Vous êtes sur la page 1sur 22

9

BAB II

KAJIAN TEORI

2. Uraian Teori

Dalam pembahasan penulisan skripsi ini tentunya dibutuhkan suatu

kondisi teori-teori yang mendukung didalam mengkaji masalah hak asuh anak

(hadhanah) pasca perceraian. Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat

diperlukan untuk membuat jelas oleh postulat-postulat hukum sampai kepada

landasan filosofi yang tertinggi. Karena teori hukum berbicara bagaimana hukum

ada bukan bagaimana hukum semestinya ada.

Dan teori hukum juga lebih luas ketimbang filsafat hukum, satu-satunya

yang luput dari kajian teori hukum hanyalah apa yang menjadi objek kajian

analisis doktrinal atau ilmu hukum normatif. Walaupun sebenarnya teori itu

berarti lawan dari fakta. Fakta adalah hal yang nyata, sementara teori tidak lebih

dari pelatihan mental yang tidak praktis. Teori-teori hanyalah pemikiran khayali

yang hanya sedikit berkaitan dengan apa yang benar- benar memotivasi orang.

Teori jika dikembangkan dengan secara wajar, adalah situasi, perasaan

pengalaman dan perilaku manusia yang nyata. Teori yang efektif membantu kita

memahami fakta yang susah kita ketahui dan bisa diuji terhadap fakta baru.

Kerangka teoritis dalam penelitian mempunyai beberapa kegunaan, dimana

mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih

mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

9
10

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-

definisi.

c. Teori merupakan suatu iktisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena itu telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan

mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa

mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan pada

pengetahuan peneliti .

Adapun teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian

ini adalah:

2.1. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan

2.1.1. Pengertian perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1

tahun 1974). Ikatan lahir yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena

dibentuk menurut UndangUndang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan

pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal
11

yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat

kedua pihak saja.

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin

itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja, sedangkan seorang

pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita

adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini, adalah kodrat

(karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. Suami isteri adalah fungsi masing-

masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir

batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri.1

Menurut Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, perkawinan

adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh

negara untuk hidup bersama/ bersekutu yang kekal.2

Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang

ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.3

Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, perkawinan itu dipandang dalam

keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam upacara-

upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan UU hanya mengenal “perkawinan

perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai

Catatan Sipil.

1
Achmad Samsudin, Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, (Bandung:
Mandar 1989), h. 74
2
R. Soetojo Prawirohamidjijo, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986),
h. 35
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Bima Press,
2001), h. 61
12

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mistaqan qhalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakan merupakan ibadah. 4

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, pekawinan adalah pokok yang

terutama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunannya, yang akan

merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan menjadi anggota dalam

masyarakat yang luas. Tercapainya hal itu sangat tergantung kepada eratnya

hubungan antara kedua suami-isteri dan pergaulan keduanya yang baik. Dan ini

dapat terwujud apabila masing-masing, suami dan isteri tetap menjalankan

kewajibannya sebagai suami-isteri yang baik. Seperti sabda nabi yang artinya:

“Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah Saw telah memberi pelajaran, kata

beliau: Mu’min yang sempurna imannya ialah yang sebaik-baik peribadinya dan

sebaik-baik peribadi ialah orang yang sebaikbaiknya terhadap isterinya”. Riwayat

Ahmad dan Tirmidzi.5

2.1.2. Tujuan perkawinan.

Tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga, atau rumah tangga yang

bahagia, dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1

tahun 1974). Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat

terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah

tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang

disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya

kerukunan, dan hubungan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga.

4
Depag RI. Bahan Penyuluhan Hukum. Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
(Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 2000), h. 14
5
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 378
13

Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya

berlangsung terusmenerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja,

atau dibubarkan menurut pihak-pihak. Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang

Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak,

melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab.

Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran

agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia.6

Tujuan perkawinan menurut hukum Perdata Barat adalah: membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini

berarti bahwa perkawinan itu:

a. berlangsung seumur hidup,

b. cerai dibutuhkan syaratsyarat yang ketat dan merupakan jalan

terakhir, dan

c. suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan

suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan

pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Kebutuhan

jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan

kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya

seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri.7

6
Achmad Samsudin, Ibid, h. 74
7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), h. 62
14

Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Departemen

Agama RI, 2000: 14). 8

Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan

antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri),

yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada

bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain (). 9

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa

kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi

istrinya. Kandungan qowwamun inlah yang menjadi sifat responsive dalam

membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik

menjadi wajib hukumnya menurut syari’at islam. 10

2.2. Syarat Perkawinan.

Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak

melangsungkan perkawinan adalah: a.Syarat materiil Dalam hal mengenai orang

yang hendak kawin dan izin-izin yang harus di berikan oleh pihak-pihak ketiga

8
Departemen Agama RI, Ibid, h. 14
9
H. Sulaiman Rasjid, Ibid, h. 378
10
Abdullah Kelib, Metodologi Penelitian Fiqih dan Hukum Sekunder, Masalah masalah
Hukum, (Jogjakarta: Majalah FH Undip, 1990), h. 18
15

yang telah ditentukan oleh UU. Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua)

yaitu:

1. Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap

orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia

hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini

tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat materiil mutlak terdiri dari:

a. Kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain;

b. Persetujuan bebas dari kedua pihak;

c. Setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh uu;

d. Izin dari pihak ketiga;

e. Waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan

ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena

perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena

kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.

2. Syarat materiil relatif yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini.

Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat

untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan

orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya:

mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu

dekat. 11

11
Wahyuni, S.H, Setyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). (Semarang: F.H.
Universitas 17 Agustus (UNTAG), 1997), h. 28
16

Syarat materiil relatif ini dalam UUP diatur dalam pasal 8 dan 10 . Pasal 8

mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

a. Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau

keatas.

b. Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara

seorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/

bapak tiri.

d. Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan,

dan bibi/ paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang. Sedangkan pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan

kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2

(dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang

kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada

orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat

membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang

mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat

dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini

dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,


17

sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu

sama lain.

Syarat formil Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam pasal 3,

4, 8, dan 10 PP No. 9 tahun 1975, yaitu tentang :

1. Pemberitahuan Tentang pemberitahuan diatur dalam pasal 3 dan 4 PP

No. 9 tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur:

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di

tempat perkawinan akan dilangsungkan.

b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-

kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan.

c. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua)

disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat

atas nama Bupati Kepala Daerah.

d. Dan pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara

lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau

wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.

2. Pengumuman Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai

pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan

pengumuman kantor pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di

dalam pasal 8 PP No. 9 tahun 1975.


18

3. Pelaksanaan Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan

keberatan atas rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat

dilangsungkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang

beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai

pengawas saja.12

Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu ( pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun

1974). Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama

dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh

Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen

dan bagi Hindu maupun Budha. 13

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah:

a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Dengan adanya

kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan,

tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai

dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan

perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

b. Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk

melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua.

12
Wahyuni, S.H, Setyowati, Ibid, h. 39
13
Achmad, Djumairi, Hukum Perdata II. (Semarang: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 1990), h. 24
19

Menurut ketentuan pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya

untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang

berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum

dewasa.

c. Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak

mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari

orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

d. Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu

menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.

e. Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon

mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.

f. Penyimpangan tentang pasal 7 ayat 1 dapat minta dispensasi kepada

Pengadilan. 2.2.2 Syarat perkawinan menurut KUH Perdata. Dalam

KUHPerdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua

macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat

materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam

melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:


20

Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi:

a. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 27 BW).

b. Persetujuan antara suami-isteri (pasal 28 BW).

c. Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18

(delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun

(pasal 29 BW).

d. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus

mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu

dibubarkan (pasal 34 BW).

e. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-

anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai

dengan pasal 49 BW).

Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang

untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu:

a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan

sedarah dan karena perkawinan.

b. Larangan kawin karena zina,

c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya

perceraian, jika belum lewat 1 (satu) tahun.


21

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas

dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang

maksud kawin (pasal 50 sampai pasal 51 BW).

b. Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil.

Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum

dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu

utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil

diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari.

2.3. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian

tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup

bersama antara seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit

keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak

masyarakat dan pembentukan peradaban.14

Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak.15

Mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai

pembentuk kata benda abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil

14
Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan Dalam Majalah Varia Peradilan No. 271
Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7
15
Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1982), cet. Ke-9, h. 115
22

dari perbuatan cerai.16 Perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah,

kata talak berrati membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkan furqah

berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh fiqih diartikan sebagai perceraian

antara suami isteri.17

Menurut Dahlan Idhami, lafadz talak berarti melepaskan ikatan, yaitu

putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak dan

kinayah (sindiran) dengan niat talak.46 Pengertian perceraian yang dijelaskan

secara tegas dalam Pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa perceraian adalah

ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab

putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman

bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang sah

dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya, selanjutnya dipertegas oleh

ketentuan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan

dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan, yang

mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab tersebut berbeda-beda.

Sedangkan menurut hukum Islam talak berarti:

a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurai keterikatan dengan

ucapan tertentu.

b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

isteri.

16
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 156.
17
Dahlan Idhami, Asas-Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-
Ikhlas, t.t), h. 64
23

c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang

sepadan dengannya.18

Dalam peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai

gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif dari

pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari pihak

isteri. Dengan demikina jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah perceraian

atas inisiatif isteri.19

Menurut HA. Fuad Sa’is yang dimaksud dengan perceraian adalah

putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam

rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah

sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah

pihak.20

2.4. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian

Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya perceraian disini adalah suatu

kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk

mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Pada dasarnya hukum

Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja, yaitu

pertengkaran yang sangat memuncak dan

18
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan Indonesia,
(Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), h. 73
19
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 203
20
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian
Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA, (Jakarta, No. 52 Th XII 2001), h. 7.
24

Sedangkan alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya dapat terjadi

berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-Undang dan harus dilakukan

didepan sidang pengadilan.21 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu

dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”. Alasan terjadinya

perceraian berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

adalah:22

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2

(dua) tahun yang sah terkait dengan kewajiban memberikan nafkah

lahir dan batin.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun

atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang dpat membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri.

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

21
Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan hukum Acara Pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Al-Hikmah, 1975), h. 133
22
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19), kompilasi hukum Islam (Pasal
116), Wacana Intelektual, 2007), h. 205
25

Disamping Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut

diatas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan pasal 116 Kompilasi Hukum

Islam ada penambahan sebagai berikut:

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan disebutkan, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah

satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan

pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk

melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan

hidup sebagai suami isteri. Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,

maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka

hati. Dengan demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi

rumusan yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain Pengaturan tersebut

sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit adanya perceraian.

2.5. Macam-macam Perceraian (talak)

Perceraian atau talak dilihat dari boleh tidaknya suami kembali kepada

mantan istrinya terbagi menjadi dua macam, yaitu:


26

a. Cerai raj‟iy atau Talak raj‟iy yaitu talak yang si suami di beri hak

untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama

istrinya tersebut masih dalam masa iddah.

b. Cerai ba‟in atau Talak ba‟in yaitu talak yang putus secara penuh

dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya


23
kecuali dengan nikah baru. Talak ini terbagi ke dalam dua

macam yaitu:

1) Al-ba‟in baynunah al-sugra yaitu talak ba‟in yang

menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi

tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin

kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami boleh

mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam

masa iddahnya maupun berakhir masa iddahnya akibat

memutuskan tali suami istri saat talak di ucapkan. yang

termasuk talak al-ba‟in baynunah al-sugra adalah:

a) Perceraian yang dilakukan sebelum istri digauli oleh

suami.

b) Perceraian yang dilakukan dengan cara tebusan dari

pihak istri atau yang disebut khulu.

c) Perceraian melalui putusan pengadilan atau disebut

faskh.

23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencan, 2006), h.
220-221
27

d) Perceraian karena aib (cacat badan), karena salah

seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau

yang semacamnya.24

2) Al-ba‟in baynunah al-kubra yaitu talak yang

menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri

serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin

kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri

itu kawin dengan laki-laki lain, dan telah berkumpul dengan

suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah

selesai menjalankan iddahnya. Talak Al-ba‟in baynunah

alkubra ini terjadi pada talak yang ke tiga.25

Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai

ucapan cerai atau talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:26

a. Cerai Sarih atau Talak sarih, yaitu talak dengan mempergunakan

kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan

talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.

Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata talak yang dipergunakan

untuk talak sarih ada tiga, yaitu: talaq, firaq dan sarah. dan ketiga

kalimat tersebut telah disebutkan dalam AlQuran dan hadist.

b. Cerai kinayah atau Talak kinayah, yaitu: talak dengan

mempergunakan katakata sindiran, atau samar-samar, seperti‚engkau

sekarang telah jauh dariku, selesaikan sendiri segala urusanmu‛

24
Abd Ghazaly. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 198.
25
Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 240
26
Abd Ghazaly, Ibid, h. 194
28

ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan

mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak dengan

kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh

Taqiyuddin Al-Husaini, bergantung pada niat suami, artinya jika

suami dengan dengan kata-kata tersebut menjatuhkan talak, maka

menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut

tidak bermaksud maka talaknya tidak jatuh. Ditinjau dari segi cara

suami menyampaikan cerai terhadap istrinya, talak terbagi menjadi

empat macam, yaitu cerai dengan ucapan, ceraian dengan tulisan,

cerai dengan isyarat dan cerai dengan putusan.

Ditinjau dari segi waktu jatuhnya cerai atau talak, terbagi menjadi dua

macam, yaitu:27

1. Cerai sunniy atau Talak sunniy, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai

dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunniy jika memenuhi

empat syarat, yaitu:

a. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan

terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk

talak sunniy.

b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak. c.

Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.

c. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci

dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh

27
Amir Syarifuddin Ibid, h. 217.
29

suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah

digauli, maka tidak termasuk talak sunniy.

2. Cerai bid‟iy atau Talak bid‟iy yaitu talak yang dijatuhkan tidak

sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi

syarat-syarat talak sunniy dan termasuk talak bid‟iy ialah:

a. talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik

dipermulaan haid maupun dipertengahannya.

b. talakyang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi

pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.

c. Talak la sunniy wala bid‟iy ialah talak yang tidak termasuk

kategori talak sunniy dan talak bid‟iy, yaitu talak yang di

jatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, talak yang

dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri

yang lepas haid dan talak yang dijatuhkan terhadap istri yang

sedang hamil.

2.6. Alasan-alasan di perbolehkan perceraian

a. Salah satu perbuatan yang halal akan tetapi sangat dibenci oleh Allah

yaitu perceraian. Akan tetapi perceraian disini diperbolehkan apabila

ada suatu hal yang mana akan menyebabkan suatu permasalahan yang

lebih besar dalam rumah tangga. Di jelaskan mengenai alasan-alasan

diperbolehkannya pernceraian yaitu : a. Salah satu pihak berbuat zina

atau menjadi pemabuk,pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang


30

sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain

selama dua tahun berturut-urut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan

yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

b. Salah satu pihak mendapat Hukuman penjara lima tahun atau

Hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah

satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan

atau penyakait dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai suami atau isteri. f. Antara suami dan istri terus menerus

terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan

hidup rukun dalam rumah tangga. g. Suami melanggar ta‟lik talaq h.

Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.28

28
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan,
(Bandung: CV. Nuansa Aulia Cet. 1, 2008), h. 36

Vous aimerez peut-être aussi