Vous êtes sur la page 1sur 14

1

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,
Puji syukur Kami ucapkan kepada Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
kepada kami semua sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam senantia saya curahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw yang
telah membawa umatnya dari jaman kegelapan hingga jaman yang terang benderang seperti saat
ini
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangundemi
kesempurnaan penulisan makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata
kuliah agama Bapak KH. Abdul Muchith
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan
kita dalam mempelajari “Sumber-sumber hukum islam ” serta dapat digunakan sebagaimana
mestinya.

Jakarta ,20 September 2018

2
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ……………………………………………………. 2
DAFTAR ISI ……………………………………………………. 3

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 4
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………. 4
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………. 4

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Quran ……………………………………………………. 5-7
2.2 Pengertian Al-Hadist ……………………………………………………. 7-9
2.3 Pengertian Ijtihad ……………………………………………………. 9-12

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………….13
3.2 Saran …………………………………………………….13

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama
mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya,
Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu
yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat
yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau
pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam
bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat
Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam
(akidah, syari‟ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya. Mempelajari agama I
slam merupakan fardhu ‟ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh
akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim
Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum
islam, setelah Alquran dan hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan
memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia
yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan
ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa saja sumber hukum islam?

2.Bagaimana kedudukan sumber hukum islam itu?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana pembelajaran untuk lebih memahami
sumber-sumber hukum islam.
Melalui makalah ini diharapkan dapat menjadi penambah wawasan agar lebih mengetahui apa
saja sumber hukum islam itu. Selain itu , penulisan makalah ini ditujukan pula untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI).

4
BAB II

SUMBER HUKUM ISLAM

2.1 Al-Qur’an

1. Pengertian Al-Qur’an 


Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur‟an berasal dari kata “qara-yaqrau- qur anan” artinya
bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur‟an adalah Kalmullah
sebagai mu‟jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan
bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah. Diawali
dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas. 


2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an 


Pokok-pokok isi Al-Quran yaitu :


 Aqidah terdapat akidah islam atau tauhid
 Ibadah dan muamalah terdapat perintah Allah untuk menyembah kepadanya dan semua
kegiatan hidup manusia yang dikerjakan dengan niat ikhhlas
 Akhlak didalam al quran terdapat pokok-pokok isi yang mejelaskan tentang akhlak
 Hukum didalam al quran Allah swt menunjukan hukum-hukum dalam Al-Quran tentang
perintah dan larangan
 Sejarah didalam al quran mengungkapkan sejarah zaman dahuu seperti kisah para nabi
dan rasul serta umatnya
 Dasar-dasar ilmu pengetahuan,didalam al-Quran terkandung banyak dasar-dasar ilmu
pengetahuan yang dapat diambil dan diamalkan oleh manusia.

3. Dalil Naqli

Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan
kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua perintah-Nya dan wajib ditinggalkan
segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :

Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan

5
janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang- orang yang khianat". (An-Nisa
:105).

4. Kedudukan Al- Quran

 Quran merupakan sumber hukum yang pertama dalam Islam sehingga semua
penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Berbagai persoalan
yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat harus diselesaikandengan
berpedoman pada Al Quran.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa [4] ayat 59 sebagai berikut.

 Al Quran merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan umat manusia
menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Al Quran akan membimbing
manusia ke jalan yang benar.
 Al Quran sebagai Asy-Syifa merupakan obat penawar yang dapat menenangkan dan
menentramkan batin.
 Al Quran sebagai An Nur merupakan cahaya yang dapat menerangi manusia dalam
kegelapan.
 Al Quran sebagai Al Furqon merupakan sumber hukum yang dapat membedakan antara
yang hak dan batil.
 Al Quran sebagai Al Huda merupakan petunjuk ke jalan yang lurus. Al Quran juga
merupakan rahmat bagi orang yang selalu membacanya.

6
2.2 Al-Hadits


1. Pengertian Al-Hadits

Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”, atau ”warta” yaitu
sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
(persetujuan) beliau.
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits

Macam-macam hadits dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan ujung sanad

 Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada


Nabi Muhammad Saw.
 Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada
tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
 Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus).

2. Berdasarkan keutuhan rantai/ lapisan sanad

 Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki
hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur
memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
 Hadits Mursal yaitu bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in
menisbatkan langsung kepada Rasulullah Saw.
 Hadits Munqati' yaitu bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
 Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
 Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.

3. Ditinjau dari surut perawinya

 Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai
pada Nabi Muhammad SAW.
 Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas.
Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
 ·Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada
nabi muhammad.
 Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga
tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

7
4. Berdasarkan tingkat keaslian hadits.

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan
kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan
hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi :

 Hadits shahih yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.


 Hadits hasan yakni bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
 Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang
tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
 Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya
dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.[10]

3. Dalil Al-Hadits

Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu
sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya
dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab
Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk- nepuk belakangan
Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang
Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan Al-Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasul bersabda:

8
Artinya: "Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa Ar-
Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.
(HR. Abu Daud dan Ibun Majah).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits
sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh
kepada Al-Qur'an.

2.3. Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala
kemampuan untuk menanggung beban. Menurunkan bahasa, ijtihadd aritinya bersunggu-sunggu
dalam mencurahkan pikiran.
Adapun menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
bersungguh-sunggu untuk menetapkan suatu hukum.Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila
tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu perkerjaan.
Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat
melalui metode tertentu.

Jadi dengan demikian, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan
hukum syara‟ dengan jalan istinbath ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid
dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syariat.
Berdasarkan definisi di atas, maka ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang
tidak ada dalilnya yang qoth'i, atau tidak ada dalilnya sama sekali.

1. Hukum ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam, yaitu :
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan
hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sndiri mengalami suatu peristiwa yang ia seniri
juga ingin mengetahui

hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan seseuatu itu tidak hilang
sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban

9
mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya,
maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.

2. Kedudukan hasil ijtihad

Hasil ijtihad merupakan pendapat yang bersifat zanni ( dugaan kuat ). Hasil ijtihad itu
mempunyai akibat hukum, baik bagi orang yang bertanya maupun bagi mujtahidnya sendiri.
Sedangkan bagi kaum muslimin, hasil ijtihad itu tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang
lain untuk mengikutinya. Bahkan pendapat hasil ijtihad seseorang, tidak menghalangi orang lain
untuk berijtihad dan menghasilkan pendapat yang berbeda.
Kecuali seorang gadli atau hakim yang telah memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri
tidak boleh membatalkan keputusan selama keputusan pertama tidak menyalahi nash atau dalil
qath'i.
Sifat dasar ijtihad yang demikian itu, membolehkan seorang mujtahid atau orang lain untuk
meninjau ulang atau melakukan ijtihad baru untuk menetapkan hukum baru.

4. Syarat-syarat mujtahid

Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :


a. Syarat umum
1). Beriman

2). Mukallaf

3). Memahami masalah

b. Syaratkhusus
1). Mengetahui ayat-ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, dalam
hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul, musytarak, dan sebagainya.
2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui
asbabul wurud, dan dapat mengemukakan hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih
Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain.
3). Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia
dan akhirat.
4). Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil
syara‟.
5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
6). Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar‟I dan cara-cara mengistinbathkan
hukum.
7). Mengetahui ilmu mantiq.

8). Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bar‟ah ashliyah.
9). Mengetahui soal-soal ijma‟, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan
ijma‟.

c. Syarat pelengkap

10
1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath‟I yang berkaitan dengan masalah yang akan
ditetapkan hukumnya.
2). Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para „ulama‟dan yang akan mereka
sepakati.
3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
5. Tingkatan-tingkatan mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid
itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam,
yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi
persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum
syara‟, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa pun. Seperti madzahibul arba‟ ( Imam
Hanafi, Syafi‟i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal ). 

b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna,
tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan
mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak
mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut. 

c. Mujtahid Fil Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengambil
metode yang digunakan oleh Imam Mazhab tertetu dan ia juga mengikuti Imam Mazhab
dalam masalah furu'. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh
Imam Mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri. 

d. Mujtahid Murajjih, atau dalam istilah lain orang yang mentarjih, yaitu mujtahid yang
dalam menggali dan menetapkan hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih
(memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabannya tentunya dengan
mengambil dasar hukum 
 yang lebih kuat.

5. Bentuk-Bentuk Ijtihad

Beberapa bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam adalah sebagai berikut.
 Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama Islam (cendekiawan muslim) dalam menetapkan
sual masalah yang tidak diterangkan oleh A1 Quran dan hadis setelah Rasulullah saw.
wafat dengc tata cara bersidang (musyawarah). (Qs.An Nisa:59)
 Qiyas
Qiyas (analog) adalah menetapkan hukum suatu persoalan atau masalah yang belum
disebutkan secara konkret dalam Al Quran dan hadis dengan cara menyamakan
hukumnya dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya secara jelas karena
kedua masalah itu memiliki kesamaan sifat.(QS Al-Isra:23)
 Istihsan (Istislah)
Istihsan (istislah) yaitu menetapkan hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara
rinci dalam Al Quran dan hadis yang didasarkan atas kepentingan (kemaslahatan) umum
dan demi keadilan.
 Istishab

11
Istishab yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan
karena adanya suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum
tersebut.
 Istidlal
Istidlal yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak disebut secara tegas dalam
Al Quran dan hadis dengan didasarkan bahwa hal tersebut telah menjadi adat istiadat atau
kebiasaan dalam masyarakat sebelumnya seperti beberapa hukum-hukum Allah yang
diwahyukan sebelum Nabi Muhammad saw.
 Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, maslahah mursalah artinya kebaikan yang terbesar. Adapun menurut
istilah, maslahah mursalah adalah perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan
sesuai dengan maksud svara dan hukumnya tidak diperoleh dari pengajaran dalil secara
langsung dan jelas. Umpamanya, seseorang wajib untuk mengganti atau membayar
kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan yang terjadi di luar kesepakatan yang
telah ditetapkan.
 Urf
Urf (adat) adalah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan
nidupnya dan telah menjadi kebiasaan atau tradisi.
 Zara’i
Zara’i menurut lugat (bahasa) berarti wasilah, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang menjadi
jalan untuk mencapai maslahah atau jalan untuk menghilangkan mudarat.

6. Fungsi Ijtihad

Muhammad Ma’ruf Ad Dawalibi menyimpulkan Rasulullah saw. menempatkan ijtihad


sebagai sumber hukum ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan sunah. Kedudukan ijtihad
begitu penting dalam ajaran Islam karena ijtihad telah dapat dibuktikan kemampuannya dahrr
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad
saw. sampai sekarang. Melalui ijtihad, masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan oleh Al
Quran maupun sunah dapat dipecahkan. Melalui ijtihad, ajaran Islam telah berkembang
sedemikian rupal menuju kesempurnaannya, bahkan ijtihad merupakan daya gerak kemajuan
umat Islam. Artinya ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.

Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut:


 Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan hadis.
 Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul
dengan tetap berpegang pada Al Quran dan sunah.
 Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang disyariatkan untuk menyesuaikan
perubahan- perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
 Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari
jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini.
a.) Masalah asasi yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-
masalah di bidang akidah dan muamalat.
b.) Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan negara dan bangsa.
c.) Masalah insidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam menentukan hukum, islam sangatlah sistematis yang pertama dalam menentukan hukum
islam menggunakan Al-Qur‟an terlebih dahulu. Al- Quran dalam menetapkan hukum tidak
memberatkan, memminimalisisr beban dan berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Kemudian Al-Hadist dan yang terakhir adalah sumber hukum pelengkap yang salah satunya
ijtihad.

13
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dr. H. Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahn dan Fleksibilitasnya, Jakarta,
Sinar Grafika, 1995.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Arrisalah, Bandung, 1985
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995
A.Hanafi, Ushul Fiqih, Bumirestu, Jakarta, 1981
 A.Syafi‟i Karim, Ushul Fiqih, Pustaka Setia,
Bandung, 2006
Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqih Syiyasah, Pustaka Setia, Bandung, 2007

14

Vous aimerez peut-être aussi