Vous êtes sur la page 1sur 6

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjad
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai
dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan
Wilson, 2012). Secara normal otak memerlukan 30-40% oksigen dari kebutuhan
oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk
akan habis terpakai. Untuk mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat
maka diperlukan keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan (demand)
oksigen otak. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood flow
yang besarnya berkisar 15-20% dari curah jantung (Black & Hawks, 2009).
Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh
tulang-tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu
penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang
dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat
terganggu (Black & Hawks, 2009). Pasien dengan cedera kepala dapat secara
primer mengakibatkan kerusakan permanen pada jaringan otak atau
mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia,
hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit, bahkan kegagalan
bernafas dan gagal jantung (Arifin, 2013). Akibat trauma pasien mengalami
perubahan fisik maupun psikologis. Akibat yang sering terjadi pada pasien cedera
kepala berat antara lain terjadi cedera otak sekunder, edema serebral, obstruksi
jalan nafas, peningkatan tekanan intrakranial, vasopasme, hidrosefalus, gangguan
metabolik, infeksi, dan kejang (Haddad, 2012). Pasien yang mengalami
penurunan kesadaran umumnya mengalami gangguan jalan nafas, gangguan
pernafasan dan gangguan sirkulasi. Gangguan pernafasan biasanya disebabkan
oleh gangguan sentral akibat depresi pernafasan pada lesi di medula
oblongata atau akibat gangguan perifer, seperti : aspirasi, edema paru, emboli
paru yang dapat berakibat hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan yang dapat
dilakukan pada kondisi di atas adalah pemberian oksigen, cari dan atasi faktor
penyebab serta pemasangan ventilator. Pada pasien cedera kepala berat dan
sudah terjadi disfungsi pernafasan, di rawat di ruang perawatan intensif dan
terpasang selang endotrakheal dengan ventilator dan sampai kondisi klien
menjadi stabil (Muttaqin, 2012 ; Hudak & Gallo, 2010).
Tindakan ini berfungsi untuk mencegah obstruksi jalan nafas yang
disebabkan oleh sekresi kering dan perlengketan mukosa. Suction dilakukan bila
terdengar suara ronckhi atau sekresi terdengar saat pernafasan. Peningkatan
tekanan inspirasi puncak pada ventilator dapat mengindikasikan adanya
perlengketan atau penyempitan jalan nafas oleh sekret, juga menunjukkan
kebutuhan untuk dilakukan suction (Hudak & Gallo, 2010). Penghisapan
(suction) adalah aspirasi sekret melalui sebuah kateter yang disambungkan ke
mesin pengisap atau saluran pengisap yang ada di dinding. Pengisapan dapat
dilakukan melalui nasofaring, orofaring dan intubasi endotrakeal. Suction adalah
tindakan untuk membersihkan jalan nafas dengan memakai kateter penghisap
melalui nasotracheal tube (NTT), orotracheal tube (OTT), tracheostomy tube
(TT) pada saluran pernafasan bagian atas, bertujuan untuk membebaskan jalan
nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya
infeksi paru (Kelleher & Andrews, 2006).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas diseluruh dunia,
sekitar 1,2 juta jiwa meninggal setiap tahunnya. Tingkat kematian akibat
kecelakaan lalu lintas jalan lebih tinggi pada kelompok usia muda, anak-anak
dan orang muda di bawah usia 25 tahun mencapai lebih dari 30% dari mereka
tewas dan terluka dalam kecelakaan lalu lintas. Dari usia muda tersebut,
laki-laki lebih mungkin terlibat dalam kecelakaan lalu lintas daripada
perempuan, laki-laki muda di bawah usia 25 tahun hampir 3 kali lebih mungkin
untuk terbunuh dalam kecelakaan mobil. Di Amerika Serikat, insidensi terjadinya
cedera otak traumatika sebesar 1,7 juta penduduk/tahun, dari jumlah tersebut
sebanyak 50.000 penduduk/tahun mengalami kematian, dan sebanyak 5 juta
penduduk/tahun mengalami disabilitas akibat cedera kepala. Cedera kepala
umumnya mengenai penderita usia muda (15-19 tahun) dan dewasa tua usia
lebih atau sama dengan 65 tahun, dimana angka kejadian pada laki-laki 2
kali lebih sering dibandingkan perempuan. Mekanisme cedera kepala di Amerika
Serikat adalah akibat terjatuh (35,2%), kecelakaan kendaraan bermotor
(34,1%), perkelahian (10%), dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%)
(Iwan A et al, 2015). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk
semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang
dan tidak cedera 942.984 orang. Prevalensi cedera secara nasional adalah
8,2% dan prevalensi angka cedera kepala di Jawa Tengah sebesar 8,3%.
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada
kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2013). Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para
pengguna kendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakai
helm. Hal ini menjadi tantangan yang sulit karena diantara mereka datang dari
golongan ekonomi rendah sehingga secara sosio ekonomi cukup sulit memperoleh
pelayanan kesehatan. Cedera kepala diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua dan diperkirakan
39% kenaikan per tahun (Lumban toruan, 2015).
Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi
definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien.
Tujuan utama pengelolaan cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari
cedera kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder. Proteksi otak adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
sel – sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak suatu
gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak
sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang
irreversibel. Metode dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara
membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Safrizal, 2013).
Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani secara tepat dan
cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki
tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum serta mencegah
cedera kepala sekunder. Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala
adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah
syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera
sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera
diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga(Hardi, 2008). Indonesia sebagai
negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang
transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut
meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati-hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu
cedera yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas Dari berbagai referensi
diatas, kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat seluruh
dunia, khususnya di negara berkembang. (Haddad, 2012).
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama
tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera kepala terutama
cedera kepala berat merujuk pada petugas kesehatan untuk secepat mungkin
melakukan penanganan yang cepat, tepat dan benar.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraikan di atas bagaimana “Asuhan Keperawatan Dasar Pada
Tn. S Dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menyusun dan menyajikan laporan Asuhan
Keperawatan Dasar Pada Tn. S Dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat
Diruang ICU BLUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. S Dengan Diagnosa
Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.
2) Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pada Tn. S Dengan
Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
3) Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan (intervensi) pada Tn. S
Dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
4) Mahasiswa mampu melakukan tindakan keperawatan (implementasi) pada
Tn. S Dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
5) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. S Dengan
Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU BLUD Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini untuk menambah wawasan dalam pengetahuan asuhan
keperawatan dasar pada Tn. S dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat
Diruang ICU BLUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Studi kasus ini dapat dijadikan penyusun untuk bahan referensi pada saat
melakukan praktik.
1.4.3.1 Bagi IPTEK
Memperluas pengetahuan dalam mencari informasi dan sumber terbaru serta
mempermudah dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru.
1.4.3.2 Bagi institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan dan bahan referensi tentang Asuhan Keperawatan
Dasar Pada Tn. S Dengan Diagnosa Medis Cidera Kepala Berat Diruang ICU
BLUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dapat menjadi bekal dan bahan bacaan
untuk dijadikan referensi pada saat membuat Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat.

Vous aimerez peut-être aussi