Vous êtes sur la page 1sur 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317240630

Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Stabilitas Kehidupan :


Pembangunan Vs Konservasi

Conference Paper · October 2015

CITATIONS READS

0 6,105

1 author:

Intani Quarta Lailaty


Indonesian Institute of Sciences
13 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Seleksi dan Evaluasi Jenis-jenis Pohon dengan Kemampuan Sekuestrasi Karbon Tinggi pada Kawasan Pegunungan Dataran Tinggi Basah View project

Potential Study and Propagation of Vernonia amygdalina (Asteraceae) as Cibodas Botanic Gardens's Collection View project

All content following this page was uploaded by Intani Quarta Lailaty on 31 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Stabilitas Kehidupan :
Pembangunan Vs Konservasi

Intani Quarta Lailaty 1,2


1. Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
2. Staff Peneliti, UPT BKT Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email : intaniquarta@yahoo.com

Global change (perubahan global) diartikan sebagai perubahan lingkungan


secara menyeluruh, meliputi perubahan iklim, perubahan kondisi atmosfer di udara,
perubahan kondisi lahan dan sistem ekologi yang mempengaruhi kehidupan dan
pemenuhan kebutuhan di bumi. Sesuai dengan Holocoenotic Concept, adanya
perubahan lingkungan di suatu ekosistem akan mempengaruhi keadaan lingkungan yang
lain. Salah satu isu global change yang saat ini sedang terjadi dan berdampak cukup
besar bagi dunia adalah pemanasan global.
Pemanasan global yaitu fenomena peningkatan temperatur global secara gradual
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). Cahaya matahari
dipancarkan ke bumi dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Di permukaan bumi,
cahaya diserap dan dipantulkan dalam wujud radiasi infra merah gelombang panjang.
Cahaya yang dipantulkan kembali, sebagian panasnya terperangkap di atmosfer.
Menumpuknya jumlah GRK di lapisan atmosfer mengakibatkan panas akan tersimpan
di permukaan bumi yang menyebabkan suhu rata-rata tahunan bumi meningkat
(UNFCCC, 2006). Dengan demikian, penurunan GRK menjadi salah satu perhatian
dunia dalam rangka menangani pemanasan global.
Menurut Surmaini (2011), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK,
yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), sulfurheksafluorida
(SFx), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). Peningkatan emisi GRK di
sebabkan karena aktivitas manusia, antara lain melalui pembangunan, baik di bidang
industri, pertanian, perkebunan, maupun peristiwa-peristiwa alam yang berkontribusi
bagi peningkatan emisi GRK tersebut.
Perubahan iklim (climate change) merupakan salah satu dampak dari pemanasan
global yang mempengaruhi suhu lingkungan. Kenaikan suhu tersebut mungkin tidak
terlihat terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu seperti Indonesia, kenaikan itu dapat
memberikan dampak yang signifikan. Manusia telah demikian rentan terhadap berbagai

1
macam ancaman yang berkaitan dengan iklim seperti banjir, kemarau panjang, angin
kencang, longsor, dan kebakaran hutan.
Menurut UNDP (2007), terdapat beberapa ancaman utama perubahan iklim
terhadap kehidupan masyarakat, khususnya rakyat miskin, antara lain sumber nafkah,
kesehatan, ketahanan pangan, dan air. Banyak di antara mereka mencari nafkah di
bidang pertanian atau perikanan yang tergantung oleh iklim. Beberapa wilayah telah
sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh, kemarau panjang diikuti oleh
gagal panen di Nusa Tenggara Timur, telah menimbulkan akibat yang parah dan kasus
kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh propinsi ini. Kelebihan dan
kekurangan air merupakan ancaman utama akibat perubahan iklim, sehingga ketika
bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya. Curah
hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di
berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-
penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan
tinggi yang berkepanjangan juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah
baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue.
Selain ancaman yang telah disebutkan di atas, perubahan iklim juga berpengaruh
pada beberapa sektor kehidupan, antara lain pertanian, sosial, ekonomi, dan politik.
Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk bagi keberlanjutan produksi pertanian,
terutama tanaman pangan. Selain perubahan suhu, akibat dari perubahan iklim adalah
perubahan musim dan curah hujan yang mempengaruhi waktu tanam dan produktivitas
pertanian. Perubahan dan peningkatan suhu serta frekuensi curah hujan menyebabkan
ledakan populasi dan migrasi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), sehingga
menurunkan produktivitas tanaman pangan yang berarti dapat mengganggu stabilitas
pangan. Apabila hasil panen semakin menurun maka dapat dipastikan akan mengancam
ketahanan pangan di seluruh wilayah Indonesia, bahkan dunia. Hal ini dikarenakan
ketahanan pangan adalah hal yang sangat penting dan mempengaruhi sektor kehidupan
lainnya.
Dalam sektor ekonomi, sosial dan politik, kebutuhan hidup semakin meningkat
seiring dengan perubahan lingkungan. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat
memiliki kemampuan yang sama dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Masyarakat
miskin dapat menjadi semakin merasa kekurangan, sedangkan masyarakat yang

2
memiliki kemampuan lebih akan menjadi semakin merasa berkuasa. Hal ini akan
memicu munculnya sifat egoisme dan keinginan menang sendiri dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga kesenjangan sosial akan semakin terlihat. Akibat lainnya
adalah sistem keamanan yang menurun, contohnya adalah semakin maraknya pencurian
dan perampokan, bahkan korupsi yang dilakukan akibat keserakahan dan hedonisme.
Kemerosotan biodiversitas di suatu wilayah sebagai dampak runutan dari
perubahan tata guna lahan dan perubahan iklim menjadi ancaman yang akan terjadi di
masa mendatang. Munculnya spesies invasif juga dapat menyebabkan keberadaan
spesies asli di daerah tersebut menjadi terancam. Spesies yang lebih adaptif terhadap
perubahan lingkungan akan mendominasi suatu daerah tertentu. Spesies yang tidak
dapat beradaptasi akan mati dan rentan punah jika jumlahnya semakin menipis dan tidak
bereproduksi kembali. Hal ini akan menyebabkan hilangnya biodiversitas spesies di
suatu wilayah.
Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perubahan global,
berbagai dampaknya telah diuraikan di atas. Upaya menghadapi perubahan lingkungan
ini dapat dilakukan dengan adaptasi dan mitigasi. Salah satu contoh upaya mitigasi
antara lain melalui konservasi. Perencanaan adaptasi merupakan tanggung jawab
seluruh masyarakat dan seluruh departemen pemerintahan, yang harus dievaluasi secara
seksama dan dipetakan, selanjutnya diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan
anggaran, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Bentuk adaptasi menurut UNDP
(2007), antara lain adaptasi sektor pembangunan, pertanian, kesehatan, wilayah
perkotaan dan pesisir serta adaptasi pengelolaan bencana dan penyediaan air.
(1) Lingkungan pesisir memiliki ancaman lebih berat, antara lain kenaikan
muka air laut. Dihadapkan pada berbagai efek perubahan iklim ini, masyarakat di
wilayah pesisir memiliki tiga strategi dasar, yaitu berlindung, mundur, atau melakukan
penyesuaian. “Berlindung” dalam arti mendirikan bangunan yang kokoh seperti tanggul
di laut dan menciptakan atau memulihkan wilayah rawa pesisir dan menanam berbagai
varietas mangrove dan vegetasi yang dapat mengatasi perubahan salinitas yang ekstrem.
“Mundur” dilakukan dengan mensyaratkan pembangunan jarak tertentu dari sisi laut.
“Melakukan penyesuaian” dapat dilakukan dengan membiakkan berbagai jenis ikan ke
muara, wilayah mulut sungai dan laguna, serta mengembangkan berbagai bentuk
akuakultur yang baru.

3
(2) Banyak aspek kesehatan manusia yang dipengaruhi oleh iklim. Hal ini salah
satunya disebabkan oleh bencana yang terjadi akibat perubahan iklim. Pencegahan
dampak fisik bencana secara langsung, antara lain dapat dikurangi dengan reforestasi.
Tindakan adaptasi kesehatan dapat dilakukan dengan melibatkan penguatan sistem
pelayanan dasar kesehatan dan pengobatan yang sudah ada, meluaskan penyebaran
kesadaran kesehatan kepada rakyat agar lebih memperhatikan kebersihan dan soal
penyimpanan air.
(3) Dalam menghadapi perubahan iklim, sektor pertanian yang dianggap paling
rentan, melakukan strategi adaptasi dan mitigasi. Adaptasi dilakukan dengan
penyesuaian diri baik dari tanaman itu sendiri ataupun secara fisik dan teknologi.
Adaptasi yang dilakukan melalui penyesuaian waktu dan pola tanam (multiple croping,
tumpang sari, dan pemulsaan), varietas unggul tahan kekeringan, salinitas dan
rendaman, perubahan sistem irigasi serta pengendalian OPT dengan musuh alami
maupun pestisida nabati. Di sisi lain, mitigasi dalam sistem pertanian dapat dilakukan
dengan penggunaan varietas pertanian yang rendah emisi, penggunaan sumber pupuk
yang banyak mengandung nitrogen serta teknologi tanpa pengolahan tanah (Surmaini,
2011; BPPP, 2011). Kombinasi upaya adaptasi dan mitigasi setidaknya dapat
mempertahankan nilai dan volume produksi sektor pertanian.
Mitigasi bertujuan untuk membatasi dan menurunkan emisi GRK yang dapat
dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan sumber daya energi yang banyak
menghasilkan emisi CO2 (disebut source) yang dihasilkan oleh pembangunan dan
aktivitas antropogenik lainnya. Upaya mitigasi juga dapat dilakukan dengan cara
menambah, memperkuat atau memperluas sistem bumi yang berfungsi sebagai penyerap
dan penyimpan karbon secara alami (disebut sink), yaitu hutan dan lautan, agar emisi
CO2 dan GRK yang terlepas di udara dapat ditangkap, diserap, dan disimpan kembali di
dalam pepohonan, hutan, lahan gambut, dan, dalam kondisi tertentu, laut.
Hutan-hutan tropis, terutama yang berada di dataran rendah merupakan tipe
hutan yang paling terancam keberadaannya karena alih guna lahan menjadi perkebunan
dan hutan tanaman monokultur, perambahan dan pembangunan infrastrukur seperti
jalan, penempatan transmigran dan pembangunan sarana lainnya. Sementara itu, hutan-
hutan tropis dataran rendah tersebut memiliki persediaan kayu dan diversitas tumbuhan

4
tinggi (Kartawinata, 2010). Hal ini patut mendapat perhatian khusus melalui
perencanaan tata guna lahan yang berwawasan lingkungan.
Dalam rangka mitigasi perubahan iklim, langkah awal yang dilakukan adalah
inventarisasi cadangan karbon pada berbagai tipe ekosistem melalui pengukuran dan
pendugaan (estimasi) biomassanya dengan menggunakan metode-metode yang telah
distandarisasi (Hairiah, et al., 2011). Langkah berikutnya adalah dengan mendorong
perluasan kawasan-kawasan konservasi sesuai komitmen global, seperti UU Tata Ruang
Nasional, CBD, CCC dan Seville Strategy.
Kawasan konservasi global yang telah diakui UNESCO berupa 8 Cagar Biosfer
(CB), yaitu Cibodas, Siberut, Leuseur, Tanjung Puting, Lore Sindu, Pulau Komodo,
Giam Siak Kecil-Pulau Batu, Wakatobi, dan 2 terbaru, yakni Bromo-Semeru dan
Takabonerate (SeaBRnet, 2011; Gibbons, 2015). Salah satu CB tertua yang telah
dijadikan riset perubahan iklim adalah Cagar Biosfer Cibodas (CBC). CBC memiliki
posisi strategis di Sundaland dan termasuk dalam Global Hotspot Biodiversity, yang
menjadi bagian penting dalam menghadapi perubahan iklim. Biodiversity hotspot
merupakan kawasan biogeografi yang signifikan sebagai gudang biodiversitas namun
berada dalam ancaman manusia (Myer, 2000 dalam Widyatmoko et al., 2013). CBC
terletak di Jawa Barat dengan luas total 167 ribu hektar. Batas terluar CBC mencakup 3
Kabupaten, yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi. CBC mencakup berbagai tipe
ekosistem dan keanekaragaman hayati, antara lain hutan alam (Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango), kebun raya (Kebun Raya Cibodas), perkebunan (Perkebunan Teh
Gunung Mas) dan pertanian (Agropolitan Cianjur). Menurut Widyatmoko et al. (2013),
respon dan pengaruh keberadaan vegetasi terhadap penanganan perubahan iklim sangat
penting, terutama karena sumbangan besar produktivitas primernya, termasuk kayu,
serasah dan nekromassa, menentukan komposisi tanah, fungsi vital sebagai komponen
ekosistem dan potensi dalam penyerapan karbon (carbon sequestration).
Berdasarkan hasil penelitian Widyatmoko et al. (2013), terdapat perbedaan
potensi penyerapan karbon untuk masing-masing tipe ekosistem CBC. Ekosistem hutan
alam TNGGP memiliki penyimpanan karbon tertinggi dibandingkan dengan tipe
ekosistem lainnya. Hal ini membuktikan bahwa hutan alam berperan sangat signifikan
sebagai pencadang karbon dalam mitigasi perubahan iklim. Hal ini dikarenakan adanya
pepohonan yang berkontribusi paling besar dalam hal stok karbon di atas permukaan

5
tanah dibandingkan dengan tumbuhan bawah, serasah maupun nekromassa dan berlaku
sama di semua zona ekologi TNGGP. Menurut Rahayu et al. (2002), pada ekosistem
berbasis pohon, komponen pohon memiliki konstribusi terhadap total cadangan karbon
rata-rata 70%, sedangkan tumbuhan tingkat rendah seperti herba, semak dan rumput-
rumputan tidak lebih dari 5%.
Di samping itu, kebun raya sebagai area konservasi ex situ memiliki signifikansi
tinggi dalam penyimpanan karbon dan sekaligus sebagai tempat konservasi
keanekaragaman tumbuhan, khususnya spesies-spesies asli. Pada hasil riset di Kebun
Raya Cibodas diperoleh hasil bahwa kebun raya sebagai ekosistem buatan memiliki
stok karbon yang lebih tinggi dalam ton C/ha yaitu 117,55 dibandingkan dengan
ekosistem buatan lainnya, yakni perkebunan teh (55,51) dan agropolitan (5,05). Hal ini
dikarenakan stok karbon pada jenis-jenis tanaman sayuran hanya bersifat musiman dan
tidak berkayu (Widyatmoko & Astutik, 2013). Oleh karena itu, diperlukan konservasi
dan perlindungan terhadap pohon-pohon berkayu yang berpotensi dalam penyerapan
karbon sebagai bentuk mitigasi perubahan iklim global.
Manajemen area konservasi untuk menjaga dan memelihara daerah konservasi
tidak hanya menjadi tujuan yang dilakukan oleh satu lembaga saja, melainkan harus
terintegrasi antara pengurus area konservasi dan lingkungan sekitarnya. Demikian pula
dengan perubahan iklim, berbagai strategi dan upaya pencegahan dan pengurangan
dampaknya tidak dapat hanya dilakukan oleh sekelompok tertentu. Diperlukan
kesadaran, kerja sama, kemauan dan kecintaan terhadap lingkungan dan bumi secara
holistik, baik dari masing-masing negara, organisasi, komunitas, dan diri kita sendiri,
untuk bersama-sama menghadapi dan menekan dampak buruk perubahan iklim. Cintai
bumi dan kendalikan diri, demi anak cucu kita nanti.

6
REFERENSI

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan
Iklim Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Gibbons, Z. 2015. Bromo-Semeru dan Takabonerate diakui UNESCO. Antara News. London.

Hairiah K., Ekadinata A., Sari RR. & Rahayu S. 2011. Pengukuran cadangan karbon: dari
tingkat lahan ke tingkat bentang lahan. World Agroforestry Centre. Bogor.

Kartawinata K. 2010. Dua abad mengungkap kekayaan flora dan ekosistem Indonesia. LIPI.
Jakarta.

Myers, Norman, Russell A., Mittermeier, Cristina G. Mittermeier, Gustavo A.B. da Fonseca,
Jennifer Kent. Biodiversity hotspot for conservation priorities. Nature 2000, 403:853-
858.

Rahayu S, AH Wawo, M van Noordwijk dan K Hairiah. 2002. Cendana: deregulasi dan
strategi pengembangannya. World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). Bogor.
Indonesia.

Southeast Asia Biosphere Reserves Network. 2011. Are climate change and other emerging
challenges being met through successful achievement of Biosphere Reserve functions?.
UNESCO Office. Jakarta.

Surmaini, E., E. Runtunuwu & I. Las. 2011. Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi
Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian, 30(1)

UNDP. 2007. Sisi lain perubahan iklim : Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk
melindungi rakyat miskinnya. UNDP Indonesia. Jakarta

UNDP Indonesia. 2009. Indonesian National Greenhouse GAS Inventory under the UNFCCC:
Enabling activities for the preparation of Indonesia’s Second National Communication
to the UNFCCC. United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Jakarta.

UNFCCC. 2006. Greenhouse Gas Inventory Submission. Data compillation available on


UNEP’s Geodata Portal (geodata.grid.unep.ch). The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), Bonn.

Widyatmoko, D. & Sri Astutik. 2013. Peran Strategis Cagar Biosfer Cibodas dalam
Menghadapi Perubahan Lingkungan. Mangemen Hulu : Pengelolaan Kawasan Cagar
Biosfer Cibodas. ICIAR-LIPI, p. 207-228.

Widyatmoko, D., Sri Astutik, E. Sulityawati, A.H. Rozak, Z. Mutaqien. 2013. Stok Karbon dan
Biomassa di Cagar Biosfer Cibodas, Indonesia. Dipublikasikan dalam Konservasi
Biokarbon, Lanskap dan Kearifan Lokal untuk Masa Depan : Integrasi Pemikiran
Multidimensi Menuju Keberlanjutan. Sukara, E., D. Widyatmoko, S. Astutik (editor).
2013. UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI. Cibodas.

View publication stats

Vous aimerez peut-être aussi