Vous êtes sur la page 1sur 41

IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI DAN TATA RUANG /

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2018


TERHADAP PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH (PPAT) DI KOTA SEMARANG

USULAN PENELITIAN

Oleh :

Siti Rohaeti

NIM : MKn.03.X.17547

Program Studi : Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)

SEMARANG

2018
IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI DAN TATA RUANG /
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN
2018 TERHADAP PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DI KOTA SEMARANG

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk penyusunan Tesis


Program Studi Kenotariatan

Oleh :

Siti Rohaeti

Mkn : Mkn.03.X.17547

Program Studi : Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI DAN TATA RUANG /
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN
2018 TERHADAP PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DI KOTA SEMARANG

USULAN PENELITIAN

Oleh :

Siti Rohaeti

NIM : Mkn.03.X.17547
Program Studi : Kenotariatan

Di setujui oleh
Pembimbing I
Tanggal,

Dr. H. Jawade Hafidz.,S.H.,M.H


NIDN .

Pembimbing II
Tanggal,

Dr. Hj. Setyawati.,S.H.,M.Hum


NIDN

Mengetahui ,
Ketua Program Magister (S2 Kenotariatan (M.Kn)

Dr.H.Ahmad Khisni, S.H.,M.H


NIDN . 060408570
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum

merupakan salah satu instrumen yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa,

dan bernegara. Hukum dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan

digunakan sebagai wadah bagi pemerintah dalam menuangkan berbagai

kebijakan, terlebih dengan melihat keberagaman suku, ras, dan agama yang dianut

masyarakat Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum yang dikemukakan

oleh Subekti bahwa hukum adalah menyelenggarakan keadilan dan ketertiban

sebagai syarat untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan (Subekti :

1977).

Gustav Radbruch, pencetus tiga nilai dasar hukum dari Jerman pernah

mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai

keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Tiga nilai dasar dalam hukum seperti

yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch tersebut merupakan tiga nilai dalam

hukum yang menjadi tujuan tercapainya keadilan yang hakiki di masyarakat.

Ketiga nilai tersebut wajib menjadi pedoman dalam melaksanakan aktivitas

sebagai warga negara yang berbasis pada hukum.1

Dalam rangka mencapai tujuan hukum khususnya kepastian hukum,

dibutuhkan suatu instrumen untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Sebagai

salah satu contoh pentingnya kepastian hukum adalah dalam hal kepemilikan

1
Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi
Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,Komisi Yudisial
Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 3.
tanah dengan sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Pendaftaran tanah merupakan

salah satu bentuk untuk mencapai kepastian hukum, karena dalam sistem

pendaftaran tanah harus dilengkapi dengan dokumen tertulis yang dapat

menjelaskan tentang subjek dan objek yang menggambarkan mengenai dasar hak

kepemilikan seseorang atas tanah yang akan dibutuhkan sebagai bukti otentik.

Adanya sertipikat tanah sebagai dokumen tertulis menjadi alat bukti yang

memberikan jaminan kepastian hukum bagi seseorang yang memiliki suatu hak

atas tanah.

Dalam pasal 1 (satu) angka 1 (satu) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun

1997 tentang pendaftaran tanah disebutkan bahwa Pendaftaran tanah adalah

rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,

berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,

dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta

dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang

sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pokok

diberlakukannya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar

pokok-pokok agraria (UUPA) yaitu untuk mewujudkan kepastian hukum

mengenai hal-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut terdapat dua upaya

yang harus dilakukan, pertama dengan menyediakan perangkat hukum yang

tertulis lengkap dan jelas. Kedua, dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah

yang memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas

tanah yang dikuasainya dan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan


pertanahan.2 Bidang-bidang tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah

sebagaimana disebutkan di atas, meliputi hak-hak atas bidang tanah yang terdapat

dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-

Undang Pokok Agraria, yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak

Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-

hak lain yang termasuk dalam hak-hak tersebut, yang akan di tetapkan dengan

undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana di sebutkan di

dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria.3

Alat bukti tertulis berupa akta otentik dibutuhkan sebagai sebuah alat bukti

untuk menjamin ditegakkannya kepastian hukum dalam sistem hukum di

Indonesia khususnya dalam ranah hukum perdata bagi para subjek hukum yang

terlibat di dalamnya. Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang

bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-

pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata), akta otentik difungsikan sebagai sebuat alat bukti yang

memiliki sifat sempurna, terkuat, dan terpenuh yang berarti bahwa ketika telah

terdapat akta otentik maka tidak diperlukan lagi alat bukti tertulis lainnya dan

dalam hal pembuktian kebenaran, akta otentik akan selalu dianggap benar dan

harus diterima apa adanya sepanjang tidak terdapat pihak lain yang dapat

membuktikan sebaliknya.

2
Urip santoo, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, cet 2, Jakarta: kencana 2010, hlm 2
3
Winahyu Erwiningsih, Hak Pengelolaan Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media, 2011), hal. 3.
Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa yang mengadakan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah pemerintah. Namun dalam

pasal ini tidak menyebutkan instansi pemerintah mana yang mengadakan

pendaftaran tanah tersebut. Begitu pula di dalam Pasal 1 PP Nomor 10 Tahun

1961 hanya menyebutkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Jawatan

Pendaftaran Tanah.

Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 secara tegas

menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut pasal 5 adalah Badan

Pertanahan Nasional (BPN), Selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) nya ditegaskan

bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, tugas

pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.4

Badan pertanahan nasional pada mulanya diatur dengan Keputusan presiden

nomor 26 tahun 1988, kemudian ditambahkan dengan keputusan presiden nomor

154 tahun 1999 diubah dengan keputusan presiden nomor 95 tahun 2000 dan

teakhir diubah dengan peraturan presiden nomor 10 tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional. Struktur organisasi Badan Pertanahan dibagi 3 berdasarkan

wilayah, yaitu :

1. Di tingkat pusat (ibu kota republik indonesia) dibentuk badan pertanahan

nasional republik indonesia (BPNRI).

2. Di tingkat provinsi dibentuk kantor wilayah badan pertanahan nasional

provinsi (kanwil BPN Provinsi).

3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk kantor pertanahan kabupaten/kota

(kantah kabupaten/kota).

4
Tampil Anshari Siregar, Pendafatarn Tanah Kepastian hak, cetakan Pertama, (Medan: Multi
Grafika Medan, 2007), hal 27.
Pelaksanaan pendaftaran tanah oleh kepala kantor pertanahan kabupaten/kota

dibantu oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut pasal 6 ayat (2) peraturan

pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan.

Boedi harsono menyatakan bahwa PPAT adalah pejabat yang diberikan

kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas Tanah yang merupakan

bagian dari pendaftaran tanah sebagaimana rumusan pengertian pendaftaran

tanah.5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah juncto Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksanaan dari

Peratauran Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa PPAT sebagai pejabat umum

di berikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik untuk perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

yang terletak di wilayah kerjanya.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah PPAT adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk

membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan

akta pemberi kuasa pembebanan hak Tanggungan menurut Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Keberadaan PPAT dalam bidang pertanahan memiliki peranan penting

yang dapat dilihat dari setiap hal yang menjadi kewenangan, tugas, dan

5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal 474.
tanggung jawabnya. Oleh karena itu seorang PPAT harus memiliki sifat yang

jujur, berintegritas, mandiri, dan seksama serta tidak memihak dalam

menjalankan tugas-tugasnya. PPAT juga dituntut untuk menjaga dan

menjunjung tinggi kehormatan, harkat, dan martabat jabatan serta profesinya

dengan menjaga sikap dan perilaku serta taat terhadap peraturan jabatan dan

kode etik profesi PPAT.

PPAT merupakan sebuah jabatan sekaligus sebuah profesi kepercayaan

seperti halnya Notaris. Kepercayaan masyarakat terhadap PPAT adalah hal

yang sangat penting dan harus dijaga oleh setiap orang yang memangku jabatan

sebagai PPAT. Namun selayaknya manusia biasa seperti manusia lainnya,

seorang PPAT tidak luput dari kesalahan-kesalahan baik itu yang dilakukan

secara sengaja maupun tidak sengaja.

Pasal 65 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan adanya pengawasan yang

dilakukan terhadap PPAT dalam rangka pelaksanaan tugas jabatannya yang

berbunyi : 1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT

dilakukan oleh Kepala Badan. 2) Pembinaan dan pengawasan PPAT

sebagaimana dimaksud pada ayat satu (1) dalam pelaksanaannya oleh Kepala

Badan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pertanahan.

PPAT yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional, baik PPAT umum, PPAT khusus ataupun PPAT sementara difungsikan

pada kegiatan pendafataran tanah lanjutan (continius recording) bagi tanah-tanah

yang telah terdaftar/bersertifikat yang biasa disebut kegiatan pemeliharaan data


pendaftaran tanah seperti pengalihan hak, pembebanan hak dan pemberian hak

lain di atas tanah hak tertentu sebagaimana pada hak milik dan hak pengelolaan.6

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT, serta

peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan selanjutnya di

perbaharui melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23

Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Ketentuan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah memuat peraturan mengenai fungsi dari Badan Pertanahan Nasional

sehingga dapat disimpulkan bahwa betapa besarnya peran Badan Pertanahan

Nasional untuk mengoreksi, mengawasi dan membimbing kinerja dari para PPAT

agar tidak menimbulkan ganti kerugian.

Fungsi pembinaan dan pengawasan yang di lakukan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota terhadap profesi PPAT di lakukan dengan ruang lingkup yang

tidak hanya diatur oleh peraturan sebagaimana yang telah disebutkan diatas lebih

dari itu dalam prakteknya cakupan/ruang lingkup pengawasan dan pembinaan

dapat lebih luas bergantung pada kebijakan Kantor Pertanahan dan situasi yang

ada dari setiap daerah.

Selain badan pengawas yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, organisasi profesi PPAT

yang dikenal dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) pun

menetapkan dan membentuk suatu badan pengawas yang merupakan

6
Tampil Anshari Siregar, Pendafatarn Tanah Kepastian hak, cetakan Pertama, (Medan: Multi
Grafika Medan, 2007), hal 28
kelengkapan organisasi. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT)

merupakan satusatunya wadah yang menjadi tempat bernaung bagi setiap orang

yang memangku jabatan PPAT sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 69 ayat

(1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa :

“untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi PPAT dan/atau PPAT


sementara wajib dibentuk organisasi profesi PPAT dan/atau PPAT sementara”.

Dalam Pasal 69 ayat (2) semakin ditekankan mengenai kewenangan

organisasi profesi yang dalam hal ini adalah IPPAT, untuk menyusun kode etik

profesi PPAT yang kemudian diwujudnyatakan lewat hasil keputusan Kongres

IV IPPAT di Surabaya pada tanggal 31 Agustus - 1 September 2007.

Penegakan kode etik profesi PPAT guna mencegah terjadinya pelanggaran-

pelanggaran merupakan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat di dalamnya

baik itu Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pertanahan

yang telah diamanatkan tugas untuk mengawasi pelaksanaan jabatan PPAT

maupun organisasi profesi PPAT melalui Majelis Kehormatan PPAT yang juga

bertugas untuk itu, sehingga diharapkan dapat bekerja sama dengan baik.

Pembinaan dan pengawasan terhadap para PPAT di seluruh

Kabupaten/Kota mungkin secara teknis mempunyai beberapa perbedaan kecil.

Perbedaan tersebut merupakan suatu hal yang wajar, dikarenakan teknis

kegiatan pembinaan dan pengawasan terhadap para PPAT, melihat

kebijaksanaan dari Kepala Kantor Pertanahan dari setiap Kabupaten/Kota. Oleh

karena itu, menjadi sebuah perhatian yang menarik mengenai ruang lingkup

dan cakupan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Kantor

Pertanahan Kota Semarang terhadap PPAT di Kota Semarang. Oleh karena itu
dirasa perlu untuk diangkat suatu penelitian yang khusus membahas, mengkaji

serta menganalisis tentang pembinaan dan pengawasan Kantor Pertanahan Kota

Semarang terhadap para PPAT di Kota Semarang, maka dari pertimbangan dan

latar belakang sebagaimana telah disebutkan diatas. Disusunlah judul penelitian

yang berjudul ”Implementasi Peraturan Menteri Dan Tata Ruang / Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 Terhadap Pembinaan

Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Di Kota

Semarang”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk serta ruang lingkup pembinaan dan pengawasan kantor

pertanahan kota semarang terhadap pejabat pembuat akta tanah (PPAT) di

Kota Semarang ?

2. Sejauhmana penerapan fungsi pembinaaan dan pengawasan terhadap pejabat

pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang oleh pejabat pada kantor

pertanahan kota semarang ?

3. Apa saja faktor penghambat dalam penerapan fungsi pembinaan dan

pengawasan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang oleh pejabat

pada kantor pertanahan kota semarang ?


C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan, yang

bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih memperdalam segala segi kehidupan.

(Soekanto, 1986 : 3). Prof. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa penelitian

hukum bertujuan untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum sesuai dan

seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya

teknologi informasi global. (Muhammad, 2004:37).

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan dalam penelitian

ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk serta ruang lingkup pembinaan dan

pengawasan kantor pertanahan kota Semarang terhadap pejabat pembuat

akta tanah (PPAT) di Kota Semarang.

2. Untuk mengetahui sejauhmana penerapan fungsi pembinaaan dan

pengawasan terhadap pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang

oleh pejabat pada kantor pertanahan kota semarang.

3. Untuk mempelajari apa saja faktor penghambat dalam penerapan fungsi

pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kota

semarang oleh pejabat pada kantor pertanahan kota semarang.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Untuk menambah pengetahuan bagi peningkatan dan perkembangan

Ilmu Hukum khususnya di bidang kenotariatan mengenai implementasi

peraturan menteri dan tata ruang / kepala badan pertanahan nasional


nomor 2 tahun 2018 terhadap pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat

akta tanah (PPAT) di kota semarang.

a. Penelitian dapat memberikan kontribusi baru bagi keilmuan terkait

dengan Ilmu Kenotariatan dan Ke-PPAT-an terutama mengenai

bentuk serta ruang lingkup pembinaan dan pengawasan kantor

pertanahan kota Semarang terhadap pejabat pembuat akta tanah

(PPAT) di Kota Semarang dalam sistem pendaftaran tanah di

Indonesia.

b. Memperkaya Khazanah teori pendidikan, khususnya di bidang

pembinaan dan pengawasan kantor pertanahan kota Semarang

terhadap pejabat pembuat akta tanah (PPAT) di Kota Semarang

terkait sejauh mana penerapan fungsi pembinaaan dan pengawasan

terhadap pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang oleh

pejabat pada kantor pertanahan kota semarang.

c. Memberikan penjelasan mengenai faktor penghambat dalam

penerapan fungsi pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta

tanah (PPAT) kota semarang oleh pejabat pada kantor pertanahan

kota semarang.

2. Kegunaan praktis

a. Bagi Praktisi Hukum dan Masyarakat Umum.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan khususnya tentang dasar hukum dan akibat yang ditimbulkan

terkait kuasa wakaf di bawah tangan.

b. Bagi kepentingan mahasiswa sendiri


Diharapkan disamping memenuhi salah satu syarat penyelesaian studi

Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang, juga

untuk menambah pengetahuan serta wawasan dibidang hukum

kenotariatan.

c. Bagi Penulis Sendiri

Diharapkan disamping memenuhi salah satu syarat penyelesain studi

Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang, juga

untuk menambah pengetahuan serta wawasan dibidang hukum

kenotariatan.

E. Kerangka Konseptual

Konsepsi adalah bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam

penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak

dan kenyataan. Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi

mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari

jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu.7

Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan konsep -konsep sebagai

berikut:

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hokum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun.8

7
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta. 1996), hal. 19.
8
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
2. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT

di daerah yang belumcukup terdapat PPAT.

3. PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk

karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta

PPAT tertentu, husus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas

pemerintah tertentu.9

4. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan

dalam satu satuan daerah kerja PPAT.10

5. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan

seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.11

6. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

7. Pembinan adalah proses pembuatan, cara pembinaan pembaharuan atau

kegiatan yang di lakukan secara berdaya guna dan berhasil guna

dengan baik.

8. Pengawasan adalah Penilaian dan pengarahan kebijakan jalannya

perusahaan.

F. KERANGKA TEORI

Sebuah penelitian membutuhkan kerangka teori untuk dapat menganalisis

masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, apalagi di dalam penelitian-

penelitian yang berhubungan dengan disiplin ilmu hukum yang membutuhkan

teori guna menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut.

9
Ibid.
10
Ibid.hal.152
11
Indonesia Legal Center Publishing, Himpunan Peraturan Perundang-Undang Jabatan Notaris
Dan PPAT, Cetakan Pertama, (Jakarta: CV. Karya Gemilang, 2009), hal. 151.
Sebagaimana fungsi teori Teori merupakan susunan fakta-fakta secara teratur dan

sistematis, atau lebih tegas diartikan bahwa teori adalah suatu kumpulan konsep,

definisi dan dugaan yang memberikan gambaran sistematis tentang fakta yaitu

dengan menggunakan saling hubungan antara variabel-variabel fakta yang secara

keseluruhan berguna untuk menjelaskan dan memprediksikan fakta tersebut.

Secara garis besar ada 3 (tiga) fungsi utama dari teori yaitu:12

1. Teori memberikan arah tentang apa yang harus diteliti dari suatu objek,

sehingga mampu membahas fenomena/fakta yang akan dipelajari/diamati

dari objek tersebut (relevan).

2. Teori menyusun fakta secara teratur/sistematis dalam bentuk generalisasi

atau prinsip-prinsip, sehingga hubungan fakta-fakta satu sama lainnya

mudah untuk dipahami.

3. Teori menunjukkan hubungan fakta-fakta, sehingga dengan pola hubungan

itu dapat diramalkan fakta/kondisi yang belum pernah diketahui.

Teori berhubungan erat dengan fakta. Teori dapat menunjukkan arah yang

harus ditempuh untuk mengungkapkan fakta baru. Fakta dapat memberikan

gambaran untuk menyusun teori baru atau memperluas, menyempurnakan,

bahkan untuk menolak teori yang sudah ada. Teori adalah alat dari ilmu (tool of

science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong teori. Sebagai alat

dari ilmu, teori mempunyai peranan sebagai berikut:13

a. Teori sebagai orientasi utama dari ilmu.Fungsi pertama dari teori adalah

memberikan batasan terhadap ilmu dengan cara memperkecil jangkauan

12
Abdurrozaq Hasibuan, Metode Penelitian, (Medan: Multi Grafika medan, 2003)hal. 4.

13
Ibid, hal 4-5.
(range) dari fakta yang akan dipelajari. Karena banyak fenomena yang

dapat dipelajari dari berbagai aspek, maka teori membatasi aspek mana

saja yang akan dipelajari dari fenomena tertentu. Dengan adanya teori,

maka jenis fakta mana yang relevan dengan aspek tertentu dari

fenomena dapat dicari dan ditentukan.

b. Teori sebagai konsepsualisasi dan klasifikasi. Tugas dari ilmu juga

mengembangkan sistem klasifikasi dan struktur konsep. Dalam

pengembangan tersebut, ilmu memegang peranan penting, karena

konsep serta klasifikasi selalu berubah karena pentingnya suatu

fenomena berubah-ubah.

c. Teori meringkaskan fakta. Teori meringkaskan hasil penelitian. Dengan

adanya teori, generalisasi terhadap hasil penelitian dapat dilakukan

dengan mudah. Teori juga dapat memadu generalisasi-generalisasi satu

sama lain secara empiris sehingga dapat diperoleh suatu ringkasan

hubungan antar generalisasi atau pernyataan.

d. Teori memprediksi fakta-fakta. Penyimpangan fakta-fakta oleh teori

akan menghasilkan uniformitas dari pengamatan-pengamatan. Dengan

adanya uniformitas tersebut, maka dapat dibuat prediksi terhadap fakta-

fakta yang akan datang. Teori fakta-fakta apa yang dapat mereka

harapkan muncul berdasarkan pengamatan fenomena-fenomena.

e. Teori memperjelas celah kosong. Karena meringkaskan fakta-fakta

sekarang dan memprediksikan fakta-fakta yang akan dating, yang belum

diamati, maka teori dapat memberikan pentunjuk dan memperjelas

daerah mana dalam khazanah ilmu pengetahuan yang belum

dieksplorasikan.
Fakta adalah pengamatan yang telah diverifikasikan secara empiris.

Fakta dapat menjadi ilmu dapat juga tidak. Jika fakta hanya diperoleh saja

secara random, fakta tersebut tidak akan menghasilkan ilmu. Sebaliknya, jika

dikumpulkan secara sistematik dengan beberapa sistem serta beberapa pokok-

pokok pengurutan, maka fakta tersebut dapat menghasilkan ilmu. Fakta tanpa

teori juga tidak akan menghasilkan apa-apa.14

Adapun yang menjadi teori dalam penelitian ini adalah teori

kewenangan, berkaitan dengan teori kewenangan ini, maka Pilar utama negara

hukum (rechtstaat) yaitu asas legalitas (legalitas principle). Berdasarkan

prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan

perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan. Beberapa pengertian tentang kewenangan dari

para ahli yaitu:15

1. H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang-wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik dalam

hubungan dengan hukum publik.

2. E.Utrecht melihatbahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari

kekuasaan (match, power) apabila diterima sebagai sesuatu yang sah

atau sebagai tertib hukum positif badan dan badan yang lebih tinggi itu

diakui sebagai penguasa (autoriteit).

14
Ibid, hal. 5-6.
15
Hutagalung, dkk, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008)hal.104.
3. Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagi kekuasaan yang ada

pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau

mendapat pengakuan dari masyarakat.

4. Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (match) menggambarkan

hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti

hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).

5. Nicolai menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak

untukmemberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan

tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat keharusan untuk

melakuan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan

mandat. Indoroharto mengatakan “bahwa pada atribusi terjadi pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan.”16

Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada

oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang

pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara

lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanyaatribusi

wewenang.Beberapa pengertian mengenai atribusi, delegasi dan mandat.

Menurut H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefenisikan sebagai berikut:

16
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negera, hal104. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan.

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan

kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berbeda dengan van Wijk, F. A. M. Stoink dan J. G.

Steenbeek menyebutkan bahwa Hanya ada 2 (dua) caraorgan pemerintahan

memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan

penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan

wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang

secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului

oleh atribusi). Dalam hal mandat dikemukakan bahwa pada mandat tidak

dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam

hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam

arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal, sebagai contoh

Menteri dengan pegawai, Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan

kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas namaMenteri,

sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada

organ kementerian.17

Pengertian atribusi dan delegasi berdasarkan Algemene Bepalingen van

Administratief Recht yaitu “Atribusi wewenang dikemukakan bila undang-

undang (dalam arti material) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ

tertentu). Dalam hal delegasi disebutkan berarti pelimpahan wewenang oleh

17
Ibid.
organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya, yang

akan melaksanakan wewenang yang telah dilimphkan itu sebagai

wewenangnya sendiri”.

Di dalam Al-gemene Wet Bestuursrecht (Awb), “Mandat berarti pemberian

wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil

keputusan atas namanya, sedangkan delegasi diartikan sebagai pelimpahan

wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil

keputusan dengan tangung jawab sendiri, artinya dalam penyerahan wewenang

melalui delegasi ini pemberi wewenang telah terlepas dari tanggung jawab

hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu

menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam hal pelimpahan wewenang

pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:18

1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan

artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu

dalam peraturan perundang-undangan.

3. Delegasi tidak kepada bawahan artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaian tidak dibenarkan adanya delegasi.

Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) artinya delegasi

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

Peraturan kebijakan, artinya delegasi (delegans) memberikan instruksi

(instruction) tentang penggunaan wewenang tersebut.Dalam kajian hukum

administrasi negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang

18
Ibid, hal.107.
organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan tanggung jawab

hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu

prinsip dalam negara hukum yaitu tidak ada kewenangan tanpa

pertanggungjawaban. Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat

pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang

bersangkutan.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang

diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang dari peraturan perundang-

undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan

secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Dalam hal atribusi, penerimawewenang dapat menciptakan

wewenang baru atau dapat memperluas wewenang yang sudah ada dengan

tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan

sepenuhnya berada pada penerima wewenang atau biasa di sebut atributaris.

Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada

pelimpahan wewenang dari pejabat satu kepada pejabat lainnya. Tanggung

jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi tetapi beralih kepada

penerima delegasi. Sementara itu pada mandat, penerima mandat hanya

bertindak untuk dan atas nama mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang

diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada

dasarnya,penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.

Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang

pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas terutama dalam

kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan

(besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ pemerintah


sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan

bebas.19

1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat yakni terjadi apabila

peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana

wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit

banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil.

Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi

dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang

pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat.

2. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha

negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau

sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat

dilakukan dalam hal-hak atau keadaan- keadaaan tertentu sebagaimana

ditentukan dalam peraturan dasarnya.

Wewenang bebas yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi

kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan

sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan

dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha

negara yang bersangkutan. Philipus M.Hadjon, dengan mengutip pendapat

Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam 2 (dua) kategori yaitu

kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoor-

delingsvrijheid). Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti

sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu


19
Ibid, hal. 110.
kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk tidak

menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah

dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang

tidak sesungguhnya) ada apabila sejauh menurut hukum diserahkan kepada

organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan ekslusif apakah syarat-

syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.

Berdasarkan pengertian ini, Philip M. Hadjon menyimpulkan adanya 2 (dua)

jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu kewenangan untuk

memutus secara mandiri dan kewenangan interprestasi terhadap norma-norma

tersamar (vege/norm).20

Meskipun kepada pemerintahan diberi kewenangan bebas, dalam suatu

negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluas-

luasnya atau kebebasan tanpa batas sebab dalam suatu negara hukum

menegaskan bahwa baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang

maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis.

Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum

tertulis dan tidak tertulis.Di samping itu, dalam negara hukum juga dianut

prinsip bahwa setiap penggunaan kewenangan pemerintahan harus disertai

dengan pertangungjawaban hukum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kewenangan yang terdapat pada

Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pembantu badan pertanahan dalam

pemeliharaan data pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik

atas satuan rumah susun adalah atribusi karena dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan

20
ibid
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah menegaskan akta-akta tertentu yang dapat dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan yang terdapat

pada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuat akta-akta tertentu

didasarkan pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun kewenangan yang terdapat pada badan pertanahan dalam

membina dan mengawasi Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah delegasi karena

dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan bahwa pembinaan dan

pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh menteri sedangkan

dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 65 Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nomor 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta

Tanah menyatakankan bahwa pembinaan dan pengawasan Pejabat Pembuat Akta

Tanah dilakukan oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor

Pertanahan. Hal ini menegaskan adanya delegasi dari menteri kepada kepala

badan, kepala kantor wilayah dan kepala kantor pertanahan dalam memberikan

pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

kepada suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan

mempelajari suatu gejala tertentu dengan jalan menganalisisnya, karena penelitian

didalam ilmu-ilmu sosial merupakan suatu proses yang dilakukan secara


terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan masalah dan memberikan

kesimpulan- kesimpulan yang tidak meragukan.21

Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran

sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut

diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan.22

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis

sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis sering juga disebut sebagai penelitian

hukum non-doktrinal. Penelitian tersebut bertujuan agar menghasilkan teori-teori

tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, yang terjadi di dalam

proses-proses perbuahan sosial (Sunggono, 2012:78), maka dalam penelitian tesis

ini, penulis akan mengkaji lebih dalam terkait implementasi peraturan menteri dan

tata ruang / kepala badan pertanahan nasional nomor 2 tahun 2018 terhadap

pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) di kota semarang.

1. Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini

adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif

merupakan pengamatan, wawancara, atau penelahaan dokumen (Moleong,

2012:9). Menurut Jane Richie seperti yang dikutip oleh Moleong (2012:6),

penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan

perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan

persoalan tentang yang diteliti.

Pada penelitian ini, penulis awalnya meneliti terkait pembinaan dan

pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berasal


21
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 13
22
Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Jogjakarta, hlm. 1
dari data sekunder, yang dilanjutkan dengan meneliti terhadap data primer

yang berasal dari hasil wawancara.

Penulis dalam hal ini, ingin melihat dan mengetahui secara jelas

terkait implementasi peraturan menteri dan tata ruang / kepala badan

pertanahan nasional nomor 2 tahun 2018 terhadap pembinaan dan

pengawasan pejabat pembuat akta tanah (ppat) di kota semarang dengan

mengetahui bagaimana bentuk serta ruang lingkup pembinaan dan

pengawasan kantor pertanahan kota semarang terhadap pejabat pembuat

akta tanah (PPAT) di Kota Semarang dalam sistem pendaftaran tanah di

Indonesia, dan sejauhmana penerapan fungsi pembinaaan dan pengawasan

terhadap pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang oleh pejabat

pada kantor pertanahan kota semarang serta faktor apa saja yang menjadi

penghambat dalam penerapan fungsi pembinaan dan pengawasan pejabat

pembuat akta tanah (PPAT) kota semarang oleh pejabat pada kantor

pertanahan kota semarang. Sesuai jenis penelitian ini diharapkan mampu

mendeskripsikan tentang implementasi peraturan menteri dan tata ruang /

kepala badan pertanahan nasional nomor 2 tahun 2018 terhadap

pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah (ppat) di kota

semarang.

2. Pendekatan penelitian

Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam penelitian

hukum diperlukan suatu model pendekatan. Dengan pendekatan tersebut,

Penulis akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu


(permasalahan- permasalahan) yang sedang dicari jawabannya.23 Macam

pendekatan yang dapat dipergunakan dalam menulis adalah :

a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua Undang-

Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani. Pendekatan Undang-Undang ini akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang

lainnya atau antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar

atau antara regulasi dan Undang-Undang. Dalam Pendekatan

Perundang-undangan (the statute approach) ini dilakukan penelitian

sinkronasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.

Sehingga dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

Undang-Undang yaitu Peraturan Menteri Dan Tata Ruang / Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 Terhadap

Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat)

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah.

b. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus- kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang

23
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 93
telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

yang tetap.

c. Pendekatan Sejarah (historical approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang

apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu

yang dihadapi. Pendekatan historis ini diperlukan kalau memang

peneliti menganggap bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir

ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan memang mempunyai

relevansi dengan masa kini. Dalam penelitian ini, pendekatan

historis digunakan untuk mengkaji perkembangan lembaga Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Indonesia, serta perkembangan

pengaturan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di

Indonesia.

d. Pendekatan Konsep (conseptual approach)

Pendekatan konseptual dalam penelitian ini merujuk pada prinsi-

prinsip hukum.Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-

pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak

secara eksplisit, konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam

undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip tersebut,

terlebih dahulu harus memahami konsep tersebut melalui pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang ada. Pendekatan ini digunakan

untuk mengkaji konsep mengenai Implementasi Peraturan Menteri

Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun

2018 Terhadap Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) Di Kota Semarang dengan beberapa asas, teori, dan


konsep yaitu asas kepastian hukum, teori kewenangan, teori

pertanggungjawaban hukum, dan konsep mengenai Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) di Indonesia.

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan penelitian pada umumnya dibedakan atas bahan

yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan

pustaka. Adapun yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan

bahan sekunder. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada penelitian

kepustakaan (library research) serta bahan-bahan lain yang dapat

menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan. Sumber

bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah :

a. Sumber bahan hukum primer

Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber yang mengikat dalam

bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain :

1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

3) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang


Pendaftaran Tanah.
4) Peraturan Menteri Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan Dan

Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat).

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah.
6) Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

7) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik


Indonesia Nomor. 23 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor. 37 Tahun 1998 tentang
ketentuan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
8) Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain

yang berkaitan dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta

implementasinya dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer yang dapat berupa :

1) Buku-buku literatur;

2) Jurnal hukum dan Majalah Hukum;

3) Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan koran - Tesis,

artikel ilmiah dan disertasi.

4) Pendapat praktisi hukum,

5) Berbagai buku yang relevan dengan kode etik profesi

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti : artikel dalam format

elektronik (internet).24

24
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,2007, Penelitian Hukum Normatif (suatu Tinjauan
Singkat). Rajagrafindo Persada, Jakarta,hlm. 33
Untuk menopang data sekunder dalam penelitian ini juga

dipergunakan data primer. .Menurut Barda Nawawi Arief dalam

suatu penelitian hukum normatif dapat juga dilakukan penelitian

data primer.25 Dengan konteks demikian maka konsekuensinya

adalah data primer dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam

suatu penelitian hukum yang bersaifat normatif. Namun demikian

dalam penelitian hukum normatif kajian utama tetap terletak pada

data sekunder. Data primer hanya dipergunakan untuk mendukung

data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak-

pihak tertentu, yang dipandang memiliki keahlian ataupun

pandangan yang dapat mempertajam analisa dari penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari penelusuran melalui kegiatan studi kepustakaan, yaitu

mengumpulkan berbagai bahan hukum, baik berupa peraturan

perundang-undangan, kode etik profesi, literartur, karya ilmiah, hasil

penelitian terdahulu, dokumen, pendapat praktisi hukum, majalah, serta

berbagai buku yang relevan yang terkait dengan peranan notaris dalam

pembuatan akta perjanjian waralaba guna menjamin perlindungan

hukumnya. Mengenai Teknik pengumpulan bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian tesis ini adalah dengan melakukan kegiatan

membaca secara kritis analisis lalu menemukan permasalahan dan isu

hukum yang akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada

25
Barda Nawawi Arief, 1995,Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorinetasi
Pemahaman), Dipaparkan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum, universitas Jendral
Soedirman, Purwokerto, hlm. 4
kaitannya dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi

yang relevan dan esensial.

5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisa

dengan menggunakan beberapa teknik yaitu :

a. Teknik deskripsi

Teknik deskripsi memaparkan situasi atau peristiwa. Dalam

teknik deskripsi tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak

menguji hipotesis atau membuat prediksi.26 Deskripsi berarti

uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari

proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Di dalam tesis ini

yang dideskripsikan adalah mengenai Implementasi Peraturan

Menteri Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 2 Tahun 2018 Terhadap Pembinaan Dan Pengawasan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Di Kota Semarang.

b. Teknik evaluasi

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap

suatu pandangan, pernyataan, baik yang tertera dalam bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

c. Teknik argumentasi

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian dari analisa harus didasarkan pada alasan-alasan

yang bersifat penalaran hukum. Hasil analisis selanjutnya

26
M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi,
Azzagrafika, Yokyakarta, hlm. 48
diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas pokok

permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.

d. Tekhnik Wawancara

Wawancara menurut Burhan Asofa (2013:95) adalah cara yang

digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna

mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini yang dibahas adalah

penelitian yang sifatnya ilmiah, yang bertujuan untuk

mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta

pendapat-pendapat mereka. Penelitian ini akan menggunakan

pedoman wawancara tak berstruktur, di mana peneliti membuat

pedoman wawancara secara garis besarnya saja sehingga

pertanyaan dapat meluas dan mendalam pada saat proses

wawancara berlangsung.

Dalam penelitian ini wawancara ditujukan kepada para

informan. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian

(Moleong, 2005:132). Wawancara tersebut digunakan untuk

memperoleh informasi tentang implementasi peraturan menteri dan

tata ruang / kepala badan pertanahan nasional nomor 2 tahun 2018

terhadap pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah

(ppat) di kota semarang.


6. Validitas Data

Untuk menetapkan keabsahan diperlukan teknik pemeriksaan.

Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu,

yaitu kepercayan, keteralihan, ketergantungan, dan kepastian (Moleong,

2005:324).

Untuk menetapkan keabsahan data penelitian dilapangan

diperlukan teknik Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,

2005:330). Triangulasi yang digunakan antara lain sebagai berikut:

1. Triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan dan mengecek baik

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu

yang berbeda dalam metode kualitatif.

2. Memanfaatkan pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan

kembali derajat kepercayaan data dari pemanfaatan pengamat akan

membantu mengurangi bias dalam pengumpulan data.

Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi

dengan sumber, dimana triangulasi ini sumber-sumber yang ada

digunakan untuk membandingkan dan mengecek kembali hasil dari

berbagai macam metode yang digunakan dalam penelitian ini. Berarti

disini diperlukan format wawancara/protokol wawancara (dalam metode

wawancara), catatan pengamatan (dalam metode observasi), serta data-

data lain yang akurat yang dapat menunjang penelitian ini.

Triangulasi dengan sumber data dapat ditempuh dengan jalan

sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi;

3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang waktu diteliti

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu;

4. Membandingkan keadaan dengan prespektif seseorang dengan

berbagai pendapat pandangan orang seperti rakyat biasa, pejabat

pemerintah, orang yang berpendidikan, orang yang berbeda;

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen

berkaitan;

Berdasarkan pendapat Moleong diatas, maka peneliti dalam menguji

keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber.

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama

melalui sumber yang berbeda, yang mana dalam penelitian ini penulis

menanyakan terkait implementasi peraturan menteri dan tata ruang /

kepala badan pertanahan nasional nomor 2 tahun 2018 terhadap

pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah (ppat) di kota

semarang kepada narasumber yang berbeda, yaitu BPN, dan PPAT.

Setelah itu penulis melakukan perbandingan data yang telah diperoleh.

Yaitu data-data sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingkan dengan

data-data primer yang diperoleh di fakta-fakta yang ditemui lapangan.

Sehingga kebenaran dari data yang diperoleh dapat dipercaya dan

meyakinkan.
H. Jadwal Penelitian

Adapun perincian jadwal pelaksanaan penelitian tersebut adalah sebagai

berikut :

Waktu
Bentuk September Oktober November Desember Januari
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Persiapan

1. Penyusunan
Proposal
3. Ujian Proposal

4. Pengumpulan
Data

5. Analisa
data/informasi

6. Penyusunan
laporan/tesis

7. Ujian Tesis

I. Sistematika

Penulisan penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, di mana ada

keterkaitan antara bab yang satu dengan yang l ainnya. Sistem penulisan tesis

ini akan dijabarkan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, yang berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka konseptual,

Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka, yang berisi tentang Tinjauan pembinaan dan

pengawasan, Tinjauan Umum pejabat pembuat akta tanah

(PPAT).
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi tentang bagaimana

bentuk serta ruang lingkup pembinaan dan pengawasan kantor

pertanahan kota Semarang terhadap pejabat pembuat akta tanah

(PPAT) di Kota Semarang, sejauhmana penerapan fungsi

pembinaaan dan pengawasan terhadap pejabat pembuat akta tanah

(PPAT) kota semarang oleh pejabat pada kantor pertanahan kota

semarang. Serta faktor penghambat dalam penerapan fungsi

pembinaan dan pengawasan pejabat pembuat akta tanah (PPAT)

kota semarang oleh pejabat pada kantor pertanahan kota

semarang.

Bab IV Penutup, yang berisi simpulan dari penelitian yang dilengkapi

dengan saran-saran sebagai masukkan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ashshofa, Burhan. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka


Cipta

Anshari S, Tampil. 2007. Pendafatarn Tanah Kepastian hak. Medan:


Multi Grafika

Erwiningsih, Winahyu. 2011. Hak Pengelolaan Atas Tanah. Yogyakarta:


Total Media

Hanitijo S, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia


Indonesia

Hariwijaya. 2007. Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan


Disertasi. Yokyakarta: Azzagrafika

Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Hasibuan, Abdurrozaq. 2003. Metode Penelitian. Medan: Multi Grafika

Hutagalung, dkk. 2008. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan.


Jakarta: Raja Grafindo Persada

Indonesia Legal Center Publishing. 2009. Himpunan Peraturan


Perundang-Undang JabatanNotaris Dan PPAT. Jakarta: CV.
Karya Gemilang

Mahmud M, Peter. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group

Nawawi A, Barda. 1995. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya


Reorinetasi Pemahaman). Purwokerto: Dipaparkan dalam
Penataran Metodologi Penelitian Hukum, universitas Jendral
Soedirman

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negera. Jakarta: Raja Grafindo


Persada

Santoo, Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana

Sidharta. 2010. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara,


Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara
Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Komisi Yudisial
Republik Indonesia. Jakarta

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif


(suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajagrafindo Persada

Suparmoko. 1991. Metode Penelitian Praktis, Jogjakarta: BPFE

B. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Vous aimerez peut-être aussi