Vous êtes sur la page 1sur 8

Based on true story

If This Was A Movie

Tubuhku rasanya seperti terbanting ketika merasakan alarm yang bergetar disamping
telingaku. Pukul 5:30 pagi. Kejadian ini memang sudah terduga, aku masih menggigil.
Rasanya suhu tubuhku diatas normal sekarang, aku benar-benar demam. Padahal tadi
malam aku mandi setelah seluruh tubuhku basah karena hujan. Dan aku langsung tertidur
setelahnya, benar-benar melelahkan. Aku tidak bisa melanggar aturan lagi sekarang,
hukumannya mungkin akan lebih.

Setelah meminum segelas susu hangat, aku berangkat ke kampus. Semalam Vira
membalas pesanku, dia juga sebenarnya tidak jadi keluar karena hujan. Harusnya
memang aku seperti dia, dirumah saja.

Well, cuacanya cerah, bahkan menyilaukan mataku, mengingat tadi malam hujan tidak
pernah berhenti.
“Ilmi..”aku mendengar seseorang meneriakkan namaku, aku menoleh dan
mendapati Vira sedang berlari-lari kecil kearahku. Rumahku lumayan dekat dengan
rumah Vira. Kita berdua sama-sama ngekos. Hampir setiap hari aku dan dia ke kampus
bersamaan. Mungkin karena jalanannya mengarah kearah yang sama. Lagipula itu yang
membuatku dekat dengannya. Selain itu, dia juga sangat cerewet dan mungkin aku butuh
teman seperti dia agar aku lebih banyak berbicara. Yah.. diantara yang lain di dalam kelas
hanya aku yang jarang -bahkan tidak pernah- berbicara, chit chat dengan yang lain.
Mungkin mereka menganggapku anti-sosial. Padahal aku hanya seorang introvert.

“Seberapa siap lo ujian?”tanyanya saat berada tepat disampingku.


“Lumayan..”balasku, bahkan ketika semua yang terjadi semalam.
Vira menatapku heran. “Lo sakit? Pucet banget.”koreksinya.
Aku tidak membalasnya, hanya menampilkan sekilas senyum. Lagipula dia aku tidak
perlu menjelaskan apa yang terjadi semalam.
“Gakpapa, gue cumen kehujanan.”
Vira menyipitkan kedua matanya. “Lo abis darimana?”
Aku memutar pikiranku. Harusnya aku tidak mengatakan itu.
“Lo keluar yah semalem?”-”kemana?”
Aku menghembuskan nafas berat. “Gue abis nonton.”
Vira melirikku tidak percaya. “Malam?” aku mengangguk. “Lo nekat banget sih, lo tau
kan kita masih final?”
Aku menggigit bibir bawahku. “Gue dijemput sama sahabat gue, mendadak gitu. Gue
juga gak bisa ngelak.”
Vira hanya memutar bola matanya. Aku tahu, yang kulakukan itu terlalu berisiko untuk
final ku.
“Gue baik-baik aja kok, Vir.”

Aku benar-benar harus berterima kasih untuk hari ini. Tentang ujianku? Yah. Aku bisa
menyelesaikannya. Tapi, aku merasa kepalaku sangat berat. Mungkin aku harus istirahat
siang ini.

***

“Yah, tante?”aku mendekatkan ponselku ketelingaku.


“Kenapa baru diangkat Ilmi..”keluh bibiku dari seberang sana.
Aku memang baru bisa mengabarinya sekarang, tadi malam aku mengabaikan 30
panggilannya. Aku tahu aku memang benar dalam masalah sekarang, tapi kuharap dia
tidak menanyakanku hal-hal lain, aku tidak ingin berbohong.
Aku menggigit bibir bawahku sambil terus mendengarkan keluhannya ditelepon. “Maaf
tante. Aku ketiduran, dan final ku dimulai pagi sekali jadi aku baru bisa menjawab
sekarang.”
“Baiklah.. kamu baik-baik aja kan?”
“Uhuh.”
“Yasudah, nanti tante telepon lagi.”

Aku terbangun setelah sejam tidur siang, well sekarang jam 2 siang. Kepalaku sudah
membaik, begitupun suhu tubuhku, semuanya kembali normal. Aku duduk didinding
kasurku lalu mengambil laptop dan membukanya. Kali ini aku cukup bersemangat untuk
memulai menulis lagi, yah.. aku suka menulis, terutama mengarang. Entahlah, aku merasa
setiap kata yang tertulis mewakili setiap rasa, imajinasi dan passion ku di dunia ini.
meskipun sudah banyak tulisan dan berbagai genre yang kubuat, aku sudah menulis sejak
kecil, mungkin ini adalah bakat ayahku yang menurun kepadaku. Ayahku seorang redaksi
surat kabar dan ia sering mempublikasikan cerpen karangannya. Nenekku yang
memberitahukannya, ayahku meninggalkan perpustakaannya kepadaku meskipun aku
tidak pernah mengenalnya dekat. Yah.. aku memang tinggal bersama orang tua ayahku
sejak kecil. Aku mengenal wajah ayahku, tapi tidak dengan dirinya. Aku masih kecil saat
dia meninggal. Aku juga menulis sepertinya, tapi aku masih belum ingin
mempublikasikannya, mungkin karena aku belum merasa ingin dunia membaca
pikiranku, meski terkadang aku juga ingin semua orang melihat duniaku. Bagaimana aku
bercerita tentang keajaiban sebuah kata. Sebuah kata yang membentuk kisah, kisah yang
membawa tawa, air mata dan satu hal yang bisa saja terjadi. Takdir. Who knows?

Sepertinya pikiranku cukup jernih dan segar sekarang untuk memulai sesuatu yang baru.
Lagipula di waktu yang luang seperti ini aku akan kebanjiran ide gila dan itu akan terus
terulang dipikiranku jika aku tidak menuliskannya sekarang. Ah, bagaimana jika aku
menulis sebuah diary saja, kali ini tulisanku akan berbeda.

***

Yeey.. final ku akhirnya berakhir, untuk semester ini tentunya. Apa aku terlihat
bersemangat? Yeah, tentu saja. Semua final teori dan praktek telah usai dalam seminggu.
Dan kali ini aku hanya harus mempersiapkan semua barangku untuk berlibur. Yang
paling penting semua ini cepat berakhir dan aku bisa menikmati liburanku di kota kecil
yang kurindukan.

Sore ini aku akan hang out dengan Vira, aku dan dia memang sudah merencanakannya
sejak awal, yah.. ini seperti freshing mind, menyegarkan pikiran setelah hari-hari berat,
yang memang benar-benar berat untukku. Daerah yang kutempati adalah kawasan
University, sangat luas. Mungkin bisa mencangkup tiga perempat kota kecilku. Fasilitas
disini memadai, jadi aku tidak perlu keluar untuk bersenang-senang, lagipula ini cocok
dengan duniaku, begitu tenang. Aku bukan tipe gadis yang suka jalan ke Mall dan berada
di tempat ramai, apalagi pesta atau club.

Well, aku sudah siap dengan jeans dan dan sweater yang melekat ditubuhku, yah aku
tahu, bahkan seleraku berbeda dari yang lain. Entahlah, aku lebih suka sepatu dibanding
high heels. Atau mungkin diluar sana ada yang sepertiku, tapi tetap saja. Aku adalah
minoritas dari populasi disini.
“Jadi kita kemana nih?”
“Kemana saja.”aku mengedipkan kedua mataku kearahnya. Vira lalu menyengir
menatapku.

Aku sebenarnya hanya mengikuti kata hatiku saja, kebetulan saja moodku sangat baik
sore ini, jadi aku bisa menikmati apapun, termasuk jika itu ocehan Vira.
“Kalo hang out itu tau tujuannya, masa mau jalan doang.”keluh Vira, lagi. Aku
sudah menduga ini. Aku hanya tertawa kecil tanpa melihat kearahnya dan melanjutkan
langkahku.
Vira berjalan menyamakan langkahku, kami berjalan di trotoar, jalanan sore ini ramai
karena beberapa orang juga ada yang hang out atau excercise semacam berlari. Rata-rata
mereka adalah orang asing, ah maksudku orang luar negeri. Aku cukup yakin mereka
adalah mahasiswa disini, seperti exchange student. Aku penasaran, dimana mereka
tinggal. Maksudku, tidak ada asrama disekitar sini ataukah dia ngekos sama sepertiku?
Lol. Itu mustahil, mereka sukar berbaur dan pasti mereka membutuhkan yang lebih
daripada itu. Hotel mungkin?
“Husshh..”Vira menyenggol bahuku dan hampir membuatku jatuh ke selokan.
Untung saja aku bisa menahan tubuhku.
“Apaan Vir?”sahutku kaget.
Vira menatapku tajam. “Ngapain lo liatin bule? Lo naksir?”seketika pertanyaannya yang
gila membuat kedua mataku membulat. “Gaklah!”
“Trus?”tanyanya sambil menaikkan salah satu alisnya.
“Gak, mikir aja gitu.. tentang mereka.”-“Eh.. gue pengen deh bicara sama
mereka, improve English gue.”sambungku.
Vira mengerutkan dahinya, lalu tersenyum jahil menatapku.
“Apa?”
Seketika dia berteriak kearah beberapa orang asing yang sedang berjalan dengan sebuah
handset ditelinganya. What the hell Vira?
“Miss..terr..!? Missstaaa..uhmppprrr..”dengan sigap aku menutup mulutnya
dengan tanganku.
“Lo ngapain?”ucapku khawatir -lebih tepatnya- memerah.
“Lo kan pengen bicara, yah gue panggilin. Gampang kan?”entengnya.
Aduh jika itu semudah itu aku sudah berbicara dengan mereka sejak dulu. “Bukan gitu
Vir, aduhh..”
“Kenapa?”
“Gue malu.”
Lagi-lagi Vira mengerutkan dahinya. “Lo kan jago bahasa Inggris, tinggal bicara aja kek,
apa susahnya?”aku menepuk dahiku.

Kulihat orang asing tadi melewatiku dan Vira, mereka melirik sebentar lalu memandang
kami bingung. Aku hanya menampilkan deretan gigiku seolah mencoba bersikap ramah.
Kuharap mereka tidak menganggapku gila.
“Nah itu masalahnya Vir.. aduh!”ucapku. “Lo gak bisa seenaknya aja manggil,
terus ajak bicara kayak orang yang gak punya kerjaan. Ntar mereka bilang kita gila
lagi.”Vira menganga menatapku. Aku memutar bola mataku, aduh bagaimana
menjelaskannya.
“Yahh kita gak bisa aja kali bilang, Good Afternoon.. tanya kabar. Chit chat gak
penting gitu, mereka bakal bosan, dan kita bakal malu-maluin diri kita. Nunggu waktu
yang tepat aja, ok?”
Vira hanya mengangguk gak jelas lalu melanjutkan langkahnya. Aku menghembuskan
nafas berat.”Lagian gue tahu kepribadian mereka, mereka itu busy type. Tipe yang gak
mau diganggu.”
“Lo tau darimana?”
“Gue kan ahli juga baca kepribadian.”ucapku menyamakan langkahku
dengannya.
Vira tertawa. “Gue inget lo juga psikologi ‘kan?”
Aku ikut tertawa “Doain aja.”

Aku dan Vira sudah berjalan sekitar dua kilo dan memutuskan untuk istirahat di lapangan
football. Kebetulan lapangan ini setengahnya dipakai dan dipojok cukup sepi untuk
istirahat dan duduk disana. Dan yang paling penting, suasanya tersembunyi karena
banyak pepohonan yang menghalangi pandangan orang-orang. Aku benci pusat perhatian.

“Ilmi, liat itu deh!”Vira mengisyaratkan kearah dua orang lelaki yang sedang
bermain bola. Uh God! Mereka bule’.
“Mungkin kita bisa bicara sama mereka, lagian mereka lebih muda dari yang gue
teriakin tadi.”
Aku menggigit bibir bawahku, sama saja. Aku tidak berani mendekati mereka. Meskipun
aku sangat sangat ingin meng-improve bahasa Inggrisku. Tapi, melihat keadaan seperti
ini aku mungkin tidak mendapat kesempatan itu. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tidak
berani mendekati mereka, malu? Kurasa biasa saja. Mugnkin ini karena anxiety itu lagi.
Anxiety semacam kecemasan yang berlebihan, seperti cemas dalam kerumunan orang,
atau kondisi tertentu tetapi emosi yang berlebihan. Aku memang mengidap itu. Tapi
kurasa aku sudah sembuh sejak lama. Alasan utama aku dominan dalam bidang psikologi
adalah karena aku sendiri yang membutuhkan pakar itu. Aku pernah berpikir jika aku
mempelajari psikologi aku mungkin bisa mengobati diriku sendiri. Dan.. itu bekerja, aku
bahkan tahu banyak hal tentang personality dan disaster nya. Anggap saja, aku adalah
dokter bagi diriku sendiri.

“Ayo, lo malah bengong gitu!”Vira menarik lenganku untuk berdiri, namun aku
sengaja memberatkan tubuhku agar aku tidak mengikuti ide gila ini, meskipun aku ingin
melakukannya.
“Er...”aku menggaruk tengkukku lalu memandang Vira. “-mereka kan lagi maen
bola Vir.”
Vira memutar bola matanya. “Yah kita duduk disana aja, kalo mereka udah selesai kita
wawancara aja.”
Itu ide yang tidak akan pernah kulakukan meski terdengar masuk akal. Apalagi mereka
telihat seumuran, aku tidak ingin berurusan dengan mereka. “Gak usah deh Vira, gue gak
mood.”

Vira mengerutkan dahinya. “Lo gimana sih? Bukannya lo yang mau?”


“Iya, tapi lupain aja deh.”aku bangkit dari tempat dudukku dan menarik lengan
Vira kearah yang berlawanan. “-kita kesana yukk!”
Vira menatapku pasrah lalu mengikut dibelakangku. Salah satu cara agar dia berhenti
membuatku terlibat dalam ide yang tidak ingin kulakukan itu.
“Kita kemana?”
“Aku juga tidak tahu, kita kesana saja.”aku menuju kearah yang lebih dalam, jauh
dari jalan raya.

Aku hanya mengikuti jalan dan menemukan banyak bangunan besar yang lain, bahkan
jauh lebih besar. Dan terlihat sangat mewah, aku penasaran tempat apa ini, aku hanya
menduga jika ini tempat para dosen tertinggi semacam staff tertinggi di universitas.
Kesanku untuk tempat ini, luar biasa. Aku seperti turis yang mendapatkan destinasi yang
tepat.
“Ini tempat apa yah?”tanyaku terkagum. Ini sungguh indah, tamannya bahkan
tertata seperti istana. Aduh, aku kuno sekali.
“Oh.. ini Rektorat. Gue pernah kesini sekali.”jawab Vira datar, seakan ini
hanyalah hal biasa dan dia tidak terihat bersemangat sama sekali. Mungkin memang
hanya aku yang berlebihan, tapi oh.. ini sungguh luar bias.
“Gue suka, suasananya damai. Sepi banget.”kataku, memang sepi. Hanya ada
satpam yang terlihat didepan pintu bangunan besar itu.
“Jelas sepilah Ilmi.. udah jam setengah enam kok.”celutus Vira. Benar juga, hari
memang sudah menjelang malam, tapi langit masih terlihat warna jingga cerahnya.
“Lo pernah masuk kesana?”
Vira menggeleng. “Hanya disana, bank kampus.”ucapnya sambil menunjuk bangunan
yang berada disamping Rektorat. “-kebetulan saja lewat. Katanya sih Rektorat itu tempat
orang-orang penting.”sambungnya.

Aku tersenyum miring tanpa membalas apa-apa. Lalu tiba-tiba saja aku merasa ada yang
aneh saat aku memperhatikan bangunan itu dengan jelas. Oh Tuhan, bangunan ini yang
ada di foto ruang tengah rumahku, saat ayah ahh maksudku pamanku wisuda. Aku pikir
aku deja vu. Senang rasanya mengingat itu, sekarang akulah yang ada disini. Windy,
sepupuku pasti bangga punya ayah seperti paman. Aku juga sangat bangga dengan
ayahku. Intinya, aku bangga dengan mereka. Terkadang aku sedih jika harus mengingat
hal ini, aku memang sudah mereka anggap setiap anak mereka, sama seperti Windy. Tapi
tetap saja aku tidak akan pernah jadi anak mereka, ini akan berbeda. Aku sudah merasa
cukup, setiap kali paman mengajakku jalan bersama keluarganya, seakan aku merasa
punya orang tua. Real parents,seperti yang selalu kubayangkan. Tapi perasaan itu tidak
bertahan lama karena aku tahu, aku bukanlah bagian dari mereka.

Meskipun paman sudah berjanji sebelum ayahku meninggal, bahwa mereka akan
menganggapku seperti anak mereka. Aku bersyukur mereka baik kepadaku meski
terkadang aku merasa tak diinginkan disana. Keluarga paman memiliki selera tinggi,
apalagi paman adalah walikota di salah satu kabupaten besar, mereka juga hidup
sebagaimana keluarga walikota seharusnya. Aku tidak ingin berada ditengah-tengah
mereka dan merusak segalanya. Aku sudah punya kakek, nenek dan bibiku dan mereka
jauh lebih cukup untuk gadis sepertiku. Aku hanya butuh mereka, mereka
menyanyangiku dan itu yang terpenting. Aku tidak perlu kehidupan mewah itu jika
kebahagiaanku saja sudah cukup. Aku tahu banyak keajaiban yang mengeliliku dan aku
tahu aku bisa membuat hidupku jauh lebih baik.

“Lo nangis?”Vira menegurku saat ia melihatku, aku tahu ia hanya melihat


ekspresiku bukan air mataku. Kacamata yang kukenakan membuatnya tidak terlihat. Aku
segera memecah tawa. “Gak lah. Mata gue kena debu, anginnya kan kencang.”dan alasan
ini kurasa bisa membuat Vira percaya, lagipula tidak ada alasan bagiku untuk menangis
dan bersedih saat ini.

Saat hari benar-benar sudah gelap dan tidak ada lagi cahaya selain cahaya lampu jalan
penereng aku memutuskan untuk mengambil jalan pulang. Namun lagi, Vira membuatku
kaget karena ia menarikku dengan sangat bersemangat. Seseorang berada sekitar sepuluh
meter berjalan berlawanan, tebak saja. Another bule’. Aku memutar bola mataku lalu
menghembuskan nafas berat. Jangan lagi, kumohon!
“Lo kan mau tahu nihh dimana mereka tinggal.”aku bisa melihat senyum dan
mata Vira menatapku jahil.
Aku mengangguk ragu. “Uhuh?”
“Nahh..”Vira mengangtung kata-katanya saat orang itu lewat. Dan ia menyengir
lebar kembali. “Kita ikutin dia sampai ke rumah dia!”

Mataku secara reflek membulat dan mulut agak terbuka karenanya.


“What?!”

Vous aimerez peut-être aussi