Vous êtes sur la page 1sur 14

AKHLAK TASAWUF

PEMIKIRAN TASAWWUF SEORANG SUFI

Dosen Pengampu :

Dr. Ja’far, M.A

OLEH

NAMA : SASCIA MAHARANI ADITA

ALAMAT EMAIL : sasciamaharani2105@gmail.com

NIM : 0309183114

KELAS : PENDIDIKAN IPS 3

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN TASAWUF

Tasawwuf berasal dari kata Sufi .Dan kata Sufi berasal dari bahasa arab. Kata Suf ( ‫(صوف‬
yaitu kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar
dan bukan wol halus seperti sekarang. Hal ini adalah symbol kesederhanan dan kemiskinan.
Kaum sufi hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, Inilah
yang diterima sebagai asal kata sufi. Tasawwuf secara umum merupakan filsafat kehidupan
dan jalan tertentu dalam berprilaku yang digunakan oleh manusia untuk mencapai
kesempurnaan akhlaknya, spiritual hakiki sekaligus kebahagian rohaninya. Setiap sufi
mengganggap pengalamannya dalam frame, bingkai kerangka yang ada dimasyarakatnya
yang berupa akidah maupun pemikiran. Jadi pengalaman sufistik secara substansi sebenarnya
adalah satu, sehingga perbedaan satu sufi dengan sufi lainya tidak lain disebabkan oleh
penafsiran terhadap pengalaman tersebut yang dipengaruhi oleh peradaban setempat.

Tasauf atau sufisme adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada
Tuhan melaui penyucian dirinya. Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ketingkat
melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan. Bersatunya seorang
sufi dengan tuhan adalah perjalan panjang dan penuh halangan. Karena itu sedikit sekali
orang yang bisa sampai kepuncak tujuan tasawuf itu. Jalan menuju tingkat makam atau
stasion itu di Indonesia dinamakan tarekat. Tarekat itu sendiri berasal dari bahasa arab yaitu
Thariqah artinya adalah jalan, atau “Suluk”

Harun Nasution(1995) menyebutkan Jalan jalan tarikat itu bernama:

Menurut Al-Kalabidalam kitab Atta’arruf li mazhab al tasawwuf

( ‫ = ) التعرف لمذهب أهل التصوف‬TOBAT-Zuhud-Sabar- Fakir-Tawadu’-Taqwa-Tawakal-


Redha(Kerelaan)-Mahabbah-MAKRIFAT

Abu Nasar attusi dalam bukunya alluma’( ‫ = ) اللمع‬TOBAT- Wara’-Zuhud- Fakir-Sabar-


Tawakal- REDHA

Gazhali dam ihya ulumuddin ( ‫ ) اإلحي علوم الدين‬TOBAT-Sabar-Fakir-Zuhud-Tawakal-Cinta-


Makrifat- REDHA

Al-qusairi = TAUBAT-Wara’-Zuhud-Tawakal-Sabar-REDHA
(umum dipakai) = TAUBAT-zuhud-sabar-tawakal- REDHA

CINTA-ma’rifat-fana-baqa-ITTIHAT atau Hulul atau wahdatul wujud (bersatu dng Tuhan)

Istilah HAL(bukan Makam)= takut-tawadu’- taqwa (patuh)- ikhlas- al-insa ( ‫) اإلنس‬-


wujud(gembira hati)- syukur

Hal = Anugerah dan rahmat dari Tuhan hasil usaha amalan tasauf yang dilakukan manusia
bersifat kekal

Maqam = Anugerah dan rahmat dari Tuhan hasil usaha amalan tasauf yang dilakukan
manusia bersifat sementara ,datng dan pergi.

Pemikiran Tasawwuf terbagi dua kepada Tasawwuf Agama ( sunni) dan tasawwuf falsafi
.Tasawwuf agama adalah fenomena umum dalam semua agama, Tasawwuf falsafi adalah
tasawwuf yang bercampur dengan filsafat sebagaimana yang terjadi pada sufi Kristen (
seperti al-hallaj sering menyebut-nyebut istilah Kristen dalam ucapannya ( lahut, nasuth dll,
dan sufi islam.dan juga mainstream rasional dan tasauf.

B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TASAWWUF

Ajaran tasawwuf merupakan fenomena spiritual dan kultural yang tunduk kepada berbagai
factor dan dipengaruhi oleh fenomena – fenomena sosial. Bagi seorang sufi tingkah laku
Rasulullah dan para sahabatnya merupakan panutan yang terbaik. Akan tetapi lingkungan
juga mempengaruhi mereka. Factor factor yang mempenagruhi tasawwuf islam adalah :

1. Faktor internal

Factor internal yang mempengaruhi para sufi adalah Al-quran, diantaranya adalah ayat ayat
itu adalah QS almuzammil ayat 1-9 yang berbunyi:

ً‫سنُ ْل ِقي َعلَيْكَ قَ ْوالً ثَ ِقيال‬َ ‫ص ِم ْنهُ قَ ِليالً * أ َ ْو ِزدْ َعلَ ْي ِه َو َرت ِل ْٱلقُ ْرآنَ ت َْرتِيالً * ِإنَّا‬ ْ ‫ٰيأَيُّ َها ْٱل ُم َّزم ُل * قُ ِم ْٱللَّ ْي َل ِإالَّ قَ ِليالً * ن‬
ْ ُ‫صفَهُ أَ ِو ٱنق‬
ُّ‫ط ِويالً * َوٱذْ ُك ِر ٱس َْم َربكَ َوتَ َبتَّ ْل ِإلَ ْي ِه تَ ْبتِيالً * َّرب‬ َ ً ‫س ْب َحا‬َ ‫ار‬ ِ ‫طأ ً َوأ َ ْق َو ُم قِيالً * ِإ َّن لَكَ فِي ٱلنَّ َه‬
ْ ‫شدُّ َو‬
َ َ ‫ِي أ‬
َ ‫ٱلل ْي ِل ه‬َّ َ‫* ِإ َّن نَا ِشئَة‬

ِ ‫ق َو ْٱل َم ْغ ِر‬
ً‫ب الَ ِإلَ ٰـهَ ِإالَّ ه َُو فَٱت َّ ِخذْهُ َو ِكيال‬ ِ ‫ْٱل َم ْش ِر‬

Hai orang yang berselimut (Muhammad)

Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya),

(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.


Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di
waktu itu lebih berkesan.

Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).

Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.

(Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Maka ambillah dia sebagai Pelindung.

2. Faktor Ekternal

Faktor diluar yang dimaksud adalah masa dimana sufi itu hidup.Seperti masalah politik,
social masyarakat.dan kondisi keluarga sufi.

C. LANDASAN TASAWWUF DALAM AL-QUR’AN

Mengenai tasawuf, beberapa sufi menyandarkan pengertian dan dasar-dasarnya kepada ayat-
ayat Al-Quran. Ajaran tasawuf diidentikkan dengan ajaran islam walaupun agama lain juga
memiliki hal yang serupa dengan tasawuf. Berikut adalah ayat-auat Al-Quran yang berkenaan
dengan dasar tasawuf menurut para sufi:

QS Al Baqarah : 115

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

QS Al Baqarah : 186

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),


bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

QS Qof : 16

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
QS Al Kahfi : 65

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami.”

Dalam pelaksanaan praktik tasawuf, tentunya manusia jangan sampai lupa dan meninggalkan
juga bagaimana aktivitas kehidupan berdasarkan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses
Penciptaan Manusia ,Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan
Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama islam.

Melaksanakan praktik tasawuf bukan berarti sama dengan meninggalkan juga usaha untuk
dapat Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam. Dunia
Menurut Islam memang bukanlah segala-galanya, dan tidak boleh terlena dengannya. Namun
Allah pun juga menyuruh manusia untuk dapat mengoptimalkan kehidupan dunia agar dapat
meraih Sukses Menurut Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

TASAWWUF MENURUT PARA SUFI

A. Riwayat Hidup Dzun Nun al Mishri

Kedudukannya dalam Pertumbuhan Tasawuf Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama
yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh
Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun
180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856. Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya
ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun
menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang
amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta
dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan
teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a “Wahai Tuhan,
Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan
air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut
masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya
ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang
empunya ikan nun. Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun
riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan
hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai
daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah
Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan
mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah,
dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan
Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an
Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al
Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim, baik
dalam ilmu syari’at maupun tasawuf. Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang
memberikan tafsiran tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi
sebelum Dzun Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal,
orang yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak
sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian
tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang
peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.

B. Al Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri

Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat.
Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah
yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena
berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang kemudian dianalisis oleh Nicholson dan
Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri
berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam.
Keberhasilan itu ditandai dengan :

1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan


kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu
menggunakan pendekatan akal.
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah
sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.

Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini
dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad. Oleh karena itu dialah
orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun Nun al Mishri
dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh Khalifah Al Mutawakkil
(Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847 M – 247 H/861 M), namun akhirnya
dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita temui pandangan al ma’rifatnya yang pada
mulanya cenderung antithesis terhadap aqliyah dan kalam. Berikut ini adalah pandangannya
tentang al ma’rifat :

1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan
sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu
burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah. Akan tetapi ia
adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya
apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang lain.
 Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya al
ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya.
Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang
dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba, bicara dengan
ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan
Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah. Kedua ungkapan di atas menjelaskan
bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari
hati manusia dan menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia
ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan
terangkat ke atas sifat-sifatnya yang rendah dan selanjutnya menyandang sifat-sifat
yang luhur seperti yang dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang
nantinya diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai
al Ghazali. Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al
Ta’aruf li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab
Tasawwuf), Dzun Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu
tingkatan maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam taubat,
zuhud, fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al
Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi rabbi
walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan
sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan). Kata-kata Dzun
Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf. Menurut Abu Al Qasim Abd
Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya
bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugrah
yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya. Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan
tentang Tuhan menjadi tiga bagian, yaitu:

 Pengetahuan untuk seluruh muslim.


 Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama.
 Pengetahuan khusus untuk para wali Allah. Menurut Harun Nasution, jenis
pengetahuan yang pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan
hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut
dengan ilmu. Adapun jenis pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.

Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya
(para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan
musyahadah. Para ulama dan filosof tidak mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih
menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai
keterbatasan dan kelemahan. Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam
perjalanan rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud
mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :

1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan
tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan
meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan
apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam,
yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil
adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.

Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya terdapat dua jalan yang
ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan, yaitu thariqah yang biasa ditempuh
oleh para ahli sufi melalui maqamat yang dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat.
Adapun thariqah yang kedua yaitu ijtiba bersifat personal. Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al
Mishri menceritakan secara lebih rinci tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju
tingkat arif (ahli ma’rifat), yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns,
thuma’ninah, dan na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh
perjalanan sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat, wara, zuhud,
tawakkal, rida, al ma’rifat, sampai mahabbah. Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia
sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang
terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut :
“…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan
ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah seorang sufi besar,
bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena keberhasilannya dalam
menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih menekankan pendekatan al ma’rifat
qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti ajaran al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat
Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan
inti adalah anugrah Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.

C. Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri Maqamat dan ahwal

Adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum
mencapai tujuan yang dikehendaki, Yang pertama berupa tahapan perjalanan, dan yang kedua
berupa keadaan.

1. Maqamat Maqamat dalam ilmu tasawuf mengandung arti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa latihan. Jika seseorang belum
memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat suatu maqam, ia tidak boleh naik ke
jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maqam dijalani
oleh seorang tasawuf melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sebuah
kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu. Menurut Dzun Nun al
Mishri, maqam ini dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan
amalannya. Oleh karena itu keberhasilannya itu merupakan penilaian yang berasal
dari Allah, mencerminkan kedudukan seorang tasawuf di hadapan Allah.
Selanjutnya dalam Da’irat Al Ma’rifat Al Islamiyah diterangkan tentang simbol-
simbol az zuhud menurut Dzun Nun al Mishri, yaitu sedikit cita-cita, mencintai
kefakiran, memiliki rasa cukup yang disertai kesabaran. Sedangkan masalah tobat ia
membedakan atas tiga tingkatan, yaitu :

 Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.


 Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
 Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Dzun Nun al Mishri tentang maqam as shobr dikemukakan dalam
bentuk kepingan dialog dari sebuat riwayat. Suatu ketika ia menjenguk
seorang yang sakit. Tatkala orang itu berbicara dengan Dzun Nun, “Tidak
termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi Tuhan.”
Orang itu kemudian mengatakan “Tidak benar pula cintanya orang yang
merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”.

Petikan dialog di atas mengisyaratkan bahwa Dzun Nun berbicara dengan orang yang juga
mengerti dunia sufisme. Selanjutnya pengertian at tawakkal menurut Dzun Nun al Mishri
adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya kekuatan, intinya
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Dan
rida menurut pendapatnya ialah kegembiraan hati karena berlakunya ketentuan Tuhan.

2. Ahwal Dalam kitab Isthilahat As Shuffiyah, ahwal

Dijelaskan sebagai pemberian yang tercurah pada seseorang dari Tuhannya, baik dari sebuah
amal shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai
pemberian semata. Atau dengan kata lain ahwal adalah pemberian yang berasal dari Tuhan
kepada hamba-nya yang dikehendaki. Pemberian itu adakalanya diberikan kepada orang yang
berusaha kea rah itu dan adakalanya tanpa melalui usaha. Menurut Dzun Nun al Mishri,
setiap maqam memupunyai permulaan dan akhir. Diantara keduanya terdapat aneka ahwal.
Setiap maqam mempunyai symbol, dan setiap hal ditunjuk oleh isyarat. Penjelasan ini
menunjukkan bahwa maqam beerangsung lebih lama dari ahwal. Maqam bersifat tetap, dan
ahwal silih berganti, datang dan pergi.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

Setelah menelaah beberapa uraian tentang tasauf dalam dunia umat Islam, maka sampailah
penulis kepada beberapa kesimpulan

1. Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran
Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam
rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan
kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh
menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita
lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu
seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.
Tasawwuf bukanlah bagian integral dari agama Islam dengan beberapa alasan: Tidak
satupun kata sufi dan tasauf terdapat dalam nash Alquran dan sunnah rasul.
2. Dalam tasawuf islam dikenal istilah-istilah Syari’ah,Tarikat, Hakikat,Dan Ma’rifat
menurut penafsiran para sufi yang sama sekali tidak dapat didapati dasarnya yang kukuh
dalam alquran dan assunah
3. Tasawuf ( dengan istilah lain disebut mistik terdapat dalam berbagai agama) Sufi dan
tasauf baru timbul dalam sejarah kebudayan islam pada abad ke tiga hijriyah, sedangkan
Zuhud, “pertapaan” timbul pertama kali dalam masyarakat arab sejak akhir abad pertama
hijriyah.
4. Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran
terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang maqamat
dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian
yang bercorak sufistik.
5. Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan
Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang
menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak
dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
6. Maqamat adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, Maqam ini menurut Dzun
Nun al Mishri dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalananya.
7. Ahwal adalah sifat dan keadaan sesuatu. Menurut Dzun Nun al Mishri setiap maqam
mempunyai permulaan dan akhir. Dintara keduanya terdapat ahwal. Setiap maqam
memiliki symbol dan setiap ahwal ditunjuk oleh isyarat.
DAFTAR PUSTAKA

A. Musthofa,Akhlak Tasauf,Bandung:Pustaka Setia,1997.

Abd Mun’im Zandil, Rabi’ah Al-Adawiyah: ‘Adzrau al-Basrah al-batul diterjemahkan oleh
M.Yusron Jakarta Citra Media 2008.

Abdul Mu’in Al hanafi, almausu’ah al-sufiyyah,Kairo: darr-alirsyad,1992

Abu al-a’la Afifi, fi al-tasawwuf al-Islamy wa tarikhuhu, Kairo, lajnah Al-ta’lif wa al-
tarjamah al-Nasyr,1969.

Abu Wafak Al-ganimi Al-Taftazani,Dar Tsaqafah li al-Thaba’ah wa Nasr,2002, terjemahan


Subkhan Ansori,lc,Jakarta , Gaya Media Pratama. 2008

Endang Saifuddi Anshari, Wawasan Islam,Jakarta, Rajawali,1990, edisi ke dua. cetakan


kedua

Hamka, Mengembalikan Tasawwuf kepangkalnya, Yogyakarta,Tanpa tahun

Hamka,Tasauf Perkembangan dan pemurnianya,Jakarta:Pustaka Panjimas 1994,Cet XIX.

Harun Nasution,Falsafah dan Mistis dalam Islam,Jakarta,Bulan Bintang,1995

Harun Nasution,Tasauf (Kontektualisasi Doktrin islam dalam Sejarah,) Paramadina Jakarta


1995

Vous aimerez peut-être aussi