Vous êtes sur la page 1sur 57

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat
adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di
kawasan ASEAN. Berdasarkan Human Development Report tahun 2010, AKB
di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran. Dari seluruh kematian perinatal
sekitar 2-27% disebabkan karena BBLR. Sementara itu, prevalensi BBLR di
Indonesia saat ini diperkirakan 7– 14% yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi
(Depkes RI, 2005). Begitu juga menurut perkiraan World Health Organization
(WHO) pada tahun 1961 yang telah mengganti istilah Premature baby dengan
low birth weight baby (bayi dengan berat badan lahir rendah/ BBLR).
Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran dunia dengan
batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi pada negara–negara yang sedang
berkembang atau sosial ekonomi rendah seperti di Indonesia. Di negara-
negara sedang berkembang, kesehatan masih merupakan masalah yang harus
mendapat penanganan yang lebih serius. Secara Statistik menunjukkan 90%
kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dengan angka kematian
lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram
(Pantiawati, 2010).
WHO mengganti istilah prematur menjadi BBLR karena tidak semua
bayi berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Kondisi
tersebut dapat disebabkan oleh masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
berat yang sesuai (masa kehamilan dihitung mulai dari hari pertama haid yang
teratur. Dapat juga disebabkan karena bayi small for gestational age (SGA),
yaitu bayi yang kurang dari berat badan yang semestinya menurut masa
kehamilannya (kecil untuk masa kehamilan/ KMK). Di samping itu dapat pula
karena kedua-duanya, yakni kehamilan kurang dari 37 minggu disertai dengan
berat bayi kecil tidak sesuai usia kehamilannya (Prawirohardjo,2006).
Bayi lahir dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) memiliki kontribusi
terhadap morbiditas dan mortalitas pada masa perinatal. Selain itu bayi berat
2

lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh
kembang selanjutnya, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.
Bayi BBLR memiliki risiko yang lebih besar terhadap kelainan kongenital,
gangguan perilaku, gangguan tumbuh kembang, serta neurodevelopmental
disorders di masa yang akan datang. Risiko ini meningkat dengan
menurunnya usia gestasi dan berat badan lahir. Efek jangka panjang ini dapat
menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara karena menurunnya
kualitas hidup (Quality of Life) (Berglund et al., 2013).
Salah satu tindakan mengurangi dampak dari BBLR terhadap
morbiditas dan mortalitas adalah dengan mendapatkan pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Meskipun pelayanan intensif pada BBLR tergolong mahal,
namun penatalaksanaan perawatan bayi baru lahir dengan BBLR mutlak
diperlukan dalam rangka tumbuh kembang bayi. Penatalaksanaan dan
keterampilan khusus ini perlu dimiliki oleh seorang perawat perinatologi, yang
mana berinteraksi langsung dalam perawatan bayi baru lahir, sehingga
diharapkan dapat mengurangi/ mencegah terjadinya risiko kematian akibat
BBLR. Pentingnya peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah
mengelola dan merawat bayi BBLR sesuai dengan tanda gejala yang
dialaminya. Pemberian asuhan keperawatan secara komprehensif dapat
mengurangi risiko kematian dan meminimalkan biaya perawatan di rumah
sakit.
Berdasarkan latar belakang maka di atas, maka akan dibahas lebih lanjut
mengenai asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan BBLR.
Diharapkan dari pembahasan tersebut, mahasiswa keperawatan dapat
memahami asuhan keperawatan pada bayi dengan BBLR dan
mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai dengan keilmuan terkini.

B. Tujuan
1) Tujuan Umum : mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada bayi baru
lahir dengan BBLR.
2) Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada bayi BBLR.
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis keperawatan pada bayi
BBLR sesuai dengan analisis data yang diperoleh.
3

c. Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada bayi


BBLR.
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada bayi
BBLR.
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada bayi BBLR.
f. Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan BBLR
dengan baik.
4

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi saat lahir kurang
dari 2500 gram yang merupakan hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37
minggu usia kehamilan). Bayi dengan berat badan lahir rendah sangat erat
kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas, sehingga akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan kognitif serta penyakit kronis di kemudian
hari (WHO, 2004).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2500 gram saat lahir. Bayi BBLR sebagian besar
disebabkan karena retardasi pertumbuhan intrauterin (Intrauterine Growth
Restriction/IUGR) dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Bayi
BBLR memiliki risiko empat kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal
dari pada bayi yang berat badan lahir 2500-3499 gram (Muthayya, 2009).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang berat badannya
kurang dari 2500 gram, tanpa memperhatikan usia gestasi. Bayi BBLR dapat
terjadi pada bayi kurang bulan (kurang dari 37 minggu usia kehamilan) atau
pada usia cukup bulan (Wong, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bayi
berat badan lahir rendah (BBLR) adalah suatu kondisi di mana bayi lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram, yang terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu atau pada kehamilan cukup bulan.

B. Klasifikasi BBLR
Menurut Mitayani (2009), BBLR dibagi menjadi beberapa kelompok,
antara lain:
1. Prematuritas murni
Bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat
badan sesuai dengan usia gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan
sesuai dengan masa kehamilan.
5

2. Baby small for gestational age (SGA)


Bayi dengan berat badan lahir tidak sesuai dengan masa kehamilan. SGA
terdiri dari tiga jenis.
a. Simetris (intrauterine for gestational age)
Gangguan nutrisi pada awal kehamilan dan dalam jangka waktu yang
lama.
b. Asimetris (intrauterine growth retardation)
Terjadi defisit pada fase akhir kehamilan.
c. Dismaturitas
Bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa
gestasi, dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri, serta
merupakan bayi kecil untuk masa kehamilan.
Selain klasifikasi di atas, Wong (2008) mengelompokkan BBLR
berdasarkan ukuran, yaitu:
1. Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang berat
badannya kurang dari 2500 gram, tanpa memperhatikan usia gestasi.
2. Bayi berat badan lahir ekstrem rendah (BBLER) merupakan bayi yang
berat badannya kurang dari 1000 gram.
3. Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLRR) merupakan bayi yang
berat badannya kurang dari 1500 gram.
4. Bayi berat badan lahir moderat (BBLM) merupakan bayi yang berat
badannya 1501 sampai 2500 gram.
5. Bayi berat badan sesuai usia gestasinya merupakan bayi yang berat
badannya antara persentil ke-10 sampai ke-90 pada kurva pertumbuhan
intrauterin.
6. Berat badan kecil untuk usianya atau kecil untuk usia gestasinya
merupakan bayi yang laju pertumbuhan intrauterinnya lambat dan yang
berat badan lahirnya kurang dari persentil ke-10 pada kurva pertumbuhan
intrauterin.
7. Retardasi pertumbuhan intrauterin (IUGR) ditemukan pada bayi yang
pertumbuhan intrauterinnya mengalami retardasi (terkadang digunakan
istilah pengganti yang lebih deskriptif untuk bayi kecil untuk usia
gestasinya).
6

8. Bayi besar untuk usia gestasinya merupakan bayi yang berat badan
lahirnya diatas persentil ke-90 pada kurva pertumbuhan intrauterin.
Saifudin (2001) membagi beberapa macam BBLR berdasarkan
penanganan dan harapan hidupnya menjadi :
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 gram-2500 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR),berat alhir kurang dari 1500
gram.
3. Bayi Berat Lahir Ekstrem Rendah (BBLER) berat lahir kurang dari 1000
gram.

C. Etiologi
Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), etiologi atau penyebab dari
BBLR antara lain:
1. Faktor Ibu
a. Penyakit :
1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan
antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung
kemih.
2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual,
hipertensi, HIV/AIDS, dan penyakit jantung.
3) Penyalahgunaan obat, merokok, dan konsumsi alkohol.
b. Ibu :
1) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1
tahun).
3) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
c. Keadaan Sosial Ekonomi :
1) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
2) Aktivitas fisik yang berlebihan.
2. Faktor Janin :
a. Kelainan kromosom.
b. Infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan).
7

c. Gawat janin.
d. Kehamilan kembar.
3. Faktor Plasenta
a. Hidramnion.
b. Plasenta previa.
c. Solutio plasenta.
d. Sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik).
e. Ketuban pecah dini.
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain:
a. Tempat tinggal di dataran tinggi.
b. Terkena radiasi.
c. Terpapar zat beracun.
Karakteristik yang dapat ditemukan pada premature murni adalah :
a. LK < 33 cm, LD < 30 cm.
b. Gerakan otot masih hipotonis.
c. Umur kehamilan < 37 minggu.
d. Kepala lebih besar dari badan dan memiliki rambut tipis dan halus.
e. Pernapasan belum normal dan sering terserang apnea.
f. Kulit tipis, lanugo banyak terutama pada bagian dahi dan pelipis
lengan.
g. Genetelia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup
oleh labia mayora, pada laki-laki testis belum turun.
h. Reflek menelan dan reflek batuk masih lemah.

D. Patofisiologi
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang
belum cukup bulan (prematur), disamping itu juga disebabkan dismaturitas.
Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan
(BB) lahirnya lebih kecil dari masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500
gram. Masalah ini terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu
dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan
plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang menyebabkan
suplai makanan ke bayi jadi berkurang.
8

Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin
tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan
berat badan lahir normal. Kondisi kesehatan yang baik, sistem reproduksi
normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra
hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih
sehat dari pada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan
kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR,
vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu
menderita anemia.
Ibu hamil umumnya mengalami deplesi atau penyusutan besi sehingga
hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme
besi yang normal. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia
gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat
bawaan, dan BBLR. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan
kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi, sehingga kemungkinan
melahirkan bayi BBLR dan premature juga lebih besar (Nelson, 2010).
Masalah yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) terutama pada prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ
pada bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan
pada sistem pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi,
gastrointerstinal, ginjal, dan termoregulasi (Maryunani et al., 2009).
1. Sistem Pernafasan
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernafas segera
setelah lahir oleh karena jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit,
kekurangan surfaktan (zat di dalam paru dan yang diproduksi dalam paru
serta melapisi bagian alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat
ekspirasi). Luman sistem pernafasan yang kecil, kolaps atau obstruksi
jalan nafas, insufisiensi kalsifikasi dari tulang thorax, dan pembuluh darah
paru yang imatur. Kondisi inilah yang menganggu usaha bayi untuk
bernafas dan sering mengakibatkan gawat nafas (distress pernafasan).
2. Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat)
Bayi lahir dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan
saraf pusat. Kondisi ini disebabkan antara lain perdarahan intrakranial
9

karena pembuluh darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses


koagulasi, hipoksia dan hipoglikemia. Sementara itu asfiksia berat yang
terjadi pada BBLR juga sangat berpengaruh pada sistem susunan saraf
pusat (SSP), yang diakibatkan karena kekurangan oksigen dan
kekurangan perfusi.
3. Sistem Kardiovaskuler
Bayi dengan BBLR paling sering mengalami gangguan/ kelainan janin,
yaitu paten ductus arteriosus, yang merupakan akibat intrauterine, dan
kehidupan ekstrauterine berupa keterlambatan penutupan ductus
arteriosus.
4. Sistem Gastrointestinal
Semakin kecil dan semakin prematur bayi, maka akan semakin tinggi
risiko gizinya. Beberapa faktor yang memberikan efek pada masalah gizi
antara lain menurunnya simpanan zat gizi dengan cadangan makanan di
dalam tubuh sedikit. Hampir semua lemak, glikogen, dan mineral seperti
zat besi, kalsium, fosfor, dan zinc di deposit selama 8 minggu terakhir
kehamilan. Dengan demikian, bayi preterm mempunyai potensi terhadap
peningkatan hipoglikemia dan anemia. Hipoglikemia menyebabkan bayi
kejang terutama pada bayi BBLR prematur.
Kurangnya kemampuan untuk mencerna makanan menyebabkan bayi
preterm mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu, yang
diperlukan untuk mencerna dan mengabsorpsi lemak dibandingkan
dengan bayi aterm. Selain itu, belum matangnya fungsi mekanis dari
saluran pencernaan, koordinasi antara refleks hisap dan menelan yang
belum berkembang dengan baik sampai kehamilan 32-34 minggu, padahal
bayi BBLR memiliki kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi karena target
pencapaian berat badan bayi BBLR lebih besar. Penundaan pengisian
lambung dan buruknya motilitas usus terjadi pada bayi preterm.
Bayi dengan BBLR memiliki saluran pencernaan yang belum berfungsi
seperti bayi yang cukup bulan. Kondisi ini disebabkan karena tidak
adanya koordinasi mengisap dan menelan sampai usia gestasi 33–34
minggu, sehingga kurangnya cadangan nutrisi seperti kurang dapat
menyerap lemak dan mencerna protein.
10

5. Sistem Termoregulasi
Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain kehilangan panas karena perbandingan luas
permukaan kulit dengan berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi
relatif luas), kurangnya lemak subkutan (brown fat/ lemak cokelat),
jaringan lemak di bawah kulit lebih sedikit, dan tidak adanya refleks
kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit. Paru yang belum matang
dengan peningkatan kerja napas dan kebutuhan kalori yang meningkat,
potensial untuk kehilangan panas akibat luas permukaan tubuh tidak
sebanding dengan berat badan dan sedikitnya lemak pada jaringan di
bawah kulit. Kehilangan panas ini akan meningkatkan kebutuhan kalori.
6. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila
dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain
adalah usia sel darah merah yang lebih pendek, pembuluh darah kapiler
yang mudah rapuh, hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari
pemeriksaan laboratorium yang sering.
7. Sistem Imunologi
Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas,
sering kali memungkinkan bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi.
8. Sistem Perkemihan
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihan, di
mana ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk
menggelola air, elektrolit, asam–basa, tidak mampu mengeluarkan hasil
metabolisme dan obat–obatan dengan memadai, serta tidak mampu
memekatkan urin.
9. Sistem Integumen
Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan
transparan sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit.
10. Sistem Penglihatan
Bayi dengan BBLR dapat mengalami retinopathy of prematurity (RoP)
yang disebabkan karena ketidakmatangan retina.
11

E. Pathway

Faktor plasenta:
hidramnion, plasenta
previa, solutio plas., KPD
12

F. Manisfestasi Klinis
Mitayani (2009) mengatakan, manifestasi klinis yang dapat ditemukan
dengan bayi berat lahir rendah antara lain:
1. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,
lingkar dada kurang dari 30 cm, dan lingkar kepala kurang dari 33cm.
2. Masa gestasi kurang dari 37 minggu.
3. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, dan lemak subkutan sangat sedikit.
4. Osifikasi tengkorak sedikit serta ubun-ubun dan sutura lebar.
5. Genitalia imatur, labia minora belum tertutup dengan labia miyora.
6. Pergerakan kurang dan lemah, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan
sering mendapatkan serangan apnea.
7. Lebih banyak tidur dari pada bangun, reflek menghisap dan menelan
belum sempurna.
Nurarif dan Kusuma (2013) menjelaskan, tanda dan gejala dari bayi berat
badan rendah adalah
1. Sebelum lahir
a. Pembesaran uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan.
b. Pergerakan janin lebih lambat.
c. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai yang
seharusnya.
2. Setelah bayi lahir
a. Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin.
b. Bayi prematur yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu.
c. Bayi small for date sama dengan bayi retardasi pertumbuhan
intrauterin.
d. Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam
tubuhnya.

G. Komplikasi BBLR
Menurut Mitayani (2009), ada beberapa hal yang dapat terjadi apabila
BBLR tidak ditangani secepatnya, yaitu:
1. Sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada bayi baru
lahir yang disebabkan oleh masuknya mekonium (feses bayi) ke paru-paru
13

sebelum atau sekitar waktu kelahiran (menyebabkan kesulitan bernafas


pada bayi).
2. Hipoglikemi simptomatik
Hipoglikemi adalah kondisi ketidaknormalan kadar glokosa serum yang
rendah. Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai kadar glukosa dibawah
40 mg/dL. Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan
glukosa rendah ,terutama pada laki-laki.
3. Penyakit membran hialin yang disebabkan karena membran surfaktan
belum sempurna atau cukup, sehingga alveoli kolaps. Sesudah bayi
mengadakan aspirasi, tidak tertinggal udara dalam alveoli, sehingga
dibutuhkan tenaga negatif yang tinggi untuk pernafasan berikutnya.
4. Asfiksia neonatorum
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
5. Hiperbilirubinemia (gangguan pertumbuhan hati)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Mitayani (2009) mengatakan, pemeriksaan diagnostik pada bayi BBLR antara
lain:
1. Jumlah darah lengkap: penurunan pada Hb (normal: 12-24gr/dL), Ht
(normal: 33 -38% ) mungkin dibutuhkan.
2. Dektrosik: menyatakan hipoglikemi (normal: 40 mg/dL).
3. Analisis Gas Darah (AGD): menentukan derajat keparahan distres
pernafasan bila ada.
Rentang nilai normal:
a. pH : 7,35-7,45
b. TCO2 : 23-27 mmol/L
c. PCO2 : 35-45 mmHg
d. PO2 : 80-100 mmHg
e. Saturasi O2 : 95 % atau lebih
4. Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.
14

5. Bilirubin: mungkin meningkat pada polisitemia.


Bilirubin normal:
a. bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl.
b. bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
6. Urinalisis: mengkaji homeostatis.
7. Jumlah trombosit (normal: 200000 - 475000 mikroliter): Trombositopenia
mungkin menyertai sepsis.
8. EKG, EEG, USG, angiografi: defek kongenital atau komplikasi.

I. Penatalaksanaan BBLR
1. Penanganan bayi.
Semakin kecil bayi dan semakin prematur bayi. Maka semakin besar
perawatan yang diperlukan, karena kemungkinan terjadi serangan sianosis
lebih besar. Semua perawatan bayi harus dilakukan di dalam inkubator.
2. Maintenance suhu tubuh.
Untuk mencegah hipotermi diperlukan lingkungan yang cukup hangat dan
istirahat konsumsi O2 yang cukup. Bila dirawat dalam inkubator maka
suhunya untuk bayi dengan BB 2 kg adalah 35˚C dan untuk bayi dengan
BB 2-2,5 kg adalah 34˚C. bila tidak ada incubator hanya dipakai popok
untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum, warna kulit,
pernafasan, kejang dan sebagainyasehingga penyakit dapat dikenali sedini
mungkin.
3. Inkubator
Prosedur perawatan dapat dilakukan melalui jendela atau lengan baju.
Sebelum memasukan bayi ke dalam inkubator. Inkubator terlebih dahulu
dihangatkan sampai sekitar 29,4˚C untuk bayi dengan BB 1,7 kg dan
32,2˚C untuk bayi yang lebih kecil.
4. Pemberian oksigen
Konsentrasi O2 diberikan sekitar 30-35% dengan menggunakan headbox.
5. Pencegahan infeksi
Prosedur pencegahan infeksi adalah sebagai berikut:
a. Mencuci tangan samoai kesiku dengan sabun dan air mengalir selama
2 menit.
15

b. Mencuci tangan dengan zat antiseptic sebelum dan sesudah


memegang bayi.
6. Pemberian makanan.
Pemberian makanan sedini mungkin sangat dianjurkan untuk membantu
terjadinya hipoglikemi dan hiperbilirubin. ASI merupakan pilihan utama,
dianjurkan untuk minum pertama sebanyak 1 ml larutan glucose 5% yang
steril untuk bayi dengan berat badan kurang dari 1000 gram.

J. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata klien: nama,tempat lahir, jenis kelamin.
b. Orang tua: nama ayah/ ibu, umur, agama, suku atau kebangsaan,
pendidikan dan alamat.
c. Riwayat kesehatan:
1) Riwayat antenatal
a) Keadaan ibu selama hamil dengan anemia, HT, gizi buruk,
merokok, ketergantungan obat-obatan, DM, penyakit
kardiovaskuler dan paru.
b) Kehamilan dengan risiko persalinan preterm misalnya
kelahiran multiple, kelainan kongenital.
c) Latar belakang sosial budaya kebudayaan yang berpengaruh
terhadap BBLR kebiasaan ibu merokok, obat-obatan jenis
psikotropika, kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman
beralkohol, dan kebiasaan ibu melakukan diet ketat atau
pantangan makanan tertentu.
d) Riwayat komplikasi persalinan juga mempunyai kaitan yang
sangat erat dengat permasalahan pada bayi baru lahir.
e) Kala I : perdarahan antepartum baik solusio plasenta maupun
plasenta previa.
f) Kala II :persalinan dengan tindakan pembedahan, karena
pemakaian obat penenang (narkose) yang dapat menekan
system pusat pernafasan.
2) Riwayat post natal :
16

a) Apgar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua
(0-3), asfiksia berat (4-6), asfiksia sedang (7-10) asfiksia
ringan.
b) Berat badan lahir : preterm atau BBLR < 2500 gram, untuk
aterm 2500 gram, lingkar kepala kurang atau lebih dari
normal (34-36).
3) Pengkajian umum
a) Timbang bayi tiap hari, atau lebih bila ada permintaan dengan
menggunakan timbangan elektronik.
b) Ukur panjang badan, dan lingkar kepala secara berkala.
c) Jelaskan bentuk dan ukuran tubuh secara umum, postur saat
istirahat, kemudian bernafas, dan adanya lokasi edema.
d) Observasi adanya deformitas yang tampak.
e) Observasi setiap tanda kegawatan, warna yang buruk,
hipotonia, tidak responsive, dan apnea.
f) Observasi keadaan umum, di mana pada bayi dengan BBLR
keadaannya lemah dan hanya merintih. Kesadaran bayi dapat
dilihat dari responnya terhadap rangsangan. Adanya berat
badan yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya tidak
ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukan kondisi
neonatus yang baik.
g) Tanda-tanda vital : neonatus post asfiksia berat kondisi akan
baik apabila penanganan asfiksia benar, tepat dan cepat. Suhu
normal pada tubuh bayi (36°C-37,5°C), nadi normal antara
(120-140 kali/menit), untuk respirasi normal pada bayi (40-60
kali/menit), sering pada bayi post asfiksia berat respirasi sering
tidak teratur.
4) Pengkajian respirasi
a) Observasi bentuk dada (barrel, konkaf), simetri, adanya insisi,
slang dada, atau devisiasi lainnya.
b) Observasi adanya penggunaan otot penapasan tambahan
cuping hidung atau retraksi substernal, interkostal atau
subklavikular.
c) Tentukan frekuensi pernapasan dan keteraturannya.
17

d) Lakukan auskultasi dan jelaskan suara napas (stridor, krepitasi,


mengi, suara basah berkurang, daerah tanpa suara, grunting),
berkurangnya masukan udara, dan kesamaan suara napas.
e) Tentukan apakah diperlukan pengisapan.
5) Pengkajian kardiovaskuler
a) Tentukan denyut jantung dan iramanya.
b) Jelaskan bunyi jantung, termasuk adanya bising.
c) Tentukan titik intensitas maksimal (point of maximum
intensity/ PMI), titik ketika bunyi denyut jantung paling keras
terdengar dan teraba (perubahan PMI menunjukkan adanya
pergeseran imediastinum).
d) Jelaskan warna bayi ( bisa karena gangguan jantung, respirasi
atau hematopoetik), sianosis pucat, plethora, jaundis, dan
bercak-bercak.\
e) Kaji warna dasar kuku, membran mukosa, dan bibir.
f) Tentukan tekanan darah, dan tunjukkan ekstermitas yang
dipakai.
6) Pengkajian gastrointestinal
a) Tentukan adanya distensi abdomen, adanya edema dinding
abdomen, tampak pelistaltik, tampak gulungan usus, dan status
umbilicus.
b) Tentukan adanya tanda regurgitasi dan waktu yang berkaitan
dengan pemberian makanan, karakter dan jumlah residu jika
makanan keluar, jika terpasang selang nasogasrtik, jelaskan
tipe penghisap, dan haluaran (warna, konsistensi, pH).
c) Palpasi batas hati (3 cm dibawah batas kosta kanan).
d) Jelaskan jumlah, warna, dan konsistensi feses, periksa adanya
darah.
e) Jelaskan bising usus.
7) Pengkajian genitourinaria
a) Jelaskan setiap abnormalitas genitalia.
b) Pada bayi aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak
muara uretra pada bayi laki-laki, pada bayi perempuan lihat
18

labia mayir dan labia minor, adanya sekresi mucus keputihan,


kadang perdarahan.
c) Pada anus perhatikan adanya darah dalam feses, frekuensi
buang air besar serta warna dari feces.
d) Jelaskan jumlah (dibandingkan dengan berat badan), warna
pH, temuan lab-stick, dan berat jenis kemih (untuk menyaring
kecukupan hidrasi).
e) Periksa berat badan (pengukuran yang paling akurat dalam
mengkaji hidrasi).
8) Pengkajian neurologis-muskuloskeletal
a) Jelaskan gerakan bayi, kejang, kedutan, tingkat aktivitas
terhadap rangsang, dan evaluasi sesuai masa gestasinya.
b) Jelaskan posisi bayi atau perilakunya (fleksi, ekstensi).
c) Jelaskan refleks yang ada (moro, rooting, sucking, plantar,
tonick neck, palmar).
d) Tentukan tingkat respons dan kenyamanan.
9) Suhu tubuh
a) Tentukan suhu kulit dan aksilar.
b) Tentukan hubungan dengan suhu sekitar lingkungan.
10) Pengkajian kulit
1) Terangkan adanya perubahan warna, daerah yang memerah,
tanda iritasi, melepuh, abrasi, atau daerah terkelupas, terutama
di mana peralatan pemantau infus atau alat lain bersentuhan
dengan kulit. Periksa juga dan catat preparat kulit yang dipakai
(misal plester, povidone-iodine).
2) Tentukan tekstur dan turgor kulit kering, lembut, bersisik,
terkelupas dan lain-lain.
3) Terangkan adanya ruam, lesi kulit, atau tanda lahir.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat ditegakkan pada bayi dengan BBLR yaitu:
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan imaturitas
pusat pernapasan, keterbatasan perkembangan otot penurunan otot
atau kelemahan, dan ketidakseimbangan metabolik
19

b. Risiko ketidakefektifan termoregulasi yang berhubungan dengan


susunan saraf pusat imatur (pusat regulasi residu, penurunan massa
tubuh terhadap area permukaan, penurunan lemak subkutan,
ketidakmampuan merasakan dingin dan berkeringat, cadangan
metabolik buruk)
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan simpanan nutrisi, imaturitas
produksi enzim, otot abdominal lemah, dan refleks lemah.
d. Risiko infeksi yang berhubungan dengan pertahanan imunologis
yang tidak efektif
e. Risiko kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan usia
dan berat ekstrem, kehilangan cairan berlebihan (kulit tipis), kurang
lapisan lemak, ginjal imatur/ kegagalan mengonsentrasikan urine.
f. Risiko cedera akibat bervariasinya aliran darah otak, hipertensi atau
hipotensi sistemik, dan berkurangnya nutrient seluler (glukosa dan
oksigen) yang berhubungan dengan system sraf sentral dan respons
stress fisiologis imatur.
g. Nyeri yang berhubungan dengan prosedur, diagnosis dan tindakan
invasif.
h. Risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
berhubungan dengan kelahiran premature, lingkungan NICU tidak
alamiah, perpisahan dengan orang tua.
i. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan
imobilitas, kelembaban kulit.
j. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit bayinya
ditandai dengan orang tua klien tampak cemas dan khawatir malihat
kondisi bayinya, dan berharap agar bayinya cepat sembuh (Nanda,
2015).
3. Rencana Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan imaturitas
pusat pernapasan, keterbatasan perkembangan otot penurunan otot
atau kelemahan, dan ketidakseimbangan metabolic.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
20

Neonatus akan mempertahankan pola pernapasan periodik


Membran mukosa merah muda.
Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Kaji frekuensi dan pola 1. Membantu dalam membedakan
pernapasan, perhatikan adanya periode perputaran pernapasan
apnea dan perubahan frekwensi normal dari serangan apnetik sejati,
jantung. terutama sering terjadi pad gestasi
minggu ke-30
2. Isap jalan napas sesuai kebutuhan 2. Menghilangkan mukus yang
neyumbat jalan napas.
3. Posisikan bayi pada abdomen 3. Posisi ini memudahkan pernapasan
atau posisi telentang dengan dan menurunkan episode apnea,
gulungan popok dibawah bahu khususnya bila ditemukan adanya
untuk menghasilkan hipoksia, asidosis metabolik atau
hiperekstensi hiperkapnea
4. Tinjau ulang riwayat ibu 4. Magnesium sulfat dan narkotik
terhadap obat-obatan yang akan menekan pusat pernapasan dan
memperberat depresi pernapasan aktifitas SSP.
pada bayi

Kolaborasi:
1. Pantau pemeriksaan laboratorium 1. Hipoksia, asidosis metabolik,
sesuai indikasi. hiperkapnea, hipoglikemia,
hipokalsemia dan sepsis
memperberat serangan apnetik.
2. Berikan oksigen sesuai indikasi 2. Perbaikan kadar oksigen dan
karbondioksida dapat meningkatkan
fungsi pernapasan
3. Berikan obat-obatan yang sesuai 3. Membantu melebarkan jalan nafas
indikasi

b. Risiko ketidakefektifan termoregulasi yang berhubungan dengan


SSP imatur (pusat regulasi residu, penurunan massa tubuh terhadap
area permukaan, penurunan lemak sebkutan, ketidakmampuan
merasakan dingin dan berkeringat, cadangan metabolik buruk).
Tujuan : termoregulasi menjadi efektif sesuai dengan perkembangan.
Kriteria hasil :
Mempertahankan suhu kulit atau aksila (35 – 37,5˚C).
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji suhu dengan memeriksa 1. Hipotermia membuat bayi cenderung
suhu rektal pada awalnya, merasa stres karena dingin,
selanjutnya periksa suhu aksila penggunaan simpanan lemak tidak
atau gunakan alat termostat dapat diperbarui bila ada dan
21

dengan dasar terbuka dan penurunan sensivitas untuk


penyebar hangat. meningkatkan kadar CO2 atau
penurunan kadar O2.
2. Tempatkan bayi pada inkubator 2. Mempertahankan lingkungan
atau dalam keadaan hangat termonetral, membantu mencegah
stres karena dingin.
3. Pantau sistem pengatur suhu, 3. Hipertermi dengan peningkatan laju
penyebar hangat (pertahankan metabolisme kebutuhan oksigen dan
batas atas pada 98,6°F, glukosa serta kehilangan air dapat
bergantung pada ukuran dan usia terjadi bila suhu lingkungan terlalu
bayi) tinggi.
4. Kaji haluaran dan berat jenis 4. Penurunan keluaran dan peningkatan
urine berat jenis urine dihubungkan
dengan penurunan perfusi ginjal
selama periode stres karena rasa
dingin
5. Pantau penambahan berat badan 5. Ketidakadekuatan penambahan berat
berturut-turut. Bila penambahan badan meskipun masukan kalori
berat badan tidak adekuat, adekuat dapat menandakan bahwa
tingkatkan suhu lingkungan kalori digunakan untuk
sesuai indikasi. mempertahankan suhu lingkungan
tubuh, sehingga memerlukan
peningkatan suhu lingkungan.
6. Perhatikan perkembangan 6. Tanda-tanda hipertermi ini dapat
takikardia, warna kemerahan, berlanjut pada kerusakan otak bila
diaforesis, letargi, apnea atau tidak teratasi.
aktifitas kejang.

Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan 1. Stres dingin meningkatkan
laboratorium sesuai indikasi kebutuhan terhadap glukosa dan
(GDA, glukosa serum, elektrolit oksigen serta dapat mengakibatkan
dan kadar bilirubin) masalah asam basa bila bayi
mengalami metabolisme anaerobik
bila kadar oksigen yang cukup tidak
tersedia. Peningkatan kadar bilirubin
indirek dapat terjadi karena
pelepasan asam lemak dari meta
bolisme lemak coklat dengan asam
lemak bersaing dengan bilirubin
pada pada bagian ikatan di albumin.
2. Berikan obat-obat sesuai dengan 2. Membantu mencegah kejang
indikasi : fenobarbital berkenaan dengan perubahan fungsi
SSP yang disebabkan hipertermi dan
memperbaiki asidosis yang dapat
terjadi pada hiportemia dan
hipertermia
22

c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang


berhubungan dengan penurunan simpanan nutrisi, imaturitas
produksi enzim, otot abdominal lemah, dan refleks lemah.
Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan.
Kriteria hasil :
Bayi mendapat kalori dan nutrient esensial yang adekuat.
Mempertahankan pertumbuhan dan peningkatan berat badan dalam
kurva normal dengan penambahan berat badan tetap, sedikitnya 20-
30 gram/hari.
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji maturitas refleks berkenaan 1. Menentukan metode pemberian makan
dengan pemberian makan yang tepat untuk bayi
(misalnya : mengisap, menelan,
dan batuk)
2. Auskultasi adanya bising usus, 2. Pemberian makan pertama bayi stabil
kaji status fisik dan statuys memiliki peristaltik dapat dimulai 6-12
pernapasan jam setelah kelahiran. Bila distres
pernapasan ada cairan parenteral di
indikasikan dan cairan peroral harus
ditunda
3. Kaji berat badan dengan 3. Mengidentifikasikan adanya resiko
menimbang berat badan setiap derajat dan resiko terhadap pola
hari, kemudian dokumentasikan pertumbuhan.
pada grafik pertumbuhan bayi
4. Pantau masukan dan dan 4. Bayi SGA dengan kelebihan cairan
pengeluaran. Hitung konsumsi ekstrasel kemungkinan kehilangan 15%
kalori dan elektrolit setiap hari BB lahir.
5. Kaji tingkat hidrasi, perhatikan 5. Bayi SGA mungkin telah mengalami
fontanel, turgor kulit, berat jenis penurunan berat badan dalam uterus
urine, kondisi membran mukosa, atau mengalami penurunan simpanan
fruktuasi berat badan. lemak/glikogen. Memberikan informasi
tentang masukan aktual dalam
hubungannya dengan perkiraan
kebutuhan untuk digunakan dalam
penyesuaian diet.
6. Kaji tanda-tanda hipoglikemia; 6. Peningkatan kebutuhan metabolik dari
takipnea dan pernapasan tidak bayi SGA dapat meningkatkan
teratur, apnea, letargi, fruktuasi kebutuhan cairan. Keadaan bayi
suhu, dan diaphoresis. Pemberian hiperglikemia dapat mengakibatkan
makan buruk, gugup, menangis, diuresi pada bayi. Pemberian cairan
nada tinggi, gemetar, mata intravena mungkin diperlukan untuk
terbalik, dan aktifitas kejang. memenuhi peningkatan kebutuhan,
tetapi harus dengan hati-hati ditangani
untuk menghindari kelebihan cairan.
Karena glukosa adalah sumber utama
23

dari bahan bakar untuk otak,


kekurangan dapat menyebabkan
kerusakan SSP permanen.hipoglikemia
secara bermakna meningkatkan
mobilitas mortalitas serta efek berat
yang lama bergantung pada durasi
masing-masing episode.
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan laboratorium 1. Hipoglikemia dapat terjadi pada awal 3
sesuai indikasi : Glukas serum. jam lahir bayi SGA saat cadangan
Nitrogen urea darah, kreatin, glikogen dengan cepat berkurang dan
osmolalitas serum/urine, elektrolit glukoneogenesis tidak adekuat karena
urine penurunan simpanan protein obat dan
lemak.
2. Berikan suplemen elektrolit sesuai 2. Mendeteksi perubahan fungsi ginjal
indikasi misalnya kalsium berhubungan dengan penurunan
glukonat 10% simpanan nutrien dan kadar cairan
akibat malnutrisi. Ketidakstabilan
metabolik pada bayi SGA/LGA dapat
memerlukan suplemen untuk
mempertashankan homeostasis.

d. Risiko infeksi yang berhubungan dengan pertahanan imunologis


yang tidak efektif.
Tujuan : pasien tidak memperlihatkan adanya tanda infeksi.
Kriteri hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Leukosit 5.000-10.000
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji adanya tanda – tanda infeksi 1. Untuk mengetahui lebih dini adanya
tanda-tanda terjadinya infeksi
2. Lakukan isolasi bayi lain yang 2. Tindakan yang dilakukan untuk
menderita infeksi sesuai kebijakan meminimalkan terjadinya infeksi yang
insitusi lebih luas
3. Sebelum dan setelah menangani 3. Untuk mencegah terjadinya infeksi
bayi, lakukan pencucian tangan
4. Yakinkan semua peralatan yang 4. Untuk mencegah terjadinya infeksi
kontak dengan bayi bersih dan
steril
5. Cegah personal yang mengalami 5. Untuk mencegah terjadinya infeksi
infeksi menular untuk tidak kontak yang berlanjut pada bayi
langsung dengan bayi.
24

e. Risiko kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan usia


dan berat ekstrem, kehilangan cairan berlebihan (kulit tipis),
kurang lapisan lemak, ginjal imatur/ kegagalan
mengonsentrasikan urine.
Tujuan : cairan terpenuhi.
Kriteria hasil :
Bebas dari tanda-tanda dehidrasi
Menunjukan penambahan berat badan 20-30 gram/hari.
Intervensi Rasional
Mandiri : 1. Pengeluaran harus 1-3 ml/kg/jam,
1. Bandingkan masukan dan sementara kebutuhan terapi cairan kira-
pengeluaran urine setiap shift dan kira 80-100 ml/kg/hari pada hari
keseimbangan kumulatif setiap pertama, meningkat sampai 120-140
periodik 24 jam ml/kg/hari pada hari ketiga postpartum.
Pengambilan darah untuk tes
menyebabkan penurunan kadar Hb/Ht.
2. Pantau berat jenis urine setiap 2. Meskipun imaturitas ginjal dan
selesai berkemih atau setiap 2-4 ketidaknyamanan untuk
jam dengan menginspirasi urine mengonsentrasikan urine biasanya
dari popok bayi bila bayi tidak mengakibatkan berat jenis yang rendah
tahan dengan kantong penampung pada bayi preterm ( rentang
urine. normal1,006-1,013). Kadar yang
rendah menandakan volume cairan
berlebihan dan kadar lebih besar dari
1,013 menandakan ketidakmampuan
masukan cairan dan dehidrasi.
3. Evaluasi turgor kulit, membran 3. Kehialangan atau perpindahan cairan
mukosa, dan keadaan fontanel yang minimal dapat dengan cepat
anterior. menimbulkan dehidrasi, terlihat oleh
turgor kulit yang buruk, membran
mukosa kering, dan fontanel cekung.
4. Pantau tekanan darah, nadi, dan 4. Kehilangan 25% volume darah
tekanan arterial rata-rata (TAR) mengakibatakan syok dengan TAR <
25 mmHg menandakan hipotensi.
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan laboratorium 1. Dehidrasi meningkatkan kadar Ht
sesuai dengan indikasi Ht diatas normal 45-53% kalium serum
2. Berikan infus parenteral dalam 2. Hipoglikemia dapat terjadi karena
jumlah lebih besar dari 180 ml/kg, kehilangan melalui selang nasogastrik
khususnya pada PDA, displasia diare atau muntah.
bronkopulmonal (BPD), atau
entero colitis nekrotisan (NEC)
3. Berikan tranfusi darah. 3. Penggantian cairan darah menambah
volume darah, membantu
mengembalikan vasokonstriksi akibat
dengan hipoksia, asidosis, dan pirau
25

kanan ke kiri melalui PDA dan telah


membantu dalam penurunan
komplikasi enterokolitis nekrotisan dan
displasia bronkopulmonal. Mungkin
perlu untuk mempertahankan kadar
Ht/Hb optimal dan menggantikan
kehilangan darah.

f. Risiko cedera akibat bervariasinya aliran darah otak, hipertensi


atau hipotensi sistemik, dan berkurangnya nutrient seluler
(glukosa dan oksigen) yang berhubungan dengan system sraf
sentral dan respons stress fisiologis imatur.
Tujuan : pasien mendapatkan asuhan untuk mencegah cedera dan
memeprtahankan aliran darah sistemik dan otak memadai,
glukosa dan oksigen otak adekuat; tidak memperlihatkan adanya
perdarahan intaventrikular.
Kriteria hasil:
Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan tekanan
intrakranial atau perdarahan intraventrikel.

Intervensi Rasional
1. Kurangi rangsangan lingkungan 1. Respons stres, terutama peningkatan
tekanan darah, dapat miningkatkan
resiko peningkatan TIK
2. Organisasikan asuhan selama 2. Untuk meminimalkan gangguan tidur
jamsibuk normal sebanyak dan kebisingan intermiten yang sering
mungkin
3. Tutup dan buka kelambu dan 3. Untuk memungkinkan jadwal siang
lampu tidur dan malam
4. Tutup inkubator dengan kain dan 4. Untuk mengurangi cahaya dan tidak
pasang tanda “jangan diganggu” membangunkan periode istirahat bayi
5. Kaji dan tangani nyeri 5. Nyeri meningkatkan tekanan darah
menggunakan metode
farmakologis dan non-
farmakologis
6. Kenali tanda stres fisik dan 6. Untuk segera memberi intervensi yang
stimulasi berlebih memadai
7. Hindari obat dan larutan hipertonis 7. Akan meningkatkan tekanan darah otak
8. Pertahankan oksigenasi yang 8. Hipoksia akan meningkatkan aliran
adekuat darah otak tekanan intrakranial
9. Hindari memutar kepala ke 9. Akan mengurangi aliran arteri karotis
samping tiba-tiba dan oksigenasi ke otak
26

g. Nyeri yang berhubungan dengan prosedur, diagnosis dan


tindakan.
Tujuan: pasien tidak memperlihatkan adanya nyeri yang
dirasakan.
Kriteria hasil :
Pasien tidak merintih atau menangis kesakitan.
Pasien tidak memperlihatkan tanda nyeri atau tanda nyeri yang
minimal.

Intervensi Rasional
1. Kaji keefektifan upaya kontrol 1. Beberapa upaya (misalnya menggosok)
nyeri non farmakologis dapat meningkatkan distres bayi
prematur
2. Dorong orang tua untuk 2. Sebagai orang tua bayi, kenyamanan
memberikan upaya kenyamanan lebih efektif diberikan langsung oleh
bila mungkin orang tua kepada bayinya
3. Tunjukkan sikap sensitif dan 3. Seorang bayi sangat membutuhkan kasih
kasih sayang pada bayi sayang, khususnya dari orang tua

h. Risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang


berhubungan dengan kelahiran premature, lingkungan NICU
tidak alamiah, perpisahan dengan orang tua.

Intervensi Rasional
1. Berikan nutrisi yang maksimal 1. Untuk menjamin penambahan berat
badan dan pertunbuhan otak yang tetap
2. Berikan periode istrahat yang 2. Untuk mengurangi panggunaan O2 dan
teratur tanpa gangguan kalori yang tidak perlu
3. Kenali tanda stimulus yang 3. Untuk membiarkan istirahat bayi
berlebihan (terkejut, menguap, denagn tenang
aversi aktif, menangis)
4. Tingkatkan interaksi orang tua- 4. Sangat penting untuk pertumbuhan dan
bayi perkembangan normal

i. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan


imobilitas, kelembaban kulit.
Tujuan: bayi mempertahanmkan integritas kulit.
Kriteria hasil:
Kulit tetap bersih dan utuh.
27

Tidak terlihat adanya tanda-tanda terjadinya iritasi.

Intervensi Rasional
1. Observasi tekstur dan warna kulit. 1. Untuk mengetahui adanya kelainan
pada kulit secara dini
2. Jaga kebersihan kulit bayi. 2. Meminimalkan kontak kulit bayi
dengan zat-zat yang dapat merusak
kulit pada bayi
3. Ganti pakaian setiap basah. 3. Untuk meminimalisir terjadinya iritasi
pada kulit bayi
4. Jaga kebersihan tempat tidur. 4. Untuk mencegah kerusakan kulit pada
bayi
5. Lakukan mobilisasi tiap 2 jam. 5. Mencegah kerusakan kulit akibat
tekanan statis yang terus-menerus

j. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit


bayinya ditandai dengan orang tua klien tampak cemas dan
khawatir malihat kondisi bayinya, dan berharap agar bayinya
cepat sembuh
Tujuan: keluarga mendapat informasi tentang kemajuan kondisi
bayinya.
Kriteria hasil:
Orang tua atau keluarga mengekspresikan perasaan dan
keprihatinan mengenai bayi dan prognosis serta memperlihatkan
pemahaman dan keterlibatan dalam asuhan.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pemahaman klien 1. Belajar tergantung pada emosi dan
berikan instruksi /informasi pada kesiapan fisik dan diingatkan pada
klien maupun keluarga tentang tahapan individu
penyakitnya, baik tertulis atau
lisan.
2. Jelaskan proses penyakit 2. Menurunkan ansietas dan dapat
individu. Dorong orang terdekat menimbulkan perbaikan partisipasi pada
menanyakan pertanyaan rencana pengobatan.
3. Jelaskan tentang dosis obat, 3. Meningkatkan kerjasama dalam program
frekwensi, tujuan pengobatan pengobatan dan mencegah penghentian
dan alasan tentang pemberian obatsesuai perbaikan kondisi pasien.
obat kepeda keluarga
4. Kaji potensial efek samping obat 4. Mencegah/menurunkan ketidaknyaman
sehubungan dengan terapi dan
meningkatkan kerjasama.
28

4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan,mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan
mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan
kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain.
Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang
didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas
kesehatan lain.
5. Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan klien dengan berpedoman kepada hasil
dan tujuan yang hendak dicapai.
29

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

Dilakukan : KELOMPOK
Tanggal Pengkajian : 12 Juli 2017, pukul 08.00 WIB.
Ruang Perinatologi RSUD Banyumas

1. Identitas
Nama : By Ny. S
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL/Usia : 21 Juni 2017
Nama ayah/ibu : Tn. A/ Ny. S
Pekerjaan ayah/ibu : Swasta/ IRT
Pendidikan ayah/ibu : SMK/ SMA
Agama : Islam/ Islam
Alarnat : Senon 14/5 Purbalingga
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
2. Keluhan Utama
Ny. S mengatakan bayinya gumoh setelah diberikan ASI melalui selang
makan.
3. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Prenatal
1) Jumlah kunjungan : 4 kali
2) Periksa di bidan/dokter : dokter
3) Penkes yang didapat : Gizi ibu hamil, tanda bahaya persalinan
4) HPHT : 12-11-2016, Usia kehamilan :31+6 minggu, G1P0A0
5) Kenaikan BB selama hamil : 11 kg
6) Komplikasi kehamilan : tidak ada
7) Komplikasi obat : tidak ada
8) Obat-obatan yang didapat : Sulfas Ferrous 1 x 1 tablet.
9) Riwayat hospitalisasi : tidak pernah
10) Golongan darah ibu :O
30

11) Pemeriksaan kehamilan/skreening maternal : Hepatitis dan HIV,


hasil (-)
b. Natal
1) Awal persalinan : Awal persalinan 20 Juni 2017, pukul 21.00 WIB.
2) Lama persalinan : 14,5 jam, Lahir pukul 11.30 WIB.
3) Komplikasi persalinan : tidak ada
4) Terapi yang diberikan untuk ibu: Amoxilline 3x500 mg, Asam
Mefenamat 3x1 tablet, SF 1x1 tablet.
5) Cara melahirkan : pervaginam
6) Tempat melahirkan : rumah sakit
c. Post natal
1) Usaha bernafas: dengan bantuan , RR 75 x/mnt , N : 160x/mnt, S
36˚C.
2) Kebutuhan resusitasi : Dari awal lahir dengan CPAP
3) Obat-obatan yang diberikan saat lahir : Vitamin K injeksi, Salep
mata.
4) Interaksi bayi dengan orangtua : ada
5) Trauma lahir : tidak ada
6) Keluarnya urin/ BAB : ada
7) Respon fisiologis yang bermakna: nangis merintih, kulit biru dan
pucat, APGAR SCORE kelahiran 5/6.
4. Riwayat Keluarga
Genogram ( 3 generasi):

Keterangan :
: Laki-laki meninggal :Laki-laki hidup : Pasien
: Perempuan meninggal : : Perempuan hidup ---- : Satu rumah
: Garis pernikahan : Garis keturunan
31

5. Riwayat Sosial
a. Sistem pendukung yang dapat dihubungi : Orang tua bayi Ny. S
b. Hubungan orang tua dan bayi : ibu tinggal di RS menunggui bayinya,
ibu selalu mengajak bicara bayinya, mengelus, menggendong bayinya.
Data tambahan : Ny. S mengatakan bayinya merupakan anak pertama.
c. Anak yang lain :
Jenis kelamin Riwayat Persalinan Riwayat Usia
anak Imunisasi
Tidak ada

d. Lingkungan rumah : tidak ada masalah


e. Masalah sosial yang penting
( - ) kurangnya sistim dukungan sosial
( - ) perbedaan bahasa
( - ) riwayat penyalah gunaan zat adiktif
( - ) lingkungan rumah yang kurang memadai
( - ) masalah keuangan
6. Keadaan Kesehatan Saat Ini
a. Diagnosa Medis : BBLR kurang bulan sesuai masa kehamilan, spontan,
riwayat asfiksia neonatorum, dan sepsis neonatorum
b. Tindakan operasi : tidak ada
c. Obat-obatan : Theosal oral (k/p), Ferris 7 mg/ 24 jam, Apialis 0.3 mg/
24 jam.
d. Tindakan keperawatan : monitoring vital sign, feeding OGT, alih baring,
Latih menetek, dan Kangoroo mother care (KMC)
e. Hasil laboratorium :
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai normal
6/7/2017 WBC 12.6 3.70-10.1 10³/uL
HGB 14.5 12.9-14.2 g/dl
HCT 36.7 37.7-53.7 %
PLT 302 155-366 10³/uL
6/7/2017 Natrium 132 135-155 mmol/l
Kalium 6.2 3.5-5.5 mmol/l
Clorida 102 94-111 mmol/l
6/7/2017 Albumin 3.0 3.4-5.0 g/dl
f. Hasil Rontgen : Baby gram : dbn
32

g. Data tambahan: Gumoh 1x, residu 1 cc


7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum :Cukup
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda Vital : Nadi : 140 x/mnt, Suhu: 36,5˚C, RR : 42 x/mnt
Ukuran Saat Lahir Saat ini
Berat Badan 1600 gr BB kemarin : 1610 gr
BB hari ini : 1635 gr
Panjang Badan 42cm 42 cm
Lingkar Kepala 28 cm 29 cm
Lingkar dada 24 25 cm
Lingkar perut 23 25 cm
LILA 8 cm 9 cm

d. Reflek : Moro kurang, menggenggam kurang, menghisap kurang.


Data tambahan : Ny. S mengatakan bayinya belum bisa menetek dengan
baik
e. Tonus/ Aktivitas : aktif, menangis lemah.
f. Kekuatan otot : 5 5 (rentang gerak kekuatan penuh)
5 5
g. Kepala/ Leher : Fontanel anterior : lunak
1) Sutura sagitalis : tepat
2) Gambaran wajah : simetris
3) Molding (+)
4) Mata : bersih
5) THT :
a) Telinga : normal
b) Hidung : bilateral
c) Palatum : normal
d) Mulut : terpasang OGT ukuran 5, cairan ASI keluar melalui
mulut, setelah cairan dibersihkan, tampak area mulut agak
kebiruan/ sianosis, bibir tampak kotor berwarna putih dan kering
h. Toraks : simetris
1) Retraksi : derajat 0
2) Klavikula : normal
3) Paru-paru
33

a) Suara napas : sama kanan kiri, bersih, terdengar disemua lapang


paru
b) Respirasi : spontan, jumlah : 42 x/menit (cepat dan reguler),
SPO2 95%
4) Jantung
a) Bunyi Normal Sinus Rhytm (NSR) : 140 x/menit
i. Abdomen
1) Inspeksi : tampak kembung/ distensi, LP 25 cm, umbilikus kering.
2) Palpasi : agak tegang, liver kurang dari 2 cm.
3) Perkusi : timpani
4) Auskultasi : 10 x/menit
j. Genital : dalam batas normal, anus berlubang, spina tidak ada kelainan.
k. Ekstremitas : Semua ekstremitas gerak, ekstremitas atas dan bawah
simetris.
Data tambahan : akral ekstrimitas terasa dingin, tampak agak sianosis/
kebiruan.
l. Kulit : tampak kemerahan, akral dingin, jaringan lipo kurang, elastisitas
kurang, suhu : 36,5˚C, suhu lingkungan/inkubator : 30,3˚C, suhu kulit :
31,2˚C, bayi diletakkan pada nesting.
8. Terapi
a. Kebutuhan cairan/ hari : 180 cc / kg BB/ 24 jam : 294 cc/ hari
b. Per oral 12/7/2017 : ASI 28 cc/ 2 jam
9. Ringkasan Riwayat Keperawatan
By. Ny. S berumur 21 hari dengan diagnosa medis Neonatus preterm,
BBLR, Asfiksia. By. Ny. S. lahir pada umur kehamilan 31+6 minggu. BB
lahir 1604 gr, BB sekarang 1635 gr. Vital sign HR: 140 x/menit, RR: 42
x/menit, Suhu kulit: 36,5 oC, kedua ekstrimitas agak sianosis, akral dingin.
Refleks hisap kurang, bayi terpasang OGT ukuran 5, bibir tampak kotor
berwarna putih dan kering, cairan ASI tampak keluar melalui mulut saat
diberi ASI melalui OGT, ketika mulut dibersihkan, tampak mulut agak
sianosis, tampak distensi abdomen, bising usus 10 x/ menit. Pasien dalam
terapi pemberian oral.
34

ANALISIS DATA
Tanggal/jam Data Klien Masalah Penyebab
12/7/2017 DS: Ny.S mengatakan Ketidakefektifan Prematuritas
bayinya belum bisa pola makan bayi
menetek dengan baik

DO: Mulut bayi


terpasang OGT, reflek
menghisap kurang,
gumoh 1x, residu OGT
1 cc, bibir tampak kotor
berwarna putih dan
kering, keluar ASI dari
mulut saat diberikan
ASI melalui OGT. IMT
: (1.635 kg) / (0,42 m)2 :
3,8% (BB kurang).

2/7/2017 DS: Ny. S mengatakan Risiko aspirasi Faktor risiko :


bayinya gumoh setelah adanya slang
diberikan ASI melalui oral (OGT),
selang makan. peningkatan
residu lambung,
DO: N : 140 x/mnt, S peningkatan
36,5˚C, R 42 x/mnt, tekanan
SPO2 95%. Terpasang intragastrik,
OGT, residu 1 cc, pengosongan
abdomen tampak yang lambat
distensi, agak sianosis
pada mulut dan
ekstrimitas.
12/7/2017 DS : - Risiko hipotermi Faktor risiko :
kurang suplai
DO : BBLR, BBL 1600 lemak subkutan
gr, BBS 1635 gr, TB 42
cm, LK 29 cm, LD 25
cm, LP 25 cm, LILA 9
cm, IMT 3,8% (BB
kurang), lahir dengan
usia kehamilan 31+6
minggu, jaringan lipo
kurang, S 36,5 ˚C
(hipotermi tingkat 1),
agak sianosis pada
mulut dan ekstrimitas,
akral dingin.
35

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN SESUAI DENGAN PRIORITAS


1. Ketidakefektifan pola makan bayi b.d prematuritas.
2. Risiko aspirasi dengan faktor risiko adanya slang oral (OGT), peningkatan
residu lambung, peningkatan tekanan intragastrik, pengosongan yang
lambat.
3. Risiko hipotermi dengan faktor risiko kurang suplai lemak subkutan
36

C. RENCANA KEPERAWATAN
No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional
Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)

1 Rabu, 12 Ketidakefektifan pola Infant Nutritional Status Nutritional Monitoring


Juli 2017 makan bayi b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Timbang berat badan pasien 1. Menentukan intervensi
prematuritas selama 3x24 jam, diharapkan status nutrisi 2. Monitor pertumbuhan dan 2. Menentukan intervensi
bayi terpenuhi, dengan kriteria hasil : perkembangan
Domain 2. Nutrisi 3. Lakukan pengukuran 3. Menentukan langkah
Kelas 1. Makan Indikator Awal Target antropometri pada komposisi intervensi
1. Toleransi makanan 4 5 tubuh
Definisi : Gangguan 2. Perbandingan berat 4 5 4. Monitor kecenderungan naik atau 4. Menentukan langkah
kemampuan bayi untuk badan turunnya berat badan intervensi
mengisap/ 5. Identifikasi perubahan berat 5. Melihat keberhasilan
mengoordinasi respons badan terakhir intervensi
mengisap/ menelan Keterangan No. 1 : 6. Monitor turgor kulit dan 6. Turgor kulit yang buruk
yang mengakibatkan 1. Tidak adekuat (isi keluar semua/ residu mobilitas menandakan nutrisi belum
ketidakadekuatan sesuai jumlah intake) terpenuhi
nutrisi oral untuk 2. Sedikit adekuat (residu setengah dari 7. Monitor adanya mual muntah/ 7. Mengkaji kemampuan
kebutuhan metabolik. jumlah intake) gumoh menerima asupan makanan
3. Cukup adekuat (residu seperempat dari
Batasan karakteristik : jumlah intake) 8. Lakukan evaluasi kemampuan 8. Indikasi adanya refluk
Ketidakmampuan 4. Sebagian besar adekuat (residu minimal) menelan esofagus/ masalah lain
memeprtahankan 5. Sepenuhnya adekuat (tidak ada residu) pada sistem pencernaan
mengisap yang efektif, 9. Tentukan rekomendasi energi 9. Ketepatan pemberian
ketidakmampuan Keterangan No. 2 : berdasarkan faktor pasien (BB, asupan nutrisi mendukung
memulai mengisap 1. BB sekarang (BBS) turun >10 % dari TB, dll) pertumbuhan dan
yang efektif, BB sebelumnya perkembangan pasien
ketidakmampuan 2. BBS turun 1-10%dari BB sebelumnya
mengoordinasi 3. BBS sama dengan BB sebelumnya
mengisap, menelan, dan 4. BBS naik 1-10 % dari BB sebelumnya
bernafas.
37

No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional


Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)

5. BB naik > 10 % dari BB sebelumnya

2. Rabu, 12 Risiko aspirasi dengan Respiratory Status Aspiration Precaution


Juli 2017 faktor risiko adanya Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor tingkat kesadaran, 1. Kesadaran yang menurun
slang oral (OGT), selama 3x24 jam, diharapkan status refleks batuk, dan kemampuan meningkatkan terjadinya
peningkatan residu pernafasan baik, dengan kriteria hasil : menelan. kondisi kegawatan.
lambung, peningkatan 2. Pertahankan kepatenan jalan 2. Jalan nafas paten
tekanan intragastrik, Indikator Awal Target nafas. mempertahankan ventilasi
pengosongan yang 1. Sianosis 4 5 oksigen menjadi adekuat.
lambat. 2. Saturasi oksigen 4 5 3. Monitor status pernafasan. 3. Untuk menentukan
intervensi.
Domain 11. Keamanan/ 4. Monitor kebutuhan perawatan 4. Menghitung jumlah
perlindungan Keterangan No 1: saluran cerna. kebutuhan tubuh.
Kelas 2. Cedera fisik 1. Sangat berat (pucat seluruh tubuh) 5. Posisikan kepala tegak 30˚ saat 5. Mengurangi risiko aspirasi.
2. Berat (sianosis seluruh tubuh) pemberian makan melalui OGT.
Definisi : rentan 3. Cukup (Badan merah, ekstrimitas biru) 6. Jaga kepala dengan tempat tidur
mengalami sekresi 4. Ringan (Badan merah, ekstrimitas biru ditinggikan 30-45˚ setelah 6. Posisi datar memicu
gastrointestinal, sekresi minimal) pemberian makan. terjadinya refluks isi
orofaring, benda cair 5. Tidak ada 7. Periksa posisi OGT sebelum lambung.
atau padat ke dalam pemberian makan. 7. Memastikan asupan
saluran trakeobronkhial Keterangan No. 2 : makanan masuk ke dalam
yang dapat 1. Deviasi berat dari kisaran normal < 80 % 8. Periksa residu OGT sebelum lambung.
mengganggu kesehatan 2. Deviasi yang cukup-cukup berat dari pemberian makan. 8. Residu dalam lambung
kisaran normal 80-85% mengindikasikan
3. Deviasi sedang dari kisaran normal 86- penyerapan yang kurang
90% 9. Berikan perawatan mulut baik.
4. Deviasi ringan dari kisaran normal 91- 9. Memberikan rasa nyaman
95% Vital Sign Monitoring
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal > 10. Monitor tekanan darah, nadi, 10. Menentukan intervensi
38

No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional


Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)

95% suhu, dan status pernafasan


dengan tepat.

3. Rabu, 12 Risiko hipotermi Thermoregulation :New born Temperature Regulation


Juli 2017 dengan faktor risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor suhu minimal 2 jam 1. Menentukan intervensi
kurang suplai lemak selama 3x24 jam, diharapkan termoregulasi sesuai kebutuhan
subkutan bayi baru lahir baik, dengan kriteria hasil : 2. Monitoring warna dan suhu kulit 2. Menentukan intervensi
Indikator Awal Target 3. Tingkatkan intake cairan nutrisi 3. Mencegah hilangnya
Domain 11. Keamanan/ 1. Suhu tidak stabil 4 5 kelembaban dalam tubuh
perlindungan 2. Penyapihan dari 4 5 4. Selimuti pasien untuk mencegah 4. Mmengurangi evaporasi
Kelas 6. Termoregulasi inkubator ke boks bayi hilangnya kehangatan tubuh suhu tubuh secara drastis.

Definisi : rentan Baby Care : new born


terhadap kegagalan Keterangan 1: 5. Bantu orang tua untuk 5. Sebagai sarana
termoregulasi yang 1. Berat (Hipotermi tingkat 4, suhu inti memandikan bayi. pembelajaran perawatan
dapat mengakibatkan mendekati 34˚C) bayi setelah di rumah.
suhu tubuh di bawah 2. Cukup berat (Hipotermi tingkat 3, suhu 6. Dukung dan fasilitasi ikatan dan 6. Meningkatkan ikatan kasih
rentang normal diurnal, inti mendekati 35˚C) kelekatan keluarga dengan bayi sayang antara orang tua dan
yang dapat 3. Sedang (Hipotermi tingkat 2, suhu inti bayi
mengganggu kesehatan. mendekati 36˚C) 7. Sediakan lingkungan yang 7. Meningkatkan periode
4. Ringan (Hipotermi tingkat 1, suhu inti nyaman dan menenangkan istirahat dan kenyamanan
mendekati 36,5˚C) bayi.
5. Tidak ada (Suhu inti normotermi 36,6-
37,5˚C)

Keterangan 2 :
1. Sangat terganggu (hipotermi tingkat 4
saat disapih pada boks bayi)
2. Banyak terganggu (hipotermi tingkat 3
39

No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional


Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)

saat disapih pada boks bayi)


3. Cukup terganggu (Hipotermi tingkat 2
saat disapih pada boks bayi)
4. Sedikit terganggu (hipotermi tingkat 1
saat disapih pada boks bayi)
5. Tidak terganggu (Suhu stabil
normotermi)
40

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd
tanggal/jam
1. Rabu, 12 I 06.00 1,3,4,5 Menimbang berat badan antropometri. O : BBS : 1635 gr, BBK 1610 gr, BB naik 25 gram/
2. Juli 2017 I 08.00 3. Mengukur antropometri. hari (normal : 30 gr/ hari), LK 29 cm, LD 225 cm,
LP 25 cm, PB 42 cm, LILA 9 cm.
3. II/III 10/1,2 Mengukur vital sign dan memeriksa O : N : 140 x/ menit, S : 36,5˚C, RR : 42 x/menit,
warna kulit, SPO2 SPO2 95%, , bayi tenang, akral dingin, agak sianosis
pada ekstrimitas dan mulut, SPO2 95%.
4. II 2,5,6 Memberikan posisi head up 30˚ dengan O : Posisi head up (+), bayi tampak tenang.
memiringkan inkubator pada bagian kaki lebih
rendah dari kepala.
5. I/II/III 9/4/3 Menghitung kebutuhan cairan perhari O : Kebutuhan cairan /24 jam = 294 cc, ASI 28 cc/
2jam
6. I/II 09.00 7/7,9 Memeriksa OGT, memeriksa residu O : Residu 1 cc, kemudian dimasukkan kembali, dan
dengan menarik isi lambung menggunakan spuit, memberikan ASI baru ke dalam OGT, respon gumoh
dan memberikan feeding OGT 28 cc dengan ASI (+), kepala pasien dimiringkan.
perah
7. II 9. Melakukan oral higiene O : Mulut tampak bersih setelah dibersihkan
menggunakan kasa yang dibasahi air hangat, baju
diganti yang bersih.
8. III 3. Memberikan obat oral Ferris 7 mg dan Apialis O : Obat masuk, tidak ada reaksi alergi.
0,3 mg diteteskan pada mulut bayi.
9. I 6. Melakukan alih baring tubuh bayi dari posisi O : Bayi berubah posisi ke miring kanan, respon
miring kiri ke posisi miring kanan, dengan tenang.
menempatkan kepala pada bantalan nesting yang
lebih tinggi
10. I/II 10.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding OGT ASI O : Gumoh tidak ada, bayi tenang, respon menelan
perah sebanyak 28 cc. (+), bayi membuka mata (+).
11. III 11.00 7,3 Mengganti pampers kotor berisi feses dan O : Anus dibersihkan menggunakan tisue basah dan
urine dengan yang bersih dan melakukan anus mengangkat kedua kaki agar feses dapat
41

No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd


tanggal/jam
higiene, dan menimbang berat pampers isi. dibersihkan, area perianal bersih, berat pampers isi
60 gr/ 5 jam.
12. Rabu, 12 III 11.10 6. Membantu Ny. S melakukan metode kanguru O : Bayi tampak tenang
Juli 2017 pada bayinya dengan menempelkan badan bayi
pada dada ibu tanpa baju menggunakan
gendongan, dan menutupi dengan selimut.
13. I/II 12.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding OGT ASI O : ASI masuk, gumoh (-), posisi bayi tegak lurus
perah 28 cc. sambil digendong.
14. III/II 13.00 7,1,2/ 2,3,10 Memindahkan bayi ke dalam O : S 36,7˚C, RR : 42 x/mnt, N: 140 x/mnt, akral
inkubator dan memonitor vital sign. dingin, sianosis <
15. I/II 04.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding OGT 28 cc O : ASI masuk, gumoh (+), kepala bayi dimiringkan,
ASI perah aspirasi (-).
16. Kamis, 13 I 06.00 1,2,4,5Menimbang BB bayi BBK : 1635 gr, BBS 1695 gr, BB naik 60 gr/hari.
17. Juli 2017 I 5,7. Memandikan bayi dengan menggunakan air O : Bayi tampak segar dan wangi.
hangat dan mengganti baju dan pampers yang
kotor dengan yang bersih.
18. I/II 08.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding 28 cc ASI O : ASI masuk, gumoh (-)
19. I/II 9/4 Menentukan kebutuhan cairan perhari O : 180 cc x 1,695 kg : 305 cc/ hari. ASI perah
dipertahankan 28 cc
20. I/II/III 6/1,2,3,10/1,2 Mengukur vital sign, dan menilai O : N : 136x/mnt, RR : 47x/mnt, S : 36,7˚C, kulit
warna dan elastisitas kulit. kemerahan, turgor kulit kurang, LILA 9 cm.
21. II 10.00 7,8 Melepas OGT lama dan memasang kembali O : OGT baru terpasang di mulut bayi. Fiksasi (+).
OGT baru.
22. III/I 3/ 7,8 Memberikan intake ASI Perah melalui O : ASI masuk, reaksi gumoh (-), bayi tampak
OGT 28 cc dan mengevaluasi respon bayi. menelan.
23. III 11.00 7. Mengganti pampers kotor dengan yang baru O : pampers bayi bersih, berat pampers kotor 110
dan menimbang beratnya gr/5 jam, pampers bersih beratnya 50 gr.
24. III 3,6 Memotivasi ibu bayi untuk melakukan S : Ny. S mengatakan bayinya sudah mulai menyusu
metode kanguru kembali dengan cara tapi harus sering dibangunkan
42

No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd


tanggal/jam
menggendong bayi dalam dekapan ibu tanpa O : Bayi tampak menangis ketika baju dilepas dan
baju, bersentuhan antara kulit dengan kulit tenang saat sudah digendong ibunya, bayi mulai
kurang lebih 2 jam. menyusu, refleks hisap masih lemah, tampak sering
dibangunkan karena tertidur.
25. III/I 12.00 3/7,8 Memberikan ASI perah melalui OGT O : ASI masuk, gumoh (-), bayi tampak menelan dan
sebanyak 28 cc berespon seperti sedang menyusu.
26. II/III 13.00 1,2,3/1,2 Mengukur vital sign O : S : 36,5˚C, N : 144x/mnt, RR 40 x/mnt. Tidak
ada perubahan tanda-tanda vital yang ekstrim.
27. II 14.00 7,8 Memeriksa residu dan memberikan ASI O : Residu (-), ASI masuk, tidak ada gumoh, bayi
perah melalui OGT sebanyak 28 cc seperti sedang menyusu.
28. Jum’at, 14 III/I 04.00 3/7,8 Memeriksa residu dan memasukkan O : residu (-), ASI masuk, gumoh (+), kepala bayi
Juli 2017 feeding 28 cc ASI ke OGT dimiringkan.
29. II 9. Melakukan oral higiene O : Mulut bayi tampak bersih, sianosis (-)
30. I 06.00 1,2,4,5 Menimbang berat badan bayi O : BBK 1695 gr, BBS 1695 gr, kenaikan BB (-)
31. III 5. Memandikan bayi O ; Bayi tampak bersih
32. I 9. Menghitung kebutuhan cairan perhari O : Kebutuhan cairan 305 cc/ hari, ASI
dipertahankan 28 cc/ 2 jam.
33. II/III 08.00 8/3 Memeriksa residu dan memberikan ASI O : ASI masuk, gumoh (+), kepala bayi dimiringkan
perah 28 cc.
34. II 9. Melakukan oral higiene O : mulut bersih, tidak tampak tanda-tanda sianosis
35. I/II/III 6/ 1,3,10/1 Mengukur vital sign O : S : 37,1˚C, N : 154x/mnt, RR : 48x/mnt.
36. II/III 09.00 4/3,6 Memberikan penkes tentang pentingnya S : Ny. S mengatakan ASI nya keluar sudah lancar
ASI eksklusif bagi bayi berat rendah supaya karena diperah terus, Ny. S mengatakan akan
berat badan meningkat. melakukan sesuai saran petugas, dan makan minum
yang seimbang agar ASI melimpah.
37. II/III 10.00 8/3 Memeriksa residu dan memasukkan ASI O : Residu 1 cc, dimasukkan kembali, memasukkan
perah 27 cc melalui OGT ASI sebanayk 27 cc, gumoh (-).
38. III 11.00 6,4 Membantu KMC pada ibu bayi dan S : Ny S mengatakan bayinya mulai pintar menyusu,
memberikan selimut pada bayi walaupun sering tertidur
43

No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd


tanggal/jam
O : Bayi tampak menyusu, areola masuk ke dalam
mulut bayi, bayi tampak tertidur dan dibangunkan
ibunya, perut kembung (-)
39. III 12.00 7. Mengganti pampers kotor dengan yang baru O : Berat pampers 160 gr/ 7 jam, perianal bayi
dan menimbang beratnya tampak bersih.
40. II 13.00 10. Mengukur vital sign O : S: 36,9˚C, N : 140 x/mnt, RR : 48x/mnt
41. III 14.00 7,2 Memindahkan bayi dari inkubator ke boks O : Bayi dipindah ke boks bayi, dengan posisi boks
bayi dan mengukur SPO2 dimringkan 30˚ dengan kaki lebih rendah dari pada
kepala,sianosis (-), akral masih dingin, SPO2 96%.
42. III/I/II 18.00 3/7 /9Memberikan ASI perah per OGT dan oral O : Bayi gumoh (-), residu (-), kepala dimiringkan,
higiene dan mulut dibersihkan. Tidak ada sisa susu dalam
43. Sabtu, 15 I 06.00 1,2,3,4,5 Menimbang berat badan bayi mulut.
44. Juli 2017 III 5,4 Memandikan bayi, dan memberikan selimut O : BBK 1695 gr, BBS 1720 gr, naik 25 gr/ hari.
setelah mandi. O : Bayi tampak segar, dan hangat.
45. I/II/III 08.00 Melakukan evaluasi tindakan keperawatan S : Ny. S mengatakan bayinya sudah tidak gumoh
bila diberi ASI, menyusu sudah mulai bisa,
meskipun sering tertidur.
O : Toleransi bayi terhadap ASI sudah mulai baik,
tidak tampak residu pada OGT, gumoh (-), BBS naik
1,4% dari BBK, sianosis (-), px fisik : akral masih
dingin, perut kembung (-), mulut bersih, SPO2 96%,
TTV : S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt, bayi
sudah turun boks dari inkubator ke boks bayi biasa.
44

XI. EVALUASI KEPERAWATAN


No Hari/ Tgl/Jam Diagnosa keperawatan Evaluasi (SOAP)
1. Sabtu, 15 Juli 2017 Ketidakefektifan pola makan bayi b.d S : Ny. S mengatakan bayinya sudah tidak gumoh bila diberi ASI,
prematuritas. menyusu sudah mulai bisa, meskipun sering tertidur.

O : Toleransi bayi terhadap ASI sudah mulai baik, tidak tampak residu
pada OGT, gumoh (-), BBS naik 1,4% dari BBK, px fisik : sianosis (-),
akral masih dingin, perut kembung (-), mulut bersih, SPO2 96%, TTV
: S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt, bayi sudah turun boks dari
inkubator ke boks bayi biasa.

A : Indikator tercapai sebagian


Indikator Awal Target Capaian
1. Toleransi makanan 4 5 5
2. Perbandingan BB 4 5 4

P : Lanjutkan intervensi
 Nutritional monitoring
 Nutritional management
45

No Hari/ Tgl/Jam Diagnosa keperawatan Evaluasi (SOAP)


2. Sabtu, 15 Juli 2017 Risiko aspirasi dengan faktor risiko S : Ny. S mengatakan bayinya sudah tidak gumoh.
adanya slang oral (OGT), peningkatan
residu lambung, peningkatan tekanan O : Toleransi bayi terhadap ASI sudah mulai baik, tidak tampak residu
intragastrik, pengosongan yang lambat pada OGT, gumoh (-), BBS naik 1,4% dari BBK, px fisik : sianosis (-),
akral masih dingin, perut kembung (-), mulut bersih, SPO2 96%, TTV
: S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt.

A : Indikator tercapai penuh


Indikator Awal Target Capaian
1. Sianosis 4 5 5
2. Saturasi O2 4 5 5

P : Pertahankan intervensi
 Aspiration precaution
 Vital sign monitoring

3. Sabtu, 15 Juli 2017 Risiko hipotermi dengan faktor risiko S : -


kurang suplai lemak subkutan O : TTV : S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt, bayi sudah turun
boks dari inkubator ke boks bayi biasa.

A : Indikator tercapai penuh


Indikator Awal Target Capaian
1. Suhu tidak stabil 4 5 5
2. Penyapihan dari 4 5 5
inkubator ke boks bayi

P : Pertahankan intervensi
 Temperature regulation
 Baby care : new born
46

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan asuhan keperawatan di atas dapat diketahui bahwa pasien


bernama By. Ny. S. datang dari VK IGD pada tanggal 21 Juni 2017 dengan
indikasi BBLR dan asfiksia. Awalnya bayi lahir spontan dari G1P0A0, lahir
BBLR usia kehamilan 31+6 minggu, berat badan 1600gr, PB 42 cm, LK 28 cm,
LD 24 cm, LP 23 cm, LILA 8 cm, nangis merintih, kulit biru dan pucat, APGAR
SCORE kelahiran 5/6, vital sign, RR : 75x/menit, N : 160 x/mnt, S : 36˚C, bayi
diberikan oksigenasi CPAP, FIO2 21%, SPO 298%. Diberikan tindakan
keperawatan pemberian sonde secara bertahap, pemberian cairan IV, perawatan
inkubator, dan terapi injeksi antibiotik.
Kondisi sekarang setelah perawatan hari ke-21, bayi sudah tidak diberikan
terapi injeksi, perawatan masih dalam inkubator karena suhu belum stabil, TTV
N : 14 x/mnt, S 36,5˚C, RR 42 x/mnt, SPO2 95%, masih terpasang OGT, ukuran
antropometri : TB 42 cm, LK 29 cm, LD 25 cm, LP 25 cm, LILA 9 cm, IMT
3,8% (BB kurang). Pemberian obat secara oral, yakni Theosal oral (k/p), Ferris 7
mg/ 24 jam, Apialis 0.3 mg/ 24 jam, dan pasien diberikan terapi sonde 28 cc/ 2
jam dari kebutuhan cairan perhari yakni 294 cc/ hari. Berat badan kemarin 1610
gr, dan berat badan sekarang 1635 gram. Hasil dari pengkajian yang lain
didapatkan data Ny. S mengatakan bayinya belum bisa menetek dengan baik, dan
data objektif memperlihatkan pasien terpasang OGT, dari observasi tampak
refleks menghisap masih lemah, bibir kotor berwarna putih dan kering. Pada saat
di residu, isi lambung masih ada sebanyak 1 cc, dan saat diberikan ASI melalui
OGT ada yang keluar lewat mulut. Dari pemeriksaan fisik bayi nampak distensi
abdomen, namun masih terdapat bising usus 10x/mnt, ekstrimitas dan mulut agak
sianosis, dengan rabaan akral dingin. Berdasarkan hasil pengkajian di atas, bayi
Ny. S dengan berat badan lahir rendah memiliki permasalahan keperawatan
berdasarkan prioritas antara lain ketidakefektifan pola makan bayi, risiko asfiksia,
dan risiko hipotermi.
Diagnosis keperawatan ketidakefektifan pola makan bayi merupakan
gangguan kemampuan bayi untuk mengisap atau mengoordinasi respons
mengisap/ menelan, yang mengakibatkan ketidakadekuatan nutrisi oral untuk
47

kebutuhan metabolik ( NANDA, 2015). Adapun batasan karakteristk dari


diagnosis ini adalah ketidakmampuan mempertahankan mengisap yang efektif,
ketidakmampuan memulai mengisap yang efektif, dan ketidakmampuan
mengoordinasi mengisap, menelan, dan bernafas (NANDA, 2015). Pada kasus ini,
ditemukan bayi Ny. S mengalami kondisi ketidakmampuan mengisap yang
efektif, dihubungkan dengan prematuritas, dimana ditemukan BB bayi lahir 1600
gr, dengan ciri-ciri fisik pada pengukuran antropometri di atas.
Ketidakefektifan pola makan bayi timbul akibat imaturitas sistem
gastrointestinal. Beberapa faktor yang memberikan efek pada masalah
ketidakefektifan pola makan bayi antara lain kurangnya kemampuan untuk
mencerna makanan menyebabkan bayi preterm mempunyai lebih sedikit
simpanan garam empedu, yang diperlukan untuk mencerna dan mengabsorpsi
lemak dibandingkan dengan bayi aterm. Selain itu, belum matangnya fungsi
mekanis dari saluran pencernaan, koordinasi antara refleks hisap dan menelan
yang belum berkembang dengan baik sampai kehamilan 32-34 minggu, padahal
bayi BBLR memiliki kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi karena target pencapaian
berat badan bayi BBLR lebih besar. Penundaan pengisian lambung dan buruknya
motilitas usus terjadi pada bayi preterm (Maryunani, 2009).
Peningkatan berat badan merupakan proses yang sangat penting dalam
tatalaksana BBLR disamping pencegahan terjadinya penyulit. Proses peningkatan
berat badan bayi tidak terjadi segera dan otomatis, melainkan terjadi secara
bertahap sesuai dengan umur bayi. Peningkatan berat yang adekuat akan sangat
membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi secara normal dimasa depan
sehingga akan sama dengan perkembangan bayi berat badan lahir normal. Berat
badan bayi baru lahir dapat turun 10% dibawah berat badan lahir pada minggu
pertama disebabkan oleh ekskresi cairan ekstravaskular yang berlebihan dan
kemungkinan masukan makanan kurang. Berat bayi harus bertambah lagi atau
melebihi berat badan lagi pada saat berumur 2 minggu dan harus bertumbuh kira
kira 30 g/hari selama satu bulan pertama. Peningkatan rata-rata berat badan per
minggu pada BBLR laki-laki diharapkan minimal sebesar 250 gam sedangkan
pada BBLR perempuan minimal sebesar 200 gam per minggu (Behrman, dan
Suradi dalam Anggraini & Septira, 2016).
Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan
dan perubahan fisik yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan zat
48

gizi. Berat badan bayi baru lahir dapat turun hingga 10% dibawah berat badan
lahir pada minggu pertama, disebabkan oleh ekskresi cairan ekstravaskular yang
berlebihan dan kemungkinan masukan makanan kurang. Berat bayi harus
bertambah lagi atau melebihi berat badan lagi pada saat berumur 2 minggu dan
harus bertumbuh kira kira 30 g/hari selama bulan pertama. Besarnya energi
tambahan yang dibutuhkan untuk mengejar pertumbuhan adalah 90-100
kkal/kg/hari. Asupan parenteral yang dibutuhkan dihitung dari rasio tambahan
setelah menghitung tambahan pengeluaran energi yang tidak dapat dihindarkan
(inevitable losses) dari konversi diet protein untuk protein tubuh. Inevitable losses
dari nitrogen diperkirakan sebesar 160 mg/kg/hari, setara dengan protein sebesar 1
g/kg/hari. Pengeluaran energi dari istirahat diperkirakan sebesar 45 kkal/kg/hari
pada bayi, dan pengeluaran energi untuk paparan dingin dan aktivitas fisik
diperkirakan sebesar 15 kkal/kg/hari (Behrman, Notoatmodjo, dan Ziegler dalam
Anggraini &Septira, 2016).
Intervensi keperawatan pada bayi Ny. S dengan BBLR antara lain nutritional
monitoring dengan aktivitas menimbang berat badan tiap pagi, memonitor
pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama terkait dengan berat badan,
melakukan pemantauan antropometri, mengevaluasi kemampuan menelan dan
menghisap, menghitung kebutuhan cairan/ hari, memasang selang orogastric tube
(OGT) yang bertujuan untuk mensuplai makanan berupa ASI karena reflek hisap
dan menelan pada bayi Ny.S belum berkembang dengan baik (Bulechek et al.,
2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah bayi dapat mentoleransi makanan
dan adanya perbandingan berat badan yang meningkat (Moorhead et al., 2013).
Selain memasang selang OGT, pemberian makan secara terjadwal juga dilakukan.
Pada bayi Ny.S, pemberian makan melalui OGT dilakukan sebanyak 12 kali
dalam sehari atau dilakukan setiap 2 jam. Jumlah pemberian ASI disesuaikan
dengan kebutuhan cairan bayi. Kebutuhan cairan total pada bayi Ny. S adalah
sebanyak 180 cc/ kgBB, yaitu 180x1,635= 294,3 cc/24 jam. Adapun pemberian
nutrisi enteral pada bayi Ny. S yang berusia 21 hari adalah 28 ccx12 kali
pemberian = 336 cc/24 jam. Hal tersebut menunjukkan pemberian nutrisi pada
bayi melebihi kebutuhan. Pemberian tersebut untuk mengantisipasi kehilangan
cairan yang tak terlihat. Namun kelebihan pemberian ASI yang pada bayi Ny. S
dapat menjadi sebab terjadinya refluks gastroesofageal pada bayi Ny. S. Dengan
49

demikian, perhitungan kebutuhan cairan atau nutrisi yang tepat pada bayi BBLR
harus diperhatikan.
Setelah dilakukan evaluasi, kebutuhan cairan bayi Ny. S dengan rentang
pemberian ASI sejumlah 28 cc/ hari dan dipertahankan dari tanggal 12-15 Juli
2017, didapatkan hasil bayi Ny. S tidak mengalami gumoh, sehingga intervensi
pemberian ASI ini cukup memenuhi kebutuhan tubuh bayi, yang ditandai dengan
tidak ada penolakan makan/ asupan oleh lambug/ gumoh (indikator tercapai
penuh) dan BB pasien meningkat sebanyak 1% dari BB satu hari sebelumnya
(indikator tercapai sebagian). Untuk selanjutnya intervensi dilanjutkan dengan
nutritional monitoring dan nutritional management untuk meningkatkan BB bayi.
Diagnosis keperawatan yang kedua yang muncul pada bayi Ny. S adalah
risiko aspirasi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko aspirasi
adalah rentan mengalami masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaring,
benda cair atau padat ke dalam saluran trakeobronkial, yang dapat mengganggu
kesehatan. Adapun faktor risiko yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya
selang oral/ OGT, peningkatan residu lambung, peningkatan tekanan intragastrik,
dan pengosongan lambung yang lambat. Pada kasus ini ditemukan adanya gumoh/
refluks dan rsidu lambung 1 cc ketika akan diberikan nutrisi ASI. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, bagian mulut dan
ekstrimitas bayi tampak agak sianosis, serta pengukuran SPO2 95%.
Risiko aspirasi ditegakkan untuk mencegah aktual terjadinya aspirasi. Hal ini
berkaitan dengan imaturitas saluran cerna bayi. Selain perkembangan fungsi dan
anatomi usus sebagai salah satu organ pencernaan pada sistem gastrointestinal,
perkembangan lainnya yang juga sangat penting adalah perkembangan fungsi
mekanis saluran cerna. Perkembangan fungsi mekanis tersebut meliputi
koordinasi menghisap dan menelan, fungsi motilitas esofagus dan sfingter
esofagus bawah, pengosongan lambung, dan motilitas usus halus (Kenner &
McGrath, 2004; Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Pada bayi berat lahir rendah dan sangat prematur, koordinasi antara aktivitas
menghisap dan menelan belum berkembang dengan baik. Belum adekuatnya
koordinasi antara menghisap dan menelan ini menyebabkan bayi memiliki risiko
tinggi untuk mengalami aspirasi (Wong et al., 2009; Neu & Douglas-Escobar,
2008). Perkembangan kemampuan menelan terjadi pada kisaran usia gestasi 32
minggu, adapun kemampuan menghisap berkembang pada usia gestasi 34 minggu
50

(Wong et al., 2009; Marnoto et al., 2011). Perkembangan koordinasi antara


kemampuan menghisap dan menelan tersebut mulai terjadi pada usia gestasi lebih
dari 36-37 minggu (Wong et al., 2009).
Selain perkembangan koordinasi menghisap dan menelan, perkembangan
fungsi mekanis lainnya dari sistem gastrointestinal ini adalah perkembangan
fungsi motilitas esofagus dan sfingter esofagus bawah. Esofagus merupakan organ
pencernaan yang berfungsi menyalurkan makanan dari faring menuju lambung.
Makanan tersebut disalurkan menuju lambung melalui gerakan atau motilitas otot
esofagus. Motilitas otot esofagus ini dirangsang oleh persarafan atau ganglia
(Muttaqin & Sari, 2011). Ganglia pada esofagus tersebut mulai berkembang pada
usia gestasi 5 minggu dan migrasi lengkap ganglia sampai ke arah rektum adalah
pada usia gestasi 24 minggu. Kemampuan motilitas esofagus akan mengalami
penurunan pada 12 jam pertama kelahiran (Neu & Douglas-Escobar, 2008). Pada
bagian bawah esofagus terdapat otot sirkular yang berfungsi sebagai sfingter
esofagus bawah yang dalam keadaan normal tetap berkontriksi kecuali pada
proses menelan. Adanya kontriksi dari sfingter esofagus bawah ini akan mencegah
terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus tersebut (Muttaqin & Sari,
2011). Namun pada bayi prematur, sfingter esofagus bawah tersebut mengalami
waktu kontraksi yang lebih lambat bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan
sehingga menyebabkan bayi memiliki risiko untuk mengalami refluks esofageal
(Kenner & McGrath, 2004; Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Adapun perkembangan lainnya dari fungsi mekanis pada sistem
gastrointestinal ini adalah perkembangan fungsi pengosongan lambung.
Pengosongan lambung pada bayi prematur terjadi lebih lambat dibandingkan
dengan bayi cukup bulan. Adanya pengosongan lambung yang lebih lambat ini
menyebabkan volume residual lambung mengalami peningkatan dan
menimbulkan risiko pada bayi untuk mengalami refluks gastroesofageal (Kenner
& McGrath, 2004; Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Selain pengosongan lambung, perkembangan fungsi mekanis selanjutnya
adalah motilitas usus halus. Pola motilitas usus halus belum berkembang dengan
baik pada usia gestasi kurang dari 28 minggu (Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Usus memiliki otot yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan otot sirkular yang
terletak pada lapisan lebih dalam dan lapisan otot longitudinal pada lapisan lebih
luar. Lapisan otot lebih dalam mulai berkembang pada usia gestasi 5 minggu dan
51

lapisan otot lebih luar pada usia gestasi 8 minggu. Kedua lapisan otot ini
mengalami penebalan seiring dengan pertambahan usia gestasi dan turut
bertanggung jawab terhadap gerakan atau motilitas usus halus melalui bantuan
persarafan (Kenner & McGrath, 2004). Berseth (1996) mengemukakan dalam
penelitiannya bahwa pada usia gestasi 27 sampai 30 minggu, pola motilitas usus
halus masih mengalami disorganisasi. Perkembangan maturasi pola motilitas usus
halus tersebut akan dicapai melalui adanya migrasi mieolelektrik kompleks pada
lapisan otot usus halus antara usia gestasi 33 sampai 34 minggu. Adapun pada
usia gestasi 36 minggu, pola motilitas usus janin sudah mulai menyerupai pola
motilitas usus pada bayi cukup bulan.
Intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi adalah
aspiration precaution, dan vital sign monitoring ( Bulechek et al., 2013). Kriteria
hasil yang diharapkan adalah respiration status tercapai, dengan indikator sianosis
tidak ada dan saturasi oksigen > 95% (Moorhead et al., 2013). Adapun aktivitas
yang dilakukan yaitu positioning untuk memaksimalkan ventilasi dan mencegah
aspirasi dengan cara menaikan inkubator dalam kemiringan 30˚, dimana kaki lebih
rendah dari kepala, serta posisi kepala lebih tinggi dari badan pada saat dilakukan
pemasangan nesting bayi. Pemberian makan ASI didahului dengan pengecekan
residu lambung minimal 6 jam sekali. Tindakan keperawatan yang lain adalah
memiringkan kepala pasien ketika terjadi refluks/ gumoh, dan dilakukan
perawatan mulut untuk membersihkan sisa ASI dalam mulut, serta memonitor
vital sign sebelum dan setelah pemberian asuhan keperawatan. Pada hari pertama
sampai dengan hari kedua, pasien masih aktif gumoh, selanjutnya pada akhir
perawatan hari ketiga, gumoh sudah tidak ada.
Setelah dilakukan evaluasi pada hari ketiga, didapatkan hasil data subjektif
berupa ibu pasien mengatakan bayinya sudah tidak gumoh, dan data objektif
menunjukkan bahwa toleransi bayi mulai baik, tidak tampak residu pada lambung,
dan dari pemeriksaan fisik bayi distensi abdomen (-), sianosis (-), dan SPO2 96%.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua indikator tercapai penuh, sehingga
intervensi selanjutnya adalah mempertahankan intervensi.
Diagnosis ketiga yang diambil berdasarkan respon pasien adalah risiko
hipotermi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko hipotermi
adalah rentan terhadap kegagalan termoregulasi yang dapat mengakibatkan suhu
tubuh di bawah rentang diurnal, yang dapat mengganggu kesehatan. Faktor risiko
52

yang mungkin pada kasus ini adalah faktor neonatus, dimana pada pasien ini
memiliki risiko hipotermi tingkat 1, dengan suhu inti mendekati 36,5˚C (NANDA,
2015).
Masalah keperawatan berupa risiko hipotermia memerlukan intervensi karena
bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan
kulit dengan berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatif luas),
kurangnya lemak subkutan (brown fat/ lemak cokelat), jaringan lemak di bawah
kulit lebih sedikit, dan tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler
kulit (Maryunani, 2009). Bayi dengan suhu tubuh yang rendah (kedinginan) akan
berusaha memproduksi panas tambahan dengan meningkatkan konsumsi kalori
dan oksigen (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Oleh karenanya kondisi ini
pada akhirnya akan menghambat pencapaian konservasi energi sebab terjadi
peningkatan ambilan kalori seiring dengan terjadinya kehilangan panas tubuh,
sehingga bayi dapat mengalami penurunan berat badan (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Adapun intervensi keperawatan yang dilakukan pada bayi Ny. S untuk
mencegah terjadinya hipotermi adalah dengan temperature regulation dan baby
care new born (Bulechek et al., 2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah
therrmoregulation new born baik, yang terdiri dari indikator suhu tidak stabil
tidak terjadi dan penyapihan dari inkubator ke boks bayi dapat dilakukan
(Moorhead et al., 2013). Implementasi/ aktivitas yang dilakukan adalah
memonitor suhu pasien, dan warna kulit, dan memberikan selimut bayi.
Menyelimuti bayi untuk mencegah kehilangan panas tubuh. Tindakan yang lain
adalah memandikan pasien untuk memberikan kenyamanan bayi, mendukung
perlekatan bayi dengan melakukan metode kanguru, serta menciptakan
lingkungan bayi yang nyaman, dengan membersihkan perianal ketika BAK/ BAK,
dan mengganti baju kotor dengan baju bersih. Setelah hari ketiga perawatan, bayi
sudah bisa turun boks dari inkubator ke boks bayi, karena pada berat badan bayi
Ny. S yaitu 1720 gram, dan dianggap mampu mempertahankan panas tubuhnya
dibandingkan pada bayi dengan berat badan di bawah berat badan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi yang ada, yakni suhu bayi dalam rentang
37,1˚C, N: 144 x/mnt, dan bayi sudah turun boks dengan vital sign stabil. Untuk
53

langkah selnjutnya mempertahankan intervensi yakni temperature regulation dan


baby care new born.
54

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. BBLR merupakan kondisi yang memerlukan perawatan intensif karena
dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas bayi.
2. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus BBLR ini adalah
ketidakefektifan pola makan bayi, risiko aspirasi, dan risiko hipotermi,
dimana semua tanda gejala muncul saat dilakukan pengkajian pada pasien
By. Ny. S.
3. Implementasi yang dilakukan pada pasien By. Ny. S berdasarkan
intervensi adalah nutritional monitoring, aspitration regulation, vital sign
monitoring, temperature regulation, dan bay care new born.
4. Hasil dari evaluasi keperawatan didapatkan diagnosis pertama indikator
tercapai sebagian, diagnosis kedua tercapai penuh, dan diagnoosis ketiga
tercapai penuh.
5. Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan pada bayi Ny. S dengan
BBLR di ruang Perinatologi RSUD Banyumas denganmemberikan
beberapa intervensi yang telah disesuaikan dengan konsep dan kondisi
pasien, dan tentunya dengan kerjasama dari pihak Perinatologi RSUD
Banyumas.

B. Saran
Beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk memajukan pelayanan
keperawatan yang bermutu pada pasien dengan BBLR antara lain :
1. Bagi instalasi pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja, motivasi, pengembangan pendidikan dan pelatihan pada
penatalaksanaan BBLR, dan pengawasan pada bayi baru lahir dengan
BBLR, sehingga pelayanan menjadi semakin baik.
2. Bagi penulis menjadi salah satu bahan informasi dan pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan BBLR, sehingga dapat
melakukan asuhan keperawatan dengan baik dan benar.
3. Bagi institusi pendidikan diharapkan lebih menyediakan fasilitas dan
sarana prasarana, agar dapat memunculkan inovasi - inovasi baru yang
55

dapat mendukung terciptanya perawat yang berkualitas, kreatif dan


inovatif dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif,
sehingga mampu bermitra dengan tenaga kesehatan lain dan menjadi ujung
tombak pelayanan kesehatan yang profesional.
56

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, D.A., & Septira, S. (2016) Nutrisi bagi Bayi Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) untuk Mengoptimalkan Tumbuh Kembang, Majority, 5(3) :
151.

Arief, N. (2008). Panduan lengkap kehamilan dan kelahiran sehat. Yogyakarta :


AR Group.

Arizona Health Matters. (2015). Babies with Low Birth Weight. Diakses pada
http://www.arizonahealthmatters.org/modules.php?op=modload&name=NS-
Indicator&file=indicator&iid=17275074.

Berglund, S.K., Westrup, B., Hägglöf, B., Hernell, O., dan Domellöf, M. (2013).
Effects of iron supplementation of LBW infants on cognition and behavior at
3 years, Pediatrics, 131(1) : 47–55.

Berseth, C.L. (1992). Effect of early feeding on maturation of the preterm infants’
small intestine. J Pediatric, 120, 947-953.

Betz, LC dan Sowden, LA. 2002. Keperawatan Pediatrik - Edisi 3. Jakarta : EGC.

Bobak, I. M. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Jakarta : EGC.

Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan
maternitas. (edisi 4). Jakarta: EGC.

Carpenito, L. J. (2000). Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.

Doenges, E.M. (2012). Rencana asuhan keperawatan - edisi 3. Jakarta : EGC.

Herdman, T. Hr. (2012). Diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-


2014. Jakarta : EGC.

Kenner, C., & McGrath, J.M. (2004). Developmental care of newborns & infants:
A guide for health proffessionals. St. Louis: Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta : EGC.

Maryunani, A. (2009). Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Jakarta : TIM.

Mitayani. (2011). Asuhan keperawatan maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan gastrointestinal: Aplikasi asuhan


keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Muthayya, S. (2009). Maternal nutrition and low birth weight – what is really
important? Indian J Med Res 130: 600-608.
57

Nelson. (2010). Ilmu kesehatan anak. Jakarta. EGC.

Nue, J., & Douglas-Escobar, M. (2008). Gastrointestinal development:


Implications for infant feeding, 241-249. Diunduh dari
anhi.org/learning/pdfs/dcbecker.

Nurarif, A, H. & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan


diagnosa medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta: EGC

Prawirohardjo, S. (2007). Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal


dan neonatal. Jakarta : Bina Pustaka

Proverawati, A. dan Ismawati, C. S. (2010). BBLR : berat badan lahir rendah.


Yogyakarta: Nuha Medika.

United Nations Children’s Fund and World Health Organization, 2004, Low
Birthweight: country, regional and global estimates, New York: UNICEF.

Wilkinson, J. M. (2013). Buku saku diagnosis keperawatan. Jakarta : EGC.

Wong, D. L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik wong. Volume 1. Edisi 6.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wong, D.L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L, & Schawrtz,
P. (2009). Wong: Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). Alih bahasa:
Sutarna, A., Juniarti, N., & Kuncara, Y. Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi