Vous êtes sur la page 1sur 38

PRESETANTASI KASUS FARMASI

DISENTRI AMOEBA (AMEBIASIS)

OLEH :
ALIFIS SAYANDRI MEIASYIFA G99162129

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diare adalah alah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar
penduduk Indonesia. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi
nasional adalah 9%. Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare
merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Diare
terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011).
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba
(disentri amoeba). Amebiasis (disentri amoeba, enteritis amoeba, kolitis
amoeba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus
Entamoeba hystolica. Sekitar 90% infeksi terjadi asimtomatik, sementara
10% lainnya menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari disentri
sampai abses hati atau organ lain (Soewondo, 2010).
Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor
kepadatan penduduk, higiene individu yang buruk, sanitasi lingkungan hidup
yang kurang baik, serta kondisi sosial kultural yang kurang menunjang.
Amebiasis menjadi penyakit yang mendapat perhatian dari WHO karena
merupakan satu dari tiga penyebab kematian tersering infeksi parasit. Pada
tahun 2010, WHO mencatat bahwa terdapat 50 juta kasus Amebiasis, dimana
100.000-nya meninggal (Redaelli et al., 2011). Sedangkan untuk Indonesia
sendiri, insidensi Amebiasis bisa dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-
18%. Mortatlitas Amebiasis juga cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%,
peringkat kedua setelah malaria (Andayasari, 2011).

2
B. Tujuan
1. Melakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab penyakit
2. Memperbaiki keadaan umum pasien
3. Mencegah peningkatan keparahan penyakit
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien
5. Meminimalisasi hingga menghilangkan gejala penyakit

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus) yang berarti radang usus. Disentri amoeba atau amebiasis adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica yang
sering ditemukan di wilayah tropis (WHO, 2015). Gambaran klinik ditandai
dengan kerusakan jaringan yang luas di lapisan submukosa dan terjadinya
infeksi sekunder. Kemungkinan kerusakan diperparah dengan masuknya
parasit ke dalam pembuluh darah dan kelenjar getah bening yang berada pada
lapisan submukosa dan menyebabkan parasit ini menyebar secara hematogen
ke organ yang jauh (Safar, 2009).

B. Epidemiologi
Berdasarkan statistik internasional, sekitar 50 juta kasus Amebiasis
terjadi setiap tahunnya, dengan 100.000 orang meninggal (Redaelli et al.,
2011). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis bisa
dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18% (Andayasari, 2011).
Amebiasis usus yang simptomatik terjadi pada seluruh kelompok umur.
Sedangkan untuk abses hati sendiri 10 kali lebih sering terjadi pada dewasa
dibandingkan dengan anak-anak. Anak kecil kemungkinan juga memiliki
faktor predisposisi terjadinya kolitis fulminan (Dhawan, 2015).
Kolitis amebik menyerang secara sama, baik laki-laki maupun
perempuan (Stanley, 2003). Namun, Amebiasis invasif lebih sering terjadi
pada laki-laki dewasa dibandingkan wanita (7-12 kali), pada kisaran umur 18-
50 tahun. Untuk Amebiasis asimptomatik juga terjadi secara sama, baik laki-
laki maupun perempuan (Acuna-Soto at al., 2000).
Mortatlitas Amebiasis juga cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%,
peringkat kedua setelah malaria (Andayasari, 2011). Di Indonesia laporan
mengenai abses hati menunjukkan insidensi yang cukup tinggi. Penularan
dapat terjadi melalui beberapa cara, misalnya pencemaran air minum, pupuk

4
kotoran manusia, juru masak, vektor lalat dan kecoa, serta kontak langsung
seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang
menimbulkan epidemi. Epidemi sering tejadi lewat air minum yang tercemar
(Soewondo, 2010).

C. Etiologi
E.histolytica adalah protozoa usus yang sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal di usus besar manusia. Protozoa ini bisa berubah
menjadi patogen dengan membentuk koloni di dinding usus dan menembus
dinding usus sehingga terbentuk ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk,
yaitu stadium tropozoit (komensal <10mm, patogen >10mm) dan stadium
kista (Soewondo, 2010).
Tropozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan
gejala penyakit. Apabila menimbulkan diare, maka tropozoit akan keluar
bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja dengan mikroskop, tropozit tampak
bergerak aktif dengan pseudopodianya dan dibatasi oleh ektoplasma yang
tampak terang seperti kaca. Bagian endoplasma berbentuk butir-butir kecil
dan sebuah inti di dalamnya. Sementara tropozit patogen dapat menyebabkan
disentri. Diameternya lebih besar daripasa tropozoit komensal (lebih dari
50mm) dan mengandung eritrosit di dalamnya karena tropozit patogen
menelan eritrosit (hematophagous thropozoite). Bentuk tropozoit itu
bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit. Namun akan cepat
mati bila berada di luar tubuh (Soewondo, 2010).
Bentuk kista ada dua macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista
muda terdiri dari satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatid
berbentuk batang dengan ujung tumpul. Kista dewasa memiliki empat inti.
Kista ini hanya terbentuk dan dijumpai di dalam lumen usus, kista tidak dapat
terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau di
jaringan tubuh di luar usus (Soewondo, 2010).
Kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hdiup
lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor

5
standar dalam air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air di
usus besar, menyebabkan tropozit berubah menjadi kista (Soewondo, 2010).
Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung tropozoit dapat
diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenesis amoeba (zymodeme).
Amoeba di dalam tubuh pasien yang memiliki gejala invasif menunjukkan
adanya pola enzim zymodeme (Soewondo, 2010).
Semua tropozoit dan kista E.histolytica memiliki morfologi yang
identik, tetapi secara klinis spektrum penyakitnya yang luas ditentukan oleh
virulensi strain yang menginfeksinya. Isolat E.histolytica dari pasien
Amebiasis invasif memiliki isoenzim yang unik, antigen penanda DNA, dan
sifat virulensi (termasuk produksi proteinase ekstraseluler dan resistensi
terhadap lisis yang diperantarai oleh komplemen) (Reed, 2012).
Imunitas terhadap amoeba sampai saat ini belum diketahui peranannya.
Tetapi ada bukti yang peran imunitas terhadap infeksi amoeba. Pada pasien
dengan tindakan yang menurunkan imunitas, seperti radioterapi, splenektomi,
obat-obat imunosupresif, dan penggunaan steroid, dapat terjadi ulkus amoeba
berulang. Berdasarkan penyelidikan pada manusia dan hewan, dapat
dibuktikan bahw E.histolytica dapat memicu sistem imun humoral dan
seluler. Secara in vivo, imunitas humoral dapat membunuh amoeba, tetapi
secara in vitro tidak dapat. Belum diketahui pasti penyebabnya, tetapi
mungkin dikarenakan imunitas tidak terbentuk sempurna. Imunitas yang
terbentuk hanya dapat mengurangi beratnya gejala, tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas seluler berperan lebih besar
dibandingkan imunitas humoral. Antibodi di dalam serum, terutama IgG,
terutama berperan dalam uji serologis (Soewondo, 2010).
E histolytica ditransmisikan umumnya melalui rute fekal-oral. Kista
infektif bisa ditemukan pada minuman dan makanan yang terkontaminasi
secara fekal atau melalui tangan penyaji makanan yang terkontaminasi.
Transmisi seksual, secara oral-anal, juga memungkinkan terjadinya
penyebaran penyakit. Nutrisi yang buruk juga meningkatkan faktor risiko
tertular Amebiasis (Soewondo, 2010).

6
D. Patogenesis
Baik kista maupun tropozoit ditemukan dalam lumen intestinal, namun
hanya bentuk tropozoit yang menginvasi jaringan. Tropozoit yang mula-mula
hidup sebgaai komensal, dapat berubah menjadi patogen. Sebelum tropozoit
melekat pada epitel interglandularis melalui lektin permukaan
(GAL/GaINAc), terjadi deplesi mukus, inflamasi yang difus, dan disrupsi
sawar epitel di mukosa kolon. Lesi intestinal yang paling awal terjadi adalah
mikroulserasi mukosa sekum, kolon, sigmoid, atau rektum yang melepaskan
sel eritrosit, sel radang, dan sel epitel. Perluasan lesi ke lapisan submukosa
menyebabkan gambaran ulkus klasik yaitu “berbentuk botol labu” yang
mengandung tropozoit pada bagian tepi jaringan yang mati dan masih viabel.
Infeksi pada usus manusia ditandai oleh sedikitnya sel radang yang sebagian
mungkin disebabkan karena terbunuhnya neutrofil oleh tropozoit. Ulkus yang
diobati secara khas akan mengalami kesembuhan dengan sedikit atau tanpa
jaringan parut. Namun demikian, nekrosis yang mengenai seluruh tebal usus
dan perforasi kadang-kadang terjadi (Soewondo, 2010; Reed, 2012).

Gambar 2.1 Kista E. Histolytica Gambar 2.2 Tropozoit E. Histolytica


Kadang infeksi intestinal menyebabkan pembentukan suatu lesi yang
berupa massa atau amoeboma di dalam lumen usus. Mukosa yang berada si
atas lesi tersebut biasanya lebih tipis atau mengalami ulserasi, sementara
lapisan dinding usus yang lain akan menebal, edema serta hemoragik,
sehingga terjadi pembentukan jarungan granulasi yang berlebihan dengan
respon jaringan ikat fibrous yang sedikit (Reed, 2012).

7
Jalur litik dan apoptosis kedua-duanya berperan dalam patofisiologi
Amebiasis. Sitolisis diperantarai oleh amebapores, peptida yang mampu
membuat pori pada lapisan lipid bilayer. Efek sitolitik yang ditimbulkan oleh
amoeba ini memerlukan kontak langsung dengan sel target dan berkaitan
dengan pelepasan fosfolipase A. Amebapores dalam konsentrasi sublitik juga
dapat memicu terjadinya apopotosis (Stanley, 2003; Reed, 2012). Sejumlah
faktor virulensi berhubungan dengan kemampuan amoeba untuk menginvasi
lewat epitel interglandularis. Salah satunya adalah proteinase ekstraseluler
yang mampu menguraikan jaringan kolagen, elastin, dan komponen matriks
ekstraseluler. Sistein proteinase juga berperan dalam proses invasi dan
inflamasi di dalam usus, dengan meningkatkan inflamasi yang dieprantari
oleh IL-1 (menyamar menjadi enzim yang mengkonversi IL-1). Kemudian
sistein proteinase juga dapat menonaktfikan anafilatoxin komplemen C3a dan
C5a, IgA, dan IgG. Enzim lainnya dapat memutuskan ikatan glikoprotein
antara sel epitel mukosa di dalam usus. Amoeba dapat mengancurkan sel
neutrofil, monosit, limfosit, dan turunan sel kolon atau hati. Lisisnya sel
neutrofil dapat menyebabkan terjadinya nekrosis (Reed, 2012).
Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan di semua bagian
usus besar. Dari ulkus di dalam dinding usus besar dapat mengadakan
“metastasis” ke hati lewat cabang vena porta dan dapat menimbulkan abses
hati (Soewondo, 2010). Isolat yang patogen ini bersifat resisten terhadap
proses lisis oleh komplemen, yaitu sifat yang sangat menentukan
kelangsungan hidup amoeba di dalam darah. Apabila hal ini terus terjadi,
selain menuju ke hati, embolisasi dapat mencapai jaringan paru, otak, dan
limpa, sheingga menimbulkan abses di sana. Sedangkan untuk strain
nonpatogen, dengan cepat akan dihancurkan oleh komplemen dan dengan
demikian hanya terbatas dalam lumen usus saja (Reed, 2012).
Infeksi klinis tidak menimbulkan imunitas pada kolonisasi rekuren oleh
E.histolytica. Namun, serangan kolitis atau abses hati yang berulang jarang
didapat. Antibodi tidak protektif, titer antibodi lebih berhubungan dengan
lamanya sakit dibandingkan dengan beratnya penyakit (Reed, 2012).

8
Gambar 2.3 Siklus hidup E.histolytica (CDC, 2013)

E. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Periode inkubasi E.histolytica adalah sekitar 2-4 minggu. Spektrum
klinis amebiasis adalah mulai dari asimptomatik hinggan kolitis fulmina dan
peritonitis ataupun amebiasis ekstraintestinal. Amebiasis terjadi lebih parah
pada pasien yang sangat muda, pasien tua, dan pasien yang sedang dalam
terapi kortikosteroid.
1. Karier (cyst passer)
Pasien tidak menunujkkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada di usus besar tidak menginvasi
ke dinding usus.

9
2. Amebiasis intestinal ringan
Timbulnya gejala secara perlahan-lahan. Penderita biasanya
mengeluhkan perut kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang
bersifat kejang. Dapat timbul diare 4-5 kali sehari dengan tinja berbau
busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri di
daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip dengan
ulkus peptik. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya.
Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan.
Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri
tekan.
3. Amebiasis intestinal sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibandingkan disentri
ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja
disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam, dan
lemah badan, disertai hepatomgeali yang nyeri ringan.
4. Amebiasis intestinal berat
Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami
diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi
(40-40,50C), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan
melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat menyebabkan
perforasi usus.
5. Amebiasis intestinal kronis
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan
diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini
dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena
kelelahan, demam, atau makanan yang sukar dicerna.
6. Abses hepar amebik
Amebiasis ekstraintestinal yang paling sering terjadi, dimana
gejalanya lebih parah terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pasien
mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas, tenderness selama sekitar 10

10
hari. Keterlibatan permukaan diafrgma juga menyebabkan nyeri tumpul
menjalar ke bahu. Gejala dan tanda abdomen akut harus diwaspadai
sebagai ruptur intraperitoneal. Selain itu juga terdapat gejala seperti
mual, muntah, distensi abdomen, diare, dan konstipasi. Diagnosis ini sulit
ditegakkan karena gejala dan tanda tidak spesifik.
7. Manifestasi lain
Manifestasi klinis yang lain dapat berupa ameboma, amebiasis
pleuropulmonal (penyebaran secara hematogen, melalui ruptur
diafragma), amebiasis otak (mual, muntal, nyeri kepala, perubahan status
mental, tampakan CT-scan sebagai lesi ireguler dengan kapsul atau
enhancement), amebiasis saluran kemih (rasa nyeri di daerah genital dan
tuba fallopii), amebiasis appendisitis, dan amebiasis peritonitis (pasien
demam dan distensi abdomen padat).
(Redd, 2012; Dhawan, 2015; Soewondo, 2010)

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya leukositosis
tanpa eosinofilia, peningkatan SGPT dan SGOT, peningkatan kadar
bilirubin ringan, penurunan kadar albumin, anemia ringan, peningkatan
laju endap eritrosit (Dhawan, 2015).
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat penting. Pemeriksaan tinja sekali hanya menunjukkan sensitifitas
sebesar 33-50%, tetapi apabila dilakukan sebanyak 3 kali dengan tidak
lebih dari 10 hari sensitifitasnya meningkat hingga 85-95%. Pada
disentri amoeba biasanya berbau busuk, bercampur darah, dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru dan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulang (minimal 3 kali
seminggu) dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat
pengobatan. Apabila direncanakan akan dibuat foto kolon dengan

11
barium enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan seblumnya atau
minimal 3 hari setelahnya. Pada pemeriksaan tinja pasien yang tidak
diare, yang perlu dicari adalah bentuk kista karena bentuk tropozoit
tidak akan ditemukan
Temuan mikroskopis yang didapatkan (Reed, 2012; Dhawan 2015):
1) Tampak tropozoit yang masih bergerak aktif dengan
pseudopodianya (seperti kaca) dan jika tinja berdarah akan nampak
adanya eritrosit intrasitoplasmik
2) Pada sediaan tinja berbentuk : gambaran kista bentuk bulat seperti
mutiara, di dalamnya terdapat badan kromatid bentuk batang dan
ujung tumpul, sedangkan intinya tidak tampak (hanya dapat dilihat
dengan larutan lugol)
c. Kultur
Kultur dapat dilakukan dengan spesiemen fekal atau rektar atau
dengan aspirasi abses hepar. Tingkat kesuksesan kultur adalah sekitar
50-70%, tetapi secara teknis sangat sulit dilakukan. Kultur kurang
sensitif jika dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Jika hasil
pemeriksaan tinjanya negatif, sigmoidoskopi demgan biopsi bagian tepi
ulkus dapat meningkatkan diagnosis, tetapi mengandung risiko terjadi
perforasi (Reed, 2012; Dhawan 2015).
d. Pemeriksaan histopatologi
Spesimen biopsi harus diambil dari tepi ulkus dan didapatkan
adanya tropozoit yang bergerak aktif. Gambaran histopatologi
menunjukan adanya penebalan mukosa yang nonspesifik, penyebaran
ulkus multipel di antara regio normal, mukosa dengan inflamasi difus,
nekrosis. Invasi mukosa ke dalam mukosa dan submukosa merupakan
tanda penting kolitis amebik (Dhawan, 2015).
e. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi amat mebantu untuk pemeriksaan amebiasis
invasif. Pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan deteksi antigen
maupun deteksi antibodi (menggunakan metode ELISA). Deteksi

12
antigen akan mendeteksi adanya antigen E.histolyica di sampel feses,
sedangakn serum antibodi akan ditemukan pada individu amebiasis
intestinal simptomatik (70-90%) dan abses hati (99%). Selain dengan
ELISA, terdapat metode IFA (Immunofluorescent Assay), dimana pada
pasien dengan abses hati didaptkan sensitifotas ebesar 93,6% dan
spesifisitas 96,7%. IHA (Indirect Hemagglutination Assay) juga dapat
dilakukan untuk deteksi antibodi spesifik E.histolytica,, namun kurang
sensitif jika dibandingkan dengan ELISA. IHA tidak dapat
membedakan infeksi akut maupu infeksi berulang, serta titernya dapat
tetap positif sampai selama 10 tahun (Dhawan, 2015).
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan kontrs barium sangat berbahaya bila
dilakukan pada kolitis amebik akut. Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI
berguna untuk mendeteksi adanya kista hipoekoik yang bundar atau oval
pada abses hati (Reed, 2012).

G. Diagnosis
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila sudah ditemukan amoeba
(tropozoit) dalam pemeriksaan tinja. Namun dengan ditemukannya amoeba,
tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena
amebiasis dapat disertai dengan penyakit lain.
Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah divertikulitis, IBS
(Irritable Bowel Syndrome), hepatitis, cholecystitis, Salmonellosis,
Shigellosis, dan hemorrhoid interna. Sedangkan untuk abses hati amebik sulit
dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma, dan kista hidatidosa
(Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).

H. Tatalaksana
1. Farmakoterapi
Klasifikasi amebisid :
a. Amebisid luminal

13
Amebisid yang bekerja di lumen usus atau obat-obat yang aktif
terhadap amoeba intestinal. Contoh : diiodo hidroksiquin, chiniofon,
carbasone, tetrasiklin, clephamide, paramomysin, glikobiarsol.
b. Amebisid jaringan
Amebisis yang bekerja pada jaringan intestinum atau organ
lainnya. Contoh : emetin, dehydroemetin, klorokuin.
c. Amebisis kombinasi
Contoh : metronidazol
Pemilihan amebisid bergantung pada :
a. Berat ringannya penyakit ini
b. Tempat terinfeksi (lumen atau ekstraintestinal)
c. Beberapa faktor lain, seperti keadaan hamil (hindari metronidazole)
d. Alergi obat atau toleransi
Tabel 2.1 Rekomendasi Antibiotik Amebiasis
Kolitis akut
Metronidazole (tab 250 atau Dosis: 500 mg per oral atau IV 3 kali sehari
500 mg) selama 5-10 hari, ditambah dengan bahan
luminal dengan dosis yang sama
Abses hati amoeba
Metronidazole
Tinidazole Dosis: 2 g per oral
Omidazole Dosis: 2 g per oral ditambah bukan luminal
dengan jumlah sama
Pada pasien dengan amebiasis ringan-sedang akan mengalami diare
atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga biasanya tidak memerlukan infus
cairan elektrolit atau transfusi darah. Tetapi bila disertai dengan diare dan
muntah, cairan elektrolit sebaiknya diberikan. Obat pilihannya adalah
metronidazol dengan dosis 3x500 mg sehari selama 5-10 hari, atau dapat
juga diberikan tinidazol atau omidazol. Karena pada pasien dengan
pengobatan metronidazole dapat timbul abses hati, maka dianjurkan
menambah dengan obat tropozoit di dalam lumen usus. Dapat digunakan

14
obat seperti diyohidrosikin, kliokinol, atau diloksanid furoat. Dapat pula
diberi tetrasiklin dengan dosis 4x500mg selama 5 hari (Soewondo, 2010).
Pada pasien dengan disentri amoeba yang berat, tidak hanya
memerlukan obat amebisid, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit
atau transfusi darah. Selain seperti pengobatan pada kasus ringan-sedang,
perlu ditambah emetin (1mg/kgbb/hari) atau dehidroemetin (11,5
mg/kgbb/hari) selama 3-5 hari, diberikan secara IM atau SC. Pasien
sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal
ini dikarenakan bahaya efek emetin tehadap jantung (Soewondo, 2010).
Keterangan mengenai obat-obat yang dapat digunakan pada amebiasis
antara lain:
a. Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap bentuk histolitika. Pemberian emetin
ini hanya efektif bila diberikan secara parenteral karena pada pemberian
secara oral absorpsinya tidak sempurna. Toksisitasnya relatif tinggi,
terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa
adalah 65 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua
dan orang yang sakit berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin
tidak dianjurkan pada wanita hamil, pada penderita dengan gangguan
jantung dan ginjal. Dehidroemetin relatif kurang toksik dibandingkan
dengan emetin dan dapat diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah
0,1 gram sehari, diberikan selama 4–6 hari. Emetin dan dehidroemetin
efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
b. Klorokuin
Obat ini merupakan amoebisid jaringan, berkhasiat terhadap bentuk
histolytica. Efek samping dan efek toksiknya bersifat ringan antara lain,
mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1
gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3
minggu.
c. Antibiotik

15
Tetrasiklin dan eritomisin bekerja secara tidak langsung sebagai
amebisid dengan mempengaruhi flora usus. Peromomisin bekerja
langsung pada amoeba. Dosis yang dianjurkan adalah 25 mg/kg bb/hari
selama 5 hari, diberikan secara terbagi.
d. Metronidazol (Nitraomidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan, karena efektif terhadap
bentuk histolytica dan bentuk kista. Efek samping ringan, antara lain,
mual, muntah dan pusing. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 gram
sehari selama 3 hari berturut-turut dan diberikan secara terbagi.
e. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini
dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua
pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat
yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium
klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam
paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air.
Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti
dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama
kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti
cairan saline normal atau Ringer Laktat harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi
harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian
harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Menurut keadaan klinisnya dehidrasi dapat dibagi 3, yaitu :

16
a. Dehidrasi ringan (hilangnya cairan 2 – 5% dari BB) gambaran klinisnya
turgor kulit kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh
dalam presyok.
b. Dehidrasi sedang (hilangnya cairan 5 – 8% dari BB) gambaran
klinisnya turgor kulit buruk, suara serak (vox cholerica), pasien jatuh
dalam presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
c. Dehidrasi berat (hilangnya cairan 8 – 10% dari BB) tanda klinis
dehidrasi sedang ditambah kesadaran yang menurun (apatis sampai
koma), otot kaku, sianosis.
Penetuan derajat dehidrasi pada penderita diare menurut WHO, 2008
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Derajat Diare berdasarkan WHO
Yang dinilai Skor
1 2 3
Keadaan Baik Lesu, haus Gelisah hingga
umum syok
Mata Biasa Cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Pernafasan < 30x/menit 30-40 x/menit >40x/menit
Turgor Biasa Kurang Jelek
Nadi < 120x/menit 120-140 x/menit >140x/menit

Jika skor <6 = tanpa dehidrasi


Skor 7-12 = dehidrasi ringan – sedang
Skor ≥ 13 = dehidrasi berat
Bila pasien dengan keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan
cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup
dan keripik. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi,
penatalaksanaan seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan
isotonic mengandung elektrolit dan gula harus diberikan. Bila dehidrasi
sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus pembuluh
darah. Bila dehidrasi ringan/sedang, pasien dapat diberikan cairan per oral

17
atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran
cerna atas tak dapat dipakai.
Pasien dengan dehidrasi berat perlu segera dirujuk ke rumah sakit
untuk mendapatkan penggantian cairan dan elektrolit. Larutan rehidrasi
oral tidak menghentikan diare tetapi mengganti cairan tubuh yang hilang
bersama feses. Dengan menggantikan cairan tubuh tersebut, dehidrasi
dapat dihindarkan. Larutan rehidrasi oral tersedia dalam bentuk serbuk
untuk dilarutkan dan dalam bentuk larutan yang diminum perlahan-lahan.
Larutan rehidrasi oral menurut panduan WHO dan UNICEF yang
dikeluarkan pada Desember 2006, mengandung kadar natrium dan glukosa
yang lebih rendah daripada formula sebelumnya (osmolaritas rendah, 245
mOsm/l dibanding dengan formula sebelumnya yang memiliki osmolaritas
311 mOsm/l). Dengan kadar Na dan glukosa yang lebih rendah, larutan
rehidrasi oral formula baru dapat mempercepat absorpsi cairan,
mengurangi kebutuhan terapi cairan intravena, dan mempermudah
perawatan kasus diare akut non-kolera pada anak karena tidak memerlukan
perawatan rumah sakit.
Tabel 2.4 Takaran pemakaian larutan rehidrasi oral pada diare
Umur < 1 tahun 1-4 tahun 5-12 tahun Dewasa

Tidak ada dehidrasi Setiap kali BAB beri larutan rehidrasi oral

100 mL 200 mL 300 mL 400mL

Mencegah dehidrasi (0,5 gelas) (1 gelas) (1,5 gelas) (2 gelas)

Dengan dehidrasi

300 mL 600 mL 1,2 Liter 2,4 Liter

(1,5 gelas) (3 gelas) (6 gelas) (12 gelas)


Mengatasi dehidrasi
Selanjutnya setiap BAB beri larutan dehidrasi oral

Mengatasi dehidrasi 100 mL 200 mL 300 mL 400 mL

18
(0,5 gelas) (1 gelas) (1,5 gelas) (2 gelas)

Pemberian cairan rehidrasi terdiri atas :


a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi initial) merupakan jumlah total
kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono
diberikan langsung dalam 2 jam agar tercapai rehidrasi optimal secepat
mungkin.
b. Satu jam berikutnya atau jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan
berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi
inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari
3 dapat diganti dengan cairan peroral.
Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan
cairan melalui feses dan Insensible Water Loss (IWL).
2. Non-Farmakoterapi
Intervensi bedah dibutuhkan apabila ada tanda dan gejala acute
abdomen (kolitis amebik perforasi, perdarahan saluran cerna masif, toxic
megacolon). Intervensi bedah biasanya juga diindikasi bila diagnosis
belum jelas, kemungkinan adanya superinfeksi bakteri karena abses hati
amebik, tidak responsif tehadap terapi metronidazole setelah 4 hari,
empyema setelah ruptur abses hati, dan kemungkinan adanya ruptur
pericardium. Selain tindakan bedah, dapat dilakukan pula drainage
menggunakan kateter perkutaneus yang akan meningkatkan hasil terapi
empyema amebik (Dhawan, 2015).
Pemberian diet khusus tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan
dengan hidrasi oral pada penelitian dengan kontrol. Akan tetapi,
pemberian nutrisi yang adekuat selama episode diare amat berguna untuk
memfasilitasi perbaikan enterosit. Bila pasien anorektik, hanya
mengkonsumsi cairan dalam waktu yang tidak lama tidak akan
membahayakan. Tepung dan biji-bijian rebus (misalnya, kentang, beras,
terigu, dan gandum) dengan garam diindikasikan pada pasien dengan

19
watery diarrhea. Biskuit, pisang, yoghurt, sop, dan sayuran rebus boleh
juga diberikan (Tjandrawinata et al., 2009).
Dalam praktiknya, menghindari makanan selama > 4 jam adalah
tidak tepat. Makanan sebaiknya mulai diberikan 4 jam sesudah pemberian
ORT atau cairan intravena. Diet diberikan tanpa memperhatikan cairan
yang digunakan untuk terapi rehidrasi oral atau rumatan. Diet diberikan
dalam porsi kecil dan sering (6 kali/hari). Perlu juga diberikan makanan
tinggi protein dan mikronutrien. Peningkatan kalori disesuaikan dengan
perbaikan episode diarenya. Perlu dihindari pemberian jus buah pekat
karena hiperosmolar dan dapat memperberat diare (Tjandrawinata et al.,
2009).

I. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat
maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus tidak menunjukkan gejala
lagiatau hanya menunjukkan gejala ringan,sehingga yang menonjol adalah
gejala penyulitnya. Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstraintestinal.
Berdasarkan lokasi, penyulit tersebut dibagi menjadi:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus, apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus
besar dan merusak pembuluh darah, perdarahan hebat berakibat fatal
b. Perforasi usus, terjadi bila abses menembus jaringan muskular dinding
usus besar, sering menyebabkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi,
peritonitis dapat terjadi akrena pecahnya abses hati
c. Intususepsi, terjadi di daerah sekum, butuh tindakan operasi segera
d. Penyempitan usus, terjadi karena disentri kronik, akibat terbentuk
jaringan ikat atau akibat amoeboma (massa jaringan granulasi)
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Amebiasis hati : penyulit ekstraintestinal yang paling sering terjadi,
lebih banyak terjaid apda laki-laki, dapat timbul beberapa
minggu/bulan, terjadi karena ada embolisasi amoeba lewat vena porta

20
b. Amebiasis pleuropulmonal : dapat terjadi akibat ekspansi langsung
abses hati, dapat timbul cairan pleura, penumonia, atau abses paru
c. Abses otak, limpa, dan organ lain
d. Amebiasis kulit : akibat invasi ampeba langsung dari dinding usus besar
dengan membentuk fistel
J. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yag
diberikan. Pada umumnya, prognosis Amebiasis adalah baik terutama yang
tanpa komplikasi. Pada asbes hati amoebik, kadang-kadang diperlukan pungsi
untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan Amebiasis yang disertai
penyulit efusi pleura. Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba
(Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat menyebabkan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien anak-ankak terutama neonatus, wanita
hamil dan postpartum, pasien pengguna kortikosteroid, pasien dengan
penyakit keganasa, dan pasien malnutrisi. Perlu diingan bahwa infeksi yang
seblumnya tidak memberikan proteksi untuk infeksi invasif berikutnya
(Dhawan, 2015).

K. Pencegahan
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi
syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat
penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa
digunakan dalam pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membunuh kista.
Sebelum mengonsumsi buah dan sayur sebaiknya dicuci dengan sabun atau
direndam dalam cuka selama 10-15 menit. Penting sekali adanya jamban
keluarga, isolasi, dan pengobatan terhadap karier. Karier dilarang berkerja
sebagai juru masak atau segala perkerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberiam
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis

21
tidak disarankan. Pengobatan massal dengan metronidazol secara berkala
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu. Di negara nonendemis, transmisi
penyakit dapat dikurangi dengan pengobatan dini pada karier. Menghindari
aktivitas seksul yang melibatkan kontak fekal-oral juga dapat mengurangi
transmisi dari kista infektif (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).

22
BAB III

ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. HDY
Umur : 4 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jebres, Surakarta
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2018
No. RM : 01046xxx

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
BAB cair, lendir dan darah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan BAB cair disertai
lendir dan darah berwarna merah gelap sudah sejak 1 hari SMRS. BAB
berwarna kuning kemerahan, konsistensi cair, dan lebih banyak
mengandung air dari pada ampas. Satu hari SMRS, pasien BAB
sebanyak 2 kali pada pagi hari, 2 kali pada siang hari, dan selama malam
hari sebanyak 3 kali. Pagi ini pasien sudah BAB sebanyak 5 kali. BAB
pasien cair, disertai darah dan lendir, serta berbau busuk seperti asam.
dan volume tiap kali BAB sekitar 100-150 cc, dengan lebih banyak
cairan daripada ampas. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAB.
Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien demam sejak 12 jam
SMRS. Demam dirasakan seperti sumer-sumer, namun karena tidak
mempunyai pengukur suhu, jadi tidak diketahui suhu tubuh pasien. BAK
tidak ada keluhan, namun nafsu makan pasien sedikit menurun. Pasien
minum lebih banyak daripada biasanya. Sekitar 5 hari terakhir pasien
selalu membeli jajanan didepan TK. Pasien belum pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

23
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit saluran pencernaan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit saluran pencernaan : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai pegawai bank dan ibu pasien bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Pasien berobat menggunakan BPJS. Kondisi
ekonomi pasien baik.
6. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Selama hamil, ibu pasien rajin melakukan pemeriksaan kehamilan
di bidan. Pada trimester I ibu pasien melakukan kontrol sebanyak 1x
dalam 2 bulan. Pada trimester II ibu pasien melakukan kontrol sebanyak
1x/bulan dan pada trimester ke III juga melakukan kontrol 1x/minggu.
Tidak ada keluhan selama kehamilan berupa mual, muntah pada awal
usia kehamilan. Obat-obatan yang diminum selama masa kehamilan
meliputi vitamin dan tablet penambah darah.
Pasien lahir saat ibu berusia 32 tahun dengan umur kehamilan 38
minggu secara normal di bidan dengan berat badan lahir 2900 gram dan
panjang 49 cm, langsung menangis kuat segera setelah lahir dan tidak
ada kebiruan. Kesan kehamilan dan kelahiran dalam batas normal.
7. Riwayat Imunisasi
Hb 0 : 0 bulan
BCG, Polio 1 : 1 bulan
DPT/Hb 1, Polio 2 : 2 bulan

24
DPT/Hb 2, Polio 3 : 3 bulan
DPT/Hb 3, Polio 4 : 4 bulan
Campak : 9 bulan
Kesimpulan : Imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 2005
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Pertumbuhan
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 3100 gram dan
panjang 51 cm. Menurut ibu pasien, saat pasien diperiksa di posyandu
berat badan dan tinggi badan pasien selalu naik. Saat ini pasien
berusia 7 tahun 3 bulan dengan berat badan 21 kg dan tinggi badan
130 cm.
Kesan : Pertumbuhan sesuai usia.
b. Perkembangan
Saat ini pasien berusia 4 tahun 10 bulan, TK A,
perkembangannya sama dengan teman sebayanya.
Kesan : Perkembangan sesuai usia.
9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga usia 1 tahun. Sejak usia
6 bulan pasien sudah diberikan makanan tambahan ASI. Pada usia 1
tahun pasien sudah mulai diberikan makanan pengganti ASI.
Saat ini pasien sudah makan sesuai menu masakan keluarga.
Makan nasi disertai lauk pauk beraneka ragam seperti tahu, tempe, telur,
daging dan disertai sayur. Pasien makan tiga kali sehari, nasi setiap
makan dengan porsi seperti porsi dewasa dan selalu habis.
Kesan: kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
2. Tanda Vital
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 99x/ menit

25
Respiratory Rate : 20x/menit
Suhu : 37.5 0C
Saturasi : 98%
3. Status Gizi
BB 18 kg
TB 113 cm
Kesan : Gizi baik
4. Kulit : warna sawo matang, peteki (-), ikterik (-), turgor agak lambat
(+)
5. Kepala : Mesosefal
6. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-),
cekung (-/-)
7. Hidung : NCH (-), epistaksis (-)
8. Telinga : Discharge (-/-)
9. Mulut : Mukosa kering (+), sianosis (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-
T1 hiperemis (-), gusi berdarah (-)
10. Leher : Kelenjar getah bening tidak membesar
11. Thorax : Retraksi (-), simetris
a. Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat teraba di SIC 4 LMCS,
thrill (-)
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler,bising (-)
b. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor// sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (normal/normal), suara tambahan
(-/-)
12. Abdomen

26
Inspeksi : Dinding perut // dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba, pekak alih (-), turgor perut kembali agak lambat (+)
Perkusi : Timpani diseluruh lapang perut
13. Ekstremitas :
Oedema Akral dingin
- - - -
- - - -
ADP kuat
CRT<2”

D. Diagnosis Banding
Amebiasis
Disentri Basiler
Demam thypoid
Irritable Bowel Syndrome
Divertikulosis

E. Diagnosis
Amebiasis

F. Planning
Pemeriksaan lab lengkap, feses rutin dan mikroskopis
G. Terapi
1. Non-medikamentosa
a. Istirahat, makan dan minum dipertahankan untuk mencegah terjadinya
dehidrasi dan menjaga kebutuhan nutrisi.
b. Diet, diberikan makanan lunak serta rendah serat sampai frekuensi
BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan
biasa bila ada kemajuan.

27
c. Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi berat, seperti lemas, tidak sadarkan
diri, apatis, pernapasan dalam pasien disarankan segera ke pelayanan
kesehatan.
d. Memberikan edukasi terhadap pasien mengenai pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan dan diri, seperti membersihkan tangan dengan
sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang
bersih.
2. Medikamentosa
a. Oralit
b. Metronidazole sirup 3x1 sendok takar selama 10 hari
c. Paracetamol sirup 3x2 sendok takar jika perlu
d. Zinc sirup 1x1 sendok takar selama 10 hari

28
KLINIK SEHAT UTAMA
Jl. Pracanda I, No. 27, Tlp (0271) 46646
Nama Dokter : Alifis Sayandri M, dr
SIP : G99162129
Tanggal : 4 Oktober 2018

R/ Oralit granul sachet No. XII


∫ ad libitum solve sachet I in aqua cc 200
R/ Trogyl suspensi mg 125/5 ml fl No. I
∫ 3 dd cth II spatio octa hora agitatio ante sumendum
R/ Orezinc syr mg 120/5 ml fl No.I
∫ 1 dd cth I
R/ Sanmol syr mg 120/5 ml fl No. I
∫ prn (1-3) dd cth II

Pro:
Nama Pasien : An. AHY
Usia : 4 tahun 10 bulan (18 kg)
No. RM : 0142xxxx

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

29
BAB IV

PEMBAHASAN OBAT

A. Oralit
1. Komposisi
Isi : 4,129 gr.
Tiap kantong berisi: natrium klorida 0,52 g, kalium klorida 0,3 g,
trinatrium sitrat dihidrat 0,58 g, glukosa anhidrat 2,7 g dan bahan tambahan
secukupnya.
2. Farmakokinetik
Natrium klorida dan kalium klorida diabsorpsi dengan baik di saluran
pencernaan, mengganti kehilangan elektrolit, mengoreksi gangguan
keseimbangan elektrolit. Kelebihan natrium sebagian besar diekskresi
melalui ginjal, dan sejumlah kecil melalui feses dan keringat.
3. Farmakodinamik
Oralit mengandung alkalinising agent untuk mengantisipasi asidosis;
sedikit hypo-osmolar (kira-kira 250 mmol/liter) untuk mencegah
kemungkinan induksi diare osmotik. Komposisi larutan rehidrasi oral
(oralit) yang rasional adalah bahwa absorpsi glukose tergabung pada
transport aktif elektrolit, absorpsi tersebut secara teori meningkatkan
efisiensi ketika rasio karbohidrat: natrium mendekati 1:1.
4. Indikasi
Mencegah dan mengobati “kurang cairan” (dehidrasi) akibat
diare/mencret/muntaber
5. Kontraindikasi
Obstruksi dan perforasi usus
6. Dosis :
 Di bawah 1 tahun : 1 ½ gelas pada 3 jam pertama, selanjutnya ½ gelas
setiap mencret
 Anak umur 1-<5 tahun: 3 gelas pada 3 jam pertama, selanjutnya 1 gelas
setiap mencret

30
 Anak umur 5-12 tahun: 6 gelas pada 3 jam pertama, selanjutnya 1½
gelas setiap mencret
 Diatas 12 tahun: 12 gelas pada 3 jam pertama, selanjutnya 2 gelas setiap
mencret
7. Efek samping
Gangguan keseimbangan elektrolit : gangguan keseimbangan
elektrolit akibat kelebihan natrium. Hal ini dapat juga diakibatkan oleh efek
anion yang spesifik. Retensi natrium berlebih di dalam tubuh biasanya
terjadi ketika ekskresi natrium melalui ginjal terganggu. Hal ini memicu
terakumulasinya cairan ekstraseluler untuk mempertahankan osmolalitas
plasma normal yang dapat menimbulkan edema paru dan perifer berikut
konsekuensinya. Hipernatraemia (peningkatan osmolalitas plasma) biasanya
dihubungkan dengan kurangnya asupan (intake) cairan, atau terjadi
kehilangan banyak cairan. Jarang terjadi jika digunakan pada dosis terapi,
tetapi dapat terjadi pada penggunaan larutan natrium klorida (saline)
hipertonik untuk merangsang muntah atau untuk bilas lambung dan setelah
terjadi kesalahan formulasi makanan bayi. Hipernatraemia juga dapat terjadi
pada penggunaan salin hipertonik yang tidak tepat secara intravena. Efek
pada gastrointestinal dikaitkan dengan tertelannya larutan hipertonik atau
sejumlah besar natrium klorida meliputi mual, muntah, diare dan kram
perut. Penggunaan garam klorida secara berlebihan dapat menyebabkan
hilangnya bikarbonat dengan efek pengasaman. Larutan yang terlalu pekat
dapat menimbulkan hiperkalemia. Kalau terlalu banyak diminum dapat
menimbulkan edema pada kelopak mata.

B. Trogyl suspensi (Metronidazole 125 mg/5 cc)


Obat ini merupakan suatu komponen sintetis 5-nitromidazol yang bersifat
sebagai amebisid intestinal maupun ekstraintestinal.
1. Mekanisme kerja
Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas selektif terhadap
mikororganisme anaerob atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia ataupun
hipoksia. Namun, para ahli lain menyatakan bahwa obat ini bekerja dengan

31
memutuskan rantai heliks DNA sehingga mengganggu fungsi DNA
mikroorganisme
2. Aktivitas amebisid
Obat ini selain efektif terhadap E.histolytica, juga digunakan ssebagai
obat alternatif pada pengobatan giardiasis dan balantidiasis. Obat ini juga
merupakan obat pilihan terhadap Trichomoniasis vaginalis. Selain itu, obat
ini juga efektif terhadap Gardnerella vaginalis dan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri anaerob.
3. Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan hampir komplit
setelah pemberian per oral. Obat ini sedikit sekali berikatan dengan protein
palsma. Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam dan waktu
paruhnya berkisar 8 jam. Lebih kurang 20% obat ini diekskresikan melalui
urine dalam bentuk utuh dan metabolitnya
4. Kontraindikasi
Wanita hamil trimester I, gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan
alkohol,pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
5. Efek samping
Efek samping yang paling sering terjadi adalah gejala mual dan diare,
nyeri epigastrik, muntah, dan kadang-kadang urin berwarna gelap. Obat ini
menekan aktivitas sumsum tulang. Gejala berat dapat berupa ataksia dan
kejang epileptik
6. Dosis
Amebiasis : Dewasa 3x750 mg selama 5-10 hari. Pada anak-anak 35-
50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis terbagi selama 10 hari.

C. Orezinc sirup (Zinc 120 mg/5 cc)


1. Komposisi
Setiap satu sendok teh sirup ini mengandung 20 mg zinc
2. Cara kerja obat

32
 Zinc digunakan untuk melengkapi pengobatan diare pada anak – anak
berusia di bawah lima tahun, penggunaannya selalu disertai dengan
cairal oralit (Oral Rehydration Salts)
 Pengobatan diare ditujukan untuk pencegahan atau pengobatan
dehidrasi menggunakan oralit dan pencegahan gangguan nutrisi
(menggunakan Zinc)
 Berikan zinc segera mungkin pada awal diare, bersamaan dengan oralit,
jangka waktu dan masa keakutan sama resikonya dengan dehidrasi yang
akan dihilangkan
 Meneruskan penggunaan zinc setelah diare berhenti, kekurangan zinc
dalam feses akan digantikan
 Dapat mengurangi lama dan beratnya diare, mengurangi resiko
mendapat diare baru dalam 2-3 bulan, serta mengembalikan nafsu
makan
 Dasar pemikiran pemberian zinc adalah efeknya pada fungsi imun dan
perbaikan epitel saluran pencernaan selama diare
3. Indikasi
Zinc merupakan terapi pelengkap diare pada anak – anak yang digunakan
bersama dengan oralit
4. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap zinc
5. Posologi
 Bayi pada usia 2 – 6 bulan : ½ sendok teh (10 mg zinc) setiap hari
selama 10 hari berturut – turut, meskipun diare sudah berhenti
 Anak berusia 6 bulan – 5 tahun : 1 sendok teh (20 mg zinc) setiap hari
selama 10 hari berturut – turut, meskipun diare sudah berhenti
6. Efek samping
 Toksisitas zinc secara oral pada orang dewasa dapat terjadi akibat
asupan zinc dengan dosis melebihi 150 mg per hari (kurang lebih 10
kali dari dosis yang direkomendasikan) selama periode yang sama

33
 Dosis tinggi zinc untuk periode lama dapat menyebabkan penurunan
konsentrasi lipoprotein plasma dan absorpsi tembaga
 Efek samping lain yang biasa terjadi adalah mual, rasa pahit, muntah,
dan iritasi pada mulut
7. Peringatan
Selama diare masih berlangsung, selain diberikan suplementasi zinc, juga
diberikan oralit. Para ibu yang menyusui dianjurkan untuk tetap menyusui
atau meningkatkan frekuensi menyusui pada anak selama dan setelah diare.
Zinc paling baik diberikan selambat – lambatnya 1 jam sebelum atau 2 jam
sesudah makan; dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi rasa
tidak nyaman pada saluran pencernaan.
8. Interaksi obat
Jika digunakan bersama dengan besi, disarankan menggunakan zinc
beberapa jam sebelum atau sesudahnya. Konsumsi garam zinc juga dapat
menurunkan absorpsi oral dari tetrasiklin dan kuinolon (misalnya antibiotik
ciprofloxacin, norfloxacin), sehingga dapat terjadi penurunan efek anti
infeksi. Konsumsi bersamaan sebaiknya dihindari atau terdapat rentang
waktu dalam konsumsi obat – obat tersebut.
9. Toksisitas
Walaupun tidak ada toksisistas serius yang akut maupun kronis telah terjadi
akibat konsumsi zinc, namun sebaiknya obat ini tidak digunakan lebih dari
14 hari karena zinc dapat membentuk khelat dengan tembaga.

D. Sanmol sirup (Paracetamol 120 mg/5 cc)


1. Farmakokinetik
 Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan
pengosongan lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai
dalam waktu 30-60 menit.
 Distribusi : Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma

34
 Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah
menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi
tidak efektif.
 Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.
2. Farmakodinamik
 Parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang mempunyai efek
mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).
Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat impuls/
rangsang nyeri di perifer. Parasetamol menurunkan demam dengan cara
menghambat pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus.
 Parasetamol merupakan penghambat enzim COX (cyclooxygenase)-1
dan COX-2 yang lemah di jaringan perifer dan hampir tidak memiliki
efek anti-inflamasi/anti-radang. Hambatan biosintesis Prostaglandin
(PG) hanya terjadi bila lingkungan yang rendah kadar peroksida seperti
di hipotalamus sedangkan lokasi inflamasi biasanya mengandung
banyak peroksida yang dihasilkan leukosit, hal inilah yang menjelaskan
efek antiinflamasi parasetamol tidak ada. Studi terbaru menduga
parasetamol juga menghambat COX-3 di susunan saraf pusat yang
menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.
3. Indikasi
 Mengurangi nyeri pada kondisi : sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi,
nyeri pasca operasi minor, nyeri trauma ringan.
 Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai penyakit. Pada
kondisi demam, parasetamol hanya bersifat simtomatik yaitu
meredakan keluhan demam (menurunkan suhu tubuh) dan tidak
mengobati penyebab demam itu sendiri.
4. Kontraindikasi
 Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif atau alergi
terhadap Parasetamol.
 Penderita gangguan fungsi hati berat.
5. Sediaan dan Dosis

35
Paracetamol Sirup 120 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 120 mg.

6. Dosis yang umum diberikan :


Dosis paracetamol untuk dewasa 300 mg-1 g perkali, dengan
maksimum 4 gram per hari. Untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali,
dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali dan
bayi di bawah 1 tahun: 60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6
kali sehari.
7. Efek Samping
 Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.
 Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan
kerusakan hati.
 Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak
di wajah (mata, bibir), sesak napas, dan syok.
8. Peringatan dan Perhatian
 Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, perlu observasi lebih lanjut.
 Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Penggunaan paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan dapat
menyebabkan efek samping yang serius dan overdosis.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada penderita penyakit hati/liver,
penyakit ginjal dan alkoholisme. Penggunaan Parasetamol pada
penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko
kerusakan fungsi hati.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada penderita G6PD (Glukosa-6-
Fosfat Dehidrogenase) deficiency.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada wanita hamil dan ibu
menyusui. Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari
pada risiko janin atau bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI
namun efek pada bayi belum diketahui pasti (Katzung, 1998).

36
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Amebiasis adalah penyakit infeksi parasit yang seringkali asimptomatik,
tetapi membutuhkan tata laksana yang segera dan tepat, yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan infeksi. Tata laksana tersebut mencakup
farmakoterapi (simptomatis dan kausatif) dan non-farmakoterapi (seperti
program diet, bed rest, maupun pembedahan). Prognosis sangat ditentukan oleh
rangkaian tata laksana.

B. Saran
Sebagai seroang tenaga medis, sebaiknya tidak hanya memberikan
tatalaksana dari aspek kuratif saja untuk kasus Amebiasis ini karena
sebenarnya kasus ini bisa dicegah dengan menjaga higienitas makanan,
minuman, dan lingkungan tempat tinggal.

37
DAFTAR PUSTAKA

Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF (2000). Gender distribution in


asymptomatic and invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. 95(5):1277-83

Andayasari L (2011). Kajian epidemiiologi penyakit infeksi saluran pencernaan


yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. MEDIA penelitian dan
pengembangan kesehatan, 21: 1-8.

CDC (2013). Amebiasis. http://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011). Buku Saku Petugas


Kesehatan : Lima Langkah Tuntaskan Diare. Jakarta: Penerbit Departemen
Kesehatan RI.

Dhawan VK (2015). Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029-


overview/- Diakses Oktober 2018

Pusat Informasi Obat Nasional (2015). http://pionas.pom.go.id/- Diakses Oktober


2018

Redaelli M, Mahmoohdzad J, Lang R, Schencking M (2013). Globalised world,


globalised diseases: A case report on an amoebiasis-associated colon
perforation. World J Clin Cases, 16; 1(2): 79–81.

Reed SL (2012). Amebiasis. Dalam: Isselbacher KJ, Wilson JD, Fauci AS, Kasper
D (2012). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrison’s. Singapura: Mc-
Graw Hill

Safar R (2009). Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Yrama Widya

Soewondo ES (2010). Amebiasis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Setiati S (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta:
Interna Publishing

Stanley SL Jr. Amebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.

38

Vous aimerez peut-être aussi