarbonate <15 mEq/L Bicarbonate >15 mEq/L

Moderate ketonuria or ketonemia Minimal ketonuria and ketonemia

Anion gap >12 mEq/L Serum osmolality >320 mosm/L

84
14. Characteristics of DKA and HHS

Diabetic Ketoacidosis (DKA) Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

Absolute (or near-absolute) insulin Severe relative insulin deficiency, resulting


deficiency, resulting in in
• Severe hyperglycemia • Profound hyperglycemia and
• Ketone body production hyperosmolality (from urinary free
• Systemic acidosis water losses)
• No significant ketone production or
acidosis
Develops over hours to 1-2 days Develops over days to weeks
Most common in type 1 diabetes, but Typically presents in type 2 or previously
increasingly seen in type 2 diabetes unrecognized diabetes
Higher mortality rate

85
Pathogenesis of Hyperglycemic Crises
DKA HHS

Hyperglycemia Dehydration Lipolysis-


osmotic diuresis
Increased FFA

Increased
glucose
Increased
production
ketogenesis
Insulin Counterregulatory
Deficiency Hormones

Decreased
glucose Metabolic
uptake acidosis
Electrolyte Hypertonicity
abnormalities

Umpierrez G, Korytkowski M. Nat Rev Endocrinol. 2016;12:222-232.


Hyperosmolar Hyperglycemic State:
Pathophysiology
Unchecked gluconeogenesis  Hyperglycemia

Osmotic diuresis  Dehydration

• Presents commonly with renal failure


• Insufficient insulin for prevention of hyperglycemia but
sufficient insulin for suppression of lipolysis and ketogenesis
• Absence of significant acidosis
• Often identifiable precipitating event (infection, MI)

87
Diabetic Hyperglycemic Crises

Diabetic Ketoacidosis Hyperglycemic Hyperosmolar State


(DKA) (HHS)

Younger, type 1 diabetes Older, type 2 diabetes

No hyperosmolality Hyperosmolality

Volume depletion Volume depletion

Electrolyte disturbances Electrolyte disturbances

Acidosis No acidosis

88
ADA Diagnostic Criteria for
DKA and HHS
DKA
Parameter Mild Moderate Severe HHS
Plasma glucose, mg/dL >250 >250 >250 >600
Arterial pH 7.25-7.3 7.0-7.24 <7.0 >7.30
Serum bicarbonate, mmol/L 15-18 10 to <15 <10 >15
Serum ketones† Positive Positive Positive Small
Urine ketones† Positive Positive Positive Small
Effective serum osmolality,*
Variable Variable Variable >320
mOsm/kg
Alteration in sensoria or mental
Alert Alert/drowsy Stupor/coma Stupor/coma
obtundation
*Calculation: 2[measured Na+ (mEq/L)] + glucose (mg/dL)/18.
† Nitroprusside reaction method.

ADA. Diabetes Care. 2003;26:S109-S117.


89
Formulas for Estimating
Serum Osmolality and Effective Osmolality

Osmolality Effective Osmolality


2 x [Na+ mEq/L] 2 x [Na+ mEq/L]

+ [glucose mg/dL] / 18 + [glucose mg/dL] / 18

+ [BUN mg/dL] / 2.8

= Sosm (mosm/Kg H2O) = Sosm (mosm/Kg H2O)

AACE Inpatients Glycemic Control Resource Center90


Diabetes Mellitus
• Hyperglycemic hyperosmolar state
– The prototypical patient is an elderly individual with type 2
DM, with a several-week history of polyuria, weight loss, and
diminished oral intake that culminates in mental confusion,
lethargy, or coma.
– The physical examination reflects profound dehydration and
hyperosmolality and reveals hypotension, tachycardia, and
altered mental status.
– Notably absent are symptoms of nausea, vomiting, and
abdominal pain and the Kussmaul respirations characteristic of
DKA.
– HHS is often precipitated by a serious, concurrent illness such as
myocardial infarction or stroke. Sepsis, pneumonia, and other
serious infections are frequent precipitants and should be
sought.

Harrison’s principles of internal medicine


D

15. Penyakit katup Jantung


15. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


15. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
16. Chronic Limb Ischemia
• The primary cause of claudication is peripheral
atherosclerosis, resulting in a stenosis that
impedes blood flow beyond the level
necessary to meet the metabolic demand of
limb muscles first with activity and then
ultimately at rest.
Chronic Limb
Ischemia
• Insufisiensi arteri
perifer >2 minggu
• Klaudikasio
intermitten
– Dipicu aktivitas
& elevasi tungkai
– Metabolisme
anaerob  asam
laktat  muscle
cramping
– Nyeri atau
burning pada
plantar pedis
• Dx: ABI
17. Gagal Jantung
17. Gagal Jantung
17. Gagal Jantung
Tatalaksana
• Digoxin is not a potent AV nodal blocking agent
and has a potential for toxicity and therefore
cannot be relied on for acute control of the
ventricular response, but it may be used in
conjunction with beta-blockers and calcium
channel blockers.
• However, it can be a useful adjunction to a beta-
blocker in the hypotensive or heart failure
patient, which is not infrequent. When used, give
0.5 mg IV loading dose (slow) and then 0.25 mg
IV 6 hr later.
17. Aritmia
• AF berpotensi berbahaya karena:
1. HR yang terlalu cepat menurunkan preload sehingga curah jantung
menurun,
2. Kontraksi atrium yang ireguler mengakibatkan stasis di atrium  trombus
 embolisasi.

• Klasifikasi AF:
– Paroksismal:
• Episode < 48 jam.
• Sekitar 50% kembali normal dalam 24 jam.
– Persisten:
• Episode 48 jam s.d. 7 hari
• Diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus
– Kronik/permanen
• Berlangsung lebih dari 7 hari
• Dengan kardioversi pun sulit kembali ke irama sinus.

The only ECG book you ever need.


17. Atrial Fibrilasi
• AF – Slow ventricular response
– Rate QRS < 60 bpm

• AF – Normal ventricular response


– Rate QRS 60 – 100 bpm

• AF – Rapid ventricular response


– Rate QRS > 100bpm
Mekanisme fibrilasi atrial
17. Aritmia
• Prinsip tatalaksana AF:
1. Pengontrolan laju irama jantung,
• Target 60-80 x/menit saat istirahat, 90-115 kali/menit saat
aktivitas.
2. Pengembalian ke irama sinus (kardioversi),
• Kardioversi farmakologis
– Pasien AF episode pertama tanpa gangguan hemodinamik bermakna
tidak perlu terapi spesifik.
– Pasien AF persisten rekuren dengan gejala mengganggu diberikan
antiaritmia.
• Electric cardioversion:
– Untuk pasien tidak stabil (penurunan kesadaran, hipotensi, nyeri dada,
sinkop), bifasik 120-200 J, monofasik 200 J.
3. Pencegahan tromboemboli
• Warfarin diberikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadi stroke (usia
>65, hipertensi, penyakit jantung reumatik, DM, CHF, riwayat stroke/TIA).
Target INR of 2.0 to 3.0

Pathophysiology of Heart Disease.


17. Aritmia
• Rate control:
– If the patient presents with atrial fibrillation and a rapid rate associated with
severe heart failure or cardiogenic shock, emergency direct-current
cardioversion is indicated.
– For patients with atrial fibrillation associated with rapid rate but with stable
hemodynamics, attempts to achieve acute rate control are indicated.

Pathophysiology of Heart Disease.


17. Aritmia
Anti-aritmia
Tipe Nama obat

Tipe IA Disopiramid, kuinidin

Tipe IB Lidokain, Meksiletin

Tipe IC Flekainid, moricizin, propafenon

Tipe II Beta blocker (propranolol)

Tipe III Amiodaron, bretilium, dofetilid, ibutilid, sotalol

Tipe IV CCB non-dihidropiridin (verapamil dan diltiazem)


17. Algoritme Takikardia ACLS
18-19. Dislipidemia

• Dislipidemia adalah kelainan metabolisme


lipid yang ditandai dengan peningkatan
maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
• Rumus Friedewald.
– 𝐿𝐷𝐿 =𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝐻𝐷𝐿 − 𝑇𝐺/5
18-19. Dislipidemia
p
18-19. Dislipidemia
18-19. Dislipidemia
Tingkat Risiko
Yang termasuk tingkat risiko sangat tinggi adalah pasien
dengan :
• Penyakit jantung koroner, yaitu:
• terdokumentasi dengan cara invasif maupun non-invasif
(angiograf koroner, exercise ECG test, sidik perfusi miokard,
ekokardiograf stres)
• angina stabil
• sindrom koroner akut
• pasca infark miokard
• pernah menjalani revaskularisasi koroner
(intervensikoroner perkutan atau bedah pintas koroner)
Tingkat Risiko
Setara PJK, yaitu:
• Diabetes Mellitus tipe 2
• Diabetes Mellitus tipe 1 dengan mikroalbuminuria
• gagal ginjal kronik dengan GFR ˂60 mL/menit/1.73 m2
• penyakit arteri karotis (TIA, stroke, atau penyumbatan
• arteri karotis >50% dengan ultrasonograf)
• penyakit arteri perifer

Nilai SCORE ≥10%


Tingkat Risiko
Yang termasuk tingkat risiko tinggi adalah pasien
dengan
• faktor risiko tunggal yang berat seperti
dislipidemia familial atau hipertensi berat
• sindrom metabolik
• angka SCORE 5 sampai ˂10%
Tingkat Risiko
• Yang termasuk tingkat risiko menengah adalah
pasien dengan Angka SCORE ≥1% dan 5%.
Kebanyakan pasien usia pertengahan
mempunyai risiko menengah.
• Yang termasuk tingkat risiko rendah adalah
pasien dengan angka SCORE ˂1%.
SCORE
Chart
Dislipidemia
• Target terapi kolesterol LDL bagi pasien dengan risiko kardiovaskular
sangat tinggi adalah ˂70 mg/dL atau penurunan ≥50% dari
konsentrasi awal.
• Bagi pasien dengan risiko tinggi, target terapinya adalah ˂100
mg/dL atau penurunan ≥30% dari konsentrasi awal.
• Target terapi kolesterol LDL bagi pasien berisiko menengah adalah
˂115 mg/dL.35
• Bagi yang berisiko rendah, target terapi harus mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian terapi obat penurun lipid. Besaran target
konsentrasi kolesterol LDL pada pasien dengan risiko kardiovaskular
rendah lebih banyak ditentukan oleh studi observasional yang
meneliti hubungan antara konsentrasi kolesterol LDL dengan
aterogenesis dan kejadian PJK.
20. Asma
• Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca.

• Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah


dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

• Riwayat penyakit / gejala :


– Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
– Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
– Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
– Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
– Respons terhadap pemberian bronkodilator

• Tanda klinis: sesak napas, mengi, & hiperinflasi. Serangan berat: sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, penggunaan otot bantu napas.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004


20. Asma
• Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
– Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
– Reversibilitas: perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu.
– Menilai derajat berat asma

• Manfaat arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak


expiratory flow meter:
– Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu
– Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat
asma.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004


PRIMARY CARE Patient presents with acute or sub-acute asthma exacerbation

Is it asthma?
ASSESS the PATIENT Risk factors for asthma-related death?
Severity of exacerbation?

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in words, sits hunched LIFE-THREATENING
Talks in phrases, prefers
sitting to lying, not agitated forwards, agitated Drowsy, confused
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min or silent chest
Accessory muscles not used Accessory muscles in use
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) <90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best URGENT

START TREATMENT
TRANSFER TO ACUTE
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer,
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
WORSENING While waiting: give inhaled SABA
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max.
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)

GINA 2016, Box 4-3 (4/7) © Global Initiative for Asthma


START TREATMENT
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer, TRANSFER TO ACUTE
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max. WORSENING
While waiting: give inhaled SABA
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)

CONTINUE TREATMENT with SABA as needed


WORSENING
ASSESS RESPONSE AT 1 HOUR (or earlier)

IMPROVING

ASSESS FOR DISCHARGE ARRANGE at DISCHARGE


Symptoms improved, not needing SABA Reliever: continue as needed
PEF improving, and >60-80% of personal Controller: start, or step up. Check inhaler technique,
best or predicted adherence
Oxygen saturation >94% room air Prednisolone: continue, usually for 5–7 days
(3-5 days for children)
Resources at home adequate
Follow up: within 2–7 days

FOLLOW UP
Reliever: reduce to as-needed
Controller: continue higher dose for short term (1–2 weeks) or long term (3 months), depending
on background to exacerbation
Risk factors: check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation,
including inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?

GINA 2016, Box 4-3 (7/7) © Global Initiative for Asthma


INITIAL ASSESSMENT Are any of the following present?
A: airway B: breathing C: circulation Drowsiness, Confusion, Silent chest

NO
YES

Further TRIAGE BY CLINICAL STATUS Consult ICU, start SABA and O2,
according to worst feature and prepare patient for intubation

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

GINA 2016, Box 4-4 (2/4) © Global Initiative for Asthma


MILD or MODERATE SEVERE
Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

Short-acting beta2-agonists Short-acting beta2-agonists


Consider ipratropium bromide Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain Controlled O2 to maintain
saturation 93–95% (children 94-98%) saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium
Consider high dose ICS

GINA 2016, Box 4-4 (3/4)


21. SVT
• Merupakan kelompok takiaritmia yg rapid dan
reguler.
• Terdiri dari 3 kelompok utama:
AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) (most
common type)
AV Reentrant Tachycardia (AVRT) (second most
common type)
Atrial takikardia (third most common type)
Atrial Takikardia
• Usually due to single ectopic focus.
• Multiple causes including digoxin toxicity,
atrial scarring, catecholamine excess,
congenital abnormalities; may be idiopathic.
• Sustained atrial tachycardia may rarely be
seen and can progress to tachycardia-induced
cardiomyopathy
Atrial Takikardia
Gambaran EKG
• Atrial rate > 100 bpm.
• P wave morphology is abnormal when compared with
sinus P wave due to ectopic origin.
• There is usually an abnormal P-wave axis (e.g. inverted
in the inferior leads II, III and aVF)
• At least three consecutive identical ectopic p waves.
• QRS complexes usually normal morphology unless pre-
existing bundle branch block, accessory pathway, or
rate related aberrant conduction.
• Isoelectric baseline (unlike atrial flutter).
Atrial Takikardia

• There is a narrow complex tachycardia at 120 bpm.


• Each QRS complex is preceded by an abnormal P wave — upright in V1,
inverted in the inferior leads II, III and aVF.
AV Nodal Reentrant Tachycardia
(AVNRT)

• AVNRT  adanya small re-entrant loop


(Reentry) pada AV Node.
• AVNRT  penyebab palpitasi terbanyak pada
orang yang tanpa ada kelainan struktural pada
jantung dan merupakan penyebab SVT yang
tersering ( > 50 % kasus ).
• Heart rate pada AVNRT biasanya berkisar
antara 140 - 280 x / menit.
Typical AV Nodal Reentrant
Tachycardia (AVNRT)
• Bentuk AVNRT yang paling
sering ( 80 – 90%)
• Terjadi Reentry dengan
Konduksi Anterograde yang
mengaktivasi ventrikel via
 Terdapat Retrograde gelombang
Slow Pathway (Alpha P di dalam kompleks QRS atau di
Pathway) dan Konduksi akhir gelombang QRS sebagai
pseudo R' (Lingkar Hitam pada
Retrograde yang gambar diatas)
mengaktivasi atrium via Fast  SVT dengan heart rate 130 - 250
bpm yang biasanya sudden
Pathway (Beta Pathway) onset.
 Inteval PR Panjang ( Short RP
Interval ).
AV Reentrant Tachycardia (ANRT)
• AVRT  large re-entrant loop ( Reentry ) pada
sistem konduksi normal dengan jaras aksesoris
contoh klasik  WPW Syndrome
• Selama Tachyaritmia, karakteristik EKG WPW
Syndrome akan hilang karena jaras aksesoris
menyatu dengan jaras normal membentuk sirkuit
reentry.
• Heart rate pada AVRT biasanya berkisar antara 200 -
300 x / menit dan terjadi secara tiba - tiba yang
biasa muncul akibat gelombang prematur atrium
atau ventrikel
AV Reentrant Tachycardia (ANRT)
• Orthodromic AVRT  AVRT paling sering 
konduksi anterograde ke ventrikel melalui AV
node dan retrograde ke atrium melalui jaras
aksesoris
Orthodromic AVRT

Gambaran EKG
• Narrow QRS complex ( Gelombang QRS Sempit ) Tachycardia dengan rate 200 - 300 bpm
• Gelombang P tertanam atau muncul retrograde setelah QRS terkadang dengan Long RP Interval
• Tidak terlihat gelombang delta selama takikardi
• Jika takikardi diterminasi, akan terlihat karakteristik sindrom preeksitasi
• Note - Sulit membedakan Orthodromic AVRT dengan AVNRT, bila ditemukan gelombang delta pada
saat tidak takikardi, maka diagnosisnya merupakan AVRT.
22. Black Water Fever
• Massive intravascular hemolysis
• Due to P. falciprum
• Severe acute hemolytic anemia
• RBC=1-2*106 /ml
• Hemoglobinuruia
• Increase bilirubin
• Acute tubcular necrosis& Hb casts
23. Hipotiroid
Etiologi
• Primer (90%; ↓free T4, ↑ TSH)
– Goiter/struma
• Hashimoto’s thyroiditis
– Penyebab hipotiroid terbanyak
– Kerusakan akibat Autoimmun dengan gambaranpatchy lymphocytic
infiltration
– antithyroid peroxidase (anti-TPO)(+)& antithyroglobulin (anti-Tg) Abs (+),
pd 90% kasus
• Penyembuhan pasca thyroiditis, defisiensi iodin, Li, amiodarone
– Nongoiter:
• destruksi post op, pasca pemberian radioactive iodine
• Sekunder/sentral (↓free T4, ↓/normalatausedikit naik
TSH):
– kerusakan hipotalamus atau hipofisis
Tiroiditis Hashimoto
Limfosit tersensitisasi oleh antigen tiroid

Sekresi autoantibodi TgAb, TPOAb, TSH-


Rab[block/inhibisi]
Infiltrasi limfosit  folikel limfoid & germinal center

Destruksi parenkim tiroid  tiroksin 

TSH   hipertrofi parenkim, destruksi tetap ada 


struma/tanpa struma  end stage: atrofi

Eutiroid  hipotiroid subklinis  hipotiroid


Hashimoto thyroiditis
• Faktor risiko: • Diagnosis
– genetik (anggota – kadar anti-thyroid peroxidase
antibodies, TSH, fT3, fT4, anti
keluarga dengan riwayat thyroglobulin antibodies
kelainan thyroid)
• Dekompensasi hipotiroid
– hormon (wanita lebih dapat menyebabkan koma
sering terkena) miksedema.
– Paparan radiasi
• Kelenjar thyroid dapat
membesar dan berlobul
atau dapat juga tidak
terpalpasi pembesaran
24. DM
25. Aritmia

Lilly. Pathophysiology of heart disease.


Atrial flutter

Atrial fibrilasi

Ventricular tachycardia:
The rate >100 bpm
Broad QRS complex (>120 ms)
Regular or may be slightly irregular
26. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler
mendorong cairan ke
ekstravaskular

Permeabilitas kapiler menjaga


keseimbangan pertukaran zat
intra-ekstavaskular

Tekanan onkotik menjaga


cairan tetap di dalam
intravaskular

Saluran limfatik, tempat aliran


molekul besar yang tidak bisa
masuk ke kapiler 1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia:
F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17.
26. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler 
Contoh: CHF

Permeabilitas kapiler 
Contoh: inflamasi/infeksi

Aliran Limfatik 
Contoh: obstruksi (keganasan),
destruksi (radioterapi)

Tekanan onkotik 
Contoh: hipoalbuminemia

1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17..
26. Efusi Pleura
26. Efusi
Pleura
26. Efusi Pleura

• Garis Ellis-Damoiseau  garis lengkung konveks dengan puncak pada


garis aksilaris media
• Segitiga Garland  daerah timpani yang dibatasi vertebrae torakalis,
garis Ellis-Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan
• Segitiga Grocco  daerah redup kontralateral yang dibatasi garis
vertebrae, perpanjangan garis Ellis-Damoiseau ke kontralateral dan
batas paru belakang
27. GI Bleeding
• Bleeding from the gastrointestinal (GI) tract may present in 5 ways:
– Hematemesis: vomitus of red blood or "coffee-grounds" material.
– Melena: buang air besar berwarna hitam ter yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas
adalah saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari
jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esophagus.
– Hematochezia: the passage of bright red or maroon blood from the
rectum.
– Occult GI bleeding: may be identified in the absence of overt bleeding
by a fecal occult blood test or the presence of iron deficiency.
– Present only with symptoms of blood loss or anemia such as
lightheadedness, syncope, angina, or dyspnea.

Harrison’s principles of internal medicine


GI Bleeding
• Specific causes of upper GI bleeding may be suggested
by the patient's symptoms:
– Gastritis/gastropathy/duodenitis/Peptic ulcer:
• epigastric or right upper quadrant pain
– Esophageal ucer:
• odynophagia, gastroesophageal reflux, dysphagia
– Mallory-Weiss tear:
• emesis, retching, or coughing prior to hematemesis
– Variceal hemorrhage or portal hypertensive gastropathy:
• jaundice, weakness, fatigue, anorexia, abdominal distention
– Malignancy:
• dysphagia, early satiety, involuntary weight loss, cachexia
– Lesi Vascular
– Perdarahan Oropharyngeal & epistaxis  darah tertelan
Sumber: Simadibrata M, Rani AA. 11th Asian Pasific Congress of Gastroenterology and The 8th Asian Pasific Congress of
Digestive Endoscopy. Hongkong, March 10-14, 2000: B64 (A212).
Sumber: Laine L. Gastrointestinal bleeding. In: Kasper DL, Braumwald E, Fauci AS, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA: McGraw Hill; 2008.p.257-60.
Tata laksana Umum
• Tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT
untuk dekompresi, pantau perdarahan
• Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi
dan hb). Pada kasus varises transfusi sampai dengan hb
>10.
– Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti
plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau nacl 0,9% atau rl
• Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi
atau elektif. Bedah emergensi di indikasikan bila pasien
masuk dalam keadaan gawat
Tatalaksana Khusus perdarahan non-
variseal (ulkus peptik)
– Endoskopi
• Perdarahan aktif  terapi endoskopik dan PPI IV
• Bekuan adheren  pertimbangkan terapi endoskopi dan PPI
IV
• Dasar bersih  tanpa terapi endoskopik dan PPI oral
– PPI IV  bolus 80 mg dilanjutkan drip 8 mg/jam
selama 72 jam.
– Untuk penyebab non varices :
• Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton
• Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab
• Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis
atau sirosis hati
28. Digoksin

• Efek digoxin:
– Menghambat Na+/K+ ATPase  Na intrasel meningkat  Ekstrusi Ca
menurun  Ca intrasel tinggi  Kontraktilitas meningkat
– Meningkatkan tonus vagal

Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology Sixth Edition


29. Sindrom Metabolik
29. Sindrom Metabolik
WHO(World Health IDF = International Diabetes
Organization) Federation
• Diagnosis bila kadar gula • Diagnosis jika kadar gula
darah abnormal dan ada 2 darah abnormal dan ada 2
criteria lainnya
kriteria tambahan
• GDP 100-125 atau riwayat DM tp
• Intoleransi glukosa, DM tipe 2, 2
Resistensi Insulin • Lingkar pinggang ≥ 94 cm Pria,
• IMT > 30 dan Rasio lingkar atau ≥ 80 cm Wanita
pinggang banding panggul • TG ≥150 mg/dl atau HDL < 40 utk
(HWR) >0.9 Pria, >0.85 Wanita pria, dan < 50 untuk wanita
• TG ≥150 mg/dl atau HDL < 35 • Dalam pengobatan hipertensi
atau
Pria dan < 39 Wanita
• TD ≥130/85 mmHg
• Dalam pengobatan hipertensi
atau TD ≥160/90 mmHg
• Microabuminuria ≥ 20 mcg/min
Pemeriksaan Penunjang
• Profil lipid, glukosa darah, Tes fungsi hati,
Urine lengkap , Tes fungsi ginjal, TSH, EKG
• Skrining dianjurkan pada semua pasien
berusia ≥ 20 tahun, setiap 5 tahun sekali
Farmakologis
Tatalaksana
• Golongan statin: Simvastatin 5 – 40
mg/hr (↓kolest; ES: mialgia,
Modifikasi gaya hidup ↑SGOT/PT; KI:kehamilan)
• Golongan resin:Kolestiramin 4 – 16
• Diet, dengan komposisi:Lemak g/hr (kombinasi dgn statin ↓kolest)
jenuh < 7%; PUFA 10%; MUFA • Golongan asam nikotinat:Lepas
10%; Lemak total25 – 35%; cepat 1,5 – 3 g, Lepas lambat 1 –
Karbohidrat 50 – 60%; Protein 2 g (kombinasi dgn statin ↓kolest &
15%; Serat20 – 30 g/hari; TG; Interaksi dgn Aspirin; ES: gout,
Kolesterol< 200 mg/hari ↑glukosa)
• Golongan asam fibrat: Gemfibrazil
• Latihan jasmani dan
2x600 atau1x900 mg/hr (↓TG; jgn
Penurunan berat badan bagi kombinasi dgn statin ↑resiko ES
yang gemuk miopathy)
• Menghentikan kebiasaan • Penghambat absorpsi kolesterol:
merokok, minuman alcohol Ezetimibe 10 mg/hr
Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia
• Evaluasi profil lipid tiap 6 minggu • Batas tinggi atau tinggi
– Bila tercapaisetiap 4-6 bulan. – tujuan utama tata laksana adalah
• 6 minggu modifikasi gaya hidup, target mencapai target kolesterol LDL.
belum tercapai
– intensifkan penurunan lemak jenuh dan
• Pasien dengan trigliserida tinggi:
kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, – target sekunder  kadar
tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama kolesterol non-HDL
dengan dietisien.
• sebesar 30 mg/dL lebih tinggi
• 6 minggu berikutnya non-farmakologis dari target kadar kolesterol LDL
tidak berhasilfarmakologis (lihat tabel di atas).
• Pencegahan primer (tanpa PJK), dimulai • Pendekatan Tata Laksana obat:
dengan nutrisi medis dan latihan fisik3 – Obat penurun kadar kolesterol
bulan tidak mencapai sasaran  LDL, atau tambah obat fibrat atau
ditambahkan statin. asam nikotinat
– 6 minggu  target belum tercapai naikkan
dosis statin atau kombinasi dengan yang lain.
• Pasien dengan PJK atau yang setara
(pencegahan sekunder), segera diberi tata
laksana non farmakologis dan farmakologis,
jika kolesterol LDL > 100 mg/dL.
Target Tatalaksana
30. Leptospirosis
Infection through the
mucosa or wounded skin

Proliferate in the
bloodstream or
extracellularly within organ

Disseminate
hematogenously to all
organs

Multiplication can cause:


• Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver
• Uremia & bacteriuria in the kidney
• Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor
• Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Infeksi
• Anicteric leptospirosis (90%), follows a • Icteric leptospirosis or Weil's
biphasic course: disease (10%), monophasic
– Initial phase (4–7 days): course:
• sudden onset of fever,
• severe general malaise, – Prominent features are renal and
• muscular pain (esp calves), conjunctival liver malfunction, hemorrhage
congestion, and impaired consciousness,
• leptospires can be isolated from most – The combination of a direct
tissues. bilirubin < 20 mg/dL, a marked 
– Two days without fever follow. in CK, &  ALT & AST <200 units is
– Second phase (up to 30 days): suggestive of the diagnosis.
• leptospires are still detectable in the urine. – Hepatomegaly is found in 25% of
• Circulating antibodies emerge, meningeal cases.
inflammation, uveitis & rash develop.
Gejala dan Tanda
• Demam tinggi • Injeksi konjungtiva
mendadak • Ikterik
• Nyeri otot dan sendi • Nyeri tekan
• Sakit kepala gatroknemius
• Diare • Splenomegali
• Mual muntah • Hepatomegali
• Ruam di kulit
• Edema
Pemeriksaan Penunjang Leptospira
• Leukopenia Baku emas:
• Trombositopenia dapat • Pemeriksaan serologi IgM
terjadi antileptospira dengan
• Shift to the left metode Microscopic
• Bilirubin meningkat pada Agglutination Test (MAT)
Weil’s disease
• Pemeriksaan serologi IgM • Kultur (hasilnya seringkali
antileptospira dengan ELISA negatif)
– Hingga 10 hari penyakit,
spesimen diambil dari darah
atau LCS
– Minggu kedua sampai hari ke
30 setelah sembuh, spesimen
dari urine.
Tatalaksana Leptospirosis
Kasus rawat jalan Kasus rawat inap
• Diberikan 7 hari • Diberikan 7 hari
• DOC: Doxycycline (100 • Penicillin (1.5 million
mg PO bid) or units IV q6h) or
• Amoxicillin (500 mg PO • Ceftriaxone 1 gram/24
tid) or jam
• Ampicillin (500 mg PO • Cefotaxime 1 gram/6
tid) jam
31. Sepsis

http://ajcc.aacnjournals.org/content/16/2/122/T1.expansion
Etiologi Sepsis
31.
Patofisiologi
Sepsis
Pemeriksaan Laboratorium
• Cultures of blood and examination and culture of
sputum, urine, wound drainage, stool, and CSF,
depending on the presenting signs and symptoms
for each patient.
• CBC with differential, coagulation profile.
• Routine chemistries, LFTs.
• ABGs, lactic acid level; procalcitonin can be
useful as a marker of bacterial infection as a
cause of the sepsis.
• Urinalysis
EGDT

• Early goal
directed
therapy
• Improve sepsis
survival
31. Sepsis Guideline 2016

• SOFA Criteria > 2 define as organ dysfunction


31. Sepsis 2016
31. Sepsis 2016
31. Perbedaan kriteria sepsis lama
dan baru

Terminologi Sepsis Kriteria Lama Sepsis 2016


Sepsis SIRS disertai dengan Disfungsi organ akibat
infeksi fokal infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi Tidak ada
organ
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang
walaupun dengan membutuhkan
pemberian cairan adekuat vasopressor untuk
mempertahankan
MAP>65 dan laktat >2
mmol/L
32. Hipertensi
• Definisi
– Tekanan darah ≥140 mmHg sistolik dan/atau ≥90 mmHg
diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi
• White Coat HT
Rata2 TD diluar ruang praktek < 135/85, sdg di dalam ruang
praktek naik > 140/90
Hipertensi
• Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah
yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan
atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi minimal 80%
lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat
5 menit.
• Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk
menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer
• Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada
pasien dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)
• Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat
obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik,
aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, tata Laksana steroid
kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta,
penyakit tiroid atau paratiroid
JNC VIII
33. Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
33. Hepatitis B clinical course
HEPATITIS VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


33. Hepatitis
34. Algoritme Takikardia ACLS
35. STEMI
36. SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing
(hiperadrenokortikalism/hiperkortisolism)
– Kondisi klinis yang disebabkan oleh
pajanan kronik glukokortikoid
berlebih karena sebab apapun.

• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)

Silbernagl S, et al. Color atlas of pathophysiology. Thieme; 2000.


McPhee SJ, et al. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed.
McGraw-Hill; 2006.
PATOFISIOLOGI
• Terjadi sekresi ACTH dan produksi kortisol berlebih.

Wondisford F E. A new medical therapy for Cushing disease? J Clin Invest. 2011)
TANDA DAN GEJALA
Tanda/gejala Frekuensi (%)
Obesitas batang tubuh 97
Muka bulan 89
Hipertensi 76
Atrofi kulit dan memar 75
Diabetes atau intoleransi glukosa 70
Disfungsi gonad 69
Kelemahan otot 68
Hirsutisme, jerawat 56
Gangguan mood 55
Osteoporosis 40
Edema 15
Polidipsi/poliuria 10
Infeksi jamur 8
(Boscaro M, Amaldi G. Approach to the Patient with Possible Cushing’s Syndrome.
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2009)
Tatalaksana
• Reseksi bedah jika penyebabnya adenoma atau tumor adrenal
• Jika bedah transsphenoidal (TSS) tidak berhasil
adrenalectomydgn operasi atau dgn obat mitotane,;
ketoconazole (±metyrapone) utk ↓ kortisol
• Glucocorticoid replacement therapy
– 6–36 bulan pasca TSS
– Seumur hidup jika pasca adrenalectomy
KOMPLIKASI
• Penyebab utama kematian :
– infeksi berat
– bunuh diri karena depresi berat
– komplikasi hipertensi (gagal jantung dan stroke).
• Pada sindrom Cushing eksogen :
– Penghentian mendadak kortikosteroid sintetik
• episode insufisiensi adrenokortikal akut  mengancam
nyawasyok
37. PPOK Eksaserbasi
• Gejala dan tanda eksaserbasi PPOK antara lain:
1. Bertambahnya sesak
2. Meningkatnya jumlah sputum
3. Terjadi perubahan karakteristik dan konsistensi sputum

• Menurut Anthonisen 1987, derajat eksaserbasi PPOK dibagi menjadi tiga,


yakni:
1. Tipe I (Berat), memiliki 3 gejala eksaserbasi
2. Tipe II (Sedang), memiliki 2 gejala eksaserbasi
3. Tipe III (Ringan), memiliki 1 gejala eksaserbasi ditambah ISPA lebih dari
5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi/ frekuensi nafas >20% nilai dasar atau frekuensi nadi >20% nilai
dasar.
PPOK Eksaserbasi
• Berdasarkan derajat eksaserbasi tersebut, maka prinsip
penatalaksanaan menjadi:
1. Eksaserbasi ringan  meningkatkan pemakaian
bronkodilator (dapat dilakukan di rumah / di klinik)
2. Eksaserbasi sedang  menambahkan antibiotik /
steroid sistemik atau keduanya (dapat dilakukan di
puskesmas atau klinik atau praktik dokter)
3. Eksaserbasi berat  tatalaksana di RS
PPOK (terapi pada eksaserbasi akut)
• Tata Laksana oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau
venturi mask.
• Bronkodilator: inhalasi agonis β2 + antikolinergik. Pada
eksaserbasi akut berat: + Aminofilin ( 0,5 mg/kgbb/jam )
• Steroid: Prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.
SteroidIV: pada keadaan berat.
• Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenzae, M catarrhalis
• Antioksidan: NAC
• Mukolitik
• Imunomodulator: vit C, selenium, echinacea purpura
• Ventilasi mekanik. Indikasi: gagal nafas akut atau kronik.
38. Sindrom Vena Kava Superior
• Superior vena cava syndrome (SVCS) is
obstruction of blood flow through the
superior vena cava (SVC).
• It is a medical emergency
• Often manifests in patients with a malignant
disease process within the thorax.
• More than 80% of cases of SVCS are caused by
malignant mediastinal tumors.
Superior Vena Cava Syndrome
SVCS Clinical Presentation
• Dyspnea
• Facial swelling
• Cyanosis
• Plethora
• Mental changes
• Head fullness
• Arm swelling
• Chest pain
• Dysphagia
• Orthopnea
• Hoarseness
Sindrom Vena Kava Superior
39. Hepatologi
• Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis
hepatik progresif ditandai dengan distorsi
arsitektur hepar dan pembentukan nodul
regeneratif.
• Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler
– Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis
– Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas
• Etiologialkohol, hepatitis, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan, obat
– Di Indonesia, 40-50% disebabkan oleh hepatitis B

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


39. Hepatologi
40. Indikasi Hemodialisis
• Terdapat indikasi absolut (emergency dialysis) dan
indikasi elektif.

• Elektif: Secara ideal semua pasien dengan LFG < 15


ml/mnt dapat mulai menjalani dialisis. Namun dalam
pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai
sebagai berikut:
– LFG < 10 ml/ mnt dengan gejala uremia / malnutrisi
– LFG < 5 ml/mnt walaupun tanpa gejala3
– Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, as
idosis metabolik berulang)
– Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal
Terapi Pengganti Ginjal
Indikasi memulai terapi pengganti ginjal pada GGA:
• Oligouria: urine output<200 cc/ 12 jam
• Anuria: urine output<50 cc/ 12 jam
• Hiperkalemia: K+>6,5 mmol/L
• Asidemia berat: pH <7
• Azotemia: kadar urea >30 mmol/L
• Ensefalopati uremikum
• Neuropati/miopati uremikum
• Perikarditis uremikum
• Natrium abnormalitas plasma: Na+>155 mmol/L atau
<120 mmol/L
• Hipertermia
• Keracunan obat
41. Diet pada Dislipidemia
• Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol
LDL adalah diet asam lemak tidak jenuh seperti MUFA
dan PUFA karena faktor diet yang paling berpengaruh
terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol LDL
adalah asam lemak jenuh.
• Data dari penelitian klinis acak, kasus kelola dan kohor
menunjukkan bahwa konsumsi PUFA omega-6
setidaknya 5% hingga 10% dari total energi mereduksi
risiko PJK.49 Konsumsi PUFA omega-3, PUFA omega-6
dan MUFA berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi kolesterol HDL sampai 5% dan penurunan
TG sebesar 10-15%.
42. Hipertensi

• Usia >60 tahun,


Goal target < 150/90
mmHg
Therapy • Usia < 60 tahun,
diabetes, CKD,
(JNC VIII) target <140/90
mmHg
43. Tatalaksana Asma
Signs and Symptoms
 Excessive tiredness, shortness of breath, and pale skin can
be caused by anemia (shortage of red blood cells).

 Serious infections with high fevers can be caused by


leukopenia (not having enough normal white blood cells)
and, in particular, by having neutropenia or
granulocytopenia (too few mature granulocytes).

 Excessive bruising and bleeding, for example, frequent or


severe nosebleeds and/or bleeding from the gums, can be
due to thrombocytopenia (not having enough of the blood
platelets needed for plugging holes in damaged blood
vessels).
44. Sindrom Myelodisplasia
 The myelodysplastic syndromes are a group of
disorders characterized by one or more peripheral
blood cytopenias secondary to bone marrow
dysfunction.
 In MDS the bone marrow cannot produce blood cells
effectively, and many of the blood cells formed are
defective.
 These abnormal blood cells are usually destroyed
before they leave the bone marrow or shortly after
entering the bloodstream.
 As a result, patients have shortages of blood cells,
which are reflected in their low blood
Characteristics
• Varying degree of tri-lineage cytopenia ( red
blood cells, white blood cells and platelets).
• Dysplasia
• Normocellular or hypercellular B.M.
• May progress to acute leukaemia
Incidence

1- Disease of elderly.
2- Median age is 65 years.
3- <10% are younger than 50 years.
4- Incidence rates 1/100,000 pop./ years.
5- Incidence rise to 1/1000 / years in > 60 years old.
6- Male slightly higher than female
MDS Etiology

 Two etiologic categories of MDS:


1.) De Novo:
Associated with:
-benzene exposure (gasoline)
-cigarette smoking
-viruses -Fanconi’s anemia
2.) Therapy related:
Associated with:
-alkylating agent chemotherapy
-radiation
Aetiology

This shows the tow arms of haemopoiesis


This shows how stem cell is affected
Aetiological Agents
 Tobacco smoke.
 Ionizing radiation.
 Organic chemicals (such as benzene, toluene, xylene, and
chloramphenicol).
 Heavy metals.
 Herbicides.
 Pesticides.
 Fertilizers.
 Stone and cereal dusts.
 Exhaust gases.
 Nitro-organic explosives.
 Petroleum and diesel derivatives.
 Alkylating agents.
 Marrow-damaging agents used in cancer chemotherapy.
Clinical Presentation
• Non-specific and Varied
• Most asymptomatic and Dx found on labs
• Fatigue, dizziness, weakness, “don’t feel well”
• Less commonly Infxn, bleeding, bruising
• Fever and wgt loss uncommon
• Infxn is principal cause of death in MDS
(neutropenia and granulocyte dysfunction)
• Physical findings in MDS
are nonspecific. Sixty
percent of patients are pale
(reflecting anemia), and 26
percent have
petechiae and/or purpura
(due to thrombocytopenia).
• Hepatomegaly,
splenomegaly, and
lymphadenopathy are
uncommon .
• Sweet syndrome
(neutrophilic dermatosis)
may be the presenting
symptom.
Laboratory
• Bone Marrow and Blood changes variable,
divided into FAB MDS subtypes.
• Chromosomal Abnormalities are associated as
well.
• Anemia almost always present w/ low retic
response
• Pancytopenia in up to 50% of cases
• <5% have isolated neutropenia or
thrombocytopenia w/o anemia
45. GI Bleeding
• Specific causes of upper GI bleeding may be suggested
by the patient's symptoms:
– Gastritis/gastropathy/duodenitis/Peptic ulcer:
• epigastric or right upper quadrant pain
– Esophageal ucer:
• odynophagia, gastroesophageal reflux, dysphagia
– Mallory-Weiss tear:
• emesis, retching, or coughing prior to hematemesis
– Variceal hemorrhage or portal hypertensive gastropathy:
• jaundice, weakness, fatigue, anorexia, abdominal distention
– Malignancy:
• dysphagia, early satiety, involuntary weight loss, cachexia
– Lesi Vascular
– Perdarahan Oropharyngeal & epistaxis  darah tertelan
Sirosis Hepatis
• Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis hepatik
progresif ditandai dengan distorsi arsitektur hepar dan
pembentukan nodul regeneratif.
• Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler
– Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis, namun
dapat ditemukan gejala awal mudah lelah, lemas, nafsu
makan berkurang, mual, BB turun
– Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas
(komplikasi gagal hati dan hipertensi porta)
• Etiologi:
- Alkohol, hepatitis, biliaris, gagal jantung, metabolik, obat
- Etiologi tersering di Indonesia: hepatitis B (40-50%)

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Patofisiologi
STIGMATA SIROSIS
Sumber: Simadibrata M, Rani AA. 11th Asian Pasific Congress of Gastroenterology and The 8th Asian Pasific Congress of
Digestive Endoscopy. Hongkong, March 10-14, 2000: B64 (A212).
Tata laksana Umum
• Tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT
untuk dekompresi, pantau perdarahan
• Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi
dan hb). Pada kasus varises transfusi sampai dengan hb
>10.
– Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti
plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau nacl 0,9% atau rl
• Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi
atau elektif. Bedah emergensi di indikasikan bila pasien
masuk dalam keadaan gawat
Tatalaksana Khusus Perdarahan Variseal
• Tatalaksana perdarahan variseal
– Tamponade balon dalam 24 jam
– Obat vasoaktif
• Vasopresin 0,5-1mg/menit selama 20-60 menit
• Somatostatin 250 mcg bolus diikuti drip 250 mcg/jam
• Ocreotide drip 50 mcg/jam
– Endoskopi
– Profilaksis antibiotik
– Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan sampi tekanan
diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil
 hematemesis melena (-)
– Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari setelah KU stabil
– Metoklorpramid 3 x 10 mg/hari
– Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
– Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan :
• Laktulosa 4 x 1 sendok makan
• Neomisin 4 x 500 mg/ Ciprofloxacin 2 x 500mg
• Obat ini diberikan sampai tinja normal.
46. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan
Uji Kepekaan Obat
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
47. Anemia
• Menurut WHO, anemia merupakan keadaan
dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah
merah, baik itu dalam kadar hemoglobin dan
atau hematokrit, selama volume darah total
dalam batas normal
• WHO memakai standard kadar Hb < 12,5 g/dL
untuk dapat menegakkan diagnosis anemia
• Di Amerika, digunakan batas Hb < 13,5 g/ dL
untuk laki-laki dan <12,5 dL untuk perempuan.
47. Gejala anemia
• Gejala dapat bervariasi
• Pada anemia karena
kehilangan darah yang akut,
lemah atau pun tidak
sadar.
• Sementara pada keadaan
pendarahan kronisbadan
lemah atau bahkan tidak
bergejala sama sekali.
• Pada anemia hemolisis
perubahan warna kulit
menjadi warna kuning
(ikterus) karena proses
hemolisis yang menghasilkan
bilirubin
Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
PENYAKIT GINJAL
48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Terapi Penyakit Dasar PGK
– Waktu yang optimal untuk memberikan terapi untuk penyakit
dasar PGK adalah sebelum terjadinya penurunan LFG (Tabel)
– Namun bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

• Memperlambat Progresifitas PGK


– Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal
adalah adanya hiperfiltrasi intraglomerular yang disebabkan
oleh berkurangnya massa ginjal dan aktivasi sistem renin-
angiotensin.
– Hiperfiltrasi ini kemudian menyebabkan terjadinya kebocoran
protein melewati glomerulus sehingga timbul proteinuria
– Sehingga, cara yang penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
adalah dengan pembatasan asupan protein dan memberikan
obat antihipertensi untuk mengontrol hipertensi sistemik dan
glomerular.
48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Anemia
– Penanganan anemia pada PGK adalah dengan memberikan EPO
– Status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan
besi untuk dapat bekerja
– Transfusi harus dihindari kecuali anemia gagal berespon
terhadap pemberian EPO dan pasien simptomatik
– Sasaran Hb menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gr/dl.
• Dalam penanganan nefropati diabetik diperlukan kontrol
gula darah yang baik
– Kadar glukosa preprandial yang direkomendasikan adalah 90-
130 mg/dl dan kadar HbA1c harus <7%.
48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Pemberian terapi antihipertensi
– Untuk menurunkan albuminuria dan mengurangi progresifitasnya
meskipun pada pasien diabetes yang normotensi
– Secara umum, penggunaan ACE inhibitor dan ARB memiliki efek
renoprotektif, dengan jalan menurunkan tekanan intraglomerular
dan menginhibisi jalur angiotensin yang menginduksi sklerosis
ginjal, serta menghambat jalur mediasi TGF-β.
• Osteodistrofi renal
– mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1.25(OH)2D3) , asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
– Pemberian pengikat fosfat seperti garam kalsium, alumunium
hidroksida, atau garam magnesium dapat diberikan untuk
menghambat absorpsi fosfat
– Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat.
48. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Imbalans cairan dan elektrolit
– Berasumsi bahwa insensible water loss adalah 500-800 ml/hari (sesuai dengan
luas permukaan tubuh), maka air yang masuk per hari dianjurkan 500-800 ml
ditambah jumlah urin
– Elektrolit yang harus diawasi kadarnya adalah kalium karena hiperkalemia
dapat menyebabkan aritmia jantung
– Selain itu, natrium juga perlu diawasi untuk mengendalikan hipertensi dan
edema
• Terapi pengganti ginjal diindikasikan bila klirens kreatinin <15
ml/menit
– Dibandingkan dengan pasien nondiabetik, hemodialisis pada pasien DM lebih
sering menimbulkan komplikasi seperti hipotensi (karena adanya neuropati
autonom yang menyebabkan hilangnya refleks takikardia), sulitnya akses vena,
dan cepatnya progresi retinopati
48. CKD
49. TB Lymphadenitis
• Lymph nodes are the most common extrapulmonary site of
disease.
• Cervical and mediastinal glands are affected most frequently,
followed by axillary and inguinal; more than one region may
be involved.
• Disease may represent primary infection, spread from
contiguous sites or reactivation.
• Supraclavicular lymphadenopathy is often the result of spread
from mediastinal disease.
• The nodes are usually painless and initially mobile but become
matted together with time.
• When caseation and liquefaction occur, the swelling becomes
fluctuant and may discharge through the skin with the
formation of a 'collar-stud' abscess and sinus formation
TB Lymphadenitis
• Approximately half of cases fail to show any
constitutional features such as fevers or night sweats.
• The tuberculin test is usually strongly positive.
• During or after treatment, paradoxical enlargement,
development of new nodes and suppuration may all
occur but without evidence of continued infection;
rarely, surgical excision is necessary.
• In non-immigrant children in the UK, most
mycobacterial lymphadenitis is caused by opportunistic
mycobacteria, especially of the M. avium complex
Treatment

Incision drainage with proper evacuation of the


abscess, followed by anti-tubercular antibiotic
treatment.
50. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler
mendorong cairan ke
ekstravaskular

Permeabilitas kapiler menjaga


keseimbangan pertukaran zat
intra-ekstavaskular

Tekanan onkotik menjaga


cairan tetap di dalam
intravaskular

Saluran limfatik, tempat aliran


molekul besar yang tidak bisa
masuk ke kapiler 1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia:
F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17.
50. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler 
Contoh: CHF

Permeabilitas kapiler 
Contoh: inflamasi/infeksi

Aliran Limfatik 
Contoh: obstruksi (keganasan),
destruksi (radioterapi)

Tekanan onkotik 
Contoh: hipoalbuminemia

1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17..
51. Limfangitis

Inflammation of the lymphatic channels that

occurs as a result of infection at a site distal to

the channel
Etiology
• Species of group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) (MC)
• Staphylococcus aureus
• Pseudomonas species
• Streptococcus pneumoniae
• Pasteurella multocida
• Gram-negative rods, gram-negative bacilli, and fungi
• Aeromonas hydrophila
• Wuchereria bancrofti

Diabetes, immunodeficiency, varicella, chronic steroid use, or other


systemic illnesses have increased risk of developing serious or rapidly
spreading lymphangitis.
Nodular lymphangitis
Superficial inoculation with one of the following organisms:
– Sporothrix schenckii
– Nocardia brasiliensis
– Mycobacterium marinum
– Leishmania panamensis
– L guyanensis
– Francisella tularensis
Prognosis
• With uncomplicated lymphangitis is good.

• Antimicrobial regimens are effective in more than 90% of


cases.

• Without appropriate antimicrobial therapy cellulitis may


extend along the channels; necrosis and ulceration may occur.

• Morbidity and mortality is related to the underlying infection.

• Mortality associated with lymphangitis alone, lymphangitis


caused by GABHS can lead to bacteremia, sepsis, and death.
Clinical presentation
• H/o minor trauma to an area of skin distal to the site of
infection

• Children with lymphangitis: fever, chills, and malaise,


headache, loss of appetite, muscle aches.

• H/o recent cut or abrasion or of an area of skin

• Can progress rapidly to bacteremia and disseminated


infection and sepsis
Physical examination
• Erythematous and irregular linear streaks extend from the primary
infection site toward draining regional nodes.

• Primary site may be an abscess, an infected wound or an area of


cellulitis

• Blistering of the affected skin may occur

• Lymph nodes associated with the infected lymphatic channels are


often swollen and tender

• Patients may be febrile and tachycardic


Differential diagnosis

• Contact dermatitis
• Cellulitis
• Septic thrombophlebitis
• Superficial thrombophlebitis
• Necrotizing fasciitis
• Myositis
• Sporotrichosis
Investigations

• Complete blood cell (CBC) count

• Blood culture

• Leading -edge culture or aspiration of pus

• Cultures and Gram staining of fluid.

Threshold sensitivity of Gram staining: 100,000 microorganisms per


milliliter, concentration rarely found in cellulitis or lymphangitis.
Management
• Antibiotics
• Oral
• Parenteral (with signs of systemic illness (eg, fever,
chills and myalgia, lymphangitis).
• Analgesics
• Anti -inflammatory
• Elevation and immobilization of affected areas reduces
swelling, pain, and the spread of infection. An abscess
may require surgical drainage.
Nodular lymphangitis

• Treatment of nodular lymphangitis is determined by


identifying the underlying cause.

• Sporotrichosis is most often identified in this disease


and is commonly found among gardeners.
Antibiotics
• Dicloxacillin
• Cephalexin
• Cefazolin
• Cefuroxime
• Ceftriaxone
• Clindamycin
• Nafcillin
• Trimethoprim and sulfamethoxazole (TMP/SMZ)
52. Pneumonia
• Diagnosis pneumonia komunitas:
Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala:
1. Batuk progresif
2. Perubahan karakter dahak/purulen
3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam
4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi
5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500

• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia
52. Pneumonia
• Community acquired pneumonia:
– Pneumonia yang didapat di masyarakat

• Hospital acquired pneumonia (HAP)


– Pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan
disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.

• Ventilator associated pneumonia (VAP)


– Pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi
endotrakeal.

• Healthcare associated pneumonia (HCAP), meliputi pasien:


– Pernah dirawat di RS selama 2 hari/lebih dalam waktu 90 hari sebelum awitan
pneumonia,
– Tinggal di panti atau fasilitas rawat jangka panjang ,
– Mendapat antibiotik IV, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
dari sebelum awitan pneumonia,
– Pasien hemodialisis.
52. Lobar Pneumonia
• Konsolidasi pada
seluruh lobus.
• 95% disebabkan
oleh Streptococcus
pneumonia.
• Terdapat 4 stadium.
Pemeriksaan
52. Pneumonia
Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
• Rawat jalan
– Tanpa faktor modifikasi: golongan β laktam atau β laktam +
anti β laktamase
– Dengan faktor modifikasi: golongan β laktam + anti β laktamase atau
fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)
– Bila dicurigai pneumonia atipik: makrolid baru (roksitrosin,
klaritromisin, azitromosin)

• Rawat inap
– Tanpa faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamase
i.v atau sefalosporin G2,G3 i.v atau Fluorokuinolon respirasi i.v
– Dengan faktor modifikasi: sefalosporin G2,G3 i.v atau gluorokuinolon
respirasi i.v
– Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru
52. Pneumonia
Faktor modifikasi pada terapi pneumonia:
• Pneumokokus resisten terhadap penisilin
– Umur lebih dari 65 tahun
– Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
– Pecandu alkohol
– Penyakit gangguan kekebalan
– Penyakit penyerta yang multipel
• Bakteri enterik Gram negatif
– Penghuni rumah jompo
– Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
– Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
– Riwayat pengobatan antibiotik
• Pseudomonas aeruginosa
– Bronkiektasis
– Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
– Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
– Gizi kurang
53. Klasifikasi NYHA
54. Osteoartritis
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi  fungsi bantalan menghilang 
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrison’s principles of internal medicine.


Klasifikasi OA
• More common than secondary OA

OA • Cause –Unknown
• Common-in elders where there is no previous
pathology.

Primer • Its mainly due to wear and tear changes


• occuring in old ages mainly in weight bearing
joints

• Injury to the joint

OA •


Previous infection
RA
CDH

Sekunder •


Deformity
Obesity
Hyperthyriodism
Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrison’s principles of internal medicine.


Tatalaksana OA
• Terapi Non farmakologi
– Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
– Program penatalaksanaan mandiri (self-management
programs):modifikasi gaya hidup. (Level of evidence: II)
– Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan
berat badan, minimal penurunan 5% dari berat badan,
dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
– Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness
exercises). Level of Evidence: I)
– Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi,
penguatan otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat
bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation): pakai
tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
– Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk
aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)
• Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila
dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi)
• Pendekatan terapi awal
– Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang,
dapat diberikan salah satu obat berikut ini, bila tidak
terdapat kontraindikasi pemberian obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence:
II)
– Paracetamol 4x500mg,
– Ibuprofen 3x 600-800 mg
– Na Diclofenac 50 mg t.i.d, Piroksikam 20 mg o.d, Meloksikam 7.5
mg o.d
Tatalaksana OA
• Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki
risiko pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit
komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat
perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan
atau antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
– Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
– Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
– Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
– Cyclooxygenase-2 inhibitor.
• Terapi pembedahan
– Artroskopi, Menisektomi, Artroplasti
Prinsip Tatalaksana Osteoartritis

Osteoarthritis: Diagnosis and Treatment.Am Fam Physician. 2012 Jan 1;85(1):49-56.


55. Anemia Defisiensi Besi
• Kegagalan pembentukan hb akibat defisiensi besi yang
berperan dalam pembentukan heme.
Anemia Mikrositik Hipokrom

MCV & MCH ↓

GDT

Besi serum

Besi serum ↑ Besi serum N/↑ Besi serum ↓

Besi sumsum tulang  Pemeriksaan Hb F/A2 Kadar ferritin

Ferritin↓ Ferritin N/↑

Anemia sideroblastik Talasemia, Kelainan Hb Defisiensi besi penyakit kronik


55. Anemia Defisiensi besi

Harrison’s principles of internal medicine.


Anemia Defisiensi Besi (tahapan
klinis)
Anemia Defisiensi Besi (Tatalaksana)
• Suplemen Besi (Ferrous Sulfat)
– 300 mg/hari selama 6-12 bulan Atau sampai Hb normal + 8 minggu (WHO)
– dapat ditambah suplemen vitamin C untuk menambah penyerapan besi

• Parenteral iron replacement


 Iron dextran can be administered IV or IM.
 This is rarely necessary because most patients respond to oral iron therapy. It
may be useful in patients with poor absorption, patients who require more
Iron than oral therapy can provide, or patients who cannot tolerate oral
ferrous sulfate.

• Transfusi PRC dibutuhkan


– bila Hb < 6g/dl atau
– Hb > 6g/dl dengan penyerta (dehidrasi, persiapan operasi, infeksi berat, gagal
jantung dan distress pernapasan)
56. Antihipertensi
57. Demam Berdarah Dengue
• Definisi : Penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk DBD
• dicurigai apabila ditemukan demam tinggi (40°C)
diikuti 2 dari gejala berikut:
– nyeri kepala,
– nyeri dibelakang mata,
– nyeri otot dan sendi,
– mual, muntah, atau timbul bintik merah.
• Gejala ini muncul selama 2-7 hari setelah 4-10 hari dari
pertama gigitan nyamuk yang terinfeksi.
INFEKSI DENGUE
INFEKSI DENGUE

Shock
Bleeding
Infeksi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial phase,
illness,  by about 2 weeks & undetectable after persist from several months to a lifelong period.
2–3 months.
• IgG: detectable at low level by the end of the first • IgM: significantly lower in secondary infection
week & remain for a longer period (for many cases.
years).

Infeksi Primer Infeksi Sekunder


• Transfusi trombosit:
• Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
• Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.
58. Syok Anafilaksis
• Anafilaksis adalah reaksi tipe segera yang dimediasi
oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat
pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi
tersebut akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis
yaitu gejala sistemik.
• Susah dibedakan dengan reaksi anafilaktoid namun
anafilaktoid secara mekanisme tidak melibatkan IgE.
• Manifestasi klinis yang timbul meliputi gejala pada
kulit, pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan
gejala pada sistem organ lain seperti rinitis,
konjungtivitis.
Anafilaktik
Anafilaktik
59. PENENTUAN TERAPI DIBETES MELITUS
(ANALISIS SOAL)
• Jika obat antidiabetik diberikan bentuk kombinasi, prinsipnya
adalah: Gunakan antidiabetic yang memiliki cara kerja yang
berbeda.
– Misalnya kombinasi antara obat yang bekerja sebagai insulin
secretagogue dan insulin sensitizer.

• Pilihan D dan E pasti salah karena kedua obat tersebut cara kerjanya
sama.

• Pilihan A-C sebenarnya bisa menjadi pilihan obat kombinasi. Namun


di antara A-C, yang lebih dipilih adalah yang melibatkan metformin
karena metformin bekerja untuk meningkatkan sensitivitas insulin
(sesuai patofisiologi DM tipe 2 yaitu resistensi insulin) dengan efek
samping yang minimal.
60. Hipoglikemia
• Hipoglikemia 
menurunnya kadar glukosa
darah < 70 mg/dL dengan
atau tanpa gejala otonom
• Whipple triad
– Gejala hipoglikemia
– Kadar glukosa darah rendah
– Gejala berkurang dengan
pengobatan
• Penurunan kesadaran pada
DM harus dipikirkan
hipoglikemia terutama yang
sedang dalam pengobatan
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
Hipoglikemia
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened
paresthesia, palpitasi, Tremulousness pulse pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,
confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur, diplopia

• Probable hipoglikemia  gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS


• Hipoglikemia relatif  GDS>70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia asimtomatik  GDS<70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia simtomatik  GDS<70mg/dL dengan gejala hipoglikemia
• Hipoglikemia berat  pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
administrasi karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya

Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015


Hipoglikemia
Hipoglikemia ringan Hipoglikemia berat
• Konsumsi makanan tinggi • Terdapat gejala
karbohidrat neuroglikopenik 
• Gula murni dextrose 20% sebanyak 50
• Glukosa 15-20 g (2-3 sdm) cc (jika tidak ada bisa
dilarutkan dalam air diberikan dextrose 40% 25
cc), diikuti infus D5% atau
• Pemeriksaan glukosa darah
D10%
dengan glukometer setelah 15
menit upaya terapi • Periksa GD 15 menit, jika
• Kadar gula darah normal, pasien belum mencapai target
diminta untuk makan atau dapat diulang
konsumsi snack untuk mencegah • Monitoring GD tiap 1-2 jam
berulangnya hipoglikemia.
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
Etiologi
Pemeriksaan penunjang
• Primer (gangguan adrenokorteksAddison’s
disease) • Pengukuran kortisol pagi: <3 µg/dL
– autoimun diagnostik; ≥18µg/dL menyingkirkan
– infeksi: TB, CMV, histoplasmosis diagnosis
– vaskular:perdarahan, trombosis, trauma • Kelainan lainnya: hipoglikemia,
– metastasis eosinophilia, lymphocytosis,±
– deposit: hemochromatosis, amyloidosis, neutropenia
sarcoidosis • ACTH:↑pada kelainan primer, ↓ atau
– obat: ketoconazole, etomidate, rifampin, normal pada kelainan sekunder
antikejang
• Pemeriksaan radiologi: MRI hipofisis, CT
• Sekunder kegagalan hipofisis mensekresi adrenal
ACTH (tapi aldosteron tidak terganggu
karena RAA)terapi glukokortikoid, Hipo Adrenal dengan penyakit kritis
megestrol (progestin dgn efek supresi • Berikan stimulasi ACTH secepatnya pada
glucocorticoid) pasien hipotensi yang diduga insuf
adrenal.
Manifestasi klinis • Berikan kortikosteroids dini:
• Primer atau sekunder:mudah lelah(99%), – dexamethasone 2–4 mg IV q6jam +
fludrocortisone 50 µgsetiap hari
anorexia (99%),
hipotensiorthostatic(90%), – ganti ke hydrocortisone 50–100 mg IV q6–
8jamsetelah tes ACTH.
mual(86%),muntah (75%), hiponatremia
(88%) Tatalaksana
– Primer: hipotensi orthostatic, • Akut : resusitasi volume dengan NaCl
hiperpigmentasi, hiperkalemia 0,9%+ hydrocortisone IV
– Sekunder: + gejala ↓hormon hipofisis lain • Kronik
– Hydrocortison: 20–30 mg PO qhari (2⁄3 pagi
61. Insufisiensi Adrenal 1⁄3 siang.) atau prednison5 mg PO
62. CARDIAC
ARREST
63. TATALAKSANA ASMA DENGAN
ADRENALIN
• Sebenarnya pada algoritma terbaru Asma
menurut GINA dan PDPI, adrenalin tidak
digunakan untuk tatalaksana eksaserbasi akut.

• Dulu memang adrenalin digunakan sebagai


salah satu tatalaksana serangan asma yang
mengancam nyawa dengan dosis 0,3-0,5 ml.
Adrenalin Untuk Tatalaksana Asma Akut
64. DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA

http://www.aafp.org/afp/2004/0501/p2139.html
65. HISTOPATOLOGI GRAVES DISEASE

• Cytology features are nonspecific


and similar to benign follicular
lesions such as nodular goiter,
adenomatoid nodules or colloid
nodulesCellular smears with
follicular cells in flat sheets and
loosely cohesive clusters
• Cells are tall with finely granular
cytoplasm, marginal vacuoles and
basal nuclei
• Nuclei are enlarged, vesicular and
show prominent nucleoli
• Background may show lymphocytes
and oncocytes
66. Sensitivity of Typhoid Cultures

Blood cultures: often (+) in the 1st week. (gold standard)


Stools cultures: yield (+) from the 2nd or 3rd week on.
Urine cultures: may be (+) after the 2nd week.
(+) culture of duodenal drainage: presence of Salmonella in
carriers.
Kultur Typhoid
• Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
• Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi
• Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
• Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
– Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari.
67. Ventricular Extrasistole/
Premature Ventricular Complex

• Broad QRS complex (≥ 120 ms) with abnormal


morphology.
• Premature — i.e. occurs earlier than would be expected
for the next sinus impulse.
• Discordant ST segment and T wave changes.
• Usually followed by a full compensatory pause.
• Retrograde capture of the atria may or may not occur.
68. GANGGUAN ELEKTROLIT PADA
PASIEN CKD
• Gangguan elektrolit pada pasien CKD stage 5/
end stage renal disease adalah:
– Hiperkalemia
– Hipokalsemia
– Hiperfosfatemia
– Hipomagnesemia

• Dari antara keempat gangguan elektrolit tersebut,


hiperfosfatemia bisa menyebabkan gejala serupa
uremia (badan lemas, mual, muntah).
69. SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing
(hiperadrenokortikalism/hiperkortisolism)
– Kondisi klinis yang disebabkan oleh
pajanan kronik glukokortikoid
berlebih karena sebab apapun.

• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)

Silbernagl S, et al. Color atlas of pathophysiology. Thieme; 2000.


McPhee SJ, et al. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed.
McGraw-Hill; 2006.
70. GEJALA AKROMEGALI
Respiratory manifestations Systemic effects of GH/IGF-I excess
Macroglossia Visceromegaly
Soft tissue and skin changes
Jaw malocclusion
Thickening of acral parts
Upper airway obstruction
Increased skin thickness and soft tissue
Sleep disturbances hypertrophy
Sleep apnea (central and obstructive) Hyperhidrosis/Oily texture
Ventilatory dysfunction Skin tags and acanthosis nigricans
Cardiovascular features
Bone and joint manifestations
Hypertrophy (biventricular or asymmetric septal)
Increased articular cartilage thickness
Congestive Heart Failure (systolic and/or diastolic)
Arthralgias and arthritis Coronary disease
Carpal tunnel síndrome Arrhythmias
Osteopenia Hipertensión
Cardiomyopathy
Akromegali
71. Disbarisme
• Any symptom or sign that appears during or following a dive is pressure-
related until proven otherwise based on diagnostic or therapeutic
recompression.
• Eyes or face - Hemorrhage and numbness
• Ears - Pain, hearing loss, tinnitus, bloody discharge, and vertigo
• Nose or sinuses - Pressure or pain associated with sinus locations, bloody
nasal discharge, and numbness in infraorbital nerve distribution
• Mouth - Dental pain
• Neck - Edema, crackling, and hoarseness
• Pulmonary - Dyspnea, hemoptysis, and chest pain
• Gastrointestinal - Bloating, cramps, and pain
• Musculoskeletal - Symptoms probably related to DCS
• Skin - Rash or marks
• Neurologic - Seizure, unconsciousness, confusion, headache, visual
disturbance, paresis, and paresthesia (more likely related to DCS)
72. Obat Dislipidemia
Obat Dislipidemia
73. GERD
• Definition:
– Suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu.

• Symptoms:
– Heartburn; midline retrosternal burning sensation
that radiates to the throat, occasionally to the
intrascapular region.
– Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of
excessive saliva.

GI-Liver secrets
GERD
74. Dispepsia
• Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.

• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.

• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
– Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
– Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


KLASIFIKASI DISPEPSIA FUNGSIONAL (ROMA III)

Epigastric pain syndrome Post prandial distress


syndrome
• Dispepsia fungsional dengan gejala • Dispepsia fungsional dengan gejala
predominan nyeri epigastrium predominan gejala ketidaknyaman
• Diagnostic criteria* Must include all pada perut
of the following: • Diagnostic criteria (Must include one
– Pain or burning localized to the or both of the following):
epigastrium of at least moderate – Bothersome postprandial fullness,
severity, at least once per week occurring after ordinary-sized meals, at
least several times per week
– The pain is intermittent
– Early satiation that prevents finishing a
– Not generalized or localized to other regular meal, at least several times per
abdominal or chest regions week
– Not relieved by defecation or passage * Criteria fulfilled for the last 3 months with
of flatus symptom onset at least 6 months prior to
– Not fulfilling criteria for gallbladder diagnosis
and sphincter of Oddi disorders • Supportive criteria
* Criteria fulfilled for the last 3 months – Upper abdominal bloating or
with symptom onset at least 6 months postprandial nausea or excessive
prior to diagnosis belching can be present
– Epigastric pain syndrome may coexist
75-76. HEPATITIS VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


Hepatitis
Hepatitis C
 90% transfusion,
50% IDU
 Little evidence of
sexual or perinatal
transmission
 Incubation 1-5 (2)
mo
 Acute infection:
 75% subclinical
 25% jaundice
 Chronicity
 50%
 Cirrhosis: 20% of
chronic
77. Kolelitiasis
• Definisi
– Batu di kandung empedu
– Empedu – garam empedu, phospholipid,
kolesterol; ↑ saturasi kolseterol di empedu +
mempercepat nukleasi + hypomotilitas kandung
empedu batu empedu
• Klinis
– Tipe: batu kolesterol 90%, batu pigmen 10%
– Kolik bilier: nyeri perut kanan atas atau
epigastrium, tiba2, bertahan 30 menit sd 3 jam,
menjalar ke scapula, mual
– Dipicu makanan berlemak
• Tata laksana
– Cholecystectomy (CCY), laparoscopic, jika
symptomatik
– Ursodeoxycholic acid (jarang) untuk batu
cholesterol jika tidak bisa operasi
• Komplikasi
– Kolsesistitis
– Koledokolitiasis  kolangitis
78. Perbedaan Kriteria
Sepsis Lama dan Baru

Terminologi Sepsis Kriteria Lama Sepsis 2016


Sepsis SIRS disertai dengan Disfungsi organ akibat
infeksi fokal infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi Tidak ada
organ
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang
walaupun dengan membutuhkan
pemberian cairan adekuat vasopressor untuk
mempertahankan
MAP>65 dan laktat >2
mmol/L
79. Dispepsia
• Gejala predominan
– Nyeri epigastrium
 PPI
(omeprazole,
lansoprazole, dll)
– Cepat kenyang,
mual, muntah 
Agen prokinetik
(contoh:
metoklopramid,
domperidon)
• Dapat
dikombinasikan
antara PPI dan agen
prokinetik
80. HEPATITIS VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


81. Jaras Visual
Serat serat akson sel ganglion retina

N.Optikus foramen optikum

Traktus optikus Khiasma optikum

Badan Genikulatum

Lateral Radiasio optikus

Korteks visuil sekitar fissura Calcarina


dari 1 titik cahaya jatuh pada
“corresponding points”masing
masing retina kanan dan kiri

Disampaikan ke satu titik


bersama di korteks visuil
daerah fissura calcarina

Dari titik lebih sentral


retina lebih ke belakang
korteks visuil
Dari makula / fovea di
puncaknya
Lesi Jaras Visual
82. Herpes Simplex oftalmikus
• HSV-1 infection occurs by direct contact of skin or
mucous membrane with virus-laden lesions or
secretions
• Occurs most commonly in the mucocutaneous
distribution of the trigeminal nerve
• After the primary infection, the virus travels in
retrograde fashion from the infected epithelial cells to
nearby sensory nerve endings and is transported
along the nerve axon to the cell body located in the
trigeminal ganglion, entering into a latent state.
• Interneuronal spread of HSV within the ganglion
allows patients to develop subsequent ocular disease
without ever having had primary ocular HSV infection
Ocular Manifestation of HSV
• Periocular herpes simplex
• Blepharitis
• Conjunctivitis
• Scleritis
• Keratitis
• Iridocyclitis
• Retinitis
Herpes Simplex Keratitis
Keratitis Herpes Simpleks

• Herpes simpleks virus (HSV) keratitis, sama dengan penyakit herpes simpleks
lainnya dapat ditemukan dalam dua bentuk: primer atau rekuren.
• Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan oleh HSV tipe 1, namun pada
balita dan orang dewasa, dapat juga disebabkan oleh HSV tipe 2. Lesi kornea
yang disebabkan kedua virus tersebut tidak dapat dibedakan.
• Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV mengandung sel-sel raksasa berinti
banyak.
• Virus dapat dibiakkan di dalam membran khorioallantoik embrio telur ayam
dan di dalam jaringan seperti sel-sel HeLa .
• Identifikasi akurat virus dilakukan menggunakan metode PCR

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tanda dan gejala:
• Infeksi primer biasanya berbentuk blefarokonjungtivitis
vesikular, kadang disertai keterlibatan kornea. Umumnya
self-limmited tanpa menyebabkan kerusakan mata yang
signifikan.
• Iritasi, fotofobia, peningkatan produksi air mata,
penurunan penglihatan, anestesi pada kornea, demam.
• Kebanyakan unilateral, namun pada 4-6% kasus dapat
bilateral
• Lesi: Superficial punctate keratitis -- stellate erosion --
dendritic ulcer -- Geographic ulcer
• Dendritic ulcer: Lesi yang paling khas pd keratitis HSV. Berbentuk
linear, bercabang, tepi menonjol, dan memiliki tonjolan di
ujungnya (terminal bulbs), dapat dilihat dengan tes flurosensi.
• Geographic ulcer. Lesi defek epitel kornea berbentuk spt amuba

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tatalaksana:
• Dokter umum: RUJUK SEGERA
• Debridement
• Antivirus topikal, kortikosteroid
(pertimbangan khusus)
• Topical antiviral: trifluridine 1%
8x/day (watch for epithelial
toxicity after 1 week fo therapy),
acyclovir 3% drops initially
5x/day gradually tapering down
but continued for at least 3 days
after complete healing; if
resistant, consider ganciclovir
0.15% gel initially 5x/day.
• Bedah
• Mengontrol reaktivasi HSV:
hindari demam, pajanan sinar
matahari berlebihan,
imunosupresi, dll
Keratitis herpes zoster
• Bentuk rekuren dari keratitis Varicella
• Lesi pseudodenditik: lesi epitel yang menonjol dengan ujung
mengerucut, sedikit tonjolan pada ujungnya (terminal bulbs)

Keratitis varicella
• Bentuk infeksi primer pada mata dari virus Varicella
• Ciri khas: lesi pseudodendritik disertai lesi pada stroma kornea
dan uveitis

Keratitis marginal
• Keratitis non infeksius, sekunder setelah konjungtivitis bakteri, terutama Staphylococcus
• Keratitis ini merupakan hasil dari sensitisasi tubuh terhadap produk bakteri. Antibodi dari
pembuluh darah di limbus bereaksi dgn antigen yang terdifusi ke dalam epitel kornea

Keratitis bakteri
• Biasanya unilateral, terjadi pd org dengan penyakit mata sebelumnya atau mata
org yang menggunakan kontak lens
• Infiltrat stroma berwarna putih, edema stroma, pembentukan hipopion
Herpes Zooster Ophtalmicus
• First described by Hutchinson in 1865
• Involves the reactivation of VZV in the trigeminal
ganglia with ophthalmic involvement
• Accounts for 10%-25% of zoster episodes
• Nasociliary branch of the ophthalmic nerve innervates
the skin of the eyelids, conjunctiva, sclera, cornea, iris,
choroid, and the tip of the nose
• Hutchinson’s sign Signs
• Presence of vesicles at • External
the side of the tip of the
nose • Lid edema and vesicles
• Indicator of nasociliary • Conjunctival hyperemia
involvement • Episcleritis and scleritis
• Associated with a 50- • Cornea
76% chance of ocular • Punctate epithelial
complications keratitis
• The risk lowers to 34% • Pseudodendrites
without nasociliary • Anterior stromal
infiltrates
involvement • Keratouveitis
• Uveitis
Figure 1A

Shaikh S, Cristopher N. Evaluation and Management of Herpes zooster ophtalmicus. (Am Fam Physician 2002;66:1723-30,1732.
83. DAKRIOSISTITIS

• Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct


with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
• Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
• Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
• Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
84. Inervasi Otot Ekstraokuler

Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:


Saunders; 2007.
Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:
Saunders; 2007.
85. Angle-closure (acute) glaucoma
• The exit of the aqueous humor fluid is sud
• At least 2 symptoms:
• ocular pain
• nausea/vomiting
• history of intermittent blurring of vision with halos
• AND at least 3 signs:
• IOP greater than 21 mm Hg
• conjunctival injection
• corneal epithelial edema
• mid-dilated nonreactive pupil
• shallower chamber in the presence of occlusiondenly
blocked

http://emedicine.medscape.com/article/798811
Tatalaksana Glaukoma Akut
• Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan normal dan
mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
• Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan 0.5%,
levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan
timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit,
reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
• Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO glaukoma akut
sudut tertutup.
• Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
• Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
• Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada glaukoma akut
sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja 1 jam, puncak pada 4
jam)

Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006


Tatalaksana Glaukoma Akut
• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
• Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004%
(1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
• Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
• Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
• Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
• Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan
• Pengurangan volume vitreus
• Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau urea
IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
• isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
• analgesics
• antiemetics
• Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing pupillary
block
• Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
86. Microphtalmia vs Nanopthalmia
• Microphtalmos:
• The antero-posterior diameter of the eye in adults is less than 20
mm. In children it is often significantly less than that.
• Microphthalmos can be unilateral or bilateral, and may or may
not be associated with uveal coloboma, hence the general
classification into colobomatous and non-colobomatous
categories.
• Complicated microphthalmos refers to the association of a small
eye with other ocular abnormalities such as corneal
opacification, corectopia, aniridia, cataract, persistent fetal
vasculature and/or retinal dysplasia.
• The cornea is usually less than 10 mm in size but may be normal
in simple microphthalmos, which is more appropriately termed
nanophthalmos or posterior microphthalmos
Nanopthalmia
• the axial length of an otherwise normal eye typically varies
from 16 to 18mm.
• The anterior chamber is shallow; if it is grossly normal during
childhood the term “posterior microphthalmos” is sometimes
used.
• Hypermetropia is often in the range of 15 to 20D.
• Visual acuity can be normal early in life with proper refractive
correction, but may be decreased if retinal complications
occur.
• The lens is of normal size but is relatively large for the globe.
The retinal vessels may be tortuous and engorged.
• Uveal effusions may develop and subside spontaneously and
lead to chorioretinal pigmentary changes and choroidal
thickening.
87. PTERIGIUM
• Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva,
bersifat degeneratif dan invasif
• Terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea
• Mudah meradang
• Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya
matahari, udara panas
• Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah,
mungkin terjadi astigmat (akibat kornea
tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam
penglihatan menurun
• Tes sonde (-)  ujung sonde tidak kelihatan
pterigium
• Pengobatan : konservatif; Pada pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien
dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan
tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM
• Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
• Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
• Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
• melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
PTERIGIUM – DIAGNOSIS
BANDING
88-89. Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-
lama berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
• Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and
feathery borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
• Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
• Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
• Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
• Terapi steroid topikal jangka panjang
• Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
• Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

90. KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang • 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 this stage, lens may become swollen due to
tahun
continued hydration  ‘intumescent cataract’),
matur, hipermatur
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak • Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan
kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
• Etiologi :belum diketahui secara pasti 
multifaktorial: • Penyulit : Glaukoma, uveitis
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan • Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi
yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa,
seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi
cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
91. Herpes Zooster Ophtalmicus
• First described by Hutchinson in 1865
• Involves the reactivation of VZV in the trigeminal
ganglia with ophthalmic involvement
• Accounts for 10%-25% of zoster episodes
• Nasociliary branch of the ophthalmic nerve innervates
the skin of the eyelids, conjunctiva, sclera, cornea, iris,
choroid, and the tip of the nose
• Hutchinson’s sign Signs
• Presence of vesicles at • External
the side of the tip of the
nose • Lid edema and vesicles
• Indicator of nasociliary • Conjunctival hyperemia
involvement • Episcleritis and scleritis
• Associated with a 50- • Cornea
76% chance of ocular • Punctate epithelial
complications keratitis
• The risk lowers to 34% • Pseudodendrites
without nasociliary • Anterior stromal
infiltrates
involvement • Keratouveitis
• Uveitis
Figure 1A

Shaikh S, Cristopher N. Evaluation and Management of Herpes zooster ophtalmicus. (Am Fam Physician 2002;66:1723-30,1732.
92. KONJUNGTIVITIS VIRUS
• Viral conjunctivitis, or pinkeye, is a common, self-limiting condition that
is typically caused by adenov

• Treatment of adenoviral conjunctivitis is supportive. Patients should be


instructed to use cold compresses and lubricants, such as chilled
artificial tears, for comfort. Topical vasoconstrictors and antihistamines
may be used for severe itching but generally are not indicated.

• For patients who may be susceptible, a topical astringent or antibiotic


may be used to prevent bacterial superinfection. There is clinical
evidence that topical ganciclovir is effective against at least Adenovirus
serotype 8, thus compelling many clinicians to prescribe this agent off-
label for compelling cases of epidemic keratoconjunctivitis (EKC),
particularly when corneal lesions are noted.
93. KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh
– seasonal conjunctivitis
– warm weather conjunctivitis
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10 tahun
sejak awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir tidak
ada)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat,
dapat disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada
RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa
berpermukaan rata pada
konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons
(sekret menyerupai benang
& pseudomembran
fibrinosa halus pada tarsal • Komplikasi:
atas, pada pajanan thdp
panas) • Blefaritis & konjungtivitis
– Bercak Trantas (bercak stafilokokus
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
94. KELAINAN REFRAKSI -MIOPIA
• MIOPIA  bayangan difokuskan di • Normal aksis mata 23 mm (untuk
depan retina, ketika mata tidak setiap milimeter tambahan
panjang sumbu, mata kira-kira
dalam kondisi berakomodasi
lebih miopik 3 dioptri)
(dalam kondisi cahaya ataubenda
• Normal kekuatan refraksi kornea
yang jauh) (+43 D) (setiap 1 mm penambahan
• Etiologi: diameter kurvatura kornea, mata
– Aksis bola mata terlalu panjang
lebih miopik 6D)
miopia aksial • Normal kekuatan refraksi lensa
– Miopia refraktif  media refraksiyang (+18D)
lebih refraktif dari rata-rata: • People with high myopia
kelengkungan kornea terlalu besar – more likely to have retinal detachments
and primary open angle glaucoma
• Dapat ditolong dengan
– more likely to experience floaters
menggunakan kacamata negatif
(cekung)
KELAINAN REFRAKSI -MIOPIA
• Miopia secara klinis :
– Simpleks: kelainan fundus ringan, < -6D
– Patologis: Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna atau
miopia progresif, adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada
pemeriksaan oftalmoskopik, > -6D
• Miopia berdasarkan ukuran dioptri lensa :
– Ringan (lavior) : lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
– Sedang (moderate): lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri.
– Berat (grandior): lensa koreksinya > 6,00 Dioptri.
• Miopia berdasarkan umur :
– Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.
– Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun.
– Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 thn.
– Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun (> 40 tahun).
95. Presbiopia
• Merupakan keadaan berkurangnya daya akomodasi
pada usia lanjut
• Penyebab:
– Kelemahan otot akomodasi
– Lensa mata tdk kenyal / berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa
• Diperlukan kacamata baca atau adisi :
– + 1.0 D : 40 thn
– + 1.5 D : 45 thn
– + 2.0 D : 50 thn
– + 2.5 D : 55 thn
– + 3 .0 D : 60 thn

Sumber: Ilmu Penyakit Mata. Sidarta Ilyas. 2000.


Presbiopia
Pemeriksaan dengan
kartu Jaeger untuk
melihat ketajaman
penglihatan jarak
dekat.
– The card is held 14
inches (356 mm) from
the persons's eye for
the test. A result of
• Koreksi→ lensa positif untuk menambah 14/20 means that the
kekuatan lensa yang berkurang sesuai usia
person can read at 14
• Kekuatan lensa yang biasa digunakan: inches what someone
+ 1.0 D → usia 40 tahun
+ 1.5 D → usia 45 tahun with normal vision can
read at 20 inches.
+ 2.0 D → usia 50 tahun
+ 2.5 D → usia 55 tahun
+ 3.0 D → usia 60 tahun
http://www.ivo.gr/files/items/1/145/51044.jpg
96. KERATITIS TERKAIT LENSA KONTAK

https://www.dovepress.com/contact-lens-associated-microbial-keratitis-practical-considerations-f-peer-reviewed-fulltext-article-OPTO
97. Uveitis
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


MATA TENANG VISUS
VISUS NORMAL VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
• Trakoma karena obat (misalnya
• Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
UVEITIS
Radang uvea:
• mengenai bagian
depan atau
selaput pelangi
(iris) iritis
• mengenai bagian
tengah (badan
silier) siklitis
• mengenai
selaput hitam
bagian belakang
mata koroiditis
• Biasanya iritis
disertai dengan
siklitis = uveitis
anterior/iridosikl
itis
UVEITIS
• Dibedakan dalam bentuk
granulomatosa akut-kronis dan
• Tanda :
non-granulomatosa akut- kronis – pupil kecil akibat rangsangan
proses radang pada otot
• Bersifat idiopatik, ataupun terkait sfingter pupil
penyakit autoimun, atau terkait – edema iris
penyakit sistemik
– Terdapat flare atau efek tindal
• Biasanya berjalan 6-8 minggu di dalam bilik mata depan
• Dapat kambuh dan atau menjadi – Bila sangat akut dapat terlihat
menahun hifema atau hipopion
• Gejala akut: – Presipitat halus pada kornea
– mata sakit
– Merah
– Fotofobia
– penglihatan turun ringan
– mata berair

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop
(slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).

Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006


98. Astigmatisme
• SIMPLE ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused on the
retina and the other is not focused on the retina (with
accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus simpleks
• astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM
– When both principal meridians are focused either in front or
behind the retina (with accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus kompositus
• astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused in front of
the retina and the other is focused behind the retina (with
accommodation relaxed)
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

• Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui
jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di
retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z

• Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada,


nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi
C (silinder) ± .… x …..°
atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
• Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau
plus
• Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama.
Cara transposisi:
• To convert plus cyl to minus cyl:
– Add the cylinder power to the sphere power
– Change the sign of the cyl from + to –
– Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater
than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl:
– add the cylinder power to the sphere
– Change the sign of the cylinder to from - to +
– Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang


jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder
notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
• OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan
lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900
artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan


lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 1800
artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
99. Inervasi Otot Ekstraokuler

Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:


Saunders; 2007.
Goetz, Christopher G. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Philadelphia:
Saunders; 2007.
100. Angle-closure (acute) glaucoma
• The exit of the aqueous humor fluid is sud
• At least 2 symptoms:
• ocular pain
• nausea/vomiting
• history of intermittent blurring of vision with halos
• AND at least 3 signs:
• IOP greater than 21 mm Hg
• conjunctival injection
• corneal epithelial edema
• mid-dilated nonreactive pupil
• shallower chamber in the presence of occlusiondenly
blocked

http://emedicine.medscape.com/article/798811
Tatalaksana Glaukoma Akut
• Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan normal dan
mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
• Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan 0.5%,
levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan
timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit,
reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
• Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO glaukoma akut
sudut tertutup.
• Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
• Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
• Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada glaukoma akut
sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja 1 jam, puncak pada 4
jam)

Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006


Tatalaksana Glaukoma Akut
• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
• Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004%
(1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
• Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
• Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
• Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
• Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan
• Pengurangan volume vitreus
• Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau urea
IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
• isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
• analgesics
• antiemetics
• Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing pupillary
block
• Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
101. Perdarahan subkonjungtiva
• Perdarahan
subkonjungtiva adalah • Perdarahan
perdarahan akibat subkonjungtiva akan
rupturnya pembuluh hilang atau diabsorpsi
darah dibawah lapisan dalam 1- 2 minggu
konjungtiva yaitu tanpa diobati.
pembuluh darah • Pengobatan penyakit
konjungtivalis atau yang mendasari bila
episklera. ada.
• Dapat terjadi secara
spontan atau akibat
trauma.
Subconjunctival hemorrhage
• Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival
haemorrhage) also known as hyposphagma, is
bleeding underneath the conjunctiva.
• A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-
red underneath the transparent conjunctiva.
• Later, the hemorrhage may spread and become green
or yellow, like a bruise.
• In general a subconjunctival hemorrhage is a painless
and harmless condition
• however, it may be associated with high blood
pressure, trauma to the eye, or a base of skull fracture
if there is no posterior border of the hemorrhage
visible.
Subconjunctival hemorrhage

Causes Management
• Eye trauma • Self-limiting that requires
• Whooping cough or other no treatment in the
extreme sneezing or coughing absence of infection or
• Severe hypertension significant trauma.
• Postoperative subconjunctival • Artificial tears may be
bleeding
• Acute hemorrhagic
applied four to six times a
conjunctivitis (picornavirus) day.
• Leptospirosis • Cold compress in the 1st
• Increased venous pressure hour may stop the
(straining, vomiting, choking, bleeding
or coughing)
102. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal dan
asam retinoat. Provitamin A adalah semua karotenoid
yang memiliki aktivitas biologi β-karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu & produk
derivat, kuning telur, margarin, sayuran hijau, buah &
sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi,
kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan
plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet.
Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara drastis
bisa ditemukan pada xerosis konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
• Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis konjungtiva &
kornea, keratomalasia, bercak Bitot, hiperkeratosis
folikular, fotofobia
• Retardasi mental, gangguan pertumbuhan, anemia,
hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :

XN : night blindness (hemeralopia)


X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia
XN. NIGHT BLINDNESS
• Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin
production, impair rod function, and result in night
blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• The epithelium of the
conjunctiva in vitamin A • Conjunctival xerosis first
deficiency is transformed appears billateraly, in the
from the normal columnar to temporal quadrant, as an
the stratified squamous, with isolated oval or triangular
loss of goblet cells, patch adjacent to the
formation of a granular cell limbus in the interpalpebral
layer, and keratinization of fissure.
the surface.
• Clinically, these changes are
expressed as marked dryness
or unwettability, the affected
area appears roughened,
with fine droplets or bubbles
on the surface.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• In some individuals, keratin • Conjunctival xerosis and
and saprophytic bacilli Bitot’s spots begin to
accumulate on the xerotic resolve within 2—5 days,
surface, giving it a foamy or most will disappear within
cheesy appearance, known 2 weeks.
as Bitot’s spots and they’re
easily wiped off)
• Generalized conjunctival
xerosis, involving the
inferior and/or superior
quadrants, suggests
advanced vitamin A
deficiency.
X2 CORNEAL XEROSIS
• Corneal changes begin early in • Clinically, the cornea develops
vitamin A deficiency, long before classical xerosis, with a hazy,
they can be seen with the naked lustreless, dry appearance, first
eye which characteristic are observable near the inferior
superficial punctate lesions of limbus
the inferior—nasal aspects of the
cornea, which stain brightly with • Corneal xerosis responds within
fluorescein 2—5 days to vitamin A therapy,
with the cornea regaining its
• Early in the disease the lesions normal appearance in 1—2
are visible only through a slit- weeks
lamp biomicroscope
• With more severe disease the
punctate lesions become more
numerous, spreading upwards
over the central cornea, and the
corneal stroma becomes
oedematous
X3A, X3B. Corneal
ulceration/keratomalacia
• Ulceration/keratomalacia
indicates permanent • Superficial ulcers heal
destruction of a part or all with little scarring,
of the corneal stroma, deeper ulcers,
resulting in permanent especially perforations,
structural alteration form dense peripheral
• Ulcers are classically round adherent leukomas.
or oval “punched-out” • Localized keratomalacia
defects is a rapidly progressive
• The ulceration may be condition affecting the
shallow, but is commonly full thickness of the
deep cornea
XS. SCARS XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS
• Healed sequelae of prior •The small white retinal lesions
described in some cases of vitamin
corneal disease related to A deficiency
vitamin A deficiency include
opacities or scars of varying •They may be accompanied by
constriction of the visual fields and
density (nebula, macula, will largely disappear within 2—4
leukoma), weakening and months in response to vitamin A
outpouching of the therapy
remaining corneal layers •Gambaran funduskopi “ fenomena
(staphyloma, and cendol”
descemetocele), and phthisis
bulbi.
Pemeriksaan Penunjang
• A serum retinol study is a costly • The serum retinol level may be
but direct measure using high- low during infection because of
performance liquid a transient decrease in the RBP.
chromatography. • A zinc level is useful because
• A value of less than 0.7 mg/L in zinc deficiency interferes with
children younger than 12 years RBP production.
is considered low.
• A serum RBP study • An iron panel is useful because
• easier to perform and less iron deficiency can affect the
expensive than a serum retinol metabolism of vitamin A.
study, because RBP is a protein • Albumin levels are indirect
and can be detected by an measures of vitamin A levels.
immunologic assay.
• RBP is also a more stable • Obtain a complete blood count
compound than retinol (CBC) with differential if
• However, RBP levels are less anemia, infection, or sepsis is a
accurate, because they are possibility.
affected by serum protein
concentrations and because
types of RBP cannot be
differentiated.
Therapy & Prevention
• Therapy (day 1,2,15):
• - < 6 months : 50.000 IU oral
• 6 – 12 months : 100.000 IU oral
• > 1 year : 200.000 IU oral

• Prevention (every 6 months):


• < 6 months : 50.000 IU oral
• 6 – 12 months : 100.000 IU oral
• > 1 year : 200.000 IU oral
103. Scleritis

• Inflamasi pada sclera yang dapat disertai nyeri


dengan/tanpa penurunan penglihatan
• Terdapat 2 bentuk:
1. Skleritis anterior (paling sering)
2. Skleritis posterior (paling jarang)

Sumber: AAO. 2015


Scleritis anterior
• Bentuk yang paling umum ditemui
• Terdapat 3 bentuk, yaitu
1. Difus, gejala klinis berupa edema sklera disertai injeksi
sclera
2. Nodular, gejala klinis berupa gambaran nodul berwarna
merah gelap-hitam, dapat soliter dan multipel
3. Necrotizing, merupakan bentuk paling parah, yaitu
terdapat nyeri berat dan edema sklera luas
4. Scleromalasia perforans, seperti tipe necrotizing namun
tidak ada peradangan dan hilangnya gambaran
vaskularisasi episklera

Sumber: AAO. 2015


Episcleritis vs scleritis

• Episcleritis  pembuluh darah superfisial dan tidak


ada edema  tidak ada gangguan penglihatan
• Scleritis  pembuluh yang lebih dalam + edema 
gangguan penglihatan
• Pada slit lamp:
- episcleritis: injeksi berwarna lebih kemerahan
dan tidak ada edema
- Scleritis: injeksi lebih berwarna gelap dan
terdapat edema

Sumber: AAO. 2015


Prinsip tatalaksana

• Pilihan terapi adalah terapi sistemik dengan NSAID


• DOC: flurbiprofen 3x100 mg/hari atau ibuprofen
3x25-50 mg/hari
• Steroid digunakan jika flurbiprofen atau ibuprofen
tidak efektif, dosis 1 mg/kgBB/hari
104. Kalazion
• Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
• Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul
berminggu-minggu.
• Dapat diawali oleh hordeolum, dibedakan dari hordeolum oleh
ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut.
• Pada pemeriksaan histologik ditemukan proliferasi endotel asinus
dan peradangan granullomatosa kelenjar Meibom
• Tanda dan gejala:
• Benjolan tidak nyeri pada bagian dalam kelopak mata. Kebanyakan
kalazion menonjol ke arah permukaan konjungtiva, bisa sedikit merah.
Jika sangat besar, dapat menekan bola mata, menyebabkan
astigmatisma.
• Tatalaksana: steroid intralesi (bisa membuat remisi terutama
untuk kalazion lesi kecil), Insisi dan kuretase untuk lesi kecil; eksisi
(pengangkatan granuloma untuk lesi yang besar)

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia:
McGraw-Hill, 2007.
Teknik Bedah Definisi

Insisi Sayatan yang dilakukan pada jaringan dengan instrumen


yang tajam tanpa melakukan pengangkatan organ atau
jaringan tersebut

Eksisi Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor atau


pengangkatan sebagian dari jaringan dari organ dalam
tubuh.
Eksisi luas Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor disertai
pengangkatan jaringan sehat di sekitarnya

Ekstirpasi Tindakan pengangkatan seluruh massa tumor beserta


kapsulnya atau pengangkatan seluruh jaringan atau organ
yang rusak.
Biopsi Prosedur medis yang dilakukan dengan mengambil contoh
jaringan dari suatu massa tumor atau organ untuk diperiksa
di bawah mikroskop

http://www.peralatankedokteran.com/2012/01/definisi-teknik-bedah-minor.html
105. Dry Eye Syndrome
(Keratokonjungtivitis Sicca)
• International Dry Eye Workshop (DEWS) 2007
definition:
• Mata kering merupakan penyakit multifaktorial pada
produksi air mata dan permukaan mata yang
menyebakan rasa tidak nyaman, gangguan penglihatan,
dan instabilitas lapisan air mata yang beresiko
menyebabkan kerusakan permukaan okular. Kondisi ini
disertai pula dengan peningkatan osmolaritas lapisan air
mata dan peradangan pada permukaan mata.
SCHIRMER’S TEST

• Measurement of the aqueous layer quantity only


• 5x30 strips of Whatman filter paper
• The amount of moistening is of the exposed paper is
recorded at the end of 5minutes
SCHIRMER’S TEST
Measures total reflex and basic tear secretion
Results:
Normals will wet approximately 10 to 30mm at
the end of 5minutes.
If wetting > 30 mm, reflex tearing is intact but not
controlled or tear drainage is insufficient
A value of <5mm indicates hyposecretion
106. 9 Prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan
(UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 4)
• Kegotong-royongan: prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya
Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
• Nirlaba: prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan
dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
• Keterbukaan: prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi
setiap peserta.
• Kehati-hatian: prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
• Akuntabilitas: prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
(lanjutan)
• Portabilitas: prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan
meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Kepesertaan bersifat wajib: prinsip yang mengharuskan seluruh
penduduk menjadi peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan
secara bertahap.
• Dana amanat: iuran dan hasil pengembangannya merupakan
dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi
kepentingan peserta Jaminan Sosial.
• Hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-
besar kepentingan peserta.
107. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
108. UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
(UKM) DI PUSKESMAS
UKM esensial UKM Pengembangan
• Promosi kesehatan • kegiatan yang memerlukan
upaya yang sifatnya inovatif
• Kesehatan lingkungan dan/atau bersifat
• KIA dan KB ekstensifikasi dan
intensifikasi pelayanan,
• Gizi disesuaikan dengan
• Pencegahan dan prioritas masalah
pengendalian penyakit kesehatan, kekhususan
wilayah kerja dan potensi
sumber daya yang tersedia
di masing-masing
Puskesmas
109. ODDS RATIO

Hipertensi (+) Hipertensi (-) Total

Rokok (+) 40 10 50

Rokok (-) 10 90 100

Total 50 100 150

OR = ad/bc = (40 x 90)/(10/10)


110. Metode Penentuan Prioritas Masalah
Metode Keterangan

Delbeque Prioritas masalah penyakit ditentukan secara kualitatif oleh panel expert dengan
cara: penetapan kriteria yang disepakati bersama oleh para pakar, memberikan
bobot masalah, menentukan skoring setiap masalah. Dipilih skor tertinggi untuk
menjadi prioritas.

Delpie Sejumlah pakar (panel expert) melakukan diskusi terbuka dan mendalam tentang
masalah yang dihadapi dan masing-masing mengajukan pendapatnya tentang
masalah yang perlu diberikan prioritas. Diskusi berlanjut sampai akhirnya dicapai
suatu kesepakatan (konsensus) tentang masalah kesehatan yang menjadi
prioritas. Metode ini biasanya digunaka bila pakar berasal dari keilmuan yang
sama.

Metoda Estimasi Menghitung berapa banyak kerugian yang ditimbulkan dalam kehidupan tahunan
Beban Kerugian penduduk (dinyatakan dalam Disease Adjusted Life Year =DALY).
(Disease Burden)

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2013 - September 2013, Vol. 7, No. 2


Metode Penentuan Prioritas Masalah
Metode Keterangan

Metode matematika PAHO Dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan


(Pan American Health prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah
Organization) berdasarkan lmasalah (magnitude), beratnya kerugian
yang timbul (Severity), tersedianya sumberdaya untuk
mengatasi masalah kesehatan tersebut (Vulnerability),
kepedulian/dukungan politis dan dukungan
masyarakat (Community and political concern),
Ketersediaan dana (Affordability).

Metode CARL Penentuan prioritas masalah berdasarkan Capacity,


Accesibility, Readiness, dan Leverage. Cara
penggunaannya seperti metode PAHO.

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2013 - September 2013, Vol. 7, No. 2


111. Jenis Rujukan
Berdasarkan Tingkatannya
• Rujukan horizontal : rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
– Misalya rujukan dari RS tipe B ke RS tipe B lainnya

• Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan


kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih
tinggi atau sebaliknya.
– Misalnya rujukan dari puskesmas ke RS
112. PENDAFTARAN BPJS BAYI BARU
LAHIR
• mendaftarkan bayinya setelah dilahirkan dengan
Bayi dari orang tua peserta masa tenggang selama 3 x 24 jam.
BPJS PBI dan bayi dari orang • Jika bayi terdaftar setelah 3 x 24 jam, maka biaya
tua non PBI pekerja atas masalah medis yang mungkin menimpa si bayi
tidak bisa ditanggung oleh bpjs.
penerima upah sampai anak
ke 3.

Bayi dari orang tua peserta • Bayi didalam kandungan bisa didaftakan oleh ibunya
atau keluarganya selambat-lambatnya 14 hari
bpjs mandiri dan bayi dari sebelum bayi dilahirkan dari mulai 7-8 bulan usia
orang tua non PBI pekerja kandungan.
penerima upah yang • Bayi yang bisa didaftarkan adalah bayi dari seorang
ditanggung oleh perusahaan ibu yang statusnya sebagai kelompok pekerja bukan
penerima upah (PBPU) atau BPJS mandiri
untuk anak ke 4 dst
113. BLINDING DALAM PENELITIAN
• Single blind: only patients or only investigators
are ignorant of the assigned treatment.

• Double blind: patients and investigators are


ignorant of the assigned treatment.

• Triple blind: patients, investigators, and data


evaluators are ignorant of the assigned
treatment.
114. DESAIN PENELITIAN UNTUK KASUS
KERACUNAN ATAU KLB LAINNYA
• Karena outcome penyakitnya sudah terjadi, maka tidak mungkin
menggunakan desain kohort (C salah).

• Yang paling tepat untuk dapat mengetahui penyebab dari penyakit yang
sudah terjadi adalah penelitian retrospektif berupa case control.

• Tidak pilih cross sectional karena penelitian dengan desain cross sectional
tidak dapat membuktikan adanya sebab-akibat (B salah).

• Pilihan D (quasi eksperimental) tidak sesuai karena tidak ada perlakuan


yang diberikan pada subyek.

• Pilihan E (penelitian retrospektif) tidak dipilih karena kurang spesifik.


115. PENELITIAN EKSPERIMENTAL
Penelitian eksperimental merupakan jenis penelitian yang memberikan intervensi/
perlakuan tertentu pada subyek, misalnya memberikan obat, vitamin, dll. Jenisnya:

Community Trial &


Clinical Trial Field Trial Cluster Randomized
Trial
• Umumnya tujuannya • Tujuannya preventif • Community trial
kuratif • Subyek: orang yang serupa dengan field
• Subyek: pasien yang sehat trial, namun
sakit subyeknya adalah
komunitas, bukan
individual.
• Cluster randomized
trial merupakan
community trial yang
penentuan
perlakuannya
berdasarkan hasil
randomisasi.

Kenneth J. Rothman, Type of Epidemiologic Studies. Diunduh dari https://pdfs.semanticscholar.org/c8e1/050cccfe614c225fe9be5c6cf0e91cc67362.pdf


Contoh
• Clinical trial  penelitian tentang obat penurun kolesterol
(simvastatin vs rosuvastatin) pada pasien dislipidemia.

• Field trial  penelitian tentang imunisasi DPT untuk mencegah


terjadinya difteri (subyeknya sehat semua, tidak ada yang difteri).

• Community trial  penelitian tentang fluoridisasi air pada mata air


di suatu wilayah (mata air diberi fluor vs tidak diberi fluor) untuk
mencegah terjadinya karies.

• Cluster randomized trial  contohnya sama dengan community


trial, namun pada cluster randomized trial, penentuan mata air
mana yang diberi fluor dan yang tidak diberi fluor dilakukan dengan
randomisasi.
116. UJI HIPOTESIS
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
117. JENIS PENELITIAN UJI KLINIS
118.INTERPRETASI OR DAN NILAI P
• Pertama, lihat dahulu nilai P-nya.
– Jika nilai p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel
independen berhubungan dengan variabel dependennya.
– Jika nilai p>0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel
independen tidak berhubungan dengan variabel dependennya.

• Lalu lihat OR-nya.


– Jika OR >1, maka variabel independennya merupakan faktor
risiko.
– Jika OR <1, maka variabel independennya merupakan faktor
protektif.
– Jika OR =1, maka variabel independennya tidak berhubungan.
119. JENIS POSYANDU
• Terdapat 4 jenis posyandu:
– Posyandu pratama (warna merah)
– Posyandu madya (warna kuning)
– Posyandu purnama (warna hijau)
– Posyandu mandiri (warna biru)
120. Korelasi Pearson vs Regresi Linier

• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua


variabel, di mana kedua variabel bersifat
numerik, dapat menggunakan korelasi Pearson
dan regresi linier.

• Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui


arah dan kekuatan hubungan antara kedua
variabel. Sedangkan regresi linier digunakan
untuk memprediksi nilai variabel dependen
melalui variabel independen (dinyatakan dalam
persamaan Y = a + bX).
121. 9 Prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan
(UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 4)
• Kegotong-royongan: prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya
Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
• Nirlaba: prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan
dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
• Keterbukaan: prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi
setiap peserta.
• Kehati-hatian: prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
• Akuntabilitas: prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
(lanjutan)
• Portabilitas: prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan
meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Kepesertaan bersifat wajib: prinsip yang mengharuskan seluruh
penduduk menjadi peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan
secara bertahap.
• Dana amanat: iuran dan hasil pengembangannya merupakan
dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi
kepentingan peserta Jaminan Sosial.
• Hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-
besar kepentingan peserta.
122. PERAN KOMITE MEDIK
• Subkomite Kredensial: bertugas menapiskan
profesionalisme staff medis, seperti melakukan
kredensial dan rekredensial.

• Subkomite Mutu Profesi: yang bertugas


mempertahankan kompetensi dan profesionalisme
staff medis, salah satunya dengan melakukan audit
medis.

• Subkomite Etik dan Disiplin Profesi: bertugas menjaga


disiplin, etika dan prilaku profesi staff medis
123. ANALISIS SOAL
• Kehamilan pada kasus ini termasuk dalam
kehamilan risiko tinggi. Ada indikasi medis untuk
dilakukan abortus provokatus, namun keputusan
tergantung pada pasien (dalam hal ini pasiennya
adalah ibu hamil).

• Agar pasien dapat menyatakan pendapat dengan


obyektif, maka sebaiknya dokter memberikan
konseling secara terpisah untuk mengetahui
keinginan pasien (B).
124. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN
Pasien tidak
cedera
NEAR MISS

Medical
Error
PREVENTABLE
• Kesalahan nakes
Pasien cedera ADVERSE MALPRAKTIK
• Dapat dicegah
• Karena berbuat (commission) EVENT
• Karena tdk berbuat
(ommision)
Acceptable
Risk

Process of UNPREVENTABLE Unforseeable


care Pasien cedera Risk
(Non error) ADVERSE EVENT
Complication
of Disease
125. RAHASIA MEDIS (ANALISIS SOAL)
• Dalam hubungan dokter-pasien, dokter wajib menjaga rahasia medis
pasien, dan wajib untuk tidak membocorkan rahasia tersebut kecuali atas
izin pasien.

• Oleh karena itu, dalam kasus ini seharusnya dokter tetap menjaga
kerahasiaan medis pasien.

• Dalam konteks sebagai dokter perusahaan, dokter tidak memiliki


kewajiban untuk membuka rahasia medis karyawan kepada pimpinan
perusahaan. Tanggung jawab dokter pada pimpinan perusahaan adalah
untuk melaporkan apakah karyawannya layak atau tidak untuk
menjalankan pekerjaannya.
126. KARAKTERISTIK LUKA (ANALISIS
SOAL)
• Luka terbuka dengan jembatan jaringan
merupakan ciri khas dari luka robek, di mana luka
robek disebabkan karena kekerasan tumpul (B).

• Tidak dipilih jawaban A karena pada jawaban A


terdapat frase “kekerasan benda tumpul”. Hal ini
tidak tepat. Dalam penulisan visum, dokter tidak
bisa menentukan kekerasan yang dilakukan
menggunakan benda apa.
127. ASFIKSIA
Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Luka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan)
yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada
HbO2.

• Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran
kapiler darah setempat.

• Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena


terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya
fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar
CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih
gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi
pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat
tubuh & sianotik.
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih
cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan.
• Edema paru.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti
fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada
luka.
128. HASIL VISUM ET REPERTUM
• Hasil visum et repertum merupakan
wewenang penyidik. Oleh karena itu dokter
hanya boleh memberikan informasi terkait
visum at repertum kepada penyidik yang
meminta visum tersebut.
129. ETIKA KLINIS
• Medical Indication
(terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik
kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence)
• Patient Preference
(terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang
akan diterimanya … cerminan kaidah otonomi)
• Quality of Life
(aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga
atau meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan
beneficence, nonmaleficence & otonomi)
• Contextual Features
(menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan
keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait
justice)

Etika Klinis. Jonsen, Siegler & Winslade. 2002.


Pertimbangan Etika Klinis

Schumann JH, Alfandre D. Clinical ethical decision making: the four topics approach. Semin Med Pract 2008;11:36–42.
130. Penjeratan Dengan Tangan
(Pencekikan)
• Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari
si pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk.
• Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh kuku si pelaku.
• Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan
ikat dan otot sekitarnya.
• Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan
longgar di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan.
• Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai
tanda-tanda asfiksia
• Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada
bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia.
• Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30
detik-beberapa menit.
131. Identifikasi Forensik
Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:
• Identifikasi primer: identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa
perlu dibantu oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer
yaitu :
– Pemeriksaan DNA
– Pemeriksaan sidik jari
– Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan
dua sampai tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

• Identifikasi sekunder: Pemeriksaan dengan menggunakan data


identifikasi sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu didukung
kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara
sederhana dan cara ilmiah. Cara sederhana yaitu melihat langsung
ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu
identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan
tertentu seperti pemeriksaan medis.
132. STR DAN SIP
• Surat Izin Praktik, selanjutnya disingkat SIP adalah
bukti tertulis yang diberikan dinas kesehatan
kabupaten/kota kepada dokter dan dokter gigi
yang akan menjalankan praktik kedokteran
setelah memenuhi persyaratan.

• Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR


adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter
gigi yang telah diregistrasi.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011
TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
133. PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
134. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
135. SURAT KETERANGAN DOKTER
Dasar pembuatan surat keterangan dokter:
• BAB I Pasal 7 KODEKI : “ Setiap Dokter hanya memberikan keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”
• BAB II Pasal 12 KODEKI :” Setiap Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
• Paragraf 4 Pasal 48 Undang Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran“:
– Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
– Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundangundangan.
– Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Surat Keterangan Sakit
• Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan
sandiwara (simulasi) atau melebih-lebihkan (agrravi) pada
waktu memberikan keterangan mengenai cuti sakit seorang
karyawan. Ada kalanya cuti sakit disalahgunakan untuk tujuan
lain.

• Surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan seorang


dokter dituntut menurut pasal 263 (tentang pemalsuan surat)
dan 267 KUHP.
– KUHP 267 ay.1: Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan
surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan
atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
PASAL 267 KUHP
• Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun
• Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau
untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun enam bulan.
• Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah
isinya sesuai dengan kebenaran.
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
136. Infeksi Puerpurium
• Merujuk kepada infeksi traktus genitalis setelah
melahirkan
• Puerperalis = periode 42 hari setelah kelahiran janin &
ekspulsi plasenta
• Mencakup:
– Endometritis, parametritis, salpingo-ooforitis, tromboflebitis
pelvis, peritonitis, selulitis perineum/vagina, hematoma
terinfeksi, dan abses luka
• Morbiditas nifas (demam saat nifas)  peningkatan suhu
oral hingga 38 C/lebih selama 2 hari dari 10 hari pertama
postpartum, terpisah dari 24 jam pertama
Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, EGC hal 364
Infeksi Puerpuralis: Perbandingan Klinis
TIPE C A K U PA N PEMERIKSAAN
Endometritis Infeksi pada endometrium dan kelenjar glandular Demam, lokia berbau, nyeri
perut bawah & pinggang

Metritis Infeksi pada endometrium + kelenjar glandular + Akut: serupa endometritis


Kronik: >> jaringan ikat 
lapisan otot uterus membesar
Parametritis Inflamasi pada parametrium (selulitis Nyeri unilateral, defans
muskular, infiltrat keras di
pelvika/ligamentum latum) dinding panggul, uterus
terdorong ke bagian sehat
Perimetritis Inflamasi pada lapisan serosa uterus (perimetrial) Pelveoperitonitis  gejala
salpingitis dll
137. Endometritis: Terapi
• Digunakan untuk endometritis post partum
dan endometritis secara umum

• Kombinasi klindamisin 900 mg dan gentamisin


2mg/kgBB IV/ 8 jam

• Monoterapi: sefalosporin, penisilin spektrum


luas, fluorokuinolon

• Profilaksis: Sefalosporin generasi II (cefazolin)


http://emedicine.medscape.com/article/254169-treatment#d10
138. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
139. Abortus inkomplit
140. Retensio plasenta
• Plasenta atau bagian-
bagiannya dapat tetap
berada dalam uterus
setelah bayi lahir

• Sebab: plasenta belum


lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas
tetapi belum dilahirkan

• Plasenta belum lepas:


kontraksi kurang kuat atau
plasenta adhesiva (akreta,
inkreta, perkreta)
141. Retensio plasenta: Terapi

• Plasenta yang belum keluar 30 menit setelah janin lahir dan


dilakukan manajemen kala III maka termasuk retensio
plasenta

• Pada kasus retensio plasenta, manajemen terbaru dari WHO


meliputi:
• Oksitosin IV
• Manual plasenta

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
142.Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
143. Kista Pada Alat Reproduksi Wanita
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah
vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara
kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula) Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks
diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit
menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai,
ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai
menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip
mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi
dan perdarahan.
Karsinoma Serviks Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-
benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal
menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami
nekrosis dan ulserasi.
Polip Serviks
• Tumor dari endoserviks  tumbuh berlebihan dan
bertangkai, ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh
• Tangkai dapat memanjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus
• Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan
polip mengalami peradangan
dengan metaplasia skuamosa
atau ulserasi dan perdarahan
• Tatalaksana: ekstirpasi massa
144. KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7
• Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba
sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka
inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen
& labia minora di dinding lateral trauma
posterior vagina
• Kebanyakan asimptomatik
145. HELLP Syndrome
• The HELLP syndrome is a serious complication in
pregnancy characterized by haemolysis, elevated
liver enzymes and low platelet count occurring in
0.5 to 0.9% of all pregnancies and in 10–20% of
cases with severe preeclampsia
• complete HELLP syndrome  requires the
presence of all 3 major components,
• Partial or incomplete HELLP syndrome consists of
only 1 or 2 elements of the triad (H or EL or LP)
Clinical Manifestation
• Right upper abdominal quadrant or epigastric pain, nausea and vomiting.
The upper abdominal pain may be fluctuating, colic-like
• [Many patients report a history of malaise some days before presentation
• 30–60% of women have headache; about 20% visual symptoms
• unspecific symptoms or subtle signs of preeclampsia or non-specific viral
syndrome-like symptoms
• The symptoms usually continuously progress and their intensity often
changes spontaneously.
• The HELLP syndrome is characterized by exacerbation during the night and
recovery during the day.
• Women with partial HELLP syndrome have fewer symptoms and develop
less complications than those with the complete form [3].
• However, a partial or incomplete HELLP syndrome may develop to a
complete form of the disorder
• Partial or total reversal of the syndrome may also occasionally occur,
albeit rarely
Management
• initial steps
– stabilize the mother,
– assess the fetal condition, and
– decide whether prompt delivery is indicated.
– Pregnancies < 34 weeks of gestation, and those in which the
mother is unstable, should be managed in consultation with a
maternal-fetal specialist
– The approach to antihypertensive therapy is the same as that
for preeclampsia  DOC : labetalol, hydralazine, nifedipine,
Sodium nitropruside
– MgSO4 is given intravenously to patients on the labor and
delivery unit to prevent convulsions, and
for fetal/neonatalneuroprotection in pregnancies between 24
and 32 weeks of gestation
• Timing of delivery — The cornerstone of therapy is delivery. Delivery is curative
and the only effective treatment.
• prompt delivery is indicated after maternal stabilization for any of the following :
– Pregnancies ≥34 weeks of gestation or <23 weeks gestation
– Fetal demise
– Nonreassuring tests of fetal status (eg, biophysical profile, fetal heart rate testing)
– Severe maternal disease: multiorgan dysfunction, disseminated intravascular coagulation
(DIC), liver infarction or hemorrhage, pulmonary edema, renal failure, or abruptio placenta
• Dexamethasone did not reduce the duration of hospitalization, the rate of platelet
or fresh frozen plasma transfusion, or maternal complications (acute renal failure,
pulmonary edema).
• Pregnancies ≥23 and <34 weeks of gestation  When both the maternal and fetal
status are reassuring,  administer a course of corticosteroids before delivering
pregnancies complicated by HELLP syndrome at less than 34 weeks of gestation (as
lung maturation)
– a short delay in delivery for corticosteroid administration appears to be safe  but no more
than 48 h
146-147.Ketuban Pecah Dini
• Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan
(sebelum onset persalinan berlangsung)
• PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan
< 37 minggu
• PROM (Premature Rupture of Membranes): usia
kehamilan > 37 minggu

• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa

• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban,


menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin
dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
148. Kehamilan Postterm (Serotinus)
• Definisi: kehamilan lewat waktu sebagai kehamilan usia ≥ 42 minggu
penuh (294 hari) terhitung sejak hari pertama haid terakhir. (WHO)
– Namun penelitian terkini menganjurkan tatalaksana lebih awal.

• Diagnosis :
– USG di trimester pertama (usia kehamilan antara 11-14 minggu) sebaiknya ditawarkan kepada
semua ibu hamil untuk menentukan usia kehamilan degan tepat
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 5 hari berdasarkan perhitugan hari pertama
haid terakhir dan USG, trimester pertama, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 10 hari berdasarkan perhitungan hari
pertama haid terakhir dan USG, trimester kedua, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Ketika terdapat hasil USG trimester pertama dan kedua, usia kehamilan ditentukan
berdasarkan hasil USG yang paling awal
– Jika tidak ada USG, lakukan anamnesis yang baik untukmenentukan hari
pertama haid terakhir, waktu DJJ pertama terdeteksi, dan waktu
gerakan janin pertama dirasakan Faktor predisposisi Riwayat kehamilan lewat waktu
sebelumnya
• 3-10 % kehamilan akan menjadi kehamilan
postterm.
• Kondisi ini terkait dengan resiko makrosomia,
oligohidroamnion, aspirasi mekonium, IUFD dan
sindrom dismaturitas.
• Etiologi :
– Kesalahan perhitungan usia kehamilan
– Overweight dan obesitas pada ibu
• Diagnosis :
– Penentuan HPHT yang tepat, USG rutin pada trimester
1 dan 2 kehamilan

Callahan T, Caughey A. Blueprints : obstetric and Gynecology 6th ed. Lipincot william wilkins 2013.
Tatalaksana Umum
• Sedapat mungkin rujuk pasien ke rumah sakit.
• Apabila memungkinkan, tawarkan pilihan membrane
sweeping antara usia kehamilan 38-41 minggu
setelah berdiskusi mengenai risiko dan
keuntungannya.
• Tawaran induksi persalinan mulai dari usia kehamilan
41 minggu.
• Pemeriksaan antenatal untuk mengawasi kehamilan
usia 41-42 minggu sebaiknya meliputi non-stress test
dan pemeriksaan volume cairan amnion.
• Bila usia kehamilan telah mencapai 42 minggu, lahirkan
bayi
149. Plasenta previa
• Plasenta yang berimplantasi di atas atau mendekati
ostium serviks interna. Terdapat empat macam
plasenta previa berdasarkan lokasinya, yaitu:
– Plasenta previa totalis – ostium internal ditutupi
seluruhnya oleh plasenta
– Plasenta previa parsialis – ostium interal ditutupi sebagian
oleh plasenta
– Plasenta previa marginalis – tepi plasenta terletak di tepi
ostium internal
– Plasenta previa letak rendah – plasenta berimplantasi di
segmen bawah uterus sehingga tepi plasenta terletak
dekat dengan ostium
Tatalaksana Plasenta Previa
Tatalaksana Umum
• PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
• Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
• Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
• Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
• Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
150. Letak, presentasi, posisi dan
habitus janin
• Letak
– Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu. Letak
janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse), longitudinal dan
oblique
• Presentasi
– Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir
– Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan dahi
• Posisi
– Hubungan antara bagian terbawah janin terhadap tubuh ibu. Pada presentasi
kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya vertex berada di
bagian anterior tubuh ibu
• Habitus
– Sikap tubuh janin selama dalam uterus.
– Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh sternum,
punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi pada lutut,
151. Tatalaksana Umum Kehamilan
Postterm
• Sedapat mungkin rujuk pasien ke rumah sakit.
• Apabila memungkinkan, tawarkan pilihan membrane
sweeping antara usia kehamilan 38-41 minggu
setelah berdiskusi mengenai risiko dan
keuntungannya.
• Tawaran induksi persalinan mulai dari usia kehamilan
41 minggu.
• Pemeriksaan antenatal untuk mengawasi kehamilan
usia 41-42 minggu sebaiknya meliputi non-stress test
dan pemeriksaan volume cairan amnion.
• Bila usia kehamilan telah mencapai 42 minggu, lahirkan
bayi
152. ANEMIA
• Anemia adalah suatu kondisi dimana terdapat
kekurangan sel darah merah atau hemoglobin.
• Diagnosis :
– Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau <
10,5 g/dl (pada trimester II)

• Faktor Predisposisi :
– Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat
– Kelainan gastrointestinal
– Penyakit kronis
– Riwayat Keluarga
Tatalaksana Umum
• Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah.
• Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan
suplementasi besi dan asam folat.
– Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah tablet
tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 µg
asam folat.
– Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat diberikan
3 kali sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan
pemberian tablet sampai 42 hari pascasalin.
– Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat
kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke pusat
pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari penyebab anemia.
Tatalaksana Khusus
• Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi.
• Anemia mikrositik hipokrom :
– Defisiensi besi:lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan
kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg
besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI
dan TIBC.
– Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang
lebih spesifik
• Anemia normositik normokrom :
– Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola,
kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan
– • Infeksi kronik
• Anemia makrositik hiperkrom :
– Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan vitamin
B12 1 x 250 – 1000 µg
• Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan
kondisi berikut:
• Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %
• Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing,
pandangan berkunangkunang, atau takikardia (frekuensi
nadi >100x per menit)

– Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin


dengan memantau pertambahan tinggi fundus,
melakukan pemeriksaan USG, dan memeriksa denyut
jantung janin secara berkala.
Suplementasi Kehamilan: Zat Besi
• Tablet Tambah Daerah Generik dikemas dalam bungkus warna putih,
berisi 30 tab/bungkus

• Memenuhi spesifikasi
– Setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental
dan 0,25 mg asam folat

• Pemakaian dan Efek Samping


– Minum dengan air putih, jangan minum dengan teh, susu atau kopi 
mengurangi penyerapan zat besi dalam tubuh
– Efek samping dari minum TTD adalah mual dan konstipasi, namun tidak
berbahaya
– Untuk menghindari efek mual dan konstipasi, dianjurkan minum TTD
menjelang tidur malam
– Lebih baik disertai makan buah dan sayur. Misalnya pepaya atau pisang

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


153. Solusio Plasenta
• Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya
• Diagnosis
– Perdarahan kehitaman dan cair, syok tidak sesuai dengan
jumlah darah keluar (tersembunyi), anemia berat, gawat
janin/ hilangnya DJJ, uterus tegang dan nyeri

• Faktor Predisposisi
– Hipertensi
– Versi luar
– Trauma abdomen
– Hidramnion
– Gemelli
– Defisiensi besi
Solusio Plasenta: Gambaran Klinis
• Solusio Placenta Ringan
– Luas plasenta yang terlepas < 25% atau < 1/6 bagian (Jumlah perdarahan <
250 ml)
– Tumpahkan darah yang keluar terlihat seperti pada haid, sukar dibedakan
dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman
– Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada

• Solusio Placenta Sedang


– Luas plasenta yang terlepas 25-50% (Jumlah perdarahan 250 ml-1.000 ml
– Gejala dan tanda sudah jelas: rasa nyeri pada perut yang terus menerus,
denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia

• Solusio Placenta Berat


– Luas plasenta yang terlepas > 50%, dan jumlah perdarahan > 1.000 ml
– Gejala dan tanda klinik jelas: keadaan umum penderita buruk disertai syok,
dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan
gagal ginjal yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada
Solusio Plasenta:
Solusio Plasenta: Tata Laksana
Tatalaksana
Tatalaksana
• Perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tanda- tanda awal syok pada ibu,
lakukan persalinan segera bergantung pembukaan serviks:
– Lengkap  ekstraksi vakum
– Belum ada/ lengkap  SC
– Kenyal, tebal, dan tertutup  SC

• Jika perdarahan ringan/ sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
• DJJ normal, lakukan seksio sesarea
• DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan
persalinan pervaginam
• DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah:
– pecahkan ketuban dengan kokher:
– Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
• DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan
pervaginam segera, atau SC bila tidak memungkinkan
154.
155. Postpartum cervical laceration
• Risk factors for significant cervical lacerations
(ie, associated with excessive bleeding or
requiring repair) include:
– precipitous labor,
– operative vaginal delivery (vacum or forceps) and
– cerclage
– However, absence of such risk factors should not
preclude re-examination of the birth canal.
Treatment
• repair heavily bleeding vaginal and cervical
lacerations with a running locked #0 absorbable
suture.
• Exposure is facilitated by using a Gelpi retractor
 to spread the distal vaginal sidewalls
• Heaney or Breisky retractors to access the upper
vagina.
• If available, use of several assistants with Deaver
retractors placed laterally is also effective.
156. Tatalaksana Plasenta Previa
Tatalaksana Umum
• PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
• Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
• Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
• Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
• Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Terapi Konservatif
• Agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.
• Syarat terapi ekspektatif:
– Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau
tanpa pengobatan tokolitik
– Belum ada tanda inpartu
– Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal)
– Janin masih hidup dan kondisi janin baik
• Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.
• Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.
• Berikan tokolitik bila ada kontraksi:
– MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3 x 20 mg/hari
– Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk
pematangan paru janin
• Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan.
• Pastikan tersedianya sarana transfusi.
• Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu dapat
dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Terapi aktif
• Rencanakan terminasi kehamilan jika:
– Usia kehamilan cukup bulan
– Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
– Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa
memandang usia kehamilan
– Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi
kepala pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam masih
dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea
• Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan
u

dari tempat plasenta:


– Jahit lokasi perdarahan dengan benang,
– Pasang infus oksitosin 10 unitin 500 ml cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit
– Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai,
seperti ligasi arteri dan histerektomi
157. Eklamsia
• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya
epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan
meningitis)
158. Disproporsi kepala panggul
• Partus lama adalah persalinan yang berlangsung
lebih dari 18-24 jam sejak dimulai dari tanda-
tanda persalinan. Etiologi:
– 1. Disporsi fetopelvik
– 2. Malpresentasi dan malposisi
– 3. Kerja uterus tidak efisien
– 4. Serviks yang kaku
– 5. Primigravida
– 6. Ketuban pecah dini
– 7. Analgesia dan anesthesia yang berlebihan
• Faktor Risiko: (“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P )
– Power :His tidak adekuat (his dengan frekuensi
<3x/10 menit dan durasi setiap kontraksinya <40
detik)
– Passenger : malpresentasi, malposisi, janin besar
– Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau
vagina, tumor jalan lahir
– Gabungan dari faktor-faktor di atas
Chefalo Pelvic Disporpotion (CPD)

• CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis


kecil.
• Bila dalam persalinan terjadi CPD akan
didapatkan persalinan macet.
• Cara penilaian pelvis yang baik adalah dengan
melakukan partus percobaan (trial of labor).
Kegunaan pelvimetri klinis terbatas
– 1. Bila diagnosis CPD ditegakkan, rujuk pasien untuk
Secsio Cesaria(SC)
– 2. Bila bayi mati, lakukan kraniotomi atau embriotomi
(bila tidak mungkin dilakukan SC)
159-160. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Solusio Plasenta:
161.Solusio TataTatalaksana
Plasenta: Laksana
Tatalaksana
• Perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tanda- tanda awal syok pada ibu,
lakukan persalinan segera bergantung pembukaan serviks:
– Lengkap  ekstraksi vakum
– Belum ada/ lengkap  SC
– Kenyal, tebal, dan tertutup  SC

• Jika perdarahan ringan/ sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
• DJJ normal, lakukan seksio sesarea
• DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan
persalinan pervaginam
• DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah:
– pecahkan ketuban dengan kokher:
– Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
• DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan
pervaginam segera, atau SC bila tidak memungkinkan
162. Shoulder Dystocia
Definition
• impaction of anterior shoulder above symphysis
• inability to delivery shoulders by usual methods

Incidence
• 1 to 2 per 1000 deliveries
• 16 per 1000 deliveries of babies > 4000 g
Complications of Shoulder Dystocia
• Fetal/neonatal
- death
- asphyxia and sequelae
- fractures - clavicle, humerus
- brachial plexus palsy
• Maternal
- postpartum hemorrhage
- uterine rupture
Risk Factors
Risk factors are present in < 50% of cases
• post-term pregnancy
• maternal obesity
• fetal macrosomia
• previous shoulder dystocia
• operative vaginal delivery
• prolonged labour
• poorly controlled diabetes
Distosia Bahu: Faktor Predisposisi
163. Abortus inkomplit
164. Komplikasi DM gestasional

MATERNAL FETAL
• Hipertensi gestasional • Makrosomia
• Hipoglikemia neonatus
• Preeklamsia
• Hiperbilirubinemia
• SC
• Birth trauma
• Subsequent development of type
• Respiratory distress syndrome
2 DM
• Distosia bahu
• Birth defects
• Subsequent adolescent and
childhood overweight
165 Kehamilan Postterm (Serotinus)
• Definisi: kehamilan lewat waktu sebagai kehamilan usia ≥ 42 minggu
penuh (294 hari) terhitung sejak hari pertama haid terakhir. (WHO)
– Namun penelitian terkini menganjurkan tatalaksana lebih awal.

• Diagnosis :
– USG di trimester pertama (usia kehamilan antara 11-14 minggu) sebaiknya ditawarkan kepada
semua ibu hamil untuk menentukan usia kehamilan degan tepat
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 5 hari berdasarkan perhitugan hari pertama
haid terakhir dan USG, trimester pertama, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 10 hari berdasarkan perhitungan hari
pertama haid terakhir dan USG, trimester kedua, waktu taksiran kelahiran harus disesuaikan
berdasarkan hasil USG
– Ketika terdapat hasil USG trimester pertama dan kedua, usia kehamilan ditentukan
berdasarkan hasil USG yang paling awal
– Jika tidak ada USG, lakukan anamnesis yang baik untukmenentukan hari
pertama haid terakhir, waktu DJJ pertama terdeteksi, dan waktu
gerakan janin pertama dirasakan Faktor predisposisi Riwayat kehamilan lewat waktu
sebelumnya
166. HPP: Inversio Uteri
• Etiologi
– Tonus otot rahim lemah
– Tekanan/tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan
dengan tangan, tarikan pada tali pusat)
– Kanalis servikalis yang longgar

• Jenis
– Complete: fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput
lendirnya berada diluar
– Incomplete: fundus hanya menekuk ke dalam dan tidak keluar
ostium uteri

• Bila uterus yang berputar balik keluar dari vulva: inversio prolaps
Hemorrhagia Post Partum: Inversio Uteri
• Gejala
– Syok
– Fundus uteri tidak teraba/ teraba lekukan
– Kadang tampak massa merah di vulva atau teraba massa dalam
vagina dengan permukaan kasar
– Perdarahan

• Terapi
– Atasi syok
– Reposisi dalam anestesi
– Bila plasenta belum lepas: reposisi uterus baru dilepaskan karena
dapat memicu perdarahan >>
Tatalaksana Inversio uteri
• Replacement of Inverted Uterus
167. PEB PNPK
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria 168.
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
169 Vasektomi
Permanen
Tubektomi

IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma

Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
170. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
 Kontak seksual
 Riwayat penyakit menular seksual
 Multiple sexual partners
 IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi

• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID

• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard

• Gejala dan Tanda


– Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah,
nyeri goyang serviks

• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis

• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal

http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
171. Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Manajemen Aktif Kala III

Peregangan Tali Massase


Uterotonika Pusat Terkendali Uterus
• 1 menit setelah bayi • Tegangkan tali pusat ke arah • Letakkan telapak
lahir bawah sambil tangan yang tangan di fundus 
• Oksitosin 10 unit IM di lain mendorong uterus ke masase dengan
sepertiga paha atas arah dorso-kranial secara gerakan melingkar
bagian distal lateral hati-hati secara lembut hingga
• Dapat diulangi setelah uterus berkontraksi
15 menit jika plasenta (fundus teraba keras).
belum lahir
172. PEB PNPK
173. Fistel vesikovagina
• Obstetric fistulas are abnormal communications between the
genital tract and the urinary tract (urogenital fistula) or the
gastrointestinal tract (most commonly, rectovaginal fistula).
• These fistulas result in urinary or fecal incontinence
• Obstructed labor is the most common etiology of vesicovaginal
fistulas.
• Obstetric fistulas are caused by an extensive crush injury of pelvic
tissues due to obstructed labor during the second stage that is not
diagnosed and treated in a timely fashion.
• With prolonged compression of the tissue between the fetal head
and the maternal pelvic bones, tissue ischemia occurs and necrosis
develops in the vagina and the connective tissues that separate the
vagina from the bladder and rectum.
174. DM GESTASIONAL
Faktor Risiko DM Gestasional

• Excessive early
gestasional weight gain
– 1st trimester: 2kg
– 2nd trimester:
• Underweight: 0,6 kg per
week
• Normal: 0,45 kg per week
• Overweight: 0,32 kg per
week
• Obese: 0,27 kg per week
• DM gestasional sering asimtomatik  screening
penting untuk deteksi
• Pada kehamilan normal, resistensi insulin terjadi pada
trimester II dan terus terjadi hingga kelahiran.
Mekanisme pasti resistensi insulin pada kehamilan
belum diketahui. Dikaitkan dengan produksi hormon,
sitokin, adipokin plasenta. Pada keadaan normal,
resistensi insulin dibarengi dengan peningkatan sekresi
insulin  kadar gula darah normal.
• DM gestasional dapat terjadi karena adanya
preexisting factor resistensi insulin sebelumnya dan
menurunnya sekresi insulin.
Screening dan Kriteria Diagnosis DM
Gestasional

• Screening
dilakukan
pada gestasi
24-28 minggu
175. Malaria dalam Kehamilan
• Ditemukan parasit pada darah maternal dan darah plasenta

• Pengaruh pada Janin


– IUFD, abortus, prematur, BBLR, malaria placenta, malaria
kongenital, lahir mati

• Gambaran klinis pada wanita hamil


– Non imun: ringan sampai berat
– Imun : tidak timbul gejala  tidak dapat didiagnosa klinis
Kemoprofilaksis Malaria dalam Kehamilan
WHO: Dosis terapeutik anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah
endemik malaria pada kunjungan ANC pertama, kemudian diikuti
kemoprofilaksis teratur. Pengobatan malaria di Indonesia hanya
memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan.

Perlindungan dari gigitan nyamuk, kontak antara ibu dengan vektor dapat dicegah
dengan:
• Memakai kelambu yang telah dicelup insektisida (misal: permethrin)
• Pemakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang
• Pemakaian penolak nyamuk (repellent)
• Pemakaian obat nyamuk (baik semprot, bakar dan obat nyamuk listrik)
• Pemakaian kawat nyamuk pada pintu-pintu dan jendela-jendela
Penatalaksanaan Umum
1. Perbaiki keadaan umum penderita (pemberian cairan dan perawatan
umum)

2. Monitoring vital sign setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui


perkembangannya), kontraksi uterus dan DJJ juga harus dipantau

3. Jaga jalan nafas untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu beri
oksigen

• Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia

• Parasetamol 10 mg/kgBB/kali, dan dapat dilakukan kompres

• Jika kejang, beri antikonvulsan: diazepam 5-10 mg iv (secara perlahan


selama 2 menit) ulang 15 menit kemudian jika masih kejang;
maksimum 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
dipakai fenobarbital 100 mg im/kali (dewasa) diberikan 2 kali sehari
Farmakologi Terapi Malaria dan Kehamilan
• Malaria Falciparum dan vivax
– artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisinin- piperakuin) 1 x 3
tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x
4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Kontraindikasi: primakuin hemolisis sel darah merah, doksisiklin,
tetrasiklin
• Profilaksis
– Klorokuin (sudah banyak resistensi), meflokuin (rekomendasi untuk semua
trimester)
– Kontraindikasi: doksisiklin dan primakuin
176. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis atau nonspesifik vaginitis adalah suatu istilah
yang menjelaskan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab
inflamasi pada vagina

• Etiologi
– Bakteri yang sering didapatkan adalah Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum , Eubacterium, Fusobacterium, Veilonella,
Streptococcus viridans, dan Atopobium vaginae

• Gejala klinis
– Keputihan, vagina berbau, iritasi vulva, disuria, dan dispareuni

• Faktor risiko
– Penggunaan antibiotik, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,
promiskuitas, douching, penurunan estrogen.
Bakterial Vaginosis: Pemeriksaan
• Didapatkan keputihan yang homogen
• Labia, introitas, serviks dapat normal maupun didapatkan tanda
servisitis.
• Keputihan biasanya terdapat banyak di fornix posterior
• Dapat ditemukan gelembung pada keputihan
• Pemeriksaan mikroskopis cairan keputihan harus memenuhi 3 dari 4
kriteria Amsel untuk menegakkan diagnosis bakterial vaginosis
– Didapatkan clue cell (sel epitel vagina yang dikelilingi oleh kokobasil)
– pH > 4,5
– Keputihan bersifat thin, gray, and homogenous
– Whiff test + (pemeriksaan KOH 10%
didapatkan fishy odor sebagai akibat dari
pelepasan amina yang merupakan produk
metabolisme bakteri)
Bakterial Vaginosis: Tatalaksana
• Pada infeksi asimtomatik tidak perlu diberikan terapi
• Pada infeksi simtomatik: antibiotik merupakan pilihan utama
• Pilihan obat:
• Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari
• Metronidazole gel 0.75%, one full applicator (5 g) intravaginally, once a day
for 5 days
• Clindamycin cream 2%, one full applicator (5 g) intravaginally at bedtime
for 7 days
• Alternative regiment
– Tinidazole 2 g orally once daily for 2 days
– Tinidazole 1 g orally once daily for 5 days
– Clindamycin 300 mg orally twice daily for 7 days
– Clindamycin ovules 100 mg intravaginally once at bedtime for 3 days
• Perempuan hamil: 2 x 500 mg selama 7 hari atau 3 x 250 mg selama 7
hari atau Klindamisin 2 x 300 mg selama hari
http://emedicine.medscape.com/article/254342 & http://www.cdc.gov/std/tg2015/bv.htm
177. Hysterosalpingogram
• HSG is the evaluation of the uterine cavity, fallopian
tubes, and adjacent peritoneal cavity following the
injection of contrast material through the cervical canal
• It is performed as a real-time outpatient examination
under fluoroscopy with iodinated water-soluble radio-
opaque material.
• Indications for HSG include :
– evaluation of female infertility,
– suspected uterine anomalies,
– preprocedure planning for hysteroscopy, and
– postprocedure assessment following tubal ligation or tubal
reversal procedures.
• Fallopian tube obstruction is confirmed by
absence or partial filling of the fallopian tube
with contrast  non patent
• While obstruction can be seen along any part of
the tube, the ampulla is the most common site
• Isthmic obstruction of the fallopian tube is seen
following salpingectomy and tubal ligation.
Obstruction at the cornua can reflect true
obstruction or cornual spasm.
178. AKDR: Profil
• Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat
sampai 10 tahun: CuT 380A)
• Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak
• Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan
• Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi
• Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada
infeksi menular seksual (IMS)
• Jenis
• Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375
• Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena
• AKDR CuT-380A
• Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu)
• Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana
• AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja
• Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR:
– Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang
telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.
– Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma

• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper
acts as a spermicide within the uterus)
• The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and
white blood cells within the uterine and tubal fluids.
• Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus
(abnormal) and surrounded by macrophages
• Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent
implantation
AKDR: Informasi Umum
• AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan

• AKDR bekerja dengan membuat inflamasi ringan pada rahim

• AKDR dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya selama


beberapa bulan pertama

• Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa hari setelah


pemasangan perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan lebih
banyak

• Tidak ada efek samping hormonal dari CuT-380A

• AKDR mungkin dilepas setiap saat atas kehendak kliennya

• Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas
dan berikan kartu tentang informasi semua ini
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
179. Faktor Risiko & Diagnosis PPI
Menurut Wijnyosastro (2010) dan Rompas (2004)
Janin & Plasenta Perdarahan trimester I, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan
janin terhambat, cacat kongenital, gemeli, polihidramnion

Ibu DM, preeklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk
uterus, riwayat partus preterm/abortus berulang, inkompetensi
serviks, narkotika, trauma, perokok berat, kelainan imun/rhesus,
serviks terbuka > pada 32 minggu, riwayat konisasi

Kriteria Diagnosis PPI (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1997)


1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi 4x dalam 20 menit atau 8x dalam 60
menitplus perubahan progresif pada serviks
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm
3. Pendataran serviks > 80%
Tatalaksana PPI: Tokolitik
Obat Dosis Efek Samping

Ca antagonis (nifedipin) • 10 mg/PO diulang 2-3x/jam, lanjut


per 8 jam hingga kontraksi hilang
• Maintenance: 3 x 10 mg
Beta mimetik (terbutalin, Salbutamol Hiperglikemia,
ritrodin, isoksuprin, • IV: 20-50 μg/menit hipokalemia, hipotensi,
salbutamol) • PO: 4 mg, 2-4 x/hari (maintenance) takikardia, iskemi
Terbutalin miokardial, edema
• IV: 10-15 μg/menit paru
• Subkutan: 250 μg/6 jam
• PO: 5-7.5 mg/8 jam (maintenance)
MgSO4 • Bolus: 4-6 g/IV selama 20-30 menit Edema paru, letargi,
• IV: 2-4 g/jam (maintenance) nyeri dada, depresi
napas (ibu & janin)
Penghambat - Risiko kardiovaskular
Prostaglandin
(indometasin, sulindac)
Pematangan Paru

• Akselerasi pematangan fungsi paru janin


– Bila usia kehamilan < 35 minggu
– Obat:
• Betametason 2 x 12 mg IM, jarak pemberian 24 jam
• Deksametason 4 x 6 mg IM, jarak pemberian 12 jam
• Peningkat surfaktan: thyrotropin releasing hormone 200 ug IV ATAU
inositol

• Pencegahan infeksi
– DOC: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari
– Ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari
– Klindamisin
– Kontra indikasi: amoksiklaf  risiko necrotizing enterocolitis
180. Distosia Kelainan Tenaga
• His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus
dan disertai relaksasi yang merata

• Jenis Kelainan His


– Inersia Uteri (Kontraksi Uterus Hipotonik)
• His lemah, pendek, jarang  tidak adekuat untuk mebuka serviks dan mendorong
janin
– His terlalu kuat (Kontraksi Uterus Hipertonik)
• His terlalu kuat dan terlalu efisien sehingga persalinan terlalu cepat
– Incoordinate uterine contraction
• Tidak ada koordinasi antara kotraksi bagian atas, tengah dan bawah; tidak ada
dominasi fundus

• Faktor predisposisi
– Primigravida, terutama primi tua
– Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks
– Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion
181. Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Inersia Uteri: Tatalaksana
1. Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian
terbawah janin dan keadaan janin

2. Bila kepala sudah masuk PAP, anjurkan pasien untuk jalan-jalan

3. Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan


dikerjakan misalnya pada letak kepala :
a. Oksitosin drips 5-10 IU dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 12 tpm,
dinaikkan 10-15 menit sampai 40-50 tpm. Tujuan: agar serviks dapat
membuka.
b. Bila his tidak >> kuat setelah pemberian oksitosin  stop  istirahat
Pada malam hari berikan obat penenang (valium 10 mg)  ulang lagi
pemberian oksitosin drips
a. Bila inersia uteri + CPD  seksio sesaria
b. Bila semula his kuat  inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah
berlangsung lebih dari 24 jam (primi) dan 18 jam (multi) oksitosin drips
tidak berguna  Selesaikan partus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan
indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan seksio sesaria)

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


182.Toksoplasmosis pada Kehamilan
• Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode
diagnostik primer
• Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun 
(+): indikasi infeksi pada suatu waktu lampau  uji IgM
• Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection)

• Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas


– IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan  tes ulang 2 minggu
kemudian dengan spesimen II
• Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG
(+) tinggi
• Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak
terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II  uji di lab lain yang
menggunakan metode tes berbeda untuk konfirmasi
– IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
Toksoplasmosis pada Kehamilan: Uji Aviditas
• Uji aviditas tinggi pada kehamilan usia 12-16:
menyingkirkan infeksi terjadi pada masa gestasi

• Uji aviditas rendah: belum tentu infeksi  dapat


akibat adanya persisten low IgG avidity dalam
beberapa bulan setelah infeksi

• Wanita hamil yang dicurigai terinfeksi harus diuji


ulang di lab lain
– Bila terdapat gejala yang sesuai tapi titer IgG rendah  uji
ulang 2-3 minggu kemudian  bila terdapat kenaikan titer:
infeksi toksoplasma (+)

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Algoritma Imunodiagnosis Toksoplasma

* Except Infant

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
183. Pelvimetri klinis
• Tulang panggul terdiri atas:
– Os koksa (Os innominata, fusi dari
os ilium, ischium, dan os pubis)
– Os sakrum
– Os koksigis
• Secara fungsional, panggul terdiri
atas 2 bagian:
– Pelvis mayor (false pelvis)→
terletak diatas linea terminalis
– Pelvis minor (true pelvis) →
terletak di bawah linea terminalis.
Memiliki peran penting dalam
obstetri.
• Pintu atas panggung (PAP)
• Ruang panggul
• Pintu bawah panggul (PBP)
Pintu Atas Panggul
• PAP dibentuk oleh promontorium
korpus vertebrae sakral 1, linea
innominata (linea terminalis, dan
pinggir atas simfisis.
• 4 diameter pada PAP:
– Diameter anteroposterior/ true
conjugate/ konjungata vera→
diukur dari pinggir atas simfisis
pubis ke promontorium, ± 11cm
– Diameter transversa→ jarak
terjauh garis melintang pada PAP ±
12,5-13 cm
– 2 diameter oblikus→ garis dari
artikulasio sakro-iliaka ke titik
persekutuan antara diameter
transversa dan konjugata vera dan
diteruskan ke linea innominata
• Konjungata vera→ tidak dapat
diukur langsung dengan jari,
pengukuran dilakukan secara
tidak langsung (mengukur
konjugata diagonalis dengan jari
dimasukkan ke dalam vagina)
• Konjungata vera = konjungata
diagonalis - 1,5 cm
• Konjungata diagonalis→ jarak
bagian bawah simfisis sampai
promontorium
• Konjungata obstetrika→ jarak
tengah simfisis bagian dalam ke
promontorium. K. Obstetrika yang
paling (perbedaan dn K. Vera
sedikit sekali)
Ruang Panggul
• Ruang panggul dibawah PAP ukurannya paling
luas
• Di panggul tengah mengalami penyempitan
ukuran melintang setinggi spina ichiadika →
janin akan mengalami putaran paksi dalam
(untuk menyesuaikan diri)
• Jarak antara kedua spinia ischiadika ± 10 cm
184. Atonia uteri
185. Menopause
• Klimakterium adalah masa yang bermula dari akhir masa reproduksi
sampai awal masa senium dan terjadi pada wanita berumur 40-65 tahun.

• Masa-masa klimakterium:
– Pramenopause
– Perimenopause: fase peralihan antara pramenopause dan paska menopause.
– Menopause adalah henti haid seorang wanita.
– Pasca menopause

• Diagnosis menopause ditegakkan setelah 12 bulan amenorea

• Gejala Klinis menopause – Hot flashes, peningkatan BB, insomnia,


kembung, perubahan mood, menstruasi tidak teratur, mastodinia, depresi,
sakit kepala
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
186. Eritrasma
• Infeksi bakteri superfisial.
• Etiologi: Corynebacterium minutissimum,
basil Gram negatif dengan granul
subterminal.
• Lebih banyak ditemukan pada pria.
• Lesi plak eritematosa batas tegas, tepi
ireguler, predileksi pada intertriginosa.
Pada lesi di antara celah jari kaki dapat
ditemukan maserasi.
• Pemeriksaan lampu Wood: coral red.
• Tatalaksana:
– Eritromisin topikal (lini pertama), asam
fusidat topikal
– Lesi luas  eritromisin sistemik,
klaritromisin, atau amoksisilin-klavulanat.
187. Bacterial Vaginosis
• Infeksi akibat meningkatnya jumlah bakteri
anaerob karena turunnya jumlah Lactobacillus
sp. (flora normal vagina)
• Etiologi: Gardnerella vaginalis
• Faktor risiko
– Berganti-ganti pasangan seksual
– Vaginal douching
– Sering berhubungan seks
• Diagnosis dengan kriteria Amsel (3 dari 4):
– Duh tubuh warna putih keabuan
– Clue cell pada pemeriksaan mikroskopik
– pH vagina >4,5
– Whiff test (+): duh tubuh berbau amis
sebelum/sesudah ditetesi KOH 10%
• Gold standard: pewarnaan Gram
• Tatalaksana: Metronidazol 2x500 mg PO 7 hari
Diagnosis Banding
Clinical Elements Bacterial Vaginosis Trichomoniasis Vaginal Candidiasis
Symptoms Vaginal odor + +/-
Vaginal discharge Thin, gray, homogenous Green-yellow White, curdlike
Vulvar irritation +/- + +
Dyspareunia - + -
Signs Vulvar erythema - +/-
Bubbles in vaginal
+ +/- -
fluid
Strawberry cervix - +/- -
Microscopy Saline wet mount
Clue cells + - -
Motile protozoa - + -
KOH test
Pseudohyphae - - +
Whiff test + +/- -
pH >4.5 >4.5 < 4.5
188. Soft Tissue infection: Erisipelas
• Infeksi kutaneus superfisial dengan keterlibatan
pembuluh limfe dermis akibat streptokokus
grup A beta hemolitikus (terutama) dan
terkadang S. aureus.
• Manifestasi klinis: plak eritematosa, nyeri,
batas tegas. Umumnya diawali gejala konstitusi
berupa demam
• Predileksi: ekstremitas bawah

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Diagnosis banding: Selulitis
• Infeksi dermis dan subkutan akibat S. aureus dan streptokokus
grup A.
• Manifestasi klinis: plak eritematosa, nyeri, batas difus. Pada
palpasi teraba indurasi, nyeri tekan, fluktuatif, dan kadang teraba
krepitasi. Dapat disertai bula, nekrosis epidermal, pengelupasan
kulit dan erosi superfisial.
• Selulitis disertai supurasi  flegmon
• Pada bentuk yang berat dapat disertai gangren dan jaringan
nekrotik.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Soft Tissue infection: Tatalaksana
• Medikamentosa:
Untuk pasien dengan erisipelas ringan disarankan rawat jalan dengan terapi:
– Penisilin prokain 2x600.000 IU/hari IM, atau
– Oral penisilin V 4x500 mg, atau
– Dicloxacillin 4x500 mg
Pasien dgn underlying disease (eg DM): rawat inap, antibiotik:
– Aqueous penisilin G 1-2 juta unit IV tiap 4-6 jam.
– Alergi penisilin: Cefazolin 1 g IV tiap 8 jam
– Susp MRSA: vancomycin 2x1 g IV
• Tatalaksana lokal:
– Bed rest, elevasi daerah lesi untuk mengurangi edema
– Cool, sterile saline dressing
• Debridemen untuk soft tissue infection dengan jaringan nekrotik.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
189. Peradangan folikel rambut:
Folikulitis, Furunkel, Karbunkel
• Folikulitis superfisial/impetigo Bockhart: pustul
kecil berbentuk kubah pada infundibulum folikel
rambut, sering dijumpai pada kulit kepala (anak)
dan janggut, ekstremitas, dan bokong pada
orang dewasa.
• Folikulitis profunda: folikulitis dengan disertai Folikulitis Sycosis barbae
inflamasi perifolikular, umumnya pada area superfisial

janggut dan kumis sycosis barbae.


• Furunkel: nodul inflamatorik profunda yang
timbul di sekitar folikel rambut, sering
berkembang menjadi abses. Nodus eritematosa
berbentuk kerucut dengan folikel rambut di
tengahnya.
• Karbunkel: kumpulan dari furunkel yang Furunkel Karbunkel

berkonfluensi.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Folikulitis Furunkel Karbunkel
Struktur yang Folikel rambut Beberapa folikel Gabungan dari
terlibat rambut dan beberapa
jaringan furunkel
sekitarnya
Efloresensi Folikel rambut Nodus kerucut Furunkel
tanpak eritema, berisi pus, dapat berkonfluensi,
dapat ditemukan berkembang infeksi pada
pus. (seperti menjadi abses. jaringan kulit di
pustul dengan Lebih luas sekitarnya
rambut dibanding
ditengahnya) folikulitis
Predileksi Kulit kepala, Pinggang, Tengkuk, paha
wajah, batang bokong, ketiak
tubuh,
ekstremitas
190. Candidosis intertriginosa
• Infeksi pada daerah lipatan kulit oleh
Candida albicans atau candida sp. lainnya.
• Lesi plak eritematosa disertai papul dan
pustul dengan lesi satelit di sekitarnya.
• Pemeriksaan penunjang:
– Kerokan kulit: budding yeast cells dengan
pseudohifa
– Kultur pada Agar Saboraud: koloni putih
mukoid.
• Tatalaksana:
– Antifungal topikal (nistatin, imidazole,
miconazole)
191. Pitiriasis Versicolor
• Infeksi kulit yang disebabkan oleh Malassezia
furfur.
• Manifestasi:
– Tinea versikolor papuloskuamosa (tersering)
• Makula hipo/hiperpigmentasi dengan skuama halus,
predileksi pada dada, punggung, abdomen, ekstremitas
– Folikulitis
• Folikulitis pada punggung dan dada
– Tinea versikolor inversa
• Lesi eritematosa batas tegas pada daerah fleksor
Pitirosporum papiloskuamosa Pitirosporum folikulitis

• Tatalaksana
– Selenium sulfida 2,5% setiap hari selama 2 minggu
– Ketokonazol shampoo 2% 3 hari
– Terbinafin cream 1%
– Lesi luas/gagal dengan topikal: ketoconazole 1x200 mg
7 hari atau itraconazole 1x200-400 mg selama 3-7 hari
192. Hidradenitis Supuratif
• Kelainan kelenjar apokrin kronik dan rekuren
akibat oklusi folikel (comedo-like) diikuti
inflamasi, keterlibatan kelenjar adneksa,
fibrosis, dan scarring.
• Gambaran patologi: hiperkeratosis folikular,
folikulitis, formasi abses, traktus sinus, fibrosis,
dan granuloma.
• Lebih sering dijumpai pada wanita.
• Predileksi berdasarkan frekuensi kekerapan: aksila (tersering),
inguinal, perineal dan perianal, mammae dan inframammae,
bokong, pubik, dada, kulit kepala, retroaurikular, dan kelopak
mata.
• Dapat disertai oleh penyakit sistemik lain seperti penyakit Crohn,
pyoderma gangrenosum, sindrom nefrotik, amiloidosis, penyakit
Dowling-Degos, dan artropati.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Hidradenitis Supuratif
• Stadium hidradenitis – Medikamentosa:
supuratif menurut Hurley: • Antibiotik sistemik (tetrasiklin,
doksisiklin, kotrimoksazol,
– Stadium I: abses lokal klindamisin, eritromisin)
soliter/multipel tanpa sinus • Retinoid (isotretinoin)
tract • Kortikosteroid (triamsinolon,
– Stadium II: sinus tract dengan prednisolon, prednison)
scar menghubungkan lesi • Antiandrogen (siproteron
asetat, spironolakton)
– Stadium III: lesi bergabung
dengan sinus tract, scar, • Imunosupresan (adalimumab,
infliksimab, etc)
inflamasi, dan discharge • Derivat estrogen (etinil
kronik. estradiol)
• Tatalaksana: • 5-alfa reduktase inhibitor
(finasterid)
– Konservatif: jaga higiene,
penurunan berat badan jika – Pembedahan: eksisi luas pada
obesitas, kompres hangat, hidradenitis rekuren/kronik
pakaian yang longgar, laser dengan formasi sinus/scar.
hair removal, stop merokok
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Folikulitis Furunkel Karbunkel
Struktur yang Folikel rambut Beberapa folikel Gabungan dari
terlibat rambut dan beberapa
jaringan furunkel
sekitarnya
Efloresensi Folikel rambut Nodus kerucut Furunkel
tanpak eritema, berisi pus, dapat berkonfluensi,
dapat ditemukan berkembang infeksi pada
pus. (seperti menjadi abses. jaringan kulit di
pustul dengan Lebih luas sekitarnya
rambut dibanding
ditengahnya) folikulitis
Predileksi Kulit kepala, Pinggang, Tengkuk, paha
wajah, batang bokong, ketiak
tubuh,
ekstremitas
193. Kerontokan Rambut
• Pertumbuhan rambut terdiri
dari 3 fase:
– Anagen
• Fase pertumbuhan rambut,
terjadi selama 2-6 tahun (rata-rata
3 tahun)
– Transisional (katagen)
• Fase regresi pertumbuhan folikel
rambut. Terjadi pada 2-3% dari
total folikel rambut
– Telogen
• Fase inaktif, folikel rambut mati
dan terlepas dari kulit. 10-15%
folikel rambut mengalami resting
period selama 3 bulan kemudian
terlepas dari kulit.
Telogen Effluvium
• Peningkatan jumlah folikel rambut yang
memasuki fase telogen
• Hair loss  100 rambut/hari
• Faktor presipitasi: penyakit berat, cedera,
infeksi, pembedahan, diet, stres psikologis,
melahirkan, kelainan tiroid, defisisensi besi,
anemia, atau obat-obatan.
• Pemeriksaan: hair pull test (+)
194. Urethritis GO
• Etiologi
– Neisseria gonnorrhoeae
• Jenis Infeksi
– Pada Pria
Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis,
prostatitis, veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis
– Pada Wanita
Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis,
proktitis, orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea
diseminata
– Gambaran urethritis
Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh
kadang disertai darah, nyeri saat ereksi
Urethritis GO

• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin

• Tatalaksana (based on 2015 STD Treatment


Guidelines) for Uncomplicated Gonorrhea
– DOC: Ceftriaxone 250 mg IM SD + Azitromisin 1 gr oral
SD
– Alternatif: Cefixime 400 mg oral SD + Azitromisin 1 gr
oral SD
195. Varicella
• Infeksi primer kulit oleh virus
varicella zoster.
• Gejala prodromal: demam, pegal-
Varisela: berbagai spektrum
pegal, malaise lesi: papul, vesikel, erosi dan
krusta pada satu lokasi, lesi
• Lesi papul-vesikel generalisata, tersebar diskret

mulai dari batang tubuh lalu


menyebar ke ekstremitas.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012

Vous aimerez peut-être aussi