Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat
adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di
kawasan ASEAN. Berdasarkan Human Development Report tahun 2010, AKB
di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran. Dari seluruh kematian perinatal
sekitar 2-27% disebabkan karena BBLR. Sementara itu, prevalensi BBLR di
Indonesia saat ini diperkirakan 7– 14% yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi
(Depkes RI, 2005). Begitu juga menurut perkiraan World Health Organization
(WHO) pada tahun 1961 yang telah mengganti istilah Premature baby dengan
low birth weight baby (bayi dengan berat badan lahir rendah/ BBLR).
Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran dunia dengan
batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi pada negara–negara yang sedang
berkembang atau sosial ekonomi rendah seperti di Indonesia. Di negara-
negara sedang berkembang, kesehatan masih merupakan masalah yang harus
mendapat penanganan yang lebih serius. Secara Statistik menunjukkan 90%
kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dengan angka kematian
lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram
(Pantiawati, 2010).
WHO mengganti istilah prematur menjadi BBLR karena tidak semua
bayi berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Kondisi
tersebut dapat disebabkan oleh masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
berat yang sesuai (masa kehamilan dihitung mulai dari hari pertama haid yang
teratur. Dapat juga disebabkan karena bayi small for gestational age (SGA),
yaitu bayi yang kurang dari berat badan yang semestinya menurut masa
kehamilannya (kecil untuk masa kehamilan/ KMK). Di samping itu dapat pula
karena kedua-duanya, yakni kehamilan kurang dari 37 minggu disertai dengan
berat bayi kecil tidak sesuai usia kehamilannya (Prawirohardjo,2006).
Bayi lahir dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) memiliki kontribusi
terhadap morbiditas dan mortalitas pada masa perinatal. Selain itu bayi berat
2
lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh
kembang selanjutnya, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.
Bayi BBLR memiliki risiko yang lebih besar terhadap kelainan kongenital,
gangguan perilaku, gangguan tumbuh kembang, serta neurodevelopmental
disorders di masa yang akan datang. Risiko ini meningkat dengan
menurunnya usia gestasi dan berat badan lahir. Efek jangka panjang ini dapat
menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara karena menurunnya
kualitas hidup (Quality of Life) (Berglund et al., 2013).
Salah satu tindakan mengurangi dampak dari BBLR terhadap
morbiditas dan mortalitas adalah dengan mendapatkan pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Meskipun pelayanan intensif pada BBLR tergolong mahal,
namun penatalaksanaan perawatan bayi baru lahir dengan BBLR mutlak
diperlukan dalam rangka tumbuh kembang bayi. Penatalaksanaan dan
keterampilan khusus ini perlu dimiliki oleh seorang perawat perinatologi, yang
mana berinteraksi langsung dalam perawatan bayi baru lahir, sehingga
diharapkan dapat mengurangi/ mencegah terjadinya risiko kematian akibat
BBLR. Pentingnya peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah
mengelola dan merawat bayi BBLR sesuai dengan tanda gejala yang
dialaminya. Pemberian asuhan keperawatan secara komprehensif dapat
mengurangi risiko kematian dan meminimalkan biaya perawatan di rumah
sakit.
Berdasarkan latar belakang maka di atas, maka akan dibahas lebih lanjut
mengenai asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan BBLR.
Diharapkan dari pembahasan tersebut, mahasiswa keperawatan dapat
memahami asuhan keperawatan pada bayi dengan BBLR dan
mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai dengan keilmuan terkini.
B. Tujuan
1) Tujuan Umum : mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada bayi baru
lahir dengan BBLR.
2) Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada bayi BBLR.
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis keperawatan pada bayi
BBLR sesuai dengan analisis data yang diperoleh.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi saat lahir kurang
dari 2500 gram yang merupakan hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37
minggu usia kehamilan). Bayi dengan berat badan lahir rendah sangat erat
kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas, sehingga akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan kognitif serta penyakit kronis di kemudian
hari (WHO, 2004).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2500 gram saat lahir. Bayi BBLR sebagian besar
disebabkan karena retardasi pertumbuhan intrauterin (Intrauterine Growth
Restriction/IUGR) dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Bayi
BBLR memiliki risiko empat kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal
dari pada bayi yang berat badan lahir 2500-3499 gram (Muthayya, 2009).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang berat badannya
kurang dari 2500 gram, tanpa memperhatikan usia gestasi. Bayi BBLR dapat
terjadi pada bayi kurang bulan (kurang dari 37 minggu usia kehamilan) atau
pada usia cukup bulan (Wong, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bayi
berat badan lahir rendah (BBLR) adalah suatu kondisi di mana bayi lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram, yang terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu atau pada kehamilan cukup bulan.
B. Klasifikasi BBLR
Menurut Mitayani (2009), BBLR dibagi menjadi beberapa kelompok,
antara lain:
1. Prematuritas murni
Bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat
badan sesuai dengan usia gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan
sesuai dengan masa kehamilan.
5
8. Bayi besar untuk usia gestasinya merupakan bayi yang berat badan
lahirnya diatas persentil ke-90 pada kurva pertumbuhan intrauterin.
Saifudin (2001) membagi beberapa macam BBLR berdasarkan
penanganan dan harapan hidupnya menjadi :
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 gram-2500 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR),berat alhir kurang dari 1500
gram.
3. Bayi Berat Lahir Ekstrem Rendah (BBLER) berat lahir kurang dari 1000
gram.
C. Etiologi
Menurut Proverawati dan Ismawati (2010), etiologi atau penyebab dari
BBLR antara lain:
1. Faktor Ibu
a. Penyakit :
1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan
antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung
kemih.
2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual,
hipertensi, HIV/AIDS, dan penyakit jantung.
3) Penyalahgunaan obat, merokok, dan konsumsi alkohol.
b. Ibu :
1) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1
tahun).
3) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
c. Keadaan Sosial Ekonomi :
1) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
2) Aktivitas fisik yang berlebihan.
2. Faktor Janin :
a. Kelainan kromosom.
b. Infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan).
7
c. Gawat janin.
d. Kehamilan kembar.
3. Faktor Plasenta
a. Hidramnion.
b. Plasenta previa.
c. Solutio plasenta.
d. Sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik).
e. Ketuban pecah dini.
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain:
a. Tempat tinggal di dataran tinggi.
b. Terkena radiasi.
c. Terpapar zat beracun.
Karakteristik yang dapat ditemukan pada premature murni adalah :
a. LK < 33 cm, LD < 30 cm.
b. Gerakan otot masih hipotonis.
c. Umur kehamilan < 37 minggu.
d. Kepala lebih besar dari badan dan memiliki rambut tipis dan halus.
e. Pernapasan belum normal dan sering terserang apnea.
f. Kulit tipis, lanugo banyak terutama pada bagian dahi dan pelipis
lengan.
g. Genetelia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup
oleh labia mayora, pada laki-laki testis belum turun.
h. Reflek menelan dan reflek batuk masih lemah.
D. Patofisiologi
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang
belum cukup bulan (prematur), disamping itu juga disebabkan dismaturitas.
Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan
(BB) lahirnya lebih kecil dari masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500
gram. Masalah ini terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu
dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan
plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang menyebabkan
suplai makanan ke bayi jadi berkurang.
8
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin
tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan
berat badan lahir normal. Kondisi kesehatan yang baik, sistem reproduksi
normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra
hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih
sehat dari pada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan
kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR,
vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu
menderita anemia.
Ibu hamil umumnya mengalami deplesi atau penyusutan besi sehingga
hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme
besi yang normal. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia
gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat
bawaan, dan BBLR. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan
kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi, sehingga kemungkinan
melahirkan bayi BBLR dan premature juga lebih besar (Nelson, 2010).
Masalah yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) terutama pada prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ
pada bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan
pada sistem pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi,
gastrointerstinal, ginjal, dan termoregulasi (Maryunani et al., 2009).
1. Sistem Pernafasan
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernafas segera
setelah lahir oleh karena jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit,
kekurangan surfaktan (zat di dalam paru dan yang diproduksi dalam paru
serta melapisi bagian alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat
ekspirasi). Luman sistem pernafasan yang kecil, kolaps atau obstruksi
jalan nafas, insufisiensi kalsifikasi dari tulang thorax, dan pembuluh darah
paru yang imatur. Kondisi inilah yang menganggu usaha bayi untuk
bernafas dan sering mengakibatkan gawat nafas (distress pernafasan).
2. Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat)
Bayi lahir dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan
saraf pusat. Kondisi ini disebabkan antara lain perdarahan intrakranial
9
5. Sistem Termoregulasi
Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain kehilangan panas karena perbandingan luas
permukaan kulit dengan berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi
relatif luas), kurangnya lemak subkutan (brown fat/ lemak cokelat),
jaringan lemak di bawah kulit lebih sedikit, dan tidak adanya refleks
kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit. Paru yang belum matang
dengan peningkatan kerja napas dan kebutuhan kalori yang meningkat,
potensial untuk kehilangan panas akibat luas permukaan tubuh tidak
sebanding dengan berat badan dan sedikitnya lemak pada jaringan di
bawah kulit. Kehilangan panas ini akan meningkatkan kebutuhan kalori.
6. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila
dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain
adalah usia sel darah merah yang lebih pendek, pembuluh darah kapiler
yang mudah rapuh, hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari
pemeriksaan laboratorium yang sering.
7. Sistem Imunologi
Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas,
sering kali memungkinkan bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi.
8. Sistem Perkemihan
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihan, di
mana ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk
menggelola air, elektrolit, asam–basa, tidak mampu mengeluarkan hasil
metabolisme dan obat–obatan dengan memadai, serta tidak mampu
memekatkan urin.
9. Sistem Integumen
Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan
transparan sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit.
10. Sistem Penglihatan
Bayi dengan BBLR dapat mengalami retinopathy of prematurity (RoP)
yang disebabkan karena ketidakmatangan retina.
11
E. Pathway
Faktor plasenta:
hidramnion, plasenta
previa, solutio plas., KPD
12
F. Manisfestasi Klinis
Mitayani (2009) mengatakan, manifestasi klinis yang dapat ditemukan
dengan bayi berat lahir rendah antara lain:
1. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,
lingkar dada kurang dari 30 cm, dan lingkar kepala kurang dari 33cm.
2. Masa gestasi kurang dari 37 minggu.
3. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, dan lemak subkutan sangat sedikit.
4. Osifikasi tengkorak sedikit serta ubun-ubun dan sutura lebar.
5. Genitalia imatur, labia minora belum tertutup dengan labia miyora.
6. Pergerakan kurang dan lemah, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan
sering mendapatkan serangan apnea.
7. Lebih banyak tidur dari pada bangun, reflek menghisap dan menelan
belum sempurna.
Nurarif dan Kusuma (2013) menjelaskan, tanda dan gejala dari bayi berat
badan rendah adalah
1. Sebelum lahir
a. Pembesaran uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan.
b. Pergerakan janin lebih lambat.
c. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai yang
seharusnya.
2. Setelah bayi lahir
a. Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin.
b. Bayi prematur yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu.
c. Bayi small for date sama dengan bayi retardasi pertumbuhan
intrauterin.
d. Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam
tubuhnya.
G. Komplikasi BBLR
Menurut Mitayani (2009), ada beberapa hal yang dapat terjadi apabila
BBLR tidak ditangani secepatnya, yaitu:
1. Sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada bayi baru
lahir yang disebabkan oleh masuknya mekonium (feses bayi) ke paru-paru
13
H. Pemeriksaan Diagnostik
Mitayani (2009) mengatakan, pemeriksaan diagnostik pada bayi BBLR antara
lain:
1. Jumlah darah lengkap: penurunan pada Hb (normal: 12-24gr/dL), Ht
(normal: 33 -38% ) mungkin dibutuhkan.
2. Dektrosik: menyatakan hipoglikemi (normal: 40 mg/dL).
3. Analisis Gas Darah (AGD): menentukan derajat keparahan distres
pernafasan bila ada.
Rentang nilai normal:
a. pH : 7,35-7,45
b. TCO2 : 23-27 mmol/L
c. PCO2 : 35-45 mmHg
d. PO2 : 80-100 mmHg
e. Saturasi O2 : 95 % atau lebih
4. Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.
14
I. Penatalaksanaan BBLR
1. Penanganan bayi.
Semakin kecil bayi dan semakin prematur bayi. Maka semakin besar
perawatan yang diperlukan, karena kemungkinan terjadi serangan sianosis
lebih besar. Semua perawatan bayi harus dilakukan di dalam inkubator.
2. Maintenance suhu tubuh.
Untuk mencegah hipotermi diperlukan lingkungan yang cukup hangat dan
istirahat konsumsi O2 yang cukup. Bila dirawat dalam inkubator maka
suhunya untuk bayi dengan BB 2 kg adalah 35˚C dan untuk bayi dengan
BB 2-2,5 kg adalah 34˚C. bila tidak ada incubator hanya dipakai popok
untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum, warna kulit,
pernafasan, kejang dan sebagainyasehingga penyakit dapat dikenali sedini
mungkin.
3. Inkubator
Prosedur perawatan dapat dilakukan melalui jendela atau lengan baju.
Sebelum memasukan bayi ke dalam inkubator. Inkubator terlebih dahulu
dihangatkan sampai sekitar 29,4˚C untuk bayi dengan BB 1,7 kg dan
32,2˚C untuk bayi yang lebih kecil.
4. Pemberian oksigen
Konsentrasi O2 diberikan sekitar 30-35% dengan menggunakan headbox.
5. Pencegahan infeksi
Prosedur pencegahan infeksi adalah sebagai berikut:
a. Mencuci tangan samoai kesiku dengan sabun dan air mengalir selama
2 menit.
15
a) Apgar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua
(0-3), asfiksia berat (4-6), asfiksia sedang (7-10) asfiksia
ringan.
b) Berat badan lahir : preterm atau BBLR < 2500 gram, untuk
aterm 2500 gram, lingkar kepala kurang atau lebih dari
normal (34-36).
3) Pengkajian umum
a) Timbang bayi tiap hari, atau lebih bila ada permintaan dengan
menggunakan timbangan elektronik.
b) Ukur panjang badan, dan lingkar kepala secara berkala.
c) Jelaskan bentuk dan ukuran tubuh secara umum, postur saat
istirahat, kemudian bernafas, dan adanya lokasi edema.
d) Observasi adanya deformitas yang tampak.
e) Observasi setiap tanda kegawatan, warna yang buruk,
hipotonia, tidak responsive, dan apnea.
f) Observasi keadaan umum, di mana pada bayi dengan BBLR
keadaannya lemah dan hanya merintih. Kesadaran bayi dapat
dilihat dari responnya terhadap rangsangan. Adanya berat
badan yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya tidak
ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukan kondisi
neonatus yang baik.
g) Tanda-tanda vital : neonatus post asfiksia berat kondisi akan
baik apabila penanganan asfiksia benar, tepat dan cepat. Suhu
normal pada tubuh bayi (36°C-37,5°C), nadi normal antara
(120-140 kali/menit), untuk respirasi normal pada bayi (40-60
kali/menit), sering pada bayi post asfiksia berat respirasi sering
tidak teratur.
4) Pengkajian respirasi
a) Observasi bentuk dada (barrel, konkaf), simetri, adanya insisi,
slang dada, atau devisiasi lainnya.
b) Observasi adanya penggunaan otot penapasan tambahan
cuping hidung atau retraksi substernal, interkostal atau
subklavikular.
c) Tentukan frekuensi pernapasan dan keteraturannya.
17
Kolaborasi:
1. Pantau pemeriksaan laboratorium 1. Hipoksia, asidosis metabolik,
sesuai indikasi. hiperkapnea, hipoglikemia,
hipokalsemia dan sepsis
memperberat serangan apnetik.
2. Berikan oksigen sesuai indikasi 2. Perbaikan kadar oksigen dan
karbondioksida dapat meningkatkan
fungsi pernapasan
3. Berikan obat-obatan yang sesuai 3. Membantu melebarkan jalan nafas
indikasi
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan 1. Stres dingin meningkatkan
laboratorium sesuai indikasi kebutuhan terhadap glukosa dan
(GDA, glukosa serum, elektrolit oksigen serta dapat mengakibatkan
dan kadar bilirubin) masalah asam basa bila bayi
mengalami metabolisme anaerobik
bila kadar oksigen yang cukup tidak
tersedia. Peningkatan kadar bilirubin
indirek dapat terjadi karena
pelepasan asam lemak dari meta
bolisme lemak coklat dengan asam
lemak bersaing dengan bilirubin
pada pada bagian ikatan di albumin.
2. Berikan obat-obat sesuai dengan 2. Membantu mencegah kejang
indikasi : fenobarbital berkenaan dengan perubahan fungsi
SSP yang disebabkan hipertermi dan
memperbaiki asidosis yang dapat
terjadi pada hiportemia dan
hipertermia
22
Intervensi Rasional
1. Kurangi rangsangan lingkungan 1. Respons stres, terutama peningkatan
tekanan darah, dapat miningkatkan
resiko peningkatan TIK
2. Organisasikan asuhan selama 2. Untuk meminimalkan gangguan tidur
jamsibuk normal sebanyak dan kebisingan intermiten yang sering
mungkin
3. Tutup dan buka kelambu dan 3. Untuk memungkinkan jadwal siang
lampu tidur dan malam
4. Tutup inkubator dengan kain dan 4. Untuk mengurangi cahaya dan tidak
pasang tanda “jangan diganggu” membangunkan periode istirahat bayi
5. Kaji dan tangani nyeri 5. Nyeri meningkatkan tekanan darah
menggunakan metode
farmakologis dan non-
farmakologis
6. Kenali tanda stres fisik dan 6. Untuk segera memberi intervensi yang
stimulasi berlebih memadai
7. Hindari obat dan larutan hipertonis 7. Akan meningkatkan tekanan darah otak
8. Pertahankan oksigenasi yang 8. Hipoksia akan meningkatkan aliran
adekuat darah otak tekanan intrakranial
9. Hindari memutar kepala ke 9. Akan mengurangi aliran arteri karotis
samping tiba-tiba dan oksigenasi ke otak
26
Intervensi Rasional
1. Kaji keefektifan upaya kontrol 1. Beberapa upaya (misalnya menggosok)
nyeri non farmakologis dapat meningkatkan distres bayi
prematur
2. Dorong orang tua untuk 2. Sebagai orang tua bayi, kenyamanan
memberikan upaya kenyamanan lebih efektif diberikan langsung oleh
bila mungkin orang tua kepada bayinya
3. Tunjukkan sikap sensitif dan 3. Seorang bayi sangat membutuhkan kasih
kasih sayang pada bayi sayang, khususnya dari orang tua
Intervensi Rasional
1. Berikan nutrisi yang maksimal 1. Untuk menjamin penambahan berat
badan dan pertunbuhan otak yang tetap
2. Berikan periode istrahat yang 2. Untuk mengurangi panggunaan O2 dan
teratur tanpa gangguan kalori yang tidak perlu
3. Kenali tanda stimulus yang 3. Untuk membiarkan istirahat bayi
berlebihan (terkejut, menguap, denagn tenang
aversi aktif, menangis)
4. Tingkatkan interaksi orang tua- 4. Sangat penting untuk pertumbuhan dan
bayi perkembangan normal
Intervensi Rasional
1. Observasi tekstur dan warna kulit. 1. Untuk mengetahui adanya kelainan
pada kulit secara dini
2. Jaga kebersihan kulit bayi. 2. Meminimalkan kontak kulit bayi
dengan zat-zat yang dapat merusak
kulit pada bayi
3. Ganti pakaian setiap basah. 3. Untuk meminimalisir terjadinya iritasi
pada kulit bayi
4. Jaga kebersihan tempat tidur. 4. Untuk mencegah kerusakan kulit pada
bayi
5. Lakukan mobilisasi tiap 2 jam. 5. Mencegah kerusakan kulit akibat
tekanan statis yang terus-menerus
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pemahaman klien 1. Belajar tergantung pada emosi dan
berikan instruksi /informasi pada kesiapan fisik dan diingatkan pada
klien maupun keluarga tentang tahapan individu
penyakitnya, baik tertulis atau
lisan.
2. Jelaskan proses penyakit 2. Menurunkan ansietas dan dapat
individu. Dorong orang terdekat menimbulkan perbaikan partisipasi pada
menanyakan pertanyaan rencana pengobatan.
3. Jelaskan tentang dosis obat, 3. Meningkatkan kerjasama dalam program
frekwensi, tujuan pengobatan pengobatan dan mencegah penghentian
dan alasan tentang pemberian obatsesuai perbaikan kondisi pasien.
obat kepeda keluarga
4. Kaji potensial efek samping obat 4. Mencegah/menurunkan ketidaknyaman
sehubungan dengan terapi dan
meningkatkan kerjasama.
28
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan,mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan
mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan
kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain.
Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang
didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas
kesehatan lain.
5. Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan klien dengan berpedoman kepada hasil
dan tujuan yang hendak dicapai.
29
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Dilakukan : KELOMPOK
Tanggal Pengkajian : 12 Juli 2017, pukul 08.00 WIB.
Ruang Perinatologi RSUD Banyumas
1. Identitas
Nama : By Ny. S
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL/Usia : 21 Juni 2017
Nama ayah/ibu : Tn. A/ Ny. S
Pekerjaan ayah/ibu : Swasta/ IRT
Pendidikan ayah/ibu : SMK/ SMA
Agama : Islam/ Islam
Alarnat : Senon 14/5 Purbalingga
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
2. Keluhan Utama
Ny. S mengatakan bayinya gumoh setelah diberikan ASI melalui selang
makan.
3. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Prenatal
1) Jumlah kunjungan : 4 kali
2) Periksa di bidan/dokter : dokter
3) Penkes yang didapat : Gizi ibu hamil, tanda bahaya persalinan
4) HPHT : 12-11-2016, Usia kehamilan :31+6 minggu, G1P0A0
5) Kenaikan BB selama hamil : 11 kg
6) Komplikasi kehamilan : tidak ada
7) Komplikasi obat : tidak ada
8) Obat-obatan yang didapat : Sulfas Ferrous 1 x 1 tablet.
9) Riwayat hospitalisasi : tidak pernah
10) Golongan darah ibu :O
30
Keterangan :
: Laki-laki meninggal :Laki-laki hidup : Pasien
: Perempuan meninggal : : Perempuan hidup ---- : Satu rumah
: Garis pernikahan : Garis keturunan
31
5. Riwayat Sosial
a. Sistem pendukung yang dapat dihubungi : Orang tua bayi Ny. S
b. Hubungan orang tua dan bayi : ibu tinggal di RS menunggui bayinya,
ibu selalu mengajak bicara bayinya, mengelus, menggendong bayinya.
Data tambahan : Ny. S mengatakan bayinya merupakan anak pertama.
c. Anak yang lain :
Jenis kelamin Riwayat Persalinan Riwayat Usia
anak Imunisasi
Tidak ada
ANALISIS DATA
Tanggal/jam Data Klien Masalah Penyebab
12/7/2017 DS: Ny.S mengatakan Ketidakefektifan Prematuritas
bayinya belum bisa pola makan bayi
menetek dengan baik
C. RENCANA KEPERAWATAN
No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional
Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)
Keterangan 2 :
1. Sangat terganggu (hipotermi tingkat 4
saat disapih pada boks bayi)
2. Banyak terganggu (hipotermi tingkat 3
39
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd
tanggal/jam
1. Rabu, 12 I 06.00 1,3,4,5 Menimbang berat badan antropometri. O : BBS : 1635 gr, BBK 1610 gr, BB naik 25 gram/
2. Juli 2017 I 08.00 3. Mengukur antropometri. hari (normal : 30 gr/ hari), LK 29 cm, LD 225 cm,
LP 25 cm, PB 42 cm, LILA 9 cm.
3. II/III 10/1,2 Mengukur vital sign dan memeriksa O : N : 140 x/ menit, S : 36,5˚C, RR : 42 x/menit,
warna kulit, SPO2 SPO2 95%, , bayi tenang, akral dingin, agak sianosis
pada ekstrimitas dan mulut, SPO2 95%.
4. II 2,5,6 Memberikan posisi head up 30˚ dengan O : Posisi head up (+), bayi tampak tenang.
memiringkan inkubator pada bagian kaki lebih
rendah dari kepala.
5. I/II/III 9/4/3 Menghitung kebutuhan cairan perhari O : Kebutuhan cairan /24 jam = 294 cc, ASI 28 cc/
2jam
6. I/II 09.00 7/7,9 Memeriksa OGT, memeriksa residu O : Residu 1 cc, kemudian dimasukkan kembali, dan
dengan menarik isi lambung menggunakan spuit, memberikan ASI baru ke dalam OGT, respon gumoh
dan memberikan feeding OGT 28 cc dengan ASI (+), kepala pasien dimiringkan.
perah
7. II 9. Melakukan oral higiene O : Mulut tampak bersih setelah dibersihkan
menggunakan kasa yang dibasahi air hangat, baju
diganti yang bersih.
8. III 3. Memberikan obat oral Ferris 7 mg dan Apialis O : Obat masuk, tidak ada reaksi alergi.
0,3 mg diteteskan pada mulut bayi.
9. I 6. Melakukan alih baring tubuh bayi dari posisi O : Bayi berubah posisi ke miring kanan, respon
miring kiri ke posisi miring kanan, dengan tenang.
menempatkan kepala pada bantalan nesting yang
lebih tinggi
10. I/II 10.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding OGT ASI O : Gumoh tidak ada, bayi tenang, respon menelan
perah sebanyak 28 cc. (+), bayi membuka mata (+).
11. III 11.00 7,3 Mengganti pampers kotor berisi feses dan O : Anus dibersihkan menggunakan tisue basah dan
urine dengan yang bersih dan melakukan anus mengangkat kedua kaki agar feses dapat
41
O : Toleransi bayi terhadap ASI sudah mulai baik, tidak tampak residu
pada OGT, gumoh (-), BBS naik 1,4% dari BBK, px fisik : sianosis (-),
akral masih dingin, perut kembung (-), mulut bersih, SPO2 96%, TTV
: S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt, bayi sudah turun boks dari
inkubator ke boks bayi biasa.
P : Lanjutkan intervensi
Nutritional monitoring
Nutritional management
45
P : Pertahankan intervensi
Aspiration precaution
Vital sign monitoring
P : Pertahankan intervensi
Temperature regulation
Baby care : new born
46
BAB IV
PEMBAHASAN
gizi. Berat badan bayi baru lahir dapat turun hingga 10% dibawah berat badan
lahir pada minggu pertama, disebabkan oleh ekskresi cairan ekstravaskular yang
berlebihan dan kemungkinan masukan makanan kurang. Berat bayi harus
bertambah lagi atau melebihi berat badan lagi pada saat berumur 2 minggu dan
harus bertumbuh kira kira 30 g/hari selama bulan pertama. Besarnya energi
tambahan yang dibutuhkan untuk mengejar pertumbuhan adalah 90-100
kkal/kg/hari. Asupan parenteral yang dibutuhkan dihitung dari rasio tambahan
setelah menghitung tambahan pengeluaran energi yang tidak dapat dihindarkan
(inevitable losses) dari konversi diet protein untuk protein tubuh. Inevitable losses
dari nitrogen diperkirakan sebesar 160 mg/kg/hari, setara dengan protein sebesar 1
g/kg/hari. Pengeluaran energi dari istirahat diperkirakan sebesar 45 kkal/kg/hari
pada bayi, dan pengeluaran energi untuk paparan dingin dan aktivitas fisik
diperkirakan sebesar 15 kkal/kg/hari (Behrman, Notoatmodjo, dan Ziegler dalam
Anggraini &Septira, 2016).
Intervensi keperawatan pada bayi Ny. S dengan BBLR antara lain nutritional
monitoring dengan aktivitas menimbang berat badan tiap pagi, memonitor
pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama terkait dengan berat badan,
melakukan pemantauan antropometri, mengevaluasi kemampuan menelan dan
menghisap, menghitung kebutuhan cairan/ hari, memasang selang orogastric tube
(OGT) yang bertujuan untuk mensuplai makanan berupa ASI karena reflek hisap
dan menelan pada bayi Ny.S belum berkembang dengan baik (Bulechek et al.,
2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah bayi dapat mentoleransi makanan
dan adanya perbandingan berat badan yang meningkat (Moorhead et al., 2013).
Selain memasang selang OGT, pemberian makan secara terjadwal juga dilakukan.
Pada bayi Ny.S, pemberian makan melalui OGT dilakukan sebanyak 12 kali
dalam sehari atau dilakukan setiap 2 jam. Jumlah pemberian ASI disesuaikan
dengan kebutuhan cairan bayi. Kebutuhan cairan total pada bayi Ny. S adalah
sebanyak 180 cc/ kgBB, yaitu 180x1,635= 294,3 cc/24 jam. Adapun pemberian
nutrisi enteral pada bayi Ny. S yang berusia 21 hari adalah 28 ccx12 kali
pemberian = 336 cc/24 jam. Hal tersebut menunjukkan pemberian nutrisi pada
bayi melebihi kebutuhan. Pemberian tersebut untuk mengantisipasi kehilangan
cairan yang tak terlihat. Namun kelebihan pemberian ASI yang pada bayi Ny. S
dapat menjadi sebab terjadinya refluks gastroesofageal pada bayi Ny. S. Dengan
49
demikian, perhitungan kebutuhan cairan atau nutrisi yang tepat pada bayi BBLR
harus diperhatikan.
Setelah dilakukan evaluasi, kebutuhan cairan bayi Ny. S dengan rentang
pemberian ASI sejumlah 28 cc/ hari dan dipertahankan dari tanggal 12-15 Juli
2017, didapatkan hasil bayi Ny. S tidak mengalami gumoh, sehingga intervensi
pemberian ASI ini cukup memenuhi kebutuhan tubuh bayi, yang ditandai dengan
tidak ada penolakan makan/ asupan oleh lambug/ gumoh (indikator tercapai
penuh) dan BB pasien meningkat sebanyak 1% dari BB satu hari sebelumnya
(indikator tercapai sebagian). Untuk selanjutnya intervensi dilanjutkan dengan
nutritional monitoring dan nutritional management untuk meningkatkan BB bayi.
Diagnosis keperawatan yang kedua yang muncul pada bayi Ny. S adalah
risiko aspirasi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko aspirasi
adalah rentan mengalami masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaring,
benda cair atau padat ke dalam saluran trakeobronkial, yang dapat mengganggu
kesehatan. Adapun faktor risiko yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya
selang oral/ OGT, peningkatan residu lambung, peningkatan tekanan intragastrik,
dan pengosongan lambung yang lambat. Pada kasus ini ditemukan adanya gumoh/
refluks dan rsidu lambung 1 cc ketika akan diberikan nutrisi ASI. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, bagian mulut dan
ekstrimitas bayi tampak agak sianosis, serta pengukuran SPO2 95%.
Risiko aspirasi ditegakkan untuk mencegah aktual terjadinya aspirasi. Hal ini
berkaitan dengan imaturitas saluran cerna bayi. Selain perkembangan fungsi dan
anatomi usus sebagai salah satu organ pencernaan pada sistem gastrointestinal,
perkembangan lainnya yang juga sangat penting adalah perkembangan fungsi
mekanis saluran cerna. Perkembangan fungsi mekanis tersebut meliputi
koordinasi menghisap dan menelan, fungsi motilitas esofagus dan sfingter
esofagus bawah, pengosongan lambung, dan motilitas usus halus (Kenner &
McGrath, 2004; Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Pada bayi berat lahir rendah dan sangat prematur, koordinasi antara aktivitas
menghisap dan menelan belum berkembang dengan baik. Belum adekuatnya
koordinasi antara menghisap dan menelan ini menyebabkan bayi memiliki risiko
tinggi untuk mengalami aspirasi (Wong et al., 2009; Neu & Douglas-Escobar,
2008). Perkembangan kemampuan menelan terjadi pada kisaran usia gestasi 32
minggu, adapun kemampuan menghisap berkembang pada usia gestasi 34 minggu
50
lapisan otot lebih luar pada usia gestasi 8 minggu. Kedua lapisan otot ini
mengalami penebalan seiring dengan pertambahan usia gestasi dan turut
bertanggung jawab terhadap gerakan atau motilitas usus halus melalui bantuan
persarafan (Kenner & McGrath, 2004). Berseth (1996) mengemukakan dalam
penelitiannya bahwa pada usia gestasi 27 sampai 30 minggu, pola motilitas usus
halus masih mengalami disorganisasi. Perkembangan maturasi pola motilitas usus
halus tersebut akan dicapai melalui adanya migrasi mieolelektrik kompleks pada
lapisan otot usus halus antara usia gestasi 33 sampai 34 minggu. Adapun pada
usia gestasi 36 minggu, pola motilitas usus janin sudah mulai menyerupai pola
motilitas usus pada bayi cukup bulan.
Intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi adalah
aspiration precaution, dan vital sign monitoring ( Bulechek et al., 2013). Kriteria
hasil yang diharapkan adalah respiration status tercapai, dengan indikator sianosis
tidak ada dan saturasi oksigen > 95% (Moorhead et al., 2013). Adapun aktivitas
yang dilakukan yaitu positioning untuk memaksimalkan ventilasi dan mencegah
aspirasi dengan cara menaikan inkubator dalam kemiringan 30˚, dimana kaki lebih
rendah dari kepala, serta posisi kepala lebih tinggi dari badan pada saat dilakukan
pemasangan nesting bayi. Pemberian makan ASI didahului dengan pengecekan
residu lambung minimal 6 jam sekali. Tindakan keperawatan yang lain adalah
memiringkan kepala pasien ketika terjadi refluks/ gumoh, dan dilakukan
perawatan mulut untuk membersihkan sisa ASI dalam mulut, serta memonitor
vital sign sebelum dan setelah pemberian asuhan keperawatan. Pada hari pertama
sampai dengan hari kedua, pasien masih aktif gumoh, selanjutnya pada akhir
perawatan hari ketiga, gumoh sudah tidak ada.
Setelah dilakukan evaluasi pada hari ketiga, didapatkan hasil data subjektif
berupa ibu pasien mengatakan bayinya sudah tidak gumoh, dan data objektif
menunjukkan bahwa toleransi bayi mulai baik, tidak tampak residu pada lambung,
dan dari pemeriksaan fisik bayi distensi abdomen (-), sianosis (-), dan SPO2 96%.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua indikator tercapai penuh, sehingga
intervensi selanjutnya adalah mempertahankan intervensi.
Diagnosis ketiga yang diambil berdasarkan respon pasien adalah risiko
hipotermi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko hipotermi
adalah rentan terhadap kegagalan termoregulasi yang dapat mengakibatkan suhu
tubuh di bawah rentang diurnal, yang dapat mengganggu kesehatan. Faktor risiko
52
yang mungkin pada kasus ini adalah faktor neonatus, dimana pada pasien ini
memiliki risiko hipotermi tingkat 1, dengan suhu inti mendekati 36,5˚C (NANDA,
2015).
Masalah keperawatan berupa risiko hipotermia memerlukan intervensi karena
bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan
kulit dengan berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatif luas),
kurangnya lemak subkutan (brown fat/ lemak cokelat), jaringan lemak di bawah
kulit lebih sedikit, dan tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler
kulit (Maryunani, 2009). Bayi dengan suhu tubuh yang rendah (kedinginan) akan
berusaha memproduksi panas tambahan dengan meningkatkan konsumsi kalori
dan oksigen (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Oleh karenanya kondisi ini
pada akhirnya akan menghambat pencapaian konservasi energi sebab terjadi
peningkatan ambilan kalori seiring dengan terjadinya kehilangan panas tubuh,
sehingga bayi dapat mengalami penurunan berat badan (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Adapun intervensi keperawatan yang dilakukan pada bayi Ny. S untuk
mencegah terjadinya hipotermi adalah dengan temperature regulation dan baby
care new born (Bulechek et al., 2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah
therrmoregulation new born baik, yang terdiri dari indikator suhu tidak stabil
tidak terjadi dan penyapihan dari inkubator ke boks bayi dapat dilakukan
(Moorhead et al., 2013). Implementasi/ aktivitas yang dilakukan adalah
memonitor suhu pasien, dan warna kulit, dan memberikan selimut bayi.
Menyelimuti bayi untuk mencegah kehilangan panas tubuh. Tindakan yang lain
adalah memandikan pasien untuk memberikan kenyamanan bayi, mendukung
perlekatan bayi dengan melakukan metode kanguru, serta menciptakan
lingkungan bayi yang nyaman, dengan membersihkan perianal ketika BAK/ BAK,
dan mengganti baju kotor dengan baju bersih. Setelah hari ketiga perawatan, bayi
sudah bisa turun boks dari inkubator ke boks bayi, karena pada berat badan bayi
Ny. S yaitu 1720 gram, dan dianggap mampu mempertahankan panas tubuhnya
dibandingkan pada bayi dengan berat badan di bawah berat badan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi yang ada, yakni suhu bayi dalam rentang
37,1˚C, N: 144 x/mnt, dan bayi sudah turun boks dengan vital sign stabil. Untuk
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. BBLR merupakan kondisi yang memerlukan perawatan intensif karena
dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas bayi.
2. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus BBLR ini adalah
ketidakefektifan pola makan bayi, risiko aspirasi, dan risiko hipotermi,
dimana semua tanda gejala muncul saat dilakukan pengkajian pada pasien
By. Ny. S.
3. Implementasi yang dilakukan pada pasien By. Ny. S berdasarkan
intervensi adalah nutritional monitoring, aspitration regulation, vital sign
monitoring, temperature regulation, dan bay care new born.
4. Hasil dari evaluasi keperawatan didapatkan diagnosis pertama indikator
tercapai sebagian, diagnosis kedua tercapai penuh, dan diagnoosis ketiga
tercapai penuh.
5. Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan pada bayi Ny. S dengan
BBLR di ruang Perinatologi RSUD Banyumas denganmemberikan
beberapa intervensi yang telah disesuaikan dengan konsep dan kondisi
pasien, dan tentunya dengan kerjasama dari pihak Perinatologi RSUD
Banyumas.
B. Saran
Beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk memajukan pelayanan
keperawatan yang bermutu pada pasien dengan BBLR antara lain :
1. Bagi instalasi pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja, motivasi, pengembangan pendidikan dan pelatihan pada
penatalaksanaan BBLR, dan pengawasan pada bayi baru lahir dengan
BBLR, sehingga pelayanan menjadi semakin baik.
2. Bagi penulis menjadi salah satu bahan informasi dan pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan BBLR, sehingga dapat
melakukan asuhan keperawatan dengan baik dan benar.
3. Bagi institusi pendidikan diharapkan lebih menyediakan fasilitas dan
sarana prasarana, agar dapat memunculkan inovasi - inovasi baru yang
55
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D.A., & Septira, S. (2016) Nutrisi bagi Bayi Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) untuk Mengoptimalkan Tumbuh Kembang, Majority, 5(3) :
151.
Arizona Health Matters. (2015). Babies with Low Birth Weight. Diakses pada
http://www.arizonahealthmatters.org/modules.php?op=modload&name=NS-
Indicator&file=indicator&iid=17275074.
Berglund, S.K., Westrup, B., Hägglöf, B., Hernell, O., dan Domellöf, M. (2013).
Effects of iron supplementation of LBW infants on cognition and behavior at
3 years, Pediatrics, 131(1) : 47–55.
Berseth, C.L. (1992). Effect of early feeding on maturation of the preterm infants’
small intestine. J Pediatric, 120, 947-953.
Betz, LC dan Sowden, LA. 2002. Keperawatan Pediatrik - Edisi 3. Jakarta : EGC.
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan
maternitas. (edisi 4). Jakarta: EGC.
Kenner, C., & McGrath, J.M. (2004). Developmental care of newborns & infants:
A guide for health proffessionals. St. Louis: Mosby.
Muthayya, S. (2009). Maternal nutrition and low birth weight – what is really
important? Indian J Med Res 130: 600-608.
57
United Nations Children’s Fund and World Health Organization, 2004, Low
Birthweight: country, regional and global estimates, New York: UNICEF.
Wong, D.L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L, & Schawrtz,
P. (2009). Wong: Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). Alih bahasa:
Sutarna, A., Juniarti, N., & Kuncara, Y. Jakarta: EGC.