Vous êtes sur la page 1sur 3

ACEH DAN SPIRIT SANG WALI

Hafas Furqani

Sejarah Aceh kontemporer sangat identik dengan Hasan Tiro. Kalau, Aceh klasik pada abad
ke-17 identik dengan Sultan Iskandar Muda, Aceh abad ke-19 milik Teuku Umar dan Cut
Nyak Dhien, era perjuangan setelah kemerdekaan sampai tahun 1960-an milik Tgk. Mohd.
Daud Beureueh, maka Aceh dalam tiga puluh tahun terakhir adalah milik Hasan Tiro. Jiwa
dan semangat Aceh ada bersamanya. Dia membentuk kesadaran dan karakter orang Aceh. Dia
meletakkan fondasi Aceh masa depan, untuk generasi selanjutnya, yang kita tidak tahu
menjadi milik siapa.

Ketika Hasan Tiro memulai pergerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976, ia berusia 51 tahun.
Aceh pada masa itu berumur 1136 tahun (kalau kita menganggap Kesultanan Peureulak yang
berdiri tahun 840 sebagai asal mula Aceh sebagai entitas regio-politik). Walaupun selisih 10
abad, Hasan Tiro mampu menangkap semangat ke-Aceh-an. Semangat yang akan terus ada
seiring waktu berjalan and berganti generasi. Dia berhasil meramu semangat tersebut dalam
sebuah manifesto perjuangan Aceh modern. Gerakan Aceh Merdeka kemudian dideklarasikan
sebagai lanjutan terhadap perjuangan yang tidak pernah selesai untuk mewujukan “idealisme
Aceh”. Orang Aceh, yang mempunyai sikap kepahlawanan, segera merespon dan memberi
dukungan dan komitmen untuk berjuang bersama beliau mewujudkan cita-cita suci.

Namun demikian, deklarasi Hasan Tiro memancing Jakarta untuk merespon dengan
pendekatan militer. Perang Aceh-Indonesia pun meletus selama lebih 30 tahun, sebelum MoU
ditandatangi pada 15 Agustus 2005, untuk bersama-sama menyetujui mengehentikan perang.
Perang ini merupakan perang kedua terpanjang yang dialami Aceh, setelah perang Aceh
dengan Belanda. Perang kali ini tidak saja meminta ribuan nyawa syuhada’ tetapi sekali lagi
menghentikan peradaban Aceh. Aceh mesti membayar mahal karena komitmennya untuk
meraih cita-cita. Bukan saja Aceh menjadi terbelakang, Aceh juga antara daerah yang paling
tertutup dalam sejarah moderen dunia.

MoU dan Masa Depan Aceh

MoU bagaimanapun membuka halaman baru sejarah Aceh kontemporer. Namun, dengan
kepergian Hasan Tiro, ramai orang bertanya, akankah perdamaian kekal? Mungkinkah konflik
muncul kembali dalam bentuk baru? Sama seperti ketika Tgk. Mohd. Daud Beureueh wafat,
Hasan Tiro mendeklarasikan pergerakan baru.

Jawabannya sangat bergantung kepada kunci yang telah disepakati Aceh dan Indonesia, yaitu
MoU. Bagaimana ia diimplimentasikan, berapa banyak ruang yang Jakarta berikan bagi Aceh
untuk mengatur pemerintahannya sendiri, dan seberapa jauh orang Aceh puas dengan
kemajuan yang dicapai. MoU adalah bargaining politik tentang seberapa jauh Jakarta punya
otoritas terhadap Aceh, dan seberapa jauh Aceh dapat menikmati kemerdekaan dalam
framework self-government.

Sama seperti kesepakatan politik sebelumnya, Daerah Istimewa dan status Syari’at Islam,
MoU jangan dipahami sebagai cek kosong penyerahan daerah Aceh kepada Indonesia. MoU
adalah bingkai komprehensif bagi Aceh untuk me-struktur semula dan mengorganisasikan
pemerintahannya sendiri. Dengan perspektif seperti ini, Jakarta sebenarnya tidak kehilangan
apa-apa yang mendasar. Otoritasnya terhadap Aceh, pendapatan yang diperoleh dari Aceh,
dan kewenangan untuk mempertahankan wilayah dari serangan luar, tetap ada. MoU malah
merupakan kunci untuk kembali merebut hati orang Aceh.

Perspektif seperti ini penting karena Aceh, dalam sejarah Indonesa, tidak pernah
menunjukkan komitmen teritorial atau regional. Aceh tidak pernah tunduk kepada pemikiran
kedaerahan dengan batasan-batasan wilayah. Karakter building nasionalisme orang Aceh
tidak dibentuk melalui batasan-batasan wilayah (regional commitment). Sebaliknya, ia
terbentuk melalui komitmen kepada cita-cita agung (idealism/ideological commitment).
Keadilan dan kemakmuran bersama adalah nilai-nilai agung yang dipertahankan orang Aceh.
Selama idealisme itu wujud, orang Aceh tidak pernah mempersoalkan status teritori mereka.
Mereka akan mengembangkan teritorinya, seperti yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda
lakukan terhadap Malaka, Johor and Pahang, ketika mereka merasakan idealisme mereka
terancam, dan mereka akan mengorbankan teritori mereka jika mereka menganggap bahwa
dengan bersikap demikian idealisme bersama akan terwujud, seperti integrasi Aceh kedalam
Indonesia tahun 1945.

Dengan kerangka idealisme tersebut, MoU dipahami oleh orang Aceh sebagai komitmen
Indonesia untuk meraih cita-cita bersama Aceh. Kesediaan GAM untuk menghentikan
peperangan dan meletak senjata bukan signal kekalahan atau kesediaan untuk masuk kembali
ke dalam wilayah NKRI. Ia adalah signal bahwa mereka mau berhenti berperang sehingga
perdamaian kembali wujud kemudian pembangunan dapat berjalan kembali sehingga cita-cita
keadilan dan kemakmuran bersama terwujud.

Karena MoU merupakan kunci yang membuka perdamaian Aceh, maka komitmen
sepenuhnya perlu diberikan oleh para elit Jakarta dan Aceh. Para elit Jakarta (DPR, Presiden
dan lembaga tinggi lainnya) mesti menjadikan MoU sebagai rujukan tertinggi terhadap segala
undang-undang, peraturan, yang mereka susun terhadap Aceh. Jakarta harus sensitif terhadap
keistimewaan Aceh akibat dari MoU. Sejarah bagaimana MoU disepakati mesti selalu ada
dalam ingatan ketika hendak membuat kebijakan atau peraturan apapun untuk Aceh. Dengan
adanya MoU, Aceh tidak dapat disamakan dalam satu statement undang-undang atau
peraturan apapun yang menjadikannya sejajar atau tidak membedakannya dengan daerah lain.

Elit Aceh, yaitu mantan GAM yang sekarang menduduki posisi strategis dalam struktur
pemerintahan demikian juga, harus bertanggungjawab kepada MoU dan kepada rakyat
banyak. Komitmen mereka diperlukan untuk memastikan MoU dilaksanakan sepenuhnya.
Setiap bentuk ketidakadilan dan kebijakan pusat yang bertentangan dengan MoU mesti
disuarakan dan pastikan didengar oleh Jakarta. Kelihaian berdiplomasi ala tipu Aceh masih
diperlukan untuk menjaga MoU dan kepentingan Aceh lainnya.

Pada masa yang sama, mereka yang sedang memegang posisi tinggi dalam struktur
pemerintahan dan menikmati fasilitas mewah mestilah selalu ingat rekan seperjuangan dan
rakyat banyak. Kemakmuran bukan untuk dinikmati sendiri. Sebaliknya, mereka harus
memastikan rakyat banyak makmur dahulu, baru mereka berhak menikmati kestimewaan
tersebut. Ini pelajaran utama yang diajar oleh Wali selama perang tiga puluh dua tahun.
Perjuangan adalah untuk mewujudkan idealisme keadilan dan kemakmuran untuk semua.
Kesepakatan perdamaian bukanlah berarti kita telah meraih semua cita-cita. Ia merupakan
entry point yang membawa kita ketahap selanjutnya, lebih dekat kepada cita-cita tersebut.

Kesadaran seperti ini penting untuk menjaga perdamaian kekal di Aceh. Kalau tidak,
kemunculan semula konflik akibat ketidakpuasan dan kekecewaan bukanlah sesuatu yang
aneh di Aceh. Hasan Tiro mungkin telah tiada, tapi Hasan Tiro yang lain akan muncul. Kalau
pun tidak ada orang seperti Hasan Tiro, orang Aceh memiliki apa yang pernah dikatakan oleh
Pramoedya Ananta Tour, keberanian individu (berbeda dengan keberanian kolektif), dimana
setiap individu menganggap diri mereka panglima. Satu orang Aceh Moorden (Aceh pungo)
cukup untuk membingungkan Belanda dan mengusir mereka. Perlawanan mungkin
mengambil bentuk perjuangan individual sementara menunggu Hasan Tiro yang baru muncul.
Seseorang yang mampu memahami spirit Aceh dan meramunya menjadi sebuah ideologi
pergerakan dalam konteks kontemporer.

* Hafas Furqani adalah mahisiswa S-3 Ekonomi Islam di IIUM, dan mantan aktivis
SOMAKA (Solidaritas Mahasiswa Untuk Kasus Aceh) Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi