Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
AGUS SUSANTO
NIM. 161 024 8158
Dosen Pengampu :
Dr. ZULKIFLI, M.Si
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 3
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Potensi Konflik Antar Stakeholder dalam Pemanfaatan Ruang ............ 5
2.2 Potensi Konflik dalam Pemanfaatan Ruang ................................................. 6
2.3 Kebijakan Penataan Ruang Nasional (Ruang Darat dan Ruang Laut)
berdasarkan UU No. 26/2007, UU No. 27/2007 Jo UU No. 01/2004
dan UU 32/2014 ..................................................................................... 7
3.1 Plot area Izin Usaha Pertambangan PT. Logo Mas Utama dan
Posisi Pulau Beting Aceh ........................................................................ 8
3.2 Peta Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis .......... 12
I. PENDAHULUAN
Konflik berasal dari satu kata latin configure yang artinya saling memukul.
Secara sosiologis, konflik merupakan suatu proses sosial antara dua orang atau lebih
(kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Namun tidak selamanya konflik
dimaknai dengan hal negatif dimana konflik yang terkontrol akan menghasilkan
kesepakatan dan integrasi. Menurut Simon (2000), konflik adalah hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki,
sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Terkait dengan konflik penataan dan pemanfaatan ruang, kontestasi sektoral
terhadap penguasaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan terkait erat dengan
tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan sektoral. Menguatnya ego antar
sektoral dan kurangnya pemahaman pemangku kepentingan atau aktor terhadap sifat
dan fungsi sumberdaya alam sebagai sistem daya dukung kehidupan darat dan laut
merupakan penyumbang terbesar terjadinya konflik pemanfaatan ruang. Pemangku
kepentingan atau aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan
sumberdaya laut semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya
sebagai daya dukung lingkungan laut.
Terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah dan
perusahaan disebabkan oleh perspektif yang berbeda dalam memandang sumber daya
alam. (Zainudin dkk., 2012). Kekurangpahaman atas karakteristik sumberdaya dan
besarnya kepentingan politik dan ekonomi sektoral, menyebabkan sejumlah peraturan
perundang-undangan menimbulkan konflik yurisdiksi. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang menimbulkan konflik sektoral antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan;
3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor Nomor 01
Tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil;
4. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran;
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi;
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
8. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya hayati;
9. Berbagai peraturan perudangan lainnya baik itu peraturan pemerintah, peraturan
menteri maupun peraturan daerah.
Sebagai salah salah contoh terjadinya kontestasi sektoral di wilayah pesisir dan
laut adalah pengelolaan hutan mangrove. Dengan melihat karaktertisk sifat dan
fungsinya, hutan mangrove merupakan ekosistem yang mempunyai peran besar dalam
dinamika kehidupan di pesisir dan laut, sehingga secara de facto ekosistem mangrove
yang berada di kawasan pesisir merupakan wilayah kewenangan Kementerian
Kelautan dan Perikanan, tetapi de jure pengelolaan hutan mangrove merupakan
kewenangan dari Kementerian Kehutanan (Hidayat, 2011). Dengan adanya tumpang
tindih regulasi dan kewenangan ini, sebagian besar hutan mangrove tidak terawatt
bahkan kritis, yang akan menurunkan produksi perikanan dan akhirnya akan berakibat
pada menurunnya kesejahteraan masyarakat. Perbedaaan kepentingan terhadap
sumberdaya juga menjadi salah satu potensi konflik pemanfaatan (Marina dan
Dharmawan, 2011).
Gambar 2.1 Potensi Konflik Antar Stakeholder dalam Pemanfaatan Ruang (Sumber :
Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU, 2014)
Terjadinya kontestasi sektoral di wilayah pesisir dan laut tidak bisa dilepaskan
dengan peran pemangku kepentingan atau aktor yang bermain di wilayah tersebut.
Pemangku kepentingan atau aktor tersebut berperan sesuai dengan tingkatannya atau
level (Ostrom, 1994). Berdasarkan tingkatnya aktor dalam sistem pengelolaan wilayah
pesisir dan laut dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Aktor penentu kebijakan (constitutional), adalah aktor yang mempunyai peran
dalam menyusun aturan main atau konsitusi dalam mengelola dan memanfaatkan
ruang kawasan pesisir dan
2. Aktor operasional (operational), yaitu aktor yang secara langsung melaksanakan
kebijakan di lapangan.
Gambar 2.2 Potensi Konflik dalam Pemanfaatan Ruang (Sumber : Dirjen Penataan Ruang
Kementerian PU, 2014 )
Gambar 2.3 Kebijakan Penataan Ruang Nasional (Ruang Darat dan Ruang Laut)
berdasarkan UU No. 26/2007, UU No. 27/2007 Jo UU No. 01/2004 dan
UU 32/2014. (Sumber : Mujio. et. al, 2016 )
III. IDENTIFIKASI SUMBER POTENSI KONFLIK SERTA
REKOMENDASI PENANGANANNYA TERHADAP IZIN USAHA
PENAMBANGAN PASIR LAUT PT. LOGO MAS UTAMA DI
KECAMATAN RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
PROVINSI RIAU
Dalam permasalahan perizinan penambangan pasir laut PT. Logo Mas Utama
terjadi permasalahan kurangnya koordinasi antar sektor dan antar tingkatan
pemerintah. Surat Kuasa Pertambangan yang dimiliki oleh PT. Logo Mas Utama
dikeluarkan pada Tahun 1999 dimana pada saat itu merupakan kewenangan
pemerintah pusat. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan aturan perundang-
undangan yang mengatur perubahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Pemerintah Daerah kemudian menuangkan kawasan Pulau Beting Aceh
sebagai kawasan pariwisata dimana dalam Peta Revisi RTRW Kabupaten Bengkalis
Area izin operasional PT. Logo Mas Utama menjadi tumpang tindih dengan Pulau
Beting Aceh yang merupakan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Gambar 3.1 Plot area Izin Usaha Pertambangan PT. Logo Mas Utama dan Posisi Pulau
Beting Aceh (Sumber : Anonim, 2017)
Gambar 3.2 PETA REVISI RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH KABUPATEN BENGKALIS
3.1.2 Rencana Pemanfataan Ruang yang Tidak Didukung Data yang Akurat dan
Analisis yang Memadai
Dalam rencana tata ruang, Pulau Beting Aceh dimasukkan dalam kawasan
pariwisata sehingga munculnya perizinan terkaitan kegiatan penambangan pasir jelas
bertentangan dengan rencana tata ruang dan wilayah tersebut. Tidak terdapat data pasti
terkait potensi penambangan pasir di kawasan sekitar Pulau Rupat akan tetapi sudah
menjadi rahasia umum bahwa aktivitas penambangan pasir milik masyarakat telah
lama beroperasi dikawasan pantai dan laut Kecamatan Rupat Utara yang artinya
potensi penambangan pasir dikawasan perairan laut Rupat Utara memang sangat
potensial namun tidak dikelola dengan baik.
Dalam hal ini diketahui bahwa Pemerintah Pusat pada saat dikeluarkannya KP
PT. Logo Mas Utama pada tahun 1999 telah menyetujui dilaksanakannya eksploitasi
pasir di Kawasan Pulau Beting Aceh dan sekitarnya namun disisi lain kebijakan daerah
menginginkan daerah tersebut menjadi kawasan pariwisata. Perubahan kebijakan
kepemimpinan saat itu mengakibatkan dilakukannya moratorium pemanfataan sumber
daya laut berupa penambangan pasir sehingga PT. Logo Mas Utama tidak dapat
menjalankan aktivitas usahanya.
3.1.4 Adanya Perubahan Peruntukan Kawasan pada Rencana Tata Ruang yang Baru
Terkait adanya aktivitas penambangan pasir tidak berizin maupun yang sudah
berizin namun belum pernah beroperasi yaitu PT. Logo Mas Utama, dapat disimak
bahwa telah terjadi perubahan peruntukan kawasan di areal operasi yang dimiliki oleh
PT. Logo Mas Utama. Dimana pada saat KP diterbitkan oleh Pemerintah Pusat pada
tahun 1999 areal tersebut dapat dieksploitasi sumber daya pasirnya. Namun setelah
dikembalikannya kewenangan pengelolaan wilayah pesisir ke Pemerintah Daerah
Kabupaten peruntukkannya kemudian dialihkan menjadi kawasan pariwisata setelah
kewenangan pengelolaan diberikan kepada Pemerintah Provinsi pada tahun 2015
terjadi perubahan dari Kuasa Pertambangn (KP) menjadi Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Sesuai dengan kewenangannya izin PT Logo Mas Utama bisa saja dicabut oleh
Pemerintah Provinsi Riau apabila dianggap mengancam pengembangan Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Pantai Beting Aceh
Sorotan terhadap PT. Logo Mas Utama juga didasari kepentingan bisnis
dimana saat ini banyak beroperasi penambangan-penambangan pasir illegal dikawasan
pantai rupat utara baik milik masyarakat setempat maupun milik pemodal-pemodal
dari luar daerah. Hal ini tentu saja tidak dapat dibiarkan karena menimbulkan
pemikiran bahwa Pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan aturan yang berlaku;
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari poin diatas adalah perlunya dilaksanakan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Pelaksanaan koordinasi lintas sektor dapat dilakukan dengan pembentukan forum
koordinasi lintas sektor melalui forum Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
(BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) diyakini dapat
mengeliminir perbedaan kebijakan penataan ruang pusat dan daerah meskipun
pada fase saat ini masih terjadi gap dan perbedaan kepentingan pusat dan daerah
terkait kebijakan dan program pusat dan daerah;
2. Melaksanakan konsultasi publik dan pelibatan seluruh stakeholder dalam proses
penyusunan rencana tata ruang;
3. Menegakkan kepastian hukum secara tegas dan konsisten;
4. Penyusunan RTRW harus dilakukan secara runut yang didukung data yang akurat
dengan analisis yang menggunakan data terkini dan memadai;
5. Diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pihak baik eksekutif, legislatif,
yudikatif dan masyarakat untuk taat kepada rencana tata ruang yang disusun.
DAFTAR PUSTAKA