Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Kelompok 1
AMANDA RESKILLAH (1710526003)
BAYU SATRIA (1710526016)
MARTALIA WIDIANTI (1710526033)
RIRI AULIA YONNI (1710526034)
Profil Perusahaan
PT. Astra Agro Lestari, Tbk. (AALI) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, teh, cokelat dan minyak masak. Perusahaan yang telah
berdiri sejak tanggal 3 Oktober 1988 ini merupakan produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia
yang telah memenuhi berbagai segmen pasar, baik di dalam maupun di luar negeri.
Perusahaan ini memperluas cakupan bisnisnya dengan merangkul perusahaan induknya
yakni PT Astra International Tbk yang memutuskan untuk menciptakan bisnis baru di sektor
perkebunan singkong dan karet.Di samping itu, karena bisnis kelapa sawit terlihat sangat
menjanjikan di pasaran, maka membuat AALI lebih fokus dalam pengembangan bisnis kelapa
sawit.
Pada tahun 1984, management bersama PT. Tunggal Perkasa Plantations yang telah
memiliki lebih dari 15.000 hektar perkebunan kelapa sawit yang terletak di Riau, Sumatera
bekerja dalam pertumbuhan produksi kelapa sawit. Beberapa tahun kemudian, pada 1988 PT.
Astra International Tbk memutuskan untuk membentuk bisnis kelapa sawit terbaru yang
berlabel PT. Suryaraya Cakrawala untuk lebih memperkokoh kedudukan industri
ini.Selanjutnya, pada tahun 1989 perusahaan ini kembali berubah nama menjadi PT. Astra Agro
Niaga, yang pada akhirnya bersama PT. Surya Raya Bahtera melakukan merger membentuk
perusahaan baru bernama PT. Astra Agro Lestari pada tahun 1997.
Sejak Desember 1997, perusahaan ini telah berhasil masuk dalam daftar saham di Bursa
Efek Jakarta dengan kepemilikan saham publik sebesar 20,3%. Hingga sekarang, perusahaan ini
telah mempekerjakan lebih dari 28.109 orang karyawan yang bertanggung jawab untuk
mengelola lebih dari 272.994 hektar perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan dan sulawesi. Salah satu bentuk prestasi yang ditorehkan AALI adalah berhasil
mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tanggal 8 Maret 2013.
Dengan komitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap perkembangan kelapa sawit Indonesia,
AALI kedepannya diharapkan bisa menjaga eksistensinya sebagai perusahaan sector
perkebunan yang paling produktif dan inovatif di dunia.
1. Analisis Kondisi Makro Ekonomi dan Kondisi Pasar
Melemahnya rupiah hingga mencapai angka di atas Rp 14.821 per US Dollar saat ini
merupakan posisi terendah sejak krisis moneter tahun 1998. Bahkan ketika krisis global tahun
2008, posisi nilai tukar rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini, rupiah hanya turun
sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik terendahnya, namun kemudian segera kembali ke
level normalnya yakni Rp9,000-an per US Dollar. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya para
investor tidak terlalu mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan tetap fokus pada
faktor fundamental perusahaan dalam berinvestasi di pasar saham.
Menariknya, kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda
krisis ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Akan tetapi, hal
tersebut menunjukkan kondisi yang sebaliknya saat ini, karena meski kondisi rupiah tampak
mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal,
dan IHSG justru malah sukses break new highdalam beberapa bulan terakhir. Hal ini
menimbulkan banyak pertanyaan dari kalangan terutama para investor yang bermain di pasar
bursa.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi yang berkebalikan ini bisa terjadi, sebelumnya kita
akan flashback ke tahun 2013, yang mana rupiah saat itu sudah menembus Rp 11,000 per USD
dan kondisi pasar saham berbanding terbalik dengan saat ini yakni IHSG terpuruk di level
4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di tahun
yang sama. Sehingga dapat diketahui bahwa masalah yang dihadapi pemerintah saat itu ada dua,
yakni pelemahan rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan juga
pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya).
Permasalahan yang sesungguhnya dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah 1)
Perlambatan pertumbuhan ekonomi, akibat 2) Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan
oleh 3) Meningkatnya nilai impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan
industri manufaktur di dalam negeri, dan 4) Turunnya nilai ekspor karena turunnya harga
batubara, CPO, serta karet, yang merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia. Sehingga
ini merupakan refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi, dimana jika fundamental
perekonomian Indonesia melemah, maka rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut
melemah.
Adapun beberapa paket kebijakan pemerintah dalam penyelamatan ekonomi pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor, sehingga defisit
perdagangan diharapkan tidak akan terjadi lagi. Paket kebijakan diatas masih menyentuh akar
permasalahan dari defisit tersebut, yakni penurunan harga komoditas CPO dan batubara yang
merupakan andalan ekspor Indonesia, dan peningkatan impor peralatan dan mesin-mesin
industri. Dan sayangnya bahkan sampai hari ini harga CPO dan batubara masih belum pulih
kembali.
Dalam kondisi seperti, sebaiknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang meskipun
mungkin tidak bisa secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa
lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat
diimplementasikan, seperti:
Ekspor terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat
listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan
insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin mekanik, agar
mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
Ekspor terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak
mentah, gas, ataupun minyak olahan. Jadi Pemerintah melalui kementerian dan badan-
badan terkait mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi
di tanah air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan produksinya.
Impor terbesar Indonesia juga terletak di migas. Jadi Pemerintah harus segera
merencanakan pembangunan kilang-kilang pengolahan minyak di dalam negeri, agar
kita tidak harus impor bensin dan solar lagi, atau minimal dikurangi.
Memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar mereka
mau mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan biodiesel, agar
Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai tambah, dan juga
mengurangi impor solar.
Diluar masalah defisit neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi tidak hanya didorong
oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, melainkan juga didorong oleh
meningkatnya belanja pemerintah, konsumsi, dan investasi. Sehingga pemerintah
tentunya punya banyak opsi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut, tinggal pilih yang
mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu dekat.
2. Analisis Industri
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia ( GAPKI) melaporkan, kinerja industri
sawit nasional sangat baik sepanjang tahun 2017. Hal ini terlihat dari jumlah produksi yang
meningkat signifikan. Produksi minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil ( CPO)
Indonesia mencapai 38,17 juta ton, sementara produksi palm kernel oil (PKO) atau minyak inti
kelapa sawit mencapai 3,05 juta ton. Dengan demikian, total produksi kelapa sawit Indonesia
sepanjang tahun 2017 mencapai 41,98 juta ton. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar
18 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, produksi
minyak sawit Indonesia mencapai 35,57 juta ton. Adapun harga rata-rata CPO tahun 2017
tercatat sebesar 714,3 dollar AS per metrik ton. Angka tersebut naik 2 persen dibandingkan
dengan rata-rata tahun 2016 yang tercatat sebesar 700,4 dollar AS per metrik ton
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) adalah salah satu emiten teraktif di Bursa Efek
Indonesia. Perusahaan ini menjadi fenomena BEI sejak lama dan AALI termasuk emiten yang
terdaftar dalam daftar saham Indeks LQ45. Di bawah ini merupakan data kepemilikan saham
pada 2017. Hampir semua aset yang berada di PT. Agro Astra Lestari Tbk. dimiliki oleh PT.
Astra Internasional Tbk. yang mencapai 79.68%, selebihnya 20.32% dimiliki oleh perusahaan
yang menginvestasikan saham ke PT.Agro Astra Lestari Tbk. Yang diantaranya ada perusahaan
asing menginvestasikan saham, yaitu perusahaan Jardine Cycle & Carriage Limited, Singapura,
Jardine Strategic Holdings Limited, Bermuda di London, dan Jardine Matheson Holdings
Limited, Bermuda di London.
Berdasarkan data laporan keuangan yang disajikan dalam bentuk grafik di atas, diketahui
bahwa perolehan laba dari tahun 2013 dan 2014 mengalami kenaikan, sedangkan untuk tahun
2015 sempat menurun, namun ditahun 2016 kembali naik, dan ditahun 2017 turun kembali.
Untuk total aset dari tahun 2013 sampai 2017 mengalami peningkatan, untuk kewajiban dari
tahun 2013 ke 2015 mengalami kenaikan, lalu ditahun 2016 dan 2017 mengalami penurunan.
Untuk total ekuitas perusahaan mengalami kenaikan dari tahun 2013 sampai 2014, lalu ditahun
2015 menurun dan dari tahun 2016 ke 2015 mengalami peningkatan lagi. Dilihat dari total
pendapatan diketahui bahwa perusahaan mengalami kenaikan pendapatan dari tahun 2013 ke
2014, menurun ditahun 2015, ditahun 2016 meningkat lagi dan tahun 2017 menurun kembali.
Guna meningkatkan kapasitas produksi, PT. Astra Agro Lestari Tbk (AALI) berencana
menambah dua pabrik pengolahan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Selain itu,
AALI diketahui telah menyiapkan capex atau belanja modal sebesar Rp 3 triliun. Sesuai
rencana, penggunaan capex akan dibagi ke dalam tiga pos mulai dari upaya penanaman baru
dan berulang (replanting) sawit di kebun yang dikelolanya, pengembangan produk dan pabrik
kelapa sawit di wilayah-wilayah baru, serta membangun sejumlah infrastruktur di sekitar area
tanam.
Manajemen AALI menyatakan masih menunggu realisasi pemberlakuan dana
pengembangan kelapa sawit atau CPO Supporting Fund yang saat ini tengah digodok
pemerintah. Pemberlakuan CPO Supporting Fund dinilai akan memberi dampak pada kinerja
perseroan ke depan dan rencananya dimaksudkan untuk mengembangkan industri CPO serta
menutupi beban pemerintah sewaktu membeli produk olahan kelapa sawit berupa biodiesel.
Pemberlakuan CPO fund akan memberikan dampak negatif pada arus kas Astra Agro
untuk jangka pendek. Namun kebijakan tersebut justru akan berdampak positif bagi anak usaha
Grup Astra itu dalam jangka menengah dan panjang. Hal ini dikarenakan dari adanya penerapan
mandatori biodiesel 15 persen (B15) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) yang sudah
ditetapkan pemerintah belum lama ini. B15 akan berdampak positif pada permintaan CPO
domestik. Apabila permintaan CPO melonjak maka harganya juga akan naik.
Current ratio dari tahun 2013 ke tahun 2016 mengalami peningkatan, sehingga hal ini
mengindikasikan bahwa kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya
dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki semakin bertambah, walau pun ditahun 2107
mengalami sedikit penurunan.
DER diukur dari perbandingan antara utang dengan ekuitasnya. Tingkat DER yang
aman biasanya kurang dari 50 persen. Semakin kecil DER maka akan semakin baik bagi
perusahaan. DER Pada tahun 2013, 2016, dan 2017 menunjukkan proporsi utang yang relatif
kecil dari total keseluruhan ekuitas karena dibawah 50%. Sedangkan DER pada tahun 2014 dan
2015 menunjukkan proporsi utang yang besara dari total keseluruhan ekuitas karena diatas 50%.
NPM mengukur tingkat laba bersih setelah pajak dibandingkan dengan volume
penjualan. Semakin tinggi NPM maka menunjukkan kinerja penjualan yang semakin baik dalam
menghasilkan laba bersih setelah pajak. NPM dari tahun 2013 ke 2014 mengalami peningkatan,
lalu ditahun 2015 mengalami penurunan, lalu 2016 meningkat kembali, dan 2017 menurun
kembali. Hal ini mengindikasikan kinerja penjualan AALI yang terus menurun sehingga laba
bersih setelah pajak yang diperoleh juga semakin kecil
PBV menunjukkan apakah harga pasar saham diperdagangkan di atas (overvalued) atau
di bawah nilai buku (undervalued) saham tersebut. Semakin tinggi PBV maka semakin mahal.
Jika nilai PBV nya kecil tetapi harga sahamnya standar maka perusahaan tersebut tergolong
perusahaan yang berprospek rendah, dan sebaliknya.
PBV dari tahun 2013 sampai tahun 2017. Hal ini mengindikasikan bahwa harga saham
AALI di pasar saham mungkin mengalami undervalued dikarenakan harga saham di pasar
saham lebih rendah dibandingkan dengan nilai buku. Dengan adanya penurunan rasio ini dari
tahun 2013 ke tahun 2017 sehingga harga saham menjadi lebih murah.
Daftar Pustaka
https://id.investing.com/equities/astra-agro-les-balance-sheet
https://www.scribd.com/doc/270581410/analisis-perusahaan-PT-Agro-lestari-Tbk
www3.astra-agro.co.id/laporan-tahunan