Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Asam asetat
Nama IUPAC[sembunyikan]
Asam asetat[1][2]
Nama sistematis[sembunyikan]
Asam etanoat[3]
Nama lain[sembunyikan]
Identifikasi
Singkatan AcOH
PubChem 176
DrugBank DB03166
KEGG D00010
MeSH Acetic+acid
ChEBI 15366
ChemSpider 171
Kode ATC
SMILES CC(O)=O
3DMet B00009
Sifat
log P -0,322
Termokimia
Bahaya
Klasifikasi EU
Indeks EU 607-002-00-6
NFPA 704
2
3
0
Senyawa terkait
Asetamida
Anhidrida asetat
Asetonitril
Asetil klorida
Etanol
Etil asetat
Kalium asetat
Natrium asetat
Asam tioasetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka[10] adalah senyawa kimia asam organik yang
dikenal sebagai pemberi rasa asam danaroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus
empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3–COOH,CH3COOH,
atau CH3CO2H. Asam asetat pekat (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak
berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Cuka mengandung 3–9% volume asam asetat,
menjadikannya asam asetat adalah komponen utama cuka selain air. Asam asetat berasa asam
dan berbau menyengat. Selain diproduksi untuk cuka konsumsi rumah tangga, asam asetat juga
diproduksi sebagai prekursor untuk polivinil asetat dan selulosa asetat. Meskipun digolongkan
sebagai asam lemah, asam asetat pekat bersifat korosif dan dapat menyerang kulit.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format.
Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi
sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO–. Asam asetat merupakanpereaksi kimia dan bahan
baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena
tereftalat,selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam
industri makanan, asam asetat, dengan kode aditif makanan E260, digunakan sebagai
pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagaipelunak
air. Sebagai aditif makanan, asam asetat disetujui penggunaannya di banyak negara, termasuk
Kanada[11], Uni Eropa[12], Amerika Serikat[13], Australia dan Selandia Baru[14].
Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1,5 juta ton
per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia.[15] Sebagai
pereaksi kimia, sumber hayati cukup menarik, tetapi tidak kompetitif. Cuka adalah asam asetat
encer, seringkali diproduksi melalui fermentasi dan oksidasi lanjutan etanol.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Tata Nama
2Sejarah
3Sifat-sifat kimia
3.1Keasaman
3.2Struktur
3.3Sifat pelarut
4Reaksi Kimia
4.2Kimia organik
4.3Deteksi
4.4Turunan lain
5Biokimia
6Pembuatan
6.1Karbonilasi metanol
6.2Oksidasi asetaldehida
6.3Oksidasi etilena
6.4Fermentasi oksidatif
6.5Fermentasi anaerobik
7Penggunaan
7.2Produksi ester
7.3Anhidrida asetat
7.4Sebagai pelarut
7.5Manfaat medis
7.6Cuka
9Lihat pula
10Catatan kaki
11Referensi
12Pranala luar
Asam asetat glasial merupakan nama trivial yang merujuk pada asam asetat yang bebas-air
(anhidrat). Disebut demikian karena asam asetat bebas-air membentuk kristal mirip es pada
16,6 °C (61,9 °F), pada suhu sedikit di bawah suhu ruang.[16]
Singkatan yang paling sering digunakan, dan merupakat singkatan resmi bagi asam asetat
adalah AcOH atau HOAc di mana Acberarti gugus asetil, CH3–C(=O)–. Asetat (CH3COO−)
disingkat sebagai AcO−. Ac jangan disalahartikan dengan lambang unsuraktinium (Ac).[17] Untuk
mendapatkan gambaran struktur yang lebih baik, asam asetat seringkali ditulis sebagai CH3–
C(O)OH, CH3–C(=O)OH, CH3COOH, dan CH3CO2H. Dalam konteks reaksi asam-basa,
singatan HAc sering digunakan,[18] dengan Ac merupakan singkatan dari asetat. Asetat
adalah ion yang dihasilkan dari lepasnya H+ dari asam asetat. Nama asetat dapat pula merujuk
padagaram yang mengandung anion ini, atau suatu ester dari asam asetat.[19]
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan oleh berbagai bakteriapenghasil
asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atauanggur.
Penggunaan asam asetat sebagai pereaksi kimia juga sudah dimulai sejak lama. Pada abat ke-3
Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno Theophrastos menjelaskan bahwa cuka bereaksi
dengan logam-logam membentuk berbagai zat warna, misalnya timbal putih (timbal karbonat),
dan verdigris, yaitu suatu zat hijau campuran dari garam-garam tembaga dan
mengandung tembaga (II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan sapa, sebuah sirup yang amat
manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah asam. Sapa mengandung timbal asetat, suatu
zat manis yang disebut juga gula timbal dan gula Saturnus. Akhirnya hal ini berlanjut kepada
peracunan dengan timbal yang dilakukan oleh para pejabat Romawi.[20]
Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam asetat pekat dari cuka
melalui distilasi. Pada masa renaisans, asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi keringlogam
asetat. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur tersebut,
dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat
glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air, sehingga banyak
ahli kimia yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah dua zat yang berbeda.
Ahli kimia Prancis Pierre Adet akhirnya membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya
sama.[20][21]
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann Kolbe mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk
pertama kalinya. Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon
tetraklorida, diikuti dengan pirolisis menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air
menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi elektrolisis menjadi asam asetat.[22]
Sejak 1910 kebanyakan asam asetat dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari
distilasi kayu. Cairan ini direaksikan dengan kalsium hidroksida menghasilkan kalsium
asetat yang kemudian diasamkan dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat. Pada saat itu,
Jerman memproduksi 10.000 ton asam asetat glasial, sekitar 30% dari yang digunakan untuk
produksi zat warna indigo.[20][23]
Oleh karena baik metanol dan karbon monoksida merupakan bahan baku komoditas umum,
karbonilasi metanol merupakan daya tarik tersendiri sebagai prekursor asam asetat. Henri
Dreyfus di British Celanese mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol di awal
tahun 1925.[24] Namun, kurangnya bahan praktis yang diperlukan dapat menampung campuran
reaksi korosif padatekanan tinggi (200 atm atau lebih) mematahkan komersialisasi proses ini.
Proses karbonilasi metanol komersial pertama, menggunakan kobalt sebagai katalis,
dikembangkan oleh perusahaan kimia Jerman BASF pada tahun 1963. Pada tahun 1968, katalis
berbasis rodium (cis−[Rh(CO)2I2]−) ditemukan yang dapat beroperasi secara efisien pada
tekanan rendah dengan hampir tanpa produk sampingan. Perusahaan kimia Amerika
Serikat Monsanto Company membangun pabrik pertamanya menggunakan katalis ini pada
tahun 1970, dan karbonilasi metanol dengan katalis rodium menjadi metode dominan pada
produksi asam asetat (lihat proses Monsanto). Pada akhir 1990an, perusahaan kimia BP
Chemicals mengkomersialkan katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]−), dengan prekursor iridium[25] untuk
efisiensi yang lebih besar. Proses Cativa berkatalis iridium lebih ramah lingkungan dan lebih
efisien[26] dan telah menggantikan proses Monsanto.
Oleh karena itu, asam asetat mempunyai sifat asam. Asam asetat adalah asam
lemah monoprotik dengan nilai pKa=4,76.[27] Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO−). Basa
konjugatnya adalah asetat (CH3COO−). Sebuah larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama
dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2,4; menandakan bahwa sekitar 0,4%
molekul asam asetat terdisosiasi.[n 1]
Dimer siklis dari asam asetat, garis putus-putus melambangkan ikatan hidrogen.
Sifat pelarut[sunting | sunting sumber]
Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat
memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2; sehingga ia bisa melarutkan
baik senyawa polar seperi garam anorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak
dan unsur-unsurseperti sulfur dan iodin. Asam asetat bercampur dengan mudah
dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana. Dengan alkana
yang lebih tinggi (dimulai dari oktana), asam asetat tidak lagi bercampur sempurna, dan
kebercampurannya terus menurun berbanding lurus dengan kenaikan rantai n-alkana.[32] Sifat
kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas
dalam industri kimia, misalnya sebagai pelarut dalam produksi dimetil tereftalat.[15]
Karena aluminium membentuk suatu film aluminium oksida yang tahan asam sehingga
melindungi permukaannya, tangki aluminium digunakan untuk menampung dan mengangkut
asam asetat. Asetat logam dapat juga diperoleh dari asam asetat dan basa yang sesuai, seperti
dalam reaksi populer "baking soda + cuka":
Asam asetat mengalami reaksi-reaksi asam karboksilat, misalnya menghasilkan garam asetat
bila bereaksi dengan alkali, menghasilkan logam etanoat bila bereaksi dengan logam, dan
menghasilkan logam etanoat, air dan karbondioksida bila bereaksi dengan garam karbonat atau
bikarbonat. Dengan basa kuat (misalnya pereaksi organolitium), asam asetat mengalami
deprotonasi menghasilkan LiCH2CO2Li. Reaksi organik yang paling terkenal dari asam asetat
adalah pembentukan etanol melalui reduksi, pembentukan turunan asam
karboksilat seperti asetil klorida atau anhidrida asetat melalui substitusi nukleofilik. Anhidrida
asetat dibentuk melalui kondensasi dua molekul asam asetat. Ester dari asam asetat dapat
diperoleh melalui reaksiesterifikasi Fischer, dan juga pembentukan amida. Pada suhu 440 °C,
asam asetat terurai menjadi metana dan karbon dioksida, atau ketena dan air.
Natrium asetat, digunakan dalam industri tekstil dan sebagai pengawet makanan (E262).
Paladium(II) asetat, digunakan sebagai katalis untuk reaksi penjodohan organik seperti reaksi
Heck.
Asam kloroasetat (monochloroacetic acid, MCA), asam dikloroasetat (ditengarai sebagai produk
sampingan), dan asam trikloroasetat. MCA digunakan dalam fabrikasipewarna indigo.
Jumlah asam asetat yang digunakan dalam aplikasi lain ini (tidak termasuk TPA) meliputi 5–10%
dari penggunaan asam asetat dunia. Namun aplikasi-aplikasi ini diperkirakan tidak tumbuh
sepesat produksi TPA.[35]
Asam asetat diproduksi secara sintetis maupun secara alami melalui fermentasi bakteri. Sekitar
75% asam asetat yang dibuat untuk digunakan dalam industri kimia diproduksi
melalui karbonilasi metanol, yang dijelaskan di bawah.[15] Sisanya dihasilkan melalui metode-
metode alternatif. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami,
namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka
haruslah berasal dari proses biologis.[38] Sepanjang tahun 2003–2005, produksi total asam
asetat dunia diperkirakan 5 Mt/a (juta ton per tahun), setengahnya diproduksi di Amerika
Serikat. Eropa memproduksi sekitar 1 Mt/a dan terus menurun, sedangkan Jepang memproduksi
sekitar 0,7 Mt/a. Sebanyak 1,51 Mt/a dihasilkan melalui daur ulang, sehingga total pasar asam
asetat mencapai 6,51 Mt/a.[35][39] Sejak saat itu produksi global telah meningkat menjadi 10,7
Mt/a (in 2010), namun selanjutnya, diperkirakan terdapat perlambatan kenaikan produksi.[40] Dua
perusahan produsen asam asetat terbesar adalah Celanese dan BP Chemicals. Produsen besar
lainnya adalah Millenium Chemicals, Sterling Chemicals, Samsung, Eastman, dan Svensk
Etanolkemi.[41]
Dua proses terkait dengan karbonilasi metanol adalah: proses Monsanto dengan katalis rodium,
dan proses Cativa dengan katalis iridium. Proses Cativa lebih ramah lingkungandan lebih
efisien[26] dan telah banyak menggantikan proses sebelumnya. Jumlah katalisis air yang
digunakan dalam kedua proses cukup banyak, tetapi proses Cativa memerlukan lebih sedikit air,
sehingga reaksi pergeseran air-gas dapat ditekan dan produk sampingan yang dihasilkan juga
lebih sedikit.
Dengan mengubah kondisi reaksi, anhidrida asetat dapat juga diproduksi pada kilang yang sama
menggunakan katalis rodium.[42]
Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi
dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan
beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksida yang
selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi di bawah ini.
Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai
suhu setinggi mungkin namun butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya sekitar
150 °C (302 °F) dan 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam
format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini juga bernilai
komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan lebih banyak
produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan
biaya lebih banyak lagi.[43]
Melalui kondisi dan katalis yang sama seperti yang digunakan dalam oksidasi butana, oksigen di
udara yang menghasilkan asam asetat dapat mengoksidasi asetaldehida.[43]
Larutan alkohol encer diinokulasi dengan Acetobacter dan disimpan di tempat yang hangat dan
cukup udara akan menjadi cuka setelah beberapa bulan. Metode pembuatan cuka industri
mempercepat proses ini dengan meningkatkan pasokan oksigen kepada bakteri.[44]
Batch pertama dari cuka yang dihasilkan oleh fermentasi mungkin mengandung kesalahan
dalam proses pembuatan anggur. Jika cendawan difermentasi pada suhu terlalu tinggi,
acetobacter akan merusak ragi alami pada buah anggur. Karena permintaan cuka untuk
keperluan memasak, kesehatan, dan sanitasi meningkat, pengrajin anggur cepat belajar untuk
menggunakan bahan-bahan organik lain untuk menghasilkan cuka pada bulan-bulan musim
panas sebelum tersedia buah anggur matang dan siap untuk diproses menjadi anggur. Metode
ini lambat, namun, dan tidak selalu berhasil, sebagian pengrajin anggur tidak memahami
proses.[45]
Salah satu proses komersial modern pertama adalah "metode cepat" atau "metode Jerman",
pertama kali dipraktikkan di Jerman pada tahun 1823. Dalam proses ini, fermentasi berlangsung
dalam suatu menara yang dikemas dengan serutan kayu atau arang. Umpan yang mengandung
alkohol diteteskan di atas menara, dan udara segar dipasok dari bawah baik secara alami
atau konveksi. Peningkatan pasokan udara dalam proses ini mempersingkat waktu produksi
cuka dari bulan ke minggu.[46]
Saat ini, sebagian besar cuka dibuat dalam tangki budidaya terendam, pertama kali dijelaskan
pada 1949 oleh Otto Hromatka dan Heinrich Ebner.[47] Dalam metode ini, alkohol difermentasi
menjadi cuka dalam tangki sambil terus diaduk, dan oksigen disuplai dengan menggelegakkan
udara melalui larutan. Dengan menggunakan aplikasi modern dari metode ini, cuka dengan 15%
asam asetat dapat dibuat hanya dalam waktu 24 jam dalam proses batch, bahkan 20% dalam 60
jam proses kontinu.[45]
Kemampuan Clostridium ini untuk memanfaatkan gula secara langsung, atau untuk
menghasilkan asam asetat dari bahan yang lebih murah, berarti bahwa bakteri ini berpotensi
menghasilkan asam asetat lebih efisien daripada oksidator etanol seperti Acetobacter. Namun,
bakteri Clostridium lebih peka terhadap asam daripada Acetobacter. Bahkan
strain Clostridium yang paling toleran terhadap asam dapat menghasilkan cuka dengan
persentase asam asetat yang sangat sedikit, dibandingkan dengan strain Acetobacteryang dapat
menghasilkan cuka hingga 20% asam asetat. Saat ini, masih lebih efisien memproduksi cuka
menggunakan Acetobacter daripada menggunakan Clostridium dan kemudian dipekatkan.
Akibatnya, meskipun bakteri asetogenik telah dikenal sejak tahun 1940, penggunaan industri
mereka tetap terbatas pada beberapa aplikasi ceruk.[48]
Vinil asetat dapat dipolimerisasi menjadi polivinil asetat atau polimer lain, yang merupakan
komponen dalam cat dan perekat.[49]
Kebanyakan ester asetat, yang dihasilkan dari asetaldehida menggunakan reaksi Tishchenko.
Selain itu, eter asetat digunakan sebagai pelarut untuk nitroselulosa, lak akrilik,
penghilang pernis, dan noda kayu. Pertama, glikol monoeter diproduksi dari etilena
oksida atau propilena oksida dengan alkohol, yang kemudian diesterifikasi dengan asam asetat.
Tiga produk utama adalah etilena glikol monoetil eter asetat (EEA), etilena glikol monobutil eter
asetat (EBA), dan propilena glikol monometil eter asetat (PMA, lebih dikenal sebagai PGMEA
dalam proses manufaktur semikonduktor, tempat ia digunakan sebagai pelarut penahan).
Aplikasi ini mengkonsumsi sekitar 15% sampai 20% dari asam asetat di seluruh dunia. Eter
asetat, misalnya EEA, telah terbukti berbahaya bagi reproduksi manusia.[35]
Anhidrida asetat adalah asetilator. Dengan demikian, aplikasi utama adalah pada
pembuatan selulosa asetat, tekstil sintetis yang juga digunakan untuk film fotografi. Anhidrida
asetat juga merupakan pereaksi pada produksi heroin dan senyawa lainnya.[50]
Asam asetat sering digunakan sebagai pelarut untuk reaksi yang melibatkan karbokation,
seperti alkilasi Friedel-Crafts. Sebagai contoh, satu tahap dalam pembuatan kampersintetis
komersial melibatkan penataulangan Wagner-Meerwein dari kamfena menjadi isobornil asetat; di
sini asam asetat bertindak sebagai pelarut dan nukleofil sekaligus untuk menjebak karbokation
yang sudah mengalami penataulangan.[51]
Asam asetat glasial digunakan dalam kimia analitik untuk menentukan kadar basa lemah seperti
amida organik. Asam asetat glasial merupakan basa yang jauh lebih lemah daripada air,
sehingga amida berperilaku sebagai basa kuat dalam media ini. Ia kemudian dapat dititrasi
menggunakan asam yang sangat kuat, seperti asam perklorat, yang dilarutkan dalam asam
asetat glasial.[52]
Cuka biasanya mengandung 4-18% massa asam asetat. Cuka digunakan langsung
sebagai bumbu, dan dalam pengawetan sayuran dan makanan lain. Cuka meja cenderung lebih
encer (4% sampai 8% asam asetat), sementara makanan acar komersial menggunakan larutan
yang lebih pekat. Jumlah asam asetat yang digunakan sebagai cuka pada skala dunia tidak
besar, tetapi merupakan aplikasi tertua dan paling terkenal.[54]
Telah dilaporkan bahwa, untuk 12 pekerja yang terpapar selama dua tahun atau lebih pada rata-
rata asam asetat di udara dengan konsentrasi 51 ppm, ada gejala iritasi mata, iritasi saluran
pernapasan bagian atas, dan dermatitis hiperkeratosis. Paparan 50 ppm atau lebih tak dapat
ditoleransi bagi kebanyakan orang dan menghasilkan lakrimasi intensif dan iritasi mata, hidung,
serta tenggorokan, disertai edema faring dan bronkitis kronis. Iritasi mata dan hidung yang hebat
pada konsentrasi lebih dari 25 ppm, dan konjungtivitis dari konsentrasi di bawah 10 ppm telah
dilaporkan. Dalam sebuah studi dari lima pekerja yang terpapar selama 7 sampai 12 tahun untuk
konsentrasi puncak 80-200 ppm, temuan utama adalah penghitaman dan hiperkeratosis kulit
tangan, konjungtivitis (tapi tidak ada kerusakan kornea), bronkitis dan faringitis, dan erosi gigi
yang terpapar (gigi seri dan taring).[57]
Bahaya larutan asam asetat tergantung pada konsentrasi. Tabel berikut mencantumkan
klasifikasi Uni Eropa larutan asam asetat:[58]
Konsent
rasi Molarit Klasif Fras
berdasa as ikasi e-R
r berat
1.67–
10%– Iritan R36/
4.16 m
25% (Xi) 38
ol/L
4.16–
25%– Korosi
14.99 R34
90% f (C)
mol/L
Larutan asam asetat dengan konsentrasi lebih dari 25% harus ditangani di sungkup asap (fume
hood) karena uapnya yang korosif dan berbau menyengat. Asam asetat encer, seperti pada
cuka, tidak berbahaya. Namun konsumsi asam asetat yang lebih pekat adalah berbahaya bagi
manusia maupun hewan. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pencernaan, dan
perubahan yang mematikan pada keasaman darah.
Oleh karena ketidakcocokannya, sangat disarankan agar asam asetat dijauhkan dari asam
kromat, etilena glikol, asam nitrat, asam perklorat, permanganat, peroksida, danhidroksil.[59]
Acetobacter