Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB II
KAJIAN TEORI
2. Uraian Teori
kondisi teori-teori yang mendukung didalam mengkaji masalah hak asuh anak
landasan filosofi yang tertinggi. Karena teori hukum berbicara bagaimana hukum
Dan teori hukum juga lebih luas ketimbang filsafat hukum, satu-satunya
yang luput dari kajian teori hukum hanyalah apa yang menjadi objek kajian
analisis doktrinal atau ilmu hukum normatif. Walaupun sebenarnya teori itu
berarti lawan dari fakta. Fakta adalah hal yang nyata, sementara teori tidak lebih
dari pelatihan mental yang tidak praktis. Teori-teori hanyalah pemikiran khayali
yang hanya sedikit berkaitan dengan apa yang benar- benar memotivasi orang.
pengalaman dan perilaku manusia yang nyata. Teori yang efektif membantu kita
memahami fakta yang susah kita ketahui dan bisa diuji terhadap fakta baru.
9
10
definisi.
mendatang.
pengetahuan peneliti .
ini adalah:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1
tahun 1974). Ikatan lahir yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena
pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal
11
Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin
itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja, sedangkan seorang
pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita
adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini, adalah kodrat
(karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. Suami isteri adalah fungsi masing-
masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir
adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh
Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang
Catatan Sipil.
1
Achmad Samsudin, Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, (Bandung:
Mandar 1989), h. 74
2
R. Soetojo Prawirohamidjijo, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986),
h. 35
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Bima Press,
2001), h. 61
12
sangat kuat atau mistaqan qhalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
terutama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunannya, yang akan
merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan menjadi anggota dalam
masyarakat yang luas. Tercapainya hal itu sangat tergantung kepada eratnya
hubungan antara kedua suami-isteri dan pergaulan keduanya yang baik. Dan ini
kewajibannya sebagai suami-isteri yang baik. Seperti sabda nabi yang artinya:
“Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah Saw telah memberi pelajaran, kata
beliau: Mu’min yang sempurna imannya ialah yang sebaik-baik peribadinya dan
bahagia, dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1
terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah
tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang
disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya
kerukunan, dan hubungan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga.
4
Depag RI. Bahan Penyuluhan Hukum. Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
(Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 2000), h. 14
5
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 378
13
berlangsung terusmenerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja,
Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak,
Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini
terakhir, dan
6
Achmad Samsudin, Ibid, h. 74
7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), h. 62
14
b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.
c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan
antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri),
yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada
kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi
membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik
Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak
yang hendak kawin dan izin-izin yang harus di berikan oleh pihak-pihak ketiga
8
Departemen Agama RI, Ibid, h. 14
9
H. Sulaiman Rasjid, Ibid, h. 378
10
Abdullah Kelib, Metodologi Penelitian Fiqih dan Hukum Sekunder, Masalah masalah
Hukum, (Jogjakarta: Majalah FH Undip, 1990), h. 18
15
yang telah ditentukan oleh UU. Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu:
1. Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap
hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini
2. Syarat materiil relatif yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini.
dekat. 11
11
Wahyuni, S.H, Setyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). (Semarang: F.H.
Universitas 17 Agustus (UNTAG), 1997), h. 28
16
Syarat materiil relatif ini dalam UUP diatur dalam pasal 8 dan 10 . Pasal 8
keatas.
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara
bapak tiri.
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
(dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang
kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada
orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat
sama lain.
dilangsungkan.
lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau
pengawas saja.12
dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh
Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai
dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan
12
Wahyuni, S.H, Setyowati, Ibid, h. 39
13
Achmad, Djumairi, Hukum Perdata II. (Semarang: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 1990), h. 24
19
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
dewasa.
c. Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak
orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
d. Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu
e. Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon
macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat
materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam
(delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun
(pasal 29 BW).
d. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
e. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-
anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai
untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu:
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit
keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak.15
Mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai
pembentuk kata benda abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil
14
Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan Dalam Majalah Varia Peradilan No. 271
Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7
15
Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1982), cet. Ke-9, h. 115
22
dari perbuatan cerai.16 Perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah,
berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh fiqih diartikan sebagai perceraian
putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak dan
secara tegas dalam Pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa perceraian adalah
ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang sah
dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan, yang
mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab tersebut berbeda-beda.
ucapan tertentu.
isteri.
16
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 156.
17
Dahlan Idhami, Asas-Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-
Ikhlas, t.t), h. 64
23
sepadan dengannya.18
gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif dari
pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari pihak
isteri. Dengan demikina jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah perceraian
putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam
rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah
pihak.20
Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja, yaitu
18
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan Indonesia,
(Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), h. 73
19
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 203
20
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian
Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA, (Jakarta, No. 52 Th XII 2001), h. 7.
24
didepan sidang pengadilan.21 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu
adalah:22
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
21
Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan hukum Acara Pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Al-Hikmah, 1975), h. 133
22
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19), kompilasi hukum Islam (Pasal
116), Wacana Intelektual, 2007), h. 205
25
diatas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan pasal 116 Kompilasi Hukum
satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan
melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan
hidup sebagai suami isteri. Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,
maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka
hati. Dengan demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain Pengaturan tersebut
Perceraian atau talak dilihat dari boleh tidaknya suami kembali kepada
a. Cerai raj‟iy atau Talak raj‟iy yaitu talak yang si suami di beri hak
b. Cerai ba‟in atau Talak ba‟in yaitu talak yang putus secara penuh
macam yaitu:
suami.
faskh.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencan, 2006), h.
220-221
27
yang semacamnya.24
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan cerai atau talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:26
untuk talak sarih ada tiga, yaitu: talaq, firaq dan sarah. dan ketiga
24
Abd Ghazaly. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 198.
25
Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 240
26
Abd Ghazaly, Ibid, h. 194
28
menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut
tidak bermaksud maka talaknya tidak jatuh. Ditinjau dari segi cara
Ditinjau dari segi waktu jatuhnya cerai atau talak, terbagi menjadi dua
macam, yaitu:27
1. Cerai sunniy atau Talak sunniy, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai
talak sunniy.
27
Amir Syarifuddin Ibid, h. 217.
29
suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah
2. Cerai bid‟iy atau Talak bid‟iy yaitu talak yang dijatuhkan tidak
yang lepas haid dan talak yang dijatuhkan terhadap istri yang
sedang hamil.
a. Salah satu perbuatan yang halal akan tetapi sangat dibenci oleh Allah
ada suatu hal yang mana akan menyebabkan suatu permasalahan yang
selama dua tahun berturut-urut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
sebagai suami atau isteri. f. Antara suami dan istri terus menerus
28
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan,
(Bandung: CV. Nuansa Aulia Cet. 1, 2008), h. 36