Vous êtes sur la page 1sur 7

VILEP

ASKEP GADAR ENDOKRINDIGESTIF

Algoritme Manajemen Koma Hepatikum

Disusun oleh :
CHANDRA ANGGARA
NIM. P07220215012

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2018
ALGORITMA KOMA HEPATIKUM

Etiologi: infeksi akut, alkohol, perdarahan pada pencernaan,


obstipasi, serta absorpsi amonia.

Tanda dan Gejala: terjadi perubahan status mental, perubahan


neuromuskuler, perubahan tingkah laku serta mood

Pengkajian
Sekunder Primer

B1 (Breath) : Dispnea (<16 x/menit) Airway


B2 (Blood) : Anemia Periksa sumbatan jalan napas
B3 (Brain) : Kesadaran menurun (delirium Breathing
hingga koma) Periksa frekuensi, suara,
B4 (Bladder) : Urin berwarna kuning tua kualitas dan pola napas
dan berbuih Circulation
B5 (Bowel) : Anoreksia, mual, muntah, Periksa tanda-tanda vital, CRT,
nyeri abdomen pitting edema, dan akral
B6 (Bone) : Keletihan, metabolisme tubuh ekstremitas
meningkat

Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV

Terjadi euforia, Terjadi Penderita  Penderita seperti


kadang depresi, peningkatan dr kebanyakan tidur, tidur, tidak dapat
kadang stadium I dimana masih dapat dibangunkan (timbul
kebingungan, dijumpai letargi, dibangunkan, refleks hiperaktif dan
daya reaksi yg perubahan pola berbicara ngawur, tanda babinsky).
lambat, tingkah laku, sangat kebingunan,  Std IVA dimana
gangguan pola disorientasi, asterixis masih ada penderita
tidur, apatis, inkontinensia, (kalau kooperatif), memberikan reaksi
kadang sudah asterixis yg jelas kadang-kadang bila dirangsang.
ditemukan dijumpai  Std IVB dimana
asterixis. agitasi/gelisah penderita sama sekali
tidak memberikan
reaksi.
Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif

 Pantau kesadaran klien


 bed rest total dengan posisi supine
tanpa bantall
 Monitor tanda-tanda vital

Penatalaksanaan Stadium I-II Penatalaksanaan Stadium III-IV

 Diet rendah protein (nabati 20  Perlu perawatan suportif yang intensif,


gram/hari), jika fase akut terlewati yaitu dengan memperhatikan posisi
tambahkan 10 gram secara bertahap berbaring, bebaskan jalan nafas,
sampai 40-60 gram/hari pemberian oksigen, pasang kateter forley.
 Laktulosa peroral: 30-50 cc tiap  Pemantauan kesadaran, keadaan
jam, diberikan secukupnya sampai neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan
terjadi diare ringan. ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta
 Antibiotika : neomisisn 4x1- asam dan basa.
 Laktulosa per NGT dosis 30-50 cc tiap
2gram/hari, peroral
jam, diberikan secukupnya sampai terjadi
Rifaximin (derifat rimycin), dosis : diare ringan.
1200 mg per hari selama 5 hari  Antibiotika : neomisisn 4x1-
dikatakan cukup efektif. 2gram/hari,Rifaximin (derifat rimycin),
 L-dopa : 0,5 gram peroral tiap 4 dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari
jam. dikatakan cukup efektif melalui NGT
 L-dopa : 0,5 gram tiap 4 jam melalui NGT
 Pembedahan elektif : colon by pass,
transplantasi hati, khususnya untuk
ensefalopati hepatik kronik stadium III-IV.
 Diet tanpa protein

Jika ada perubahan lakukan observasi dan klien


dapat dirawat diruangan inap

Namun jika tidak ada perubahan klien


dipindahkan ke ruangan Intensif (ICU)
A. Pendahuluan
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati,
seperti hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis autoimun, nonalcoholic
steatohepatitis (NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis, terjadi penurunan fungsi
sintesis hati, penurunan kemampuan hati untuk detoksifi kasi, dan hipertensi portal
dengan segala penyulitnya.1 Salah satu komplikasi yang perlu diwaspadai ialah
ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri
yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit
intrinsik hepar. Pasien EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari
kelainan psikologik ringan hingga koma dalam.

B. Tatalaksana
Penatalaksanaan umum adalah dengan memperbaiki oksigenasi jaringan.1
Penataksanaan khusus adalah dengan mengatasi faktor pencetus koma hepatik, misalnya
asupan protein dikurangi atau dihentikan sementara, kemudian baru dinaikkan secara
bertahap.1,2 Namun, pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam
penatalaksanaan EH. Sumber protein yang diberikan pada ensefalopati hepatik terutama
merupakan asam amino rantai cabang dengan harapan neurotransmiter asli dan palsu akan
berimbang, dan dengan ini, metabolisme amonia di otot dapat bertambah. Selain itu,
diberikan laktulosa dengan dosis 10-30 ml, 3 kali/hari dengan harapan pH asam pada usus
akan menghambat penyerapan amonia. Sterilisasi usus juga harus dilakukan dengan
pemberian neomisin 4 x 1-2 gram/hari per oral.
L-ornitin-L-aspartat (LOLA) saat ini sudah mulai banyak digunakan untuk mengatasi
EH, karena terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah.21,23 Dengan adanya LOLA,
maka upaya menurunkan kadar amonia darah tidak perlu melalui pembatasan asupan
protein. Protein yang tidak dibatasi akan menguntungkan penderita EH yang malnutrisi,
karena status nutrisi dapat diperbaiki tanpa kuatir terjadi EH.22 LOLA bekerja melalui
stimulasi siklus urea, maka tidak dianjurkan pada gangguan fungsi ginjal dengan kadar
kreatinin di atas 3 mg/ dL.
Karena EHM dan malnutrisi meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada sirosis
hati, maka perlu dipikirkan pemberian LOLA bersama-sama dengan upaya perbaikan
gizi. Ndraha, dkk.22,24 dalam penelitiannya telah melaporkan manfaat pemberian LOLA
dan diet protein 1,5 g/kgBB/hari pada EHM di Indonesia. Dalam penelitiannya, pada
sirosis hati dengan malnutrisi, pemberian LOLA digabungkan dengan perbaikan gizi
bersama substitusi asam amino rantai cabang (AARC), dengan perbaikan klinis dan
parameter laboratorium yang signifi kan. Didapatkan peningkatan kadar prealbumin yang
merupakan parameter perbaikan status nutrisi, dan peningkatan nilai CFF yang
merupakan parameter perbaikan ensefalopati hepatik.

C. Pernana LOLA
LOLA adalah garam asam amino ornitin dan aspartat yang stabil dan telah terbukti
menurunkan kadar amonia darah dan memperbaiki psychometric performance pasien EH
dengan hiperamonia. LOLA menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin, yang
merupakan mekanisme penting dalam detoksifi kasi amonia (Gambar 4).21
Pada hepatosit periportal, amonia akan diubah menjadi urea melalui siklus urea.
Ornitin berfungsi mengaktifkan enzim carbamyl phosphate synthetase (Cbm-P), sehingga
siklus urea bisa berlangsung, di samping itu ornitin juga menjadi substrat dalam siklus
urea itu sendiri. Pada hepatosit perivenous, amonia akan diubah menjadi glutamin melalui
siklus glutamin. Aspartat berfungsi membentuk dan mengaktifkan enzim glutamin
sintetase, di mana enzim tersebut akan mengubah amonia menjadi glutamin. Pada sirosis,
sel hati yang sehat tinggal sedikit sehingga dibutuhkan lebih banyak ornitin dan aspartat
untuk mengimbangi detoksifikasi secara cepat. Demikian juga pada organ lain
membutuhkan tambahan ornitin dan aspartat yang dibutuhkan juga dalam siklus glutamin.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Chronic Liver Failure – Management. Alamat web:


https://www.aci.health.nsw.gov.au/networks/eci/clinical/clinical-resources/clinical-
tools/gastroenterology/chronic-liver-failure/chronic-liver-failure-management. Diakses
pada tanggal 05 September 2018.

Ndraha, Suzanna. 2015. Ensefalopati Hepatikum Minimal. Alamat web:


http://www.kalbemed.com/portals/6/08. Diakses pada tanggal 05 September 2018.

Vous aimerez peut-être aussi