Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ASMA BRONKIALE
Pembimbing:
dr. S. Abidin Sp.A
Disusun oleh:
Danetta Ismirinda Fauziany
030.13.049
RS TNI AL Mintohardjo
I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : An. Nazla Syakilah Suku Bangsa : Betawi
Umur : 2 tahun Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan :-
Alamat : Jl. Martapura IV RT 005/002 Tanah Abang, Jakarta Pusat
IBU
Nama : Ny. Karlina Agustina Agama : Islam
Umur : 22 tahun Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Betawi Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien, pada hari pada hari Rabu, 25 Juli 2018 pukul 13.00 WIB
KELUHAN UTAMA
Sesak napas disertai batuk dan pilek
3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran RS TNI AL Mindtohardjo
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 18 bulan
Baca dan tulis : - tahun
Perkembangan pubertas :-
Gangguan perkembangan : tidak ada
4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 1 bulan -
DPT/DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
Polio 0 bulan 2 bulan 3 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Saat lahir 2 bulan 4 bulan - - -
MMR - - - -
TIPA - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap
RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (bulan) ASI/PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - -
6–8 ASI + sufor V v -
8-10 sufor V v v
10-12 sufor V v v
Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, dan diberi susu formula bertahap
mulai usia 6 bulan sampai sekarang.
5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
2 tahun Perempuan v - - - pasien
DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 20 tahun 17 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Asma Sehat
penyakit bila ada
6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: rumah pribadi
Keadaan rumah:
Rumah berukuran 5 x 8 m 1 lantai dengan 2 kamar tidur, ruang tamu, 1 kamar mandi,
dan dapur. Dihuni oleh 3 anggota keluarga. Sirkulasi udara di dalam rumah kurang baik,
cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kurang. Untuk mandi dan mencuci
memakai air PAM. Untuk minum dan memasak memakai air galon isi ulang. Rumah
dibersihkan tiap hari. Kamar mandi dibersihkan 2 minggu sekali. Sampah rumah tangga
dibuang setiap hari.
Keadaan lingkungan:
Keadaan lingkungan rumah padat. Kondisi lingkungan cukup bersih
7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Kesan: Kondisi rumah kurang baik karena keadaan rumah pasien minim akan sirkulasi dan
pencahayaan dan lingkungan tempat tinggal sekitar cukup baik.
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normosefali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, lebat, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva kemerahan, kornea jernih, sklera putih, pupil bulat isokor, Reflek
Cahaya Langsung +/+, Reflek Cahaya Tidak Langsung +/+
8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Telinga : Normotia, serumen -/+, liang telinga kiri lapang, membran timpani kiri intak
Hidung : Normosepti, sekret +/+, nafas cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir merah muda
Mulut : Oral hygiene baik, mukosa mulut tampak basah
Gigi-geligi : Gigi geligi tumbuh baik dan tidak ada karies
Lidah : Normoglotia, lidah bersih, dan basah
Tonsil : T1-T1 tenang
Faring : Permukaan licin, hiperemis, arkus faring simetris, uvula di tengah
LEHER
Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid
THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, terdapat
retraksi sela iga
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar : Linea midclavikularis dextra setinggi ICS VI
Batas paru kiri-gaster: Linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VII
A: Suara nafas vesikuler, terdengar wheezing di kedua lapang paru dan terdengar ronki
JANTUNG
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS II, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
ABDOMEN
I : Bentuk datar, simetris
A : Bising usus (+)
P : Supel, turgor kulit baik, hepar
ANUS
Tidak ada kelainan
GENITAL
Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan
ANGGOTA GERAK
Akral hangat pada keempat ekstremitas dan lien tidak teraba
P : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
KULIT
Berwarna sawo matang.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)
10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
23/07/2018
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,7 g/dL 10,7 – 14,7
Eritrosit 5.54 juta/uL 4,2 – 5,4
Leukosit 13.600 /uL 5,000 – 10,000
Trombosit 404.000 /uL 150,000 – 450,000
Hematokrit 34 % 35 – 43
Laju Endap Darah 7 mm/jam <20
HITUNG JENIS
Basofil 0 % 0–1
Eosinophil 8 % 0–5
Netrofil batang 0 % 2–6
Netrofil segmen 47 % 50 – 70
Limfosit 43 % 20 – 40
Monosit 2 % 2–8
Air seni
Tidak dilakukan
Tinja
Tidak dilakukan
Lain-lain
Foto Thoraks AP :
11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Kesan : Bronkopneumonia
V. RINGKASAN
Sesak napas muncul saat batuk pilek, memberat saat malam hari dan aktivitas yang
berlebihan. Sesak disertai bunyi mengi dan sianosis pada bibir. Riwayat penyakit keluarga,
ayah dan kakek pasien menderita asma. Pada pemeriksaan inspeksi thorax didapatkan
retraksi sela iga, dan pada auskultasi didapatkan ronkhi (+/+), wheezing (+/+).
VIII. PROGNOSIS
12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- IVFD RL 12 tpm
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr iv
- Nebulizer ventolin 1 respul + pulmicort 1 respul (1:1) 1x1
Non Medikamentosa :
- Tirah baring
- Menghindari pencetus terjadinya serangan
- Diet dan nutrisi adekuat
- Kontrol 1 minggu setelah rawat inap
13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
24 Juli 2018 25 Juli 2018
perawatan
S sesak napas, batuk dan pilek Batuk dan sesak napas berkurang
- IVFD RL 12 tpm
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr
- IVFD RL 12 tpm
iv
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr
P - Nebulizer ventolin 1 respul +
iv
pulmicort 1 respul (1:1)
- Biothicol 3x1 pulv
1x1
- Biothicol 3x1 pulv
14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
ANALISA KASUS
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkiale berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Asma bronkiale merupakan penyakit inflamasi kronis saluran
napas yang ditandai oleh sesak napas disertai mengi atau batuk berulang (OS sesak disertai
mengi dan batuk) dengan karakteristik timbul secara episodik, nokturnal, periodik, timbul setelah
aktivitas fisik, (Sesak memberat saat malam hari dan setelah aktivitas) dan terdapat riwayat
asma atau atopik pada pasien maupun anggota keluarganya. (Ayah dan kakek pasien memiliki
asma sejak kecil) Serangan akut umumnya timbul akibat pajanan pencetus yang mengarah pada
cuaca dingin atau tanda-tanda ISPA seperti tonsilofaringitis dengan adanya demam, dan batuk
pilek. (Os didahului batuk dan pilek sejak 3 hari SMRS) Selain itu pencetus dapat berupa alergen,
aktivitas fisik, refluks gastroesofageal, dan psikis. Diagnosis asma pada bayi dan anak dibawah
usia 5 tahun hanya merupakan diagnosis klinis berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan
respons pengobatan. Pemeriksaan fungsi paru pada pasien ini tidak dapat dilakukan pada
kelompok usia ini.
15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
TINJAUAN PUSTAKA
16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
3.2 Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat
pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut dengan
ditandai obstruksi saluran napas.1
3.3 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak di negara
maju, mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang dari 18 tahun di Amerika Serikat. Pada
tahun 2003, survei kesehatan nasional dari Centers for Disease Control and Prevention
mendapatkan prevalensi asma seumur hidup adalah 12,5% dan prevalensi asma saat itu
adalah 8,5% pada anak usia kurang dari 18 tahun. Antara 1994 sampai 2004, angka
serangan asma dan prevalensi asma cukup stabil bila dibandingkan dengan 12 bulan
sebelumnya.3
3.4 Etiologi
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia
(histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik
(sitokin, eotaksin) menjadi perantara proses inflamasi yang terjadi pada saluran
pernapasan penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran
pernapasan, yaitu kecenderungan saluran pernapasan mengalami konstriksi sebagai
respons terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan
terjadinya edema, peningkatan produksi mukus, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran
pernapasan, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan terjadinya
remodeling saluran pernapasan akibat ploriferasi protein matriks ekstraseluler dan
hyperplasia vascular yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang
irreversible dan penurunan fungsi paru yang progresif.3
Faktor resiko untuk kelompok asma dapat dibedakan dari genetik dan non genetik.
Faktor resiko non genetik diantaranya: polusi udara, makanan cepat saji, asap rokok,
cooking fuel, rendahnya tingkat pendidikan ibu, ventilasi yang tidak memadai, merokok
di dalam rumah, dan tidak ada ventilasi. Penelitian di padang memberikan hasil bahwa
faktor bermakna untuk mempengaruhi timbulnya asma berurutan mulai dari yang paling
dominan diantaranya faktor atopi ayah atau ibu, diikuti berat lahir, ibu yang perokok, serta
pemberian obat paracetamol. Sedang pemberian ASI dan kontak dengan unggas
merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma 1,2.
Gambar 1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute. 2002)
18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
suatu zat yang merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi untuk
menghancurkan antigen tersebut karena dianggap sebagai benda asing dan berbahaya bagi
tubuh. Pada saat pasien asma terpajan oleh suatu antigen, maka sel dendrit akan bertidak
sebagai Antigent Presenting Cell (APC) yang akan mempresentasikan kepada Th 2 bahwa
terdapat suatu antigen dalam tubuh. Hal ini membuat Th 2 teraktivasi dan mensekresikan
IL-4 dan IL-5. IL-4 akan merangsang proliferasi limfosit B menjadi IgE, sedangkan IL-5
akan merangsang degenerasi eusinofil di sumsum tulang dan kemudian beredar ke dalam
darah. 1
IgE akan menduduki reseptor di sel mast dan mengakibatkan terjadinya
degranulasi sel mast yang kemudian diikuti tersekresinya mediator pro inflamasi seperti
leukotrien, PG2, dan histamin. Mediator inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi dan juga hipersekresi mukus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.
Di jalur lain, eusinofil memproduksi protein dasar yang dapat menyebabkan kerusakan
epitel bronkus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang diikuti
dengan terkumpulnya sitokin dan sel inflamasi di tempat terjadinya kerusakan epitel.
19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi pada daerah yang rusak
sehingga terjadi microvascular leakage yang bermanifestasi sebagai edema saluran napas.
Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan edema saluran napas menyebabkan terjadinya
penyempitan atau obstruksi saluran napas yang akan bermanisfestasi sebagai batuk,
mengi, dan sesak. 1
Batuk terjadi sebagai akibat dari hipersekresi mukus yang menimbulkan
rangsangan refleks tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang terdapat pada saluran
napas. Selain itu, karena adanya penyempitan saluran napas disertai dengan tertimbunnya
mukus pada jalan napas, keadaan ini menyebabkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai
suara napas tambahan berupa mengi. Sesak atau rasa berat pada dada disebabkan oleh
terganggunya proses ekspirasi yang umumnya terjadi pada serangan asma akibat adanya
obstruksi jalan napas.
Pada asma terjadi manifestasi klinis akibat obstruksi jalan napas berupa sesak dan
mengi yang umumnya terjadi pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan tidak seperti proses
inspirasi yang bersifat aktif dengan kontraksi otot M. Intercostalis eksterna dan M.
Diaphragma, proses ekspirasi bersifat pasif dengan adanya proses relaksasi M.
Intercostalis eksterna dan M. Diaphragma yang berakibat terjadinya peningkatan tekanan
intrathorakal yang menyebabkan bertambah parahnya obstruksi jalan napas, sehingga
manifestasi sesak dan mengi terjadi pada saat ekspirasi.
Apabila tidak terkontrol dengan baik, reaksi inflamasi yang terjadi pada serangan
asma yang berulang-ulang kali dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada
jaringan saluran napas. Efek bronkokonstriksi dapat berdampak pada hipertrofi otot
polos bronkus yang menyebabkan penebalan dan penyempitan lumen bronkus. Selain
20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
3.7 Klasifikasi
3.7.1 Klasifikasi Kekerapan timbulnya gejala1
Tabel 1. Derajat Asma
21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
<80% (perkiraan
Fungsi paru
atau dari kondisi
(PEF atau Normal
terbaik bila
FEV1)
diukur)
Sekali
Sekali atau lebih
Eksaserbasi Tidak ada dalam
dalam setahun
seminggu
23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
akhir inspirasi
ekspirasi
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
bantu respiratorik tidak paradok
torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hil
retraksi ditambah ditambah napas ang
interkostal
retraksi cuping hidung
suprasternal
Frekuensi napas Takipnoe Takipnoe Takipnoe Bradipnoe
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas
<2 bulan <60
2-12 bulan <50
1-5 tahun <40
6-8 tahun <30
Frekuensi nadi Normal 100-120 >120 Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi
2-12 bulan <160
1-2 tahun <120
6-8 tahun <110
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
(pemeriksaan (<10mmHg (10-25mmHg) (>25mmHg) tanda
tidak praktis) ) kelelahan
otot
respiratorik
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)
Pra bronkodilator
Pasca >60% 40-60% <40%
bronkodilator >80% 60-80% <60% atau
respons <2jam
Sa 02 % >95% 91-95% ≤90%
Pa 02 Normal >60mmHg <60mmHg
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
Pa CO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg
24
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Anamnesis:
Batuk dan/atau mengi kronik berulang (episodik)
Cenderung malam hari/dini hari (nokturnal/morning dip)
Musiman
Setelah aktivitas fisik atau bila ada faktor pencetus
Pilek sembuh >10 hari
Riwayat asma sebelumnya dan atopi pada pasien dan keluarganya
Pemeriksaan fisik:
Wheezing; anak usia di bawah lima tahun hati-hati bila tidak dijumpai adanya
wheezing. Hal itu disebabkan karena pada usia tersebut batuk yang berulang
hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Apabila dijumpai wheezing pada usia di
bawah 3 tahun hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma.
Batuk dan sesak
Gangguan tidur
Kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik; bermain
Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat
Pemeriksaan penunjang:
25
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
26
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
27
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Refluks gastroesofageal
Infeksi respiratorik bawah viral berulang
Bronkiolitis
Displasia bronkopulmoner
Tuberkulosis
Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
Intratorakal
Aspirasi benda asing
Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun
Penyakit jantung bawaan1
3.10 Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa pada asma secara umum dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu terapi pereda serangan (reliever) dan terapi pencegahan serangan atau pengendali
(controller). Obat pereda diberikan saat pasien mengalami serangan asma akut
(eksaserbasi akut), sedangkan obat pengendali diberikan secara jangka panjang untuk
mencegah timbulnya serangan. Tentu saja obat pengendali tidak perlu diberikan kepada
pasien yang dalam perjalanan klinisnya serangannya jarang. Berdasarkan klasifikasi
kekerapan asma, maka sebagian besar pedoman menyatakan bahwa anak dengan asma
episodik sering dan asma persisten, atau menurut klasifikasi GINA adalah asma persisten
ringan, sedang dan berat memerlukan terapi pengendali (controller). Anak yang sudah
termasuk ke dalam asma episodik sering maka ia mengalami serangan asma sedikitnya 1
kali dalam sebulan dan harus dipikirkan terapi pengendali.9
Kegagalan mengenali asma persisten akan berakibat hilangnya kesempatan bagi
pasien untuk mendapat terapi pencegahan serangan asma. Di negara maju sekalipun
seperti di Amerika Serikat, pasien asma anak di layanan kesehatan primer yang termasuk
asma persisten hanya sedikit yang mendapatkan terapi pengendali. Contoh lain, di layanan
primer di Inggris, tatalaksana pasien anak asma masih banyak menyimpang dari pedoman
yang telah ditetapkan. Monoterapi dengan steroid inhalasi tunggal masih diberikan pada
anak yang seharusnya sudah mendapatkan terapi kombinasi. Obat utama dan pertama
yang digunakan sebagai pengendali asma adalah kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid
28
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Cara inhalasi merupakan
keharusan mengingat kortikosteroid sebagai anti inflamasi akan diberikan dalam jangka
waktu yang lama. Steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.10
Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonide 100-200 ug perhari
dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru. Ada beberapa
yang memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug perhari untuk mencegah timbulnya
serangan asma setelah aktivitas berat. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping
dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortikosteroid inhalasi.
Berbagai preparat steroid inhalasi yang banyak tersedia seperti pada table 2, dan jika saat
pertama berobat sudah kategori asma persisten atau asma persisten berat (GINA) maka
langsung diberikan tahap 2 pada tabel 3.1
29
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Selain kortikosteroid, dalam alur tatalaksana terdapat beberapa obat lain yang
dikategorikan sebagai obat pengendali, yaitu long acting ß2-agonist (LABA),
antileukotrien, slow-release theophylline, dan lain-lain. Sebagai pengendali asma, long
acting ß2-agonist (LABA) selalu digunakan bersama kortikosteroid inhalasi (add on
therapy). Pemberian preparat kombinasi steroid LABA banyak diteliti pada anak asma saat
pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Kombinasi
steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan
asma. Contoh LABA yang tersedia di pasaran antara lain adalah formoterol, salmeterol,
dan prokaterol.6,7
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding kortikosteroid inhalasi. Kombinasi steroid dan antileukotrien dapat
menurunkan angka kekambuhan asma. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
exercise-induced asthma. Terdapat 2 jenis antileukotrien, yaitu montelukas dan zafirlukas.
30
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin akan memperbaiki kontrol asma dan dapat
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin
lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemapuan absorbsi dan
bioavailibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin bervariasi antar individu sehingga pada
penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma harus dimonitor. Efek samping
teofilin dapat berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada pemberian dosis tinggi
diatas 10mg/kgBB/hari. Pemberian antileukotrien bersama b-agonis pada serangan asma
dapat terjadi pengurangan jumlah yang dirawat dan kekambuhan serangan. Di Indonesia,
pemberian antileukotrien belum dianjurkan pada serangan asma. Pada keadaan obstruksi
yang sangat berat keberhasilannya pada keadaan obstruksi yang tidak terlalu berat
hasilnya tidak bermakna dibandingkan pengobatan standar dalam meningkatkan fungsi
paru dan menurunkan gejala.7
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali ada kecurigaan
terhadap tanda-tanda infeksi bakteri seperti pneumonia, pneumonia atipik dan
rinosinusitis. Dengan demikian antibiotik tidak diberikan secara rutin. Kecurigaan
terhadap pneumonia atipik adalah apabila dengan tatalaksana standar tidak ada perbaikan
dan pada gambaran foto toraks didapatkan infiltrat seperti gambaran pneumonia lobaris
tetapi klinis tidak sesuai dengan luasnya kelainan secara radiologis. Pemberian mukolitik
tidak menunjukkan keuntungan pada serangan asma terutama pada asma berat karena
dapat memperberat kondisi pasien.10
Anti Ig-E (Omalizumab) adalah salah satu obat pengendali yang diberikan kepada
anak dengan asma persisten setelah obat-obat pengendali di tahap awal kurang
memberikan respons klinis. Anti Ig-E terbukti memperbaiki gejala asma dan akan
menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi. Pemberian Anti Ig-E membutuhkan
beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan
antara lain urtikaria, kemerahan, dan gatal. Setelah controller diberikan kepada pasien,
maka perlu dilakukan evaluasi terhadap terkendali atau tidaknya asma pada pasien.
Derajat kendali asma ditentukan melalui manifestasi klinis aktivitas fisik sehari-hari
pasien, seperti gejala harian, pembatasan aktivitas, gejala pada malam hari (bangun
31
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
malam karena asma), pemakaian reliever, dan fungsi paru. Penentuan dilakukan setelah 4
minggu terapi.6,7
Tabel 5. Derajat kendali penyakit asma
Jika saat evaluasi pasien belum sepenuhnya terkendali maka dapat dilakukan
penelusuran mengenai ketepatan dan keteraturan penggunaan obat, kendali lingkungan,
dan gaya hidup yang mencegah paparan pencetus serta evaluasi adanya faktor komorbid
seperti rinitis alergi atau rinosinusitis, OSAS (obstructive sleep apnea syndrome) dan
lainnya. Apabila faktor tersebut telah diyakini tidak menjadi penyebab belum
terkendalinya asma, maka perlu dilakukan kenaikan terapi ke tahap lebih lanjut atau naik
(step-up). Contohnya jika dengan kostiosteroid tunggal belum terkendali maka
dilanjutkan dengan tahap berikutnya, yaitu dengan menaikkan dosis steroid atau
menambah LABA dan seterusnya. Sebaliknya jika dengan steroid ditambah LABA pasien
sepenuhnya terkendali asmanya maka setelah 3-6 bulan dapat dilakukan stepdown atau
turun ke tahapan lebih awal (steroid dosis rendah) dan seterusnya.6,7
Sebagian besar obat pengendali asma diberikan secara inhalasi dengan teknik
berbeda, sehingga pemilihan harus disesuaikan dengan golongan umur dan kemampuan
anak, efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Setelah diresepkan
pasien memerlukan edukasi cara penggunaan supaya efikasi terapi pencegahan dapat
tercapai. Banyak laporan menyatakan bahwa kegagalan terapi disebabkan oleh kesalahan
menggunakan alat inhalasi. Inhalasi dosis terukur atau metered-dose inhaler dengan
spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah
obat yang mencapai paru lebih banyak, resiko dan efek samping minimal, serta biaya
lebih murah.9
32
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
33
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Keterangan:
- Nilai normal frekuensi napas 0-2 bulan: <60x/menit; 2-12 bulan: <50x/menit; 1-5 tahun:
<40x/menit; di atas 5 tahun: <30x/menit
- Nilai normal frekuensi nadi: di bawah 12 bulan: <160x/menit; 1-2 tahun: <120x/menit; 3-8
tahun: <110x/menit
Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera mungkin
dan mengembalikan fungsi paru ke arah normal. Untuk mencapai tujuan di atas, cara yang
terbaik adalah dengan menggunakan terapi inhalasi karena mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu dapat langsung mencapai target, onset cepat, dosis kecil, dan efek
samping minimal. Tatalaksana serangan asma dapat dilakukan di rumah maupun di sarana
kesehatan (rumah sakit). Tatalaksana di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
memberikan obat pereda (b-agonis) dalam bentuk hirupan atau oral yang setiap saat dapat
digunakan. Obat dalam bentuk hirupan diberikan dapat dengan nebulisasi, MDI (metered
dose inhaler) dengan spacer atau dengan DPI (dry powder inhaler) sebanyak 2-3 dosis
sebanyak 2 kali pemberian dengan jarak 20-30 menit. Apabila dengan cara tersebut tidak
ada perbaikan yang nyata bahkan memburuk maka dianjurkan mencari pertolongan ke
rumah sakit. Pasien asma yang datang ke UGD (Unit Gawat Darurat) dalam keadaan
serangan langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi sesuai dengan fasilitas
yang tersedia. Tatalaksana serangan asma di rumah sakit tergantung derajat serangannya.
Tatalaksana serangan asma yang tepat akan mempengaruhi kualitas hidup di masa
mendatang.7
Apabila prediksi awal berupa serangan asma ringan diberikan b-agonis saja. Pada
pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) pada pemberian nebulisasi
awal dilakukan observasi selama 1 jam. Jika respons tersebut bertahan dan klinis tetap
baik, pasien dapat dipulangkan dengan obat bronkodilator (inhaler atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain
dapat digunakan MDI dengan spacer. Keuntungan penggunaan spacer adalah tidak
memerlukan koordinasi antara saat menekan atau dengan saat menghirup secara
bersamaan dan mengurangi efek samping. Dengan bantuan spacer, deposit obat di paru
lebih besar bila dibandingkan dengan MDI tanpa spacer maupun dengan DPI (Dry
Powder Inhaler). Pada pasien dengan serangan ringan tidak memerlukan kortikosteroid
34
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
oral kecuali jika pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan
asma berat.6,7
Kortikosteroid oral (yang dianjurkan golongan metil prednisolon dan prednison)
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dalam jangka pendek (3-5 hari). Pemberian
maksimum 12 kali selama episode pertahun tidak mengganggu pertumbuhan anak. Pasien
dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi
tatalaksana. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul kembali, maka pasien
diperlakukan sebagai serangan sedang. Pada pasien yang diprediksi mengalami serangan
sedang atau menunjukkan respons parsial (incomplete response) pada tatalaksana awal
diberikan oksigen, nebulisasi dilanjutkan dengan b-agonis kombinasi dengan
antikolinergik dan kortikosteroid oral. Pemberian inhalasi dapat diulang setiap 2-4 jam.
Selanjutnya dilakukan observasi selama 12 jam yang dapat dilakukan di ruang rawat
sehari. Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien dipulangkan dengan diberikan
obat yang biasa digunakan namun apabila responsnya tetap tidak baik maka pasien dialih
rawat ke ruang rawat inap dan dianggap sebagai serangan berat.3
Pada pasien yang diprediksi sebagai serangan berat atau tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih pada saat tata laksana
awal dianggap sebagai serangan berat (status asmatikus) dan pasien harus dirawat di
ruang rawat inap. Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
Pasang jalur parenteral dan lakukan rontgen toraks untuk mendeteksi adanya komplikasi
berupa pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Jika sejak penilaian awal pasien
mengalami serangan berat, maka tidak memerlukan tahapan tersebut namun langsung
diberikan tatalaksana serangan berat. Pada keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan
tatalaksana yang pada umumnya adalah keadaan dehidrasi, asidosis, dan adanya gangguan
ventilasi akibat atelektasis. Pada pasien dengan gejala dan tanda ancaman henti napas
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif.8,9
Tatalaksana serangan asma berat adalah pemberian oksigen, kortikosteroid
intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari,
nebulisasi b-agonis kombinasi dengan antikolinergik, dan oksigen dilanjutkan tiap 1-2
jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin intravena diberkan bila belum mendapat
35
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit. Tetapi jika
pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin 3-4 mg/kgBB
dan selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.6
Terapi suportif diberikan apabila terdapat kelainan berupa dehidrasi dan asidosis,
yaitu dengan pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan asam basa. Bila telah
terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam. Kortikosteroid
dan aminofilin dapat diberikan peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat
dipulangkan dengan dibekali obat b-agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan
teofilin yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid dilanjutkan peroral
hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Obat yang biasa digunakan sebagai controller tetap diberikan. Jika dengan tatalaksana
tersebut tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman henti napas, maka
pasien dialihrawat ke ruang rawat intensif.6,7
Pemberian oksigen sangat diperlukan untuk mengurangi keadaan hipoksemia
akibat sumbatan jalan napas. Penggunaan oksigen ini tetap memerlukan pemantauan
secara ketat karena banyak dan lamanya pemberian tergantung pada hasil analisis gas
darah. Diusahakan saturasi oksigen tetap di atas atau sama dengan 95%. Penggunaan
bronkodilator pada umumnya telah dilakukan di rumah sehingga pada saat datang di UGD
pemberian inhalasi menggunakan b-agonis dan anti kolinergik (ipratropium bromide).
Dosis ipratropium bromide adalah 250 mcg dan diberikan bersama-sama dengan b-agonis.
Pemberian kombinasi ini mempunyai keuntungan yaitu dalam hal perawatan di rumah
sakit dan menurunkan gejala serangan asma.6,7
Pemberian inhalasi pada awalnya dapat diberikan lebih sering tetapi seiring
dengan perbaikan klinis maka diturunkan secara bertahap. Kortikosteroid yang diberikan
sebaiknya sistemik baik intravena maupun oral. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa
pemberian kortikosteroid secara oral sama efektifnya dengan pemberian intravena.
Kortikosteroid yang dianjurkan adalah metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
dan dosis maksimal pada anak di bawah 2 tahun adalah 20 mg/hari, sedangkan pada anak
yang lebih besar dapat diberikan 30-40 mg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari.
36
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Pemberian kortikosteroid sistemik ini sebaiknya tidak lebih dari 5 hari. Pemberian
kortikosteroid secara inhalasi kurang dianjurkan pada serangan berat meskipun ada
beberapa yang menggunakan dosis besar (2400 ug) untuk mengatasi serangan asma
berat.6,7
Pemberian aminofilin tidak dianjurkan pada serangan ringan dan sedang karena
efek sampingnya lebih besar dibandingkan efektifitasnya. Pada serangan berat aminofilin
mempunyai peran yang cukup besar karena cukup efektif. Penggunaan aminofilin
dilakukan pada asma serangan berat namun tidak diajurkan pada pasien dengan riwayat
kejang dan gangguan susunan saraf pusat serta tidak adanya fasilitas untuk mengukur
kadar aminofilin. Berbeda dengan dewasa, pada anak harus diperhatikan status hidrasinya
dalam menangani serangan asma terutama pada bayi dan anak yang lebih muda. Dehidrasi
dapat terjadi karena adanya peningkatan frekuensi napas dan asupan nutrisi dan cairan
yang berkurang karena sesak. Dengan demikian pemberian cairan sebagai tatalaksana
suportif sangat diperlukan pada serangan asma anak.6,7
Pada keadaan tertentu respons terhadap pengobatan standar tidak ada perbaikan
sehingga memerlukan perawatan khusus di ruang intensif. Indikasi perawatan di ruang
intensif adalah tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
perburukan asma yang cepat dengan tatalaksana baku dan adanya ancaman henti napas
(PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >60 mmHg) atau hilangnya kesadaran. Pemberian alat
bantu napas (ventilator) pada serangan asma berat harus berhati-hati karena dapat
memperburuk keadaan, yaitu komplikasi akibat barotrauma seperti pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum sehingga tindakan tersebut merupakan langkah yang harus
dipertimbangkan.3
Pemberian b-agonis secara intravena pernah dilaporkan pada keadaan serangan
yang berat. Hal ini diberikan karena diduga pada serangan berat b-agonis sukar masuk
melalui saluran napas akibat sumbatan. Ternyata b-agonis secara intravena tidak lebih
efektif dibanding secara inhalasi, bahkan efek samping yang ditimbulkan lebih besar.
Pada saat ini pemberian b-agonis intravena telah ditinggalkan. Pemberian magnesium
sulfat (MgSO4) intravena pernah dilaporkan efektifitas penggunaannya untuk serangan
akut. Dosis yang diberikan 50mg/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam. Beberapa penelitian mendapatkan pemberian MgSO4 mempunyai efek
37
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
yang berbeda, yaitu ada yang berpendapat sama efektifnya dengan salbutamol tetapi ada
yang menyatakan lebih baik dibandingkan salbutamol. Keberhasilan penggunaan MgSO4
didapatkan pada pasien serangan berat asma akut yang tidak ada perbaikan dengan obat
standar. Pemberian MgSO4 tidak dianjurkan secara rutin tetapi hanya atas indikasi apabila
penggunaan obat baku tidak memberi respons dengan baik.11
Pada tatalaksana serangan sedang dan berat pemberian kortikosteroid secara
sistemik cukup efektif. Namun beberapa peneliti mencoba memberikan kortikosteroid
secara inhalasi untuk serangan asma. Hasilnya adalah dengan pemberian dosis rendah,
peran kortikosteroid inhalasi kurang bermanfaat. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi
(2400 ug) untuk inhalasi berhasil terutama pada serangan ringan dan sedang. Namun,
sampai saat ini pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi belum menjadi pedoman
penanganan asma anak.6
3.11 Komplikasi
Komplikasi asma serangan berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi karena
barotrauma sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan saluran respiratorik
akibat hipersekresi dan edema serta bronkokonstriksi. Asidosis laktat dapat terjadi karena
meningkatnya proses glikogenolisis dengan hasil akhir asam laktat karena proses anaerob
akibat hipoksemia. Pada keadaan aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah
menjadi H2O dan CO2 sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah
menjadi laktat.3,8
3.12 Pencegahan
Edukasi memegang peranan penting dalam membantu pasien dan keluarganya
untuk mematuhi terapi yang diberikan dan perlu diberikan sejak pertama kali diagnosis
ditegakkan. Edukasi yang baik mencakup tentang penyakit asma, peran obat-obatan,
kontrol lingkungan, dan ikut serta pasien dalam penggunaan alat spacer untuk metered
dose inhaler dan pemantauan aliran puncak respirasi. Keluarga perlu mempunyai rencana
tatalaksana asma untuk harian dan eksaserbasi. Pemantauan aliran puncak merupakan alat
pemantauan mandiri yang bermanfaat untuk anak berusia 5 tahun atau lebih. Pemantauan
ini bermanfaat jika dilakukan untuk anak yang kurang tanggap terhadap obstruksi jalan
38
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
napas, anak dengan asma sedang hingga berat, anak yang memiliki riwayat eksaserbasi
berat, dan pada anak yang masih belajar mengenali gejala asma.3
Untuk menggunakan pengukur aliran puncak respirasi, seorang anak harus berdiri
dengan indicator diletakkan di bagian paling bawah dari skala. Anak harus menarik napas
dalam, meletakkan alat di dalam mulut, menggigit mouth piece, menutupi bibir di
sekeliling mouth piece, dan meniup dengan sangat kuat dan sangat cepat. Indicator akan
naik pada skala numerik. Peak expiratory flow rate (PEFR) merupakan angka tertinggi
yang dihasilkan. Pemeriksaan ini diulang sebanyak 3 kali untuk mencapai hasil usaha
terbaik. Pengukur aliran puncak tersedia dalam bentuk rentang rendah (<300 L/detik) dan
rentang tinggi (<700 L/detik). Penting untk menggunakan rentang yang tepat sehingga
mendapatkan hasil pengukuran yang akurat.3
Kemampuan terbaik anak adalah PEFR tertinggi yang dicapai dalam rentang
waktu 2 minggu pada saat stabil. Berdasarkan kemampuan terbaik anak, suatu rencana
tatalaksana tertulis dapat dibuat yang dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona hijau
menunjukkan PEFR 80-100% dari kemampuan terbaik anak, pada zona ini biasanya anak
asimptomatik dan perlu melanjutkan obat-obatan harian. Zona kuning menunjukkan
PEFR 50-80% dari kemampuan terbaik anak, biasanya disertai gejala asma yang lebih
sering. Obat-obatan pelega seperti albuterol perlu ditambahkan dan konsultasikan ke
dokter jika puncak aliran pernapasan tidak kembali ke zona hijau dalam waktu 24-48 jam
atau bila mengalami perburukan gejala. Zona merah menunjukkan PEFR <50% yang
merupakan kegawatan medis dan obat-obatan pelega harus segera diberikan. Apabila
PEFR masih berada dalam zona merah atau anak mempunyai aliran udara yang berkurang
secara nyata, perlu dilakukan tatalaksana darurat. Hal terpenting adalah perlunya edukasi
pada keluarga bahwa anak dengan asma harus dilihat tidak hanya pada saat sakit
melainkan juga pada saat istirahat. Kunjungan rutin ke dokter memungkinkan tim
pelayanan kesehatan untuk menilai kepatuhan terhadap pengobatan dan parameter kontrol
serta menentukan apabila perlu dilakukan penyesuaian dosis pengobatan.3
3.13 Prognosis
Untuk sebagian anak, gejala mengi pada saluran pernapasan berkuran pada usia
prasekolah, sedangkan anak lainnya dapat memiliki gejala asma yang lebih persisten.
39
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Indikator prognosis untuk anak usia dibawah 3 tahun untuk mengalami asma adalah
eczema, asma pada orangtua, atau adanya dua hal berikut, yaitu rinitis alergi, mengi pada
malam hari saat dingin atau eosinofilia lebih dari 4%. Prediktor kuat mengi menjadi asma
persisten adalah riwayat atopi.3
BAB IV
KESIMPULAN
40
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Derajat serangan asma dibagi dalam serangan ringan, sedang, berat, dan ancaman
terhadap henti napas. Penanganan serangan asma dapat dilakukan di rumah yang
dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga, dan di rumah sakit yang dilakukan petugas
kesehatan. Serangan asma yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan
kematian. Pada serangan berat diberikan oksigen, inhalasi bronkodilator (b-agonis
bersama antikolinergik), kortikosteroid sistemik, aminofilin (bolus dan rumatan), serta
tatalaksana suportif. Beberapa negara telah membuat suatu guideline (pedoman)
tatalaksana asma pada anak. Terjadinya serangan asma menandakan kegagalan dalam
manajemen asma secara keseluruhan, yaitu kurangnya pengetahuan pasien terhadap
penghindaran pencetus maupun gagalnya tatalaksana jangka panjang. Dengan kemajuan
tatalaksana serangan asma dan meningkatnya pengetahuan orangtua atau keluarga tentang
asma terdapat kecenderungan penurunan kejadian asma serangan berat. Anak asma yang
termasuk ke dalam asma episodik sering dan asma persisten harus mendapat controller.
Setelah dilakukan terapi pencegahan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap derajat
kendali asma. Anak yang asmanya tidak terkendali sepenuhnya, memerlukan penelusuran
tentang keteraturan dan ketepatan penggunaan obat, terciptanya kendali lingkungan yang
ideal serta kemungkinan adanya faktor komorbid asma.
41
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
DAFTAR PUSTAKA
42