Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era globalisasi sekarang ini, banyak sekali perubahan baik ilmu pengetahuan,
teknologi maupun perubahan pola pikir masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas dan
profesionalisme pemberian pelayanan kesehatan semakin meningkat. Kebidanan sebagai profesi
dan bidan sebagai tenaga profesional juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan kebidananan sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki secara mandiri
maupun bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lainnya.
Tenaga bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam
mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Bahkan WHO menyatakan bahwa bidan merupakan
“back bone” untuk mencapai target-target global, nasional maupun daerah. Hal ini disebabkan
karena bidan merupakan tenaga kesehatan yang melayani pasien selama 24 jam secara terus
menerus dan berkesinambungan serta berada pada garis terdepan dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dan membantu memberikan informasi tentang kesehatan.
Atresia adalah tidak terbentukknya atau tersumbatnya suatu saluran dari organ-organ.
Atresia Duodenal adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil dari
usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus. Atresia duodenum
merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa didalam ahli bedah pediatric. Atresia
duodenal ini dijumpai satu diantara 300 - 4.500 kelahiran hidup. Lebih dari 40% dari kasus
kelainan ini ditemukan pada bayi dengan sindrom down.

B. Rumusan masalah
Untuk memudahkan dalam pembuatan makalah ini penulis mencoba untuk merumuskan
masalah diantaranya :
1. Apa pengertian dari Atresia Duodeni?
2. Jelaskan etiologi dari Atresia Duodeni!
3. Sebutkan Tanda dan Gejala dari Atresia Duodeni!
4. Jelaskan Komplikasi Atresia Duodeni!
5. Jelaskan Penatalaksanaan dan Pengobatan dari Atresia Duodeni!
6. Jelaskan Pemeriksaan Penunjang!
7. Sebutkan Diagnose Banding Dari Atresia Duodeni!

C. Tujuan Masalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan kemampuan kepada mahasiswi
untuk memahami kelainan kelainan yang terjadi pada bayi baru lahir
a. Untuk mengetahui pengertian dari Atresia Duodeni.
b. Untuk mengetahui etiologi dari Atresia Duodeni.
c. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala dari Atresia Duodeni.
d. Untuk mengetahui Komplikasi Atresia Duodeni.
e. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dan Pengobatan dari Atresia Duodeni.
f. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang.
g. Untuk mengetahui diagnose dari atresia duodeni.

D. Manfaat Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
pada umumnya, dan dapat menambah pengetahuan tentang Asuhan Neonatus pada Bayi dan
Balita dengan Atresia Duodeni kususnya pada mahasiswa kesehatan.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Atresia duodeni
Atresia duodeni merupakan suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus
halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang
tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Atresia Duodeni adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil
dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus.
Atresia Duodeni adalah obstruksi lumen usus oleh membran utuh, tali fibrosa yang
menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara
ujung-ujung duodenum yang tidak bersambung.
Atresia Duodeni adalah buntunya saluran pada duedenum yang biasanya terjadi pada
ampula arteri.

B. Etiologi Atresia Duodeni


Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, tapi ada
beberapa yang bisa menyebabkan atresia duodenum :
a. Gangguan perkembangan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan ke-5 ).
b. Gangguan pembuluh darah.
c. Banyak terjadi pada bayi prematur.
d. Banyak ditemukan pada bayi sindrom down.
e. Suplay darah yang rendah pada masa kehamilan sehingga duodenum mengalami penyempitan
dan menjadi obstruksi.

C. Tanda dan Gejala Atresia Duodeni


a. Perutnya menggelembung (kembung) di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya.
b. Muntah segera setelah lahir berwarna kehijau - hijauan karena empedu(biliosa).
c. Muntah terus - menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam.
d. Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen.
e. Tidak kencing setelah disusui.
f. Tidak ada gerakan usus setelah pengeluaran mekonium.
g. Pembengkakan abdomen pada bagian atas.
h. Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
i. Berat badan menurun atau sukar bertambah.
j. Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.
k. Ikterik.

D. Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila
tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti
pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks
gastroesofageal.
E. Penatalaksanaan atau Pengobatan
Pada penderita atresia duodeni ini belum ditemukan obatnya. Jalan satu-satunya hanya
dengan pembedahan.Prinsip terapi :
1. Perawatan pra bedah :
a) Perawatan prabedah neonatus rutin
b) Koreksi dehidrasi yang biasanya tidak pearah karena diagnosa dibuat secara dini.
c) Tuba naso gastric dengan drainase bebas dan penyedotan setiap jam
2. Pembedahan
Pembedahan suatu duodena-duodenostomi mengurangi penyempitan obstruksi dan sisa
ususdiperiksa karena sering kali ditemukan obstruksi lanjut.
3. Perawatan pasca bedah.
a) Perawatan pasca bedah neonatorum rutin.
b) Aspirasi setiap jam dari tuba gastrostomi yang mengalami drainase bebas
c) Cairan intravena dilanjutkan sampai diberikan makanan melalui tuba.

Pemberian makanan transa nastomik yang berlanjut dengan kecepatan maksimun 1 ml


per menit dimulai dalam 24 jam pasca bedah dimulai dengan dektrose dan secara berangsur-
angsur diubahdalam jumlah dan konsistensinya hingga pada sekitar 7 hari pasca bedah dimana
diberikan susudengan kekuatan penuh. Untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
aspirat lambungdapat diganti melalui transanastomik dan ini dapat meniadakan kebutuhan untuk
melanjutkan terapi intravena. Tidak jarang diperoleh volume aspirat yang besar dalam beberapa
waktu pasca bedah, sampai beberapa minggu dalam beberapa kasus. Karena lambung yang
berdilatasi danduodenum bagian proksimal membutuhkan waktu untuk kembali pada fungsi yang
normal. Jika hal ini menurun maka penyedotan gastromi tidak dilakukan terlalu sering dan
makanan alternatif diberikan kedalam lambung selama 24 jam. Pemberian makanan peroral
dapat dilakukan secara berangsur-angsur sebelum pengangkatan tuba gastromi berat badan bayi
dimonitor secaraseksama
 Persiapan operasi
a) Prinsip umum persiapan terapi pada neonatus.
b) Koreksi cairan dan elektrolit.
c) Pertimbangan khusus diberikan pada atresia duodenum : koreksi emergensi tidak dibutuhkan
kecuali diduga ada malrotasi- pada obstruksi parsial yang lama, malnutrisi biasanya berat.
Koreksi melalui TPN selama seminggu atau lebih sebelum operasi.
 Perawatan Operasi
a) End-to-end anastomosis, juga bisa side-to-side
b) Annulare pancreas terbaik dilakukan by pass anastomosis dari duodenum ke jejunum.Pankreas
sendiri tidak diincisi.
c) Eksisi merupakan pilihan tepat bagi atresia duodenum yang berbentuk diafragmatik, setelah
identifikasi ampula vateri.
d) Deformitas “windsock” harus disangkakan dan dicari bagi semua pasien dengan atresia
duodenum yang berkelanjutan. Kateter dimasukkan dari proksimal sampai distal untuk
memastikan patensinya.
e) Gastrostomy dilakukan jika gejalanya menetap serta perbaikan dini tidak terjadi.
f) Akses pada vena sentral tatau transanastomosis tube ke dalam jejunum diindikasikan baginutrisi
pasca operasi pada pasien yang berat.
 Perawatan pasca operasi
a) Dekompresi gaster dilakukan sampai duodenum benar-benar kosong, selanjutnya dimulai
feeding. Sebagian pasien dapat diberi makan dalam seminggu setelah operasi.
b) TPN atau makanan melalui jejunum terkadang dibutuhkan.
c) Antibiotik tidak diindikasikan jika operasi dilakukan steril dan tidak ada gangguan vaskuler.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Dengan X-ray abdomen (USG prenatal) memperlihatkan pola gelembung ganda yang berisi
udara dalam usus bagian bawah.
b. Suatu enema barium dapat diperlihatkan berasosiasi dengan keadaan malrotasi.

G. Diagnosis Banding
 Atresia esophagus
 Malrotasi dengan volvulus midgut
 Stenosis pylorus
 Pankreas anular
 Vena portal preduodenal
 Atresia usus
 Duplikasi duodenal
 Obstruksi benda asing
 Penyakit Hirschsprung
 Refluks gastroesofageal
TINJAUANKASUS
Hari /
DATA
Tanggal, ASSESEMENT PLANING
kk OBYEKTIF
Jam
DATA SUBYEKTIF
Jum’at, 13  KU : Muntah hijau  KU : Tampak sakit Bayi A usia 1  Pre operasi
Jan 2012  Riwayat ANC : sedang hari dengan  Puasa
Jam 08.00  Ibu rutin memeriksakan Kesadaran : Atresia duodeni Dekompresi (
WIB kehamilannya di RS Komposmentis pemasangan
“Gambiran” Kediri.  BB : 2300 gram OGT)
 Ibu melakukan USG  PB : 45 cm 
pada usia kehamilannya TTV : Medicamentosa
32 minggu dengan hasil N : 115x/menit  IUVD D10%
terdapat cairan amnion S : 36,2 0C 10 gtt mikro
dalam jumlah besar.  RR : 50x/menit  Injeksi
 Riwayat INC :  Inspeksi : cefotaxime 2 x
Bayi lahir kurang bulan Kepala : Oksiput 125 mg
(32 minggu), di tolong Datar  Antrain 3 x
oleh dokter spesialis  Mata : 300 mg
kebidanan melalui Konjungtiva tidak  Ranitidin 2x20
operasi seksio sasarea anemis, mata tidak mg
atas indikasi CPD dan cekung  Metronidazol
langsung menangis.  Hidung : Tidak
2 x 15 mg.
APGAR score 9/10, air ada secret,
 Operasi
ketuban berwarna hipoplastik  Duodenostomi
kuning keruh.  Mulut : Bibir di lakukan pada
 Riwayat Sosial : kering,tidak
Pasien adalah anak tanggal 24 Jan
cianosis, terpasang 2012 pada
pertama, orang tua OGT dengan
pasien bekerja sebagai pukul 10.00 –
residu berwarna 12.00 WIB
ibu rumah tangga, biaya hijau 5 cc
perawatan ditanggung  Leher : Simetris,
oleh pemerintah tidak ada
(Jamkesmas) pembesaran
kelenjar tiroid,
tidak ada deviasi
tracea
 Dada : Normal
 Jantung : Ictus
cordis tidak
tampak
 Paru paru :
Simetris, dinamis
kanan kiri,suara
dasar vesikuler +,
suara tambahan -.  Bayi A usia 1
 Abdomen : hari dengan
Abdomen lebih Atresia duodeni
tinggi dari dinding di lakukan
Rabu, 25  Demam ( + ), menangis dada,Bising usus duodenostomi
Jan 2012 kurang kuat, gerak +,Supel,hepar dan hari ke 1
kurap aktif, kembung lien teraba,
bagian atas timpani,
 Lab :  IUVD D10%
 Hb : 17,2 g/dl 300cc + Nacl 3
 Leu : 8,4/m3 % 8 cc + KCL
 Tromb : 55/m3 4 cc=16 cc/jam
 Gula darah  Injeksi
sewaktu : 56g/dl Metrodenazole
 Ureum : 26 mg /  Bayi A usia 1 3x15 mg
dl hari dengan  Injeksi
Atresia duodeni cefotaxime
di lakukan 2x125 mgr IV
duodenostomi  Monitor tanda
hari ke 2 vital tiap 15-30
 KU : Tampak sakit menit
Kamis, 26  Kembung berkurang, sedikit  Puasa
Jan 2012 menangis kurang kuat, Kesadaran :  Cek lab rutin
gerak tidak aktif, Composmentis
gruting -, luka bekas  TTV :
operasi basah dan  N : 158x/menit
berbau (+), pus (+)  P : 63x/menit
 S : 37,4 0C  Bayi A usia 1
 Mata : pupil isokor, hari dengan  IUVD D10%
bulat, konjungtiva Atresia duodeni 300cc + Nacl 3
tidak anemis, di lakukan % 8 cc + KCL
sclera tidak ikterik duodenostomi 4 cc=16 cc/jam
 Jantung : Reguler, hari ke 3 sepsis Injeksi
irama teratur Metrodenazole
 Paru : Veshikuler 3x15 mg
rhonci (-/-),  Injeksi
wheezing (-/-) cefotaxime
Jum’at, 27  Demam +,kembung  Abdomen : distensi 2x125 mgr IV
Jan 2012 berkurang,menangis (+), Bising usus (  Ranitidine 2x2,5
merintih,gerak tidak + ) normal. mg
aktif,gruting -, luka  Kalnex 2x10mg
bekas operasi basah dan  Ganti perban
berbau +, pus -.  KU : Tampak sakit dan wound care
berat
 Kesadaran :
Samnolen
 TTV :
 N : 167x/menit  Terapi lanjut
 P : 69x/menit  Puasa
 S : 37,4 0C  Observasi ketat
 Mata : pupil isokor, TTV
bulat, konjungtiva
tidak anemis,
sclera tidak ikterik
 Jantung : Reguler,
irama teratur
 Paru : Veshikuler
rhonci (-/-),
wheezing (-/-)
 Abdomen : distensi
berkurang, Bising
usus ( + ) normal.

 KU : Tampak sakit
berat
 Kesadaran : Apatis
 TTV :
 N : 92x/menit
 P : 24x/menit
 S : 35,3 0C
 Mata : konjungtiva
tidak anemis,
sclera tidak ikterik
 Jantung : Reguler,
irama teratur
 Paru : Veshikuler
rhonci (-/-),
wheezing (-/-)
 Abdomen : distensi
-, Bising usus ( + )
normal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang terdahulu dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Atresia duodeni adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus)
tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang
tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
 Penyebab atresia duodeni :
a. Gangguan perkembangan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan ke-5 ).
b. Gangguan pembuluh darah.
c. Banyak terjadi pada bayi prematur.
d. Banyak ditemukan pada bayi sindrom down.
e. Suplay darah yang rendah pada masa kehamilan sehingga duodenum mengalami
penyempitan dan menjadi obstruksi.
 Tanda dan Gejala Atresia Duodeni:
a. Perutnya menggelembung (kembung) di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya.
b. BBL muntah segera setelah lahir berwarna kehijau - hijauan karena empedu (biliosa).
c. Muntah terus - menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam.
d. Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen.
e. Tidak kencing setelah disusui.
f. Tidak ada gerakan usus setelah pengeluaran mekonium.
g. Pembengkakan abdomen pada bagian atas.
h. Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
i. Berat badan menurun atau sukar bertambah
j. Polihidramnion terlihat pada 50% dengan atresia duodenal
k. Ikterik.
 Masalah
a. Dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.
b. Prematuritas.
c. Anomaly yang berhubungan : trisomi 21 ( 33 % ), jantung, ginjal, CNS, dan
musculoskeletal.
 Penatalaksanaan
a. Perbaiki keadaan umum dengan cara memberikan cairan elektrolit melalui intravena untuk
mengatasi defisit cairan tubuh yang ditimbulkan oleh muntah - muntah.
b. Pemasangan tuba orogastrik untuk mendekompresi lambung.
c. Dilakukan pembedahan untuk mengoreksi kebuntuan duodenum(duodenoduodenostomi).

B. Saran
Sebaiknya kita sebagai mahasiswa kebidanan harus mempelajari tentang kelaianan
bawaan dan penatalaksanannya khususnya atresia duodenum sebagai tambahan ilmu
pengetahuan dan bekal kita apabila sudah mengabdi dimasyarakat atau di tempat pelayanan
kesehatan, demi kesejahteraan neonatus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jong, Wim D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. ECG: Jakarta.
2. Rukiyah, Ai Yeyeh. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta : TIM
3. Sudarti, M.KES, Khoirunnisa Endang, SST. Keb, Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan
Anak Balita.
4. Betz, Cecily, dkk. 2000. Buku Saku Keperawatan Pedriatik. Jakarta :EGC
5. Hidayat,Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.
6. Nelson. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta : Fajar Interpratama.

tresia Duodenum dan Meningokel

a) Atresia Duodenum

Atresia Duodenum yaitu kondisi dimanaduodenum (bagian pertama dari usus halus)tidak

berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yangtidak

memungkinkan perjalanan makanan darilambung ke usus. Penyebab atresia duodenum ini

belumdiketahui secara jelas namun kerusakan padaduodenum ini terjadi karena

Kegagalanrekanalisasi lumen usus selama masakehamilan minggu ke 4 dan minggu ke 5.

Kejadian ini banyak terjadi pada bayi yang lahir prematur.

Gejala Atresia Duodenum:


 Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas
 Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu
 Muntah terus menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam
 Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kencing
 Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium
Penatalaksanaan:
 Pemberian terapi cairan intravena
 Dilakukan tindakan duodenoduodenostomi
Komplikasi:
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. mudah terjadi dehidrasi terutama bila

tidakterpasang line intravena. Setelahpembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjutseperti

pembengkakan duodenum(megaduodenum), gangguan motilitas usus,atau refluks

gastroesofageal.
Pada penderita atresia duodeni ini belum ditemukan obatnya. Jalan satu-satunya hanya

dengan pembedahan Atresia duodeni. Pada bayi baru lahir harus dicurigai bila bayi tersebut

muntah segerasetelah lahir dan secara progesif menjadi buruk dengan pemberian makanan.

Gambar Atresia Duoenal


Sumber Pediatric Surgery, Brown Medical School

b) Meningokel (Lapisan meningen menonjol keluar kanalis vertebralis)

Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui spina bifida dan

terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang

sangat tipis.

Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari

insisi meningokel dan penutupan dura meter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup.

Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi yang memerlukan drainase (Rosa M.

sachrin; Hal-283)

Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering terjadi. Biasanya terletak

di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah

atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam

durameter tidak terdapat saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan

menjadi normal sesudah operasi (IKA-FKUI; Hal-1136)

Gambaran klinis:

Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit dan saluran

genitourinari akibat spina bifida, tetapi tergantung pada bagian medulla spinalis yang terkena.

Pada meningokel dapat ditemukan:


1. Kantong herniasi CSS yang dapat dilihat pada daerah lumbosakral.

2. Hidrosefalus.

Patofisiologi:

Ada dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebrata dan kolumna spinalis: spina bifida

okulta dan spina bifida sistika.

Spina bifida okulta adalah defek penutupan dengan meninges tidak terpajan di permukaan

kulit. Defek vertebralnya kecil, umumnya pada daerah lumbosakral.

Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medula spinalis

dan pembungkusnya.

Meningokel adalah penonjolan yang terdiri dari maninges dan sebuah kantong berisi cairan

serebrospinal (CSS): penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi, dan

medulla spinalis tidak terkena. Hidrosefalus terdapat pada 20% kasus spina bifida sistika.

Meningokel umumnya terdapat pada lumbosakral atau sacral.

Mielomeningokel adalah penonjolan meninges dan sebagian medulla spinalis, selain kantong

berisi CSS. Daerah lumbal atau lumbosakral terdapat pada 42% kasus; torakolumna pada 27

kasus, sacral 21% kasus; dan torakal atau servikal pada 10% kasus. Bayi dengan

mielomeningokel mudah terkena cedera selama proses kelahiran. Hidrosefalus terdapat pada

hampir semua anak yang menderita spina bifida (85% sampai 90%);kira-kira 60% sampai

70% tersebut memiliki IQ normal. Anak dengan mielomeningokel dan hidrosefalus

menderita malformasi system saraf pusat lain, dengan deformitas Arnold-Chiari yang paling

umum.

Penyebab:
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui. Banyak factor seperti

keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya

lengkap empat minggu setelah konsepsi.

Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal rendah,

termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan hipertermia selama

kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat dicegah jika wanita

bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam folat (Cecila L. Betz &

Linda A. Sowden, 2002; hal-468).

Deteksi prenatal:

Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD terbuka selama masa

prenatal. Pemindaian ultra suara pada uterus dan peningkatan konsentrasi alfafetoprotein

(AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam cairan amnion

mengindikasikan adanya arensefali atau mielomeningokel. Waktu yang tepat untuk

melakukan pemeriksaan diagnostic ini adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum

konsentrasi AFP yang normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk melakukan aborsi

terapeutik.

Pengambilan sampel virus koronik (chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan

pemeriksaan untuk diagnostik NTD pada masa prenatal. Prosedur diagnostic di atas

direkomendasikan untuk semua ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan

pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu, rencana kelahiran dengan sesar

dapat menurunkan disfungsi motorik. (Donna L. Wong; Hal-1425)

Penatalaksanaan:

Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah rupture.

Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrosefalus
dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar. Antibiotic

profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan

tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai

system tubuh.

Untuk spina bifida okulta atau maningokel tidak diperlukan pengobatan

Perbaikan mielomeningokel, dan kadang-kadang meningokel, secara bedah diperlukan.

Apabila dilakukan perbedahan secara bedah, maka perlu dipasang suatu pirau (shunt) untuk

memungkinkan drainase CSS dan mencegah timbulnya hidrosefalus dan peningkatan tekanan

intrakranium.

Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi kerusakan neurologis yang

terjadi pada bayi dengan defek korda spinalis.

Prognosis setelah pembedahan biasanya baik.

Vous aimerez peut-être aussi