Vous êtes sur la page 1sur 9

Efektivitas Pengelolaan RinitisAlergi Berdasarkan WHO

Pedoman Rhinitis Alergi dan Dampaknya pada Asma (ARIA)

Abstrak
Latar Belakang: Prosedur standar Manajemen Rhinitis Alergi di Indonesia didasarkan pada
Alergi Rhinitis dan Dampaknya pada Pedoman Asma (ARIA) Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) 2008; bagaimanapun, perlu beberapa penyesuaian untuk mendapatkan penggunaan yang
efektif secara lokal di Indonesia. Data yang terkait dengan masalah tersebut bagaimanaputidak
ada di indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengelolaan pasien AR
berbasispada pedoman WHO ARIA di Departemen Otorhinolaringologi - Bedah Kepala dan
Leher Dr. HasanRumah Sakit Umum Sadikin Bandung.

Metode: Penelitian dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 dengan menggunakan
desain deskriptif kuantitatif untuk mengamati perkembangan klasifikasi ARIA, total skor gejala
nasal (TNSS), dan kualitas hidup(QoL) selama 6 bulan pertama terapi. Data diperoleh dari rekam
medis pasien AR yang mengunjungi klinik Rhinology-Allergy Department of
Otorhinolaryngology-Bedah Kepala dan Leher Dr.Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin dalam
waktu satu tahun. Tiga puluh tiga pasien dimasukkan dalam penelitian ini dengan menggunakan
totalcontoh.

Hasil: Ada peningkatan yang signifikan (p <0,001) pada klasifikasi ARIA, TNSS, dan QoL
antara inisiasi terapi, ketiga, dan bulan keenam. Sebaliknya, tidak ada perbedaan yang
signifikanKlasifikasi ARIA (p = 0,109), TNSS (p = 0,317), dan QoL (p = 1.000) antara bulan
ketiga dan keenamterapi.

Kesimpulan: Manajemen pasien rhinitis alergi berdasarkan pedoman WHO ARIA 2008 efektif.

Kata kunci: Rinitis alergi, asma, efektifitas, manajemen

1
Pengantar
Rinitis alergi (AR) adalah peradangan padamukosa hidung yang diperantarai
olehImmunoglobulinE (IgE) setelah terpapar alergen. Reaksi inflamasi bermanifestasi sebagai
berairhidung, hidung tersumbat, bersin, dan hidunggatal. Manifestasi klinis berulangsetelah
setiap terpapar dengan alergen awal.

Meski belum ada data mengenai nasionalprevalensi RA di Indonesia, penelitian


sebelumnyadilakukan pada tahun 2010 di DepartemenOtorhinolaryngology-Bedah Kepala dan
LeherRumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandungmenunjukkan prevalensi AR adalah
24,5% .2 Klinismanifestasi RA sering menyebabkan gangguankualitas hidup (QoL). Penurunan
QoLdisebabkan oleh gangguan tidur dan masalahdengan kegiatan sosial, sekolah dan
pekerjaankinerja. Hal ini dapat menyebabkan penurunandalam produktivitas, dan karena itu
berdampak padaekonomi.

Menurut Rhinitis Alergi dan Dampaknya terhadap Asma (ARIA) DuniaPedoman


Kesehatan Organisasi (WHO) 2008iRA diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan
penyakitdan durasi gejala. Klasifikasinyaterdiri dari ARringan intermiten (MI-AR),AR
ringanmenetap (MP-AR), RA sedang / parahintermiten (MSI-AR), dan RA moderat /sangat
berat (MSP-AR). IniKlasifikasi menentukan terapirencana AR yang mencakup penghindaran
alergen,pendidikan pasien, farmakoterapi dan imunoterapi spesifik (SIT). Menurutrekomendasi
WHO 2008 ARIA, semuanyaempat kategori harus melakukan alergenmenghindari dan
menerima pendidikan pasien danfarmakoterapi Farmakoterapi juga berbeda dari masing-masing

klasifikasi dan mencakupkortikosteroid intranasal, antihistamin H1,dan antagonis reseptor


leukotrien (LTRA)diantara yang lain. Untuk AR berat, dianjurkan agar kortikosteroid
intranasalharus diberikan sebagai terapi lini pertama. Spesifikimunoterapi hanya
direkomendasikan untuk MPAR,MSI-AR, dan MSP-AR.1 Oleh karena itu, hanya
ketiganyakategori direkomendasikan untuk lengkapterapi gabungan Meski begitu,
manajemenUntuk pasien AR dapat disesuaikanJika pasien mengalami perbaikan
ataumemburuknya klasifikasi ARIA.

Pengelolaan ARIA di Indonesiatelah dilakukan sesuai denganrekomendasi ARIA WHO


2008. Namun, pedoman WHO 2008 ARIAdimaksudkan untuk menjadi panduan merumuskan
ARpedoman manajemen yang sesuailingkungan dan lingkungan setempat.1,4 Upsampai
sekarang, belum ada data mengenaiefektivitas pengelolaan AR berdasarkanpedoman ARIA
WHO tahun 2008 di Dr. HasanRumah Sakit Umum Sadikin atau di rumah sakit manapundi
Indonesia. Oleh karena itu, evaluasi terhadapkeefektifan ARIA 2008 WHOpedoman dalam
pengaturan lokal diperlukan. Evaluasi pedoman WHO ARIA 2008rekomendasi efektivitas akan
dilakukanberdasarkan pedoman tujuan terapi yang meliputiperbaikan klasifikasi ARIA,
TotalSkor Gejala Nasal (TNSS), dan pasienQoL. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengevaluasiefektivitas pengelolaan pasien ARmenurut pedoman WHO ARIA

2
2008 di Indonesiaklinik Rhinology-Allergy dari DepartemenOtorhinolaringologi - Kepala dan
LeherPembedahan Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin.

Metode
Penelitian ini dilakukan di Rhinology-Klinik alergi dari DepartemenOtorhinolaryngology-Bedah
Kepala dan LeherRumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin dan digunakandesain penelitian
deskriptif kuantitatif.Penelitian dilakukan dari bulan September sampaiOktober 2015. Sampel
penelitiannya adalah ARpasien yang menjalani Rhinology-Alergiklinik yang memenuhi
inclusion berikutKriteria: pasien tergolong MP-AR, MSIAR,dan MSP-AR; pasien sudah
mulaiSIT antara 1 Maret 2014 dan 31 Maret2015; dan pasien yang telah melakukan SIT
untukminimal 6 bulan. Sampel yangTidak termasuk: pasien mulaiSIT di luar periode waktu
tertentu, pasientelah melakukan SIT kurang dari 6 bulan 'waktu, dan pasien tergolong MI-
AR.Sampel penelitian diambil menurut totalMetode pengambilan sampel dan penelitian ini
meliputi 33AR pasien yang mengunjungi Rhinology-Alergiklinik. Data Subjek diambil
daricatatan medis, dan izinpengungkapan informasi diperoleh melaluiKomite Etik Dr. Hasan
SadikinRumah Sakit Umum dan Fakultas KedokteranUniversitas Padjadjaran. Data itudianalisis
secara statistik untuk mengetahui variabelnya frekuensi. Variabel penelitian yang
dievaluasitermasuk klasifikasi AR menurutPedoman ARIA WHO 2008, TNSS, dan QoL
2008gangguan. Klasifikasi rhinitis alergiterdiri dari MSP-AR, MSI-AR, MP-AR, dan
MIAR.Total skor gejala nasal terbagimenjadi sangat ringan (skor 0-2), ringan (3-6),sedang (7-9),
dan berat (10-12) menurutuntuk skor yang disajikan dalam rekam medis.Gangguan pada QoL
tercatat sebagai gangguanterganggu dan tidak terganggu. Inivariabel diambil dari
catatankunjungan pertama pasien (ditentukan bulan 0),bulan ketiga terapi (bulan 3) danbulan
keenam terapi (bulan 6). Datakemudian dianalisis untuk mengevaluasi frekuensidari setiap
variabel dalam setiap kerangka waktu untuk melihatperbedaan antara setiap kerangka waktu dan
jugapentingnya perubahan menggunakan WilcoxonTes Signed-Rank dan tes McNemar.
ItuHasilnya akan dianggap signifikan jika nilai p<0,05 dan tidak signifikan jika nilai p> 0,05.

Variabel penelitian juga disertakanKarakteristik umum seperti umur, jenis kelamindan


pekerjaan, yang akan dipresentasikan sebagai frekuensi. Komorbiditas juga
diambildiperhitungkan dan ditunjukkansebagai frekuensimereka dengan komorbiditas dan
mereka yang tidakbersama dengan frekuensi jeniskomorbiditas hadir

Hasil
Dari 40 anak, jumlah anak laki-laki dan perempuandalam karakteristik umum Subjek
adalahkebanyakan wanita (69,7%) dengan yang tertinggirentang usia di kelompok usia 18-34
tahun (42,4%),diikuti oleh kelompok usia 35-49 (33,3%) (Tabel1). Mayoritas mata pelajaran
adalah sekolah /mahasiswa (30,3%) dan ibu rumah tangga (27,3%)

3
Komorbiditas juga hadir pada 60,6%dari subyek dengan 13 orang lainnyatanpa komorbiditas
Rhinosinusitis ituKomorbiditas paling umum dalam penelitian inidengan frekuensi 50% (Tabel
2). Sangat sedikitKomorbiditas yang umum terjadi adalah konjungtivitis,otitis media, dan
dermatitis atopikdengan 5%setiap.

4
Pada awal penelitian paling banyakklasifikasi AR yang umum didasarkan padapedoman WHO
ARIA 2008 di antaraSubjek MSP-AR dengan 42,4% dengan nosubjek diklasifikasikan sebagai
MI-AR (Tabel 3). Semuasubjek memiliki gangguan QoL dan sebagian besar memilikigejala
sedang (60,6%). Pada tanggal 3Diklasifikasikan sebagai MSP-AR dikurangi menjadi 6,1%
denganfrekuensi tertinggi milik MI-ARklasifikasi (90,9%). Jumlah pasienmenunjukkan gejala
berat dan sedangmenurun menjadi nol dan mereka yang mengalami gangguanQoL turun menjadi
9,1%. Lebih dari setengah darisubjek tidak memiliki gejala (69,7%) dantidak ada penurunan
QoL (90,9%). Setelah 6 bulanterapi, tidak ada subjek yang tergolong sebagaiSedang / parah dan
hanya 3% adalah MP-ARSedangkan sisanya MI-AR (97%). Pasien yangtidak hadir dengan
gangguan QoL90,9%.

5
Hasil analisis statistik menggunakanUji Wilcoxon Signed-Rank
ditunjukkanpadagambarberdasarkanklasifikasi ARIA dan TNSS berubahantara mulai terapi dan
bulan ketigasignifikan dengan nilai p <0,001 (Tabel3). Hal ini juga berlaku untuk analisis
statistikdari perubahan QoL antara awalterapi dengan bulan ketiga terapiUji McNemar dengan
nilai p <0.001. Ituperbedaan antara awal terapi danbulan keenam menunjukkan hasil yang serupa
dengan halnilai <0,001 untuk setiap variabel. Meski begitu, memang begitumenemukan bahwa
perbedaan klasifikasi ARIA,TNSS, dan QoL antara bulan ketiga danbulan keenam tidak
signifikan.

6
Distribusi kombinasi obat yang digunakandalam farmakoterapi pada subyek di awal Terapi
menunjukkan bahwa frekuensi tertinggiObat yang digunakan adalah antihistamin H1
(Gambar).18,2% lainnya adalah kombinasi dari H1antihistamin dan kortikosteroid intranasal.

Diskusi
Studi ini menunjukkan bahwa distribusijenis kelamin, usia, pekerjaan, dan adanya komorbiditas
subjek penelitian serupauntuk penelitian sebelumnya pada tahun 2014 pasien ARmengunjungi
RSU Department of THT-Bedah Kepala dan Leher Dr. Hasan Sadikin. Subyek studi
terdirikebanyakan wanita (69,7%). Tingginya prevalensi inipada wanita dianggap karena
hormonalperbedaan antara jeniskelamin, dimanaestrogen diketahui bersifat pro-inflamasidan
dengan demikian menjadi predisposisi atopi.

PendudukanSebarannya juga sama, dengan yang tertinggisekolah / mahasiswa (30,3%)


danibu rumah tangga kedua tertinggi (27,3%). Inidiketahui bahwa AR mempengaruhi anak usia
sekolah dansehingga menyebabkan gangguan belajar.Studi iniSubjek sebagian besar berusia
antara 18-34 tahun(42,4%) dan tren menurun dengan kenaikandalam umur.
Penelitiansebelumnya menunjukkan penurunan atopi dengan penuaan, disarankan agar
penurunan konsentrasi IgE alergen spesifikadalah penyebab dari fenomena ini

Sebagian besar subjek penelitian hadir dengankomorbiditas (60,6%) dengan rinosinusitis


sebagaifrekuensi tertinggi (55,6%). Ini sejalandengan penelitian sebelumnya bahwa

7
rinosinusitisadalah komorbiditas yang paling umum di ARpasien. Kehadiran komorbiditas
mungkin terjadimempengaruhi hasil pengobatan sebagai hasil terbanyak darikomorbiditas
memiliki patofisiologi yang samasebagai AR. Kehadiran komorbiditas diSubjek penelitian dapat
mempengaruhi perubahan klasifikasi ARIA, TNSS, atau gangguan QoL di Indonesiapelajaran
ini.

Ada perubahan distribusi yang signifikanklasifikasi ARIA antara bulan pertamaterapi dan
bulan ketiga, dan juga denganbulan keenam terapi. FrekuensiMSP-AR dan MSI-AR menurun
antaramulai terapi danbulan keenam di manafrekuensi MSP-AR setinggi 66,7%dan MSI-AR
setinggi 18,2% di awal danhanya 6,1% dan tidak ada masing-masing di urutan keenambulan
(Tabel 3). Temuan inimenunjukkan hal itupasien diberi terapi sesuai ARIA WHOPedoman 2008
mengalami peningkatanKlasifikasi ARIA Perbaikan inisignifikan dengan nilai p <0,001.
SebelumnyaStudi di Spanyol mendukung temuan ini bahwa ARpasien dengan klasifikasi sedang-
beratmengalami penurunan penyakit yang signifikanberatnya ringan setelah menjalani 4
minggufarmakoterapi dengan antihistaminH1 generasi kedua.

TNSS dan QoL juga menunjukkan signifikanperbaikan (p <0,001) sebelum dan sesudah
6bulan terapi. Pada awal terapi aSebagian besar pasien mengalami parahGejala sementara pada
bulan keenam sebagian besargejala pasien membaik menjadi sangat ringan (Tabel3).

Kualitas distribusi penurunan kualitas jugamenunjukkan perubahan yang signifikan (p


<0,001) dan olehbulan keenam terapi 90,9% pasientidak mengalami gangguan. Temuan ini
adalahsesuai dengan penelitian sebelumnya dimana ARIAdirekomendasikan farmakoterapi
secara signifikanmemperbaiki TNSS pasien, skor QoL, dan penyakitkeparahan setelah 4 minggu.
Sebuah studi yang berbedajuga menunjukkan bahwa SIT efektif dalam mengurangigejala dan
penggunaan obat dalam ARpasien.

Perubahan distribusi antaramulai terapi dan bulan ketiga denganberubah antara bulan
ketiga dan keenammenunjukkan perbedaan. Perubahan distribusiKlasifikasi ARIA, TNSS, dan
QoL antarabulan pertama dan ketiga terapi lebih besardaripada perubahan antara ketiga dan
keenambulan. Perbedaan ini hanya signifikanantara dimulainya terapi dan bulan ketigatapi tidak
antara bulan ketiga dan keenam.Kejadian ini dapat dijelaskan olehPenemuan dalam penelitian
terdahulu itu yang terbesar peningkatan skor QoL terjadi pada tahap pertamaminggu terapi dan
perbaikan terbesarTNSS terjadi setelah dua minggu terapimenggunakan antihistamin H1
generasi kedua.11 AStudi yang berbeda menunjukkan bahwa sebanyak 52,6% dariAR pasien
dengan gejala sedang-parahmengalami peningkatan setelah 4 minggufarmakoterapi (p <0,0001) .

Pada catatan lain, TNSS terdiri dari 2 subjek(6,1%) menunjukkan kemunduran antara
bulan ketiga dan enam terapi, berubahdari yang sangat ringan hingga ringan. Juga, ada
gangguanberat QoL pada 3 subjek(9,1%) dalam rentang waktu yang sama. TNSS
inimemburuknya dan penurunanmungkin karena adanya komorbiditas,yang lazim dalam
penelitian ini. Komorbiditasdiketahui mempengaruhi hasil terapi, TNSSdan QoL pasien AR.12

8
Oleh karena itu,perburuknya TNSS dan persistensi subjekpenurunan QoL diperkirakan
disebabkan olehadanya komorbiditas, yang mempengaruhiTNSS dan QoL .

Sebagian besar subjek penelitianmenerima cetirizine, antihistamin H1 generasi kedua,


berlawanan dengan intranasalkortikosteroid seperti flutikason propionatyang merupakan obat lini
pertama untuk MSPARpasien sesuai ARIA WHO 2008pedoman.Telah diketahui bahwa
intranasalkortikosteroid lebih efektif dalam mengurangiGejala AR dari H1 antihistamin14,
dannamun pasien terutama diberikan H1antihistamin dan hanya diberikan
intranasalkortikosteroid dalam kombinasi dengan H1antihistamin. Perbedaan ini disebabkan
olehketersediaan obat di klinikdan kebijakan rumah sakit dimana saat ini hanya H1antihistamin
sudah tersedia dan bukankortikosteroid intranasal.

Selama penelitian ini adabeberapa kesulitan dalam memperoleh data darirekam medis
Beberapa hal ini disebabkandengan dokumentasi yang buruk karena tidak bisa dimengertitulisan
tangan. Rekaman medis yang tidak sistematisdan penyimpanan juga menghambat pengumpulan
data.

Ini adalah studi pertama yang mengevaluasiefektivitas pengelolaan AR


berdasarkanPedoman ARIA WHO 2008 di Dr. HasanRumah Sakit Umum Sadikin. Ada
banyakstudi tentang efektivitas dan khasiatnyadari farmakoterapi atau SIT saja tapi tidak
adatentang efektivitas ARIA WHO 2008pedoman atau keefektifan gabungan darifarmakoterapi
dan SIT.

Singkatnya, meski ada perbedaanantara rekomendasi praktik dan ARIA,AR manajemen


pasien berdasarkan tahun 2008Pedoman ARIA WHO terbukti efektif.Bahkan jika keadaan
setempat, yang dalam hal inikasus membatasi ketersediaan obat, menghalangipenerapan
rekomendasi ARIA,pedoman cocok untuk setting lokal di IndonesiaRumah Sakit Umum Dr.
Hasan Sadikin. Demikian,pedoman ARIA WHO tahun 2008 sesuaiuntuk digunakan di fasilitas
kesehatan lainnya itumenyerupai pengaturan penelitian ini dan dengan demikian dapat digunakan
sebagai pedoman pengelolaanpasien AR setempat

Vous aimerez peut-être aussi