Vous êtes sur la page 1sur 18

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Imunisasi
II.1.1 Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak diimunisasi
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang
lain (Notoatmodjo, 2007, hlm. 49). Sedangkan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan
imunisasi, imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit dengan memasukkan
vaksin ke dalam tubuh, sehingga saat terpajan suatu penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Permenkes, 2017).
Vaksin sendiri adalah produk biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh
atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi
toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif
terhadap penyakit tertentu (Permenkes, 2017). Sedangkan menurut Muslihatun,
vaksin adalah suatu bahan yang dipakai untuk menstimulus atau merangsang
pembentukan antibodi yang bisa dimasukkan ke tubuh melalui suntikan maupun
oral (Muslihatun, 2010, hlm. 58).

II.1.2 Tujuan Imunisasi


Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia (I.G.N Ranuh
2008, hlm. 10). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2017 yang diatur oleh pemerintah, bahwa tujuan imunisasi terbagi
menjadi dua, yaitu: (Permenkes, 2013)
a. Tujuan Umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

b. Tujuan Khusus
1) Tercapainya cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai
target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN).
2) Tercapainya Universal Child Immunization/UCI (Prosentase minimal
80% bayi yang mendapat IDL disuatu desa/kelurahan) diseluruh
desa/kelurahan.
3) Tercapainya target imunisasi lanjutan pada anak umur dibawah dua
tahun (baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta WanitaUsia
Subur (WUS).
4) Tercapainya reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
5) Tercapainya perlindungan optimal kepada masyarakat yang akan
berpergian ke daerah endemis penyakit tertentu.
6) Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practice and waste disposal
management).

II.1.3 Macam-macam Pemberian Imunisasi


a. Imunisasi Aktif
Merupakan imunisasi yang dilakukan dengan cara menyuntikan antigen
yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehingga tubuh anak sendiri yang
akan membuat zat antibodi yang akan bertahan bertahun-tahun lamanya.
Imunisasi aktif ini akan lebih bertahan lama daripada imunisasi pasif
(Riyadi & Sukarmin, 2009, hlm. 27)
1) BCG, untuk mencegah TBC
2) DPT, mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus
3) Polio, untuk mencegah penyakit poliomyelitis
4) Campak, untuk mencegah penyakit campak

7
5) HB, untuk mencegah penyakit hepatitis B
b. Imunisasi Pasif
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009, hlm. 28), pada imunisasi pasif tubuh
tidak membuat sendiri zat antibodi akan tetapi tubuh mendapatkannya dari
luar dengan cara penyuntikan bahan atau serum yang telah mengandung zat
antibodi contohnya penyuntikan Anti Tetanus Serum (ATS) pada orang
yang mengalami kecelakaan atau anak yang mendapatkan antibodi dari ibu
pada saat dalam kandungan (I.G.N Ranuh, 2008, hlm. 272). Proteksi bersifat
sementara selama antibodi masih aktif didalam tubuh resipien dan
perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap
patogen atau antigen spesifik (I.G.N Ranuh, 2008, hlm. 272).

II.1.4 Rantai Dingin Imunisasi


Rantai dingin (cold chain) adalah satu sistem untuk penyimpanan dan
penghantaran vaksin untuk menjaga vaksin tersimpan pada suhu dan kondisi yang
telah ditetapkan dari produsen kepada individu yang diimunisasikan. Rantai dingin
merupakan cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau
tidak rusak, sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan bagi
penerimanya. Jika vaksin di luar temperatur yang dianjurkan maka akan
mengurangi potensi kekebalannya (Hidayat, 2011, hlm. 54).
Menurut Depkes RI (2009, hlm. 24) rantai dingin imunisasi dijabarkan
dalam beberapa aspek:
1. Peralatan Rantai Vaksin
Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam
pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang
telah ditetapkan, dari mulai vaksin diproduksi di pabrik pembuat vaksin sampai
dengan pemberian vaksinasi. Fungsi dari peralatan rantai vaksin adalah untuk
menyimpan atau membawa vaksin pada suhu yang telah ditetapkan sehingga
potensi vaksin dapat terjamin. Berikut adalah jenis dan fungsi peralatan mulai dari
pabrik sampai kepada sasaran:

8
a. Lemari es dan freezer
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, DPT-HB, TT, DT,
Hepatitis B, Campak, dan DPT-HB, pada suhu yang ditentukan +2⁰C s/d
+8⁰C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).
Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan
antara -15⁰C s/d -25⁰C atau dapat difungsikan untuk membuat kotak es beku
(cold pack).
b. Alat pembawa vaksin
Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa
vaksin. Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Alat ini
terbuat dari plastic atau kardus dengan insulasi poliuretan.
Vaccine carrier/thermos di tingkat puskesmas digunakan untuk
pengambilan vaksin ke kabupaten/kota. Untuk daerah yang sulit, vaccine
carrier/thermos sangat cocok digunakan karena dapat mempertahankan
suhu relatif lebih lama.
c. Alat untuk mempertahankan suhu
Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat
yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15⁰C s/d
-25⁰C selama minimal 24 jam (warna putih).
Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastic berbentuk segi empat
yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam lemari es dengan suhu
+2⁰C s/d +8⁰C selama minimal 24 jam (warna biru/merah).
2. Pengelolaan Vaksin
a. Penerimaan atau pengambilan vaksin (transportasi)
1) Pengambilan vaksin dari Puskesmas ke kabupaten/kota dengan
menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan. Misalnya cold
box atau vaccine carrier.
2) Jenis peralatan pembawa vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin yang
akan diambil.
3) Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator
vaksin (VVM). Vaksin yang boleh digunakan hanya bila indikator VVM

9
tingkat A atau B. Sedangkan bila VVM pada tingkat C atau D tidak usah
diterima karena tidak dapat digunakan lagi.
4) Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di
bagian tengah diletakkan thermometer Muller untuk jarak jauh, bila freeze
tag/watch tersedia dapat dimasukkan ke dalam alat pembawa untuk
mengukur suhunya.
5) Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari
kabupaten/kota ke puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung.
6) Catat dalam buku stok vaksin : tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor
batch dan tanggal kadaluarsa.
b. Penyimpanan Vaksin
1) Vaksin disimpan pada suhu +2ºC s/d +8ºC.
2) Bagian bawah lemari es diletakkan kotak dingin cair (cool pack) sebagai
penahan dingin dan kestabilan suhu.
3) Vaksin TT diletakkan lebih jauh dari evaporator.
4) Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan agar
terjadi sirkulasi udara yang baik.
5) Letakkan 1 buah thermometer Muller di bagian tengah lemari es.
6) Penyimpanan vaksin harus dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat
datang pagi hari dan menjelang pulang siang atau sore hari.
c. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama
pendistribusian dan penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar atau
terkena panas yang berlebih atau suhu yang terlalu dingin (beku). Sehingga
petugas mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik
atau tidak. Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :
1) VVM (Vaccine Vial Monitor)
2) Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer Dial/Muller
3) Sebuah freeze tag atau freeze watch
4) Sebuah buku grafik pencatatan suhu

10
II.2 Imunisasi BCG
II.2.1 Pengertian Imunisasi BCG
Vaksin BCG adalah vaksin berisi kuman Mycobacterium bovis yang
dilemahkan, dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak
virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin ini merupakan salah satu
vaksin yang telah digunakan secara luas. BCG memiliki efek perlindungan terhadap
TB berat dan radang otak akibat TB (IDAI, 2011, hlm. 285). Vaksin BCG juga
dapat mencegah komplikasi dari infeksi tuberculosis (I.G.N Ranuh, 2008, hlm. 99).

II.2.2 Tujuan Imunisasi BCG


Untuk mencegah terjadinya penyakit tuberculosis pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (IDAI, 2011,
hlm.285).

II.2.3 Cara Pemberian dan Dosis


Pemberian imunisasi BCG sebaiknya diberikan kepada bayi umur < 2 bulan,
sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. (IDAI, 2008, hlm.
285). Sebelum disuntikan, vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu, dilarutkan
dengan menggunakan Auto Disable Syringes (ADS) 5 ml. Dosis pemberian 0,05 ml
untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun) sebanyak 1 kali
(I.G.N Ranuh, 2008, hlm. 98). Disuntikan secara intrakutan di daerah lengan kanan
atas (insertion musculus deltoideus), dengan menggunakan ADS 5 ml. Vaksin yang
sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam (Depkes RI, 2005)

II.2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Imunisasi BCG


Menurut IDAI (2011, hlm. 286), Indikasi dan Kontraindikasi dalam
pemberian imunisasi BCG adalah sebagai berikut:
1) Indikasi
a) BCG diberikan pada bayi <2 bulan.
b) Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam
(BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien
kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

11
2) Kontraindikasi
a) Reaksi uji tuberkulin >5mm
b) Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV
c) Menderita gizi buruk
d) Menderita demam tinggi
e) Menderita infeksi kulit yang luas
f) Pernah sakit tuberkulosis

II.2.5 Reaksi Pemberian Imunisasi BCG


Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti
demam. 1-2 minggu. Reaksi pemberian imunisasi BCG kemudian akan timbul
indurasi dan kemerahan di tempat suntikan yang berubah menjadi pustula,
kemudian menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan
dan meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar
regional di ketiak dan atau leher, terasa padat, tidak sakit, dan tidak menimbulkan
demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan, dan akan menghilang
dengan sendirinya (Depkes RI, 2005).

II.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Bayi dalam Pemberian


Imunisasi BCG
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2010, hlm.107) terdapat teori yang
mengungkapkan determinan perilaku berdasarkan analisis dari faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku khususnya perilaku kesehatan. Diantara teori tersebut
adalah teori Lawrence Green (1980), yang menjelaskan bahwa perilaku itu
dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor
pemudah/predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin/pendukung
(enabling factors), dan factor penguat/pendorong (reinforcing factors).

II.3.1 Predisposing Factor

12
Predisposing factor (faktor predisposisi) meliputi tingkat pendidikan,
status pekerjaan, pengetahun, dan sikap seseorang. Faktor-faktor ini mencakup
tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pengetahuan ibu dan sikap ibu.
a. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan
perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan agar masyarakat
menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan,
bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan
mereka dan orang lain serta masyarakat dapat berperilaku hidup sehat
(Notoatmodjo, 2003, hlm.10).
Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran
melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting)
dan menetap, kerena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendekatan
pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku
melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama
(Notoatmodjo, 2010, hlm.106).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan tingkat
pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah
memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010, hlm. 107).
Peran ibu sangat penting dalam pendidikan di dalam rumah tangga. Mereka
menanamkan kebiasaan dan menjadi panutan bagi generasi yang akan
datang tentang perlakuan terhadap lingkungannya. Dengan demikian,
wanita ikut menentukan kualitas lingkungan hidup ini. Untuk dapat
melaksanakan pendidikan ini dengan baik, para wanita juga perlu
berpendidikan baik formal maupun tidak formal. Seseorang ibu dapat
memelihara dan mendidik anaknya dengan baik apabila ia sendiri
berpendidikan (Slamet, 2000, hlm.208).

13
b. Status Pekerjaan Ibu
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia pekerjaan adalah mata pencaharian,
apa yang dijadikan pokok kehidupan, dan sesuatu yang dilakukan untuk
mendapatkan nafkah (Pandji Anoraga, 2005, hlm. 13).
Ibu yang bekerja mempunyai waktu kerja sama seperti dengan pekerja
lainnya. Adapun waktu kerja bagi pekerja yaitu waktu siang hari yaitu 7
jam satu dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau
dengan 8 jam per hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu
minggu. Sedangkan waktu malam hari yaitu 6 jam satu hari dan 35 jam satu
minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu (Pandji Anoraga, 2005, hlm. 15).
Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong kaum wanita yang
bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi berdampak positif bagi
pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap
pembinaan dan pemeliharaan anak (Pandji Anoraga, 2005, hlm. 16).
Hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian imunisasi pada bayi
adalah jika ibu bekerja untuk mencari nafkah maka akan berkurang
kesempatan waktu dan perhatian untuk membawa bayinya ke tempat
pelayanan imunisasi, sehingga akan mengakibatkan bayinya tidak
mendapatkan pelayanan imunisasi (Notoatmodjo, 2003, hlm. 29).
c. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010, hlm.143). Sedangkan
menurut Notoatmodjo (2003, hlm. 121) pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (over behavior). Sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

14
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik
lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba perilaku baru atau melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.


Seseorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak
tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat karena anak tersebut belum
pernah memperoleh imunisasi polio.
d. Sikap Ibu
Sikap merupakan reaksi atau respon tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan seperti senang-tidak senang, setuju-tidak setuju,
baik-tidak baik, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010, hlm.146).
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. (Notoatmodjo, 2010, hlm.147)
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat responden terhadap
suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan pernyataan-
pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan kepada responden melalui
kuesioner (Notoatmodjo, 2010, hlm.149).

15
Berdasarkan penelitian Putri Dwiastuti, menunjukkan bahwa responden
yang memiliki sikap baik sebesar (58,9%) cenderung memberikan imunisasi
BCG pada bayinya dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki
sikap tidak baik sebesar (41,1%) (Putri Dwiastuti, 2012)

II.3.2 Enabling Factor


Enabling Factor (faktor pendukung) perilaku adalah fasilitas, sarana dan
prasarana atau sumber daya atau fasilitas kesehatan yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti pukesmas, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan swasta, dan
sebagainya, serta kelengkapan alat imunisasi, jarak, waktu, tenaga, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2007, hlm. 122).
a. Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2007, hlm. 125), sarana pelayanan kesehatan bagi
masyarakat tediri dari rumah sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, pustu,
polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, agar
mendorong perilaku ibu untuk memberikan imunisasi pada bayinya. Ibu
yang mau memberikan imunisasi pada bayi tidak hanya karena ia tahu dan
sadar manfaat pemberian imunisasi ibu tersebut dengan mudah dapat
memperoleh tempat pemberian imunisasi pada bayinya.
b. Jarak ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang ditempuh responden menuju
tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, puskesmas,
posyandu, dan lainnya. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan
anaknya ditempat pelayanan kesehatan tidak hanya disebabkan karena
orang tersebut tidak tahu atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anak,
tetapi barang kali karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan
tempat mengimunisasikan anakanya (Notoatmodjo, 2003, hlm. 65).
Jauh atau dekatnya jarak ke tempat pelayanan menentukan orang untuk
datang melakukan imunisasi. Jauhnya ke tempat pelayanan imunisasi bisa
menyebabkan terjadinya pembengkakan akomodasi pelayanan, karena ada

16
pengeluaran biaya untuk transportasi. Bagi orang-orang yang berfikir
sederhana mungkin akan memutuskan untuk tidak datang ke tempat sarana
pelayanan kesehatan, dengan alasan ketidakterjangkauannya sarana
pelayanan kesehatan.

II.3.3 Reinforcing Factor


Reinforcing factor (faktor pendorong atau penguat) adalah mereka yang
mendukung untuk menentukan tidakan kesehatan. Faktor pendorong tentu saja
bervariasi tergantung pada tujuan dan jenis program. Dalam program pendidikan
kesehatan, sebagai contoh, dukungan keluarga dapat menjadi pendorong untuk
memperoleh perilaku kesehatan. Bisa juga didapatkan dari sikap dan perilaku para
petugas termasuk petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2003, hlm. 14).
a. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan untuk program imunisasi biasanya dikirim dari pihak
puskesmas, biasanya dokter atau bidan, lebih khususnya bidan desa.
Dukungan petugas kesehatan (petugas imunisasi) merupakan dukungan
sosial dalam bentuk dukungan informatif, dimana perasaan subjek bahwa
lingkungan (petugas imunisasi) memberikan keterangan yang cukup jelas
mengenai hal-hal kesehatan seperti informasi untuk mengimunisasikan
anaknya melalui keterampilan komunikasi dan ada kecenderungan bahwa
upaya-upaya petugas kesehatan memperkuat ibu dengan memberikan
pujian, dorongan, dan diskusi atau dengan menjadi sumber informasi yang
dapat dipercaya (Graeff, 1996, hlm. 78).
b. Dukungan Keluarga
Menurut Budi (2007), dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat
secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi,
bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota
keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, mertua, maupun saudara
lainnya.
Rodin & Salovey dalam Smet (1994, hlm.12), mengemukakan bahwa
perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling
penting. Gottlieb (1983), mendefinisikan dukungan sosial sebagai info

17
verbal/non verbal, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh
orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam memberikan keuntungan
emosional atau pengaruh pada tingkah laku bagi pihak penerima.

II.4 Kerangka Teori

Tingkat Pendidikan Ibu

18
Status Pekerjaan Ibu

Predisposing
Factor
Tingkat Pengetahuan Ibu

Sikap Ibu

Ketersediaan Pelayanan
Kesehatan
Pemberian Imunisasi
Enabling Factor
BCG
Jarak ke Tempat
Pelayanan Kesehatan

Peran Petugas Kesehatan

Reinforcing Factor

Dukungan Keluarga

 : Faktor yang diteliti


 : Faktor yang tidak diteliti

Sumber: Notoatmodjo, 2010, hlm. 107; dan Notoatmodjo, 2003, hlm. 13-14.

Bagan 1 Kerangka Teori


II.5 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

19
Karakteristik Ibu

 Tingkat Pendidikan Ibu

 Status Pekerjaan Ibu

 Tingkat Pengetahuan Ibu

 Sikap Ibu

Pemberian Imunisasi
BCG
Ketersediaan Layanan Kesehatan

Dukungan Keluarga

Variabel Perancu
Jarak ke Tempat
Pelayanan Kesehatan

Bagan 2 Kerangka Konsep

II.6 Hipotesis
H1 : Terdapat Hubungan Karakteristik Ibu dengan Pemberian Imunisasi
BCG pada Bayi di wilayah kerja Puskesmas Cinere Kota Depok,
Jawa Barat.
H2 : Terdapat Hubungan Ketersediaan Layanan Kesehatan dengan
Pemberian Imunisasi BCG pada Bayi di wilayah kerja Puskesmas
Cinere Kota Depok, Jawa Barat.
H3 : Terdapat Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemberian Imunisasi
BCG pada Bayi di wilayah kerja Puskesmas Cinere Kota Depok,
Jawa Barat.

20
II.7 Penelitian Terkait
Penelitian terkait dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Penelitian Terkait
No Nama dan Judul Variabel, Persamaan Hasil
Tahun Penelitian dan Perbedaan Penelitian
Penelitian
1. Radis Virna Da Hubungan  Variabel Independen Dari hasil
Gusta, 2012 Tingkat a. Tingkat penelitian
Pengetahuan Ibu pengetahuan ibu didapatkan
Terhadap  Variabel Dependen bahwa tidak ada
Pemberian a. Pemberian hubungan yang
Imunisasi BCG Imunisasi BCG bermakna antara
di Desa Sungai  Persamaan tingkat
Perak, a. Variabel independen pengetahuan ibu
Kecamatan tingkat pengetahuan (P value = 0,992)
Tembilahan ibu dengan
b. Variabel dependen pemberian
pemberian imunisasi imunisasi BCG.
BCG
 Perbedaan
a. Variabel independen
tidak hanya tingkat
pengetahuan ibu,
yakni diteliti juga
sikap ibu, tingkat
pendidikan, status
pekerjaan,
ketersediaan layanan
kesehatan, dan
dukungan keluarga.
2. Putri Dwiastuti, Faktor-Faktor  Variabel Independen Hasil penelitian
2012 yang a. Tingkat menunjukkan
Berhubungan Pengetahuan Ibu bahwa imunisasi
dengan b. Sikap Ibu BCG dipengaruhi
Pemberian c. Pendidikan Ibu oleh variabel
Imunisasi BCG d. Pekerjaan Ibu pengetahuan ibu
di Wilayah (p=0,000), sikap

21
Puskesmas UPT e. Jarak Tempat ibu (p=0,000),
Cimanggis Tinggal pendidikan ibu
Tahun 2012 f. Dukungan Keluarga (p=0,015), jarak
g. Dukungan Petugas (p=0,01),
 Variabel Dependen dukungan suami
a. Pemberian (p=0,000) dan
Imunisasi BCG dukungan
 Persamaan petugas
a.Variabel independen (p=0,000).
tingkat pengetahuan
ibu, sikap ibu,
pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, dan
dukungan keluarga
b.Variabel dependen
pemberian imunisasi
BCG
 Perbedaan
a.Terdapat satu
variabel independen
tambahan yaitu
ketersediaan
pelayanan kesehatan.
3. Alvin Rifqy, Hubungan  Variabel Independen Hasil analisis
2012 Tingkat a.Tingkat Pengetahuan bivariat dengan
Pengetahuan Ibu Ibu uji statistic Chi-
Tentang  Variabel Dependen square,
Tuberkulosis a.Pemberian Imunisasi menunjukkan
dengan BCG bahwa tidak ada
Pemberian  Persamaan hubungan yang
Imunisasi BCG a.Variabel independen bermakna antara
pada Anak di tingkat pengetahuan tingkat
Puskesmas ibu pengetahuan ibu
Ciputat Timur b.Variabel dependen (P value = 1,000)
Tahun 2012 pemberian imunisasi dengan
BCG pemberian

 Perbedaan imunisasi BCG.

22
a.Variabel independen
tidak hanya tingkat
pengetahuan ibu,
yakni diteliti juga
tingkat pendidikan,
status pekerjaan,
ketersediaan layanan
kesehatan, dan
dukungan keluarga.

23

Vous aimerez peut-être aussi