Vous êtes sur la page 1sur 13

PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PROFESI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKes HANG TUAH


PEKANBARU TAHUN AJARAN 2018/2019

LAPORAN PENDAHULUAN
(ATRESIA ANI)
Nama : Sri Yuliani Putri
NIM : 18091025
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009). Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau
sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto, 2001).
2. Etiologi/faktor risiko
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli
masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai
gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua
yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % -
30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas
kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa
risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan
kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga
menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien
dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda
dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia
ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
3. Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
4. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan
anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan
fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir
tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui
fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler).
Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal.
Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005).
6. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan

7. Web of cautions
Kelainan kogenital

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Ketidakseimbang Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal


an Nutrisisisa
Reabsorbsi < Gang. Eliminasi
Nyeri Perawatan tidak
Kebutuhan Tubuh
metabolisme Abnormalitas
Inkontinensia
spingter Gang. Urine
Mual,
Keracunan Gang.
muntah Feses
Resiko Rasa Nyaman
kerusakan
Menumpuk Operasi
kulit Anoplasti adekuat
Feses Trauma
Resiko
Dysuria
Rasa
Masuk nyaman
jaringan
KeInfeksi
Uretra
Nyeri
Mikroorganisme masuk ke
Peningkatan Tekanan saluran kemih
Intraabdominal

Ansietas Perubahan Defekasi:


Pengeluaran Tak
Terkontrol
Iritasi Mukosa

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk
berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan
dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan
lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan
sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari
diketahui bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam
karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ
yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan
mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun.
Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari
dengan karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung
berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi
sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali
seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak
dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat
dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan
fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan
dilatasi pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan
dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang
tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus
lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung
rektum uang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan
rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa
neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan
pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat
untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan
rekonstruktif dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang
bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum
yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain,
kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon
sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang
dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu pada
usia 1 tahun, anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan,
dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen setelah bayi
berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari
setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di
rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan jari
telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan
pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk
kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through
seperti kasus pada megakolon congenital.
c. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk
mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk
daya tahan tubuh.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani
3. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
 Nadi : 120 – 140 kali per menit
 Tekanan darah : normal
 Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC
 Pernafasan : 30 – 40 kali per menit
 BB : > 2500 gram
 PB : normal
c. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal
Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen
Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen
6) Sistem perkemihan
Terdapat mekonium di dalam urin.
2. Data Fokus
Data Subjektif Data Objektif
 Ibu klien mengatakan anaknya  Perut klien kembung
muntah-muntah pada umur 24-48  Tidak terdapat lubang anus/salah
jam kelahiran letak pada klien
 Ibu klien mengatakan anaknya tidak  Terdapat feses yang keluar bersama
mengeluarkan mekonium melalui urin
lubang anus

3. Analisa Data

Data Masalah Etiologi


DS: Ketidakseimbangan Kegagalan intake
Ibu klien mengatakan bahwa nutrisi kurang dari makanan (ASI)
ananknya sering muntah kebutuhan tubuh
DO:
Anak menangis, mual, perut
kembung, menolak pemberian ASI
DO : Gangguan eliminasi Feses masuk ke uretra
Feses keluar bersamaan dengan urine (dysuria)
urine
DS : Cemas orang tua Kurangnya
Ibu klien mengatakan bahwa pengetahuan terkait
dirinya bingung melihat kondisi penyakit anak
sang anak

DO: Kerusakan Integritas Pemasangan


Terpasang kolostomi pada klien Kulit Kolostomi
DS: Nyeri akut Trauma jaringan
Ibu klien mengatakan bahwa anak
menangis
DO:
Klien terlihat lemas dan tidak
nyaman

DO: Inkontinensia defekasi Abnormalitas sfingter


BAB klien tidak terkontrol rektal
sebagaimana normalnya
DS: Resiko Infeksi Trauma jaringan post
Ibu klien mengatakan bahwa luka operasi
pada anaknya memerah dan seperti
terjadi peradangan
DO:
Ada tanda-tanda radang pada
daerah post operasi antara lain:
rubor, dolor, calor, tumor
Pasien terlihat tidak nyaman

4. Diagnosa Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi < dari
kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan
mencerna makanan (mual, muntah)
2. Gangguan eliminasi urine b.d. obstruksi
anatomik (atresia ani), dysuria
3. Kecemasan orangtua b.d. kurangnya
pengetahuan terkait penyakit anak
4. Kerusakan integritas kulit b.d.
pemasangan kolostomi
5. Nyeri akut b.d trauma jaringan pasca
operasi
6. Inkontinensia defekasi b.d abnormalitas
sfingter rektal
7. Resiko infeksi b.d trauma jaringan pasca
operasi, perawatan tidak adekuat
3.3 Intervensi
Intervensi
No Dx. Kep Tujuan dan NOC Tindakan Keperawatan/NIC

1. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Memonitor mual dan


kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam muntah
ketidakmampuan mencerna diharapkan kebutuhan nutrisi 2. Kaji kemampuan klien
makanan klien terpenuhi dengan kriteria untuk mendapatkan nutrisi
hasil: yang dibutuhkan
 Mampu mengidentifikasikan 3. Memonitor status gizi
kebutuhan nutrisi (4) 4. Kolaborasi dengan dokter
 Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi (4)

2 Gangguan eliminasi urine Setelah dilakukan asuhan 1. Memantau tanda-tanda


b.d. obstruksi anatomik keperawatan selama 1x24 jam vital dan tingkat distensi
(atresia ani), dysuria diharapkan gangguan elimnasi kandung kemih dengan
urine dapat teratasi kriteria palpasi dan perkusi
hasil: 2. Periksa dan timbang popok
 Kandung kemih pasien klien
kosong secara penuh (4) 3. Melakukan penilaian pada
 Intake cairan dalam fungsi kognitif
rentang normal (4) 4.
 Bebas dari ISK (4)

3 Kecemasan orang tua Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status mental dan
berhubungan dengan kurang keperawatan 1x24 jam tingkat ansietas dari klien
pengetahuan tentang penyakit diharapkan rasa cemas orangtua dan keluarga.
dan prosedur perawatan dapat hilang atau berkurang. 2. Dengarkan dengan penuh
Kriteria Hasil: perhatikan
1.) Ansietas berkurang 3. Jelaskan dan persiapkan
2.) Ibu klien tidak gelisah untuk tindakan prosedur
sebelum dilakukan operasi.
4. Beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan isi
pikiran dan bertanya.
5. Ciptakan lingkungan yang
tenang dan nyaman.

4 Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Hindari kerutan pada tempat
b.d. pemasangan kolostomi keperawatan selama 1x24 jam tidur
diharapkan kerusakan integritas 2. Jaga kebersihan kulit agar
kulit dapat berkurang kriteria tetap bersih dan kering
hasil: 3. Monitor kulit akan adanya
 Integritas kullit yang baik kemerahan
bisa dipertahan-kan (4) 4. Oleskan lotion/baby oil pada
 Perfusi jaringan baik (3) daerah yang tertekan
 Menunjukan pemahaman 5. Monitor status nutrisi klien
dalam proses perbaikan
kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
(4)
5 Nyeri akut b.d trauma Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi reaksi nonverbal
jaringan (post operasi) keperawatan selama 1x24 jam dari ketidaknyamanan
diharapkan nyeri akut dapat klien
berkurang kriteria hasil: 2. Bantu klien dan keluarga
 Klien tampak nyaman dan untuk mencari dan
tenang (4) menemukan dukungan
3. Kontrol lingkungan yang
dapat memengaruhi nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter
terkait pemberian analgesik
6 Inkontinensia defekasi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Intruksikan keluarga untuk
abnormalitas sfingter rektal keperawatan 1x24 jam mencatat keluaran feses
diharapkan pengeluaran defekasi 2. Jaga kebersihan baju dan
terkontrol dengan kriteria hasil: tempat tidur
 Defekasi lunak, feses 3. Evaluasi status BAB secara
berbentuk (4) rutin

7 Resiko infeksi b.d trauma Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala
jaringan, perawatan tidak keperawatan selama 1x24 jam infeksi sistemik dan lokal
adekuat diharapkan klien bebas dari 2. Batasi pengunjung
tanda-tanda infeksi dengan 3. Pertahankan teknik cairan
kriteria hasil: asepsis pada klien yang
 Klien bebas dari tanda dan beresiko
gejala infeksi (4) 4. Inspeksi kondisi luka/insisi
 Jumlah leukosit dalam bedah
batas normal (4) 5. Ajarkan keluarga klien
tentang tanda dan gejala
infeksi
6. Laporkan kecurigaan infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nuraruf Amin, dkk. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Lynn, Betz Cecily, dkk. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta.
EGC
Marlaim. (2002). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. (2009). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta.
Trans Info Media

Vous aimerez peut-être aussi