Vous êtes sur la page 1sur 132

1

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN BLANGKO


AKTA JUAL BELI PERUMAHAN
DI KOTA MEDAN

Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan manusia dalam kehidupan ini begitu banyak seperti, kebutuhan

untuk makan dan minum, kebutuhan pakaian, kebutuhan untuk tempat tinggal atau

perumahan, kebutuhan transportasi dan lain sebagainya. Kebutuhan manusia akan

tempat tinggal atau perumahan tersebut sudah merupakan suatu hal yang pokok

dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya program

pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dan salah satunya adalah program

pembangunan perumahan untuk rakyat. Berdasarkan program tersebut maka pihak

pemerintah maupun swasta berlomba- lomba untuk mengadakan pembangunan

perumahan untuk rakyat dengan memanfaatkan lahan yang ada. Alvi Syahrin sebagai

ahli hukum lingkungan mengatakan bahwa, “pembangunan perumahan dan

pemukiman akan terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk, dinamika

kependudukan dan tuntutan ekonomi, sosial budaya yang berkembang”. 1

Dengan berkembangnya pembangunan perumahan seiring dengan

pertumbuhan penduduk maka pihak swasta atau pengembang melaksanakan program

pembangunan perumahan dan pemukiman bagi semua pihak, terutama untuk

golongan ekonomi menengah ke bawah dengan pengadaan Rumah Sangat Sederhana

(selanjutnya disebut RSS). Program pembangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS)

1
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan
Pemukinan Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.
3

adalah “program yang ditetapkan untuk memperluas kesempatan bagi masyarakat

untuk mendapatkan rumah dan mengurangi kesenjangan sosial, karena harganya

disesuaikan dengan daya beli sebagian masyarakat golongan berpenghasilan rendah”.

Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) adalah sebidang tanah

yang memenuhi kriteria sebagai berikut 2 :

1. “Harga perolehan tanah dan rumah, dan apabila atas bidang tanah tersebut
sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Pajak Bumi dan Bangunan Tanah dan rumah tersebut tidak lebih daripada Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
2. Luasnya tidak lebih daripada 200 m2 ; dan
3. Di atasnya dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal
atau kompleks perumahan”.

Berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian

Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana

(RS), Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah untuk RSS dan RS di atas tanah negara

termasuk di atas tanah pengelolaan, kepunyaan perseorangan Warga Negara

Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya bisa diubah menjadi Hak

Milik. Sedangkan tanah RSS dan RS di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) kepunyaan

perseorangan WNI yang belum dimiliki dengan HGB, diberikan kepadanya Sertifikat

Hak Milik (SHM). 3

Untuk permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi SHM dan

perolehannya, dikenai kewajiban pembayaran administrasi kepada negara sebesar Rp.

10.000,- dan sumbangan landreform sebesar Rp. 5.000,- dan biaya pendaftaran sesuai
2
Pasal 1 huruf d., Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS).
3
Pasal 2 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian
Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Pustaka
Grahatama, 2008), hal. 48.
4

dengan ketentuan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 1992 tentang Biaya

Pendaftaran Tanah. 4

Permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi Hak Milik diajukan kepada

Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut 5 :

1) “Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohon untuk diubah menjadi Hak
Milik;
2) Akta jual beli atau surat perolehan mengenai rumah beserta tanah yang
bersangkutan;
3) SPT Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, apabila atas bidang tanah
tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan tersendiri; dan
4) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila tanah tersebut
dibebani Hak Tanggungan”.

Akta jual beli inilah (angka 2 di atas) yang harus disertakan untuk

mendaftarkan perubahan HGB menjadi Hak Milik. Akta jual beli didapatkan dengan

mengisi Blangko Akta Jual Beli yang diperoleh oleh PPAT dari Kantor Wilayah BPN

setempat. Namun, akta jual beli dari BPN itu sangat sulit didapat dikarenakan sering

kekurangan stok dan proses pengadaan yang tidak transparan. Setelah mendapatkan

Akta Jual Beli (AJB) di PPAT. Asas terang dan tunai pada hukum agraria yang

berlaku bersumber dari hukum adat. Ini berarti jual beli harus dilakukan di hadapan

pejabat yang berwenang (PPAT atau Camat) dan harus ada pembayaran atas jual beli

tersebut. Bila kedua syarat telah dipenuhi, jual beli dikatakan sah menurut hukum.

4
Pasal 2 ayat (2), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian
Goenawan, Op.cit., hal. 49.
5
Pasal 3 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Ibid., hal.
49.
5

Setelah transaksi dibuktikan dengan adanya AJB, PPAT wajib mendaftarkan jual beli

sekaligus balik nama ke atas nama pembeli ke kantor pertanahan setempat. 6

Pelaksanaan program pembangunan perumahan dan pemukiman yang

dilakukan oleh pihak swasta atau pengembang tersebut dengan berbagai cara seperti

melalui sistem Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) yang dilakukan

oleh pengembang atau developer sendiri ataupun KPR melalui suatu bank atau

lembaga pembiayaan yang ada di daerah tersebut. Selain pemilikan rumah melalui

KPR, pihak pengembang atau developer juga memberikan cara pemilikan rumah

melalui pembelian secara tunai dengan sistem jual beli kepada para konsumen.

Sistem jual beli perumahan yang dilakukan pengembang atau developer kepada para

konsumen tersebut didasarkan pada perjanjian jual beli menurut Undang-Undang.

Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPerdata) bahwa, “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang

satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain

untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Sementara itu R. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian jual beli

yang tidak jauh berbeda dengan definisi dari Pasal 1457 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa perjanjian jual beli adalah, “suatu perjanjian di mana pihak yang

satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang sedangkan pihak

lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya”. 7

6
Ibid., hal. 40.
7
R. Subekt i, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1992), hal. 161-162.
6

Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan pernyataan dari R. Subekti tersebut maka

ada beberapa unsur dari perjanjian jual beli, yaitu :

1. Ada pihak penjual dan pembeli.

2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan.

3. Ada penyerahan barang atau benda oleh penjual kepada pembeli.

4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual.

Setelah melihat definisi dan unsur-unsur dari perjanjian jual beli tersebut,

maka dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli tersebut terjadi jika kedua belah

pihak mencapai suatu kata sepakat tentang barang atau benda dan harga. Hal ini

sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa : “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika

setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan

harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum

dibayar”. Selain dari hal tersebut, R. Subekti menyatakan bahwa dalam perjanjian

jual beli, penjual mempunyai dua kewajiban pokok antara lain 8 :

1. Menyerahkan barang serta menjamin dapat memiliki barang tersebut dengan

tentram; dan

2. Bertanggungjawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

Sementara untuk kewajiban pembeli menurut R. Subekti adalah, “membayar

harga pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah

8
Ibid., hal. 162.
7

pihak”. 9 Terhadap pernyataan dari R. Subekti tersebut tentang kewajiban penjual dan

pembeli dari perjanjian jual beli secara umum tersebut maka dapat dilihat bahwa

sebenarnya banyak hal yang terjadi dan perlu diuraikan secara lebih mendalam lagi

tentang perjanjian jual beli tersebut seperti, mengenai penyerahan barang atau benda,

risiko dan lain sebagainya. Tetapi agar lebih akurat dan terperinci uraiannya

ditentukanlah objek perjanjian jual beli dalam penelitian ini adalah perumahan oleh

pengembang atau developer kepada para konsumen. Terhadap unsur-unsur yang ada

dalam perjanjian jual beli yang telah diuraikan sebelumnya jika dihubungkan dengan

perjanjian jual beli perumahan oleh pengembang kepada para konsumen, maka dapat

diuraikan unsur-unsurnya antara lain :

1. Ada pihak penjual yaitu pengembang dan pihak pembeli;

2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan yaitu perumahan;

3. Ada penyerahan oleh penjual kepada pembeli yaitu adanya penyerahan

perumahan oleh pengembang kepada konsumen; dan

4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual yaitu

adanya pembayaran uang sebagai harga oleh konsumen kepada pengembang.

Berdasarkan unsur-unsur perjanjian jual beli perumahan yang dilakukan oleh

pihak pengembang kepada para konsumen yang sebagaimana telah diutarakan

sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan untuk konsumen yang

ekonominya menengah ke atas ataupun menengah ke bawah (RSS) selalu

berhubungan dengan tanah sebagai tempat berdirinya rumah tersebut. Sehingga untuk

9
Ibid.
8

sekarang inijual beli perumahan tersebut identik dengan jual beli tanah, karena rumah

tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tanah. Menurut Urip

Sutanto sebagai ahli hukum perdata, “pengertian jual beli tanah adalah perbuatan

hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama- lamanya)

oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan sejumlah

harganya kepada penjual”. 10 Berdasarkan pernyataan dari Urip Sutanto tersebut, maka

jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak konsumen

tersebut merupakan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahkan

hak atas tanah perumahan beserta rumahnya dari pemegang hak (penjual atau

pengembang) kepada pihak lain (pembeli atau konsumen) dengan pembayaran

sejumlah uang secara tunai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebagai

harga kepada penjual.

Peralihan hak atas tanah atau perumahan tersebut yag dilakukan oleh pihak

pengembang kepada konsumen pada kenyataannya adalah menggunakan blangko

Akta Jual Beli. Sementara untuk suatu peralihan hak atas tanah atau perumahan

melalui jual beli adalah merupakan bagian dari kewenangan seorang Pejabat Pembuat

Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah sebagai berikut 11 :

10
Urip Sutanto, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2010), hal. 360.
11
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah..
9

1. “Jual beli.
2. Tukar menukar.
3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng).
4. Pembagian hak bersama.
5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
6. Pemberian Hak Tanggungan.
7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Blangko Akta Jual Beli yang

dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) hanya bisa

dipergunakan oleh pihak PPAT dimana objek peralihan hak atas tanah atau

perumahan melalui jual beli dilangsungkan. PPAT diangkat oleh Pemerintah, dalam

hal ini BPN dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan

masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,

dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 12 Dalam hal melakukan perbuatan

hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah di hadapan seorang Notaris

atau PPAT yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan

dibuatkan dengan Akta Otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli

atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan

jual beli ini dilakukan di hadapan Notaris yang dinamakan Perjanjian Jual

Beli/Perikatan Jual Beli. 13

12
Jimly Asshiddiqie, “Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Renvoi
03 Juni 2003, hal. 31., dalam : Nelly Sriwahyuni Siregar, “Tin jauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak
Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”, (Medan : Tesis,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 2-3.
13
Ibid.
10

Kewenangan PPAT yang selama ini diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yaitu memberikan kewenangan kepada PPAT untuk membuat

(to make) akta jual beli perumahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa “seorang

PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan

hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak

di daerah kerjanya. PPAT berwenang membuat akta jual beli, tukar menukar, akta

pemasukan dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai hak atas

tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum.

Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, pembuatan akta PPAT tidak pernah

sekalipun dilimpahkan kepada instansi lain yaitu kepada Badan Pertanahan Nasional

(BPN). Dalam aturan hukum yang mengatur keberadaan BPN tidak satu pasal pun

yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau

PPAT lahir secara atributif atau delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi, dalam

hal ini PPAT lahir sebagai belesregel atau policy rules dari Pemerintah langsung. 14

Kewenangan PPAT membuat akta (to make) adalah menciptakan, melakukan,

mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi (to fill) formulir/blanko. Oleh karena

itu, mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Pada kenyataannya, selama

ini PPAT masih mengisi formulir/blanko, maka hal ini membuktikan telah terjadi

kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading) dalam memahami dan menerapkan

14
Anita Budiman, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta
Tanah”, (Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga), hal. ii.
11

kewenangan PPAT sesuai dengan tataran hukum yang benar. Akta PPAT yang

digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum tertentu menangani

hak atas tanah dan hak milik atas rumah, bentuk dan jenisnya ditentukan oleh

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Pengaturan ini tentunya membawa akibat hukum

terhadap kekuatan pembuktian akta PPAT itu sendiri. 15

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa : “bentuk, isi, dan cara pembuatan

akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh Menteri”. Ketentuan ini

merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah, bahkan kemudian dipertegas dalam Keputusan Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah pada Pasal 53 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan

mengisi blangko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk

pengisiannya”. PPAT dilahirkan bukanlah untuk mengisi blangko kosong melainkan

membuat Akta Otentik. Hal ini bertentangan dengan kewenangan PPAT itu sendiri. 16

Dengan format blangko yang baku tersebut, maka formulir atau blangko yang

telah disediakan tersebut tinggal diisi saja. Memang hal ini menjadikan lebih mudah,

cepat dan memiliki standard keseragaman sedangkan untuk pembuatan dan

15
Ibid.
16
Ev i Novita Tri Setyorini, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, (Semarang : Tesis, Un iversitas Diponegoro, 2005), hal. 21.
12

penerbitan dari blangko akta tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Republik Indonesia seperti yang tercantum pada Pasal 51 Keputusan Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah bahwa : “Blangko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya dibeli oleh PPAT, PPAT

Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”. 17 Hal tersebut kemudian menjadi

masalah ketika terjadi kelangkaan yang berujung pada kekosongan blangko atau

formulir akta tersebut di Indonesia sampai saat ini. Bahkan beberapa media telah

mengupas hal ini, sebagai berikut 18 :

“Forum Kepala Desa dan Lurah Kota Tangerang Selatan, Banten, mendatangi
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang mempertanyakan
blanko akte jual beli tanah yang kosong selama enam bulan. Sudah enam
bulan blanko akte jual beli tanah kosong, sedangkan permintaan saat ini sudah
banyak. Bila ketersediaan blanko akta jual beli tanah tidak disediakan
secepatnya, maka akan menghambat sistem pelayanan bagi masyarakat. Tak
hanya itu saja, kekosongan blanko akta jual beli tanah juga mempengaruhi
Pendapatan Asli Daerah”.

Benar bahwa adanya kekosongan Blangko Akta Jual Beli di Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini sampai mendera hampir di seluruh

BPN Republik Indonesia baik di daerah, maupun di perkotaan. Begitu juga di BPN

Kota Medan. Kemudian BPN mengeluarkan kebijakan dengan memperbolehkan

17
Ibid., hal. 22.
18
Robert Adhi Kusumaputra, “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”,
http://properti.ko mpas.com/read/2011/ 05/ 18/ 20520289/Astaga.Blanko.A kte.Jual.Beli.Tanah.Kosong.E
nam.Bu lan., diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Blangko Akta Tanah Langka,
Lurah se-Tangerang Selatan Geruduk BPN”,
http://www.tempointerakt if.co m/hg/layanan_publik/2011/05/18/brk,20110518-335110,id.ht ml.,
diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Bataviase, “Blangko Akte Jual Tanah Langka”,
http://bataviase.co.id/node/662747., diakses pada 11 Jun i 2011.
13

PPAT menggunakan blanko akta yang difotokopi, dilegalisir, dan diberi nomor

registrasi oleh Badan Pertanahan Nasional Wilayah masing- masing daerah

sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT. Namun kebijakan ini

kemudian menimbulkan perdebatan panjang di kalangan Pejabat Pembuat Akta

Tanah. Perdebatan itu pada intinya dalam hal pembuktian. Perdebatan itu pada intinya

dalam hal pembuktian. Apalagi untuk transaksi jual beli atas tanah yang bernilai

milyaran rupiah, para pihak ragu apabila menggunakan blangko akta tersebut. Bahkan

beberapa praktisi dan akademisi saling berbeda pendapat ketika ada yang berargumen

bahwa PPAT sebenarnya memiliki kewenangan untuk membuat akta pertanahan

tanpa menggunakan blangko akta tersebut. 19

Sehubungan dengan uraian tersebut di atas telah mendorong penulis untuk

mengungkapkannya ke dalam penelitian tesis ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis

Penggunaan Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan”.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang sudah dipaparkan maka rumusan masalah

dalam tulisan ilmiah ini, antara lain :

1. Bagaimana pelaksanaan jual beli perumahan dengan menggunakan blangko

akta jual beli di Kota Medan?

19
Ev i Novita Tri Setyorini, Op.cit., hal. 23.
14

2. Bagaimana keabsahan penggunaan blangko akta jual beli oleh pengembang di

Kota Medan?

3. Bagaimana hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan blangko

akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya maka

tujuan dari penelitian ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli perumahan oleh pengembang dengan

menggunakan blangko akta jual beli di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui keabsahan penggunaan blangko akta jual beli perumahan

oleh pengembang di Kota Medan.

3. Untuk menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan

blangko akta jual beli perumahan oleh pengembang di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.


15

b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai

penyertaan modal yang masih sedikit.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional dalam

menerapkan peraturan.

b. Sebagai bahan masukan bagi Notaris/PPAT dalam melakukan

perikatan antara Developer dengan Masyarakat sebagai pembeli.

c. Sebagai bahan masukan bagi Developer dalam melakukan penjualan

perumahan.

d. Sebagai bahan masukan bagi Masyarakat dalam melakukan pembelian

perumahan yang dikembangkan oleh Developer.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dari Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan

Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan”, belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain sebelumnya.

Namun ada penelitian yang menyangkut masalah blangko akta jual beli,

antara lain :

1. Tesis atas nama Chairani Bustami dengan judul ”Aspek-Aspek Hukum yang

Terkait Dalam Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota
16

Medan”, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun

2002;

2. Tesis atas nama Alvin Hidayat dengan judul ”Aspek Hukum Dalam Perjanjian

Jual Beli Tanah Yang Diperbuat Dihadapan Notaris/PPAT”, Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada

tahun 2008. Dibimbing oleh Sudarmiaty, dan M. Siddik;

3. Tesis atas nama Pantas Situmorang dengan judul ”Problematika Keotentikan

Akta PPAT”, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan

pada tahun 2008. Dibimbing oleh : Bismar Nasution; Muhammad Yamin; dan

Syafnil Gani.

Keduanya tesis di atas memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang

berbeda. Penelitian ini mengkaji mengenai penggunaan blangko akta jual beli

perumahan khususnya masalah yang ditimbulkan dari penggunaan blangko akta jual

beli dan upaya penanggulangannya. Penelitian ini menjunjung tinggi kode etik

penulisan karya ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik

dilihat dari materi, permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Suatu penelitian hukum biasanya ada kerangka konsepsional dan landasan

atau kerangka teori yang merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka
17

konsepsional menurut Soeryono Soekanto, “diungkapkan beberapa konsepsi atau

pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam

landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai

sistem atau ajaran”. 20

Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalah-

masalah yang diteliti” 21 . Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian

penggunaan blangko akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah

didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata

“semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut

Sutarno, “memberitahukan kepada setiap orang boleh membuat perjanjian yang

syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak

dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undang-

undang”. 22

Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung

arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu

perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para

20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 6.
21
Ibid.
22
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 75.
18

pihak yang membuatnya seperti undang- undang. Syarat sah suatu perjanjian

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :

1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.

Kedudukan PPAT termasuk akta-aktanya, bentuk akta dan blangko aktanya

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan

secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada waktu itu dikenal

dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta (bukan akta otentik) mengenai

perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas

tanah. 23

Dalam menjalankan jabatannya PPAT wajib menggunakan blangko akta

(formulir) yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali dengan

Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah

berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997

23
Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan
Akta Otentik”, (Semarang : Tesis, Un iversitas Diponegoro), hal. 28.
19

tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah. 24

Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Badan Pertanahan Nasional terkenal

arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun

2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko akta PPAT

yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah

No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT

dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta sendiri. 25

Pengaturan penggunaan formulir- formulir akta (blangko akta) dilatar

belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang

karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, yang sebagian

besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk memudahkan pelaksanaan

jabatannya itu dibuatlah formulir- formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir

(blangko akta) itu. Blangko yang dibuat oleh BPN adalah yang berkaitan dengan

pertanahan, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form

isian tersebut. Blangko tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini

bertentangan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang

menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan untuk

24
Ibid., hal. 29.
25
Ibid., hal. 29-30.
20

kepentingan sosial (nirlaba). Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa

oleh tim Kejaksaan Agung. 26

Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana

diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta

Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa

: ”membuat adalah menciptakan, melakukan, atau mengerjakan”. Dengan demikian

PPAT mempunyai kewenangan untuk menciptakan, membuat, dan mengerjakan akta,

yang berarti mengerjakan, melakukan, dan membuatnya sendiri akta (PPAT) yang

menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 Keputusan Kepala

BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun

1998, yaitu akta : Jual Beli; Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan

(inbreng); pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna

bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan surat

kuasa membebankan hak tanggungan. 27

Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam

mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir yang

bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangko/formulir tersebut dicetak oleh

pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal dari kewenangan BPN

atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT. Dalam aturan hukum yang

mengatur kewenangannya kepada BPN, yaitu Keputusan Presiden No. 26 Tahun

26
Huku m Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.co m/.../ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., d iakses pada 14
Juni 2011.
27
Reza Febriantina, Loc.cit., hal. 30-31.
21

1988 tidak ada satu pasal pun dalam Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN

mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif

ataupun delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir

sebagai beleidsregel atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain,

PPAT bukan lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau

bukan pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT

dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan PPAT

tersebut tidak pernah menjadi kewenangan BPN. 28

Dengan demikian, sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan

kewenangannya sebagaimana pengertian membuat akta tersebut di atas. Selain itu,

BPN ataupun pihak lainnya agar segera menghentikan kegiatannya melakukan

pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan mengeruk keuntungan

dari kegiatan menjual formulir- formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak

keberadaan PPAT tahun 1961.29 Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik

perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, maka blangko akta tanah

seharusnya selalu tersedia di Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas

oleh BPN untuk membuat akta hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersidaan

akta terganggu menunggu penetapan tata cara pengelolaannya oleh Pemerintah.

Selain daripada teori Asas Kebebasan berkontrak yang telah disebutkan di

atas, maka teori yang juga berhubungan dengan penelitian penggunaan blangko akta

jual beli oleh pengembang di kota Medan tersebut adalah teori tentang akta. Hal

28
Ibid., hal. 32-33.
29
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, (Bandung : Cit ra Aditya Bakt i,
2009), hal. 281. Dalam : Ibid., hal. 33.
22

tersebut dikarenakan bahwa penelitian ini ada hubungannya dengan akta jual beli dan

oleh sebab itu teori tentang akta sesuai dengan penelitian ini.

Menurut R. Subekti dan Tjitrosoebadio yang menyatakan bahwa, “akta

berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta”

merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berarti perbuatan-perbuatan”.30

Selain itu menurut R. Subekti yang sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa,

“akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani,

memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan

alat bukti”. 31

Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang telah diterjemahkan oleh M. Isa

Arief yang mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat

untuk dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat

itu diperbuat”. 32 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa : “akta adalah

surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian”. 33

Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum tersebut di atas tentang

pengertian akta, maka dapat ditarik beberapa unsur dari pengertian akta tersebut

antara lain :

1. Surat yang sengaja dibuat.

30
R. Subekt i dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), hal. 9.
31
Sutarno, Op.cit., hal. 101.
32
M. Isa Arief, Pembuktian Dan Daluarsa, (Intermasa, 1978), hal 52.
33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1985),
hal. 121.
23

2. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu

peristiwa.

3. Ditandatangani.

Setelah melihat beberapa pengertian dan unsur-unsur pengertian dari akta

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau

tidak memenuhi unsur- unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor

Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta,

melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru

dapat disebut akta”. 34

Berdasarkan pernyataan dari Victor Situmorang di atas maka unsur-unsur dari

akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan

ditandatangani yang bertujuan sebagai alat bukti terhadap suatu peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan

sebagai akta harus dapat menjadi alat bukti dipersidangan.

Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti tersebut terdiri atas :

1. Bukti tulisan.

2. Bukti dengan saksi-saksi.

3. Persangkaan-persangkaan.

4. Pengakuan dan sumpah.

34
Victor Situ morang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
1996), hal. 52.
24

Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta

merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867

KUHPerdata adalah, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan

otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga

disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa 35 : “ada dua bentuk akta yaitu :

Akta Otentik; dan Akta di Bawah Tangan”.

Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang- undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sedangkan menurut

Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa 36 : “suatu akta otentik adalah akta

yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang

berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh

yang berkepentingan”.

Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868

KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang

disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat antara lain :

1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai

umum yang ditunjuk oleh undang-undang.

35
Sutarno, Op.cit., hal. 101.
36
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
25

2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus

menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.

3. Di tempat di mana pejabat berwenang membuat akta tersebut.

Sebagaimana pernyataan yang telah disebutkan di atas tentang akta otentik,

bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut

pejabat umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak

berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut

tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat

diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan

sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para

pihak”. 37

Pernyataan M. Yahya Harahap tersebut sama halnya seperti yang disebutkan

dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau

tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya,

tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan

sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869

KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta

tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi

caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh

undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa

37
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 566.
26

wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi

syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai

kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dengan akta tersebut.

Sementara itu, Pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata sebagaimana

disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,

Hakim dan sebagainya”. 38 Sedangkan menurut Sutarno tentang pejabat yang

dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris,

Hakim, Juru Sita pada Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil dan dalam

perkembangannya seorang Camat karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta

Camat (selanjutnya disebut PPAT)”. 39 Dengan demikian sebagaimana yang

disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa

suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh

juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh

Pegawai Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh

Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli

tanah/rumah merupakan akta-akta otentik.

M. Yahya Harahap sebagai ahli hukum perdata mengatakan bahwa, “pada

umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”. 40 Dan

hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang menyatakan bahwa,

38
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
39
Sutarno, Op.cit., hal. 102.
40
M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 573.
27

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Akan tetapi

dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya menerangkan tentang

yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum dalam pasal tersebut

tidak diberikan penjelasan ataupun pengertian sedikitpun. Namun dalam pasal-pasal

yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-

ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi tugas atau wewenang untuk

membuat akta otentik.

Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat

akta-akta otentik berdasarkan pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun

dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang dikecualikan dari

kewenangan dari Notaris antara lain41 :

1. “Akta Catatan Sipil yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan berdasarkan


Pasal 4 KUHPerdata.
2. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
3. Akta wasiat dalam daerah pertempuran yang dibuat di hadapan perwira
minimal berpangkat letnan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
berdasarkan Pasal 946 KUHPerdata.
4. Kapten Kapal atau Nahkoda atau Mua’lim boleh membuat akta wasiat bagi
penumpang yang sedang menghadapi kematiaan dengan dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi berdasarkan Pasal 947 KUHPerdata.
5. Bila terjadi penyakit menular di suatu tempat dan orang luar tidak boleh
masuk, Notaris tidak ada, Pegawai Umum (Bupati atau Camat) boleh
membuat surat wasiat dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan
Pasal 948 ayat (1) KUHPerdata, demikian juga apabila terjadi gempa bumi,
sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian, pemberontakan atau
bencana alam lainnya yang hebat dalam keadaan yang sungguh-sungguh

41
Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung :
Tarsito, 1999), hal. 89.
28

terancam kematian, sedangkan dalam jarak 9 (sembilan) kilometer disekitar


itu tidak ada Notaris”.

Namun demikian menurut Victor Situmorang, ada beberapa akta yang

menjadi kewenangan Notaris bersama-sama dengan pejabat lain untuk membuatnya,

yaitu42 :

1. “Akta pengangkatan anak di luar kawin berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata.


2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik berdasarkan Pasal
1227 KUHPerdata.
3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi berdasarkan
Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata.
4. Akta protes wessel dan cek berdasarkan Pasal 143 KUHPerdata”.

Kekosongan formulir Akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah

BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut

difotocopy dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi

pada Kanwil BPN tersebut. 43 Tentunya legalisasi tersebut tidak gratis, setidaknya

harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos

setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar (transaction cost) 44 dan

penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang

bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi akta PPAT tersebut. 45

42
Victor Situ morang, Op.cit., hal. 34-35.
43
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli
2003, yang menyatakan bahwa : “apabila d i daerah Saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT
tertentu agar Saudara segera menerbit kan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami
tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi
paraf dan cap dinas setiap halaman”.
44
Pungutan Liar atau Transaction Cost adalah biaya keluar yang disebabkan oleh peraturan
tertentu yang berbelit-belit biro krasinya. Biaya ini hanya menambah pengeluaran dari PPAT untuk
pengurusan sertifikat tanah. Transaction Cost tidak harus dikeluarkan karena tidak ada peraturan
sebagai dasar pengutipannya.
45
Habib Adjie dalam Reza Febriantina, Op.cit., hal. 34.
29

2. Kerangka Konsep

Konsepsi adalah, “salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak

dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrasi

yang disebut definisi operasional”. 46 Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada

pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian

memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-

pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan

beberapa konsep dasar sebagai berikut :

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; 47

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat Pemerintah yang

ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat

akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT; 48

3. Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak

semula dengan sengaja untuk pembuktian; 49

46
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 28.
47
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
48
Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
49
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
30

4. Akta PPAT adalah akta tanah yang diuat oleh PPAT sebagai bukti telah

dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun; 50

5. Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah formulir kosong (belum diisi) yang

didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat;

6. Fotocopy Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah rekaman formulir kosong

Blangko Akta Jual Beli yang didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat; 51

7. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan; 52

8. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga; 53

9. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan

sarana lingkungan; 54

10. Massal adalah mengikut sertakan atau melibatkan orang banyak; 55

11. Pengembang adalah orang atau perusahaan (badan hukum – legal entity) yang

melakukan pembangunan untuk perumahan. 56

50
Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
51
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko A kta PPAT.
52
Pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
53
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman.
54
Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman.
55
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 562.
56
Ibid., hal. 414.
31

G. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-

hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan

penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.

Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian

termasuk ilmu- ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum. 57

Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat

dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan

pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun

masing- masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan

penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh

semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian

termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah. 58 Kejujuran ilmiah adalah kode

etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :

1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar,


kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang
lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat;
3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan;
4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca;
5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya;
6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting;
7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri;

57
Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelit ian Hu ku m : Sub Poko k Bahasan
Penulisan Huku m”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2.
58
Ibid.
32

8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 59

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan juridis normatif. 60 Dengan demikian objek penelitian adalah norma

hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh

pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang

terkait secara langsung dengan blangko akta jual beli perumahan yang dikeluarkan

oleh Badan Pertanahan Nasional.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam

menggunakan pengkajian terhadap penggunaan blangko akta jual beli perumahan di

Kota Medan. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan

menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada

bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri

pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini

menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi

59
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lo kakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id
/perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20et ik).ppt., 2007, diakses pada 11 Juni 2011.
60
Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normat if adalah : meru muskan azas-azas hukum
dari data hukum positif tertulis; meru muskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-
standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Su mber : A mirudin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
33

(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan

batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya. 61

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

dengan studi terhadap penggunaan blangko akta jual beli di Kota Medan.

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat

digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);62

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel); 63

c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria; 64

d. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman; 65

61
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Il mu Hukum Normatif, diterjemah kan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, (Bandung : Nusamedia
& Nuansa, 2007).
62
Kitab Undang-Undang Huku m Perdata, Staatsblad Tahun 1847 No mor 23.
63
Kitab Undang-Undang Huku m Dagang, Staatsblad Tahun 1847 No mor 23.
64
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Po kok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No mor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No mor 2043.
34

e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; 66

f. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan; 67

g. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; 68

h. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 69

i. Peraturan Pemeirntah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah; 70

j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

k. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.

37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai

konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer

dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik

65
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669.
66
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 No mor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mor 3632.
67
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No mor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No mor 3688.
68
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Le mbaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 No mor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomo r 4432.
69
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 No mor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mor
3696.
70
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No mor 52, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No mor 3746.
35

jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang

relevan seperti :

a. Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik

Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana

(RS);

b. Keputusan Kepala BPN No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan

Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah

Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS);

c. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang

Blangko Akta PPAT.

3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum

primer, seperti :

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia;

b. Black’s Law Dictionary. 71

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah menggunakan tekhnik studi kepustakaan

(library research) dan studi dokumen yang dipandang relevan. Instrumen yang

digunakan ada 2 (dua) hal yaitu : a. Kepustakaan; dan b. Pengumpulan Data melalui

Badan Pertanahan Nasional Kota Medan dengan cara wawancara. Wawancara

dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain bahan hukum yang

71
Richard A. Garner, Editor, Black’s Law Dictionary, Ed isi Kedelapan, (West Group, 2004).
36

dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan para Staff dan

Karyawan Badan Pertanahan Nasional di Medan.

Pengumpulan data akan dapat dilakukan dengan baik, jika tahap sebelumnya

sudah dilakukan persiapan secara matang. Sebelum melakukan pengumpulan data ke

lapangan, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan atau disediakan adalah72 :

“Surat izin untuk melakukan penelitian, pedoman untuk melakukan


wawancara dengan pihak responden atau informan, alat tulis menulis dan lain-
lain yang dianggap penting dalam melakukan suatu penelitian di lapangan
untuk memperoleh data yang diinginkan”.

Metode wawancara yang digunakan adalah in-dept interview atau wawancara

mendalam, 73 sedangkan teknik sampel yang digunakan adalah sampling purposive.

Dalam sampling purposive,74 pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-

sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau

sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Keuntungan menggunakan

metode ini adalah dapat meminimalkan biaya penelitian. Responden yang dipilih

adalah yang terlibat langsung dalam penggunaan blangko akta jual beli yaitu

72
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Pratek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal.
49.
73
Wawancara mendalam secara umu m adalah proses mempero leh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian,
kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Sepert i yang
dikemu kakan o leh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
74
Berkenaan dengan tujuan penelitian kualitatif, maka dalam prosedur sampling yang
terpenting adalah informan yang diwawancarai haruslah sarat akan informasi yang berkaitan dengan
bahasan penelitian. Sampling purposive adalah unsur-unsur yang ditelit i masuk ke dalam sampel yang
dituju dalam hal in i adalah para Staff/Pegawai dan Karyawan Badan Pertanahan Nasional karena
merupakan informan yang tepat untuk diwawancarai berkaitan dengan penggunaan blanko akta jual
beli peru mahan. Seperti yang dikemu kakan o leh Satjipto Rahard jo, Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta : Un iversitas Indonesia Press, 1986), hal. 196.
37

masyarakat yang berada di wilayah kantor Badan Pertanahan Nasional yang sedang

melakukan pengajuan permohonan.

4. Analisis Data

Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka

ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis

proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang

tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik

informasi, data, dan proses suatu fenomena. 75

Analisis dilakukan secara holistik 76 dan integral untuk menemukan hubungan

logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan

kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya

antara lain meliputi penggunaan blangko akta jual beli, peran notaris dalam

mengakomodir penggunaan blangko akta jual beli, penyediaan blangko akta jual beli

oleh Badan Pertanahan Nasional, perlindungan hukum terhadap konsumen, dan lain-

lain yang ditemukan dalam penelitian.

Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat

menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan

tidak terintegrasi ke dalam ilmu- ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi

75
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 153.
76
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan. Dalam : Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/ 08/ memb incang-holistik-dalam-antropologi.ht ml., diakses pada
11 Juni 2011.
38

perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya

akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita

dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.77

Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh

bagian dari penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan agar

menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna. 78

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak

langsung akan menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”- nya dalam melihat

masalah dalam penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan.

Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan

penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya

teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. 79

Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori

yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan

pembuktian teori tersebut apakah80 :

77
Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Huku m”, (Jurnal Progresif, Vo l. 1 No.
2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hu ku m dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-huku m-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses
pada 11 Juni 2011.
78
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 11 Juni 2011.
79
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26.
80
Ibid., hal. 27-29.
39

1. Hasil- hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil

penelitian dapat memperkuat teori yang ada;

2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-

perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda,

atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori

yang digunakan tadi; dan

3. Apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil

penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu,

lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat

dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak

kebenarannya dengan menggunakan teori baru.


40

BAB II

PELAKSANAAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN MENGGUNAKAN


BLANGKO AKTA JUAL BELI DI KOTA MEDAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Hidup bermasyarakat mengandung arti bahwa, manusia atau setiap individu

saling ketergantungan dengan manusia atau individu lainnya. Hal tersebut tercermin

dari berbagai aktifitas yang dilakukan seperti tukar menukar, pinjam meminjam, jual

beli terhadap barang atau jasa dan sebagainya. Semua aktifitas tersebut akan menjadi

dasar lahirnya suatu perjanjian, karena adanya perikatan untuk saling mengikatkan

diri satu sama lainnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Subekti dalam

bukunya Hukum Perjanjian mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari, istilah

kontrak dipakai ketika seseorang ingin menyewa rumah, tempat usaha, atau bekerja di

sebuah perusahaan swasta. Dalam arti lebih sempit, istilah kontrak pemakaiannya

ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 81

Contohnya dapat dilihat pada perjanjian jual beli, perjanjian kerjasama,

perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian utang-piutang, dan lain sebagainya.

Bila seorang kontraktor akan menerima pekerjaan merenovasi sebuah rumah maka

kontraktor tersebut membuat perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemilik

rumah. Dalam pengertian sederhana, perjanjian/kontrak adalah kesepakatan antara

dua orang atau lebih tentang sesuatu hal, baik dibuat secara tertulis atau lisan. Para

81
Yunirman Rijan dan Ira Koesoemawat i, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak
dan Surat Penting Lainnya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2009), hal. 5.
41

pihak yang membuat perjanjian/kontrak. Kini, semua perjanjian/kontrak dibuat dalam

bentuk tertulis dengan maksud untuk memudahkan pembuktian di kemudian hari. 82

1. Perjanjian Merupakan Sumber Perikatan

Perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak merupakan sumber perikatan

dan mengikat kedua belah pihak atau yang menandatanganinya sejak tanggal

ditandatanganinya perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibahas dalam penelitian ini

adalah yang dimaksudkan dalam Buku III KUHPerdata. Di dalam KUHPerdata

ditulis mengenai rumusan tentang perikatan yaitu pada Pasal 1233 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa : “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun

karena undang- undang”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan

itu terjadi dikarenakan oleh suatu persetujuan antara kedua belah pihak ataupun oleh

beberapa pihak. Perikatan itu dapat juga terjadi bukan atas kemauan sendiri tetapi

karena dilahirkan oleh undang- undang. 83

Kata “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari pada


24

“Perjanjian”. Menurut R. Subekti 84 :

”Buku III BW berjudul Perihal Perikatan, perikatan (verbintenis) mempunyai


arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu
diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada
suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan

82
Ibid.
83
Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Peneerimaan Dalam Hukum Perjanjian, (Jakarta :
Grasindo, Tanpa Tahun), hal. 24. Lihat juga H.F. Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands
Burgelijk Recht (1), mengatakan bahwa : “ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama
seseorang itu (debitor) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap
kreditor kalau perlu dengan bantuan hukum”.
84
R. Subekt i, Op.cit., hal. 122-123.
42

persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan


pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.

Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III BW itu adalah suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang
memberi hak. Satu orang untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II
mengatur perihal hubungan- hubungan hukum antara orang dengan orang
(hak- hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi objek juga suatu
benda.

Oleh karena sifat hukum yang memuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu
tuntut menuntut, maka isi Buku III itu juga dinamakan hukum perhutangan.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau krebitur,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang
atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi,
yang menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang.
2. Melakukan suatu perbuatan.
3. Tidak melakukan suatu perbuatan”.

Buku III KUHPerdata tidak ada memberikan suatu defenisi dari perikatan.

Namun ada beberapa ahli hukum memberikan defenisi tentang perikatan. Menurut

Mariam Darus Badrulzaman, “perikatan adalah hubungan yang terjadi di atara dua

orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan, dimana

pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi

itu”. 85 Sementara itu, J. Satrio menyatakan bahwa 86 :

“Mengenai istilah verbintenis terjemahannya dalam Bahasa Indonesia masih


belum ada kesatuan pendapat. Ada yang menggunakan istilah “perutangan”,
ada yang menggunakan istilah “perikatan”, ada yang menggunakan kedua
istilah tersebut bersama-sama, malahan ada yang mengusulkan istilah
“perjanjian” untuk mengganti verbintenis, sekalipun diberikan arti yang luas,
meliputi juga yang muncul dari hukum Adat dan segi lain lebih sempit dari
verbintenis yang selama ini dikenal, karena tidak meliputi yang lahir dari

85
Mariam Darus Badrulzaman, K UHPerdata Buku ke III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, (Jakarta : Alu mni, 1998), hal. 1.
86
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alu mni, 1993), hal. 1.
43

undang-undang saja (uit de wet allen) dan yang lahir dari


onrechtmatigedaad”.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan di atas, maka hal tersebut

memberikan kejelasan bahwa suatu perjanjian yang dibuat itu telah menimbulkan

perikatan bagi pihak-pihak yang membuatnya dan hak serta kewajiban dengan

sendirinya harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, seperti halnya jual beli

perumahan oleh pengembang atau developer, di mana pihak pengembang atau

developer menjual perumahannya kepada para konsumen yang membeli perumahan

tersebut. Para konsumen sebagai pembeli membayar harga rumah sesuai dengan

kesepakatan berdasarkan perjanjian jual beli yang telah ditandatangani oleh para

pihak.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada para konsumen

merupakan perjanjian jual beli perumahan yang menggunakan blangko akta jual beli.

Blangko akta jual beli harus memuat asas-asas untuk keabsahan suatu perjanjian yang

benar karena untuk pembuatan perjanjian jual beli perumahan tersebut oleh

pengembang harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu beberapa ahli

hukum telah memberikan penjelasan-penjelasan hakikat dari suatu perjanjian dan

untuk lebih mendalami hal tersebut maka di bawah ini akan dibahas asas-asas yang

harus termuat dalam suatu perjanjian.


44

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dalam hukum perjanjian terdapat

beberapa asas, antara lain 87 :

1. “Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi). Asas ini biasa


disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak. Dalam Pasal 1320 ayat (1)
KHUPerdata disebutkan bahwa, “para pihak sepakat untuk mengikatkan
dirinya”. Hal ini terlihat bahwa masing- masing pihak ada kemauan secara
sukarela untuk saling mengikatkan diri pada suatu kondisi yang dikehendaki
bersama.

2. Asas konsensualisme. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan
Pasal 1338 KUHPerdata. Dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan keinginannya
dalam suatu perjanjian.

3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel). Asas ini menyatakan bahwa dengan


mengadakan perjanjian maka masing- masing pihak akan memegang janjinya,
dengan demikian akan tumbuh atau muncul kepercayaan antara pihak yang
satu dengan pihak yang lain, sehingga masing- masing pihak akan memberikan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

4. Asas kekuatan mengikat. Asas ini menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian
terkandung makna asas kekuatan mengikat, karena masing- masing pihak yang
berjanji terikat untuk melakukan yang telah diperjanjikan, namun tidak
semata- mata terbatas pada apa yang telah diperjanjikan, tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang hal tersebut dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral.

5. Asas persamaan hukum. Asas ini menyatakan bahwa masing- masing pihak
mempunyai kedudukan dan persamaan derajat tanpa dibedakan satu dengan
yang lainnya oleh karena perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan dan lain- lain. Masing- masing menghormati perbedaan ini
sebagai ciptaan Tuhan.

6. Asas keseimbangan. Pelaksanaan daripada perjanjian tersebut adalah menjadi


kehendak dari kedua belah pihak yang berjanji. Asas ini juga merupakan
kelanjutan dari asas persamaan hukum. Seorang kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perluasan prestasi
melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga harus memikul beban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Kedudukan kreditur
yang lebih kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad
baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

87
Mariam Darus Badrulzaman, Loc.cit., hal. 108-115.
45

7. Asas kepastian hukum. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat bagi kedua


belah pihak karena perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya dan oleh karenanya perjanjian tersebut mempunyai
kepastian hukum.

8. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan yang wajar, dimana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk
menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam
zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan secara
sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, juga asas ini terdapat dalam
Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut berdasarkan pada
kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

9. Asas kepatutan. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan
ketentuan-ketentuan yang dibuat di dalam perjanjian tersebut. Hal ini yang
menjadi ukuran tentang hubungan dan rasa keadilan yang satu dengan yang
lainnya.

10. Asas kebiasaan. Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata
yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal- hal yang
dalam keadaan dan kebiasaan yang lazin diikuti”.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas mengenai asas-asas yang

terdapat dalam suatu perjanjian, maka jual beli perumahan oleh pengembang kepada

para konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli diharapkan dapat

memenuhi beberapa asas tersebut.

3. Jenis-Jenis Perjanjian

Penelitian ini juga membahas mengenai jenis-jenis perjanjian pada umumnya,

sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan blangko akta jual beli

oleh pengembang tersebut termasuk dalam suatu jenis perjanjian apa yang akan
46

diutarakan di bawah ini. Ada beberapa jenis perjanjian dalam ruang lingkup hukum

perjanjian, antara lain :

a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak

Menurut Abdulkadir Muhammad sebagai ahli hukum perdata “perjanjian

timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan

kewajiban kepada kedua belah pihak”. 88 Perjanjian ini merupakan kegiatan yang

biasa terjadi dalam kehidupan sehari- hari, misalnya perjanjian jual beli, tukar

menukar, sewa menyewa dan lain sebagainya. “Sedangkan perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang hanya memberikan atau membebankan kewajiban kepada salah satu

pihak saja tanpa diikuti penerimaan hak dan memberikan hak kepada pihak yang

lainnya tanpa dikuti dengan kewajiban”. 89 Perjanjian ini dapat diberikan contoh

seperti : pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut, pihak

pemberi hadiah ataupun pemberi hibah diwajibkan untuk menyerahkan benda yang

menjadi objek dari perikatan tersebut, sedangkan pihak lainnya berhak untuk

menerima benda yang diberikan atau dihibahkan tersebut.

b. Perjanjian Cuma-Cuma dan Pe rjanjian Atas Beban

“Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak saja, dan contohnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah

perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra

88
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 1.
89
Ibid., 2.
47

prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut

hukum”. 90

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang memiliki nama tersendiri. Dengan

kata lain, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi dalam

kehidupan sehari- hari. Perjanjian bernama terdiri dari91 :

1. Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata Bab V – Bab XVII.

Contohnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja,

persekutuan perdata, badan hukum, hibah, penitipan barang, pinjam pakai,

pinjam pakai habis, bunga tetap, persetujuan untung-untungan, pemberian

kuasa, penanggung dan perdamaian;

2. Perjanjian yang diatur dalam KUHD. Contohnya : perjanjian perwalian

khusus, perjanjian jual beli perniagaan, makelar, dan asuransi; dan

3. Perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang khusus. Contohnya : Perseroan

Terbatas, perjanjian pengangkutan udara, Koperasi, dan Yayasan.

Sedangkan perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tumbuh

berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam mengadakan suatu perjanjian.

Perjanjian tidak bernama ini tidak diatur dalam KUHPerdata, akan tetapi di dalam

90
Ibid., hal. 3.
91
Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Visimedia, Desember 2010), hal. 14.
48

kehidupan sehari- hari telah sering terjadi di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak

terbatas, hal ini dikarenakan perjanjian tersebut disesuaikan dengan kebutuhan para

pihak yang akan membuat perjanjian tersebut, misalnya perjanjian kerjasama,

perjanjian pemasaran, perjanjian kuasa dan sebagainya. 92

d. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst) dan Perjanjian


Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda yang dialihkan atau

diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain. 93 Sedangkan perjanjian obligatoir

berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata adalah perjanjian di antara pihak-pihak yang

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang

menimbulkan perikatan). Menurut Mariam Darus Badrulzaman berdasarkan

KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari

penjual kepada pembeli dan untuk beralihnya hak milik bendanya masih diperlukan

satu lembaga lain, yaitu penyerahan. 94

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian konsensuil sudah memiliki

kekuatan mengikat karena telah tercapai persesuaian kehendak (ada kata sepakat) di

antara kedua belah pihak dalam melakukan suatu perikatan. Sedangkan perjanjian riil

berlaku atau dianggap sah apabila telah terjadi penyerahan barang (levering).

Contohnya : perjanjian penitipan barang yang tercantum dalam Pasal 1694

KUHPerdata dan lain- lain.

92
Ibid., hal. 14.
93
Mariam Darus Badru lzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakt i, 2001), hal. 67.
94
Ibid., hal. 20.
49

e. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Perjanjian campuran yaitu perjanjian yang mengandung dua atau lebih

ketentuan-ketentuan Undang-Undang dari Perjanjian Bernama. Dengan kata lain,

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian.

Sebagai contoh seorang pemilik rumah yang menyewakan kamar atau sebagian

ruangan rumahnya (yang mana dalam hal ini tergolong dalam sewa menyewa), akan

tetapi juga menyajikan makanan kepada penyewa kamar atau sebagian ruangan

rumah tersebut (yang dalam hal ini tergolong dalam jual beli). 95

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas mengenai beberapa jenis perjanjian,

maka dalam penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pengembang tersebut adalah

termasuk dalam beberapa jenis yaitu perjanjian timbal balik, perjanjian tidak

bernama, perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Sebagaimana suatu perjanjian biasa, maka jual beli perumahan yang

menggunakan blangko akta jual beli oleh pengembang tersebut memiliki syarat-syarat

yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, perlu untuk diketahui syarat-syarat sah

perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata

antara lain96 :

95
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun Ikatan
Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan Masa Datang, (Jakarta :
Gramed ia Pustaka Utama, Tanpa Tahun), hal. 82.
96
Fitri Susanti, “Praktek Perjan jian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta
Notaris di Jakarta Timu r”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro, 2008), hal. 6.
50

1. Kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri (detoestemning);

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid);

3. Suatu hal tertentu (een bepald onderwerp); dan

4. Suatu sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).

Selain syarat umum yang telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,

Munir Fuady menyebutkan bahwa dalam hukum perjanjian atau hukum kontrak ada

syarat sah umum di luar Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat sah yang khusus, sebagai

berikut 97 :

1. “Syarat sah umum di luar Pasal 1320 KHUPerdata, terdiri dari :


a. Syarat itikad baik.
b. Syarat sesuai dengan kebiasaan.
c. Syarat sesuai dengan kepatutan.
d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

2. Syarat sah yang khusus, terdiri dari :


a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.
b. Syarat akta Notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan Notaris) untuk kontrak-
kontrak tertentu.
d. Syarat dari yang berwenang”.

Adanya kata sepakat dalam suatu perjanjian, maka berarti kedua belah pihak

haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Bagi para pihak tidak boleh mendapat

suatu tekanan yang akan mengakibatkan adanya kecacatan dalam perwujudan

kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang

disetujui (overeentemende wilsverklaring) antar parapihak. Pernyataan pihak yang

97
Munir Fuady, Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung : Citra
Aditya Bakt i, 1999), hal. 33-34.
51

menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Dilihat dari syarat-syarat

perjanjian tersebut, maka dapat dibedakan bagian dari perjanjian, antara lain yaitu 98 :

1. “Bagian inti (wanzenlijke naturalia oorde).


2. Sub bagian inti disebut esensialia adalah bagian yang merupakan sifat yang
harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan
perjanjian itu tercipta (contructieve oordeel).
3. Bagian yang bukan inti disebut naturalia adalah bagian yang merupakan sifat
bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada
perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual
(vrijwaring).
4. Bagian aksidentialia adalah bagian yang merupakan sifat yang melekat pada
perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak”.

Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan bahwa : “semua persetujuan,

baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan nama

tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum”. Selain dari hal tersebut, Pasal 1339

KUHPerdata juga menyebutkan bahwa : “persetujuan-persetujuan tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan

atau undang-undang”. Umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk

tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Jika dibuat secara tertulis,

maka dapat berbentuk akta Notaris dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan

dapat berupa perjanjian baku (perjanjian standar) dan hal tersebut bersifat sebagai alat

bukti jika terjadi perselisihan dikemudian harinya. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata

disebutkan bahwa : “jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau

penipuan, berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para

pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan”.

98
Marian Darus Badru lzaman, et.al., Op.cit., hal. 57.
52

Undang-Undang membedakan dua jenis kekhilafan yaitu khilaf mengenai

orang (error inpersonal) dan khilaf mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian

(error insubtantia). Pasal 1323 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata

menjelaskan bahwa paksaan tersebut terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk

menyatakan kehendaknya. Paksaan ini berwujud kekerasan jasmani atau ancaman

(akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga yang

bersangkutan membuat perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 1328 KUHPerdata

menyebutkan bahwa : “penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat

berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu

perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut”.

Berdasarkan dari ketentuan pasal tersebut, maka perjanjian yang diadakan dengan

penipuan tersebut dapat dibatalkan.

Sementara mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

sebagaimana diatur di dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331

KUHPerdata pada dasarnya menetapkan setiap orang cakap untuk membuat

perikatan, kecuali jika Undang-Undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah

tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang

yang belum dewasa dan setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam

keadaan pailit. Terhadap suatu hal tertentu, undang- undang menentukan benda-benda

yang tidak dapat dijadikan objek dari perjanjian. Benda-benda itu adalah yang

dipergunakan untuk kepentingan umum. Suatu perjanjian harus mempunyai objek

tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan benda-benda itu dapat berupa benda

yang sekarang ada dan juga benda-benda yang nanti akan ada di kemudian hari.
53

5. Penyebab Berkahirnya Suatu Perjanjian

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, jual beli perumahan dengan

menggunakan akta jual beli oleh pengembang juga memiliki ketentuan-ketentuan

kapan berakhirnya atau diakhirinya perjanjian tersebut. Oleh sebab itu, di bawah ini

akan dibahas mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1381

KUHPerdata, suatu perjanjian dapat berakhir atau hapus disebabkan karena, antara

lain :

a. Pembayaran

Pembayaran merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hapusnya

perikatan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1382 sampai dengan Pasal 1403 Bab IV

Buku III bagian I KUHPerdata. Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi mengatakan

Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa 99 :

”Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan,


seperti seorang yang turut berhutang atau seseorang penanggung hutang.
Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang
tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas
nama dan untuk melunasi hutang debitor, atau jika ia bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditor”.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa KUHPerdata tidak

memberikan suatu pengertian tentang pembayaran, hanya saja dari rumusan tersebut

disebutkan dan dikatakan secara tegas tentang masalah pemenuhan hutang. Dengan

demikian berarti yang dimaksud dengan pembayaran adalah pemenuhan kewajiban

99
Gunawan Wid jaja dan Kart ini Mu ljad i, Hapusnya Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 14.
54

debitor kepada kreditor. Pembayaran dalam pengertian hukum perikatan bukan hanya

memenuhi, menyerahkan sejumlah uang tetapi juga berupa penyerahan barang sesuai

dengan perjanjian. Jadi, bukan saja pembeli membayar uang untuk pembelian tetapi

penjual pun dikatan membayar jika penjual menyerahkan barang yang dijualnya.

Selain dari hal tersebut di atas, maka ada hal lain yang berhubungan dengan

pembayaran yaitu mengenai tempat pembayaran. Menurut Gunawan Widjaja dan

Kartini Muljadi, tempat pembayaran terbagi dalam dua kelompok, antara lain 100 :

1. “Untuk perikatan yang lahir dari undang-undang, seluruh biaya yang


dikeluarkan sehubungan dengan pembayaran atau pemenuhan perikatan
adalah menjadi tanggungan debitor sepenuhnya.
2. Untuk perikatan yang lahir dari perjanjian, tempat pemenuhan perikatan
merupakan hal yang penting dalam menentukan luasnya tanggung-jawab
debitor atas biaya pembayaran atau pemenuhan perikatan. Untuk itu maka
ketentuan dalam Pasal 1393 KUHPerdata menentukan bahwa pembayaran
harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam persetujuan, jika dalam
persetujuan tidak ditetapkan pada suatu tempat, maka pembayaran mengenai
suatu barang yang sudah ditentukan, harus terjadi di tempat di mana barang
tersebut berada sewaktu persetujuannya dibuat”.

b. Penawaran Pe mbayaran Tunai Diikuti Dengan Penyimpanan Atau


Penitipan

Ketentuan mengenai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan

penyimpanan atau penitipan telah diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata sampai

dengan Pasal 1412 KUHPerdata. Hapusnya perikatan karena penawaran pembayaran

tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan hanya dapat terjadi terhadap

perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, baik berupa kebendaan

dalam arti luas, maupun dalam bentuk uang sebagai pemenuhan hutang dalam arti

yang sempit. Bahkan jika diperhatikan makna kata penitipan atau penyimpanan

100
Ibid., hal. 66-67.
55

tersebut di atas jelas bahwa kebendaan yang dimaksud hanya meliputi kebendaan

yang bergerak saja, disebabkan karena kebendaan dari penyerahan kebendaan

bergerak. Di mana menurut ketentuan Pasal 612 KUHPerdata cukup dilakukan

dengan penyerahan fisik dari kebendaan tersebut. Sedangkan kebendaan tidak

bergerak secara esensi tidak mungkin dapat dititipkan atau disimpan untuk diserahkan

kepada kreditor.

Berdasarkan uraian yang telah diutarakan di atas, maka dapat dilihat bahwa

KUHPerdata tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan debitor yang beritikad

baik, yang memang bermaksud untuk memenuhi perikatannya atau melakukan

pembayaran sesuai dengan kewajibannya.

c. Pembaharuan Hutang (Novasi)

Novasi atau pembaharuan hutang merupakan salah satu cara untuk mengakhiri

suatu perjanjian. Marian Darus Badrulzaman mengatakan bahwa, novasi adalah suatu

perjanjian baru dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus

diadakan suatu perikatan baru. 101 Menurut Sutarno sebagai ahli hukum perdata, Pasal

1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa ada tiga cara terjadinya novasi, yaitu102 :

1. Novasi subjektif aktif suatu perjanjian yang bertujuan menggantikan kreditor

lama dengan seorang kreditor baru.

101
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 76.
102
Sutarno, Op.cit., hal. 174.
56

2. Novasi subjektif pasif adalah suatu perjanjian yang bertujuan mengganti

debitor lama dengan debitor baru dan membebaskan debitor lama dari

kewajibannya dan biasanya juga disebut dengan alih debitor.

3. Novasi objektif yaitu suatu perjanjian antara kreditor dengan dibitor untuk

memperbarui atau merubah objek ataupun isi perjanjian. Pembaruan objek

perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari debitor diganti

dengan prestasi lain.

d. Perjumpaan Hutang (Kompensasi)

Kompensasi atau perjumpaan hutang dapat dilakukan dengan beberapa syarat

yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 1427 KUHPerdata, antara lain :

1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang.

2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Maksud dari barang yang

dapat dihabiskan adalah barang yang dapat diganti.

3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

Menurut perkembangannya, untuk menyelesaikan kredit macet debitor dan

kreditor dapat melakukan kompensasi antara hutang debitor dengan jaminan yang

telah disediakan oleh debitor, bukan dengan hutang saja. Caranya yaitu debitor

menyerahkan jaminannya kepada kreditor/bank dan bank menghapuskan hutangnya

(hutang dinyatakan lunas) dan kompensasi ini disebut juga set off.103

103
Ibid., hal. 175.
57

e. Pencampuran Hutang

Ketentuan Pasal 1436 KUHPerdata menjelaskan makna percampuran hutang

dengan rumusan sebagai berikut, “apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang yang

berpiutang dan orang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi

hukum suatu percampuran hutang, dengan mana piutang dihapuskan”. Berdasarkan

pernyataan tersebut, maka dapat dilihat bahwa hanya satu hutang, kewajiban atau

perikatan yang saling meniadakan karena berkumpulnya hutang dan piutang pada

satu pihak.

Berbeda halnya dengan kompensasi yang di dalamnya terkait sekurang-

kurangnya dua hutang yang saling timbal balik. Menurut Pasal 1437 KUHPerdata,

konsekuensi dari adanya percampuran hutang tersebut adalah :

“Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama, berlaku


juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya. Percampuran yang terjadi
pada dirinya si penanggung hutang, tak sekali-kali mengakibatkan hapusnya
hutang pokok. Percampuran yang terjadi pada dirinya salah satu dari orang-
orang yang berhutang secara tanggung- menanggung sehingga melebihi
bagiannya dalam hutang yang ia sendiri menjadi orang berhutang”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menjadi lebih jelas lagi bahwa

meskipun perikatan pokok (yang bersifat tanggung- menanggung pasif) telah hapus

karena terjadinya percampuran hutang, namun para debitor yang secara tanggung-

menanggung bertanggung-jawab atas hutang yang telah dipercampurkan tersebut

(tidak dibebaskan dari kewajibannya yang terkait secara tanggung- menanggung pasif

tersebut) untuk memenuhi bagian hutang atau kewajiban masing- masing terhadap

debitor (dalam perikatan tanggung- menanggung pasif tersebut) karena percampuran


58

hutangnya telah dianggap memenuhi kewajiban yang bersifat tanggung- menanggung

pasif tersebut.

f. Pembebasan Hutang

Menurut Sutarno, pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang

dilakukan kreditor dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran

hutang dari debitor. Hal ini berarti bahwa kreditor melepaskan haknya dan tidak

menghendaki lagi pemenuhan perjanjian yang diadakan, dengan begitu debitor

dibebaskan dari prestasi yang sebenarnya harus dilakukan. Secara tegas berarti bahwa

kreditor memberitahukan secara lisan atau tulisan kepada debitor bahwa kreditor

membebaskan kepada debitor untuk tidak membayar lagi hutangnya. 104

Ketentuan Pasal 1442 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Pembebasan suatu hutang atau penglepasan menurut persetujuan, yang


diberikan kepada si berhutang utama, membebaskan para penanggung hutang.
Pembebasan yang diberikan kepada si penanggung hutang tidak
membebaskan si berhutang utama. Pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung hutang tidak membebaskan para penanggung lainnya”.

Berdasarkan pernyataan dari Sutarno tentang pembebasan hutang dan

ketentuan dari Pasal 1442 KUHPerdata tentang pembebasan hutang, maka secara

langsung tidak berkaitan dengan jual beli perumahan dengan menggunakan blangko

akta jual beli oleh pengembang karena biasanya pembayaran dilakukan secara tunai,

akan tetapi secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan jual beli perumahan

104
Sutarno, Op.cit., hal. 88.
59

oleh pengembang jika dilakukan melalui Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya

disebut KPR).

Hal ini dapat terjadi jika pihak konsumen yang ingin memiliki perumahan

melalui KPR, maka pihak konsumen yang berhutang dalam melakukan pembayaran

kredit pemilikan perumahan kepada pihak pengembang atau pihak bank, maka dapat

dikatakan bahwa pihak pengembang atau bank sebagai kreditor dan pihak konsumen

sebagai debitor. Pihak pengembang atau Bank selaku kreditor harus secara tegas

menyatakan tidak akan menuntut pembayaran kredit yang terhutang dari pihak

konsumen dan pihak konsumen pun akan menggunakan perumahan tersebut tanpa

adanya gangguan akan mendapat tuntutan dari pihak pengembang maupun pihak

bank selaku kreditor. 105

g. Musnahnya Barang yang Terhutang

Menurut Sutarno sebagai ahli hukum perdata, mengenai musnahnya barang

yang terhutang adalah jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang,

tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang tersebut tidak diketahui lagi apakah

masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus, dengan syarat musnahnya

barang atau hilangnya barang bukan disebabkan oleh debitor dan sebelum debitor

lalai menyerahkan barangnya kepada kreditor. Seandainya debitor lalai menyerahkan

barang dan debitor dibebaskan dari pemenuhan prestasi jika debitor dapat

membuktikan musnahnya barang atau hilangnya barang tersebut disebabkan kejadian

di luar kekuasaannya atau disebabkan overmacht. Apabila barang yang menjadi objek

105
Ibid., hal. 89.
60

dari perjanjian tersebut telah diasuransikan (memiliki hak asuransi atas barang yang

musnah/hilang tersebut), maka debitor diwajibkan untuk menyerahkannya kepada

kreditor. 106

Berdasarkan pernyataan tersebut mengenai musnahnya barang yang terhutang,

maka secara langsung ada hubungannya dengan jual beli perumahan oleh

pengembang kepada konsumen, dimana menurut hasil wawancara dengan pihak

pengembang, jika rumah tersebut telah dibayar lunas oleh pihak konsumen sementara

pihak pengembang belum menyerahkan rumah tersebut kepada pihak konsumen,

maka pihak pengembang diwajibkan untuk mengganti rumah tersebut sesuai dengan

ketentuan yang terdapat dalam perjanjian. 107

h. Pembatalan atau Kebatalan

Suatu perjanjian dapat dibatalkan ataupun batal jika tidak memenuhi

ketentuan, antara lain :

1. Tidak dipenuhinya syarat subjektif yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Apabila syarat subjektif ini dipenuhi, maka perjanjian tersebut

tidak dapat dibatalkan, artinya para pihak tidak melakukan pembatalan atas

perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat serta

berlaku bagi para pihak.

106
Ibid., hal. 90.
107
Wawancara dengan Anton Wijaya selaku Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi,
pada tanggal 20 Januari 2011.
61

2. Tidak dipenuhinya syarat objektif yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian

tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut

dianggap dari semula tidak pernah ada, dengan begitu tidak ada perjanjian

yang dihapus.

Suatu perjanjian dapat juga dibatalkan oleh salah satu pihak bila salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi walaupun telah terpenuhinya

syarat subjektif dan syarat objektif (hal ini sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata).

Hakim berkuasa untuk membatalkan suatu perjanjian jika isi perjanjian

membebankan kewajiban yang tidak seimbang atau membebankan kewajiban yang

lebih besar kepada salah satu pihak dan memberikan keuntungan di pihak lainnya

yang disebabkan karena kebodohan, kurang pengalaman atau dalam keadaan

memaksa dari salah satu pihak. 108

i. Berlakunya Suatu Syarat Batal

Sesuai denga bunyi Pasal 1265 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan

membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada

suatu perikatan”. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah

mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila

peristiwa yang dimaksudkan terjadi.

108
R. Subekt i, Op.cit., hal. 161.
62

j. Lewatnya Waktu (daluarsa)

Menurut M. Yahya Harahap, lewatnya waktu (daluwarsa) akan memberikan 2

(dua) pengertian, antara lain109 :

1. “Membebaskan seseorang dari kewajiban setelah lewat jangka waktu tertentu

sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang.

2. Memberikan kepada seseorang untuk memperoleh sesuatu hak setelah lewat

jangka waktu tertentu sesuai dengan yang dtetapkan undang-undang”.

Selain dari hal tersebut di atas daluwarsa yang menyebabkan seseorang

dibebaskan dari kewajibannya dalam perjanjian disebut juga dengan daluarsa

extinctive, sedangkan daluwarsa yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak

atas suatu barang disebut dengan daluwarsa acquisitive.110

B. Proses Jual Beli Perumahan Oleh Pengembang Dengan Menggunakan


Blangko Akta Jual Beli di Kota Medan

Setiap manusia membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal baik untuk

tempat berteduh dari panasnya matahari dan hujan, tempat untuk tidur, tempat untuk

berkumpul bersama keluarga dan lain sebagainya. Disisi lain hal- hal tersebut dilihat

sebagian orang atau pihak pengembang (developer) merupakan suatu peluang untuk

melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan bagi dirinya, namun juga

memberikan keuntungan bagi pihak-pihak lain yang sedang membutuhkan rumah

109
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alu mni, 1986), hal. 166.
110
Ibid., hal. 167.
63

sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya. 111 Pihak pengembang dalam menawarkan

produk perumahannya kepada konsumen dengan berbagai macam cara seperti melalui

pemasaran dengan menggunakan selebaran yang diberikan dari rumah ke rumah,

melalui pemasangan iklan pada billboard di perempatan jalan ataupun di pinggir

jalan, pemasangan iklan pada media cetak seperti di koran ataupun majalah,

pemasangan iklan pada media elektronik seperti di radio ataupun televisi dan

sebagainya. 112

Pemasaran perumahan oleh pihak pengembang kepada konsumen tersebut

“menawarkan berbagai macam fasilitas perumahan yang dimiliki seperti spesifikasi

teknis dari bangunan, tipe bangunan, pengamanan perumahan (security), kapasitas

penerangan setiap rumah (listrik), penerangan jalan pada perumahan, air bersih setiap

rumah, alas hak atas tanah setiap tipe rumah/bangunan pada perumahan, dan lain

sebagainya”. 113 Selain fasilitas perumahan yang ditawarkan oleh pihak pengembang

kepada pihak konsumen, pihak pengembang juga menawarkan cara bagaimana untuk

mendapatkan atau memiliki perumahan tersebut seperti dengan cara melalui Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) pada bank-bank yang telah ditunjuk oleh pihak pengembang

atau KPR yang langsung kepada pihak pengembang ataupun pembelian secara

langsung tunai oleh pihak konsumen dari pihak pengembang. 114

111
Hermawan Wijaya, 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta : Pustaka Gh ratama, 2009), hal. 11.
112
Budi Santoso, Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua,
(Jakarta : Elex Med ia Ko mputindo, Februari 2008), hal. 81-82.
113
Ibid., hal. 36.
114
Ibid., hal. 43-46.
64

1. Pelaksanaan Kredit Pe milikan Rumah (KPR) Oleh Penge mbang


Terhadap Konsumen

Pengembang memberikan kemudahan kepada pihak konsumen atau

masyarakat dalam hal untuk dapat memiliki perumahan dengan cara KPR melalui

bank-bank yang telah ditunjuk oleh pengembang atau tanpa melalui bank atau

langsung kepada pihak pengembang itu sendiri. Kemudahan yang diberikan kepada

konsumen untuk memiliki perumahan dengan cara KPR melalui bank atau tanpa

melalui bank (melalui pihak pengembang sendiri) yang harus memenuhi persyaratan

kelengkapan data permohonan kredit dan persyaratan tersebut antara lain 115 :

1. “Kelengkapan Data Pribadi/Keluarga Pihak Konsumen, yaitu :


a. Fotocopy kartu identitas atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami- isteri;
b. Pasphoto suami- isteri;
c. Fotocopy kartu keluarga;
d. Fotocopy surat nikah/cerai (bagi yang telah bercerai); dan
e. Fotocopy buku tabungan bank.

2. Kelengkapan Data Pekerjaan/Usaha Pihak Konsumen yang terdiri atas :


a. Terhadap konsumen dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
Pegawai Swasta harus menyediakan, antara lain :
1) Fotocopy Nomor Peserta Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Pajak
Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPPh);
2) Surat Keterangan Tempat Bekerja;
3) Slip gaji/penghasilan terakhir;
4) Fotocopy rekening koran tabungan/giro/deposito suatu bank dalam
wakt 3 (tiga) bulan terakhir; dan
5) Surat Kuasa Pemotongan gaji/pensiunan.

b. Terhadap konsumen dengan status wiraswasta harus menyediakan, antara


lain :
1) Fotocopy Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP), Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), NPWP
Perusahaan dan izin usaha lainnya;
2) Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan/Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Perusahaan dan perubahan terakhirnya;

115
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
65

3) Fotocopy Neraca laba-rugi/Laporan penjualan;


4) Fotocopy rekening koran tabungan/giro/deposito perusahaan dalam
waktu 3 (tiga) bulan terakhir; dan
5) Daftar rekanan perusahaan/kontrak-kontrak yang telah dilakukan
perusahaan.

3. Kelengkapan Data Agunan Pihak Konsumen yang melakukan KPR melalui


bank, antara lain :
a. Fotocopy sertifikat tanah/bangunan dengan status Sertifikat Hak
Milik/Sertifikat Hak Guna Bangunan;
b. Fotocopy Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
c. Fotocopy Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
d. Foto rumah yang menjadi agunan; dan
e. Bukti pembayaran rekening listrik, air dan telepon”.

“Persyaratan kelengkapan data permohonan kredit di atas, maka dapat


dikatakan bahwa persyaratan kelengkapan tersebut sebagai bahan dasar atau
pertimbangan bagi pihak pengembang dalam memberikan KPR kepada
konsumen yang ingin memiliki perumahan. Memang pada dasarnya dalam
pemberian suatu kredit membutuhkan suatu keyakinan dan kepercayaan
bahwa pihak konsumen (debitur) tersebut benar-benar mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan KPR tersebut sampai lunas
116
pembayarannya”.

Untuk menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit,

pada umumnya dunia perbankan atau dunia usaha lainnya menggunakan instrumen

analisa yang terkenal dan biasa disebut the fives of credit atau disingkat 5 C, yaitu117 :

1. “Charakter (watak) ialah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak
dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak di antara baik dan jelek.
Watak merupakan bahan petimbangan untuk mengetahui risiko yang dapat
terjadi.

2. Capital (modal). Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha
atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.

116
Ibid.
117
Sutarno, Op.cit., hal. 93-94.
66

3. Capacity (kemampuan). Seorang debitur yang mempunyai karakter atau


watak yang baik selalu akan memikirkan mengenai pembayaran kembali
hutangnya sesuai waktu yang telah ditentukan.

4. Collateral (jaminan). Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat


sebagai jaminan untuk menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian
hari debitur tidak melunasi hutangnya dengan menjual jaminan dan
mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan
tersebut.

5. Condition of economy (kondisi ekonomi). Selain faktor- faktor di atas, yang


perlu mendapat perhatian penuh dari analisa adalah kondisi ekonomi negara.
Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu
tertentu di mana kredit tersebut diberikan oleh bank kepada pemohon”.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Rachmadi Usman yang menyatakan

bahwa, “sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, pihak kreditur harus

menganalisa berdasarkan prinsip 5 C yaitu penilaian watak (charakter), penilaian

kemampuan (capacity), penilaian modal (capital), penilaian agunan (collateral) dan

penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (codition of economy)”. 118 Namun

demikian menurut Munir Fuady sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman

juga menambahkan bahwa selain menerapkan prinsip 5 C juga harus menerapkan apa

yang dinamakan prinsip 5 P, yaitu119 :

1. “Party (para pihak). Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan
dalam setiap pemberian kredit. Untk itu pihak pemberi kredit harus
memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur.

2. Purpose (tujuan). Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui
oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit tersebut akan digunakan untuk
hal- hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan.

118
Rach madi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hal. 246.
119
Ibid., hal. 248-249.
67

3. Payment (pembayaran). Harus diperhatiakan apakah sumber pembayaran


kredit dari calon debitur tersebut cukup tersedia dan cukup aman, sehingga
dengan demikian diharapkan kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat
dibayar.

4. Profitabilty (perolehan laba). Usaha perolehan laba oleh debitur tidak kalah
pentingnya dalam pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi
apakah laba yang akan diperoleh perusahaan lebih besar dari pada bunga
pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran
kembali kredit, cash flow dan sebagainya.

5. Protection (perlindungan). Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit


oleh perusahaan debitur. Untk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan,
atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting
diperhatikan”.

Melihat penjabaran tersebut tentang instrumen analisa pemberian kredit atau

disebut dengan prinsip 5C yang telah disebutkan di atas dan dihubungkan dengan

persyaratan kelengkapan data permohonan KPR maka dapat dikatakan bahwa, antara

lain :

1. Untuk perwujudan prinsip dari charakter (watak) dan capital (modal) tersebut

dapat tercapai dari kelengkapan data pribadi pihak konsumen.

2. Untuk perwujudan prinsip dari capacity (kemampuan), collateral (jaminan)

dan condition of economy (kondisi ekonomi) tersebut dapat tercapai dari

kelengkapan data pekerjaan/usaha pihak konsumen dan kelengkapan data

agunan pihak konsumen.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat dilihat bahwa

pelaksanaan KPR yang dilakukan oleh pengembang terhadap konsumen tersebut

adalah sesuai dengan instrumen analisa pemberian kredit atau disebut prinsip 5 C.
68

2. Pelaksanaan Jual Beli Pe rumahan Oleh Penge mbang Dengan


Menggunakan Blangko Akta Jual Beli di Kota Medan

Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, ”Jual beli adalah suatu persetujuan dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan

pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Terhadap definisi jual beli

yang disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata tersebut jika dihubungkan dengan

jual beli perumahan oleh pengembang, maka pihak pengembang mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan perumahan kepada pihak konsumen (pembeli) dan pihak

konsumen (pembeli) tersebut akan membayar harga perumahan sebagaimana yang

telah diperjanjikan di dalam suatu Akta Jual Beli perumahan.

Perumahan yang diperjualbelikan oleh pengembang kepada pihak konsumen

selalu berkaitan dengan tanah sebagai alas hak dari perumahan tersebut. Walaupun

yang dujual tersebut oleh pengembang adalah perumahan, namun pada hakikatnya

merupakan satu kesatuan dengan tanah sebagai alas hak atas tanah dari perumahan

tersebut, karena memang perumahan yang dibangun oleh pengembang tersebut di atas

sebidang tanah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Badan Pertanahan

Nasional (selanjutnya disebut BPN) Medan, “biasanya yang dilakukan cek bersih

untuk jual beli rumah adalah objek tanahnya atau alas hak atas tanah tersebut sesuai

atau tidak dengan buku tanah yang terdapat di BPN Medan dan bukan rumahnya”. 120

Hal yang sama juga dikatakan oleh Yulhamdi sebagai salah seorang Pegawai

BPN Medan, jika jual beli rumah dengan status alas hak atas tanah Hak Milik

(selanjutnya disebut HM) atau Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB), maka

120
Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
69

biasanya meminta kepada pihak Notaris/PPAT untuk melakukan pengecekkan secara

lisan atau secara tulisan ke BPN Medan yang bertujuan untuk memastikan apakah

objek yang bersangkutan tersebut sesuai dengan yang tertera pada buku tanah yang

terdapat di BPN seperti apakah sesuai pemiliknya, lokasi, luas tanah dan bangunan,

dan kalau ada bangunannya, apakah objek tanah yang bersangkutan tersebut sedang

dibebankan Hak Tanggungan atau tidak dan lain sebagainya. 121

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan yang dilakukan

pengembang kepada para konsumen atau masyarakat identik atau sama dengan jual

beli tanah pada umumnya. Oleh karena itu jual beli perumahan oleh pengembang

kepada para konsumen (masyarakat) dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli di

Kota Medan harus memenuhi dua persyaratan, antara lain :

a. Syarat Materil

Syarat materil sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut. 122 Syarat

materil yang harus dipenuhi untuk suatu jual beli perumahan yang dilakukan

pengembang dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli, yaitu123 :

1. “Harus ada pembeli, maksudnya pihak yang akan membeli perumahan;

2. Harus ada penjual, maksudnya pihak yang akan menjual perumahan; dan

121
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
122
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika,
2007), hal. 77.
123
Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
70

3. Objek perumahan yang mau diperjualbelikan tersebut alas hak atas tanahnya

tidak dalam sengketa”.

Hal yang sama juga disebutkan oleh Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT di

Medan yang mengatakan bahwa jual beli perumahan atau tanah harus memenuhi

syarat materiil yaitu124 :

1. “Adanya pihak pembeli yang ingin membeli perumahan atau yang akan
diperjualbelikan dan dalam hal ini konsumen atau masyarakat.
2. Adanya pihak penjual yang ingin menjual perumahan atau tanah yang
bersangkutan dan dalam hal ini pihak pengembang
3. Objek perumahan atau tanah yang bersangkutan tidak dalam kondisi
dipersengketakan”.

Syarat materiil jual beli tanah, antara lain125 :

1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya, sebagai


penerima hak harus memenuhisyarat untuk memiliki tanah yang akan
dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh
hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah
tersebut, apakah HM, HGB atau Hak Pakai (selanjutnya disebut HP). Menurut
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) yang mempunyai HM atas tanah hanya Warga
Negara Indonesia tunggal dan Badan-Badan Hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan Pasal 21 UUPA. Jika pembeli mempunyai
kewarganegaraan asing atau suatu Badan Hukum yang tidak dikecualikan oleh
pemerintah maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut
jatuh kepada negara berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

2. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Maksudnya, yang menjual


suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah
tersebut yang disebut sebagai pemilik, kalau pemilik sebidang tanah yang
tersebut hanya satu orang, maka ia yang berhak untuk menjual sendiri, akan
tetapi bila pemilik tanah tersebut lebih dari satu orang atau dua orang, maka
yang berhak menjual tanah yang bersangkutan adalah kedua orang tersebut
secara bersama-sama dan tidak boleh satu orang saja yang bertindak sebagai
penjual.

124
Yulhamd i, Op.cit.
125
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 77-78.
71

3. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan jika tidak dalam sengketa.


Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, maka jual beli tanah yang
bersangkutan tidak sah dan batal demi hukum.

Mengenai tidak dipenuhinya salah satu syarat materil dalam jual beli tanah

atau perumahan tersebut, maka untuk terpenuhinya syarat materil tersebut terutama

untuk syarat adanya penjual tanah dan objek tanah yang bersangkutan tidak dalam

sengketa harus dilakukan cek bersih, sedangkan untuk syarat pembeli tanah harus

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, maka dituntut pihak Notaris/PPAT yang melakukan perbuatan

hukum tersebut harus benar-benar mengidentifikasi secara teliti tentang diri si

pembeli. 126

Sementara itu, untuk menjamin suatu kepastian hukum terhadap obyek hak atas

tanah dalam hal pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT, maka

tindakan yang dilakukan Notaris/PPAT adalah melakukan pemeriksaan sertifikat hak

atas tanah pada Kantor Pertanahan setempat yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam jual beli tanah

tersebut. 127 Berkenaan dengan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah, maka

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana

yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

126
Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
127
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
72

yang menyebutkan bahwa kewajiban untuk melakukan pemeriksaan sertifikat hak

atas tanah tersebut hanya kepada PPAT, bukan kepada Notaris. 128

Jika pihak Notaris hendak melakukan pemeriksaan sertifikat yang berkenaan

dengan rencana pembuatan akta, maka para Notaris tersebut biasanya melakukan

pemeriksaan secara lisan atau datang ke Kantor Pertanahan setempat untuk

melakukan pengecekan secara langsung keadaan tanah yang dimaksud. Dengan kata

lain, Notaris tidak dapat melakukan pengecekan secara resmi/formal akan tetapi

secara Non-Formal. 129

128
Pasal 103 ayat (1), Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan
bahwa : ”PPAT wajib menyampaikan Akta PPAT dan doku men-doku men lain yang diperlukan untuk
keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak d itandatanganinya akta yang bersangkutan”. Didukung dengan
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
129
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
73

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di BPN Medan tersebut di

atas mengenai cek bersih, maka untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan

sebagai berikut :

Bagan
Prosedur Pemeriksaan Sertifikat Hak Atas Tanah
(Cek Bersih)

Pengajuan Permohonan Melampirkan :


1. Asli Ser tifikat Hak Atas Tanah.
2. Biaya Cek Bersih Rp. 25.000,-

Permohonan Diterima
oleh Loket

Pemeriksaan/Pengecekan
oleh Petugas
(Sub Seksi Peradilan Hak, Pembebanan
Hak dan PPAT)

Tidak Bersih Bersih


1. Tidak sesuai dgn daftar-daftar yg 1. Sesuai dgn daftar-daftar yg ada di
ada di BPN. BPN.
2. Ada sita jaminan. 2. Tidak ada sita jaminan.
3. Ada blokir dari pihak-pihak yg 3. Tidak ada blokir dari pihak-pihak yg
berkepentingan berkepentingan

Pemberian Tanda Bukti Pemeriksaan

Pengambilan Hasil Pemeriksaan


1. Asli Ser tifikat.
2. Bukti Pembayaran PNBP Rp. 25.000,-

Selanjutnya siap dibuat Akta, setelah memenuhi


persyaratan sesuai dengan perundangan yang
berlaku.
74

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang syarat-syarat materiil

dalam suatu jual beli tanah atau perumahan berdasarkan hasil penelitian di lapangan

maka dapat dikatakan bahwa jual beli tanah atau perumahan tersebut dapat terlaksana

jika syarat-sayarat materil tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu. Apabila salah satu

syarat materil tersebut tidak terpenuhi maka secara yuridis jual beli yang dilakukan

dapat dikatakan batal demi hukum atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan hukum

tersebut dianggap sejak awal tidak pernah terjadi.

b. Syarat Formil

“Setelah semua persyaratan materil dipenuhi maka biasanya pihak


Notaris/PPAT akan membuat Akta Jual Beli untuk tanah atau perumahan
yang bersangkutan. 130 Namun ada juga pihak pengembang yang membuat
Akta Jual Belinya karena memang Akta Jual Beli tersebut berbentuk blangko
yang telah tersedia di BPN setempat atau di Kantor Pos setempat, sehingga
siapa saja dapat memilikinya dengan cara membelinya asalkan ada surat
pengantar atau surat keterangan dari Notaris/PPAT setempat untuk
pengambilan blangko tersebut, akan tetapi pada akhirnya tetap ditandatangani
oleh pihak Notaris/PPAT yang menjadi rekanan dari pihak pengembang. 131

“Sebelum dibuatkan Akta Jual Beli oleh pihak Notaris/PPAT, biasanya pihak

pengembang membuat perjanjian jual beli perumahan sementara sebagai pengikatan

awal antara pengembang dengan pihak konsumen yang bertujuan untuk menunjukkan

keseriusan dari pihak konsumen untuk membeli perumahan yang bersangkutan”. 132

130
Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
131
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
132
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmu r Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
75

Sebagaimana yang telah diutarakan dalam hasil penelitian di atas, maka dapat

dikatakan bahwa setelah dipenuhinya syarat-syarat materil dalam jual beli perumahan

atau tanah yang bersangkutan, maka pihak Notaris/PPAT akan membuatkan Akta

Jual Beli untuk perumahan atau tanah yang bersangkutan dengan menggunakan

blangko Akta Jual Beli yang diperoleh dari BPN setempat (Medan). Walaupun ada

juga pihak pengembang yang membuat perjanjian jual beli perumahan sebagai

pengikatan sementara yang menunjukkan keseriusan dari pihak konsumen dalam

pembelian perumahan tersebut atau hanya mengisi Blangko Akta Jual Beli namun

pada akhirnya penandatanganan tetap dilakukan oleh pihak Notaris/PPAT.

Ada beberapa syarat kelengkapan yang harus dipenuhi sebelum Akta Jual Beli

perumahan atau tanah yang dibuat Notaris/PPAT, antara lain133 :

1. “Fotocopy identitas/KTP para pihak (pihak penjual dan pihak pembeli);


2. Surat Keterangan silang sengketa dari pihak Kelurahan setempat yang
diketahui Camat di mana objek perumahan atau tanah yang bersangkutan akan
dijual;
3. Fotocopy Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut PBB) dari
perumahan atau tanah yang bersangkutan; dan
4. Fotocopy dan aslinya alas hak dari perumahan atau tanah yang bersangkutan”.

“Setelah Akta Jual Beli tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT, maka selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak Akta Jual Beli tersebut ditandatangani
oleh para pihak, Notaris/PPAT menyerahkan akta tersebut ke Kantor BPN
setempat untuk pendaftaran tanah dalam hal pendaftaran pemindahan hak atas
tanahnya”.

“Setelah Akta Jual Beli tersebut ditandatangani oleh para pihak, maka para
pihak harus membayar Pajak Penjualan dan Pajak Pembelian jika Nilai Jual
Objek Pajak atau nilai transaksi jual beli tanah atau perumahan tersebut di atas
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut NJOPTKP)
sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), serta membayar biaya

133
Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
76

pemasukan ke Kantor BPN Medan untuk pendaftaran tanah dalam hal


pemindahan hak atas tanahnya”. 134

Berdasarkan pernyataan dari penelitian lapangan di BPN Medan, maka hal

tersebut sesuai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) yang menyatakan

bahwa :

1. “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang


bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut
dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftarkan.
2. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah
disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para
pihak”.

Selain itu, untuk pemindahan hak karena jual-beli yang merupakan balik nama

dari pemegang sertifikat hak selaku penjual kepada pembeli dengan menggunakan

akta Notaris/PPAT yang dimohon oleh pembeli kepada Kepala Kantor Pertanahan

setempat melalui prosedur perolehan sertifikat hak atas tanah dengan pemenuhan

persyaratan permohonan sebagai berikut 135 :

1. “Surat Permohonan.
2. Surat pengantar pendaftaran akta jual-beli dari Notaris selaku PPAT.
3. Akta jual-beli.
4. Sertifikat hak atas tanah.
5. Fotokopi KTP atau identitas diri penjual dan pembeli.
6. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika
permohonannya dikuasakan.
7. Fotokopi SPPT-PBB tahun berjalan.
8. Bukti pelunasan BPHTB terhutang.

134
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
135
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, (Jakarta : Grasindo, 2005), hal. 83-84.
77

9. Bukti pelunasan PPh terutang.


10. Pernyataan pembeli tentang batasan pemilikan tanah dan penelantaran tanah
serta akibat hukumnya.
11. Izin pemindahan hak dari yang berwenang jika haknya berdiri di atas tanah
Hak Pengelolaan atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau Hak Pakai
atas Tanah Negara”.

Mengenai pendaftaran melalui peralihan hak atas tanah tersebut, maka untuk

lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1
Pendaftaran Tanah Mel alui Peralihan Hak Atas Tanah Tahun 2008 – 2010

No Jenis Peralihan Hak Atas Tanah 2008 2009 2010


1. Jual beli 520 537 615
2. Hibah 115 125 145
3. Pewarisan 205 225 315
4. Perwakafan 75 82 98
J UM LA H 915 969 1173

Sumber : Badan Pertanahan Nasional Medan dari Tahun 2008 – 2010.

Berdasarkan Tabel 1 di atas mengenai pendaftaran tanah melalui peralihan

hak atas tanah dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, maka dapat dilihat bahwa

untuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli dari tahun 2008 sampai dengan tahun

2010 lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dibandingkan melalui peralihan hibah,

pewarisan, dan perwakafan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan berbagai faktor, di

antaranya 136 :

1. “Nilai ekonomis dari tanah atau perumahan setiap saat semakin meningkat,
jadi harga jual dari tanah atau perumahan tersebut semakin tinggi dan banyak
orang atau masyarakat yang melakukan pembelian sebagai sarana investasi
untuk jangka waktu yang lama.
2. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah atau perumahan semakin tinggi, karena
tanah atau perumahan merupakan salah satu kebtuhan pokok setiap manusia.

136
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
78

3. Semakin bertambahnya jumlah manusia, sedangkan luas tanah tetap bahkan


semakin menyempit/berkurang yang disebabkan oleh faktor alam seperti
gempa bumi, tsunami, abrasi pantai dan sebagainya”.

Minat masyarakat terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli tanah

atau perumahan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 semakin tinggi, yaitu dari

tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penambahan kurang lebih 17 objek

peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli dan dari tahun 2009 sampai

dengan tahun 2010 terjadi penambahan kurang lebih 78 objek. Dengan demikian hal

ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat terhadap tanah atau perumahan masih

tetap tingi. Sebagaimana yang telah disebut dalam hasil penelitian di atas, maka dapat

dilihat bahwa Notaris/PPAT sangat berperan dalam peralihan hak atas tanah dalam

hal ini jual beli perumahan atau tanah milik pengembang yang diperjualbelikan

kepada konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli menuju proses

pendaftaran tanah di Kantor BPN Medan sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah. 137

137
Pasal 40, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
menyatakan bahwa : “(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-doku men
yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar; (2) PPAT wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada para pihak yang bersangkutan”.
79

BAB III

KEABSAHAN PENGGUNAAN BLANGKO AKTA JUAL BELI


PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG DI KOTA MEDAN

A. Tinjauan Umum Tentang Keabsahan Suatu Akta yang Dibuat Oleh


Notaris/PPAT

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa : “akta adalah surat yang

diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada

suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian”. 138 Berdasarkan pernyataan maka dalam penelitian ini juga membahas

tentang keabsahan suatu akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT.

1. Kewenangan Notaris/PPAT dalam Pe mbuatan Akta

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

menyatakan bahwa : “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan kewenanganlainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Selain itu

dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

menyatakan bahwa : “akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang- undang

ini”. Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998

tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP No. 37 Tahun 1998)

yang menyatakan bahwa, “PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan

138
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
80

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak

atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selain itu, dalam Pasal 1

angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa : “akta PPAT adalah akta yang

dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris maka dapat dilihat dalam definisi tersebut bahwa Notaris

merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan akta-akta otentik yang

dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Jadi, notaris merupakan Pejabat umum yang

tidak membatasi dirinya untuk perbuatan hukum tertentu dalam pembuatan akta

kecuali yang menjadi larangan untuk dibuat aktanya atau bertentangan dengan

perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 dan angka 4 PP No. 37 Tahun

1998 menentukan bahwa PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam

pembuatan akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, jadi PPAT membatasi diri untuk

pembuatan akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Pada prinsipnya Notaris dan PPAT merupakan Pejabat Umum yang


berwenang untuk membuat akta-akta otentik. Hanya saja Notaris dapat
membuat akta-akta otentik yang umum sifatnya tetapi tidak dapat membuat
akta-akta yang dilarang untuk membuatnya dan akta-akta otentik yang
dikeluarkan oleh Pejabat lainnya seperti akta nikah yang dikeluarkan oleh
Pejabat Kantor Urusan Agama, akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Pejabat
Catatan Sipil, Berita Acara yang dibuat oleh Panitera atau Jurusita Pengadilan,
Putusan dan Penetapan Pengadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan
Negeri setempat dan lain- lain.
81

Sedangkan PPAT merupakan pejabat umum yang hanya dapat membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun seperti jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pebagian
hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik, pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak
Tanggungan. Selain itu Notaris dan PPAT yang masing- masing sebagai
Pejabat Umum dapat merangkap jabatan sebagai PPAT berdasarkan Pasal 7
ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998”. 139

PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1)

PP No. 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa, “PPAT dapat merangkap jabatan

sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum”. 140

Selain itu perbuatan hukum yang dapat dibuatkan aktanya berdasarkan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :

1. “Jual beli.
2. Tukar menukar.
3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng).
4. Pembagian hak bersama.
5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
6. Pemberian Hak Tanggungan.
7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.

Sebagaimana yang telah diutarakan di atas mengenai Notaris yang dapat

merangkap jabatan sebagai PPAT, maka kewenangannya pun tidak jauh berbeda

dalam pembuatan akta-akta otentik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada

beberapa wewenang Notaris meliputi empat hal, antara lain141 :

1. “Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya.

139
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
140
Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
141
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alu mni, 1994), hal. 35.
82

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan


siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu”.

Dapat dikatakan bahwa jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat

yang tidak berwenang untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan

hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan jika para pihak telah

menandatanganinya. Hal tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1869

KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “suatu akta karena tidak berkuasa atau tidak

cakapnya pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak

dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan

sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.

Meskipun PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan

ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, akan tetapi akta yang dibuat oleh

PPAT tersebut didasarkan atas perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian wewenang dari seorang

PPAT tersebut adalah membuat semua akta otentik yang berkenaan dengan perbuatan

hukum dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 yaitu jual beli, tukar menukar,

hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pebagian hak bersama, pemberian

Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan
83

dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah dan

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. 142

Mengenai wewenang PPAT, maka hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat (1)

PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Untuk melaksanakan tugas pokok

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Selain daripada hal yang telah

disebutkan di atas mengenai wewenang dari PPAT, oleh karena seorang PPAT

tersebut dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP No.

37 Tahun 1998, maka menurut hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada

penambahan wewenang dari PPAT tersebut antara lain143 :

“PPAT berwenang terhadap orang-orang untuk kepentingan siapa akta


tersebut dibuat, akan tetapi PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT
sendiri, suami atau isteri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus
tanpa batas derajat dan dalam garis lurus ke samping sampai derajat kedua,
menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara
bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain”.

Mengenai penambahan kewenangan dari PPAT yang merangkap jabatan

sebagai Notaris tersebut, maka untuk seorang PPAT dilarang untuk melakukan

perbuatan hukum tertentu dan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998

yang menentukan bahwa :

142
Bahru m, Loc.cit.
143
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
84

“PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri,
keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam
garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan
hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain”.

Pendapat dari Van Dunne yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman

menyatakan bahwa berdasarkan wewenang Notaris terhadap akta yang dibuatnya,

maka dikatakan bahwa : “suatu perjanjian terjadi melalui suatu proses yang terdiri

dari tiga fase yakni fase pra-kontrak, fase kontrak dan fase pasca kontrak”. 144 Fase-

fase atau tahap-tahap yang dilakukan dalam suatu perjanjian atau perbuatan hukum

baik oleh pihak Notaris atau PPAT tersebut, antara lain145 :

1. “Tahap pra-kontrak, biasanya terjadi kesepakatan tentang isi pokok perjanjian


tersebut dan pada tahap prakontrak ini apabila tidak ditemukan kesepakatan di
antara para pihak yang ingin membuat perjanjian tersebut, maka tahap kontrak
tidak akan dilanjutkan, tetapi jika ditemukan kesepakatan di antara para pihak
maka akan dilanjutkan kepada tahap kontrak;

2. Tahap kontrak, biasanya pada tahap ini kesepakatan mengenai isi perjanjian
telah ada, sehingga dengan demikian tahap ini dapat dilanjutkan kepada tahap
pasca kontrak;

3. Tahap pasca kontrak, biasanya pada tahap ini telah tercapainya kesepakatan
secara terperinci dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka
timbullah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian”.

Kewenangan dari Notaris/PPAT dalam hal pembuatan akta otentik terhadap

perbuatan hukum tertentu bagi para pihak yang mengingkannya akan melahirkan

suatu tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris/PPAT tersebut,

meskipun akta tersebut sesuai dengan keinginan dari para pihak dan tidak melanggar

144
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit.
145
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
85

ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi jika dikemudian hari terjadi

perselisihan antara para pihak yang membuat akta tersebut atau terhadap pihak ketiga,

maka pihak Notaris/PPAT tersebut akan dituntut harus bertanggungjawab terhadap

akta yang telah dibuatnya tersebut di Persidangan atau Pengadilan, dan paling tidak

posisi Notaris/PPAT tersebut sebagai saksi ahli di persidangan. 146

2. Akta Notaris dan PPAT sebagai Alat Bukti di Persidangan

Pernyataan kehendak dan kata sepakat dari para pihak dalam suatu perbuatan

hukum tertentu yang dituangkan dalam suatu akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT

merupakan alat bukti otentik yang dapat dipergunakan dalam suatu persidangan jika

terjadi perselisihan dikemudian hari bagi para pihak yang bersangkutan atau salah

satu pihak dengan pihak ketiga. Akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT merupakan

akta otentik karena akta tersebut merupakan akta yang dibuat oleh seorang Pejabat

Umum yang sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris untuk akta Notaris, sedangkan untuk akta

PPAT ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998. 147

“Fungsi akta terpenting dari suatu akta adalah sebagai alat bukti”. Suatu akta

mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat dibedakan antara lain 148 :

1. “Kekuatan pembuktian lahir, yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas


keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya adalah bahwa surat yang
tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti
akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

146
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
147
Ibid.
148
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 122-123.
86

2. Kekuatan pembuktian formil, yaitu kekuatan pembuktian formil tersebut


menyangkut tentang memberikan kepastian terhadap peristiwa, bahwa pejabat
dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang termuat dalam suatu
akta.

3. Kekuatan pembuktian materiil, yaitu kekuatan pembuktian materiil ini


memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberikan kepastian
tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan
seperti yang dimuat di dalam suatu akta”.

Mengenai akta yang dibuat oleh seorang Notaris/PPAT juga mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai suatu akta otentik yang terdiri dari149 :

1. “Kekuatan pembuktian secara lahir sebagai akta otentik. Maksudnya akta


Notaris dan PPAT tersebut memang diakui sebagai suatu akta otentik karena
dibuat oleh seorang Pejabat Umum yang didasarkan kepada ketentuan
perundang-undang yang berlaku atau sesuai dengan kewenangannya yaitu
berdasarkan UUJN dan PP No. 37 Tahun 1998;

2. Kekuatan pembuktian formil sebagai akta otentik. Maksudnya akta Notaris


dan PPAT tersbut secara formil membuktikan kebenaran dari pada apa yang
dilihat dan didengar dari para pihak yang kemudian dibuatkan aktanya oleh
pihak Notaris dan PPAT; dan

3. Kekuatan pembuktian Materiil sebagai akta otentik. Maksudnya akta Notaris


dan PPAT tersebut secara materiil memastikan atau menjamin keaslian
mengenai waktu atau tanggal, tempat dan tangdtangan dari para pihak tentang
apa yang diinginkan oleh para pihak untuk dibuatkan aktanya oleh Notaris dan
PPAT”.

“Mengenai kekuatan pembuktian akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut
adalah kekuatan pembuktian akta otentik yang sempurna, artinya akta otentik
tersebut dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki
keabsahan tandatangan para pihak yang terdapat di dalam akta tersebut. Akta
otentik dari Notaris dan PPAT tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
formal, maksudnya akta Notaris dan PPAT tersebut membuktikan kebenaran
daripada yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh para pihak, sehingga dapat
menjamin kebenaran identitas para pihak, tandatangan para pihak, tempat akta
dibuat dan para pihak menjamin keterangan yang diuraikan dalam akta yang

149
Wawancara dengan Yulhamd i sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari 2011
87

bersangkutan. Selain dari hal itu, akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian materiil, maksudnya akta yang
bersangkutan isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di
antara para pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari
akta tersebut”. 150

Mengenai kekuatan pembuktian suatu akta otentik sebagai kekuatan

pembuktian yang sempurna, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa, “suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta

ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka suatu bukti yang

sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. M. Yahya Harahap, “kekuatan

pembuktian yang ada pada akta otentik adalah kekuatan pembuktian luar, sehingga

akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik

kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik”. Selain itu,

“suatu perkara yang masuk di pengadilan yang berkaitan dengan akta maka akta itu

harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik dan jika dapat dibuktikan

kepalsuannya, hilang atau gugur kekuatan bukti luar dimaksud, sehingga tidak boleh

diterima dan dinilai sebagai akta otentik”. 151

Menyimak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai

kekuatan pembuktian akta yang dibuat Notaris dan PPAT maka dapat dikatakan

bahwa akta Notaris dan PPAT sebagai akta otentik yang dapat dijadikan sebagai alat

bukti di persidangan. Tanggung jawab Notaris/PPAT adalah hadir di Persidangan

150
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
151
M. Yahya Harahap, Op .cit., hal. 555.
88

untuk memberikan keterangan kesaksian apabila Akta Otentik yang dibuatnya

menimbulkan permasalahan hukum.

B. Keabsahan Blangko Akta Jual Beli yang Digunakan Pengembang Untuk


Jual Beli Perumahan

Jual beli dapat dilakukan oleh siapa saja jika sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa jual beli

perumahan yang dilakukan oleh pengembang tersebut sesuai dengan ketentuan jual

beli berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

1. Keabsahan Blangko Akta Jual Beli yang Digunakan Oleh Penge mbang
Secara Massal

“Pengembang yang melakukan jual beli perumahan dengan pihak konsumen


membuat perjanjian dengan dengan menggunakan Akta Jual Beli. Siapa saja
ingin mendapatkan atau membeli blangko Akta Jual Beli yang ada di BPN
ataupun di Kantor Pos dapat memperolehnya jika yang berkepentingan
membawa Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari Notaris/PPAT. Dengan
demikian pihak pengembang bisa mendapatkan atau membeli blangko Akta
Jual Beli tersebut yang kemudian akan menggunakannya untuk melakukan
jual beli perumahan. 152

Namun demikian, tidak satupun pihak pengembang yang langsung melakukan

peralihan hak atas tanah melalui jual beli perumahannya, semua peralihan hak atas

152
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
89

tanah dilakukan dengan pembuatan akta oleh pihak Notaris PPAT Medan dan hal ini

dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini :

Tabel 2
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui J ual Beli Tahun 2008 – 2010

No. Pihak Yang Meng alihkan 2008 2009 2010


1. Notaris/PPAT 520 Peralihan 537 Peralihan 615 Peralihan
2. CAMAT PPAT - - -
3. Pengembang - - -

Sumber : BPN Medan Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dikatakan bahwa dari tahun 2008

sampai dengan tahun 2010 peralihan hak atas tanah melalui jual beli, semuanya

dilakukan oleh pihak Notaris/PPAT.

“Peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sedangkan
peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dibuat oleh Camat/PPAT
Medan tidak lagi diperkenankan, karena Camat/PPAT tersebut hanya sebagai
PPAT Sementara, jadi sifatnya juga sementara sehingga jika sudah ada di
daerah tersebut Notaris/PPAT (Medan) maka Camat/PPAT tidak bisa lagi
sebagai PPAT (di Medan)”. 153

Ketentuan tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP

No. 24 Tahun 1997) yang menyebutkan bahwa :

“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Satuan Rumah Susun emlalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahanhak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

153
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
90

Tentang masalah Camat/PPAT sebagai PPAT Sementara, maka hal tersebut

sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang disebut dalam Pasal

1 angka 2 PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Pejabat Pemerintah

yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat

akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”. Selain itu pada dasarnya

seorang PPAT tersebut dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai Pegawai

Negeri Sipil dan hal ini berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf b PP No. 37 Tahun 1998

yang menyatakan bahwa, “PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai

Pegawai Negeri, atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah”.

Melalui wawancara dengan pengembang diketahui bahwa, jual beli

perumahan yang dilakukan dengan pihak konsumen atau masyarakat dilakukan

dengan dua cara, antara lain154 :

1. “Dengan menggunakan perjanjian jual beli yang dibuat sendiri oleh pihak
pengembang dengan konsumen atau masyarakat, di mana pihak konsumen
atau masyarakat membayar panjar sebagai uang muka untuk pembelian
perumahan yang bersangkutan, jika konsumen serius dalam pembelian
tersebut maka akan dibuatkan perjanjian jual beli yang bersifat sementara
sebelum lunas pembayarannya;

2. Dengan menggunakan Akta Jual Beli yang dibuat ataupun diisi oleh pihak
pengembang, namun pada akhirnya ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT
dan juga pihak konsumen atau masyarakat jika telah melakukan pembayaran
secara tunai kepada pihak pengembang”.

Dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli perumahan yang dibuat oleh pihak

pengembang dengan konsumen tanpa melalui pengikatan yang dibuat oleh

Notaris/PPAT apabila konsumen baru membayar uang muka atau panjar untuk

154
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmur Abadi d i
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
91

pembelian rumah, akan tetapi setelah lunas pembayarannya maka barulah Akta Jual

Beli perumahan dibuatkan oleh pihak Notaris/PPAT. Untuk lebih jelas dapat dilihat

pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3
Jenis Perjanji an Pemilikan Rumah Pada PT. B angun Indah Mak mur Abadi Tahun 2008 – 2010

No. Jenis Perjanjian 2008 2009 2010


1. Kredit Pemilikan Rumah 38 Unit Rumah 56 Unit Rumah 67 Unit Rumah
2. Perjanjian Jual Beli 7 Unit Rumah 8 Unit Rumah 10 Unit Rumah
3. Akta Jual Beli 5 Unit Rumah 6 Unit Rumah 8 Unit Rumah
J U ML AH 50 Unit Rumah 70 Unit Rumah 85 Unit Rumah

Sumber : PT. Bangun Indah Makmur Abadi Tahun 2008 – 2010.

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa PT. Bangun Indah Makmur

Abadi pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat), dengan cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima

puluh) unit perumahan yang dibangun.

2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima

puluh) perumahan yang dibangun.

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)

perumahan yang dibangun.

Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat), dengan cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 56 (lima puluh enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)

unit perumahan yang dibangun.


92

2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 70 (tujuh

puluh) perumahan yang dibangun.

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)

perumahan yang dibangun.

Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat) cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 67 (enam puluh tujuh) unit rumah dari 85 (delapan

puluh lima) unit perumahan yang dibangun.

2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 10 (sepuluh) unit rumah dari 85

(delapan puluh lima) perumahan yang dibangun.

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 85 (delapan

puluh lima) perumahan yang dibangun.

Melalui penjelasan Tabel 3 di atas :

“pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat), karena dengan
uang muka atau down payment (DP) yang ringan, suku bunga kredit perbulan
yang ringan dan jangka waktu kredit yang cukup lama maka pihak konsumen
(masyarakat) sudah dapat memiliki rumah. Sedangkan untuk pembelian secara
langsung tunai melalui perjanjian jual beli dan Akta Jual Beli pihak konsumen
merasa lebih berat, karena biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dan
mahal. Namun demikian pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tetap
mengalami peningkatan, karena memang kebutuhan rumah sebagai tempat
tinggal atau sebagai investasi jangka panjang bagi pihak konsumen atau
masyarakat dianggap sebagai salah satu hal yang menguntungkan. 155

155
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmu r Abadi jl.
Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
93

Selain itu, pihak pengembang lainnya juga melakukan hal yang sama dalam

melakukan perjanjian pemilikan rumah sabagaimana yang dapat dilihat pada tabel 4

berikut ini :

Tabel 4
Jenis Perjanji an Pemilikan Rumah Pada PT. Toha Property Tahun 2008 – 2010

No. Jenis Perjanjian 2008 2009 2010


1. Kredit Pemilikan Rumah 27 Unit Rumah 38 Unit Rumah 45 Unit Rumah
2. Perikatan Jual Beli 5 Unit Rumah 7 Unit Rumah 8 Unit Rumah
3. Akta Jual Beli 3 Unit Rumah 5 Unit Rumah 6 Unit Rumah
J U ML AH 50 Unit Rumah 50 Unit Rumah 58 Unit Rumah

Sumber : PT. Toha Property Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 4 di atas, maka dapat dilihat bahwa PT. Toha Property

pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat) cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 27 (dua puluh tujuh) unit rumah dari 35 (tiga puluh

lima) unit perumahan yang dibangun;

2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 35 (tiga puluh

lima) perumahan yang dibangun; dan

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 3 (tiga) unit rumah dari 35 (tiga puluh lima)

perumahan yang dibangun.

Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat) cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima

puluh) unit perumahan yang dibangun;


94

2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima puluh)

perumahan yang dibangun; dan

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)

perumahan yang dibangun.

Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak

konsumen (masyarakat) cara antara lain :

1. Melalui KPR sebanyak 45 (empat puluh lima) unit rumah dari 58 (lima puluh

delapan) unit perumahan yang dibangun;

2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 58 (lima

puluh delapan) perumahan yang dibangun; dan

3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 58 (lima puluh

delapan) perumahan yang dibangun.

Melalui penjelasan Tabel 4 tersebut di atas :

“Pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat) yaitu dari tahun
2008 sampai dengan 2009 terjadi peningkatan kurang lebih 11 (sebelas) unit
rumah dari penambahan 15 (lima belas) unit pembangunan perumahan dan
tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan 7 (tujuh) unit rumah dari
penambahan 8 (delapan) unit pembangunan perumahan, hal tersebut terjadi
dikarenakan melalui KPR maka pihak konsumen atau masyarakat akan
mendapatkan uang muka yang ringan, cicilan kredit perbulan yang ringan dan
jangka waktu kredit yang ditawarkan oleh pengembang yang cukup lama”. 156

Mengenai pihak pengembang yang menggunakan Akta Jual Beli dalam jual

beli perumahannya kepada konsumen atau masyarakat memang ada terjadi dan

156
Wawancara dengan Edwin Marpaung sebagai Staf Legal PT. Toha Property di Jl. AR.
Hakim No. 273 Medan, pada tanggal 27 Januari 2011.
95

dibolehkan karena Akta Jual Beli tersebut dapat diperoleh atau dibeli di BPN dan

Kantor Pos jika ada Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari pihak Notaris/PPAT

Medan. Namun demikian Blangko Akta Jual Beli yang diisi oleh pihak pengembang

tersebut tetap saja harus ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT setempat (Medan),

karena untuk pendaftaran tanah melalui peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli

di BPN setempat (Medan) harus dengan akta Notaris/PPAT setempat (Medan).

2. Akta Jual Beli Sebagai Bukti Peralihan Hak Atas Tanah

Undang-Undang membagi benda dalam beberapa macam antara lain 157 :

1. “Benda yang dapat diganti dan yang tidak dapat diganti.

2. Benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan.

3. Benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

4. Benda yang bergerak dan yang tidak bergerak”.

Selain itu, benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat dibagi ke dalam

tiga golongan, antara lain 158 :

1. “Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena sifatnya.

2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena tujuannya.

3. Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena ketentuan yang ditentukan

oleh undang-undang”.

157
R. Subekt i, Op.cit., hal. 60.
158
Ibid., hal. 60-62.
96

Hal yang sama juga disebutkan oleh Sri Soedewi Majschoen Sofwan, bahwa

benda tidak bergerak itu dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu159 :

1. “Benda tidak bergerak karena sifatnya tetap, seperti tanah dan segala sesuatu
yang melekat di atasnya.
2. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala apa yang
meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau
bangunan yang dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangun itu untuk
waktu yang agak lama seperti mesin- mesin dalam suatu pabrik.
3. Benda tidak bergerak karena telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini
berwujud terhadap hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak seperti hak
memungut hasil benda tidak bergerak, hak memakai atas benda tidak
bergerak, Hak Tanggungan dan lain- lain”.

Selain hal tersebut di atas, ada empat hal penting yang harus diperhatikan

terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak, antara lain 160 :

1. Bezit;

2. Levering (penyerahan);

3. Verjaring (kadaluwarsa); dan

4. Bezwaring (pembebanan).

“Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda

seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi dengan tidak

mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa”. 161 Bezit

terhadap benda tidak bergerak seperti seseorang yang menempati sebuah rumah milik

orang tuanya yang berasal dari warisan, di mana orang yang bersangkutan secara

sungguh-sungguh mengira bahwa rumah yang dikuasainya tersebut merupakan

159
Sri Soedewi Majchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Benda), (Yogyakarta : Liberty,
1981), hal. 20.
160
Ibid., hal. 22.
161
R. Subekt i, Op.cit., hal. 63.
97

miliknya sendiri. Sementara itu, penyerahan (levering) pada benda tidak bergerak

adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain,

sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu. 162 Sedangkan levering

(penyerahan) tersebut mempunyai dua arti yaitu163 :

1. Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (feitelijke levering).

2. Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik pada orang lain

(juridische levering).

Kedua pengertian tersebut di atas dapat dilihat dalam pemindahan hak milik

atas benda yang tidak bergerak karena pemindahan ini tidak cukup dilaksanakan

dengan pengoperan kekuasaan belaka, malainkan harus pula dibuat suatu surat

penyerahan akta Van transport yang harus dikutip dalam daftar eigendom.164

Terhadap jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak

konsumen atau masyarakat, maka sahnya suatu jual beli tersebut berdasarkan Pasal

1457 KUHPerdata, jika pembeli membayar lunas harga rumah dan penjual

menyerahkan rumah tersebut kepada pihak konsumen atau masyarakat dengan suatu

perjanjian jual beli ataupun Akta Jual Beli. Namun demikian, penyerahan (levering)

untuk suatu tanah atau perumahan yang merupakan benda tidak bergerak, penyerahan

tersebut tidak dapat langsung beralih hak kepemilikannya kepada pembeli jika

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undang yang berlaku tidak diikuti

secara benar.

162
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit., hal. 67.
163
R. Subekt i, Op.cit., hal. 71.
164
Ibid.
98

“Peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli harus dibuat oleh
Notaris/PPAT yang bertujuan untuk membuat pendaftaran hak atas tanah,
sedangkan peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli yang
dilakukan oleh para pihak sendiri yaitu pihak pembeli dan pihak penjual
dengan Akta Jual Beli tetap sah akan tetapi pendaftaran untuk peralihan hak
untuk balik nama sertifikat ataupun untuk memperoleh sertifikat jika alas hak
atas tanahnya adalah SK Camat atau merupakan tanah negara tidak dapat
dipenuhi tanpa akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT
setempat (Medan)”. 165

Pernyataan tentang pendaftaran hak atas tanah melalui peralihan hak atas

tanah denagn cara jual beli di BPN setempat harus dengan akta PPAT yaitu

pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai

buktinya. Selain orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT

tidak akan memperoleh sertifikat biarpun jual belinya sah menurut hukum. 166

“Pada prinsipnya untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah atau perumahan
atau secara jual beli harus menggunakan akta Notaris/PPAT, sedangkan untuk
peralihan hak atas tanah atau perumahannya saja tanpa memperoleh sertifikat
atau balik nama sertifikat dapat dilakukan secara di bawah tangan saja
ataupun melalui akta Notaris sudah dianggap sah menurut hukum dan hak atas
tanah tersebut sudah dianggap beralih kepemilikannya. Namun untuk lebih
sempurnanya bukti kepemilikan tersebut beralih ke tangan si pembeli, maka
hak kepemilikan (sertifikat) yang lama digantikan kepemilikannya dengan
yang baru (balik nama sertifikat)”. 167

Fungsi akta PPAT merupakan bukti adanya suatu perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah oleh para pihak, di samping itu juga sebagai syarat untuk

165
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
166
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentuan, Isi dan Pelaksanaannya,
(Jakarta : Djambatan, 1997), hal. 52.
167
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
99

dapat dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan. 168 “Maksud adanya pendaftaran

tersebut bukan menentukan saat berpindahnya hak kepada penerima, melainkan untuk

memperoleh alat pembuktian yang kuat sekaligus memperluas daya pembuktiannya

dengan adanya sifat keterbukaan dari administrasi pendaftaran bagi umum”. 169

Berdasarkan Penjelasan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan

bahwa : “akta PPAT adalah merupakan bukti untuk dapat dilaksanakannya

pendaftaran, bukan syarat sahnya peralihan hak”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal

28 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran

Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) menentukan bahwa : “fungsi akta

PPAT dalam perbuatan hukum pemindahan hak adalah untuk membuktikan, bahwa

benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan oleh para pihak”. Dengan

demikian jika kedua pasal-pasal tersebut digabungkan, maka dapat dikatakan bahwa

adanya akta PPAT tersebut merupakan syarat untuk dapat dilakukan pendaftaran

perbuatan hukumnya oleh Kantor Pertanahan.

C. Kedudukan Hukum dan Arti Penting Blangko Akta Tanah Bagi Pejabat
Pembuat Akta Tanah sebagai Pe jabat Umum

1. Kedudukan Hukum Blangko Akta Tanah PPAT

Satu-satunya Pasal dalam yang merupakan pilar keberadaan akta otentik dan

Pejabat Umum di Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Pasal ini menghendaki adanya undang-undang organik yang mengatur

168
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Indonesia), (Jakarta :
Djambatan, 2003), hal. 517.
169
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
100

tentang bentuk akta otentik dan Pejabat Umum dan tidak mengatur tentang blangko

akta otentik. Pelaksanaan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur

dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sebelumnya

diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 : 3). Tugas dan kewenangan

Notaris adalah untuk membuat akta otentik sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan sebelumnya diatur dalam

Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 : 3).

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 : 3), mengemukakan

bahwa :

“Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat


akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan
umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain”.

Sedangkan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris menyatakan bahwa :

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, kewenangan Notaris menggunakan


101

kata “membuat akta” harus diartikan memproduksi akta dalam bentuk yang

ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang

menjadi sumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Undang-Undang No. 30

Tahun 2004 itu. Kewenangan memproduksi akta ini yang memberikan stempel

otensitas kepada Akta Notaris. Pejabat umum merupakan organ Negara yang mandiri

dalam arti Pejabat Umum mempunyai kebebasan dalam membuat akta sesuai dengan

bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang. 170 Kata ”membuat” harus diartikan

sebagai memproduksi akta-akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-

Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang menjadi

sumber akta otentik dan Pejabat Umum.

Dalam kontek PPAT selaku Pejabat Umum yang tunduk pada Pasal 1868

KUHPerdata, Blangko Akta PPAT tidak diperlukan dalam menjalankan jabatannya

selaku Pejabat Umum dalam membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum

tertentu mengenai Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Tukar Menukar, dan lain

sebagainya. Bahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia membuat mempunyai

arti menciptakan, melakukan, mengerjakan, dengan demikian kewenangan PPAT

membuat akta otentik harus diartikan menciptakan, membuat dan mengerjakan akta

termasuk membuat sendiri akta yang menjadi kewenangannya. Memperhatikan

kewenangan Notaris selaku Pejabat Umum dalam membuat akta otentik didasarkan

pada dua hal, yaitu :

1. Atas kehendak atau permintaan oleh yang berkepentingan agar perbuatan

hukum itu dinyatakan dalam bentuk akta otentik; dan

170
GHS Lu mban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1980), hal. 28.
102

2. Selain karena kehendak atau permintaan oleh yang berkepentingan, juga

karena Undang-Undang mengharuskan agar sesuatu perbuatan hukum tertentu

mutlak dibuat dalam akta otentik tertentu.

Pembuatan akta otentik berdasarkan atas permintaan yang berkepentingan

mengandung arti Notaris hanya berwenang membuat akta otentik di bidang hukum

perdata dan tidak berwenang membuat akta otentik secara jabatan ataupun di bidang

hukum publik, perbuatan hukum yang tertuang dalam akta Notaris bukanlah

merupakan perbuatan hukum dari Notaris itu. Penggunaan blangko terhadap akta-akta

PPAT sebagai akta otentik yang isinya merupakan kehendak atau atas permintaan

yang berkepentingan, maka blangko akta tidak memiliki urgensi hukum karena

dengan menggunakan blangko berarti isi perjanjian sudah diatur dalam hukum publik

atau karena jabatan dan hal ini bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak bagi

Akta PPAT sebagai perbuatan hukum kontraktual. Lain halnya bila PPAT tidak

memenuhi kriteria sebagai Pejabat Umum, maka penggunaan Blangko Akta PPAT

merupakan hal yang dapat diterima mengingat tugas dan kewenangan PPAT

merupakan bagian dari urusan pemerintah di bidang pendaftaran tanah.

Foto Copy Blangko Akta sebagai ganti Blangko Akta PPAT yang dicetak,

menjadi masalah hukum tersendiri ditinjau dari aspek bentuk produk hukum dan

keabsahannya. Foto Copy Blangko Akta diatur dalam bentuk surat Kepala BPN No.

640-1884 sedangkan pengaturan Blangko Akta PPAT yang dicetak diatur dalam

Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sehingga surat bukanlah suatu produk

hukum. Ditinjau dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


103

Peraturan Perundang-Undangan kewenangan mengeluarkan Foto Copy Blangko Akta

yang dilegalisir, tidak ada aturan hukumnya yang memberikan wewenang kepada

BPN untuk mengeluarkan Blangko Akta dalam bentuk Foto Copy.

Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah adalah untuk menjamin

kepastian hukum, sedangkan kehadiran Blangko Akta PPAT tidak lebih hanya

berfungsi sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan tidak

menentukan otensitas dan keabsahan suatu perbuatan hukum yang dimuat dalam akta

tersebut sehingga blangko akta tidak memiliki urgensi hukum dalam menentukan

kepastian hukum suatu perbuatan hukumnya. Kewenangan PPAT dalam membuat

akta-akta jual beli, tukar menukar yang menggunakan blangko atau formulir akta

yang disediakan BPN merupakan intervensi atau campur tangan Pejabat Administrasi

Negara terhadap kebebasan para pihak dalam Bidang Hukum Perdata. Tugas PPAT

dalam membuat akta-akta tanah yang berfungsi sebagai alat bukti tulisan yagn

dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan karena itu terdapat

perbedaan tugas PPAT dalam membuat akta tanah yang bersumber dari hukum

perdata dengan pendaftaran perubahan atau pendaftaran tanah yang bersumber dari

Hukum Administrasi Negara.

2. Arti Penting Blangko Akta Bagi PPAT

Keberadaan Blangko Akta sebenarnya dapat membantu kinerja PPAT

Sementara dan PPAT yang baru diangkat menjadi PPAT karena dapat memudahkan

PPAT Sementara dan PPAT baru dalam pembuatan akta. Selain itu, dapat

memudahkan BPN dalam pemeriksaan, serta agar terdapat keseragaman dalam


104

bentuk akta PPAT. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, jika

Blangko Akta PPAT tidak digunakan dalam membuat akta PPAT mengakibatkan

akta PPAT tersebut akan ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun, tidak dapat

dipungkiri pula adanya kelemahan dalam penggunaan blangko akta apabila sewaktu-

waktu terjadi kelangkaan atau kekosongan blangko akta seperti yang pernah terjadi di

tahun 2007 yang lalu. Apabila PPAT tetap menggunakan blangko akta dalam

menjalankan wewenangnya dalam pembuatan akta otentik maka pelayanan kepada

masyarakat akan terhambat, karena dengan tidak adanya blangko akta PPAT tidak

dapat membuat akta.

Ada dua aspek di dalam suatu akta yang sudah selesai (jadi), yaitu aspek

hukum yang berhubungan dengan perbuatan atau peristiwa hukum, ini adalah ranah

pekerjaan PPAT dan aspek administratif untuk memenuhi azas publisitas, ini adalah

ranah pekerjaan BPN. Blangko seharusnya dengan mudah didapatkan di BPN tidak

harus mengajukan permohonan, pencatatan nomor seri blangko kemana perginya,

masa tunggu. Tetapi yang terjadi adalah kesulitan untuk mendapatkan blangko

dengan penerbitan berbagai macam peraturan oleh BPN sebagai regulator. Tidak

diperjualbelikan blangko itu oleh BPN malah menimbulkan kecurigaan, dimana BPN

telah membawa PPAT dalam pusaran untuk menikmati uang rakyat yang nantinya

berujung pada korupsi lembaga BPN sama dengan korupsi lembaga PPAT karena

telah sama-sama menikmati uang rakyat dengan melalui tidak dijualnya blangko
105

tersebut disadari atau tidak disadari, PPAT telah masuk perangkap rayuan (fait

accompli) BPN.171

Dalam bentuk peristiwa atau perbuatan hukum yang akhirnya terjamin

otensitas akta bagi para pihak tidaklah didasarkan tertib atau tidak tertibnya asal

muasal blangko, gratis atau dibeli, warna kertas merah atau hitam, dicetak BPN atau

tidak, pakai nomor seri atau nomor bantu adalah dijalani prosedur proses hukum yang

benar oleh PPAT dengan pihak yang terlibat dalam akta tersebut. Fotocopy mlangko

akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor BPN selama

Blangko Akta Tanah tidak ada tidak masalah dan dibenarkan oleh BPN. Terlihat

janggal kalau BPN mengatur peredaran blangko sekompleks mungkin seolah-olah

dalam hal ini telah menganggap para PPAT pihak yang harus diayomi seperti anak

taman kanak-kanak. BPN lupa sejarah hukum perjanjian dengan kertas dari daun

kayu pun kalau telah memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian itu adalah sah. 172

Sejak BPN menjadi administrator dan sekaligus regulator blangko akta, sejak

itu pula PPAT mendapatkan blangko akta secara gratis dari BPN. Tidak ada sistem

yang valid atau wajar saja tetapi sesuatu yang bisa berjalan dnegan mudah kenapa

harus dipersulit. Karena dengan gratisnya blangko akta itu oleh BPN, PPAT wajib

melaporkan seluruh lalup- lintas penggunaan blangko yang telah diterima sebelumnya.

Hal ini akan menambah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu ada. Sering blangko

tersebut hilang timbul keberadaannya di Kantor Pertanahan, jumlah yang terbatas itu

jadi tetap harus dibayar di masing- masing Kantor Pertanahan. Semuanya itu adalah

171
Yonsah Miranda, Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th. 07/2009, hal.
4.
172
Ibid.
106

hambatan yang harus dilewati PPAT. Pelayanan BPN dalam hal blangko akta gratis

masih banyak kedala sehingga pelayanan BPN belum menunjukkan hasil yang

optimal. Proses untuk mencapai yang ideal memang diperlukan oleh semua pihak

yang terkait.

Kendati pihak BPN telah membuat standar-standar pelayanan yang optimal

termasuk menggratiskan blangko akta PPAT. Namun, masih terjadi ketimpangan di

sana-sini seperti pendistribusian blangko gratis yang ditandatangani langsung oleh

BPN dengan harapan agar terjadi pelayanan yang cepat dan tepat ternyata masih

terdapat ketimpangan. Implikasinya justru menghambat proses pelayanan. Blangko

yang dicetak dengan dana APBN dan diberikan secara gratis ini, faktanya sulit

diperoleh. Permohonan kebutuhan yang diajukan seorang PPAT pada Kantor

Pertanahan tidak serta merta dipenuhi, karena adanya beragam pertimbangan dari

pihak Kantor Pertanahan. Padahal, pengurangan jatah tersebut membuat keinginan

masyarakat dalam pembuatan akta tidak terpenuhi atau tertunda. Blangko yang sering

disebut gratis tersebut, ternyata pada kenyataannya masih diperoleh dnegan

mengeluarkan sejumlah biaya (transaction cost).


107

D. Kekuatan Pembuktian Dari Akta Pertanahan yang Dibuat Oleh PPAT


Dengan Menggunakan Foto Copy Blangko Akta yang Dilegalisir Oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN

Foto Copy Blangko Akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah BPN

berasal dari Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang

Blangko Akta PPAT, yang isinya sebagai berikut 173 :

1. ”Apabila di daerah Saudara terdapat kelangkaan blangko akta PPAT tertentu


agar Saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana
surat kami tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis
Disahkan Pengguna-annya dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas
pada setiap halaman.

2. Fotocopy blangko akta dimaksud haruslah berdasarkan suatu blangko akta


dengan nomor porporasi tertentu yang dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi dan asli blangkonya merupakan asli dari setiap fotocopy
blangko yang diserahkan kepada PPAT.

3. Penggunaan blangko akta fotocopy dimaksud angka 1 di atas hanya dalam


keadaan tertentu, apabila terjadi kelangkaan blangko akta, setelah Saudara
terlebih dahulu mengadakan pengecekan ke Kantor Pos setempat atau Kantor
PT. Pos Indonesia di Bandung telepon nomor 022-7206329, 7206281 pesawat
121”.

Keberadaan blangko akta yang difotokopi dan dilegalisir oleh Kantor Wilayah

BPN tersebut ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan. Kebijakan tersebut

membuahkan perdebatan panjang di kalangan PPAT. Akta dengan menggunakan

blangko yang telah difotokopi dan dilegalisir tersebut dapat dijadikan sebagai alat

bukti. Alasannya adalah asli atau tidak terletak pada tanda tangan para pihak bukan

terletak pada blangko akta fotokopi tersebut. 174 Sedangkan untuk permasalah tersebut

173
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT.
174
Boedi Harsono, Op.cit.
108

sebelumnya harus dikembalikan lagi kepada apa yang dimaksu dengan akta otentik,

dalam hal ini akta PPAT. Hal ini dapat dikembalikan pada Pasal 19 Undang-Undang

No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pendaftaran tanah

tersebut meliputi pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

Kewenangan inilah yang diserahkan oleh Pemerintah untuk menjadi bidang pekerjaan

PPAT. Atas dasar Pasal 19 inilah maka lahir Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dalam perjalanannya diubah menjadi

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hanya

memuat akta PPAT sebagai alat bukti atau pendaftaran tanah maka keluarlah

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menguatkan kedudukan profesi PPAT

dan lingkup pekerjaannya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah, yang mengatakan bahwa ”PPAT adalah Pejabat Umum yang diberikan

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Pada ayat (4)

ditegaskan bahwa : ”Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti

telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan juga bahwa :

”Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran


tanah dengan membuat akta, sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
109

yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu”.

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud adalah berkaitan dengan jual beli,

tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan, pembagian hak bersama,

pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak

Tanggungan dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 3

ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah disebutkan pula untuk tugas pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2). Mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Dengan demikian jelas yang menjadi

tugas PPAT, seperti yang diamanatkan dalam ketentuan perundang- undangan.

Kaitannya dengan pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997, Pasal 37 dikatakan peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan

perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Kecuali pemindahan hak melalui lelang,

hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sah atau tidaknya suatu akta sebagai akta otentik tidak berdasarkan akan

bahan atau kertas yang digunakan tetapi telah terpenuhinya unsur- unsur dalam

perjanjian dan telah berdsarkan peraturan perundang- undangan. Dengan demikian

penggunaan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang telah dilegalisir untuk pembuatan

akta PPAT memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan blangko asli. Karena

kedua-duanya sama-sama memiliki dasar hukum.


110

BAB IV

HAMBATAN YANG TERJADI PADA SAAT PENGGUNAAN BLANGKO


AKTA JUAL BELI PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG
DI KOTA MEDAN

A. Kekosongan Blangko Akta Jual Beli Perumahan di BPN Medan

Dalam pembuatan akta pertanahan, seorang PPAT diharuskan menggunakan

blangko yang telah disediakan. Keberadaan blangko akta tersebut untuk pertama kali

muncul dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (2), bahwa :

“Bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri”. Kemudian

dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah sebagai peraturan pelaksanaannya disebutkan bahwa :

(1) “Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya
adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari
bentuk :
a. Akta Jual Beli (lampiran 16);
b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17);
c. Akta Hibah (lampiran 18);
d. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan (lampiran 19);
e. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21);
f. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak
Milik (lampiran 22); dan
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23).

(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus
dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disediakan”.
111

Tidak itu saja bahkan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah juga disebutkan, bahwa :

“Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri”. Kemudian

dipertegas lagi dalam Peraturan Pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 51 dan Pasal 53

ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah. Dalam Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blanko Akta PPAT dibuat dan

diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya boleh

dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”.

Sementara itu, pada Pasal 53 menyebutkan bahwa :

(1) “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang tersedia secara
lengkap sesuai petunjuk pengisiannya;
(2) Pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-
undangan;
(3) Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan kesaksian oleh 2 (dua) orang saksi
yang memberi kesaksian mengenai :
a. Identitas dan kapasitas penghadap;
b. Kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. Kebenaran data fisik dan data yuridis objek perbuatan hukum dalam
hal objek tersebut sebelum terdaftar;
d. Keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
e. Telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan.
(4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang telah memenuhi syarat sesuai
dengan peraturan perundang- undangan”.

Dari seluruh ketentuan mengenai Blangko Akta Jual Beli dapat dilihat bahwa

penggunaan Blangko Akta Jual Beli adalah suatu hal yang wajib dilakukan oleh

setiap Notaris/PPAT yang akan melakukan pendaftaran/pengalihan hak atas tanah.


112

Permohonan pendaftaran hak atas tanah dilakukan di BPN. Namun, kenyataannya

keberadaan Blangko Akta Jual Beli di BPN seluruh Indonesia mengalami

kekosongan. Adapun tujuan penyeragaman format blangko adalah agar ada

kekhususan akta demi keteraturan. Hal ini dikarenakan profesi PPAT hanya ada di

Indonesia dan di negara lain tidak ada. 175

Kekosongan Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN ini juga dapat

dilihat pada kutipan berita berikut 176 :

“Kantor Pos mengaku telah mendistribusikan blangko akta secara merata


sejak dua bulan terkahir, sejumlah PPAT di daerah terpaksa mengalami
kefakuman dalam menjalankan aktivitasnya. Pasalnya Blangko Akta Jual Beli
tanah yang disediakan PT. Kantor Pos, tidak lagi dapat memenuhi permintaan.
Padahal, menurut pengakuan supervisor sebagai distributor PT. Kantor Pos
telah menjual Blangko Akta Jual Beli secara merata dan itu dikhususkan bagi
PPAT di tingkat Kecamatan.

Dalam prosedur permintaan Blangko Akta Jual Beli, merupakan kewenangan


instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN) daerah yang memintanya langsung
ke pusat. Namun, karena blangko sedang diperbanyak sehingga memerlukan
proses panjang untuk sampai ke daerah. Prosedurnya memang seperti itu dan
terkait pengadaannya merupakan kewenangan BPN. Sementara itu, blangko
dapat diperbanyak dengan melakukan fotocopy, dan selanjutnya meminta
rekomendasi pada Kanwil BPN sebagai bukti, bahwa blangko akan
digunakanuntuk pengurusan jual beli. Dalam hal ini, diharapkan
memfotocopy Blangko Akta Jual Beli menjadi solusi jadi kekosongan blangko
bukan lagi menjadi kendala dalam menjalankan aktivitasnya”.

Dari keterangan kutipan berita di atas, diketahui bahwa diperbolehkan untuk

memfotocopy blangko apabila terjadi kekosongan di BPN atau di Kantor Pos. Jadi,

Notaris/PPAT boleh memfotocopy dengan meminta legalisasi dari Kepala Kantor

175
Boedi Harsono, “Polemik Kelangkaan Blangko Kembalikan Pada Filosofinya”, Jakarta,
Majalah Renvoi No. 8.44.IV tanggal 03 Januari 2007, hal. 8.
176
Harian Ko mentar, “Terkait Kekosongan AJB Tanah”,
http://www.harianko mentar.co m/arsip/arsip_2006/sep_09/eko04.ht ml., d iakses pada 18 Juni 2011.
113

BPN setempat sehingga hal ini tidak menghambat apabila ada permohonan

pendaftaran/peralihan hak di BPN.177 Namun, jika dengan memfotocopy dan

melegalisasi melalui Kepala Kantor BPN setempat maka hal ini akan dijadikan

sebagai upaya untuk melakukan pungutan liar (transaction cost) oleh oknum-oknum

yang tidak bertanggung jawab. Dasar memfotocopy Blangko Akta Jual Beli ini

adalah melalui Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang

Blangko Akta PPAT.

Sebenarnya kebijakan yang dibuat untuk memfotocopy Blangko Akta Jual

Beli tersebut sudah merupakan suatu solusi untuk mengatasi kelangkaan Blangko

Akta Jual Beli. Pungutan liar itulah yang menyebabkan peraturan itu tidak baik, hal

ini terkait dengan perilaku para pejabat di instansi BPN. 178 Dengan kata lain, budaya

hukumnya masih budaya suap. Inilah yang menyebabkan suatu kebijakan itu menjadi

tidak baik. Jadi, sebaiknya pihak BPN hanya mengutip biaya administrasi yang tertera

pada papan pengumuman daftar harga blangko di BPN yaitu sebesar Rp. 25.000,-. 179

Mengenai budaya suap di BPN dapat dilihat pada kutipan di bawah ini 180 :

177
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT.
178
Lawrence M. Fried man. American Law An Introduction, Edisi Kedua, diterjemahkan oleh
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tata Nusa, 2001), hal. 7. Mengatakan
bahwa : “huku m terdiri dari tiga unsur yakni struktur huku m, substansi hukum, dan kultur huku m.
Terkait dengan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli, substansi hukumnya adalah Surat Edaran Kepala
BPN No. 640-1884, tanggal 31 Ju li 2003 tentang Blangko Akta PPAT, struktur hukumnya adalah para
Pejabat Pengawai Negeri Sip il d i lingkungan Kantor Badan Pertanahan Nasional, dan kultur hukum
(budaya hukum) adalah menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem huku m. Budaya
hukum inilah yang masih merupakan budaya hukum suap dari Pejabat Pegawai Negeri Sip il d i
Lingkungan BPN setempat.
179
Blangko Akta PPAT di BPN memang tidak perlu bayar namun Notaris/PPAT harus
mengganti biaya transportasi dari BPN Pusat ke BPN Daerah.
180
Liston Damanik, “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang Siantar
Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbit kan Minggu 10 April 2011.
114

“Surat pengaduan bertanggal 04 April 2011 yang dibuat Notaris dan PPAT
Henry Sinaga terkait perilaku kinerja Oberlin Malau beserta stafnya
merupakan laporan ketiga. Oktober 2010 yang lalu, Henry melaporkan
pembuatan Surat Perintah Tugas fiktif dan terindikasi korupsi oleh oknum
BPN Pematang Siantar dan pungutan liar di instansi pemerintah itu. Pada
Februari lalu Henry kembali mengadukan Oberlin Sinaga perihal
pembangkangan Kepalan BPN itu terhadap Peraturan Menteri Keuangan
mengenai BPHTB. Selain itu, Oberlin juga dilaporkan telah berlaku kasar,
menghina, dan mengusir sesama pejabat negara itu saat sedang menjalankan
tugas”.

Perlakuan seperti menghina dan pengusiran di BPN inilah yang terkadang

membuat kesal para Notaris/PPAT. Penghinaan dan pengusiran sesama pejabat

negara yang tidak berlandaskan atas azas etika dan perilaku merupakan perlakuan

yang sering diterapkan oleh para Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi

pemerintahan BPN. Dalam hal Blangko Akta Jual Beli perumahan, perlakuan para

pegawai juga demikian. Mengenai kekosongan Blangko Akta Jual Beli atau disebut

Blangko PPAT yang tersedia di BPN, jika ditarik ke belakang dapat dilihat dari segi

pengadaannya. Seharusnya diadakan melalui tender pengadaan barang dan jasa

berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah. Peraturan tersebut memerintahkan agar setiap pengadaan barang di

instansi pemerintahan menggunakan pelelangan umum atau tender terbuka. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini 181 :

“Selama ini PPAT harus membeli blangko resmi akta jual beli yang
dikeluarkan oleh Yayasan Agraria seharga Rp. 17.500,- atau fotokopi blangko
yang sudah dilegalisir BPN seharga Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-
akta berlaku di seluruh Indonesia, dan harga tergantung kantor wilayahnya.

181
Huku m On line, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
http://www.huku monline.co m/berita/baca/hol17415/ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-
jual-beli., d iakses 19 Juni 2011.
115

Sementara itu Tina, Kepala Humas BPN Pusat, ketika dihubungi via telepon
menekankan kewajiban menggunakan blangko resmi maupun fotokopi
blangko yang telah dilegalisir wajib hukumnya bagi seluruh PPAT
berdasarkan keputusan menteri – yang ia lupa nomornya –. Kewajiban
menggunakan blangko resmi atau legalisir tidak membatasi kewenangan
PPAT. Untuk mengisi blangko PPAT harus memiliki kemampuan, tidak
semua orang bisa. Hanya BPN sudah punya atiran standar yang harus diikuti”.

Dalam hal Blangko Akta Jual Beli ini, tidak dilakukan pelelangan umum

dikarenakan yang mengadakan Blangko PPAT tersebut adalah sebuah Yayasan yang

didirikan oleh BPN itu sendiri. 182 Jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa : “Yayasan

adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan

untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang

tidak mempunyai anggota.

Jadi, yayasan dibentuk dengan tujuan untuk nirlaba maksudnya adalah bahwa

yayasan bertujuan sosial demi kemaslahatan masyarakat banyak. 183 Dengan tujuan

sosial tersebut dengan kata lain yayasan dibentuk bukanlah untuk kegiatan yang

menghasilkan keuntungan. Mengenai Blangko Akta PPAT yang dicetak oleh

Yayasan ini, sudah menjadi rahasia umum tetapi tidak ada satu orangpun yang perduli

bahwa BPN salah dalam menerapkan peraturan. Seharusnya dalam pengadaan

Blangko Akta PPAT tersebut dilakukan tender umum dengan cara mengundang

perusahaan-perusahaan percetakan yang ada di Indonesia untuk bersaing harga.

182
Notariat Watch, “Monopoli Akta”, http://notariatwatch.blogspot.com/2008/ 05/ monopoli-
akta.html., diakses pada 19 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Lenyapnya Blangko Kami”,
http://majalah.tempointeraktif.co m/id/arsip/2005/09/26/ HK/ mb m.20050926.HK116689.id.html.,
diakses pada 19 Juni 2011.
183
Louis E. Boone dan David L. Kurt z, Contemporary Business, 11th Edit ion, diterjemahkan
Ali Akbar Yu lianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer, Edisi Kesebelas, (Jakarta : Salemba,
2007), hal. 2.
116

Harga yang lebih murah tentu saja dijadikan sebagai pemenang tender, maksudnya

perusahaan yang mengajukan harga murah tersebut berhak untuk mencetak Blangko

PPAT. Percetakan itu harus berbiaya murah, pelaksanaan pelelangan harus transparan

dan akuntabel sesuai dengan azas yang tersirat di dalam Peraturan Presiden No. 54

Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

B. Kewenangan Notaris/PPAT dalam Membuat Akta Jual Beli Perumahan

Mengenai kewenangan Notaris/PPAT dalam membuat Akta Jual Beli

perumahan terletak pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1994 tentang

Hak Tanggungan dinyatakan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat Akta Pemindahan Hak Atas Tanah, Akta Pembebanan

Hak Atas Tanah dan Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pejabat umum adalah seorang

yang diangkat oleh Pemerintah dengan tujuan dan kewenangan memberikan tugas

dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu. Berarti

PPAT berkewajiban untuk melakukan public service yang diberikan kewenangan

oleh Undang-Undang/Pemerintah. Jadi, kewenangan PPAT bukan berasal dari Badan

Pertanahan Nasional yang dikurangi wewenangnya oleh Pemerintah dan diberikan

kepada PPAT. Melainkan kewenangan PPAT didapat dari Pemerintah itu sendiri.

PPAT diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan

pelayanan dalam bentuk pembuatan akta, atas permintaan orang-orang dan badan-

badan hukum yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum pemindahan hak atas

tanah, pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan dan pemberian kerjanya
117

menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan isi dan aturan hukum

yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kewenangan

PPAT yaitu diberi wewenang untuk membuat akta otentik. Disinilah kemudian

banyak sekali argumen yang bermunculan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa : “PPAT adalah

pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun”. Dari pasal tersebut, berarti sudah memberikan kewenangan kepada

PPAT untuk membuat akta otentik. Namun kemudian hal tersebut bertentangan

dengan peraturan selanjutnya Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blangko

Akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan hanya dapat

dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”. Pasal 53

ayat (1) menyebutkan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang

tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya”. Hal ini kemudian

menyebabkan kewenangan PPAT seakan-akan tercampuri oleh BPN.


118

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa membuat adalah

menciptakan, melakukan, mengerjakan. 184 Dengan demikian, PPAT mempunyai

kewenangan untuk menciptakan, membuat, mengerjakan akta, melakukan, membuat

sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal

95 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah

No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

C. Kesadaran Hukum Penge mbang, Konsumen (Masyarakat) Masih


Rendah Dalam Menggunakan Jasa Notaris/PPAT Untuk
Pendaftaran/Peralihan Hak Atas Tanah Atau Pe rumahan Melalui Jual
Beli

Ternyata setelah ditelusuri mengenai penggunaan Blangko Akta Jual Beli

perumahan didapat bahwa kesadaran hukum pengembang, konsumen (masyarakat)

masih rendah dalam menggunakan jasa PPAT untuk melakukan

pendaftaran/peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat

pada kutipan wawancara berikut ini185 :

“Sebelum dilakukannya pengikatan jual beli tanah atau perumahan dilakukan


oleh pengembang biasanya dilakukan cek bersih oleh pihak pembeli melalui
perantaraan Notaris/PPAT ke BPN dan jika pengikatan yang dilakukan oleh
pihak pengembang dengan menggunakan Balngko Akta Jual Beli, maka
prosedur tersebut tidak akan dilakukan dan hal tersebut akan merugikan pihak
konsumen atau masyarakat (pembeli);

Objek hak atas tanah dari perumahan tersebut masih diikat dengan Hak
Tanggungan dan belum dilakukan roya parsial ataupun roya secara
keseluruhan; dan

Pendaftaran untuk peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli
yang menggunakan Blangko Akta Jual Beli dari pihak pengembang tanpa

184
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit.
185
Yulhamd i sebagai Notaris/PPAT d i Medan, Op.cit.
119

pembuatan Akta Jual Beli dari pihak Notaris/PPAT tidak akan diterima dan
tidak diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku meskipun secara
prinsipnya jual beli tersebut sah menurut hukum”.

Selanjutnya Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN tidak bisa

dibeli oleh pengembang. Harus dengan menggunakan surat keterangan dari

Notaris/PPAT. Jika tidak menyertakan surat keterangan dari Notaris/PPAT ini maka

pihak BPN tidak akan melayani walaupun diberikan sejumlah uang. Hal ini jelas

seperti yang dikatakan oleh Pasal 51 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

“Pengambilan atau pembelian Blangko Akta Jual Beli di BPN ataupun Kantor
Pos tidak menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari
Notaris/PPAT Medan, maka pembelian ataupun pengambilan Blangko Akta
Jual Beli tersebut tidak akan dilayani. Maksudnya, meskipun bisa siapa saja
membeli Blangko Akta Jual Beli tersebut di BPN ataupun Kantor Pos, akan
tetapi harus menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari
Notaris/PPAT Medan ataupun kalau tidak pihak yang menginginkan blangko
tersebut dikenal oleh pegawai di BPN, sehingga Blangko Akta Jual Beli
tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu atau pihak yang tidak
bertanggungjawab terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan”. 186

Kesadaran hukum berasal dari dalam diri seseorang (law from inside to

outside). 187 Jika para Staf BPN, Pengembang, dan PPAT mempunyai kesadaran

hukum yang tinggi dalam hal penggunaan Blangko Akta Jual Beli perumahan ini

maka tidak akan jadi masalah jika terjadi kekosongan blangko. Semuanya akan

186
Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmu r Abadi, Op.cit.
187
Teori empati (empathy theory) menyatakan bahwa : “pada dasarnya semua bentuk
pelanggaran hukum yang terjadi adalah dikarenakan pelaku t idak memiliki empat terhadap orang lain
atau lingkungannya. Jika seseorang memiliki rasa empati tehradap orang lain atau lingkungannya,
maka seseorang tersebut tidak akan melakukan pelanggaran hukum”. Su mber : Sat jipto Rahard jo,
Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Ko mpas, Agustus 2010), hal. 52.
120

dengan mudah teratasi karena saling hidup berdampingan seiring sejalan dan saling

membutuhkan. Sebagai contoh : apabila pihak pengembang ingin melakukan

pendaftaran/peralihan hak atas tanah ke BPN harus menghubungi rekanannya yaitu

PPAT selanjutnya barulah bisa berhubungan dengan BPN. Setelah itu, BPN juga

harus membantu (tidak mengutip bayaran) PPAT yang melakukan

pendaftaran/peralihan hak atas tanah demi kebutuhan pengembang yang mewakili

konsumen (masyarakat). Pembayaran juga dilakukan berdasarkan tarif yang berlaku

atau tidak ada tambahan apapun dari pihak BPN. Dengan begitu, seluruh pihak tidak

ada yang dirugikan.


121

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya sebagaimana yang telah

dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal yang

menjadi kesimpulan, antara lain :

1. Pelaksanaan jual beli perumahan dengan menggunakan Blangko Akta Jual

Beli di Kota Medan harus ada kerjasama antara Pengembang dan

Notaris/PPAT yang melakukan permohonan ke BPN. Hal ini dikarenakan

pihak BPN tidak akan menyerahkan Blangko Akta Jual Beli kepada pihak

yang tidak ada Surat Pengantar dari Notaris/PPAT. Dengan kata lain,

Notaris/PPAT harus membeli sendiri Blangko Akta Jual Beli atau

memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengambil Blangko Akta Jual

Beli di BPN. Pihak Pengembang dan Pembeli tidak bisa mengambil Blangko

Akta Jual Beli di BPN karena bertentangan dengan Pasal 51 Peraturan Kepala

BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pihak pengembang yang bekerja

sama dengan Notaris/PPAT di Kota Medan pada prinsipnya sah menurut

hukum meskipun Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak

Notaris/PPAT Medan, akan tetapi untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah

atau perumahan melalui jual beli perumahan tersebut tidak akan diterima di
122

Kantor BPN Medan kalau Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak

Notaris/PPAT Medan.

Akta PPAT dengan menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli dan

dilegalisir memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta yang dibuat

dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli. Hal ini bahwa pengadaan

Blangko Fotocopy dan legalisir tersebut memiliki dasar hukum, yaitu :

a. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 16 Juli 2002 perihal

Blangko Akta PPAT; dan

b. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal

Blangko Akta PPAT.

Selain itu, walaupun menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang

telah dilegalisir namun apabila akta PPAT tersebut telah memenuhi syarat

untuk disebut sebagai akta otentik sebagaimana Pasal 1868 KUHPerdata dan

memiliki keuatan pembuktian, yaitu : kekuatan pembuktian lahiriah

(uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale

bewijskracht), kekuatan pembuktian material (materiale bewujskracht).

Karena hal yang otentik adalah tanda tangan para pihak bukan jenis kertasnya.

Jika Fotocopy Blangko Akta Jual Beli sudah di tanda tangani oleh para pihak

dan dilegalisir juga di paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan maka Fotocopy

Blangko Akta Jual Beli tersebut sah menurut hukum dan mempunyai

kekuatan hukum untuk melakukan pembuktian di Pengadilan.


123

3. Hambatan dalam penggunaan Blangko Akta Jual Beli perumahan di Kota

Medan, antara lain :

a. Kekosongan Blangko Akta Jual Beli di BPN dan Kantor Pos. Awal mula

kekosongan blangko berangkat dari sistem pengadaan di BPN Pusat tidak

menggunakan pelelangan umum berdasarkan Peraturan Presiden No. 54

Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melainkan

menunjuk langsung Yayasan Agraria yang didirikan oleh BPN untuk

mencetak blangko;

b. Pasal 51 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jelas bertentangan

dengan peraturan diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. BPN mengakui

bahwa digunakannya Blangko PPAT guna menyeragamkan seluruh

permohonan pendaftaran/peralihan hak atas tanah di BPN. Namun, hal ini

menjadi polemik di masyarakat bahwa banyak sekali pungutan liar dalam

hal pengambilan Blangko PPAT di BPN. Peraturan Kepala BPN No. 1

Tahun 2006 hanya untuk melegalisasi pungutan yang dilakukan oleh

Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi BPN. Apalagi

ditambah dengan Surat Edaran No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal

Blangko Akta PPAT yang memperbolehkan setiap PPAT untuk

memfotocopy blangko tersebut dengan catatan harus mendapatkan paraf

dari Kepala Kantor BPN. Jelas sudah Surat Edaran ini yang tidak

mempunyai kekuatan hukum sangat mengada-ada. Apalagi Surat Edaran


124

itu berlandaskan Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 (sebagai

ketentuan pelaksanaan) yang sudah bertentangan dengan Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 1998 (peraturan yang akan dilaksanakan); dan

c. Kesadaran hukum pengembang, konsumen (masyarakat) masih rendah

dalam menggunakan jasa PPAT untuk pendaftaran/peralihan hak atas

tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat bahwa pengembang

tidak mempunyai rekanan (PPAT) tetap untuk melaksanakan akad jual

beli kepada konsumen. Hal ini mengakibatkan sulitnya untuk melakukan

pendaftaran/peralihan hak atas tanah di BPN yang merupakan langkah

selanjutnya setelah dilakukannya pembayaran.

B. Saran

Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan hal-

hal sebagai berikut sebagai pemecahan masalah :

1. Sebaiknya pihak BPN Medan agar lebih selektif lagi dalam memberikan atau

menjual Blangko Akta Jual Beli kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan

seperti pihak Notaris/PPAT Medan, sehingga BPN Medan tidak mengalami

kehabisan dalam penyediaan blangko Akta Jual Beli tersebut. Selama

ketentuan yang mengharuskan PPAT untuk menggunakan Blangko Akta Jual

Beli maupun penggantinya (Fotocopy Blangko Akta Jual Beli telah

dilegalisir) masih berlaku, maka PPAT harus menjalankannya. Peraturan-

peraturan yang membatasi kewenangan PPAT seperti keharusan penggunaan


125

Blangko Akta dalam pembuatan akta, dalam hal ini mengenai ketentuan

penggunaan blangko akta agar segera direvisi, supaya semakin jelas

kewenangan yang dimiliki oleh PPAT sehingga tidak terkesan rancu atau

contradictio in terminis.

2. Sebaiknya kepada pihak pengembang tidak menggunakan lagi Blangko Akta

Jual Beli dalam hal jual beli perumahannya secara sepihak tanpa melibatkan

pihak Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli yang merupakan

kewenangannya. Karena jika tidak ada tanda tangan atau legalisasi dari

Notaris/PPAT maka Blangko Akta Jual Beli yang diajukan oleh pengembang

tidak diterima oleh Kantor Wilayah BPN.

3. Sebaiknya kepada pihak pengembang agar selalu bekerja sama dengan pihak

Notaris/PPAT untuk membuat peralihan hak atas tanah melalui jual beli agar

pendaftaran peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut di BPN Medan

dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Caranya Pemerintah

membuat suatu aturan dapat berupa Peraturan Pemerintah bagi perusahaan

pengembang untuk mewajibkan agar menggunakan PPAT. Apabila aturan

hukumnya sudah dibuat maka akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan

pengembang dengan sendirinya perusahaan akan mematuhi dan memilih

PPAT sebagai rekanannya. Sehingga setiap ada terjadi akad perjanjian jual

beli, maka disitulah PPAT berperan dalam hal peralihan hak atas tanah.
126

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arief, M. Isa., Pembuktian Dan Daluarsa, Intermasa, 1978.

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Press, 2010.

Badrulzaman, Mariam Darus., Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994.

-----------------------------------., KUHPerdata Buku ke III Hukum Perikatan Dengan


Penjelasan, Jakarta : Alumni, 1998.

-----------------------------------., et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra


Aditya Bakti, 2001.

Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan


Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009.

Budiman, Anita., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko
Akta Tanah”, Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga.

Boone, Louis E., dan David L. Kurtz, Contemporary Business, 11th Edition,
diterjemahkan Ali Akbar Yulianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer,
Edisi Kesebelas, Jakarta : Salemba, 2007.

Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di


Kantor Pertanahan, Jakarta : Grasindo, 2005.

Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction, Edisi Kedua, diterjemahkan


oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta : Tata Nusa,
2001.
127

Fuady, Munir., Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1999.

Goenawan, Kian., Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama,
Yogyakarta : Pustaka Grahatama, 2008.

Harahap, M. Yahya., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

------------------------., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.

Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentuan, Isi dan


Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 1997.

---------------------., Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Indonesia), Djambatan,


Jakarta, 2003.

Hutabarat, Samuel M.P., Penawaran dan Peneerimaan Dalam Hukum Perjanjian,


Jakarta : Grasindo, Tanpa Tahun.

Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,


diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong,
Cetakan Ketiga, Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007.

Lumban Tobing, GHS., Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1980.

Mertokusumo, Sudikno., Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty,


1985.

Muhammad, Abdulkadir., Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990.

Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
128

Nurachmad, Much., Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan
Pertama, Jakarta : Visimedia, Desember 2010.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun
Ikatan Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan
Masa Datang, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Tanpa Tahun.

Rahardjo, Satjipto., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia


Press, 1986.

-----------------------., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, Agustus 2010.

Sanusi, Ahmad., Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Bandung : Tarsito, 1999.

Santoso, Budi., Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua,
Jakarta : Elex Media Komputindo, Februari 2008.

Satrio, J., Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung : Alumni, 1993.

Setyorini, Evi Novita Tri., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Pembuatan Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, Semarang : Tesis
Universitas Diponegoro, 2005.

Siregar, Nelly Sriwahyuni., “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam


Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah)”, Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
2008.

Situmorang, Victor., Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 1996.

Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
129

Sofwan, Sri Soedewi Majchoen., Hukum Perdata (Hukum Benda), Yogyakarta :


Liberty, 1981.

Subekti, R., dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980.

Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1992.

Suryabrata, Samadi., Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada,


1998.

Sutanto, Urip., Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta, 2004.

Sutedi, Adrian., Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar
Grafika, 2007.

Syahrin, Alvi., Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan


Pemukinan Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003.

Rijan, Yunirman., dan Ira Koesoemawati, Cara Mudah Membuat Surat


Perjanjian/Kontrak dan Surat Penting Lainnya, Cetakan Pertama, Jakarta :
Raih Asa Sukses, 2009.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum Dalam Pratek, Jakarta : Sinar Grafika,


2002.

Wijaya, Hermawan., 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Cetakan Pertama,


Yogyakarta : Pustaka Ghratama, 2009.

Widjaja, Gunawan., dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan, Jakarta : Raja


Grafindo Persada, 2003.
130

ARTIKEL INTERNET DAN MEDIA MASSA

Bataviase, “Blangko Akte Jual Tanah Langka”, http://bataviase.co.id/node/662747.,


diakses pada 11 Juni 2011.

Damanik, Liston., “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang
Siantar Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbitkan Minggu 10 April 2011.

Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,


http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang- holistik-dalam-
antropologi.html., diakses pada 11 Juni 2011.

Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,


http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 11 Juni 2011.

Harsono, Boedi., “Polemik Kelangkaan Blangko Kembalikan Pada Filosofinya”,


Jakarta, Majalah Renvoi No. 8.44.IV tanggal 03 Januari 2007.

Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.com/.../ppat- gugat-bpn-karena- menolak-pendaftaran-akta-
jual-beli., diakses pada 14 Juni 2011.

K., Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu- hukum-dalam-perspektif- ilmu-
pengetahuan- modern., diakses pada 11 Juni 2011.

Kusumaputra, Robert Adhi., “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam
Bulan”,
http://properti.kompas.com/read/2011/05/18/20520289/Astaga.Blanko.Akte.J
ual.Beli.Tanah.Kosong.Enam.Bulan., diakses pada 11 Juni 2011.

Miranda, Yonsah., Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th.
07/2009
131

Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id


/perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 11
Juni 2011.

Notariat Watch, “Monopoli Akta”,


http://notariatwatch.blogspot.com/2008/05/monopoli-akta.html., diakses pada
19 Juni 2011.

Tempo Interaktif, “Blangko Akta Tanah Langka, Lurah se-Tangerang Selatan


Geruduk BPN”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2011/05/18/brk,20110518
-335110,id.html., diakses pada 11 Juni 2011.

Tempo Interaktif, “Lenyapnya Blangko Kami”,


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/26/HK/mbm.20050926.H
K116689.id.html., diakses pada 19 Juni 2011.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun


1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun


2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
132

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632.

Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4432.

KAMUS

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :


Balai Pustaka, 1986.

Garner, Richard A., (Editor), Black’s Law Dictionary, Edisi Kedelapan, West Group,
2004.

Vous aimerez peut-être aussi