Vous êtes sur la page 1sur 42

PRESENTASI KASUS

ASMA BRONKIALE

Pembimbing:
dr. S. Abidin Sp.A

Disusun oleh:
Danetta Ismirinda Fauziany
030.13.049

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

RS TNI AL Mintohardjo

Periode 22 Juli – 28 September 2018

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RS AL TNI MINTOHARDJO

Dokter Pembimbing : dr. S. Abidin, Sp.A Tanda tangan :


Nama Mahasiswa : Danetta Ismirinda Fauziany
NIM : 030.13.049

I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : An. Nazla Syakilah Suku Bangsa : Betawi
Umur : 2 tahun Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan :-
Alamat : Jl. Martapura IV RT 005/002 Tanah Abang, Jakarta Pusat

ORANG TUA/ WALI


AYAH
Nama : Tn. Priyadi Agama : Islam
Umur : 25 tahun Pendidikan : SMK
Suku Bangsa : Betawi Pekerjaan :Pegawai Swasta
Alamat : Jl. Martapura IV RT 005/002 Tanah Abang, Jakarta Pusat
Gaji : Rp. > 3.500.000/bulan

IBU
Nama : Ny. Karlina Agustina Agama : Islam
Umur : 22 tahun Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Betawi Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hubungan dengan orang tua : anak kandung/angkat/tiri/asuh

2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien, pada hari pada hari Rabu, 25 Juli 2018 pukul 13.00 WIB

KELUHAN UTAMA
Sesak napas disertai batuk dan pilek

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Pasien sesak napas sejak 2 hari SMRS. Sesak hilang timbul saat batuk pilek, memberat pada
malam hari dan aktivitas yang berlebih. Sesak membaik saat istirahat. 8 jam SMRS, sesak
disertai bunyi mengi dan sianosis pada bibir. Sesak bukan yang pertama kali, keluhan sesak
dirasakan dalam 3 bulan sekali. Selain sesak, pasien pilek dan batuk berdahak sejak 3 hari
SMRS. Dahak berwarna putih kental. demam disangkal. Mual muntah disangkal. Adanya
kejang, batuk berdarah, dan keringat malam disangkal. Nafsu makan normal. Pasien sempat
dibawa ke RSUD Tanah Abang dan diberi obat oral. Keluhan sempat membaik, namun
keluhan muncul kembali.

3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Rutin memeriksa kehamilan di puskesmas
Penyakit Kehamilan Tidak ada penyakit ataupun penyulit selama kehamilan

KELAHIRAN
Tempat Kelahiran RS TNI AL Mindtohardjo

Penolong Persalinan Dokter Spesialis Kandungan

Cara Persalinan Spontan

Masa Gestasi 38 minggu

Riwayat kelahiran Berat Badan : 2800 gram


Panjang Badan Lahir : 47 cm
Lingkar kepala : ibu pasien tidak ingat
Langsung menangis/tidak langsung menangis
APGAR score : ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 18 bulan
Baca dan tulis : - tahun

Perkembangan pubertas :-
Gangguan perkembangan : tidak ada

4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Kesan perkembangan dan pertumbuhan: Tidak terdapat gangguan perkembangan, tumbuh


kembang sesuai usia

RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 1 bulan -
DPT/DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
Polio 0 bulan 2 bulan 3 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Saat lahir 2 bulan 4 bulan - - -
MMR - - - -
TIPA - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap

RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (bulan) ASI/PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - -
6–8 ASI + sufor V v -
8-10 sufor V v v
10-12 sufor V v v
Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, dan diberi susu formula bertahap
mulai usia 6 bulan sampai sekarang.

JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA


Nasi/pengganti 3x/hari
Sayur 2x/hari
Daging 3 minggu sekali
Telur 4x/minggu
Ikan 2x/minggu
Tahu 2-3x/minggu
Tempe 1-2x/minggu

5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Susu (merek/takaran) SGM 5x/sehari (120ml)


Kesan : makanan pasien cukup bervariasi

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


PENYAKIT UMUR PENYAKIT KETERANGAN
Diare - Morbili -
Otitis - Parotitis -
Radang Paru 1 tahun Demam Berdarah -
Tuberkulosis - Demam Tifoid -
Kejang - Cacingan -
Ginjal - Alergi -
Jantung - Kecelakaan -
Darah - Operasi -
Difteri - Herpes di ketiak -
Kesan : Pasien pernah mengalami radang paru saat usia 1 tahun

RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
2 tahun Perempuan v - - - pasien

DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 20 tahun 17 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Asma Sehat
penyakit bila ada

6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Ayah dan kakek pasien memiliki asma

DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: rumah pribadi

Keadaan rumah:
Rumah berukuran 5 x 8 m 1 lantai dengan 2 kamar tidur, ruang tamu, 1 kamar mandi,
dan dapur. Dihuni oleh 3 anggota keluarga. Sirkulasi udara di dalam rumah kurang baik,
cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kurang. Untuk mandi dan mencuci
memakai air PAM. Untuk minum dan memasak memakai air galon isi ulang. Rumah
dibersihkan tiap hari. Kamar mandi dibersihkan 2 minggu sekali. Sampah rumah tangga
dibuang setiap hari.

Keadaan lingkungan:
Keadaan lingkungan rumah padat. Kondisi lingkungan cukup bersih

7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Kesan: Kondisi rumah kurang baik karena keadaan rumah pasien minim akan sirkulasi dan
pencahayaan dan lingkungan tempat tinggal sekitar cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal : Rabu, 25 Juli 2018
Pukul : 14.00 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital sign : Tekanan darah: 100/60
Nadi : 131 x/menit
Suhu : 36,70C
RR : 40 x/menit
Data Antropometri : BB : 9,3 kg TB : 86 cm
Lingkar kepala : 51 cm
Lingkar dada : 55 cm
Status Gizi : menurut kurva WHO
 TB/U
Z-score diantara 0 dan -2 = normal
 BB/U
Z-score diantara 0 dan -2 = normal
 BB/TB
Z-score dibawah -2 = menunjukan risiko wasting
o Kesan gizi: guzi kurang

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normosefali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, lebat, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva kemerahan, kornea jernih, sklera putih, pupil bulat isokor, Reflek
Cahaya Langsung +/+, Reflek Cahaya Tidak Langsung +/+

8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Telinga : Normotia, serumen -/+, liang telinga kiri lapang, membran timpani kiri intak
Hidung : Normosepti, sekret +/+, nafas cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir merah muda
Mulut : Oral hygiene baik, mukosa mulut tampak basah
Gigi-geligi : Gigi geligi tumbuh baik dan tidak ada karies
Lidah : Normoglotia, lidah bersih, dan basah
Tonsil : T1-T1 tenang
Faring : Permukaan licin, hiperemis, arkus faring simetris, uvula di tengah

LEHER
Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid

THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis

PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, terdapat
retraksi sela iga
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar : Linea midclavikularis dextra setinggi ICS VI
Batas paru kiri-gaster: Linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VII
A: Suara nafas vesikuler, terdengar wheezing di kedua lapang paru dan terdengar ronki

JANTUNG
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS II, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V

9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Batas atas jantung pada linea parasternalis sinistra setinggi ICS II


A : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
I : Bentuk datar, simetris
A : Bising usus (+)
P : Supel, turgor kulit baik, hepar

ANUS
Tidak ada kelainan

GENITAL
Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan

ANGGOTA GERAK
Akral hangat pada keempat ekstremitas dan lien tidak teraba
P : Timpani pada seluruh kuadran abdomen

KULIT
Berwarna sawo matang.

KELENJAR GETAH BENING


Tidak teraba pembesaran

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Darah tepi

10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

23/07/2018

HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,7 g/dL 10,7 – 14,7
Eritrosit 5.54 juta/uL 4,2 – 5,4
Leukosit 13.600 /uL 5,000 – 10,000
Trombosit 404.000 /uL 150,000 – 450,000
Hematokrit 34 % 35 – 43
Laju Endap Darah 7 mm/jam <20
HITUNG JENIS
Basofil 0 % 0–1
Eosinophil 8 % 0–5
Netrofil batang 0 % 2–6
Netrofil segmen 47 % 50 – 70
Limfosit 43 % 20 – 40
Monosit 2 % 2–8
Air seni
Tidak dilakukan
Tinja
Tidak dilakukan
Lain-lain
Foto Thoraks AP :

11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Kesan : Bronkopneumonia

V. RINGKASAN
Sesak napas muncul saat batuk pilek, memberat saat malam hari dan aktivitas yang
berlebihan. Sesak disertai bunyi mengi dan sianosis pada bibir. Riwayat penyakit keluarga,
ayah dan kakek pasien menderita asma. Pada pemeriksaan inspeksi thorax didapatkan
retraksi sela iga, dan pada auskultasi didapatkan ronkhi (+/+), wheezing (+/+).

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Asma bronkiale eksebarsi akut de

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Pneumonia Aspirasi

VIII. PROGNOSIS

12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- IVFD RL 12 tpm
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr iv
- Nebulizer ventolin 1 respul + pulmicort 1 respul (1:1)  1x1

Non Medikamentosa :
- Tirah baring
- Menghindari pencetus terjadinya serangan
- Diet dan nutrisi adekuat
- Kontrol 1 minggu setelah rawat inap

13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
24 Juli 2018 25 Juli 2018
perawatan

S sesak napas, batuk dan pilek Batuk dan sesak napas berkurang

KU: TSS, Kes: CM


KU: TSS, Kes: CM
TD: 100/60 mmHg N: 131x/m
TD: 100/70 mmHg N: 120x/m
S: 36.7oC RR: 40x/m
S: 36,5oC RR: 28x/m
Mata: CA -/- SI -/-
Mata: CA -/- SI -/-
Tonsil T1-T1
O Tonsil T1-T1
Th: Retraksi sela iga
Th: SNV +/+, Wh +/+, Rh -/-
SNV +/+, Wh +/+, Rh +/+
S1S2 reg, murmur (-), gallop (-)
S1S2 reg, murmur (-), gallop (-)
Abd: BU (+), supel
Abd: BU (+), supel
Eks: AH (+), oe (-)
Eks: AH (+), oe (-)
Asma bronkiale Asma bronkiale
A

- IVFD RL 12 tpm
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr
- IVFD RL 12 tpm
iv
- Injeksi cefotaxime 2 x 0.5gr
P - Nebulizer ventolin 1 respul +
iv
pulmicort 1 respul (1:1) 
- Biothicol 3x1 pulv
1x1
- Biothicol 3x1 pulv

14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

ANALISA KASUS

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkiale berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Asma bronkiale merupakan penyakit inflamasi kronis saluran
napas yang ditandai oleh sesak napas disertai mengi atau batuk berulang (OS sesak disertai
mengi dan batuk) dengan karakteristik timbul secara episodik, nokturnal, periodik, timbul setelah
aktivitas fisik, (Sesak memberat saat malam hari dan setelah aktivitas) dan terdapat riwayat
asma atau atopik pada pasien maupun anggota keluarganya. (Ayah dan kakek pasien memiliki
asma sejak kecil) Serangan akut umumnya timbul akibat pajanan pencetus yang mengarah pada
cuaca dingin atau tanda-tanda ISPA seperti tonsilofaringitis dengan adanya demam, dan batuk
pilek. (Os didahului batuk dan pilek sejak 3 hari SMRS) Selain itu pencetus dapat berupa alergen,
aktivitas fisik, refluks gastroesofageal, dan psikis. Diagnosis asma pada bayi dan anak dibawah
usia 5 tahun hanya merupakan diagnosis klinis berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan
respons pengobatan. Pemeriksaan fungsi paru pada pasien ini tidak dapat dilakukan pada
kelompok usia ini.

15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Latar belakang


Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik
pada anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi diantara negara
negara di dunia berkisar antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas
sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan
yang penting. Pada penelitian International Study of Asthma and Alergies in Childhood
(ISAAC) yg terdiri dari 3 fase waktu yang berbeda dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun
dengan sample 1,96 juta orang anak berusia 6-7 tahun dan 3-14 tahun. Di Indonesia
sendiri tercatat 2,1 % untuk anak usia 13-14 tahun dan 4,1% pada anak usia 6-7 tahun.1,2
Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Asma terjadi
karena inflamasi kronik, hiper-responsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding
bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada
sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori
terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa,
hipersekresi mukus.
Diagnosis asma secara tepat merupakan hal penting agar penanganan yang
diberikan tepat. Spektrum gejala asma bervariasi, seperti saat serangan mulai dari
serangan ringan yang dapat sembuh sendiri sampai serangan berat, hingga menimbulkan
ancaman gagal napas. Kekerapan atau frekuensi timbulnya serangan asma bervariasi,
yaitu serangan jarang sampai yang mengalami serangan hampir setiap hari. Penegakkan
kasus asma dengan kekambuhan yang sering atau asma tidak terkendali mempengaruhi
tatalaksana asma jangka panjang. Petugas kesehatan perlu memahami pasien dengan
karakteristik seperti apa yang memerlukan obat pengendali (controller) sehingga tercapai
asma yang terkendali dan meningkatkan kualitas hidup anak asma.1

16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

3.2 Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat
pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut dengan
ditandai obstruksi saluran napas.1

3.3 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak di negara
maju, mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang dari 18 tahun di Amerika Serikat. Pada
tahun 2003, survei kesehatan nasional dari Centers for Disease Control and Prevention
mendapatkan prevalensi asma seumur hidup adalah 12,5% dan prevalensi asma saat itu
adalah 8,5% pada anak usia kurang dari 18 tahun. Antara 1994 sampai 2004, angka
serangan asma dan prevalensi asma cukup stabil bila dibandingkan dengan 12 bulan
sebelumnya.3

3.4 Etiologi
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia
(histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik
(sitokin, eotaksin) menjadi perantara proses inflamasi yang terjadi pada saluran
pernapasan penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran
pernapasan, yaitu kecenderungan saluran pernapasan mengalami konstriksi sebagai
respons terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan
terjadinya edema, peningkatan produksi mukus, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran
pernapasan, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan terjadinya
remodeling saluran pernapasan akibat ploriferasi protein matriks ekstraseluler dan
hyperplasia vascular yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang
irreversible dan penurunan fungsi paru yang progresif.3

3.5 Faktor Resiko


17
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Faktor resiko untuk kelompok asma dapat dibedakan dari genetik dan non genetik.
Faktor resiko non genetik diantaranya: polusi udara, makanan cepat saji, asap rokok,
cooking fuel, rendahnya tingkat pendidikan ibu, ventilasi yang tidak memadai, merokok
di dalam rumah, dan tidak ada ventilasi. Penelitian di padang memberikan hasil bahwa
faktor bermakna untuk mempengaruhi timbulnya asma berurutan mulai dari yang paling
dominan diantaranya faktor atopi ayah atau ibu, diikuti berat lahir, ibu yang perokok, serta
pemberian obat paracetamol. Sedang pemberian ASI dan kontak dengan unggas
merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma 1,2.

3.6 Patogenesis dan patofisiologi

Gambar 1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute. 2002)

Asma merupakan suatu sindroma yang sangat kompleks melibatkan faktor


genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, mediator dan sitokin yang akan menyebabkan
kontraksi otot jalan nafas, reaktivitas bronkus dan inflamasi jalan nafas.4
Mekanisme terjadinya serangan asma didasari oleh terjadinya hipersensitivitas
saluran napas terhadap suatu pencetus atau biasa disebut dengan antigen. Antigen adalah

18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

suatu zat yang merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi untuk
menghancurkan antigen tersebut karena dianggap sebagai benda asing dan berbahaya bagi
tubuh. Pada saat pasien asma terpajan oleh suatu antigen, maka sel dendrit akan bertidak
sebagai Antigent Presenting Cell (APC) yang akan mempresentasikan kepada Th 2 bahwa
terdapat suatu antigen dalam tubuh. Hal ini membuat Th 2 teraktivasi dan mensekresikan
IL-4 dan IL-5. IL-4 akan merangsang proliferasi limfosit B menjadi IgE, sedangkan IL-5
akan merangsang degenerasi eusinofil di sumsum tulang dan kemudian beredar ke dalam
darah. 1
IgE akan menduduki reseptor di sel mast dan mengakibatkan terjadinya
degranulasi sel mast yang kemudian diikuti tersekresinya mediator pro inflamasi seperti
leukotrien, PG2, dan histamin. Mediator inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi dan juga hipersekresi mukus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.
Di jalur lain, eusinofil memproduksi protein dasar yang dapat menyebabkan kerusakan
epitel bronkus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang diikuti
dengan terkumpulnya sitokin dan sel inflamasi di tempat terjadinya kerusakan epitel.

Gambar 2. Remodeling(saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)

19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi pada daerah yang rusak
sehingga terjadi microvascular leakage yang bermanifestasi sebagai edema saluran napas.
Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan edema saluran napas menyebabkan terjadinya
penyempitan atau obstruksi saluran napas yang akan bermanisfestasi sebagai batuk,
mengi, dan sesak. 1
Batuk terjadi sebagai akibat dari hipersekresi mukus yang menimbulkan
rangsangan refleks tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang terdapat pada saluran
napas. Selain itu, karena adanya penyempitan saluran napas disertai dengan tertimbunnya
mukus pada jalan napas, keadaan ini menyebabkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai
suara napas tambahan berupa mengi. Sesak atau rasa berat pada dada disebabkan oleh
terganggunya proses ekspirasi yang umumnya terjadi pada serangan asma akibat adanya
obstruksi jalan napas.
Pada asma terjadi manifestasi klinis akibat obstruksi jalan napas berupa sesak dan
mengi yang umumnya terjadi pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan tidak seperti proses
inspirasi yang bersifat aktif dengan kontraksi otot M. Intercostalis eksterna dan M.
Diaphragma, proses ekspirasi bersifat pasif dengan adanya proses relaksasi M.
Intercostalis eksterna dan M. Diaphragma yang berakibat terjadinya peningkatan tekanan
intrathorakal yang menyebabkan bertambah parahnya obstruksi jalan napas, sehingga
manifestasi sesak dan mengi terjadi pada saat ekspirasi.

Apabila tidak terkontrol dengan baik, reaksi inflamasi yang terjadi pada serangan
asma yang berulang-ulang kali dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada
jaringan saluran napas. Efek bronkokonstriksi dapat berdampak pada hipertrofi otot
polos bronkus yang menyebabkan penebalan dan penyempitan lumen bronkus. Selain

20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

itu, terjadinya hipersekresi mukus mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah sel


goblet pada mukosa saluran pernapasan. Sedangkan sel epitel, sel inflamasi, dan
makrofag merangsang terbentuknya fibroblas dan miofibroblas diikuti dengan deposisi
kolagen dan proteoglikan yang menyebabkan terbentuknya fibrosis atau jaringan ikat
pada submukosa saluran napas. Ketiga hal tersebut merupakan perubahan struktur yang
irreversible dan memperberat obstruksi jalan napas pada pasien asma.1,2,5

3.7 Klasifikasi
3.7.1 Klasifikasi Kekerapan timbulnya gejala1
Tabel 1. Derajat Asma

21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

3.7.2 Berdasarkan Derajat Kendali


Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah
asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien
baik.
 Asma terkendai penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali: pada asma intermitten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten ( ringan/sedang/berat)
 Asma terkendali sebagian ( partly controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan
tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik-jenjang (step-up),
pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tata laksana yang akan
diberikan.1,6
Tabel 2. Karakteristik Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol.
Tingkatan Asma Terkontrol
Terkontrol Tidak
Karakteristik Terkontrol
sebagian terkontrol
Tidak ada (dua Tiga atau
Lebih dua kali
Gejala harian kali atau kurang lebih gejala
seminggu
perminggu) dalam
Pembatasan Sewaktu-waktu kategori
Tidak ada
aktivitas dalam seminggu asma
Gejala
terkontrol
nocturnal/gang Sewaktu-waktu
Tidak ada sebagian,
guan tidur dalam seminggu
muncul
(terbangun)
sewaktu-
Kebutuhan Tidak ada (dua Lebih dari dua kali
waktu
akan reliever kali atau kurang seminggu
dalam
atau terapi dalam seminggu)
seminggu
rescue

22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

<80% (perkiraan
Fungsi paru
atau dari kondisi
(PEF atau Normal
terbaik bila
FEV1)
diukur)
Sekali
Sekali atau lebih
Eksaserbasi Tidak ada dalam
dalam setahun
seminggu

3.7.3 Klasifikasi Asma saat Serangan


Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global
initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut antara lain adalah serangan
asma ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya
pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut.7

Tabel 3. Klasifikasi Asma saat Serangan


Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman
fungsi faal paru, henti napas
laboratorium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi: Bayi: Bayi:
 Menan  Menangis  Tidak mau
g-is pendek dan makan/min
keras lemah um
 Kesulitan
makan/nete
Posisi Bisa Lebih suka
Duduk
berbaring duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Bingung
irritable irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
sering sepanjang terdengar tanpa terdengar
hanya pada ekspirasi ± stetoskop

23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

akhir inspirasi
ekspirasi
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
bantu respiratorik tidak paradok
torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hil
retraksi ditambah ditambah napas ang
interkostal
retraksi cuping hidung
suprasternal
Frekuensi napas Takipnoe Takipnoe Takipnoe Bradipnoe
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas
<2 bulan <60
2-12 bulan <50
1-5 tahun <40
6-8 tahun <30
Frekuensi nadi Normal 100-120 >120 Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia Frekuensi nadi
2-12 bulan <160
1-2 tahun <120
6-8 tahun <110
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
(pemeriksaan (<10mmHg (10-25mmHg) (>25mmHg) tanda
tidak praktis) ) kelelahan
otot
respiratorik
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)
Pra bronkodilator
Pasca >60% 40-60% <40%
bronkodilator >80% 60-80% <60% atau
respons <2jam
Sa 02 % >95% 91-95% ≤90%
Pa 02 Normal >60mmHg <60mmHg
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
Pa CO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg

3.8 Penegakan diagnosis

24
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

GINA, Konsensus Internasional, maupun PNAA menekankan diagnosis asma


didahului batuk dan atau mengi. Batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik),
nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada
penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu
asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji
fungsi paru atau pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk
melihat respons pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi
bronkus dengan histamin atau metakolin. 1,9
Dalam penegakkan diagnosis sangat dibutuhkan klasifikasi karena berhubungan
dengan tatalaksana yang akan diberikan. Selain berdasarkan kekerapan serangan dan
obat yang digunakan sehari-hari, klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat
keparahan serangan, yang terbagi menjadi asma serangan ringan-sedang, asma serangan
berat, dan asma dalam serangan dengan ancaman henti napas. Jadi perlu dibedakan
antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat penyakit asma (aspek akut).

Anamnesis:
 Batuk dan/atau mengi kronik berulang (episodik)
 Cenderung malam hari/dini hari (nokturnal/morning dip)
 Musiman
 Setelah aktivitas fisik atau bila ada faktor pencetus
 Pilek sembuh >10 hari
 Riwayat asma sebelumnya dan atopi pada pasien dan keluarganya

Pemeriksaan fisik:
 Wheezing; anak usia di bawah lima tahun hati-hati bila tidak dijumpai adanya
wheezing. Hal itu disebabkan karena pada usia tersebut batuk yang berulang
hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Apabila dijumpai wheezing pada usia di
bawah 3 tahun hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma.
 Batuk dan sesak
 Gangguan tidur
 Kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik; bermain
 Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat

Pemeriksaan penunjang:

25
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 Pemeriksaan fungsi paru: peak flow meter, spirometer


 Foto thorax: pada asma umumnya tampak hiperaerasi, bisa dijumpai komplikasi
berupa atelektasis, pneumothorax
 Analisa gas darah: pada asma dapat terjadi asidosis respiratorik
 Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara
kering dan dingin, atau dengan salin hipertonis.1,2

3.8.1 Tahapan penegakkan diagnosis asma 1


1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tatalaksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda dan tata laksana penyakit penyulit
2. Diagnosis Klasifikasi Kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis
sudah kuat .
3. Diagnosis Derajat Kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan

Kriteria diagnosis asma

Alur diagnosis pada anak

26
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

3.9 Diagnosis Banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.Selain
asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputirhinosinusitis
dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease pada anak,
sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti
dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit
ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asama, sehingga membuat terapi
spesifik pada asma tidak diberikan dengantepat.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada
keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital, fibrosis
kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan
pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada
bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan
penyebab mengi yang umum pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi
pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada
tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak :
 Rinosinusitis

27
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 Refluks gastroesofageal
 Infeksi respiratorik bawah viral berulang
 Bronkiolitis
 Displasia bronkopulmoner
 Tuberkulosis
 Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
 Intratorakal
 Aspirasi benda asing
 Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun
 Penyakit jantung bawaan1

3.10 Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa pada asma secara umum dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu terapi pereda serangan (reliever) dan terapi pencegahan serangan atau pengendali
(controller). Obat pereda diberikan saat pasien mengalami serangan asma akut
(eksaserbasi akut), sedangkan obat pengendali diberikan secara jangka panjang untuk
mencegah timbulnya serangan. Tentu saja obat pengendali tidak perlu diberikan kepada
pasien yang dalam perjalanan klinisnya serangannya jarang. Berdasarkan klasifikasi
kekerapan asma, maka sebagian besar pedoman menyatakan bahwa anak dengan asma
episodik sering dan asma persisten, atau menurut klasifikasi GINA adalah asma persisten
ringan, sedang dan berat memerlukan terapi pengendali (controller). Anak yang sudah
termasuk ke dalam asma episodik sering maka ia mengalami serangan asma sedikitnya 1
kali dalam sebulan dan harus dipikirkan terapi pengendali.9
Kegagalan mengenali asma persisten akan berakibat hilangnya kesempatan bagi
pasien untuk mendapat terapi pencegahan serangan asma. Di negara maju sekalipun
seperti di Amerika Serikat, pasien asma anak di layanan kesehatan primer yang termasuk
asma persisten hanya sedikit yang mendapatkan terapi pengendali. Contoh lain, di layanan
primer di Inggris, tatalaksana pasien anak asma masih banyak menyimpang dari pedoman
yang telah ditetapkan. Monoterapi dengan steroid inhalasi tunggal masih diberikan pada
anak yang seharusnya sudah mendapatkan terapi kombinasi. Obat utama dan pertama
yang digunakan sebagai pengendali asma adalah kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid

28
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Cara inhalasi merupakan
keharusan mengingat kortikosteroid sebagai anti inflamasi akan diberikan dalam jangka
waktu yang lama. Steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.10
Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonide 100-200 ug perhari
dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru. Ada beberapa
yang memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ug perhari untuk mencegah timbulnya
serangan asma setelah aktivitas berat. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping
dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortikosteroid inhalasi.
Berbagai preparat steroid inhalasi yang banyak tersedia seperti pada table 2, dan jika saat
pertama berobat sudah kategori asma persisten atau asma persisten berat (GINA) maka
langsung diberikan tahap 2 pada tabel 3.1

Tabel 3. Dosis berbagai preparat kortikosteroid inhalasi pada anak asma

Tabel 4. Tata laksana jangka panjang anak asma

29
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Selain kortikosteroid, dalam alur tatalaksana terdapat beberapa obat lain yang
dikategorikan sebagai obat pengendali, yaitu long acting ß2-agonist (LABA),
antileukotrien, slow-release theophylline, dan lain-lain. Sebagai pengendali asma, long
acting ß2-agonist (LABA) selalu digunakan bersama kortikosteroid inhalasi (add on
therapy). Pemberian preparat kombinasi steroid LABA banyak diteliti pada anak asma saat
pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Kombinasi
steroid-LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan
asma. Contoh LABA yang tersedia di pasaran antara lain adalah formoterol, salmeterol,
dan prokaterol.6,7
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding kortikosteroid inhalasi. Kombinasi steroid dan antileukotrien dapat
menurunkan angka kekambuhan asma. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
exercise-induced asthma. Terdapat 2 jenis antileukotrien, yaitu montelukas dan zafirlukas.
30
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin akan memperbaiki kontrol asma dan dapat
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin
lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemapuan absorbsi dan
bioavailibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin bervariasi antar individu sehingga pada
penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma harus dimonitor. Efek samping
teofilin dapat berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada pemberian dosis tinggi
diatas 10mg/kgBB/hari. Pemberian antileukotrien bersama b-agonis pada serangan asma
dapat terjadi pengurangan jumlah yang dirawat dan kekambuhan serangan. Di Indonesia,
pemberian antileukotrien belum dianjurkan pada serangan asma. Pada keadaan obstruksi
yang sangat berat keberhasilannya pada keadaan obstruksi yang tidak terlalu berat
hasilnya tidak bermakna dibandingkan pengobatan standar dalam meningkatkan fungsi
paru dan menurunkan gejala.7
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali ada kecurigaan
terhadap tanda-tanda infeksi bakteri seperti pneumonia, pneumonia atipik dan
rinosinusitis. Dengan demikian antibiotik tidak diberikan secara rutin. Kecurigaan
terhadap pneumonia atipik adalah apabila dengan tatalaksana standar tidak ada perbaikan
dan pada gambaran foto toraks didapatkan infiltrat seperti gambaran pneumonia lobaris
tetapi klinis tidak sesuai dengan luasnya kelainan secara radiologis. Pemberian mukolitik
tidak menunjukkan keuntungan pada serangan asma terutama pada asma berat karena
dapat memperberat kondisi pasien.10
Anti Ig-E (Omalizumab) adalah salah satu obat pengendali yang diberikan kepada
anak dengan asma persisten setelah obat-obat pengendali di tahap awal kurang
memberikan respons klinis. Anti Ig-E terbukti memperbaiki gejala asma dan akan
menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi. Pemberian Anti Ig-E membutuhkan
beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan
antara lain urtikaria, kemerahan, dan gatal. Setelah controller diberikan kepada pasien,
maka perlu dilakukan evaluasi terhadap terkendali atau tidaknya asma pada pasien.
Derajat kendali asma ditentukan melalui manifestasi klinis aktivitas fisik sehari-hari
pasien, seperti gejala harian, pembatasan aktivitas, gejala pada malam hari (bangun

31
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

malam karena asma), pemakaian reliever, dan fungsi paru. Penentuan dilakukan setelah 4
minggu terapi.6,7
Tabel 5. Derajat kendali penyakit asma

Jika saat evaluasi pasien belum sepenuhnya terkendali maka dapat dilakukan
penelusuran mengenai ketepatan dan keteraturan penggunaan obat, kendali lingkungan,
dan gaya hidup yang mencegah paparan pencetus serta evaluasi adanya faktor komorbid
seperti rinitis alergi atau rinosinusitis, OSAS (obstructive sleep apnea syndrome) dan
lainnya. Apabila faktor tersebut telah diyakini tidak menjadi penyebab belum
terkendalinya asma, maka perlu dilakukan kenaikan terapi ke tahap lebih lanjut atau naik
(step-up). Contohnya jika dengan kostiosteroid tunggal belum terkendali maka
dilanjutkan dengan tahap berikutnya, yaitu dengan menaikkan dosis steroid atau
menambah LABA dan seterusnya. Sebaliknya jika dengan steroid ditambah LABA pasien
sepenuhnya terkendali asmanya maka setelah 3-6 bulan dapat dilakukan stepdown atau
turun ke tahapan lebih awal (steroid dosis rendah) dan seterusnya.6,7
Sebagian besar obat pengendali asma diberikan secara inhalasi dengan teknik
berbeda, sehingga pemilihan harus disesuaikan dengan golongan umur dan kemampuan
anak, efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Setelah diresepkan
pasien memerlukan edukasi cara penggunaan supaya efikasi terapi pencegahan dapat
tercapai. Banyak laporan menyatakan bahwa kegagalan terapi disebabkan oleh kesalahan
menggunakan alat inhalasi. Inhalasi dosis terukur atau metered-dose inhaler dengan
spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah
obat yang mencapai paru lebih banyak, resiko dan efek samping minimal, serta biaya
lebih murah.9

32
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Tabel 6. Anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia

Beberapa literatur menyusun derajat serangan asma berdasarkan paremeter yang


bersifat subyektif dan obyektif dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Pada fasilitas
terbatas cukup digunakan parameter yang subyektif saja tetapi pada fasilitas yang
memadai digunakan parameter subyektif dan obyektif (laboratorium). Adanya penilaian
awal tersebut hanya berfungsi sebagai prediksi serangan untuk tata laksana selanjutnya.
Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi respons
yang kurang terhadap terapi awal atau serangan memburuk dengan cepat atau pasien
berisiko tinggi. Penanganan serangan asma yang tidak akurat akan berdampak negatif
terhadap perkembangan anak selanjutnya.8
Tabel 7. Penilaian derajat serangan asma

33
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Keterangan:
- Nilai normal frekuensi napas 0-2 bulan: <60x/menit; 2-12 bulan: <50x/menit; 1-5 tahun:
<40x/menit; di atas 5 tahun: <30x/menit
- Nilai normal frekuensi nadi: di bawah 12 bulan: <160x/menit; 1-2 tahun: <120x/menit; 3-8
tahun: <110x/menit
Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera mungkin
dan mengembalikan fungsi paru ke arah normal. Untuk mencapai tujuan di atas, cara yang
terbaik adalah dengan menggunakan terapi inhalasi karena mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu dapat langsung mencapai target, onset cepat, dosis kecil, dan efek
samping minimal. Tatalaksana serangan asma dapat dilakukan di rumah maupun di sarana
kesehatan (rumah sakit). Tatalaksana di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
memberikan obat pereda (b-agonis) dalam bentuk hirupan atau oral yang setiap saat dapat
digunakan. Obat dalam bentuk hirupan diberikan dapat dengan nebulisasi, MDI (metered
dose inhaler) dengan spacer atau dengan DPI (dry powder inhaler) sebanyak 2-3 dosis
sebanyak 2 kali pemberian dengan jarak 20-30 menit. Apabila dengan cara tersebut tidak
ada perbaikan yang nyata bahkan memburuk maka dianjurkan mencari pertolongan ke
rumah sakit. Pasien asma yang datang ke UGD (Unit Gawat Darurat) dalam keadaan
serangan langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi sesuai dengan fasilitas
yang tersedia. Tatalaksana serangan asma di rumah sakit tergantung derajat serangannya.
Tatalaksana serangan asma yang tepat akan mempengaruhi kualitas hidup di masa
mendatang.7
Apabila prediksi awal berupa serangan asma ringan diberikan b-agonis saja. Pada
pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) pada pemberian nebulisasi
awal dilakukan observasi selama 1 jam. Jika respons tersebut bertahan dan klinis tetap
baik, pasien dapat dipulangkan dengan obat bronkodilator (inhaler atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain
dapat digunakan MDI dengan spacer. Keuntungan penggunaan spacer adalah tidak
memerlukan koordinasi antara saat menekan atau dengan saat menghirup secara
bersamaan dan mengurangi efek samping. Dengan bantuan spacer, deposit obat di paru
lebih besar bila dibandingkan dengan MDI tanpa spacer maupun dengan DPI (Dry
Powder Inhaler). Pada pasien dengan serangan ringan tidak memerlukan kortikosteroid

34
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

oral kecuali jika pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan
asma berat.6,7
Kortikosteroid oral (yang dianjurkan golongan metil prednisolon dan prednison)
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dalam jangka pendek (3-5 hari). Pemberian
maksimum 12 kali selama episode pertahun tidak mengganggu pertumbuhan anak. Pasien
dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi
tatalaksana. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul kembali, maka pasien
diperlakukan sebagai serangan sedang. Pada pasien yang diprediksi mengalami serangan
sedang atau menunjukkan respons parsial (incomplete response) pada tatalaksana awal
diberikan oksigen, nebulisasi dilanjutkan dengan b-agonis kombinasi dengan
antikolinergik dan kortikosteroid oral. Pemberian inhalasi dapat diulang setiap 2-4 jam.
Selanjutnya dilakukan observasi selama 12 jam yang dapat dilakukan di ruang rawat
sehari. Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien dipulangkan dengan diberikan
obat yang biasa digunakan namun apabila responsnya tetap tidak baik maka pasien dialih
rawat ke ruang rawat inap dan dianggap sebagai serangan berat.3
Pada pasien yang diprediksi sebagai serangan berat atau tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih pada saat tata laksana
awal dianggap sebagai serangan berat (status asmatikus) dan pasien harus dirawat di
ruang rawat inap. Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
Pasang jalur parenteral dan lakukan rontgen toraks untuk mendeteksi adanya komplikasi
berupa pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Jika sejak penilaian awal pasien
mengalami serangan berat, maka tidak memerlukan tahapan tersebut namun langsung
diberikan tatalaksana serangan berat. Pada keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan
tatalaksana yang pada umumnya adalah keadaan dehidrasi, asidosis, dan adanya gangguan
ventilasi akibat atelektasis. Pada pasien dengan gejala dan tanda ancaman henti napas
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif.8,9
Tatalaksana serangan asma berat adalah pemberian oksigen, kortikosteroid
intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari,
nebulisasi b-agonis kombinasi dengan antikolinergik, dan oksigen dilanjutkan tiap 1-2
jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin intravena diberkan bila belum mendapat

35
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit. Tetapi jika
pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin 3-4 mg/kgBB
dan selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.6
Terapi suportif diberikan apabila terdapat kelainan berupa dehidrasi dan asidosis,
yaitu dengan pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan asam basa. Bila telah
terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam. Kortikosteroid
dan aminofilin dapat diberikan peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat
dipulangkan dengan dibekali obat b-agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan
teofilin yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid dilanjutkan peroral
hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Obat yang biasa digunakan sebagai controller tetap diberikan. Jika dengan tatalaksana
tersebut tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman henti napas, maka
pasien dialihrawat ke ruang rawat intensif.6,7
Pemberian oksigen sangat diperlukan untuk mengurangi keadaan hipoksemia
akibat sumbatan jalan napas. Penggunaan oksigen ini tetap memerlukan pemantauan
secara ketat karena banyak dan lamanya pemberian tergantung pada hasil analisis gas
darah. Diusahakan saturasi oksigen tetap di atas atau sama dengan 95%. Penggunaan
bronkodilator pada umumnya telah dilakukan di rumah sehingga pada saat datang di UGD
pemberian inhalasi menggunakan b-agonis dan anti kolinergik (ipratropium bromide).
Dosis ipratropium bromide adalah 250 mcg dan diberikan bersama-sama dengan b-agonis.
Pemberian kombinasi ini mempunyai keuntungan yaitu dalam hal perawatan di rumah
sakit dan menurunkan gejala serangan asma.6,7
Pemberian inhalasi pada awalnya dapat diberikan lebih sering tetapi seiring
dengan perbaikan klinis maka diturunkan secara bertahap. Kortikosteroid yang diberikan
sebaiknya sistemik baik intravena maupun oral. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa
pemberian kortikosteroid secara oral sama efektifnya dengan pemberian intravena.
Kortikosteroid yang dianjurkan adalah metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
dan dosis maksimal pada anak di bawah 2 tahun adalah 20 mg/hari, sedangkan pada anak
yang lebih besar dapat diberikan 30-40 mg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari.

36
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Pemberian kortikosteroid sistemik ini sebaiknya tidak lebih dari 5 hari. Pemberian
kortikosteroid secara inhalasi kurang dianjurkan pada serangan berat meskipun ada
beberapa yang menggunakan dosis besar (2400 ug) untuk mengatasi serangan asma
berat.6,7
Pemberian aminofilin tidak dianjurkan pada serangan ringan dan sedang karena
efek sampingnya lebih besar dibandingkan efektifitasnya. Pada serangan berat aminofilin
mempunyai peran yang cukup besar karena cukup efektif. Penggunaan aminofilin
dilakukan pada asma serangan berat namun tidak diajurkan pada pasien dengan riwayat
kejang dan gangguan susunan saraf pusat serta tidak adanya fasilitas untuk mengukur
kadar aminofilin. Berbeda dengan dewasa, pada anak harus diperhatikan status hidrasinya
dalam menangani serangan asma terutama pada bayi dan anak yang lebih muda. Dehidrasi
dapat terjadi karena adanya peningkatan frekuensi napas dan asupan nutrisi dan cairan
yang berkurang karena sesak. Dengan demikian pemberian cairan sebagai tatalaksana
suportif sangat diperlukan pada serangan asma anak.6,7
Pada keadaan tertentu respons terhadap pengobatan standar tidak ada perbaikan
sehingga memerlukan perawatan khusus di ruang intensif. Indikasi perawatan di ruang
intensif adalah tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
perburukan asma yang cepat dengan tatalaksana baku dan adanya ancaman henti napas
(PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >60 mmHg) atau hilangnya kesadaran. Pemberian alat
bantu napas (ventilator) pada serangan asma berat harus berhati-hati karena dapat
memperburuk keadaan, yaitu komplikasi akibat barotrauma seperti pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum sehingga tindakan tersebut merupakan langkah yang harus
dipertimbangkan.3
Pemberian b-agonis secara intravena pernah dilaporkan pada keadaan serangan
yang berat. Hal ini diberikan karena diduga pada serangan berat b-agonis sukar masuk
melalui saluran napas akibat sumbatan. Ternyata b-agonis secara intravena tidak lebih
efektif dibanding secara inhalasi, bahkan efek samping yang ditimbulkan lebih besar.
Pada saat ini pemberian b-agonis intravena telah ditinggalkan. Pemberian magnesium
sulfat (MgSO4) intravena pernah dilaporkan efektifitas penggunaannya untuk serangan
akut. Dosis yang diberikan 50mg/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam. Beberapa penelitian mendapatkan pemberian MgSO4 mempunyai efek

37
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

yang berbeda, yaitu ada yang berpendapat sama efektifnya dengan salbutamol tetapi ada
yang menyatakan lebih baik dibandingkan salbutamol. Keberhasilan penggunaan MgSO4
didapatkan pada pasien serangan berat asma akut yang tidak ada perbaikan dengan obat
standar. Pemberian MgSO4 tidak dianjurkan secara rutin tetapi hanya atas indikasi apabila
penggunaan obat baku tidak memberi respons dengan baik.11
Pada tatalaksana serangan sedang dan berat pemberian kortikosteroid secara
sistemik cukup efektif. Namun beberapa peneliti mencoba memberikan kortikosteroid
secara inhalasi untuk serangan asma. Hasilnya adalah dengan pemberian dosis rendah,
peran kortikosteroid inhalasi kurang bermanfaat. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi
(2400 ug) untuk inhalasi berhasil terutama pada serangan ringan dan sedang. Namun,
sampai saat ini pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi belum menjadi pedoman
penanganan asma anak.6

3.11 Komplikasi
Komplikasi asma serangan berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi karena
barotrauma sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan saluran respiratorik
akibat hipersekresi dan edema serta bronkokonstriksi. Asidosis laktat dapat terjadi karena
meningkatnya proses glikogenolisis dengan hasil akhir asam laktat karena proses anaerob
akibat hipoksemia. Pada keadaan aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah
menjadi H2O dan CO2 sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah
menjadi laktat.3,8

3.12 Pencegahan
Edukasi memegang peranan penting dalam membantu pasien dan keluarganya
untuk mematuhi terapi yang diberikan dan perlu diberikan sejak pertama kali diagnosis
ditegakkan. Edukasi yang baik mencakup tentang penyakit asma, peran obat-obatan,
kontrol lingkungan, dan ikut serta pasien dalam penggunaan alat spacer untuk metered
dose inhaler dan pemantauan aliran puncak respirasi. Keluarga perlu mempunyai rencana
tatalaksana asma untuk harian dan eksaserbasi. Pemantauan aliran puncak merupakan alat
pemantauan mandiri yang bermanfaat untuk anak berusia 5 tahun atau lebih. Pemantauan
ini bermanfaat jika dilakukan untuk anak yang kurang tanggap terhadap obstruksi jalan
38
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

napas, anak dengan asma sedang hingga berat, anak yang memiliki riwayat eksaserbasi
berat, dan pada anak yang masih belajar mengenali gejala asma.3
Untuk menggunakan pengukur aliran puncak respirasi, seorang anak harus berdiri
dengan indicator diletakkan di bagian paling bawah dari skala. Anak harus menarik napas
dalam, meletakkan alat di dalam mulut, menggigit mouth piece, menutupi bibir di
sekeliling mouth piece, dan meniup dengan sangat kuat dan sangat cepat. Indicator akan
naik pada skala numerik. Peak expiratory flow rate (PEFR) merupakan angka tertinggi
yang dihasilkan. Pemeriksaan ini diulang sebanyak 3 kali untuk mencapai hasil usaha
terbaik. Pengukur aliran puncak tersedia dalam bentuk rentang rendah (<300 L/detik) dan
rentang tinggi (<700 L/detik). Penting untk menggunakan rentang yang tepat sehingga
mendapatkan hasil pengukuran yang akurat.3
Kemampuan terbaik anak adalah PEFR tertinggi yang dicapai dalam rentang
waktu 2 minggu pada saat stabil. Berdasarkan kemampuan terbaik anak, suatu rencana
tatalaksana tertulis dapat dibuat yang dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona hijau
menunjukkan PEFR 80-100% dari kemampuan terbaik anak, pada zona ini biasanya anak
asimptomatik dan perlu melanjutkan obat-obatan harian. Zona kuning menunjukkan
PEFR 50-80% dari kemampuan terbaik anak, biasanya disertai gejala asma yang lebih
sering. Obat-obatan pelega seperti albuterol perlu ditambahkan dan konsultasikan ke
dokter jika puncak aliran pernapasan tidak kembali ke zona hijau dalam waktu 24-48 jam
atau bila mengalami perburukan gejala. Zona merah menunjukkan PEFR <50% yang
merupakan kegawatan medis dan obat-obatan pelega harus segera diberikan. Apabila
PEFR masih berada dalam zona merah atau anak mempunyai aliran udara yang berkurang
secara nyata, perlu dilakukan tatalaksana darurat. Hal terpenting adalah perlunya edukasi
pada keluarga bahwa anak dengan asma harus dilihat tidak hanya pada saat sakit
melainkan juga pada saat istirahat. Kunjungan rutin ke dokter memungkinkan tim
pelayanan kesehatan untuk menilai kepatuhan terhadap pengobatan dan parameter kontrol
serta menentukan apabila perlu dilakukan penyesuaian dosis pengobatan.3

3.13 Prognosis
Untuk sebagian anak, gejala mengi pada saluran pernapasan berkuran pada usia
prasekolah, sedangkan anak lainnya dapat memiliki gejala asma yang lebih persisten.

39
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Indikator prognosis untuk anak usia dibawah 3 tahun untuk mengalami asma adalah
eczema, asma pada orangtua, atau adanya dua hal berikut, yaitu rinitis alergi, mengi pada
malam hari saat dingin atau eosinofilia lebih dari 4%. Prediktor kuat mengi menjadi asma
persisten adalah riwayat atopi.3

BAB IV
KESIMPULAN

40
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Derajat serangan asma dibagi dalam serangan ringan, sedang, berat, dan ancaman
terhadap henti napas. Penanganan serangan asma dapat dilakukan di rumah yang
dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga, dan di rumah sakit yang dilakukan petugas
kesehatan. Serangan asma yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan
kematian. Pada serangan berat diberikan oksigen, inhalasi bronkodilator (b-agonis
bersama antikolinergik), kortikosteroid sistemik, aminofilin (bolus dan rumatan), serta
tatalaksana suportif. Beberapa negara telah membuat suatu guideline (pedoman)
tatalaksana asma pada anak. Terjadinya serangan asma menandakan kegagalan dalam
manajemen asma secara keseluruhan, yaitu kurangnya pengetahuan pasien terhadap
penghindaran pencetus maupun gagalnya tatalaksana jangka panjang. Dengan kemajuan
tatalaksana serangan asma dan meningkatnya pengetahuan orangtua atau keluarga tentang
asma terdapat kecenderungan penurunan kejadian asma serangan berat. Anak asma yang
termasuk ke dalam asma episodik sering dan asma persisten harus mendapat controller.
Setelah dilakukan terapi pencegahan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap derajat
kendali asma. Anak yang asmanya tidak terkendali sepenuhnya, memerlukan penelusuran
tentang keteraturan dan ketepatan penggunaan obat, terciptanya kendali lingkungan yang
ideal serta kemungkinan adanya faktor komorbid asma.

41
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

DAFTAR PUSTAKA

1. Noenoeng R, Kartasasmita C.B., Supriyanto B.,Setyanto D.B., Pedoman Nasional Asma


Anak. Ed ke 2. UKK Respirologi. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2016
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI : Jakarta :
2008, p 350-365.
3. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson: ilmu kesehatan anak
esensial, edisi 6. Singapore: Saunders Elsevier, 2014; 339-50.
4. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention update
2012. Available at: www.ginaasthma.org accessed on March, 2nd 2018.
5. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, et al.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976-97.
6. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Bandung: 2005.
7. Kaswandani N. Kapan diperlukan terapi pengendali pada asma anak. Dalam: Trihono PP,
Prayitno A, Muktiarti D, Soebadi A. Pendekatan holistik penyakit kronik pada anak untuk
meningkatkan kualitas hidup. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, 2013; 121-8.
8. Alsagaff, Hood dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru dan Saluran
Napas FK Unair : Surabaya. 2004.
9. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkiale. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simandibrata
MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam, edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing, 2014; 478-88.
10. Van Aalderen WM. Childhood asthma: diagnosis and treatment. Scientifica 2012;12:1-18.
11. Schultz A. Martin AC. Outpatient management of asthma in children. Clin Med Insights
Pediatr. 2013;7:13-24.

42

Vous aimerez peut-être aussi