Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pendengaran Manusia


II.1.1 Anatomi Organ Pendengaran
Menurut Boeis (1997, hlm. 30-35) dalam buku ajar penyakit telinga, hidung,
dan tenggorok, telinga secara anatomi dan fungsional dibagi menjadi 3 bagian yaitu
telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.
a. Telinga Luar
Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat disebelah luar membran
timpani. Terdiri dari daun telinga dan saluran yang menuju membran timpani,
yaitu di sebelah liang telinga luar.
Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang rawan yang berlekuk-lekuk
ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh oto dan ligamentum.
Lekuk daun telinga yang utama ialah heliks dan anteheliks, tragus dan
antritragus, dan konka.
Gendang telinga dan kulit liang telinga mempunyai sifat membersihkan sendiri
yang disebabkan oleh migrasi lapisan keratin epitelium dari membran timpani
ke luar ke bagian tulang rawan. Membran timpani terdiri dari tiga lapisan,
lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa
membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara
kedua lapisan tersebut.
b. Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak diantara membran timpani
dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan oto yang terdapat didalamnya
beserta penunjangnya, tuba eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Batas-
batas superior dan inferior membran timpani membagi cavum timpani menjadi
epitimpanum, mesotimpanum, dan hipoptimpanum.
Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang letaknya lebih rendah dari
membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran
kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi
bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan
sebagian bulbus yugularis dapat masuk ke dalam hipotimpanum.
Mesotimpanum yang ada disebelah medial dibatasi oleh kapsul optic, yang
terletak lebih rendah dari nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang
melengkung pada bagian basal koklea terletak tepat di sebelah medial membran
timpani dan disebut promontorium.
Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu sistem pengungkit dan batang
yang meneruskan suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut
terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi). Maleus dan inkus bekerja
sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani
melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus
anterior dan ligament inkus pada ujung prosesus brevis.
c. Telinga Dalam
Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars piramida tulang temporal dan
terdiri dari koklea, vestibulum, dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea
amerupakan bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang
temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris yang merupakan
struktur yang mengandung sel-sel reseptor pendengaran, terbentang dari basis
sampai koklea.

II.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia


Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi akan dihantarkan melalui udara
sehingga mencapai aurikula. Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah melalui meatus
akustikus eksternus dan akan menggetarkan membran timpani. Selanjutnya getaran
bunyi akan melalui media padat yaitu tulang-tulang pendengaran. Getaran bunyi akan
diperkuat, selanjutnya getaran bunyi yang diperkuat akan menggetarkan stapes yang
menutup foramen ovale. Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan
tulang memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra verstibuler menuju
perilimfe. Getara perilimfe dialihkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan
rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke otak. Perasaan pendengaran
ditafsirkan otak sebagai suara.

II.1.3 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss)


Gangguan pendengaran akibat bising ialah gangguan pendengaran yang
disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang
cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya
ialah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Arsyad et al.,
2007).
Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang
pendengaran disertai tinnitus (berdenging di telinga). Bila sudah cukup berat disertai
keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih
berat percakapan yang keras pun sulit dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada
organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap
(permanent threshold shift).
1. Reaksi adaptasi merupakan respon kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi
dengan intensitas 70 dB atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.
2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan kedaan terdapatnya
peningkatan ambang dengar akibat terpajang bising dengan intensitas yang
cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang
terjadi pemulihan dalam satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bsising dengan intesitas
sangat tinggi berlangsung singkat atau berlangsung lama yang menyebabkan
kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ korti, sel-
sel rambut, stria vaskularis dan lain-lain (Arsyad et al., 2007).

II.1.4 Pemeriksaan Pendengaran


Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara
dan melalui tulang dengan memakai garpu tala. Berdasarkan OSHA pemeriksaan
pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun sekali.
Menrut Boeis (1997, hlm. 48-49) pemeriksaan tes penala merupakan tes
kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala seperti tes Rinne, tes Weber, dan tes
Schwabach.
1. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan
hantaran melalui tulang pada telingan yang diperiksa.
2. Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dengan telinga kanan.
3. Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising pada pemeriksaan tes
penala didapakan hasil Rinne postif, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek.

II.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran


II.2.1 Kebisingan
II.2.1.2 Definisi Bunyi atau Suara
Bunyi adalah tekanan bolak balik dan merupakan molekul dalam medium
elastik yang dapat dideteksi oleh penerima dan ditangkap sebagai perubah tekanan.
Bunyi memilki hubungan antara frekuensi vibrasi suara, panjang gelombang, dan
kecepatan (Sari, 2012).
Suara didefinisikan sebgai sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ
pendengaran manusia ketika gelombang-gelombang suara dibentuk di udara melalui
getaran yang diterimanya. Gelombang suara merupakan gelombang longitudinal yang
terdengar sebagai bunyi yang masuk ke tilinga berada pada frekuensi 20-20.000 Hz
atau disebut jangkauan suara yang dapat didengar (Djalante, 2010).

II.2.1.3 Pengertian Kebisingan


Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI (2011) tentang nilai ambang
batas faktor fisika di tempat kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua bunyi
yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat
kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan bahaya.
Polusi uadara atau kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak
dikehendaki dan mengganggu manusia. Sehingga meski kecil atau lembut suara yang
terdengar, jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut kebisingan (Djalante,
2010).
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (2011) nilai ambang batas
(NAB) kebisingan adalah 85 dB untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh terdapat tenaga kerja adalah
kebisingan, yang mampu menyebabkan berkurangnya pendengaran.

II.2.1.4 Jenis-jenis Kebisingan


Berdasarkan buku Fundamental of Industrial Hygine, pajanan kebisingan di
tempat kerja dapat dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Continuous noise
Merupakan jenis kebisingan yang memiliki tingkat dan spectrum frekuensi
konstan. Kebisingan jenis ini memajan pekerja dengan peroide waktu 8 jam
per hari atau 40 jam per minggu.
b. Intermittent noise
Merupakan jenis kebisingan yang mamajan pekerja hanya pada waktu-
waktu tertentu selama jam kerja.
c. Impact noise
Disebut juga dengan kebisingan impulsif, yaitu kebisingan dengan suara
hentakan yang keras dan terputus-putus kurang dari 1 detik. Contoh
kebisingan jenis ini adalah suara ledakan atau pukulan paku.

II.2.1.5 Sumber Kebisingan


Menurut Sari (2012), di lingkungan kerja, bising dapat bersumber dari
benda-benda maupun situasi yang berada di dalam maupun di luar
lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya bising
yaitu mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja, proses-prose kerja,
pelataran pabrik, kendaraan, kegiatan manusia, suara pekerja itu sendiri, dan
suara orang yang berlalu lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar
lingkungan kerja (background noise).
Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut memiliki tingkat
intensitas yang berbeda dan akan memberikan dampak pada kesehatan
manusia. Sehingga dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan
merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak mengganggu
kesehatan dan tidak menyebabkan kecelakaan kerja di sebuah perusahaan
(Sari, 2012).

II.2.1.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan


Nilai Ambang Batas Kebisingan Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dapat dilihat pada tabel 1.

Waktu pemaparan per hari Intensitas (dB)

8 85

4 88
Jam
2 91

1 94

30 97

15 100

7,5 Menit 103

3,75 106

1,88 109
0,94 112

28,12 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,75 Detik 127

0,88 13

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Tabel 1 Nilai Ambang Batas Kebisingan

II.2.1.6 Dampak Akibat Bising


Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga kerja, gangguan
atau penyakit yang diakibatkan oleh bising dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Gangguan Fisiologis
Menurut Boeis (1997, hlm.127-131) kebisingan dapat menimbulkan
gangguan fisiologis yaitu internal body system. Internal body system
adalah sistim fisiologis yang terpenting untuk kehidupan. Gangguan
fisiologis ini dapat menimbulkan keluhan dada berdebar, meningkatkan
denyut jantung, mempercepat pernafasan, pusing, sakit kepala, dan
kurang nafsu makan. Selain itu juga dapat meningkatkan tekanan darah,
meningkatan laju metabolik, menurunkan keaktifan organ pencernaan
dan ketegangan otot.
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, terlebih
bising yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba.
b. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa rasa tidak nyaman,
kurang konsentrasi, rasa khawatir, cemas, susah tidur, mudah marah dan
cepat tersinggung (Arini, 2005).
c. Gangguan Pendengaran
Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel rambut di koklea,
bagian dari telinga dalam dan menyebabkan kehilangan pendengaran.
Dibanyak negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa Noise
Induced Hearing Loss merupakan penyakit yang paling umum dibidang
industri yang bersifat irreversible (Primadona, 2012).
Sedangkan menurut Arini (2005), pengaruh lingkungan bising dan
gangguan pendengaran pada tempat kerja ialah :
a. Menurunnya produktivitas pekerja akibat dari berkurangnya
kemampuan fisik tenaga kerja, berkurangnya tingkat konsentrasi dan
kelelahan akibat dari pajanan bising di tempat kerja.
b. Tingginya angka absensi
c. Tingginya biaya rehabilitasi pekerja akibat gangguan pendengaran
yang akan berdampak pada berkurangnya keuntungan perusahaan.

II.2.1.7 Metode Pengendalian Bising


Pengendalian kebisingan ialah langkah untuk mengelola risiko paparan
kebisingan. Berikut ini merupakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk
mengurangi paparan kebisingan :
1. Eliminasi
Tindakan pengendalian dengan biaya yang efektif dapat dilakukan ketika suatu
pabrik baru akan dibangun atau dibeli. Pabrik yang baru harus dirancang dan
dibangun dengan mamastikan paparan serendah mungkin. Jika terdapat potensi
kebisingan yang cukup tinggi, maka tindakan pengendalian teknis yang dapat
diterapkan harus disertakan dalam desain.
2. Pengendalian Teknis
Pngendalian teknis untuk paparan kebisingan dapat dilakukan pada sumber dan
media. Pengendalian teknis pada sumber adalah dengan menggunakan metode
yang secara permanen dapat mengatasi paparan kebisingan yang ditimbulkan
oleh mesin atau proses kerja.
Tujuan pelaksanaan pengukuran kebisingan adalah sebagai upaya untuk
mengidentifikasi bagaimana dan dimana kebisingan timbul.
3. Pengendelian Administratif
Pengendalian administratif seharusnya dilakukan ketika paparan kebisingan
tidak dapat dieliminasi atau dikendalikan secara teknis. Pengendalian ini
meliputi rotasi kerja dan redesain kerja yang bertujuan untuk membatasi jumlah
pekerja yang terpapar. Berikut ini merupakan pengendalian administratif yang
dapat dilakukan.
a. Rotasi Kerja
Melibatkan perubahan tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
sehingga mereka tidak berisiko terpapar kebisingan yang tinggi, misalnya
jika seseorang pekerja terpapar kebisingan pada level 94 dB untuk satu jam,
maka pekerja harus menghabiskan waktu kerja di area dengan kebisingan
rendah sehingga pekerja tersebut tidak terpapar kebisingan lebih dari 85 dB
selama 8 jam.
b. Program Pemeliharaan Peralatan
Pemeliharan mesin dan peralatan dalam kondisi baik akan mengurangi
paparan kebisingan. Tingkat kebisingan dapat meningkat karena kurangnya
pemeliharaan, perubahan pengaturan mesin atau operasional mesin.
4. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri merupakan sepasang alat yang didesain untuk menutupi
atau dimasukkan ke dalam telinga pekerja untuk melindungi pekerja. Pekerja
atau semua orang yang berada dalam lingkungan kerja dengan kebisingan
tinggi seharusnya
a. Dibekali APT
b. Dilatih cara menggunakan APT dengan benar
c. Dilatih untuk menggunakan APT pada saat terpapar kebisingan

II.2.2 Usia
Usia atau umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati (Mochtar, 2013). Usia
mempunyai pengaruh terhadap gangguan pendengaran. Usia lebih tua relatif akan
mengalami penurunan kepekaan terhadap rangsangan suara. Penyebab paling umum
terjadinya gangguan pendengaran terkait usia adalah presbycusis. Presbycusis ditandai
dengan penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan
membedakan bunyi. Dalam penelitian mengenai penurunan pendengaran akibat
kebisingan, faktor usia harus diperhatikan sebagai salah satu faktor counfounding
(perancu) yang penting (Amin, 2012).
Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada
telinga. Membrane yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang
telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang
kecil yang terdapat di telinga bagian tengah menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di
telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai mengalami kerusakan. Rusak
atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk
mendengar suara. Perubahan-perubahan tersebut inilah yang dapat menyebabkan
terjadinya penurunan sensitifitas pendengaran seiring dengan bertambahnya usia
seseorang (Primadona, 2012). Selain itu pada orang dengan usia yang lebih tua ambang
reflek akustiknya akan menurun. Reflek akustik berfungsi memberikan perlindungan
terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Reflek akustik berfungsi memberikan
perlindungan terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Pada orang tua
membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk menimbulkan reflek akustik
disbanding pada orang yang lebih muda (Tantana, 2014).
Patologi dari perubahan tersebut ialah proses degenerasi yang menyebabkan
perubahan struktur koklea dan nervus VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok
yaitu atrofi dan degenerasi sel-sel pada organ korti. Proses atrofi diikuti dengan
perubahan vaskuler yang terjadi pada stria vaskularis. Kemudian terdapat perubahan
berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan syaraf (Istantyo, 2011).

II.2.3 Masa Kerja


Masa kerja adalah waktu yang telah ditempuh atau lamanya seorang karyawan
bekerja untuk suatu perusahaan tertentu. Hasil memuaskan yang tercapai dapat dilihat
dari sejauh mana tenaga kerja mampu memberikan hasil terbaik yang dapat dinilai dari
kemampuan, kecakapan, dan ketrampilan tertentu (Budianto dan Pratiwi, 2015, hlm
129). Masa kerja yang rentan terhadap penyakit akibat kerja adalah pekerja yang masa
kerjanya antara 2 hingga 6 tahun, dimana semakin lama orang tersebut bekerja maka
semakin lama juga mereka terpapar berbagai penyakit (Suma’mur, 1996, dalam
Pradana 2013, hlm. 24).

II.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Telinga


Pengendalian kebisingan terutama ditujukan kepada pekerja yang
kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat
kebisingan adalah pendengaran (telinga bagian tengah), maka metode pengendaliannya
dengan menggunakan alat bantu yang dapat mereduksi tingkat kebisingan yang masuk
ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam
(Pratama, 2010).
Menurut fundamentals of industrial hygiene, APT merupakan penghalang akustik
(accoustical barrier) yang dapat mengurangi jumlah energi suara yang melewati
lubang telinga menuju ke reseptor di dalam telinga. Dapat dikatakan bahwa dengan
memakai APT di area kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima
pekerja dan mengurangi risiko terjadinya penurunan pendengaran akibat bising, begitu
juga sebaliknya. Dengan syarat APT tersebut dipakai secara disiplin dan benar oleh
pekerja.
Tipe APT yang sering digunakan saat ini adalah tipe insert/plug dan muff. Tipe
insert/plug digunakan dengan cara memasukkannya ke lubang telinga, sedangkan tipe
muff digunakan dengan cara menutup/mengurung (enclose) daun telinga. Efektifitas
dari pemakaian APT bergantung pada beberapa faktor yang berhubungan dengan cara
bunyi ditransmisikan melalui atau disekitar APT tersebut.

II.2.5 Lingkungan Tempat Tinggal


Menurut Arini (2005), kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap nilai
ambang pendengaran seseorang dimana dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada
responden yang tinggal dekat bandara dengan kebisingan di atas 55 dB dari 27
responden terdapat 4 orang dengan hearing loss dan dari 124 responden yang tempat
tinggalnya mempunyai kebisingan >72 dB terdapat 23 orang yang mengalami hearing
loss.
Angka kejadian gangguan kemampuan pendengaran semakin menurun dengan
semakin jauhnya dari sumber bising, hal ini terjadi karena intensitas berbanding
terbalik dengan kuadrat jarak, sehingga semakin jauh dari sumber bising maka
intensitas tersebut akan semakin menurun (Banitriono, 2012).

II.2.6 Riwayat Penyakit


Menurut Boeis (1997, hlm. ) Riwayat penyakit merupakan kondisi kesehatan
telinga pendengar seperti adanya otitis media dan tinnitus yang sedang diderita.
a. Otitis Media
Yaitu suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah yang
terjadi akibat bakteri Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza, atau
Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat terjadi akibat infeksi dari
virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya diobati dengan antibiotik.
b. Tinnitus
Merupakan suara berdengung di satu atau kedua telinga. Tinnitus dapat
timbul akibat adanya penumpukan kotoran telinga atau presbiakus,
kelebihan aspirin, dan infeksi telinga.

II.2.7 Lama Kerja


II.3 Kerangka Teori

Intensitas Kebisingan

Usia Pekerja

Masa Kerja

Penggunaan APT
Gangguan Fungsi
Pendengaran

Lama Kerja

Lingkungan Tempat
Tinggal

Riwayat Penyakit

Bagan 1 Kerangka Teori


II.4 Kerangka Konsep

Intensitas Kebisingan
Usia Pekerja

Gangguan Fungsi
Masa Kerja Pendengaran

Penggunaan APT

Lama Kerja

Bagan 2 Kerangka Konsep

II.5 Hipotesis

II.6 Penelitian Terkait

Penelitian terkait dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.


Tabel 1 Penelitian Terkait
No Nama dan Judul Variabel, Persamaan Hasil
Tahun Penelitian dan Perbedaan Penelitian
Penelitian
1. Nur Ika Pengaruh  Variabel Independen Dari hasil
Widyawati, 2012 Intensitas a. Tingkat penelitian
Kebisingan pengetahuan ibu didapatkan
Terhadap  Variabel Dependen bahwa
Gangguan a. Pemberian
Pendengaran Imunisasi BCG
Pekerja Industri  Persamaan
Informal a. Variabel independen
Pembuatan tingkat pengetahuan
Gamelan ibu
Mojolaban b. Variabel dependen
Sukoharjo pemberian imunisasi
BCG
 Perbedaan
a. Variabel independen
tidak hanya tingkat
pengetahuan ibu,
yakni diteliti juga
sikap ibu, tingkat
pendidikan, status
pekerjaan,
ketersediaan layanan
kesehatan, dan
dukungan keluarga.
2. Putri Dwiastuti, Faktor-Faktor  Variabel Independen Hasil penelitian
2012 yang a. Tingkat menunjukkan
Berhubungan Pengetahuan Ibu bahwa imunisasi
dengan b. Sikap Ibu BCG dipengaruhi
Pemberian c. Pendidikan Ibu oleh variabel
Imunisasi BCG d. Pekerjaan Ibu pengetahuan ibu
di Wilayah e. Jarak Tempat (p=0,000), sikap
Puskesmas UPT Tinggal ibu (p=0,000),
Cimanggis f. Dukungan Keluarga pendidikan ibu
Tahun 2012 g. Dukungan Petugas (p=0,015), jarak
 Variabel Dependen (p=0,01),
a. Pemberian dukungan suami
Imunisasi BCG (p=0,000) dan
 Persamaan dukungan
a.Variabel independen petugas
tingkat pengetahuan (p=0,000).
ibu, sikap ibu,
pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, dan
dukungan keluarga
b.Variabel dependen
pemberian imunisasi
BCG
 Perbedaan
a.Terdapat satu
variabel independen
tambahan yaitu
ketersediaan
pelayanan kesehatan.
3. Alvin Rifqy, Hubungan  Variabel Independen Hasil analisis
2012 Tingkat a.Tingkat Pengetahuan bivariat dengan
Pengetahuan Ibu Ibu uji statistic Chi-
Tentang  Variabel Dependen square,
Tuberkulosis a.Pemberian Imunisasi menunjukkan
dengan BCG bahwa tidak ada
Pemberian  Persamaan hubungan yang
Imunisasi BCG a.Variabel independen bermakna antara
pada Anak di tingkat pengetahuan tingkat
Puskesmas ibu pengetahuan ibu
Ciputat Timur (P value = 1,000)
Tahun 2012 dengan
b.Variabel dependen pemberian
pemberian imunisasi imunisasi BCG.
BCG
 Perbedaan
a.Variabel independen
tidak hanya tingkat
pengetahuan ibu,
yakni diteliti juga
tingkat pendidikan,
status pekerjaan,
ketersediaan layanan
kesehatan, dan
dukungan keluarga.

Vous aimerez peut-être aussi