Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
untuk makan dan minum, kebutuhan pakaian, kebutuhan untuk tempat tinggal atau
tempat tinggal atau perumahan tersebut sudah merupakan suatu hal yang pokok
dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya program
pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dan salah satunya adalah program
perumahan untuk rakyat dengan memanfaatkan lahan yang ada. Alvi Syahrin sebagai
1
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan
Pemukinan Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.
3
Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) adalah sebidang tanah
1. “Harga perolehan tanah dan rumah, dan apabila atas bidang tanah tersebut
sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Pajak Bumi dan Bangunan Tanah dan rumah tersebut tidak lebih daripada Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
2. Luasnya tidak lebih daripada 200 m2 ; dan
3. Di atasnya dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal
atau kompleks perumahan”.
Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS), Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah untuk RSS dan RS di atas tanah negara
Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya bisa diubah menjadi Hak
Milik. Sedangkan tanah RSS dan RS di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) kepunyaan
perseorangan WNI yang belum dimiliki dengan HGB, diberikan kepadanya Sertifikat
10.000,- dan sumbangan landreform sebesar Rp. 5.000,- dan biaya pendaftaran sesuai
2
Pasal 1 huruf d., Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS).
3
Pasal 2 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian
Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Pustaka
Grahatama, 2008), hal. 48.
4
dengan ketentuan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 1992 tentang Biaya
Pendaftaran Tanah. 4
1) “Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohon untuk diubah menjadi Hak
Milik;
2) Akta jual beli atau surat perolehan mengenai rumah beserta tanah yang
bersangkutan;
3) SPT Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, apabila atas bidang tanah
tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan tersendiri; dan
4) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila tanah tersebut
dibebani Hak Tanggungan”.
Akta jual beli inilah (angka 2 di atas) yang harus disertakan untuk
mendaftarkan perubahan HGB menjadi Hak Milik. Akta jual beli didapatkan dengan
mengisi Blangko Akta Jual Beli yang diperoleh oleh PPAT dari Kantor Wilayah BPN
setempat. Namun, akta jual beli dari BPN itu sangat sulit didapat dikarenakan sering
kekurangan stok dan proses pengadaan yang tidak transparan. Setelah mendapatkan
Akta Jual Beli (AJB) di PPAT. Asas terang dan tunai pada hukum agraria yang
berlaku bersumber dari hukum adat. Ini berarti jual beli harus dilakukan di hadapan
pejabat yang berwenang (PPAT atau Camat) dan harus ada pembayaran atas jual beli
tersebut. Bila kedua syarat telah dipenuhi, jual beli dikatakan sah menurut hukum.
4
Pasal 2 ayat (2), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Ru mah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian
Goenawan, Op.cit., hal. 49.
5
Pasal 3 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Ru mah Sederhana (RS). Lihat juga : Ibid., hal.
49.
5
Setelah transaksi dibuktikan dengan adanya AJB, PPAT wajib mendaftarkan jual beli
dilakukan oleh pihak swasta atau pengembang tersebut dengan berbagai cara seperti
melalui sistem Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) yang dilakukan
oleh pengembang atau developer sendiri ataupun KPR melalui suatu bank atau
lembaga pembiayaan yang ada di daerah tersebut. Selain pemilikan rumah melalui
KPR, pihak pengembang atau developer juga memberikan cara pemilikan rumah
melalui pembelian secara tunai dengan sistem jual beli kepada para konsumen.
Sistem jual beli perumahan yang dilakukan pengembang atau developer kepada para
KUHPerdata) bahwa, “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain
yang tidak jauh berbeda dengan definisi dari Pasal 1457 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian jual beli adalah, “suatu perjanjian di mana pihak yang
satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang sedangkan pihak
6
Ibid., hal. 40.
7
R. Subekt i, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1992), hal. 161-162.
6
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan pernyataan dari R. Subekti tersebut maka
Setelah melihat definisi dan unsur-unsur dari perjanjian jual beli tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli tersebut terjadi jika kedua belah
pihak mencapai suatu kata sepakat tentang barang atau benda dan harga. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa : “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika
dibayar”. Selain dari hal tersebut, R. Subekti menyatakan bahwa dalam perjanjian
tentram; dan
harga pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah
8
Ibid., hal. 162.
7
pihak”. 9 Terhadap pernyataan dari R. Subekti tersebut tentang kewajiban penjual dan
pembeli dari perjanjian jual beli secara umum tersebut maka dapat dilihat bahwa
sebenarnya banyak hal yang terjadi dan perlu diuraikan secara lebih mendalam lagi
tentang perjanjian jual beli tersebut seperti, mengenai penyerahan barang atau benda,
risiko dan lain sebagainya. Tetapi agar lebih akurat dan terperinci uraiannya
ditentukanlah objek perjanjian jual beli dalam penelitian ini adalah perumahan oleh
pengembang atau developer kepada para konsumen. Terhadap unsur-unsur yang ada
dalam perjanjian jual beli yang telah diuraikan sebelumnya jika dihubungkan dengan
perjanjian jual beli perumahan oleh pengembang kepada para konsumen, maka dapat
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual yaitu
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan untuk konsumen yang
berhubungan dengan tanah sebagai tempat berdirinya rumah tersebut. Sehingga untuk
9
Ibid.
8
sekarang inijual beli perumahan tersebut identik dengan jual beli tanah, karena rumah
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tanah. Menurut Urip
Sutanto sebagai ahli hukum perdata, “pengertian jual beli tanah adalah perbuatan
hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama- lamanya)
oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan sejumlah
harganya kepada penjual”. 10 Berdasarkan pernyataan dari Urip Sutanto tersebut, maka
jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak konsumen
hak atas tanah perumahan beserta rumahnya dari pemegang hak (penjual atau
sejumlah uang secara tunai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebagai
Peralihan hak atas tanah atau perumahan tersebut yag dilakukan oleh pihak
Akta Jual Beli. Sementara untuk suatu peralihan hak atas tanah atau perumahan
melalui jual beli adalah merupakan bagian dari kewenangan seorang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada
10
Urip Sutanto, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2010), hal. 360.
11
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah..
9
1. “Jual beli.
2. Tukar menukar.
3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng).
4. Pembagian hak bersama.
5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
6. Pemberian Hak Tanggungan.
7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Blangko Akta Jual Beli yang
dipergunakan oleh pihak PPAT dimana objek peralihan hak atas tanah atau
perumahan melalui jual beli dilangsungkan. PPAT diangkat oleh Pemerintah, dalam
hal ini BPN dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan
masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,
dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam
hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah di hadapan seorang Notaris
atau PPAT yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan
dibuatkan dengan Akta Otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli
atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan
jual beli ini dilakukan di hadapan Notaris yang dinamakan Perjanjian Jual
12
Jimly Asshiddiqie, “Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Renvoi
03 Juni 2003, hal. 31., dalam : Nelly Sriwahyuni Siregar, “Tin jauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak
Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”, (Medan : Tesis,
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 2-3.
13
Ibid.
10
(to make) akta jual beli perumahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa “seorang
hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak
di daerah kerjanya. PPAT berwenang membuat akta jual beli, tukar menukar, akta
pemasukan dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum.
Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, pembuatan akta PPAT tidak pernah
sekalipun dilimpahkan kepada instansi lain yaitu kepada Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Dalam aturan hukum yang mengatur keberadaan BPN tidak satu pasal pun
yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau
PPAT lahir secara atributif atau delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi, dalam
hal ini PPAT lahir sebagai belesregel atau policy rules dari Pemerintah langsung. 14
mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi (to fill) formulir/blanko. Oleh karena
itu, mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Pada kenyataannya, selama
ini PPAT masih mengisi formulir/blanko, maka hal ini membuktikan telah terjadi
14
Anita Budiman, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta
Tanah”, (Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga), hal. ii.
11
kewenangan PPAT sesuai dengan tataran hukum yang benar. Akta PPAT yang
digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum tertentu menangani
hak atas tanah dan hak milik atas rumah, bentuk dan jenisnya ditentukan oleh
Tanah pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa : “bentuk, isi, dan cara pembuatan
akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh Menteri”. Ketentuan ini
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah pada Pasal 53 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan
mengisi blangko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk
membuat Akta Otentik. Hal ini bertentangan dengan kewenangan PPAT itu sendiri. 16
Dengan format blangko yang baku tersebut, maka formulir atau blangko yang
telah disediakan tersebut tinggal diisi saja. Memang hal ini menjadikan lebih mudah,
15
Ibid.
16
Ev i Novita Tri Setyorini, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, (Semarang : Tesis, Un iversitas Diponegoro, 2005), hal. 21.
12
penerbitan dari blangko akta tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Republik Indonesia seperti yang tercantum pada Pasal 51 Keputusan Kepala
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah bahwa : “Blangko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya dibeli oleh PPAT, PPAT
Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”. 17 Hal tersebut kemudian menjadi
masalah ketika terjadi kelangkaan yang berujung pada kekosongan blangko atau
formulir akta tersebut di Indonesia sampai saat ini. Bahkan beberapa media telah
“Forum Kepala Desa dan Lurah Kota Tangerang Selatan, Banten, mendatangi
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang mempertanyakan
blanko akte jual beli tanah yang kosong selama enam bulan. Sudah enam
bulan blanko akte jual beli tanah kosong, sedangkan permintaan saat ini sudah
banyak. Bila ketersediaan blanko akta jual beli tanah tidak disediakan
secepatnya, maka akan menghambat sistem pelayanan bagi masyarakat. Tak
hanya itu saja, kekosongan blanko akta jual beli tanah juga mempengaruhi
Pendapatan Asli Daerah”.
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini sampai mendera hampir di seluruh
BPN Republik Indonesia baik di daerah, maupun di perkotaan. Begitu juga di BPN
17
Ibid., hal. 22.
18
Robert Adhi Kusumaputra, “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”,
http://properti.ko mpas.com/read/2011/ 05/ 18/ 20520289/Astaga.Blanko.A kte.Jual.Beli.Tanah.Kosong.E
nam.Bu lan., diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Blangko Akta Tanah Langka,
Lurah se-Tangerang Selatan Geruduk BPN”,
http://www.tempointerakt if.co m/hg/layanan_publik/2011/05/18/brk,20110518-335110,id.ht ml.,
diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Bataviase, “Blangko Akte Jual Tanah Langka”,
http://bataviase.co.id/node/662747., diakses pada 11 Jun i 2011.
13
PPAT menggunakan blanko akta yang difotokopi, dilegalisir, dan diberi nomor
sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT. Namun kebijakan ini
Tanah. Perdebatan itu pada intinya dalam hal pembuktian. Perdebatan itu pada intinya
dalam hal pembuktian. Apalagi untuk transaksi jual beli atas tanah yang bernilai
milyaran rupiah, para pihak ragu apabila menggunakan blangko akta tersebut. Bahkan
beberapa praktisi dan akademisi saling berbeda pendapat ketika ada yang berargumen
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang sudah dipaparkan maka rumusan masalah
19
Ev i Novita Tri Setyorini, Op.cit., hal. 23.
14
Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
menerapkan peraturan.
perumahan.
E. Keaslian Penelitian
Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan”, belum pernah dilakukan oleh
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah blangko akta jual beli,
antara lain :
1. Tesis atas nama Chairani Bustami dengan judul ”Aspek-Aspek Hukum yang
Terkait Dalam Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota
16
2002;
2. Tesis atas nama Alvin Hidayat dengan judul ”Aspek Hukum Dalam Perjanjian
pada tahun 2008. Dibimbing oleh : Bismar Nasution; Muhammad Yamin; dan
Syafnil Gani.
berbeda. Penelitian ini mengkaji mengenai penggunaan blangko akta jual beli
perumahan khususnya masalah yang ditimbulkan dari penggunaan blangko akta jual
beli dan upaya penanggulangannya. Penelitian ini menjunjung tinggi kode etik
penulisan karya ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik
ilmiah.
1. Kerangka Teori
atau kerangka teori yang merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka
17
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam
landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai
Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalah-
masalah yang diteliti” 21 . Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian
penggunaan blangko akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah
didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata
“semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut
syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak
dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undang-
undang”. 22
Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung
arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 6.
21
Ibid.
22
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 75.
18
pihak yang membuatnya seperti undang- undang. Syarat sah suatu perjanjian
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan
secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada waktu itu dikenal
dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta (bukan akta otentik) mengenai
perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas
tanah. 23
(formulir) yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali dengan
Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah
penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
23
Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan
Akta Otentik”, (Semarang : Tesis, Un iversitas Diponegoro), hal. 28.
19
Tanah. 24
arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun
2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko akta PPAT
yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT
belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang
karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, yang sebagian
jabatannya itu dibuatlah formulir- formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir
(blangko akta) itu. Blangko yang dibuat oleh BPN adalah yang berkaitan dengan
pertanahan, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form
isian tersebut. Blangko tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini
24
Ibid., hal. 29.
25
Ibid., hal. 29-30.
20
kepentingan sosial (nirlaba). Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa
diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
yang berarti mengerjakan, melakukan, dan membuatnya sendiri akta (PPAT) yang
BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun
1998, yaitu akta : Jual Beli; Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng); pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna
bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan surat
Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam
bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangko/formulir tersebut dicetak oleh
pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal dari kewenangan BPN
atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT. Dalam aturan hukum yang
26
Huku m Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.co m/.../ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., d iakses pada 14
Juni 2011.
27
Reza Febriantina, Loc.cit., hal. 30-31.
21
1988 tidak ada satu pasal pun dalam Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN
mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif
ataupun delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir
sebagai beleidsregel atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain,
PPAT bukan lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau
bukan pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT
dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan PPAT
pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan mengeruk keuntungan
dari kegiatan menjual formulir- formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak
keberadaan PPAT tahun 1961.29 Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik
perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, maka blangko akta tanah
seharusnya selalu tersedia di Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas
oleh BPN untuk membuat akta hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersidaan
atas, maka teori yang juga berhubungan dengan penelitian penggunaan blangko akta
jual beli oleh pengembang di kota Medan tersebut adalah teori tentang akta. Hal
28
Ibid., hal. 32-33.
29
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, (Bandung : Cit ra Aditya Bakt i,
2009), hal. 281. Dalam : Ibid., hal. 33.
22
tersebut dikarenakan bahwa penelitian ini ada hubungannya dengan akta jual beli dan
oleh sebab itu teori tentang akta sesuai dengan penelitian ini.
berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta”
Selain itu menurut R. Subekti yang sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa,
“akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani,
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan
alat bukti”. 31
Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang telah diterjemahkan oleh M. Isa
Arief yang mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat
surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian”. 33
pengertian akta, maka dapat ditarik beberapa unsur dari pengertian akta tersebut
antara lain :
30
R. Subekt i dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), hal. 9.
31
Sutarno, Op.cit., hal. 101.
32
M. Isa Arief, Pembuktian Dan Daluarsa, (Intermasa, 1978), hal 52.
33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1985),
hal. 121.
23
2. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa.
3. Ditandatangani.
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau
tidak memenuhi unsur- unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor
Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta,
melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru
akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan
yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan
1. Bukti tulisan.
3. Persangkaan-persangkaan.
34
Victor Situ morang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
1996), hal. 52.
24
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta
merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga
disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa 35 : “ada dua bentuk akta yaitu :
Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang- undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sedangkan menurut
Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa 36 : “suatu akta otentik adalah akta
yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh
yang berkepentingan”.
Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868
KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang
1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai
35
Sutarno, Op.cit., hal. 101.
36
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
25
2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus
bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut
pejabat umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak
berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut
tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para
pihak”. 37
dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau
tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya,
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869
KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta
tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi
caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh
undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa
37
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 566.
26
wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi
syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang
disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,
dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris,
Hakim, Juru Sita pada Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil dan dalam
disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa
suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh
juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli
umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”. 40 Dan
hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
38
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
39
Sutarno, Op.cit., hal. 102.
40
M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 573.
27
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya menerangkan tentang
yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum dalam pasal tersebut
ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi tugas atau wewenang untuk
Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat
41
Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung :
Tarsito, 1999), hal. 89.
28
yaitu42 :
BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut
difotocopy dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi
pada Kanwil BPN tersebut. 43 Tentunya legalisasi tersebut tidak gratis, setidaknya
harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos
setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar (transaction cost) 44 dan
penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang
bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi akta PPAT tersebut. 45
42
Victor Situ morang, Op.cit., hal. 34-35.
43
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli
2003, yang menyatakan bahwa : “apabila d i daerah Saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT
tertentu agar Saudara segera menerbit kan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami
tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi
paraf dan cap dinas setiap halaman”.
44
Pungutan Liar atau Transaction Cost adalah biaya keluar yang disebabkan oleh peraturan
tertentu yang berbelit-belit biro krasinya. Biaya ini hanya menambah pengeluaran dari PPAT untuk
pengurusan sertifikat tanah. Transaction Cost tidak harus dikeluarkan karena tidak ada peraturan
sebagai dasar pengutipannya.
45
Habib Adjie dalam Reza Febriantina, Op.cit., hal. 34.
29
2. Kerangka Konsep
Konsepsi adalah, “salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrasi
yang disebut definisi operasional”. 46 Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada
pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
46
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 28.
47
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
48
Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
49
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
30
4. Akta PPAT adalah akta tanah yang diuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
5. Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah formulir kosong (belum diisi) yang
6. Fotocopy Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah rekaman formulir kosong
Blangko Akta Jual Beli yang didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat; 51
7. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
8. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan; 54
11. Pengembang adalah orang atau perusahaan (badan hukum – legal entity) yang
50
Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
51
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko A kta PPAT.
52
Pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
53
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman.
54
Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman.
55
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 562.
56
Ibid., hal. 414.
31
G. Metode Penelitian
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
masing- masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
57
Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelit ian Hu ku m : Sub Poko k Bahasan
Penulisan Huku m”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2.
58
Ibid.
32
8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 59
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
terkait secara langsung dengan blangko akta jual beli perumahan yang dikeluarkan
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
59
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lo kakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id
/perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20et ik).ppt., 2007, diakses pada 11 Juni 2011.
60
Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normat if adalah : meru muskan azas-azas hukum
dari data hukum positif tertulis; meru muskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-
standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Su mber : A mirudin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
33
batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya. 61
dengan studi terhadap penggunaan blangko akta jual beli di Kota Medan.
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat
Agraria; 64
Permukiman; 65
61
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Il mu Hukum Normatif, diterjemah kan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, (Bandung : Nusamedia
& Nuansa, 2007).
62
Kitab Undang-Undang Huku m Perdata, Staatsblad Tahun 1847 No mor 23.
63
Kitab Undang-Undang Huku m Dagang, Staatsblad Tahun 1847 No mor 23.
64
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Po kok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No mor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No mor 2043.
34
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
65
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permu kiman, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669.
66
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 No mor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mor 3632.
67
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No mor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No mor 3688.
68
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Le mbaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 No mor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomo r 4432.
69
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 No mor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No mor
3696.
70
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No mor 52, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No mor 3746.
35
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan seperti :
a. Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS);
Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah
c. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, seperti :
(library research) dan studi dokumen yang dipandang relevan. Instrumen yang
digunakan ada 2 (dua) hal yaitu : a. Kepustakaan; dan b. Pengumpulan Data melalui
dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain bahan hukum yang
71
Richard A. Garner, Editor, Black’s Law Dictionary, Ed isi Kedelapan, (West Group, 2004).
36
Pengumpulan data akan dapat dilakukan dengan baik, jika tahap sebelumnya
Dalam sampling purposive,74 pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-
sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau
metode ini adalah dapat meminimalkan biaya penelitian. Responden yang dipilih
adalah yang terlibat langsung dalam penggunaan blangko akta jual beli yaitu
72
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Pratek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal.
49.
73
Wawancara mendalam secara umu m adalah proses mempero leh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian,
kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Sepert i yang
dikemu kakan o leh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
74
Berkenaan dengan tujuan penelitian kualitatif, maka dalam prosedur sampling yang
terpenting adalah informan yang diwawancarai haruslah sarat akan informasi yang berkaitan dengan
bahasan penelitian. Sampling purposive adalah unsur-unsur yang ditelit i masuk ke dalam sampel yang
dituju dalam hal in i adalah para Staff/Pegawai dan Karyawan Badan Pertanahan Nasional karena
merupakan informan yang tepat untuk diwawancarai berkaitan dengan penggunaan blanko akta jual
beli peru mahan. Seperti yang dikemu kakan o leh Satjipto Rahard jo, Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta : Un iversitas Indonesia Press, 1986), hal. 196.
37
masyarakat yang berada di wilayah kantor Badan Pertanahan Nasional yang sedang
4. Analisis Data
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka
ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis
proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi penggunaan blangko akta jual beli, peran notaris dalam
mengakomodir penggunaan blangko akta jual beli, penyediaan blangko akta jual beli
oleh Badan Pertanahan Nasional, perlindungan hukum terhadap konsumen, dan lain-
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu- ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
75
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 153.
76
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan. Dalam : Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/ 08/ memb incang-holistik-dalam-antropologi.ht ml., diakses pada
11 Juni 2011.
38
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.77
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh
bagian dari penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan agar
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”- nya dalam melihat
masalah dalam penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan.
penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya
yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan
77
Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Huku m”, (Jurnal Progresif, Vo l. 1 No.
2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hu ku m dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-huku m-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses
pada 11 Juni 2011.
78
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 11 Juni 2011.
79
Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26.
80
Ibid., hal. 27-29.
39
2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-
atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori
penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu,
lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat
dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak
BAB II
saling ketergantungan dengan manusia atau individu lainnya. Hal tersebut tercermin
dari berbagai aktifitas yang dilakukan seperti tukar menukar, pinjam meminjam, jual
beli terhadap barang atau jasa dan sebagainya. Semua aktifitas tersebut akan menjadi
dasar lahirnya suatu perjanjian, karena adanya perikatan untuk saling mengikatkan
diri satu sama lainnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Subekti dalam
bukunya Hukum Perjanjian mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari, istilah
kontrak dipakai ketika seseorang ingin menyewa rumah, tempat usaha, atau bekerja di
sebuah perusahaan swasta. Dalam arti lebih sempit, istilah kontrak pemakaiannya
Bila seorang kontraktor akan menerima pekerjaan merenovasi sebuah rumah maka
dua orang atau lebih tentang sesuatu hal, baik dibuat secara tertulis atau lisan. Para
81
Yunirman Rijan dan Ira Koesoemawat i, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak
dan Surat Penting Lainnya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2009), hal. 5.
41
dan mengikat kedua belah pihak atau yang menandatanganinya sejak tanggal
ditulis mengenai rumusan tentang perikatan yaitu pada Pasal 1233 KUHPerdata yang
karena undang- undang”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan
itu terjadi dikarenakan oleh suatu persetujuan antara kedua belah pihak ataupun oleh
beberapa pihak. Perikatan itu dapat juga terjadi bukan atas kemauan sendiri tetapi
82
Ibid.
83
Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Peneerimaan Dalam Hukum Perjanjian, (Jakarta :
Grasindo, Tanpa Tahun), hal. 24. Lihat juga H.F. Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands
Burgelijk Recht (1), mengatakan bahwa : “ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama
seseorang itu (debitor) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap
kreditor kalau perlu dengan bantuan hukum”.
84
R. Subekt i, Op.cit., hal. 122-123.
42
Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III BW itu adalah suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang
memberi hak. Satu orang untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II
mengatur perihal hubungan- hubungan hukum antara orang dengan orang
(hak- hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi objek juga suatu
benda.
Oleh karena sifat hukum yang memuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu
tuntut menuntut, maka isi Buku III itu juga dinamakan hukum perhutangan.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau krebitur,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang
atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi,
yang menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang.
2. Melakukan suatu perbuatan.
3. Tidak melakukan suatu perbuatan”.
Buku III KUHPerdata tidak ada memberikan suatu defenisi dari perikatan.
Namun ada beberapa ahli hukum memberikan defenisi tentang perikatan. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, “perikatan adalah hubungan yang terjadi di atara dua
orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan, dimana
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi
85
Mariam Darus Badrulzaman, K UHPerdata Buku ke III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, (Jakarta : Alu mni, 1998), hal. 1.
86
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alu mni, 1993), hal. 1.
43
memberikan kejelasan bahwa suatu perjanjian yang dibuat itu telah menimbulkan
perikatan bagi pihak-pihak yang membuatnya dan hak serta kewajiban dengan
sendirinya harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, seperti halnya jual beli
tersebut. Para konsumen sebagai pembeli membayar harga rumah sesuai dengan
kesepakatan berdasarkan perjanjian jual beli yang telah ditandatangani oleh para
pihak.
Jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada para konsumen
merupakan perjanjian jual beli perumahan yang menggunakan blangko akta jual beli.
Blangko akta jual beli harus memuat asas-asas untuk keabsahan suatu perjanjian yang
benar karena untuk pembuatan perjanjian jual beli perumahan tersebut oleh
pengembang harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan
untuk lebih mendalami hal tersebut maka di bawah ini akan dibahas asas-asas yang
2. Asas konsensualisme. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan
Pasal 1338 KUHPerdata. Dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan keinginannya
dalam suatu perjanjian.
4. Asas kekuatan mengikat. Asas ini menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian
terkandung makna asas kekuatan mengikat, karena masing- masing pihak yang
berjanji terikat untuk melakukan yang telah diperjanjikan, namun tidak
semata- mata terbatas pada apa yang telah diperjanjikan, tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang hal tersebut dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral.
5. Asas persamaan hukum. Asas ini menyatakan bahwa masing- masing pihak
mempunyai kedudukan dan persamaan derajat tanpa dibedakan satu dengan
yang lainnya oleh karena perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan dan lain- lain. Masing- masing menghormati perbedaan ini
sebagai ciptaan Tuhan.
87
Mariam Darus Badrulzaman, Loc.cit., hal. 108-115.
45
8. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan yang wajar, dimana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk
menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam
zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan secara
sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, juga asas ini terdapat dalam
Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut berdasarkan pada
kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
9. Asas kepatutan. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan
ketentuan-ketentuan yang dibuat di dalam perjanjian tersebut. Hal ini yang
menjadi ukuran tentang hubungan dan rasa keadilan yang satu dengan yang
lainnya.
10. Asas kebiasaan. Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata
yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal- hal yang
dalam keadaan dan kebiasaan yang lazin diikuti”.
terdapat dalam suatu perjanjian, maka jual beli perumahan oleh pengembang kepada
para konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli diharapkan dapat
3. Jenis-Jenis Perjanjian
sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan blangko akta jual beli
oleh pengembang tersebut termasuk dalam suatu jenis perjanjian apa yang akan
46
diutarakan di bawah ini. Ada beberapa jenis perjanjian dalam ruang lingkup hukum
timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak”. 88 Perjanjian ini merupakan kegiatan yang
biasa terjadi dalam kehidupan sehari- hari, misalnya perjanjian jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa dan lain sebagainya. “Sedangkan perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang hanya memberikan atau membebankan kewajiban kepada salah satu
pihak saja tanpa diikuti penerimaan hak dan memberikan hak kepada pihak yang
lainnya tanpa dikuti dengan kewajiban”. 89 Perjanjian ini dapat diberikan contoh
seperti : pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut, pihak
pemberi hadiah ataupun pemberi hibah diwajibkan untuk menyerahkan benda yang
menjadi objek dari perikatan tersebut, sedangkan pihak lainnya berhak untuk
salah satu pihak saja, dan contohnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah
perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
88
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 1.
89
Ibid., 2.
47
prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut
hukum”. 90
kata lain, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh
1. Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata Bab V – Bab XVII.
Perjanjian tidak bernama ini tidak diatur dalam KUHPerdata, akan tetapi di dalam
90
Ibid., hal. 3.
91
Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Visimedia, Desember 2010), hal. 14.
48
kehidupan sehari- hari telah sering terjadi di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas, hal ini dikarenakan perjanjian tersebut disesuaikan dengan kebutuhan para
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda yang dialihkan atau
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang
KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari
penjual kepada pembeli dan untuk beralihnya hak milik bendanya masih diperlukan
kekuatan mengikat karena telah tercapai persesuaian kehendak (ada kata sepakat) di
antara kedua belah pihak dalam melakukan suatu perikatan. Sedangkan perjanjian riil
berlaku atau dianggap sah apabila telah terjadi penyerahan barang (levering).
92
Ibid., hal. 14.
93
Mariam Darus Badru lzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakt i, 2001), hal. 67.
94
Ibid., hal. 20.
49
Sebagai contoh seorang pemilik rumah yang menyewakan kamar atau sebagian
ruangan rumahnya (yang mana dalam hal ini tergolong dalam sewa menyewa), akan
tetapi juga menyajikan makanan kepada penyewa kamar atau sebagian ruangan
rumah tersebut (yang dalam hal ini tergolong dalam jual beli). 95
maka dalam penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pengembang tersebut adalah
termasuk dalam beberapa jenis yaitu perjanjian timbal balik, perjanjian tidak
menggunakan blangko akta jual beli oleh pengembang tersebut memiliki syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, perlu untuk diketahui syarat-syarat sah
perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata
antara lain96 :
95
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun Ikatan
Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan Masa Datang, (Jakarta :
Gramed ia Pustaka Utama, Tanpa Tahun), hal. 82.
96
Fitri Susanti, “Praktek Perjan jian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta
Notaris di Jakarta Timu r”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro, 2008), hal. 6.
50
Selain syarat umum yang telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
Munir Fuady menyebutkan bahwa dalam hukum perjanjian atau hukum kontrak ada
syarat sah umum di luar Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat sah yang khusus, sebagai
berikut 97 :
Adanya kata sepakat dalam suatu perjanjian, maka berarti kedua belah pihak
haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Bagi para pihak tidak boleh mendapat
97
Munir Fuady, Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung : Citra
Aditya Bakt i, 1999), hal. 33-34.
51
perjanjian tersebut, maka dapat dibedakan bagian dari perjanjian, antara lain yaitu 98 :
baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan nama
tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum”. Selain dari hal tersebut, Pasal 1339
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Jika dibuat secara tertulis,
maka dapat berbentuk akta Notaris dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan
dapat berupa perjanjian baku (perjanjian standar) dan hal tersebut bersifat sebagai alat
bukti jika terjadi perselisihan dikemudian harinya. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata
disebutkan bahwa : “jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau
penipuan, berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para
98
Marian Darus Badru lzaman, et.al., Op.cit., hal. 57.
52
orang (error inpersonal) dan khilaf mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian
(error insubtantia). Pasal 1323 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata
menjelaskan bahwa paksaan tersebut terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk
(akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga yang
menyebutkan bahwa : “penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat
berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu
perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut”.
Berdasarkan dari ketentuan pasal tersebut, maka perjanjian yang diadakan dengan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331
tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang
yang belum dewasa dan setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam
keadaan pailit. Terhadap suatu hal tertentu, undang- undang menentukan benda-benda
yang tidak dapat dijadikan objek dari perjanjian. Benda-benda itu adalah yang
yang sekarang ada dan juga benda-benda yang nanti akan ada di kemudian hari.
53
kapan berakhirnya atau diakhirinya perjanjian tersebut. Oleh sebab itu, di bawah ini
KUHPerdata, suatu perjanjian dapat berakhir atau hapus disebabkan karena, antara
lain :
a. Pembayaran
perikatan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1382 sampai dengan Pasal 1403 Bab IV
Buku III bagian I KUHPerdata. Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi mengatakan
memberikan suatu pengertian tentang pembayaran, hanya saja dari rumusan tersebut
disebutkan dan dikatakan secara tegas tentang masalah pemenuhan hutang. Dengan
99
Gunawan Wid jaja dan Kart ini Mu ljad i, Hapusnya Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 14.
54
debitor kepada kreditor. Pembayaran dalam pengertian hukum perikatan bukan hanya
memenuhi, menyerahkan sejumlah uang tetapi juga berupa penyerahan barang sesuai
dengan perjanjian. Jadi, bukan saja pembeli membayar uang untuk pembelian tetapi
penjual pun dikatan membayar jika penjual menyerahkan barang yang dijualnya.
Selain dari hal tersebut di atas, maka ada hal lain yang berhubungan dengan
Kartini Muljadi, tempat pembayaran terbagi dalam dua kelompok, antara lain 100 :
penyimpanan atau penitipan telah diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata sampai
tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan hanya dapat terjadi terhadap
dalam arti luas, maupun dalam bentuk uang sebagai pemenuhan hutang dalam arti
yang sempit. Bahkan jika diperhatikan makna kata penitipan atau penyimpanan
100
Ibid., hal. 66-67.
55
tersebut di atas jelas bahwa kebendaan yang dimaksud hanya meliputi kebendaan
bergerak secara esensi tidak mungkin dapat dititipkan atau disimpan untuk diserahkan
kepada kreditor.
Berdasarkan uraian yang telah diutarakan di atas, maka dapat dilihat bahwa
Novasi atau pembaharuan hutang merupakan salah satu cara untuk mengakhiri
suatu perjanjian. Marian Darus Badrulzaman mengatakan bahwa, novasi adalah suatu
perjanjian baru dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus
diadakan suatu perikatan baru. 101 Menurut Sutarno sebagai ahli hukum perdata, Pasal
1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa ada tiga cara terjadinya novasi, yaitu102 :
101
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 76.
102
Sutarno, Op.cit., hal. 174.
56
debitor lama dengan debitor baru dan membebaskan debitor lama dari
3. Novasi objektif yaitu suatu perjanjian antara kreditor dengan dibitor untuk
perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari debitor diganti
2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Maksud dari barang yang
kreditor dapat melakukan kompensasi antara hutang debitor dengan jaminan yang
telah disediakan oleh debitor, bukan dengan hutang saja. Caranya yaitu debitor
(hutang dinyatakan lunas) dan kompensasi ini disebut juga set off.103
103
Ibid., hal. 175.
57
e. Pencampuran Hutang
berpiutang dan orang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
pernyataan tersebut, maka dapat dilihat bahwa hanya satu hutang, kewajiban atau
perikatan yang saling meniadakan karena berkumpulnya hutang dan piutang pada
satu pihak.
kurangnya dua hutang yang saling timbal balik. Menurut Pasal 1437 KUHPerdata,
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menjadi lebih jelas lagi bahwa
meskipun perikatan pokok (yang bersifat tanggung- menanggung pasif) telah hapus
karena terjadinya percampuran hutang, namun para debitor yang secara tanggung-
(tidak dibebaskan dari kewajibannya yang terkait secara tanggung- menanggung pasif
tersebut) untuk memenuhi bagian hutang atau kewajiban masing- masing terhadap
pasif tersebut.
f. Pembebasan Hutang
dilakukan kreditor dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran
hutang dari debitor. Hal ini berarti bahwa kreditor melepaskan haknya dan tidak
dibebaskan dari prestasi yang sebenarnya harus dilakukan. Secara tegas berarti bahwa
kreditor memberitahukan secara lisan atau tulisan kepada debitor bahwa kreditor
ketentuan dari Pasal 1442 KUHPerdata tentang pembebasan hutang, maka secara
langsung tidak berkaitan dengan jual beli perumahan dengan menggunakan blangko
akta jual beli oleh pengembang karena biasanya pembayaran dilakukan secara tunai,
akan tetapi secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan jual beli perumahan
104
Sutarno, Op.cit., hal. 88.
59
disebut KPR).
Hal ini dapat terjadi jika pihak konsumen yang ingin memiliki perumahan
melalui KPR, maka pihak konsumen yang berhutang dalam melakukan pembayaran
kredit pemilikan perumahan kepada pihak pengembang atau pihak bank, maka dapat
dikatakan bahwa pihak pengembang atau bank sebagai kreditor dan pihak konsumen
sebagai debitor. Pihak pengembang atau Bank selaku kreditor harus secara tegas
menyatakan tidak akan menuntut pembayaran kredit yang terhutang dari pihak
konsumen dan pihak konsumen pun akan menggunakan perumahan tersebut tanpa
adanya gangguan akan mendapat tuntutan dari pihak pengembang maupun pihak
yang terhutang adalah jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang,
tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang tersebut tidak diketahui lagi apakah
masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus, dengan syarat musnahnya
barang atau hilangnya barang bukan disebabkan oleh debitor dan sebelum debitor
barang dan debitor dibebaskan dari pemenuhan prestasi jika debitor dapat
di luar kekuasaannya atau disebabkan overmacht. Apabila barang yang menjadi objek
105
Ibid., hal. 89.
60
dari perjanjian tersebut telah diasuransikan (memiliki hak asuransi atas barang yang
kreditor. 106
maka secara langsung ada hubungannya dengan jual beli perumahan oleh
pengembang, jika rumah tersebut telah dibayar lunas oleh pihak konsumen sementara
maka pihak pengembang diwajibkan untuk mengganti rumah tersebut sesuai dengan
tidak dapat dibatalkan, artinya para pihak tidak melakukan pembatalan atas
perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat serta
106
Ibid., hal. 90.
107
Wawancara dengan Anton Wijaya selaku Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi,
pada tanggal 20 Januari 2011.
61
dianggap dari semula tidak pernah ada, dengan begitu tidak ada perjanjian
yang dihapus.
Suatu perjanjian dapat juga dibatalkan oleh salah satu pihak bila salah satu
syarat subjektif dan syarat objektif (hal ini sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata).
lebih besar kepada salah satu pihak dan memberikan keuntungan di pihak lainnya
“syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan
membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada
108
R. Subekt i, Op.cit., hal. 161.
62
tempat berteduh dari panasnya matahari dan hujan, tempat untuk tidur, tempat untuk
berkumpul bersama keluarga dan lain sebagainya. Disisi lain hal- hal tersebut dilihat
sebagian orang atau pihak pengembang (developer) merupakan suatu peluang untuk
melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan bagi dirinya, namun juga
109
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alu mni, 1986), hal. 166.
110
Ibid., hal. 167.
63
produk perumahannya kepada konsumen dengan berbagai macam cara seperti melalui
jalan, pemasangan iklan pada media cetak seperti di koran ataupun majalah,
pemasangan iklan pada media elektronik seperti di radio ataupun televisi dan
sebagainya. 112
penerangan setiap rumah (listrik), penerangan jalan pada perumahan, air bersih setiap
rumah, alas hak atas tanah setiap tipe rumah/bangunan pada perumahan, dan lain
sebagainya”. 113 Selain fasilitas perumahan yang ditawarkan oleh pihak pengembang
kepada pihak konsumen, pihak pengembang juga menawarkan cara bagaimana untuk
mendapatkan atau memiliki perumahan tersebut seperti dengan cara melalui Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) pada bank-bank yang telah ditunjuk oleh pihak pengembang
atau KPR yang langsung kepada pihak pengembang ataupun pembelian secara
111
Hermawan Wijaya, 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta : Pustaka Gh ratama, 2009), hal. 11.
112
Budi Santoso, Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua,
(Jakarta : Elex Med ia Ko mputindo, Februari 2008), hal. 81-82.
113
Ibid., hal. 36.
114
Ibid., hal. 43-46.
64
masyarakat dalam hal untuk dapat memiliki perumahan dengan cara KPR melalui
bank-bank yang telah ditunjuk oleh pengembang atau tanpa melalui bank atau
langsung kepada pihak pengembang itu sendiri. Kemudahan yang diberikan kepada
konsumen untuk memiliki perumahan dengan cara KPR melalui bank atau tanpa
melalui bank (melalui pihak pengembang sendiri) yang harus memenuhi persyaratan
kelengkapan data permohonan kredit dan persyaratan tersebut antara lain 115 :
115
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
65
pada umumnya dunia perbankan atau dunia usaha lainnya menggunakan instrumen
analisa yang terkenal dan biasa disebut the fives of credit atau disingkat 5 C, yaitu117 :
1. “Charakter (watak) ialah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak
dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak di antara baik dan jelek.
Watak merupakan bahan petimbangan untuk mengetahui risiko yang dapat
terjadi.
2. Capital (modal). Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha
atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
116
Ibid.
117
Sutarno, Op.cit., hal. 93-94.
66
Hal yang sama juga dikatakan oleh Rachmadi Usman yang menyatakan
penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (codition of economy)”. 118 Namun
demikian menurut Munir Fuady sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman
juga menambahkan bahwa selain menerapkan prinsip 5 C juga harus menerapkan apa
1. “Party (para pihak). Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan
dalam setiap pemberian kredit. Untk itu pihak pemberi kredit harus
memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur.
2. Purpose (tujuan). Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui
oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit tersebut akan digunakan untuk
hal- hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan.
118
Rach madi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hal. 246.
119
Ibid., hal. 248-249.
67
4. Profitabilty (perolehan laba). Usaha perolehan laba oleh debitur tidak kalah
pentingnya dalam pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi
apakah laba yang akan diperoleh perusahaan lebih besar dari pada bunga
pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran
kembali kredit, cash flow dan sebagainya.
disebut dengan prinsip 5C yang telah disebutkan di atas dan dihubungkan dengan
persyaratan kelengkapan data permohonan KPR maka dapat dikatakan bahwa, antara
lain :
1. Untuk perwujudan prinsip dari charakter (watak) dan capital (modal) tersebut
adalah sesuai dengan instrumen analisa pemberian kredit atau disebut prinsip 5 C.
68
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, ”Jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Terhadap definisi jual beli
yang disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata tersebut jika dihubungkan dengan
jual beli perumahan oleh pengembang, maka pihak pengembang mengikatkan dirinya
selalu berkaitan dengan tanah sebagai alas hak dari perumahan tersebut. Walaupun
yang dujual tersebut oleh pengembang adalah perumahan, namun pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan dengan tanah sebagai alas hak atas tanah dari perumahan
tersebut, karena memang perumahan yang dibangun oleh pengembang tersebut di atas
Nasional (selanjutnya disebut BPN) Medan, “biasanya yang dilakukan cek bersih
untuk jual beli rumah adalah objek tanahnya atau alas hak atas tanah tersebut sesuai
atau tidak dengan buku tanah yang terdapat di BPN Medan dan bukan rumahnya”. 120
Hal yang sama juga dikatakan oleh Yulhamdi sebagai salah seorang Pegawai
BPN Medan, jika jual beli rumah dengan status alas hak atas tanah Hak Milik
(selanjutnya disebut HM) atau Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB), maka
120
Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
69
lisan atau secara tulisan ke BPN Medan yang bertujuan untuk memastikan apakah
objek yang bersangkutan tersebut sesuai dengan yang tertera pada buku tanah yang
terdapat di BPN seperti apakah sesuai pemiliknya, lokasi, luas tanah dan bangunan,
dan kalau ada bangunannya, apakah objek tanah yang bersangkutan tersebut sedang
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan yang dilakukan
pengembang kepada para konsumen atau masyarakat identik atau sama dengan jual
beli tanah pada umumnya. Oleh karena itu jual beli perumahan oleh pengembang
kepada para konsumen (masyarakat) dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli di
a. Syarat Materil
Syarat materil sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut. 122 Syarat
materil yang harus dipenuhi untuk suatu jual beli perumahan yang dilakukan
2. Harus ada penjual, maksudnya pihak yang akan menjual perumahan; dan
121
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
122
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika,
2007), hal. 77.
123
Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
70
3. Objek perumahan yang mau diperjualbelikan tersebut alas hak atas tanahnya
Medan yang mengatakan bahwa jual beli perumahan atau tanah harus memenuhi
1. “Adanya pihak pembeli yang ingin membeli perumahan atau yang akan
diperjualbelikan dan dalam hal ini konsumen atau masyarakat.
2. Adanya pihak penjual yang ingin menjual perumahan atau tanah yang
bersangkutan dan dalam hal ini pihak pengembang
3. Objek perumahan atau tanah yang bersangkutan tidak dalam kondisi
dipersengketakan”.
124
Yulhamd i, Op.cit.
125
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 77-78.
71
Mengenai tidak dipenuhinya salah satu syarat materil dalam jual beli tanah
atau perumahan tersebut, maka untuk terpenuhinya syarat materil tersebut terutama
untuk syarat adanya penjual tanah dan objek tanah yang bersangkutan tidak dalam
sengketa harus dilakukan cek bersih, sedangkan untuk syarat pembeli tanah harus
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
pembeli. 126
Sementara itu, untuk menjamin suatu kepastian hukum terhadap obyek hak atas
tanah dalam hal pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT, maka
atas tanah pada Kantor Pertanahan setempat yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam jual beli tanah
tersebut. 127 Berkenaan dengan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah, maka
yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
126
Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
127
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
72
atas tanah tersebut hanya kepada PPAT, bukan kepada Notaris. 128
dengan rencana pembuatan akta, maka para Notaris tersebut biasanya melakukan
melakukan pengecekan secara langsung keadaan tanah yang dimaksud. Dengan kata
lain, Notaris tidak dapat melakukan pengecekan secara resmi/formal akan tetapi
128
Pasal 103 ayat (1), Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan
bahwa : ”PPAT wajib menyampaikan Akta PPAT dan doku men-doku men lain yang diperlukan untuk
keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak d itandatanganinya akta yang bersangkutan”. Didukung dengan
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
129
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
73
atas mengenai cek bersih, maka untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan
sebagai berikut :
Bagan
Prosedur Pemeriksaan Sertifikat Hak Atas Tanah
(Cek Bersih)
Permohonan Diterima
oleh Loket
Pemeriksaan/Pengecekan
oleh Petugas
(Sub Seksi Peradilan Hak, Pembebanan
Hak dan PPAT)
dalam suatu jual beli tanah atau perumahan berdasarkan hasil penelitian di lapangan
maka dapat dikatakan bahwa jual beli tanah atau perumahan tersebut dapat terlaksana
jika syarat-sayarat materil tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu. Apabila salah satu
syarat materil tersebut tidak terpenuhi maka secara yuridis jual beli yang dilakukan
dapat dikatakan batal demi hukum atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan hukum
b. Syarat Formil
“Sebelum dibuatkan Akta Jual Beli oleh pihak Notaris/PPAT, biasanya pihak
awal antara pengembang dengan pihak konsumen yang bertujuan untuk menunjukkan
keseriusan dari pihak konsumen untuk membeli perumahan yang bersangkutan”. 132
130
Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Feb ruari 2011.
131
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
132
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmu r Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
75
Sebagaimana yang telah diutarakan dalam hasil penelitian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa setelah dipenuhinya syarat-syarat materil dalam jual beli perumahan
atau tanah yang bersangkutan, maka pihak Notaris/PPAT akan membuatkan Akta
Jual Beli untuk perumahan atau tanah yang bersangkutan dengan menggunakan
blangko Akta Jual Beli yang diperoleh dari BPN setempat (Medan). Walaupun ada
juga pihak pengembang yang membuat perjanjian jual beli perumahan sebagai
pembelian perumahan tersebut atau hanya mengisi Blangko Akta Jual Beli namun
Ada beberapa syarat kelengkapan yang harus dipenuhi sebelum Akta Jual Beli
“Setelah Akta Jual Beli tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT, maka selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak Akta Jual Beli tersebut ditandatangani
oleh para pihak, Notaris/PPAT menyerahkan akta tersebut ke Kantor BPN
setempat untuk pendaftaran tanah dalam hal pendaftaran pemindahan hak atas
tanahnya”.
“Setelah Akta Jual Beli tersebut ditandatangani oleh para pihak, maka para
pihak harus membayar Pajak Penjualan dan Pajak Pembelian jika Nilai Jual
Objek Pajak atau nilai transaksi jual beli tanah atau perumahan tersebut di atas
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut NJOPTKP)
sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), serta membayar biaya
133
Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
76
tersebut sesuai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
bahwa :
Selain itu, untuk pemindahan hak karena jual-beli yang merupakan balik nama
dari pemegang sertifikat hak selaku penjual kepada pembeli dengan menggunakan
akta Notaris/PPAT yang dimohon oleh pembeli kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat melalui prosedur perolehan sertifikat hak atas tanah dengan pemenuhan
1. “Surat Permohonan.
2. Surat pengantar pendaftaran akta jual-beli dari Notaris selaku PPAT.
3. Akta jual-beli.
4. Sertifikat hak atas tanah.
5. Fotokopi KTP atau identitas diri penjual dan pembeli.
6. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika
permohonannya dikuasakan.
7. Fotokopi SPPT-PBB tahun berjalan.
8. Bukti pelunasan BPHTB terhutang.
134
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
135
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, (Jakarta : Grasindo, 2005), hal. 83-84.
77
Mengenai pendaftaran melalui peralihan hak atas tanah tersebut, maka untuk
Tabel 1
Pendaftaran Tanah Mel alui Peralihan Hak Atas Tanah Tahun 2008 – 2010
hak atas tanah dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, maka dapat dilihat bahwa
untuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli dari tahun 2008 sampai dengan tahun
2010 lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dibandingkan melalui peralihan hibah,
pewarisan, dan perwakafan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan berbagai faktor, di
antaranya 136 :
1. “Nilai ekonomis dari tanah atau perumahan setiap saat semakin meningkat,
jadi harga jual dari tanah atau perumahan tersebut semakin tinggi dan banyak
orang atau masyarakat yang melakukan pembelian sebagai sarana investasi
untuk jangka waktu yang lama.
2. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah atau perumahan semakin tinggi, karena
tanah atau perumahan merupakan salah satu kebtuhan pokok setiap manusia.
136
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
78
Minat masyarakat terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli tanah
atau perumahan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 semakin tinggi, yaitu dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penambahan kurang lebih 17 objek
peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli dan dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2010 terjadi penambahan kurang lebih 78 objek. Dengan demikian hal
ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat terhadap tanah atau perumahan masih
tetap tingi. Sebagaimana yang telah disebut dalam hasil penelitian di atas, maka dapat
dilihat bahwa Notaris/PPAT sangat berperan dalam peralihan hak atas tanah dalam
hal ini jual beli perumahan atau tanah milik pengembang yang diperjualbelikan
kepada konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli menuju proses
pendaftaran tanah di Kantor BPN Medan sesuai dengan ketentuan yang terdapat
Tanah. 137
137
Pasal 40, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
menyatakan bahwa : “(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-doku men
yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar; (2) PPAT wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada para pihak yang bersangkutan”.
79
BAB III
suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian”. 138 Berdasarkan pernyataan maka dalam penelitian ini juga membahas
menyatakan bahwa : “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyatakan bahwa : “akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang- undang
ini”. Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP No. 37 Tahun 1998)
yang menyatakan bahwa, “PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan
138
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
80
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selain itu, dalam Pasal 1
angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa : “akta PPAT adalah akta yang
dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”.
tentang Jabatan Notaris maka dapat dilihat dalam definisi tersebut bahwa Notaris
merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan akta-akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Jadi, notaris merupakan Pejabat umum yang
tidak membatasi dirinya untuk perbuatan hukum tertentu dalam pembuatan akta
kecuali yang menjadi larangan untuk dibuat aktanya atau bertentangan dengan
1998 menentukan bahwa PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam
pembuatan akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, jadi PPAT membatasi diri untuk
pembuatan akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
Sedangkan PPAT merupakan pejabat umum yang hanya dapat membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun seperti jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pebagian
hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik, pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak
Tanggungan. Selain itu Notaris dan PPAT yang masing- masing sebagai
Pejabat Umum dapat merangkap jabatan sebagai PPAT berdasarkan Pasal 7
ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998”. 139
PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
PP No. 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa, “PPAT dapat merangkap jabatan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
1. “Jual beli.
2. Tukar menukar.
3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng).
4. Pembagian hak bersama.
5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
6. Pemberian Hak Tanggungan.
7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.
merangkap jabatan sebagai PPAT, maka kewenangannya pun tidak jauh berbeda
139
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
140
Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
141
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alu mni, 1994), hal. 35.
82
Dapat dikatakan bahwa jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang tidak berwenang untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan
hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan jika para pihak telah
menandatanganinya. Hal tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1869
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “suatu akta karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak
ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, akan tetapi akta yang dibuat oleh
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian wewenang dari seorang
PPAT tersebut adalah membuat semua akta otentik yang berkenaan dengan perbuatan
hukum dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 yaitu jual beli, tukar menukar,
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan
83
dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. 142
Mengenai wewenang PPAT, maka hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat (1)
PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Untuk melaksanakan tugas pokok
dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Selain daripada hal yang telah
disebutkan di atas mengenai wewenang dari PPAT, oleh karena seorang PPAT
tersebut dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP No.
37 Tahun 1998, maka menurut hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada
sebagai Notaris tersebut, maka untuk seorang PPAT dilarang untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu dan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998
142
Bahru m, Loc.cit.
143
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
84
“PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri,
keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam
garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan
hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain”.
Pendapat dari Van Dunne yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman
maka dikatakan bahwa : “suatu perjanjian terjadi melalui suatu proses yang terdiri
dari tiga fase yakni fase pra-kontrak, fase kontrak dan fase pasca kontrak”. 144 Fase-
fase atau tahap-tahap yang dilakukan dalam suatu perjanjian atau perbuatan hukum
2. Tahap kontrak, biasanya pada tahap ini kesepakatan mengenai isi perjanjian
telah ada, sehingga dengan demikian tahap ini dapat dilanjutkan kepada tahap
pasca kontrak;
3. Tahap pasca kontrak, biasanya pada tahap ini telah tercapainya kesepakatan
secara terperinci dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka
timbullah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian”.
perbuatan hukum tertentu bagi para pihak yang mengingkannya akan melahirkan
suatu tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris/PPAT tersebut,
meskipun akta tersebut sesuai dengan keinginan dari para pihak dan tidak melanggar
144
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit.
145
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
85
ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi jika dikemudian hari terjadi
perselisihan antara para pihak yang membuat akta tersebut atau terhadap pihak ketiga,
akta yang telah dibuatnya tersebut di Persidangan atau Pengadilan, dan paling tidak
Pernyataan kehendak dan kata sepakat dari para pihak dalam suatu perbuatan
hukum tertentu yang dituangkan dalam suatu akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT
merupakan alat bukti otentik yang dapat dipergunakan dalam suatu persidangan jika
terjadi perselisihan dikemudian hari bagi para pihak yang bersangkutan atau salah
satu pihak dengan pihak ketiga. Akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT merupakan
akta otentik karena akta tersebut merupakan akta yang dibuat oleh seorang Pejabat
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris untuk akta Notaris, sedangkan untuk akta
“Fungsi akta terpenting dari suatu akta adalah sebagai alat bukti”. Suatu akta
146
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
147
Ibid.
148
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 122-123.
86
“Mengenai kekuatan pembuktian akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut
adalah kekuatan pembuktian akta otentik yang sempurna, artinya akta otentik
tersebut dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki
keabsahan tandatangan para pihak yang terdapat di dalam akta tersebut. Akta
otentik dari Notaris dan PPAT tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
formal, maksudnya akta Notaris dan PPAT tersebut membuktikan kebenaran
daripada yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh para pihak, sehingga dapat
menjamin kebenaran identitas para pihak, tandatangan para pihak, tempat akta
dibuat dan para pihak menjamin keterangan yang diuraikan dalam akta yang
149
Wawancara dengan Yulhamd i sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari 2011
87
bersangkutan. Selain dari hal itu, akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian materiil, maksudnya akta yang
bersangkutan isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di
antara para pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari
akta tersebut”. 150
pembuktian yang sempurna, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa, “suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka suatu bukti yang
pembuktian yang ada pada akta otentik adalah kekuatan pembuktian luar, sehingga
akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik”. Selain itu,
“suatu perkara yang masuk di pengadilan yang berkaitan dengan akta maka akta itu
harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik dan jika dapat dibuktikan
kepalsuannya, hilang atau gugur kekuatan bukti luar dimaksud, sehingga tidak boleh
kekuatan pembuktian akta yang dibuat Notaris dan PPAT maka dapat dikatakan
bahwa akta Notaris dan PPAT sebagai akta otentik yang dapat dijadikan sebagai alat
150
Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
151
M. Yahya Harahap, Op .cit., hal. 555.
88
Jual beli dapat dilakukan oleh siapa saja jika sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa jual beli
perumahan yang dilakukan oleh pengembang tersebut sesuai dengan ketentuan jual
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
1. Keabsahan Blangko Akta Jual Beli yang Digunakan Oleh Penge mbang
Secara Massal
peralihan hak atas tanah melalui jual beli perumahannya, semua peralihan hak atas
152
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
89
tanah dilakukan dengan pembuatan akta oleh pihak Notaris PPAT Medan dan hal ini
Tabel 2
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui J ual Beli Tahun 2008 – 2010
Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dikatakan bahwa dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2010 peralihan hak atas tanah melalui jual beli, semuanya
“Peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sedangkan
peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dibuat oleh Camat/PPAT
Medan tidak lagi diperkenankan, karena Camat/PPAT tersebut hanya sebagai
PPAT Sementara, jadi sifatnya juga sementara sehingga jika sudah ada di
daerah tersebut Notaris/PPAT (Medan) maka Camat/PPAT tidak bisa lagi
sebagai PPAT (di Medan)”. 153
“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Satuan Rumah Susun emlalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahanhak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
153
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
90
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang disebut dalam Pasal
yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”. Selain itu pada dasarnya
seorang PPAT tersebut dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai Pegawai
Negeri Sipil dan hal ini berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf b PP No. 37 Tahun 1998
yang menyatakan bahwa, “PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai
1. “Dengan menggunakan perjanjian jual beli yang dibuat sendiri oleh pihak
pengembang dengan konsumen atau masyarakat, di mana pihak konsumen
atau masyarakat membayar panjar sebagai uang muka untuk pembelian
perumahan yang bersangkutan, jika konsumen serius dalam pembelian
tersebut maka akan dibuatkan perjanjian jual beli yang bersifat sementara
sebelum lunas pembayarannya;
2. Dengan menggunakan Akta Jual Beli yang dibuat ataupun diisi oleh pihak
pengembang, namun pada akhirnya ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT
dan juga pihak konsumen atau masyarakat jika telah melakukan pembayaran
secara tunai kepada pihak pengembang”.
Dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli perumahan yang dibuat oleh pihak
Notaris/PPAT apabila konsumen baru membayar uang muka atau panjar untuk
154
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmur Abadi d i
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
91
pembelian rumah, akan tetapi setelah lunas pembayarannya maka barulah Akta Jual
Beli perumahan dibuatkan oleh pihak Notaris/PPAT. Untuk lebih jelas dapat dilihat
Tabel 3
Jenis Perjanji an Pemilikan Rumah Pada PT. B angun Indah Mak mur Abadi Tahun 2008 – 2010
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa PT. Bangun Indah Makmur
Abadi pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima
2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)
Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 56 (lima puluh enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)
2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 70 (tujuh
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)
Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 67 (enam puluh tujuh) unit rumah dari 85 (delapan
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 85 (delapan
“pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat), karena dengan
uang muka atau down payment (DP) yang ringan, suku bunga kredit perbulan
yang ringan dan jangka waktu kredit yang cukup lama maka pihak konsumen
(masyarakat) sudah dapat memiliki rumah. Sedangkan untuk pembelian secara
langsung tunai melalui perjanjian jual beli dan Akta Jual Beli pihak konsumen
merasa lebih berat, karena biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dan
mahal. Namun demikian pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tetap
mengalami peningkatan, karena memang kebutuhan rumah sebagai tempat
tinggal atau sebagai investasi jangka panjang bagi pihak konsumen atau
masyarakat dianggap sebagai salah satu hal yang menguntungkan. 155
155
Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmu r Abadi jl.
Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
93
Selain itu, pihak pengembang lainnya juga melakukan hal yang sama dalam
melakukan perjanjian pemilikan rumah sabagaimana yang dapat dilihat pada tabel 4
berikut ini :
Tabel 4
Jenis Perjanji an Pemilikan Rumah Pada PT. Toha Property Tahun 2008 – 2010
Sumber : PT. Toha Property Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 4 di atas, maka dapat dilihat bahwa PT. Toha Property
pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 27 (dua puluh tujuh) unit rumah dari 35 (tiga puluh
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 35 (tiga puluh
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 3 (tiga) unit rumah dari 35 (tiga puluh lima)
Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima puluh)
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)
Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
1. Melalui KPR sebanyak 45 (empat puluh lima) unit rumah dari 58 (lima puluh
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 58 (lima
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 58 (lima puluh
“Pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010
lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat) yaitu dari tahun
2008 sampai dengan 2009 terjadi peningkatan kurang lebih 11 (sebelas) unit
rumah dari penambahan 15 (lima belas) unit pembangunan perumahan dan
tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan 7 (tujuh) unit rumah dari
penambahan 8 (delapan) unit pembangunan perumahan, hal tersebut terjadi
dikarenakan melalui KPR maka pihak konsumen atau masyarakat akan
mendapatkan uang muka yang ringan, cicilan kredit perbulan yang ringan dan
jangka waktu kredit yang ditawarkan oleh pengembang yang cukup lama”. 156
Mengenai pihak pengembang yang menggunakan Akta Jual Beli dalam jual
beli perumahannya kepada konsumen atau masyarakat memang ada terjadi dan
156
Wawancara dengan Edwin Marpaung sebagai Staf Legal PT. Toha Property di Jl. AR.
Hakim No. 273 Medan, pada tanggal 27 Januari 2011.
95
dibolehkan karena Akta Jual Beli tersebut dapat diperoleh atau dibeli di BPN dan
Kantor Pos jika ada Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari pihak Notaris/PPAT
Medan. Namun demikian Blangko Akta Jual Beli yang diisi oleh pihak pengembang
tersebut tetap saja harus ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT setempat (Medan),
karena untuk pendaftaran tanah melalui peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli
Selain itu, benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat dibagi ke dalam
3. Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena ketentuan yang ditentukan
oleh undang-undang”.
157
R. Subekt i, Op.cit., hal. 60.
158
Ibid., hal. 60-62.
96
Hal yang sama juga disebutkan oleh Sri Soedewi Majschoen Sofwan, bahwa
1. “Benda tidak bergerak karena sifatnya tetap, seperti tanah dan segala sesuatu
yang melekat di atasnya.
2. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala apa yang
meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau
bangunan yang dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangun itu untuk
waktu yang agak lama seperti mesin- mesin dalam suatu pabrik.
3. Benda tidak bergerak karena telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini
berwujud terhadap hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak seperti hak
memungut hasil benda tidak bergerak, hak memakai atas benda tidak
bergerak, Hak Tanggungan dan lain- lain”.
Selain hal tersebut di atas, ada empat hal penting yang harus diperhatikan
terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak, antara lain 160 :
1. Bezit;
2. Levering (penyerahan);
4. Bezwaring (pembebanan).
“Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda
mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa”. 161 Bezit
terhadap benda tidak bergerak seperti seseorang yang menempati sebuah rumah milik
orang tuanya yang berasal dari warisan, di mana orang yang bersangkutan secara
159
Sri Soedewi Majchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Benda), (Yogyakarta : Liberty,
1981), hal. 20.
160
Ibid., hal. 22.
161
R. Subekt i, Op.cit., hal. 63.
97
miliknya sendiri. Sementara itu, penyerahan (levering) pada benda tidak bergerak
adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain,
sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu. 162 Sedangkan levering
2. Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik pada orang lain
(juridische levering).
Kedua pengertian tersebut di atas dapat dilihat dalam pemindahan hak milik
atas benda yang tidak bergerak karena pemindahan ini tidak cukup dilaksanakan
dengan pengoperan kekuasaan belaka, malainkan harus pula dibuat suatu surat
penyerahan akta Van transport yang harus dikutip dalam daftar eigendom.164
Terhadap jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak
konsumen atau masyarakat, maka sahnya suatu jual beli tersebut berdasarkan Pasal
1457 KUHPerdata, jika pembeli membayar lunas harga rumah dan penjual
menyerahkan rumah tersebut kepada pihak konsumen atau masyarakat dengan suatu
perjanjian jual beli ataupun Akta Jual Beli. Namun demikian, penyerahan (levering)
untuk suatu tanah atau perumahan yang merupakan benda tidak bergerak, penyerahan
tersebut tidak dapat langsung beralih hak kepemilikannya kepada pembeli jika
secara benar.
162
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit., hal. 67.
163
R. Subekt i, Op.cit., hal. 71.
164
Ibid.
98
“Peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli harus dibuat oleh
Notaris/PPAT yang bertujuan untuk membuat pendaftaran hak atas tanah,
sedangkan peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli yang
dilakukan oleh para pihak sendiri yaitu pihak pembeli dan pihak penjual
dengan Akta Jual Beli tetap sah akan tetapi pendaftaran untuk peralihan hak
untuk balik nama sertifikat ataupun untuk memperoleh sertifikat jika alas hak
atas tanahnya adalah SK Camat atau merupakan tanah negara tidak dapat
dipenuhi tanpa akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT
setempat (Medan)”. 165
Pernyataan tentang pendaftaran hak atas tanah melalui peralihan hak atas
tanah denagn cara jual beli di BPN setempat harus dengan akta PPAT yaitu
pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai
buktinya. Selain orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT
tidak akan memperoleh sertifikat biarpun jual belinya sah menurut hukum. 166
“Pada prinsipnya untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah atau perumahan
atau secara jual beli harus menggunakan akta Notaris/PPAT, sedangkan untuk
peralihan hak atas tanah atau perumahannya saja tanpa memperoleh sertifikat
atau balik nama sertifikat dapat dilakukan secara di bawah tangan saja
ataupun melalui akta Notaris sudah dianggap sah menurut hukum dan hak atas
tanah tersebut sudah dianggap beralih kepemilikannya. Namun untuk lebih
sempurnanya bukti kepemilikan tersebut beralih ke tangan si pembeli, maka
hak kepemilikan (sertifikat) yang lama digantikan kepemilikannya dengan
yang baru (balik nama sertifikat)”. 167
pemindahan hak atas tanah oleh para pihak, di samping itu juga sebagai syarat untuk
165
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
166
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentuan, Isi dan Pelaksanaannya,
(Jakarta : Djambatan, 1997), hal. 52.
167
Wawancara dengan Yu lhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
99
dapat dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan. 168 “Maksud adanya pendaftaran
tersebut bukan menentukan saat berpindahnya hak kepada penerima, melainkan untuk
dengan adanya sifat keterbukaan dari administrasi pendaftaran bagi umum”. 169
pendaftaran, bukan syarat sahnya peralihan hak”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal
28 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) menentukan bahwa : “fungsi akta
PPAT dalam perbuatan hukum pemindahan hak adalah untuk membuktikan, bahwa
benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan oleh para pihak”. Dengan
demikian jika kedua pasal-pasal tersebut digabungkan, maka dapat dikatakan bahwa
adanya akta PPAT tersebut merupakan syarat untuk dapat dilakukan pendaftaran
C. Kedudukan Hukum dan Arti Penting Blangko Akta Tanah Bagi Pejabat
Pembuat Akta Tanah sebagai Pe jabat Umum
Satu-satunya Pasal dalam yang merupakan pilar keberadaan akta otentik dan
Pejabat Umum di Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
168
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Indonesia), (Jakarta :
Djambatan, 2003), hal. 517.
169
Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
100
tentang bentuk akta otentik dan Pejabat Umum dan tidak mengatur tentang blangko
akta otentik. Pelaksanaan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur
diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 : 3). Tugas dan kewenangan
Notaris adalah untuk membuat akta otentik sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan sebelumnya diatur dalam
bahwa :
Sedangkan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
kata “membuat akta” harus diartikan memproduksi akta dalam bentuk yang
menjadi sumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 itu. Kewenangan memproduksi akta ini yang memberikan stempel
otensitas kepada Akta Notaris. Pejabat umum merupakan organ Negara yang mandiri
dalam arti Pejabat Umum mempunyai kebebasan dalam membuat akta sesuai dengan
bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang. 170 Kata ”membuat” harus diartikan
sebagai memproduksi akta-akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Dalam kontek PPAT selaku Pejabat Umum yang tunduk pada Pasal 1868
selaku Pejabat Umum dalam membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Tukar Menukar, dan lain
membuat akta otentik harus diartikan menciptakan, membuat dan mengerjakan akta
kewenangan Notaris selaku Pejabat Umum dalam membuat akta otentik didasarkan
170
GHS Lu mban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1980), hal. 28.
102
mengandung arti Notaris hanya berwenang membuat akta otentik di bidang hukum
perdata dan tidak berwenang membuat akta otentik secara jabatan ataupun di bidang
hukum publik, perbuatan hukum yang tertuang dalam akta Notaris bukanlah
merupakan perbuatan hukum dari Notaris itu. Penggunaan blangko terhadap akta-akta
PPAT sebagai akta otentik yang isinya merupakan kehendak atau atas permintaan
yang berkepentingan, maka blangko akta tidak memiliki urgensi hukum karena
dengan menggunakan blangko berarti isi perjanjian sudah diatur dalam hukum publik
atau karena jabatan dan hal ini bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak bagi
Akta PPAT sebagai perbuatan hukum kontraktual. Lain halnya bila PPAT tidak
memenuhi kriteria sebagai Pejabat Umum, maka penggunaan Blangko Akta PPAT
merupakan hal yang dapat diterima mengingat tugas dan kewenangan PPAT
Foto Copy Blangko Akta sebagai ganti Blangko Akta PPAT yang dicetak,
menjadi masalah hukum tersendiri ditinjau dari aspek bentuk produk hukum dan
keabsahannya. Foto Copy Blangko Akta diatur dalam bentuk surat Kepala BPN No.
640-1884 sedangkan pengaturan Blangko Akta PPAT yang dicetak diatur dalam
Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sehingga surat bukanlah suatu produk
yang dilegalisir, tidak ada aturan hukumnya yang memberikan wewenang kepada
kepastian hukum, sedangkan kehadiran Blangko Akta PPAT tidak lebih hanya
berfungsi sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan tidak
menentukan otensitas dan keabsahan suatu perbuatan hukum yang dimuat dalam akta
tersebut sehingga blangko akta tidak memiliki urgensi hukum dalam menentukan
akta-akta jual beli, tukar menukar yang menggunakan blangko atau formulir akta
yang disediakan BPN merupakan intervensi atau campur tangan Pejabat Administrasi
Negara terhadap kebebasan para pihak dalam Bidang Hukum Perdata. Tugas PPAT
dalam membuat akta-akta tanah yang berfungsi sebagai alat bukti tulisan yagn
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan karena itu terdapat
perbedaan tugas PPAT dalam membuat akta tanah yang bersumber dari hukum
perdata dengan pendaftaran perubahan atau pendaftaran tanah yang bersumber dari
Sementara dan PPAT yang baru diangkat menjadi PPAT karena dapat memudahkan
PPAT Sementara dan PPAT baru dalam pembuatan akta. Selain itu, dapat
bentuk akta PPAT. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, jika
Blangko Akta PPAT tidak digunakan dalam membuat akta PPAT mengakibatkan
akta PPAT tersebut akan ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun, tidak dapat
dipungkiri pula adanya kelemahan dalam penggunaan blangko akta apabila sewaktu-
waktu terjadi kelangkaan atau kekosongan blangko akta seperti yang pernah terjadi di
tahun 2007 yang lalu. Apabila PPAT tetap menggunakan blangko akta dalam
masyarakat akan terhambat, karena dengan tidak adanya blangko akta PPAT tidak
Ada dua aspek di dalam suatu akta yang sudah selesai (jadi), yaitu aspek
hukum yang berhubungan dengan perbuatan atau peristiwa hukum, ini adalah ranah
pekerjaan PPAT dan aspek administratif untuk memenuhi azas publisitas, ini adalah
ranah pekerjaan BPN. Blangko seharusnya dengan mudah didapatkan di BPN tidak
masa tunggu. Tetapi yang terjadi adalah kesulitan untuk mendapatkan blangko
dengan penerbitan berbagai macam peraturan oleh BPN sebagai regulator. Tidak
diperjualbelikan blangko itu oleh BPN malah menimbulkan kecurigaan, dimana BPN
telah membawa PPAT dalam pusaran untuk menikmati uang rakyat yang nantinya
berujung pada korupsi lembaga BPN sama dengan korupsi lembaga PPAT karena
telah sama-sama menikmati uang rakyat dengan melalui tidak dijualnya blangko
105
tersebut disadari atau tidak disadari, PPAT telah masuk perangkap rayuan (fait
accompli) BPN.171
otensitas akta bagi para pihak tidaklah didasarkan tertib atau tidak tertibnya asal
muasal blangko, gratis atau dibeli, warna kertas merah atau hitam, dicetak BPN atau
tidak, pakai nomor seri atau nomor bantu adalah dijalani prosedur proses hukum yang
benar oleh PPAT dengan pihak yang terlibat dalam akta tersebut. Fotocopy mlangko
akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor BPN selama
Blangko Akta Tanah tidak ada tidak masalah dan dibenarkan oleh BPN. Terlihat
dalam hal ini telah menganggap para PPAT pihak yang harus diayomi seperti anak
taman kanak-kanak. BPN lupa sejarah hukum perjanjian dengan kertas dari daun
kayu pun kalau telah memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian itu adalah sah. 172
Sejak BPN menjadi administrator dan sekaligus regulator blangko akta, sejak
itu pula PPAT mendapatkan blangko akta secara gratis dari BPN. Tidak ada sistem
yang valid atau wajar saja tetapi sesuatu yang bisa berjalan dnegan mudah kenapa
harus dipersulit. Karena dengan gratisnya blangko akta itu oleh BPN, PPAT wajib
melaporkan seluruh lalup- lintas penggunaan blangko yang telah diterima sebelumnya.
Hal ini akan menambah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu ada. Sering blangko
tersebut hilang timbul keberadaannya di Kantor Pertanahan, jumlah yang terbatas itu
jadi tetap harus dibayar di masing- masing Kantor Pertanahan. Semuanya itu adalah
171
Yonsah Miranda, Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th. 07/2009, hal.
4.
172
Ibid.
106
hambatan yang harus dilewati PPAT. Pelayanan BPN dalam hal blangko akta gratis
masih banyak kedala sehingga pelayanan BPN belum menunjukkan hasil yang
optimal. Proses untuk mencapai yang ideal memang diperlukan oleh semua pihak
yang terkait.
BPN dengan harapan agar terjadi pelayanan yang cepat dan tepat ternyata masih
yang dicetak dengan dana APBN dan diberikan secara gratis ini, faktanya sulit
Pertanahan tidak serta merta dipenuhi, karena adanya beragam pertimbangan dari
masyarakat dalam pembuatan akta tidak terpenuhi atau tertunda. Blangko yang sering
Foto Copy Blangko Akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
berasal dari Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang
Keberadaan blangko akta yang difotokopi dan dilegalisir oleh Kantor Wilayah
blangko yang telah difotokopi dan dilegalisir tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti. Alasannya adalah asli atau tidak terletak pada tanda tangan para pihak bukan
terletak pada blangko akta fotokopi tersebut. 174 Sedangkan untuk permasalah tersebut
173
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT.
174
Boedi Harsono, Op.cit.
108
sebelumnya harus dikembalikan lagi kepada apa yang dimaksu dengan akta otentik,
dalam hal ini akta PPAT. Hal ini dapat dikembalikan pada Pasal 19 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pendaftaran tanah
tersebut meliputi pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
Kewenangan inilah yang diserahkan oleh Pemerintah untuk menjadi bidang pekerjaan
PPAT. Atas dasar Pasal 19 inilah maka lahir Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dalam perjalanannya diubah menjadi
memuat akta PPAT sebagai alat bukti atau pendaftaran tanah maka keluarlah
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menguatkan kedudukan profesi PPAT
dan lingkup pekerjaannya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, yang mengatakan bahwa ”PPAT adalah Pejabat Umum yang diberikan
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Pada ayat (4)
ditegaskan bahwa : ”Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu”.
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah disebutkan pula untuk tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2). Mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Dengan demikian jelas yang menjadi
1997, Pasal 37 dikatakan peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Kecuali pemindahan hak melalui lelang,
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
Sah atau tidaknya suatu akta sebagai akta otentik tidak berdasarkan akan
bahan atau kertas yang digunakan tetapi telah terpenuhinya unsur- unsur dalam
penggunaan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang telah dilegalisir untuk pembuatan
akta PPAT memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan blangko asli. Karena
BAB IV
blangko yang telah disediakan. Keberadaan blangko akta tersebut untuk pertama kali
muncul dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (2), bahwa :
“Bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri”. Kemudian
dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus
dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disediakan”.
111
Tidak itu saja bahkan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah juga disebutkan, bahwa :
“Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri”. Kemudian
dipertegas lagi dalam Peraturan Pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 51 dan Pasal 53
ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Dalam Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blanko Akta PPAT dibuat dan
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya boleh
dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”.
(1) “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang tersedia secara
lengkap sesuai petunjuk pengisiannya;
(2) Pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-
undangan;
(3) Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan kesaksian oleh 2 (dua) orang saksi
yang memberi kesaksian mengenai :
a. Identitas dan kapasitas penghadap;
b. Kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. Kebenaran data fisik dan data yuridis objek perbuatan hukum dalam
hal objek tersebut sebelum terdaftar;
d. Keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
e. Telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan.
(4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang telah memenuhi syarat sesuai
dengan peraturan perundang- undangan”.
Dari seluruh ketentuan mengenai Blangko Akta Jual Beli dapat dilihat bahwa
penggunaan Blangko Akta Jual Beli adalah suatu hal yang wajib dilakukan oleh
kekhususan akta demi keteraturan. Hal ini dikarenakan profesi PPAT hanya ada di
Kekosongan Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN ini juga dapat
memfotocopy blangko apabila terjadi kekosongan di BPN atau di Kantor Pos. Jadi,
175
Boedi Harsono, “Polemik Kelangkaan Blangko Kembalikan Pada Filosofinya”, Jakarta,
Majalah Renvoi No. 8.44.IV tanggal 03 Januari 2007, hal. 8.
176
Harian Ko mentar, “Terkait Kekosongan AJB Tanah”,
http://www.harianko mentar.co m/arsip/arsip_2006/sep_09/eko04.ht ml., d iakses pada 18 Juni 2011.
113
BPN setempat sehingga hal ini tidak menghambat apabila ada permohonan
melegalisasi melalui Kepala Kantor BPN setempat maka hal ini akan dijadikan
sebagai upaya untuk melakukan pungutan liar (transaction cost) oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab. Dasar memfotocopy Blangko Akta Jual Beli ini
adalah melalui Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang
Beli tersebut sudah merupakan suatu solusi untuk mengatasi kelangkaan Blangko
Akta Jual Beli. Pungutan liar itulah yang menyebabkan peraturan itu tidak baik, hal
ini terkait dengan perilaku para pejabat di instansi BPN. 178 Dengan kata lain, budaya
hukumnya masih budaya suap. Inilah yang menyebabkan suatu kebijakan itu menjadi
tidak baik. Jadi, sebaiknya pihak BPN hanya mengutip biaya administrasi yang tertera
pada papan pengumuman daftar harga blangko di BPN yaitu sebesar Rp. 25.000,-. 179
Mengenai budaya suap di BPN dapat dilihat pada kutipan di bawah ini 180 :
177
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT.
178
Lawrence M. Fried man. American Law An Introduction, Edisi Kedua, diterjemahkan oleh
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tata Nusa, 2001), hal. 7. Mengatakan
bahwa : “huku m terdiri dari tiga unsur yakni struktur huku m, substansi hukum, dan kultur huku m.
Terkait dengan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli, substansi hukumnya adalah Surat Edaran Kepala
BPN No. 640-1884, tanggal 31 Ju li 2003 tentang Blangko Akta PPAT, struktur hukumnya adalah para
Pejabat Pengawai Negeri Sip il d i lingkungan Kantor Badan Pertanahan Nasional, dan kultur hukum
(budaya hukum) adalah menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem huku m. Budaya
hukum inilah yang masih merupakan budaya hukum suap dari Pejabat Pegawai Negeri Sip il d i
Lingkungan BPN setempat.
179
Blangko Akta PPAT di BPN memang tidak perlu bayar namun Notaris/PPAT harus
mengganti biaya transportasi dari BPN Pusat ke BPN Daerah.
180
Liston Damanik, “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang Siantar
Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbit kan Minggu 10 April 2011.
114
“Surat pengaduan bertanggal 04 April 2011 yang dibuat Notaris dan PPAT
Henry Sinaga terkait perilaku kinerja Oberlin Malau beserta stafnya
merupakan laporan ketiga. Oktober 2010 yang lalu, Henry melaporkan
pembuatan Surat Perintah Tugas fiktif dan terindikasi korupsi oleh oknum
BPN Pematang Siantar dan pungutan liar di instansi pemerintah itu. Pada
Februari lalu Henry kembali mengadukan Oberlin Sinaga perihal
pembangkangan Kepalan BPN itu terhadap Peraturan Menteri Keuangan
mengenai BPHTB. Selain itu, Oberlin juga dilaporkan telah berlaku kasar,
menghina, dan mengusir sesama pejabat negara itu saat sedang menjalankan
tugas”.
negara yang tidak berlandaskan atas azas etika dan perilaku merupakan perlakuan
yang sering diterapkan oleh para Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi
pemerintahan BPN. Dalam hal Blangko Akta Jual Beli perumahan, perlakuan para
pegawai juga demikian. Mengenai kekosongan Blangko Akta Jual Beli atau disebut
Blangko PPAT yang tersedia di BPN, jika ditarik ke belakang dapat dilihat dari segi
“Selama ini PPAT harus membeli blangko resmi akta jual beli yang
dikeluarkan oleh Yayasan Agraria seharga Rp. 17.500,- atau fotokopi blangko
yang sudah dilegalisir BPN seharga Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-
akta berlaku di seluruh Indonesia, dan harga tergantung kantor wilayahnya.
181
Huku m On line, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
http://www.huku monline.co m/berita/baca/hol17415/ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-
jual-beli., d iakses 19 Juni 2011.
115
Sementara itu Tina, Kepala Humas BPN Pusat, ketika dihubungi via telepon
menekankan kewajiban menggunakan blangko resmi maupun fotokopi
blangko yang telah dilegalisir wajib hukumnya bagi seluruh PPAT
berdasarkan keputusan menteri – yang ia lupa nomornya –. Kewajiban
menggunakan blangko resmi atau legalisir tidak membatasi kewenangan
PPAT. Untuk mengisi blangko PPAT harus memiliki kemampuan, tidak
semua orang bisa. Hanya BPN sudah punya atiran standar yang harus diikuti”.
Dalam hal Blangko Akta Jual Beli ini, tidak dilakukan pelelangan umum
dikarenakan yang mengadakan Blangko PPAT tersebut adalah sebuah Yayasan yang
didirikan oleh BPN itu sendiri. 182 Jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa : “Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang
Jadi, yayasan dibentuk dengan tujuan untuk nirlaba maksudnya adalah bahwa
yayasan bertujuan sosial demi kemaslahatan masyarakat banyak. 183 Dengan tujuan
sosial tersebut dengan kata lain yayasan dibentuk bukanlah untuk kegiatan yang
Yayasan ini, sudah menjadi rahasia umum tetapi tidak ada satu orangpun yang perduli
Blangko Akta PPAT tersebut dilakukan tender umum dengan cara mengundang
182
Notariat Watch, “Monopoli Akta”, http://notariatwatch.blogspot.com/2008/ 05/ monopoli-
akta.html., diakses pada 19 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Lenyapnya Blangko Kami”,
http://majalah.tempointeraktif.co m/id/arsip/2005/09/26/ HK/ mb m.20050926.HK116689.id.html.,
diakses pada 19 Juni 2011.
183
Louis E. Boone dan David L. Kurt z, Contemporary Business, 11th Edit ion, diterjemahkan
Ali Akbar Yu lianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer, Edisi Kesebelas, (Jakarta : Salemba,
2007), hal. 2.
116
Harga yang lebih murah tentu saja dijadikan sebagai pemenang tender, maksudnya
perusahaan yang mengajukan harga murah tersebut berhak untuk mencetak Blangko
PPAT. Percetakan itu harus berbiaya murah, pelaksanaan pelelangan harus transparan
dan akuntabel sesuai dengan azas yang tersirat di dalam Peraturan Presiden No. 54
perumahan terletak pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1994 tentang
Hak Tanggungan dinyatakan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat Akta Pemindahan Hak Atas Tanah, Akta Pembebanan
Hak Atas Tanah dan Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,
yang diangkat oleh Pemerintah dengan tujuan dan kewenangan memberikan tugas
kepada PPAT. Melainkan kewenangan PPAT didapat dari Pemerintah itu sendiri.
pelayanan dalam bentuk pembuatan akta, atas permintaan orang-orang dan badan-
tanah, pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan dan pemberian kerjanya
117
menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan isi dan aturan hukum
PPAT yaitu diberi wewenang untuk membuat akta otentik. Disinilah kemudian
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa : “PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun”. Dari pasal tersebut, berarti sudah memberikan kewenangan kepada
PPAT untuk membuat akta otentik. Namun kemudian hal tersebut bertentangan
dengan peraturan selanjutnya Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blangko
Akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan hanya dapat
dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”. Pasal 53
ayat (1) menyebutkan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang
sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal
95 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
pendaftaran/peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat
Objek hak atas tanah dari perumahan tersebut masih diikat dengan Hak
Tanggungan dan belum dilakukan roya parsial ataupun roya secara
keseluruhan; dan
Pendaftaran untuk peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli
yang menggunakan Blangko Akta Jual Beli dari pihak pengembang tanpa
184
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit.
185
Yulhamd i sebagai Notaris/PPAT d i Medan, Op.cit.
119
pembuatan Akta Jual Beli dari pihak Notaris/PPAT tidak akan diterima dan
tidak diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku meskipun secara
prinsipnya jual beli tersebut sah menurut hukum”.
Selanjutnya Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN tidak bisa
Notaris/PPAT. Jika tidak menyertakan surat keterangan dari Notaris/PPAT ini maka
pihak BPN tidak akan melayani walaupun diberikan sejumlah uang. Hal ini jelas
seperti yang dikatakan oleh Pasal 51 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006
“Pengambilan atau pembelian Blangko Akta Jual Beli di BPN ataupun Kantor
Pos tidak menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari
Notaris/PPAT Medan, maka pembelian ataupun pengambilan Blangko Akta
Jual Beli tersebut tidak akan dilayani. Maksudnya, meskipun bisa siapa saja
membeli Blangko Akta Jual Beli tersebut di BPN ataupun Kantor Pos, akan
tetapi harus menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari
Notaris/PPAT Medan ataupun kalau tidak pihak yang menginginkan blangko
tersebut dikenal oleh pegawai di BPN, sehingga Blangko Akta Jual Beli
tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu atau pihak yang tidak
bertanggungjawab terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan”. 186
Kesadaran hukum berasal dari dalam diri seseorang (law from inside to
outside). 187 Jika para Staf BPN, Pengembang, dan PPAT mempunyai kesadaran
hukum yang tinggi dalam hal penggunaan Blangko Akta Jual Beli perumahan ini
maka tidak akan jadi masalah jika terjadi kekosongan blangko. Semuanya akan
186
Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bu mi Indah Makmu r Abadi, Op.cit.
187
Teori empati (empathy theory) menyatakan bahwa : “pada dasarnya semua bentuk
pelanggaran hukum yang terjadi adalah dikarenakan pelaku t idak memiliki empat terhadap orang lain
atau lingkungannya. Jika seseorang memiliki rasa empati tehradap orang lain atau lingkungannya,
maka seseorang tersebut tidak akan melakukan pelanggaran hukum”. Su mber : Sat jipto Rahard jo,
Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Ko mpas, Agustus 2010), hal. 52.
120
dengan mudah teratasi karena saling hidup berdampingan seiring sejalan dan saling
PPAT selanjutnya barulah bisa berhubungan dengan BPN. Setelah itu, BPN juga
atau tidak ada tambahan apapun dari pihak BPN. Dengan begitu, seluruh pihak tidak
BAB V
A. Kesimpulan
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal yang
pihak BPN tidak akan menyerahkan Blangko Akta Jual Beli kepada pihak
yang tidak ada Surat Pengantar dari Notaris/PPAT. Dengan kata lain,
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengambil Blangko Akta Jual
Beli di BPN. Pihak Pengembang dan Pembeli tidak bisa mengambil Blangko
Akta Jual Beli di BPN karena bertentangan dengan Pasal 51 Peraturan Kepala
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pihak pengembang yang bekerja
hukum meskipun Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak
Notaris/PPAT Medan, akan tetapi untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah
atau perumahan melalui jual beli perumahan tersebut tidak akan diterima di
122
Kantor BPN Medan kalau Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak
Notaris/PPAT Medan.
Akta PPAT dengan menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli dan
dilegalisir memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta yang dibuat
dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli. Hal ini bahwa pengadaan
a. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 16 Juli 2002 perihal
b. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal
Selain itu, walaupun menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang
telah dilegalisir namun apabila akta PPAT tersebut telah memenuhi syarat
untuk disebut sebagai akta otentik sebagaimana Pasal 1868 KUHPerdata dan
Karena hal yang otentik adalah tanda tangan para pihak bukan jenis kertasnya.
Jika Fotocopy Blangko Akta Jual Beli sudah di tanda tangani oleh para pihak
dan dilegalisir juga di paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan maka Fotocopy
Blangko Akta Jual Beli tersebut sah menurut hukum dan mempunyai
a. Kekosongan Blangko Akta Jual Beli di BPN dan Kantor Pos. Awal mula
mencetak blangko;
ditambah dengan Surat Edaran No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal
dari Kepala Kantor BPN. Jelas sudah Surat Edaran ini yang tidak
tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat bahwa pengembang
B. Saran
1. Sebaiknya pihak BPN Medan agar lebih selektif lagi dalam memberikan atau
menjual Blangko Akta Jual Beli kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan
Blangko Akta dalam pembuatan akta, dalam hal ini mengenai ketentuan
kewenangan yang dimiliki oleh PPAT sehingga tidak terkesan rancu atau
contradictio in terminis.
Jual Beli dalam hal jual beli perumahannya secara sepihak tanpa melibatkan
kewenangannya. Karena jika tidak ada tanda tangan atau legalisasi dari
Notaris/PPAT maka Blangko Akta Jual Beli yang diajukan oleh pengembang
3. Sebaiknya kepada pihak pengembang agar selalu bekerja sama dengan pihak
Notaris/PPAT untuk membuat peralihan hak atas tanah melalui jual beli agar
pendaftaran peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut di BPN Medan
PPAT sebagai rekanannya. Sehingga setiap ada terjadi akad perjanjian jual
beli, maka disitulah PPAT berperan dalam hal peralihan hak atas tanah.
126
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Press, 2010.
Budiman, Anita., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko
Akta Tanah”, Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga.
Boone, Louis E., dan David L. Kurtz, Contemporary Business, 11th Edition,
diterjemahkan Ali Akbar Yulianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer,
Edisi Kesebelas, Jakarta : Salemba, 2007.
Fuady, Munir., Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1999.
Goenawan, Kian., Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama,
Yogyakarta : Pustaka Grahatama, 2008.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
128
Nurachmad, Much., Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan
Pertama, Jakarta : Visimedia, Desember 2010.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun
Ikatan Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan
Masa Datang, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Tanpa Tahun.
Sanusi, Ahmad., Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Bandung : Tarsito, 1999.
Santoso, Budi., Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua,
Jakarta : Elex Media Komputindo, Februari 2008.
Setyorini, Evi Novita Tri., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Pembuatan Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, Semarang : Tesis
Universitas Diponegoro, 2005.
Situmorang, Victor., Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 1996.
Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
129
Subekti, R., dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980.
Sutanto, Urip., Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010
Sutedi, Adrian., Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar
Grafika, 2007.
Damanik, Liston., “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang
Siantar Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbitkan Minggu 10 April 2011.
Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.com/.../ppat- gugat-bpn-karena- menolak-pendaftaran-akta-
jual-beli., diakses pada 14 Juni 2011.
K., Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu- hukum-dalam-perspektif- ilmu-
pengetahuan- modern., diakses pada 11 Juni 2011.
Kusumaputra, Robert Adhi., “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam
Bulan”,
http://properti.kompas.com/read/2011/05/18/20520289/Astaga.Blanko.Akte.J
ual.Beli.Tanah.Kosong.Enam.Bulan., diakses pada 11 Juni 2011.
Miranda, Yonsah., Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th.
07/2009
131
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688.
KAMUS
Garner, Richard A., (Editor), Black’s Law Dictionary, Edisi Kedelapan, West Group,
2004.