Vous êtes sur la page 1sur 13

1.

Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi, kontraindikasi, efek samping,


dan interaksi dari succinylcholine?
a. Farmakokinetik
SCH secara cepat dihidrolisai oleh BUtyrylcholinesterase(BCHE) disintesi oleh hati
dan berada di plasma. BCHE menghidrolisis SCH menjadi succinylmonocholine,
succinic acid dan choline. Durasi dari blok neuromuscular yang disebabkan oleh SCH
dipengaruhi oleh disosiasi oleh nAChR, dan yang dimetabolisme oleh BCHE di
plasma. Tidak seperti ACh yang secara cepat di metabolism acetylcholinesterase.
BCHE tidak ada di celah sinaptik neuromuscular junction. Maka SCH dihidrolisis
lebih lambat dan masih berikatan dengan nAChR lebih lama daripada Ach. Selama
SCH berikatan dengan nAChR, ini mengatur membran potensial di atas ambang
potensialuntuk repolarisai dan Ach tidak dapat membuat depolarisasi sarkolema
sampai terepolarisasi
b. Farmakodinamik
SCH memiliki struktur yang mirip dengan Ach. SCH tidak larut dalam lemak
sehingga tidak masuk ke dalam sel. SCH merupakan agent yang memblok secara
depolarisasi dari neuromuscular. Saat berada di celah sinaptik, SCH akan berikatan
dengan nAChr yang akan membuat depolarisasi sarkolema sehingga terjadi influx Na
yang akan menyebabkan kontraksi otot. Kontraksi otot pada pemberian SCH
intravena akan membuat fasikulasi otot yang diikuti oleh paralisis atoni dari otot. SCH
yang dimasukkan secara intravena akan bekerja dalam 60 detik dan membuat paralisis
dalam 4-6 menit, yang dapat dimonitori oleh electric nerve simulator. Disebabkan
oleh waktu paruh yang pendek, SCH dapat digunakan untuk prosedur medis misalnya
intubasi endotrakea, bedah neuromuscular, dan therapy electrocompulsive. Karena
SCH dapat memparalisis otot pernafasan, pasien membutuhkan ventilasi mekanik dan
tidak memiliki efek pada otot polos dan jantung. SCH biasa dikombinasikan dengan
anastesi, analgesic dan narkotika karena meskipun SCH memblok kontraksi otot, SCH
tidak memiliki efek pada persepsi rasa sakit.
c. Indikasi
SCH biasa digunakan dengan indikasi sebagai anastesi pada intubasi trakea dan
membuat relaksasi otot rangka pada pembedahan atau ventilasi mekanik
d. Kontraindikasi
SCH memiliki kontraindikassi pada orang yang memiliki riwayat malignant
hipertensi, skeletal muscle myopathies, dan hypersensivitas pada obat tersebut. SCH
juga kontraindikasi pada penderita luka bakr mayor, trauma multiple, extensive
denervation otot rangka, kerusakan saraf motoric atas karena dapat menyebabkan
hyperkalemia berat, dan cardiac arrest.
e. Efek samping
SCH bila berlebihan dapat membuat depresi dari respirasi yang dapat membuat apnea
diperpanjang. SCH juga dapat membuat reaksi hipersensitivitas anafilaksis. SCH juga
dilaporkan dapat membuat cardiac arrest, malignant hyperthermia, arrhythmia,
tachycardia, hypertensi, hipotensi, hyperkalemia, nyeri otot postoperative dan
rhabdomylisis.
f. Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan aksi pemblokan dari SCH yaitu: promazine, oxytocin,
aprotinin, quinidine, b-adrenergik bloker, procainamide, trimethaphan, lithium
carbonate, terbutaline, obat kontrasepsi oral.

2. Bagaimana interaksi antara halothane dengan succinylcholine?


Halothane dapat memperpanjang efek dari succinylcholine. Berdasarkan penelitian, pada
penderita Malignant hyperthermia, kehadiran succinyl choline pada penderita tidak
menimbulkan Malignant Hyperthermia. Namun pada kehadiran succinylcholine dan
halothane dapat menimbulkan Malignant Hyperthermia sebagaimana yang terjadi pada Tn.
Ahmad

3. Bagaimana dosis, cara pemberian succinylcholine?


Dosis pada orang dewasa yang akan melaksanakan prosedur pembedahan pendek untuk
blockade neuromuscular pada intubasi trakea adalah 0,6 mg/kg(0,3-1,1 mg/kg) secara
intravena

4. Bagaimana struktur kimia succinylcholine? (golongan, zat aktif)


Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium – memiliki 2
acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2 molekul
asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah C14H30N204.
Struktur yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung jawab terhadap
mekanisme kerja dari suksinilkolin, efek sampingnya dan metabolismenya.

5. Bagaimana pemeriksaan darah cito pada kasus?


LI Suksinilkolin

Sejarah Suksinilkolin
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali disintesa di laboratorium
kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai Institusi Kesehatan Nasional. Reid
Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan asistennya, Renee de M. Taveau, menghasilkan 17
dari 19 kumpulan derivat kolin yang dipergunakan dalam percobaan mereka, satu
diantaranya adalah suksinilkolin.1
Awal tahun 1950, segera setelah ditemukannya keberadaan penghambat neuromuskular, uji
klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang tercatat di Amerika dilakukan
oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai untuk memperkenalkan suksinilkolin
kedalam praktek klinis di Amerika. Dalam laporan dari uji coba klinis suksinilkolin
pertama, Foldes menjelaskan kriteria dari perelaksasi otot yang baik, dan menyimpulkan
bahwa suksinilkolin adalah obat penghambat neuromuskular yang paling mendekati kriteria
itu.
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu, suksinilkolin adalah satu
satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan di Amerika. Saat ini pun,
suksinilkolin masih satu-satunya obat penghambat neuromuskular yang mempunyai
karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal, termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan
yang lengkap dan dapat diperkirakan,
(3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak membutuhkan obat pembalik. Setelah
beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang dilakukan untuk menggantikan
suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi tidak ada yang dapat lebih
menyamai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.
Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu perelaksasi otot ideal
yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada tahun 1990, Rapacuronium dan
Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek klinis. Kedua obat ini memberikan
harapan bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan dapat digantikan. Rokuronium tertinggal
dalam penggunaan klinis saat ini, bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset
secepat suksinilkolin, dan jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan
penggunaan dari suatu obat pembalik.

Rumus Kimia
Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium – memiliki 2
acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2 molekul
asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah C14H30N204. Struktur
yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja
dari suksinilkolin, efek sampingnya dan metabolismenya.

Farmakologi Suksinilkolin
Suksinilkolin bekerja di neuromuskular junction, meningkatkan transmisi neuromuskular.
Mekanisme kerja ini membuat postjunctional dan prejunctional memberikan efek yang
menyebabkan peningkatan depolarisasi obat. Struktur kimiawi suksinilkolin membuat
proses eliminasi yang unik, yang memenuhi kriteria muscle relaxan yang ideal.
Efek postjunctional Suksinilkolin dapat dibagi menjadi 2 fase, fase I dan fase II. Inilah yang
dianggap sebagai akibat dari uniknya struktur kimia asetilkolin. Seperti asetilkolin,
suksinilkolin terikat ke subunit α di posjunctional nikotinik asetilkolin reseptor,
menyebabkan reseptor terbuka dan ion sodium masuk sebanyak keluarnya potassium dan
menyebabkan ion kalsium masuk. Sehingga suksinilkolin menyebabkan depolarisasi end
plate dan menjadi pendepolarisasi neuromuskular blok disebut blok fase I,sementara blok
fase II yaitu dengan paparan suksinilkolin yang kontiniu maka depolarisasi end plate
berkurang dan membran akan mengalami repolarisasi tetapi membran menjadi tidak mudah
mengalami depolarisasi kembali sehingga terjadi desensitasi. Tidak seperti Asetilkolin,
suksinilkolin menjadi aktif di neuromuskular junction untuk waktu yang lama. Ini
mencegah repolarisasi endplate dan timbulnya paralisa. Pemberian suksinilkolin
menyebabkan efek agonis di reseptor asetil nikotinik, menyebabkan peningkatan pelepasan
dari asetilkolin.
Banyak karekteristik suksinilkolin dapat melengkapi bagaimana obat ini tereleminasi. Studi
ini memberi konstribusi penjelasan bagaimana tubuh mengeliminasi suksinilkolin, ini
dimulai di awal tahun 1950. Pada tahun 1951, Whittaker, menemukan bahwa suksinilkolin
di hidrolisa melalui 2 langkah oleh horse kolinesterase. Pertama sekali suksinilkolin dipecah
menjadi suksinilmonokolin dan kolin, dan kemudian hidrolisa berkelanjutan menghasilkan
asam suksinat dan kolin. Penelitian lebih lanjut tahun 1953 dan 1955 mendukung fakta
bahwa suksinilkolin juga dapat dihidrolisa di plasma manusia oleh kolinesterase. Ini
digambarkan bahwa kira-kira 150 mg suksinilkolin dapat dihidrolisa dalam waktu 1 menit.
Bagaimanapun, sesuai dengan cepatnya difusi obat dari plasma ke neuromuskular junction,
bagian kecil obatnya, kurang dari 10 % masih dapat mencapai neuromuskular junction, dan
menyebabkan kelumpuhan saat konsentrasi di sinaps meningkat. Bentuk kimia suksinilkolin
yang unik tidak langsung menyebabkan hidrolisa oleh asetilkolinesterase yang terdapat di
neuromuscular junction. Efek paralisa suksinilkolin berkurang sejalan dengan obat yang
masuk ke jaringan dan plasma, dimana butir kolinesterase meenghidrolisa dalam 2 langkah
untuk mencapai hasil akhir asam suksinat dan kolin. Hidrolisa cepat ini terjadi di dalam
plasma, mengusahakan distribusi yang cepat, memperlama kerja obat.

Dosis Suksinilkolin

Dosis standarnya dihitung berdasarkan respon otot, biasanya pada otot adductor, yang
terstimulasi setelah pemberian obat. Teknik ini digunakan untuk menentukan potensi obat
melalui respon gerakan otot adductor ketika terstimulasi. Respon gerakan kurang dari 0 %
ketika terjadi kelumpuhan lengkap, dan akan 100 % ketika tidak ada hambatan
neuromuskular. Karena mula kerja yang cepat, durasi yang singkat dan murah, banyak
klinisi yang memilih suksinilkolin sebagai obat yang rutin digunakan untuk intubasi pada
dewasa. Dosis intubasi suksinilkolin dewasa biasanya 1 – 2 mg/kg intravena,onsetnya 35-45
detik,durasi 5-10 menit dan ED95 0,5 mg/kgBB suksinilkolin sebaiknya disimpan di lemari
es ( 2 – 8ºC), dan sebaiknya digunakan dala 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es.
\
Efek Suksinilkolin
Efek samping suksinilkolin yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut

A. Fasikulasi otot

Lebih dari 50 tahun sejak memperkenalkan suksinilkolin dalam praktek


klinik, fasikulasi otot dicatat sebagai efek samping pemberian suksinilkolin.
Walaupun percobaan klinik pertama kali tahun 1950an, adanya gerakan otot atau
kontraksi yang direkam muncul setelah pemberian suksinilkolin. Dalam beberapa
laporan, faskulisasi digambarkan sebagai kesakitan, menyebabkan
ketidaknyamanan dalam pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun 2005,
Schreirber melaporkan hasil dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun
1971-2003. Percobaan ini menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi
otot. Secara keseluruhan hasilnya adalah 95% peserta mengalami faskulisasi,
dimana peserta ini tidak mendapatkan obat anti faskulisasi. Faskulisasi ini menjadi
topik pembicaraan utama para klinisi dengan tujuannya adalah menurunkan
insiden faskulisasi

A.1 Fisiologi Fasikulasi


Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin
dapat menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah
ikatan prejunctional dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing
reseptor asetilkolin nikotinik.
Mekanisme dari faskulisasi dilengkapi asetilkolin seperti efek
suksinilkolin saat menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini
menyebabkan channel ion sodium terbuka, dan otot memulai depolarisasinya,
dimana jika ambang batas dicapai, hasil dari potensial aksi ini menyebabkan
kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena suksinilkolin tidak
didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan mengikat
reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun
otot paralisa.
Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan
molekul suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps
neuromuskular junction yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf yang
berulang. Pengulangan aktifitas ini disebabkan oleh impuls saraf yang berjalan ke
arah berlawanan dari normalnya (refleks akson antidromik) dari terminal saraf
motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat motor unit lainnya. Kecepatan dari
blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional adalah berbanding
terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip dapat terjadi
pada reseptor prejunctional.
Berdasarkan studi topografi, otot-otot skeltal yang terlibat dalam fasikulasi
dapat dibagi menjadi tiga kelompok ;
a. Kelompok otot yang sensitif suksinilkolin (98-100% mengalami
fasikulasi), yaitu biseps brakhii, deltoid, ibu jari, gastroknemius,
fleksor digiti brevis, otot mata.
b. Kelompok otot yang resisten suksinilkolin (0- 10% mengalami
fasikulasi), yaitu obliqua ekternal, pektoralis mayor, rektus abdominis ,
latisimus dorsi dan rektus femoralis.
c. Kelompok otot intermediate ( 50- 63% mengalami fasikulasi ),
yaitu triseps brakhii, trapezius ,biseps femoralis dan tibialis anterioir.
Ada banyak laporan mengenai prejunctional dan postjunctional yang
menyebabkan faskulisasi, apapun mekanismenya, faskulisasi tetap
menjadi masalah terhadap pasien dan klinisi anastesi di klinik.1
Derajat fasikulasi dapat dilihat dengan menggunakan empat skala yaitu:

Nilai Derajat Keterangan

0 Nol Tidak tampak fasikulasi

1 Mild Fasikulasi dijumpai hanya pada jari-jari dan otot wajah

2 Moderate Fasikulasi minimal pada tungkai dan ekstremitas

3 Severe Fasikulasi dijumpai pada keseluruhan tungkai dan ekstremitas

A.2 Pencegahan dari Fasikulasi

Antagonisme dari blokade depolarisasi dihasilkan dari aksi kompetitif non depolarisasi muskular
blok dengan Suksinilkolin pada post junctional reseptor kolinergik nikotik subunit α.

Pada penelitian Susan C Harvey dkk, fasikulasi adalah hasil dari depolarisasi konduksi aksonal yang
antidromic diinisiasi dengan ikatan suksinilkolin pada reseptor prejunctional nicotinic cholinergic.
Kemungkinan mencegah fasikulasi dihubungkan dengan besarnya afinitas obat tersebut pada
prejunctional colinergic.
Meta- analisis lengkap oleh Schreiber dan kolega-koleganya juga termasuk data yang dikumpulkan
dari beberapa studi yang secara total berisikan fasikulasi dari 12 regimen pretreatment fasikulasi.
Meta analisa dari uji coba pretreatment fasikulasi ini mengindikasikan bahwa 4 pretreatment yang
memberi keuntungan lebih adalah d-tubocurarin, atracurium, recuronium dan channel sodium
bloker (lidokain, phenytoin).

B. Mialgia postoperasi

Selama ujicoba klinis Suksinilkolin pertama pada tahun 1950, peneliti mengungkapkan fenomena
dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien post operasi. Kejadian
pertama yang dilaporkan terhadap mialgia post operasi adalah pada tahun 1952, ketika Bourne
fokus terhadap nyeri otot yang dianggap “ kaku otot ” yang disebabkan oleh kontraksi otot yang
kuat karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun kemudian, tahun 1954, Churchill

– Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom mialgia postopearasi pada studi pertama yang
mengkhususkan tentang mialgia, dimana dilaporkan bahwa nyeri otot yang dirasakan oleh pasien
adalah hasil dari pemberian Suksinilkolin. Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat efek yang
disebabkan oleh mialgia postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur tersebut. Gejala
yang sering dikeluhkan pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu ( flu – like symptom ),
nyeri otot seperti telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti ditendang kuda, terinjak oleh
gajah atau pun terlibat dalam pertandingan.

Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh mengalami mialgia akibat
suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak berturut turut berlikasi pada leher (54%),
dada (28%), bahu (17% ),punggung (16 %)dan anggota tubuh (6 %).

Untuk mengetahui derajat mialgia dapat digunakan sistem skoring seperti dibawah ini.

NILAI DERAJAT KETERANGAN

0 Nol Tidak ada nyeri otot atau kebas.

1 Ringan Nyeri otot atau kebas pada satu tempat tetapi tidak
menyebabkan ketidakmampuan atau pembatasan
aktifitas.

2 Sedang Nyeri otot atau kebas lebih dari satu tempat tetapi tidak
menyebabkan ketidakmampuan atau pembatasan
aktifitas.

3 Berat Nyeri otot dan kebas lebih dari satu tempat dan
menyebabkan ketidakmampuan ataupun pembatasan
aktifitas misalnya susah bangun dari tempat tidur atau
memutar kepala.

Tingginya insidensi dari mialgia postoperasi dengan berbagai tingkat keparahannya yang telah
dikeluhkan oleh pasien menjadikan efek samping ini sebagai prioritas utama bagi dokter untuk
menemukan suatu cara, baik untuk meniadakan atau paling sedikit mengurangi persentase dari
insiden tersebut.

C. Kardiovaskular

Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak mengejutkan bahwa mereka
mempengaruhi reseptor kolinergik selain mempengaruhi junction neuromuskular. Sistem
parasimpatis secara keseluruhan dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula
adrenal, dan kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai neurotransmiter.

Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada junction neuromuskular,
ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh karena itu, kerja suksinilkolin pada
kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi reseptor nikotinik pada ganglia saraf parasimpatis dan
simpatis dan reseptor muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah suksinilkolin bisa menimbulkan efek
kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang lebih tinggi biasanya meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan kontraktilitas dan meningkatkan kadar katekolamin yang beredar dalam
sirkulasi.

Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah pemberian suksinilkolin.
Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya jika bolus suksinilkolin yang kedua
diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis pertama. Suatu metabolit suksinilkolin,
suksinilmonokolin, muncul untuk mensensitisasi reseptor kolinergik muskarinik pada nodus
sinoatrial terhadap bolus kedua suksinilkolin, mengakibatkan bradikardia. Atropin intravena
(0,02mg/kg pada anak-anak, 0,4 mg pada orang dewasa) biasanya diberikan sebagai profilaksis
pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu sebelum dosis yang kedua. Aritmia lain seperti
bradikardi nodus dan ektopik ventrikel telah dilaporkan.

D. Hiperkalemia

Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang disebabkan suksinilkolin untuk
meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L. Walaupun hal ini biasanya tidak signifikan pada
pasien-pasien dengan kadar kalium dasar normal, hal ini bisa mengancam jiwa pada pasien-pasien
dengan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau pasien dengan luka bakar, trauma masif,
kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya. Henti jantung yang mengikuti bisa terbukti
menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi kardiopulmonar rutin, membutuhkan kalsium,
insulin, glukosa, bikarbonat, epinefrin, kation-pertukaran resin, dantrolene, dan bahkan bypass
kardiopulmonar

untuk menurunkan asidosis metabolik dan kadar kalium serum.3,4,5,20

Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa diekspresikan didalam dan diluar
junction neuromuskular (up-regulation). Reseptor extrajunctional ini membiarkan suksinilkolin
untuk menimbulkan efek depolarisasi yang luas dan pelepasan kalium yang ekstensif. Pelepasan
kalium yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan non
depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak memuncak dalam 7-10 hari setelah cedera,
namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko bervariasi.3,4,5
E. Peningkatan Tekanan Intragastrik

Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang diimbangi dengan
peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu, resiko refluk lambung atau aspirasi
pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh suksinilkolin. Walaupun terapi awal dengan relaksan
non depolarisasi meniadakan peningkatan tekanan lambung, ia juga mencegah peningkatan tonus
sfingter esofagus.

F.Peningkatan Tekanan Intraokular

Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki motor end-plate multipel
pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang dan kontraksi otot ekstra-okular setelah
pemberian suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokular sementara dan bisa membahayakan
mata yang cedera.

Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu dicegah dengan terapi awal dengan relaksan non-
depolarisasi.

G.Kekuatan otot Masetter

Suksinilkolin sementara meningkatkan tonus otot masetter. Beberapa kesulitan bisa pada awalnya
dijumpai pada pembukaan rongga mulut karena relaksasi rahang yang tidak lengkap. Suatu
peningkatan bermakna pada tonus yang mencegah laringoskopi tidak normal dan bisa merupakan
tanda awal hipertermia maligna.

H.Hipertensi Maligna

Suksinilkolin merupakan obat perangsang yang poten pada pasien-pasien yang rentan terhadap
malignan hipertemia, suatu kelainan hipermetabolik otot skeletal. Walaupun tanda dan gejala
sindroma neurolepti malignan (NMS) menyerupai hipertermia maligna, patogenesisnya berbeda
secara keseluruhan dan

tidak perlu menghindari penggunaan suksinilkolin pada pasien-pasien dengan NMS.3,4,5,30

I.P aralisis yang memanjang

Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah


menimbulkan durasi kerja yang lebih lama, dimana pasien dengan pseudokolinesterase atipikal
akan mengalami paralisis memanjang yang bermakna.

J.Tekanan Intrakranial

Suksinilkolin bisa menimbulkan aktivasi pada elektroensefalograf dan sedikit meningkatkan aliran
darah serebral dan tekanan intrakranial pada beberapa pasien. Fasikulasi otot meningkatkan
reseptor otot yang selanjutnya meningkatkan aktivitas serebral. Peningkatan tekanan intrakranial
bisa dilemahkan dengan menjaga kontrol jalan nafas yang baik dan memberikan hiperventilasi. Hal
ini bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan relaksan otot non depolarisasi dan
memberikan lidokain intravena (1,5-2.0 mg/kg) 2-3 menit sebelum intubasi. Efek intubasi pada
tekanan intrakranial jauh lebih penting daripada peningkatan akibat suksinilkolin

K.P elepasan Histamin

Sedikit pelepasan histamin bisa terlihat setelah pemberian suksinilkolin pada beberapa pasien.

Vous aimerez peut-être aussi