Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
LAPORAN PENDAHULUAN
(PASIEN DI RUANG PENYAKIT DALAM)
LAPORAN PENDAHULUAN
ASITES
A. PENGERTIAN
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirungga perut sering dikatakan
penimbunan asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik dan pengelolaan
penyakitnya menjadi semakin sulit,asites juga dapat menjadi sumber lnfeksi seperti setiap
penimbunan cairan secara abnormal dirungga tubuh yang lain infeksi akan lebih
memperberat perjalanan penyakit dasarnya.
II. ETIOLOGI
Secara morfologis, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (poral), mikrodonolar
(pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal,
pascanokretik, dan biller. Penyakit penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis
hepatis antara lain mal nutrisi, alkoholesme, virus hepatis, kegagalan jantung yang
menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik, dan
lain-lain.
III. PATOFISIOLOGI
Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan
sistemik.
1. Faktor lokal
Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal yang
penting adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah usus.
2. Faktor sistemik
Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer akan menjadi
semakin berat sehingga aktivitasi sistem neoru homoral akan mampu menimbulkan
asites. Disdamping itu, aktivasi sistem neurohumoral yang terumenerus tetapi akan
menimbulkan perubahan fungsi ginjal yang semakin nyata sehingga terjadi sindrom
heparorenal.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumen serum,peninggian
kadar globulin serum,penurunan kadar bilirubin direk dan inderik),penurunan enzim
kolenisterase, serta peninggian SGOT dan SGPT.
Pemeriksaan khusus untuk menilai adanya asites yang masih sedikit, misalnya dengan
paddle singn pemerisaan penunjang yang dapat diberikan informasi dalam keadaan ini
adalah USG
Fungsi dioagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien baru. Dari pemeriksaan
cairan asites dapat diketahui adanya keganasan . infeksi premer atau sekunder, eksudat, kilus
atau transudasi.
1. Istirat dan diet rendah garam. Dengan istirahan dan diet rendah garam (200-500mg
perhari), kadang-kadang asites dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu
dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam , hanya sampai 1 liter atau
kurang.
2. Bila dengan istirat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa
spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila
setelah 3-4 hari tidak dapat perubahan.
3. Bila terjadi asites reflakter (asites yang tidak dapat dokendalikan dengan terafi
medikamentosa yang intensif). Dilakukan terapi para sintesis. Walau pun merupakan cara
pengobatan asites yang tergolong kono dan setempat ditinggalkan karena berbagai
komplikasinya, parasintesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umumnya
parasentisis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 g untuk setiap liter
cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walau pun demikian
untuk mencegah pembentukan asites setelah parasintase, pengaturan diet rendah garam
dan diuritek biasanya tetap diterlukan.
VII. PROGNOSIS
Pada umumnya dikatakan terbentuknya asites merupakan pertanda prognosis yang
tidak baik. Kemungkinan hidup sampai satu tahun hanya kira-kira 50% dan sampai 5 tahun
kira-kira 20%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah perubahan
hemodinamika sistem porta, sistem vaskular sistemik dan fungsi ginjal, ketiga faktor itu
lebih penting dari pada tes fungsi hati konvensial yang bisa digunakan.
LAPORAN PENDAHULUAN
KOLESTITIS KRONIK
1st. PENGERTIAN
Kolestitis Kronik adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Hingga kini patogenesis
penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas.
2nd. ETIOLOGI
Keluhan yang khas untuk serangan kolestitis adalah kolik perut disebelah kanan atas
atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.
Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang
ringan sampai dengan gangren atau perfarasi kandung empedu.
Pada kepustakaan berat sering dilaporkan bahwa pasien kolestitis akut umumnya
wanita, gemuk, berusia diatas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana L.A,dkk, hal ini sering tidak
sesuai untuk pasien-pasien dinegara kita.
Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal (tanda murphy).
Pada pemeriksaan fisis didapati tanda-tanda lokal seperti nyeri tekan dan defans
muskular, kadang-kadang empedu yang membengkak dan diselubungi omentum dapat
teraba, nyeri tekan disertai tanda-tanda pentanitis lokal. Tanda murphy terjadi bila inspirasi
maksimal terhenti pada penekanan perut ke atas.
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolestitis. Hanya pada 15
% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada
obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolestitis akut. USG sebaiknya
dikerjakan secara rutin karena sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk
penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai
kepekatan dan ketepatan USG mencapai 90 -95 %.
Sxintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau GGN TCG
iminodiacetic mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi tekhnik ini tidak mudah
terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau sentigrafi menyokong kolesistitis.
Intervensi:
- Observasi dan catat lokasi dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)
- Catat respon terhadap nyeri
- Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
- Kontrol suhu lingkungan
- Dorong menggunakan tekhnik relaksasi
Kolaborasi:
Intervensi:
Kolaborasi:
Intervensi:
Kolaborasi:
Intervensi:
Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku
Kedokteran. EGC
Mansjoer. Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rakhmi; Wahyu, dkk, 1999.” Kapita Selekta
Kedokteran”.Media Aescupalius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
LAPORAN PENDAHULUAN
KOLESTITIS KRONIK
1st. PENGERTIAN
Kolestitis Kronik adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Hingga kini patogenesis
penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas.
2nd. ETIOLOGI
Keluhan yang khas untuk serangan kolestitis adalah kolik perut disebelah kanan atas
atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.
Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang
ringan sampai dengan gangren atau perfarasi kandung empedu.
Pada kepustakaan berat sering dilaporkan bahwa pasien kolestitis akut umumnya
wanita, gemuk, berusia diatas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana L.A,dkk, hal ini sering tidak
sesuai untuk pasien-pasien dinegara kita.
Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal (tanda murphy).
Pada pemeriksaan fisis didapati tanda-tanda lokal seperti nyeri tekan dan defans
muskular, kadang-kadang empedu yang membengkak dan diselubungi omentum dapat
teraba, nyeri tekan disertai tanda-tanda pentanitis lokal. Tanda murphy terjadi bila inspirasi
maksimal terhenti pada penekanan perut ke atas.
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolestitis. Hanya pada 15
% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada
obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolestitis akut. USG sebaiknya
dikerjakan secara rutin karena sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk
penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai
kepekatan dan ketepatan USG mencapai 90 -95 %.
Sxintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau GGN TCG
iminodiacetic mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi tekhnik ini tidak mudah
terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau sentigrafi menyokong kolesistitis.
Intervensi:
- Observasi dan catat lokasi dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)
- Catat respon terhadap nyeri
- Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
- Kontrol suhu lingkungan
- Dorong menggunakan tekhnik relaksasi
Kolaborasi:
Intervensi:
Kolaborasi:
Intervensi:
Intervensi:
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku
Kedokteran. EGC
Mansjoer. Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rakhmi; Wahyu, dkk, 1999.” Kapita Selekta
Kedokteran”.Media Aescupalius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
LAPORAN PENDAHULUAN
Dengue Haemorrhagic Fever atau yang sering disebut DHF adalah penyakit demam
akut yang disebabkan oleh virus Dengue yang dapat ditandai dengan adanya manifestasi
perdarahan dari tendensi untuk terjadinya Dengue Syok Syndrome (DSS) dan kematian.
2nd. ETIOLOGI
Virus Dengue termasuk golongan ARBO virus B. virus ini masuk pada tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypthi (betina). Virus dengue dibedakan atas
empat serotive, yaitu:
- Virus Den 1
- Virus Den 2
- Virus Den 3
- Virus Den 4
Keempat serotive virus tersebut ada di Indonesia. Dengue 3 merupakan serotive yang
paling banyak beredar.
3rd. PATOFISIOLOGI
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk kedalam tubuh penderita adalah
viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti hepatomegali, pembesaran getah
bening dan pembesaran limpa (splenomegali).
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa
inkubasi antara 13-15 hari.
Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan
yang dapat berupa:
- Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk , pilek, sakit waktu menelan
- Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, tidak nafsu makan (anoreksia), diare,
konstipasi.
- Keluhan sistem tubuh lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi (Break
Bone Fever), nyeri ulu hati, kemerahan pada kulit, dll.
Pada penderita Dengue Haemorrhagic Fever sering dijumpai pembesaran hati
(hepatomegali), limpa, dan kelenjar getah bening yang akan kembali normal pada masa
penyembuhan.
2. Pemeriksaan Serologi
Untuk pengukuran liter anti body pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test
(HI Test) atau uji pengikatan komplemen dengan mengambil darah vena 2-5 ml
3. Pemeriksaan Laboratorium
Intervensi:
Intervensi:
- Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah yang dialami pasien
- Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur, tim dan hidangkan saat masih
hangat
- Menjelaskan manfaat makanan /nutrisi bagi pasien terutama saat pasien sakit.
3. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan mekanisme patologis (proses penyakit)
Intervensi:
- Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan memberi rentang nyeri (0-4)
- Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri seperti budaya,
pendidikan, dll.
4. Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan pemasangan infus.
Intervensi:
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito L.J, 1999. “Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif”.Rencana Asuhan dan
Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 Jakarta; EGC.
Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku
Kedokteran. EGC
Harsono, 1996.” Kapita Selekta Neurologi”. Jilid 1. Edisi 2. Yokyakarta; Fakultas Kedokteran.
UGM.
Mansjoer. Arif, dkk, 1982.” Kapita Selekta Kedokteran”. Jilid I. Edisi 3. Jakarta; FKUI
LAPORAN PENDAHULUAN
DIARE
1. Pengertian.
Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu
kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.
2. Etiologi.
a) Faktor Infeksi :
● Protozoa.
● Gangguan metabolik atau malabsorbsi; penyakit celiac, Cystic Fibrosis pada pankreas.
● Obat-obatan; Antibiotik.
● Obstruksi usus.
c) Penyakit infeksi; Otitis Media, infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran kemih.
3. Patofisiologi.
● Meningkatnya motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan akibat dari
gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit yang berlebihan.
● Cairan, sodium, potasium dan bikarbonat berpindah dari rongga ekstraselular ke dalam
tinja, sehingga mengakibatkan dehidrasi kekurangan elektrolit, dan dapat terjadi asidosis
metabolik.
● Transport aktif akibat rangsangan toksin bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus.
Sel dalam mukosa intestinal mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan
elektrolit. Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal, perubahan
kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.
● Dehidrasi ringan;
berat badan menurun
3% - 5%, dengan
volume cairan yang
hilang kurang dari 50
ml/kg.
● Dehidrasi sedang;
berat badan menurun
6% - 9%, dengan
volume cairan yang hilang 50 – 90
ml/kg.
● Dehidrasi berat; berat badan menurun lebih dari 10%, dengan volume cairan yang hilang
sama dengan atau lebih dari 100 ml/kg.
Penilaian A B C
Lihat; Baik, sadar. Gelisah Kesadaran turun dan atau tidak
sadar.
Keadaan umum. Norma. Cekung.
Sangat cekung dan kering.
Mata. Ada. Tidak ada.
Air mata. Basah. Kering. Tidak ada.
4. Komplikasi.
● Dehidrasi.
● Hipokalemia.
● Hipokalsemia.
● Hiponatremia.
● Syok hipovolemik.
● Asidosis.
5. Manifestasi Klinis.
● Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer.
● Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit jelek ( elastisitas kulit menurun ), ubun-
ubun dan mata cekung, membran mukosa kering.
● Keram abdominal.
● Demam.
● Anoreksia.
● Lemah.
● Pucat.
6. Pemeriksaan Diagnostik.
● Kultur tinja.
7. Penatalaksanaan Terapeutik.
● Pada bayi, pemberian ASI diteruskan jika penyebab bukan dari ASI.
8. Penatalaksanaan Perawatan.
a) Pengkajian.
● Kaji status hidrasi; ubun-ubun, turgor kulit, mata, membran mukosa mulut.
● Kaji tinja; jumlah, warna, bau, konsistensi dan waktu buang air besar.
b) Diagnosa Keperawatan.
1) Kurangnya volume cairan B.D seringnya buang air besar dan encer.
3) Resiko infeksi pada orang lain B.D terinfeksi kuman diare atau kurangnya pengetahuan
tentang pencegahan penyebaran penyakit.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh B.D menurunnya intake ( pemasukan )
dan menurunnya absorbsi makanan dan cairan.
6) Cemas takut pada anak / orang tua B.D hopitalisasi dan kondisi sakit.
c) Rencana Keperawatan.
1) Keseimbangan cairan dapat dipertahankan dalam batas normal yang ditandai dengan
pengeluaran urine sesuai, pengisian kembali kapiler ( capillary refill ) kurang dari 2
detik, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, dan berat badan tidak
menunjukan penurunan.
2) Anak tidak menunjukan gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit utuh dan
tidak lecet.
4) Anak toleran dengan diit yang sesuai yang ditandai dengan berat badan dalam batas
normal, dan tidak terjadi kekambuhan diare.
6) Anak dan orang tua menunjukan rasa cemas atau takut berkurang yang ditandai dengan
orang tua aktif merawat anak, bertanya dengan perawat atau dokter tentang kondisi
dan klarifikasi, dan anak tidak menangis.
d) Implementasi Keperawatan.
● Kaji status hidrasi; ubun-ubun, mata, turgor kulit dan membran mukosa.
● Kaji pengeluaran urine; gravitasi urine atau berat jenis urine (1,005 – 1,020) atau
sesuai dengan usia pengeluaran urine 1 – 2 ml/kg perjam.
● Anak diistirahatkan.
● Gunakan kapas lembab dan sabun bayi ( atau pH normal ) untuk membersihkan
anus setiap buang air besar.
● Ajarkan cara mencuci tangan yang benar pada orang tua dan pengunjung.
● Segera bersihkan dan angkat bekas buang air besar dan tempatkan pada tempat
khusus.
● Bila bayi tidak toleran dengan ASI berikan formula yang rendah laktosa.
● Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya cuci tangan untuk menghindari
kontaminasi.
● Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan takut dan cemas; dengarkan
keluhan orang tua dan bersikap empati, dan sentuhan terapeutik.
● Jelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan pada anak dan orang tua.
● Ajarkan untuk mencegah penyakit diare dan penularan; ajarkan tentang standar
pencegahan.
● Ajarkan mengenal tanda-tanda dehidrasi, ubun-ubun dan mata cekung, turgor kulit
tidak elastis, membran mukosa kering.
Konsep dasar
DEMAMTYPHOID
A. PENGERTIAN
Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran cerna, dengan gejala
demam yamh lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
B. ETIOLOGI
Etiologi demam typhoid adalah Salmonella Typhii, basil gram negatif yang bergerak dengan
bulu getar dan tidak berspora.
C. PATOFISIOLOGI
Kuman S.Typhi
Mulut
Anoreksia Lambung
sebagian mati
Usus halus
Jaringan Limfoid
Plaque peyer
Bagian
ujung usus halus ileum terminalis komplikasi perdarahan
Ductus troracicus
aliran darah bakterimia primer
Mencapai hati
Demam disebabkan karena S. Typhii dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan
zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Gambaran klinik demam typoid pada anak lebih ringan dari ada orang dewasa. Masa tunas
10 – 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu,nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang
menyusul gambaran klinik yang biasa ditemukan.
1. Demam
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris rimeten dan suhu
tidak tinggi sekali.
Pada mulut terdapat nafas tidak sedap, bibir kering, pecah-pecah. Tidah tertutup selaput
kotor (coated tongue). Padaabdomen dapat ditemukan nyeri pada perabaan. Biasanya
sering terjadi konstipasi tetapi juga dapatdiare atau normal.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran menurun walaupun ida berapa daam yaitu apatis sampai samnolen.
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit,
nilai normal leukosit adalah 7000 – 8000 / mm3 . Mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan. Pada kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah
tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis,
walaupun tidak ada komplikasi dan infeksi sekunder.
Biakan empedu basil salmonella dapat ditemukan dalam darah passien dalam minggu
pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam feces dan urin, dan mungkin
akan tetap positif dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari
contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis. Sedangakan pemeriksaan negatif 2
kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwapasien telah benar sembuh dan
tidak menjadi pambawa kuman (carrier).
3. Widal test
Widal test adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi ( aglutinin ).
Aghlutinin yang spesifik terhadap salmonella tyerdapat dalam serum penderita tifoid dan
juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan orang yang pernah di vaksinasi
tifoid. jadi maksud dari test widal adalah untuk mentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita yang disangka menderita tifoid.
≈ Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh kuman )
≈ Aglutinin Vi, berasal dari rangsangan antigen Vi ( berasal dari simpai kuman ).
Untuk membuat diagnosa yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. Titer
yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan peningkatan yang progresif
digunakan untuk membuat diagnosis.
Pada minggu ketiga, urine dapat mengandung kuman salmonella, sedang pada faeces,
kuman didapatkan pada minggu kedua dan ketiga. Biakan tersebut memberikan hasil
positif pada 40 % kasus dalam stadium awal demam tifoid, setelah septikemia sekunder.
F. PENATALAKSANAAN
Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi demam typoid harus di anggap dan
perlakukan langsung sebagai pasien demam typoid.
Penatalaksanaan yang mutlak pada pasien demam tifoid mencakup tiga bagian, yaitu :
1). Perawatan
Penderita tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
a. Klien tg sudah pasti menderita tifoid lewat pemeriksaan laboratorium harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari setelah bebas demam atau kurang lebih 14 hari.
Maksud dari tirah baring ini adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus. Mobilosasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita.
b. Klien dengan kesadaran menurun, posisinya harus diubah-ubah sedikitnya setiap 2-3
jam untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
c. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, suhu tergantung dari keadaan klien. Panas
tubuh klien diturunkan dengan kompres dingin.
d. Kebersihan mulut sangat penting untuk menghindari terjadinya stomatitis dan juga
memberikan rasa nyaman.
2). Diit
Klien tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi biasa sesuai
dengan kesembuhan klien. Pemberian diit ini dimaksudkan untuk menghindari
komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Hindarkan makanan yang mengandung serat (
selulosa ) tinggi.
3). Obat-obatan
Obat-obatan yang biasa diberiakn pada klien tifoid dalah obat anti mikroba seperti :
a. Kloramfenikol
Di Indonesia, obat ini masih merupakan pilihan. Dosis untuk orang dewasa sampai
dengan 4 kali 500 mg sehari baik oral atau intra vena,pada anak-anak diberikan dalam
dosis 4 x 100 mg / kg BB / hari ( maksimum 2 gram perhari ) oral atau intra vena
b. Tiamfenikol
c. Kotrimoksazol
Dalm hal kemampuan menurunkan demam pada tifoid, efektivitas ampisillin dan
amoksisilin masih lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi
penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang
dianjurkan sekitar 75 – 150 mg / kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari
bebas demam. Dengan obat ini demam rata-rata turun setelah 7 – 9 hari.
G. KOMPLIKASI
1. komplikasi intestinal
a. perdarahan usus
b. perforasi ileus
c. ileus paralitik
2. komplikasi ekstra-intestinal
a. komplikasi kardiovaskuler
b. komplikasi darah
c. komplikasiparu
e. komplikasi ginjal
f. komplikasi tulang
g. komplikasi neuropsikiatrik
H. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya baik asalkan saja berobat dengan cepat dan tepat.angka mortalitas
pada anak sekitar 2.6 %, pada orang dewasa 7.4 %, rata-rata sekitar 5.7 %. Prognosis bisa
jadi memburuk bila disertai keadaan-keadaan dibawah ini :
Kesadarn yang sangat atau terus menurun ( sopor, koma atau delirium )
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
Demam tinggi sekitar 3 minggu, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri kepala.
Tanyakan kepada keluarga sejak kapan klien mulai demam dan merasakan keluhan-
keluhan seperti diatas, tindakan apa yang sudah dilakukan keluarga untuk
menanggulanginya.
f. Riwayat psikososial
Tanyakan tentang kebiasaan klien dan keluarga sehari-hari baik tentang kebersihan diri
ataupun lingkungan, kebiasaan makan, tingkat pengetahuan keluarga tentang
kesehatan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Tingkat kesadaran, keadaan umum seperti berkeringat banyak, demam, mual muntah,
lidaaaah kotor, gangguan eliminasi ( diare / obstipasi ).
b. Palpasi
Untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh, turgor kulit dan meraba apakah ada
pembesaran hati dan limpa.
c. Perkusi
d. Auskultasi
Untuk mengetahui adanya bunyi timpani apabila terdapat kembung ( distensi ) pada
abdomen.
3. Studi diagnostik
Pada widal test didapatkan peningkatan titer aglutinin O dan H sejak minggu kedua dan
tetap positif selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Titer reaksi wadal diatas
1/200 menyokong diagnosis.
Pada pemeriksaan hematologi didapatkan anemi ringan, LED meningkat, SGOT dan
SGPT serta alakali pospatase meningkat.
Pemeriksaan feces dan urine ditemukan adanya salmonella, begitu pula pada
pemeriksaan sum-sum tulang dan cairan duodenum.
Tujuan :
Intervensi :
Kompres dingin pada daerah dahi, ketiak dan dada bila panas.
Rasionalisasi :
Evaluasi :
II. Nutrisi kurang dari kebutuhan sehubungan dengan penurunan keinginan untuk makan.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, keadaan umum membaik dan tidak terjadi
penurunan berat badan.
Intervensi :
c. Anjurkan kepada ibu untuk memberi makan dalam porsi kecil tapi sering.
Evaluasi :
III. Intoleran aktivitas sehubungan dengan kelemahan fisik dan bed rest total.
Tujuan :
c. Anjurkan dan motivasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas ADL klien.
Evaluasi :
Daftar pustaka:
HIPERTIROID
1. Definisi.
2. Patofisiologi.
Beberapa penderita penyakit psikiatris mungkin mendapat tiroksin atau triyodotironin dalam
dosis besar sehingga mengakibatkan tirotoksikosis.
1) Penyakit graves.
Penyakit graves biasanya terjadi pada usia sekitar 30 – 40 th, dan telah sering ditemukan
kebanyakan lebih banyak wanita dari pada pria. Terdapat predisposisi familiat terhadap penyakit
ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati auto imun lainnya. Pada penyakit
graves terdapat 2 kelompok gambaran utama, tiroidal dan ekstra tiroidal dan keduanya mungkin
tidak nampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme
berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.
4. Pemeriksaan Penunjang.
Diagnosis laboratorium dari hiper dan hipotiroid dapat dilakukan dengan mengukur
kadar T3 dan T4 dalam serum. Ambilan ( uptake ) iodium radio aktif juga merupakan tes
tiroid berguna, tes-tes ini telah menggantikan pemeriksaan yodium pengikat protein dan
tingkat metabolik basal ( BMR ), FTI atau indeks tiroksin bebas ( Free Thyroxine Index )
yang diperoleh dari rasio T3 dan T4 total dalam serum, umumnya merupakan tes yang untuk
penapisan ( screening ) LATS ( Long Acting Thyroid Substance = Substansi Tiroid Berefek
Lama ). TSH dan TRH dapat diukur dengan rasio imunolisai. Anti bodi khusus terhadap
tiroglobulin yang tampak pada kelainan imun kelenjar tiroid dapat pula dipakai untuk
membantu dalam mendiagnosis berbagai bentuk tiroiditis.
5. Diagnosa Keperawatan.
1) Penurunan curah jantung S.D penurunan waktu pengisian diastolik sebagai akibat
peningkatan frekuensi jantung.
● Observasi setiap 4 jam nadi apikal, tekanan darah dan suhu tubuh.
● Anjurkan pada klien agar segera melaporkan pada perawat bila mengalami nyeri dada
3) Gangguan persepsi sensoris ( penglihatan ) S.D gangguan transmisi infus sensorik sebagai
akibat optalmotik.
● Jika klien tidak dapat menutup mata rapat pada saat tidur gunakan plester non alergi.
6. Daftar Pustaka.
Ballenger, John Jacob. 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid
1 Edisi 13.Jakarta; Binarupa Aksara.
Price, Sylvia A & Wilson Lorraine M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4. Jakarta; Buku Kedokteran EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
GASTRITIS
1. Pengertian
Gastritis bersal dari dua kata yaitu gaster yang berarti lambung, dan it is berarti
peradangan atau pembengkakan. Gastritis adalah suatu inflamasi yang terjadi didaerah
mukosa lambung yang disebabkan oleh kuman-kuman, diman bisa terjadi secara akut dan
kronis.
a. Gastritis akut
Inflamasi akut dari dinding lambung yang biasannya terbatas pada bagian mukosa
saja. Terjaddi atas gastritis atas, gastritis ekssogen da n endogen akut.
b. Gastritis kronis
Inflamasi kronis pada dinding lambung yang bisa bagia n mukosa saja atas ssudah
penetrasi kelapisan sub mukosa lambung yang kaya akan pembuluh darah. Gastritis
kronis terjadi kare na gastritis akut yang tidak tertangani.
2. Etiologi
3. Patofisiologi
Pada gaster yang terjadi peradangan pada lapisan mokusa terjadi kemeraha , edema dan
meradang, biasanya peradangan ini terbatas pada mukosanya saja. Apabilaa sering
mengkonsumsi bahan-bahan yang bersifat iritasi, maka dapat menyebabkan perdarahan
mukosa lambung juga dapat menimbulkan kerak yang disertai reaksi inflamasi. Jika hal
ini terus berlanjut, maka akn terjadi peningkatan sekresi asam lambung serta dapat
meningkatkan jumlah asam lambung.Keadaan demikian dapat menyebabkan iritasi yang
lebih parah pada mukosa lambung akibat hiper sekresi dari asam lambung.
4. Manifestasi Klinik
a. Gastritis akut
Rasa nyeri pada epigastrium yang mungkin ditambah mual. Nyeri dapat timbul kembali bila
perut kosong. Saat nyeri penderita berkeringat, gelisah, sakit perut dan mungkin disertai
peningkatan suhu tubuh, tachicardi, sianosis, persaan seperti terbakar pada epigastrium, kejng-
kejng dan lemah.
b. gastritis kronis
tanda dan gejala hanpir sam dengan gastrritis akut, hanya disertai dengan penurunan
berat badan, nyeri dada, enemia nyeri, seperti ulkus peptikum dan dapat terjdi
aklohidrasi, kadar gastrium serum tinggi.
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto lambung
2. Foto Rontgen
3. Gastrokopi
4. Endoskopi
5. Biopsi Mukosa
6. Analisa lambung
7. Penatalaksanaan Medis
– Terapi infus; D5 %
Beri antasit
Beri anticholirgik
Observasi TTV
8. Daftar Pustaka
Poskan Komentar
Lencana Facebook
Profil | Buat Lencana Anda
bLog nunu
► 2010 (14)
► 2009 (23)
▼ 2008 (71)
o ► Desember (1)
o ► November (4)
o ► Oktober (15)
o ▼ September (30)
► Sep 25 (2)
► Sep 24 (1)
► Sep 19 (1)
▼ Sep 18 (18)
aLet,, ka eLLa,, nu2
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Penyakit Menular dan Tidak Menular
penyakit kolera (cholera)
Penyakit Tuberkulosis (TBC)
Penyakit Hepatitis
penyakit AIDS
penyakit Pneumonia
Penyakit Cacar a 'Herpes'
Penyakit kolera (cholera)
penyakit Meningitis
Kanker Payudara
Penyakit kanker kulit
Penyakit darah tinggi atau Hipertensi
penyakit Leukemia (kanker darah)
penyakit darah rendah (hipotensi)
penyakit gagal ginjal
sistem pencernaan
► Sep 07 (8)
o ► Juli (5)
o ► Juni (16)
abouT nu2
www.friendster.com