Vous êtes sur la page 1sur 14

BALANCE SCORECARD

A. KONSEP BALANCE SOCRECARD


Pada dasarnya setiap perusahaan dalam melakukan kegiatan selalu akan menghasilkan
produk akhir (barang/jasa). Dalam proses menghasilkan produk/jasa tentunya tidak
terlepas dari rencana strategis yang harus dikomunikasikan dan dilaknsanakan oleh
orang-orang yang harus melaksanakan rencana strategis tersebut. Namun persiapan
rencana strategis yang banyak menggunakan sumber daya baik waktu, uang dan energi
hanya terbuang sia-sia karena tidak adanya alat komunikasi antara manajemen dan
karyawan yang akan melaksanakan rencana bisnis strategis itu. Model baju rencana
bisnis yang indah, desain tas sekolah yang memikat menunjujkan persiapan rencana
bisnis yang profesional, tetapi kebanyakan rencana bisnis tersebut tidak berdampak
bagi orang-orang yang harus melaksankan rencana-rencana bisnis tersebut. Pertanyaan
yang timbul dalam fenomena tersebut adalah mengapa rencana bisnis strategis banyak
yang gagal?
Menurut Evans (2002) dalam Balanced Scorecard Collaborative bahwa
terdapat faktor penghambat dalam implementasi rencana strategis yaitu:
1. Hambatan visi (vision barrier) – tidak banyak orang dalam organisasi yang
memahami strategi organisasi mereka hanya sekitar 5% yang memahami (berdasarkan
survei).
2. Hambatan orang (people barrier) – banyak orang dalam organisasi memiliki
tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi, hanya 25% dari manajer yang
memiliki insentif terkait dengan strategi perusahaan.
3. Hambatan sumber daya (resources barrier) – yaitu tidak mengalokasikan pada hal-
hal yang penting dalam organisasi, sekitar 60% organisasi tidak mengkaitkan
anggarannya dengan strategi perusahaan.
4. Hambatan manajemen (management barrier) – manajemen menghabiskan terlalu
sedikit waktu untuk stategi organisasi dan terlalu banyak waktu untuk pembuatan
keputusan taktis jangka pendek.

Berdasarkan kenyataan diatas maka dibutuhkan suatu cara baru untuk


mengkomunikasikan rencana strategis perusahaan kepada setiap orang yang terlibat
dalam pelaksanaan rencana strategis perusahaan. Dengan menggunakan Balanced
Scorecard, rencana-rencana strategis akan mencapai setiap orang dalam perusahaan.
B. PENGERTIAN BALANCE SCORECARD

Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balance Scorecard merupakan alat pengukur kinerja
eksekutif yang memerlukan ukuran komprehensif dengan empat perspektif, yaitu persfektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan
pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan
Balanced Scorecard sebagai: “a measurement and management system that views a
business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business
process, and learning and growth.”
Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu perusahaan tidak hanya dinyatakan
dalam ukuran keuangan saja, melainkan dinyatakan dalam ukuran dimana perusahaan
tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada pada saat ini dan akan datang, dan
bagaimana perusahaan tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk
investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja
yang lebih baik di masa mendatang.
Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja keuangan dan
nonkeuangan dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan
tingkatan dalam organisasi. Saat ini Balance Scorecard tidak lagi dianggap sebagai
pengukur kinerja, namun telah menjadi sebuah rerangka berpikir dalam pengembangan
strategi.

C. Perkembangan Terkini Implementasi Balance Scorecard

Membangun suatu sistem Balanced Scorecard tidak dapat mengandalkan keahlian


teknis saja. Sebagai suatu sistem yang bernilai tambah bagi perusahaan, keahlian
perusahaan merupakan bagian krusial dalam memilih personil yang terlibat dalam proses
pengembangan. Paket-paket software Balanced Scorecard yang semakin fleksibel
mempermudah proses pengembangan tanpa membutuhkan programmer. Yang diperlukan
adalah spesialisasi industri dan proses bisnis yang dapat mendefinisikan proses dan
performance measures.
Langkah-langkah yang umum dilakukan dalam pengembangan suatu sistem
balanced scorecard adalah sebagai berikut:
1. Menentukan Performance Measures Sesuai Dengan Strategi Perusahaan.
Kesulitan yang sering dihadapi disini adalah seringkali tidak jelasnya strategi
perusahaan, sehingga tidak menentukan langkah ini menjadi hal yang relative sulit.
Kesadaran manajemen perusahan sebagai user dari sistem yang sangat penting. Banyak
perusahaan yang tertarik pada konsep balanced scorecard sebetulnya belum memilik
strategi yang baku. Kegiatan ini bersifat strategi. Untuk memudahkan dicarinya
informasi, bantuan konsultan manajemen strategik banyak dapat membantu.
2. Menentukan Bagaimana Informasi Yang Diperlukan Oleh Performance
Measures Dapat Ditemukan.
Berbeda dengan kegiatan sebelumnya, kegiatan ini memerlukan tenaga ahli
yang mampu menggali informasi dari berbagai sumber. Seorang yang memiliki latar
belakang bisnis proses (untuk membangun eksplisit) akan dapat sangat membantu
dalam menentukan bagaimana informasi yang menunjang kalkulasi Performance
Measures. Langkah terakhir ini relatif lebih mudah.
Setelah mengetahui faktor-faktor bisnis apa saja yang hendak diukur dan
mengetahui bagaimana cara mendpatkan informasi penunjang untuk mendapatkan
informasi tersebut, keahlian yang dibutuhkan ialah seorang yang dapat melakukan
setting/dalam paket balanced scorecard yang hendak dipakai. Pengetahuan orang
tersebut mengenai teknologi informasi akan sangat membantu dalam menghasilkan
kerja secara efisien.
Implementasi Balanced Scorecardpada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai
seimbang antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi
ataupun perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini
menyangkut banyak hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang
diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan
(sustainable).
Apa yang harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk
mengimplementasikan Balanced Scorecardsekalipun dibutuhkan strategi.Sehingga,
dapat diketahui bahwa dalam Balanced Scorecardsangat dinyatakan bahwa rancangan
strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini merupakan koreksi terhadap
keleamahan strategi pada umumnya.

Beberapa langkah awal dalam mengimplementasikan Balanced Scorecard:


1. Memperjelas visi dan strategi perusahan
2. Mengembangkan sasaran strategis:
- Mengidentifikasi proses bisnis yang ada dimana sustainabilitas dapat
menambah nilai dan memperbaiki kinerja
- Menentukan bagaimana program lingkungan yang ada mendukung
sasaran sustainabilitas dalam perspektif pelanggan dan finansial
- Belajar bagaimana sustainabilitas dapat menggantikan proses dan
produk untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
- Mengerti bagaimana mengantisipasi dan mempengaruhi kebutuhan
pelanggan masa depan terkait praktek berkelanjutan.
3. Meluncurkan inisitiatif strategi lintas bisnis dan
4. Membimbing setiap SBU untuk mengembangkan strateginya masing-masing dan
konsisten dengan yang dimiliki perusahaan.

D. Karakteristik Balanced Scorecard

Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategic atau lebih tepat
dinamakan suatu “Strategic Based Accounting System’ yang menjabarkan misi dan startegic
perusahaan ke dalam tujuan operasional dan tolak ukur kinerja, dimana Balanced Scorecard
ini memiliki karakterisrik sebagai berikut : (Mulyadi,2001 : 18-24).
1. Komprehensif
Balanced Scorecard menambahkan perspektif yang ada dalam perencanaan
strategik, dari yang sebelumnya hanya pada perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif
yang lain, yaitu: pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan
manfaat sebagai berikut:
a. Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
b. Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2. Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab
akibat di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik.
Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai
hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem
perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari
inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sistem
perencanaan strategik yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan
pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk
mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di
perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan.
Kekoherenan sasaran strategik yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat
dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
3. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting
untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis
keseimbangan yang harus diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic di
keempat perspektif.
4. Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik
menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut.
Semua sasaran strategik ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di
perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan.
Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-
sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola,
sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di
perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik
nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.

E. Faktor Yang Memacu Perusahaan Mengimplementasikan Balance Scorecard

Balanced Scorecard merupakan alat manajemen kontemporer (contemporary


management tool). Kebutuhan perusahaan untuk mengimplementasikan Balanced
Scorecard dipacu oleh faktor-faktor berikut ini:
1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan turbulen.
2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak pas dengan tuntutan
lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan.
3. Sistem pengelolaan kinerja personel tidak selaras dengan sistem manajemen
strategik
a. Lingkungan Bisnis yang Sangat Kompetitif dan Turbulen

Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan


turbulen. Lingkungan bisnis seperti ini menuntut kemampuan perusahaan untuk:
1. Membangun keunggulan kompetitif melalui distinctive capability.
Di dalam lingkungan bisnis kompetitif, produk dan jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan hanya akan dipilih oleh customer jika memiliki keunggulan tertentu
dibandingkan dengan persaingan. Keunggulan hanya dapat diwujudkan melalui usaha
cerdas, terencana, sistematik, dan dengan langkah-langkah besar serta berjangka
panjang. Balanced Scorecard menyediakan rerangka untuk membangun keunggulan
kompetitif melalui empat perspektif: keuangan, customer, proses, dan pembelajaran
dan pertumbuhan. Diperlukan usaha cerdas, terencana, sistematik, dan waktu lama
untuk membangun kepercayaan dan kepuasan customer, hubungan kemitraan dengan
pemasok, proses bisnis yang produktifdan cost effective, kompetensi dan komitmen
personel, sistem informasi yang mendukung proses layanan bagi customer, dan
organisasi nirbatas yang berkapabilitas untuk belajar, berkapasitas untuk berubah, serta
berakuntabilitas tinggi.
2. Membangun dan secara berkelanjutan memutakhirkan peta perjalanan untuk
mewujudkan masa depan perusahaan.
Lingkungan bisnis kompetitif pasti akan bergolak karena terjadinya berbagai
perubahan yang diciptakan oleh para produsen untuk menarik perhatian customer.
Untuk memasuki lingkungan bisnis bergolak seperti itu, perusahaan memerlukan peta
perjalanan yang secara akurat mencerminkan kondisi lingkungan bisnis yang akan
dimasuki oleh perusahaan. Oleh karena lingkungan bisnis senantiasa bergolak, peta
perjalanan yang digunakan oleh perusahaan untuk membangun masa depannya tidak
akan berumur panjang; peta perjalanan perlu dimutakhirkan secara berkelanjutan agar
menggambarkan secara pas kondisi lingkungan bisnis yang akan dimasuki oleh
perusahaan. Manajemen memerlukan sistem untuk membangun dan secara
berkelanjutan memutakhirkan peta perjalanan untuk mewujudkan masa depan
perusahaan.
3. Menempuh langkah-langkah strategik dalam membangun masa depan
perusahaan.
Lingkungan bisnis kompetitif menuntut perusahaan untuk menempuh langkah-
langkah strategik dalam membangun masa depannya. Langkah-langkah kecil tidak
akan mampu menjadikan perusahaan mencapai keunggulan kompetitif yang dituntut
oleh persaingan. Untuk memotivasi personel dalam memikirkan dan melaksanakan
langkah-langkah strategik, perusahaanmembutuhkan sistem manajemen strategik.
Sistem manajemen ini menjanjikan dihasilkannya sasaran strategik dan langkah
strategik untuk membangun masa depan perusahaan
4. Mengerahkan dan memusatkan kapabilitas dan komitmen seluruh personel dalam
membangun masa depan perusahaan.
Lingkungan bisnis turbulen menjadikan masa depan perusahaan sangat
kompleks dan sulit untuk diprediksi dengan tepat. Dibutuhkan pemikiran dari banyak
pihak dan banyak ahli untuk membuat skenario masa depan yang diperkirakan akan
terjadi. Perusahaan membutuhkan sistem manajemen yang mampu menampung dan
mensintesakan berbagai pemikiran dari seluruh personel untuk membangun skenario
masa depan perusahaan. Masa depan perusahaan terlalu kompleks untuk dipikirkan
oleh sebagian kecil personel. Di samping itu, lingkungan bisnis kompetitif menuntut
kekohesivan seluruh personel dalam menghadapi lingkungan seperti itu, sehingga
perusahaan memerlukan sistem manajemen yang mampu mengerahkan dan
memusatkan kapabilitas dan komitmen seluruh personel dalam membangun masa
depan perusahaan.

b. Sistem Manajemen yang Tidak Pas dengan Tuntutan Lingkungan Bisnis

Sistem manajemen yang tidak pas dengan tuntutan lingkungan bisnis sebagaimana yang
digambarkan di atas memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Sistem manajemen yang digunakan hanya mengandalkan anggaran tahunan
sebagai alat perencanaan masa depan perusahaan.
Jika dalam lingkungan bisnis kompetitif dan turbulen sekarang ini perusahaan hanya
mengandalkan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan masa depannya, perusahaan
akan sangat rentan dalam persaingan. Anggaran tahunan hanya akan menghasilkan
langkah-langkah kecil ke depan yang hanya mempunyai masa pelaksanaan satu tahun
atau kurang. Langkah-langkah strategik hanya dapat direncanakan dengan baik jika
perusahaan menggunakan sistem perencanaan laba jangka panjang yang didesain untuk
itu. Sistem perumusan strategi, sistem perencanaan strategik, dan sistem penyusunan
program merupakan sistem manajemen yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk
memikirkan dan merumuskan langkah-langkah strategik dalam membangun masa
depan perusahaan.
2. Tidak terdapat kekoherenan antara rencana laba jangka panjang (atau dikenal
dengan istilahcorporate plan) dengan rencana laba jangka pendek dan
implementasinya.
Banyak perusahaan telah menyusun rencana laba jangka
panjang (berupa corporate plan), namun jarang sekali rencana laba jangka panjang
tersebut diterjemahkan ke dalam rencana laba jangka pendek. Terdapat matarantai yang
hilang, yang seharusnya menghubungkan antara penyusunan rencanalaba jangka
panjang dengan rencana laba jangka pendek. Sebetulnya sistem manajemen dalam
perusahaan-perusahaan ini lebih baik dibandingkan dengan sistem manajemen
perusahaan-perusahaan yang hanya mengandalkan pada anggaran tahunan untuk
membangun masa depan mereka. Namun, karena rencana laba jangka panjang tidak
koheren dengan rencana laba jangka pendek, pada dasarnya perusahaan-perusahaan ini
juga hanya mengandalkan anggaran tahunan untuk membangun masa depan mereka.
Ketidakkoherenan antara rencana laba jangka panjang dengan rencana laba jangka
pendek ini menyebabkan perusahaan tidak responsif terhadap perubahan lingkungan
bisnis yang diprakirakan akan terjadi.
3. Sistem manajemen yang digunakan tidak mengikutsertakan secara optimum
seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan.
Dalam manajemen tradisional, masa depan perusahaan dirumuskan oleh
manajemen puncak dengan bantuan staf perencanaan. Manajemen menengah dan
bawah serta karyawan mengimplementasikan rencana laba jangka panjang dan rencana
laba jangka pendek yang telah dirumuskan oleh manajemen puncak dan staff tersebut.
Sistem manajemen seperti ini cocok untuk lingkungan bisnis yang stabil, yang di
dalamnya prediksi masih dapat diandalkan untuk memperkirakan masa depan
perusahaan. Untuk menghadapi lingkungan bisnis kompetitif dan turbulen, masa depan
perusahaan sangat sulit untuk diprediksikan. Dibutuhkan penginderaan secara terus
menerus terhadap trend perubahan yang terjadi dalam lingkungan bisnis dan diperlukan
kecepatan respon terhadap trend perubahan yang teridentifikasi. Penginderaan secara
terus menerus dan kecepatan respon terhadap trendperubahan hanya dapat dilakukan
oleh perusahaan jika perusahaan menggunakan sistem manajemen yang melibatkan
secara optimum seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan.
c. Sistem Manajemen Kinerja Personel tidak Selaras dengan Sistem Manajemen
Strategik Berbasis Balanced Scorecard

Semestinya sistem manajemen kinerja personel didesain sebagai bagian terpadu


sistem manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard. Pengelolaan perusahaan untuk
memasuki lingkungan bisnis bergolak dan kompetitif perlu dilakukan secara bersistem
dengan Balanced Scorecard sebagai intinya. Melalui sistem manajemen strategik
berbasis Balanced Scorecard,perusahaan akan mampu beroperasi dengan sense and
respond mode—suatu mode operasi yangfit dengan tuntutan lingkungan bisnis bergolak
dan kompetitif. Oleh karena itu, seluruh personel (manajer dan karyawan) perusahaan
perlu diukur kinerja mereka, karena mereka mengelola perusahaan melalui sistem
manajemen strategik berbasis Balanced Scorecard. Dengan demikian sistem pengelolaan
kinerja personel semestinya didesain selaras dengan sistem manajemen strategik berbasis
Balanced Scorecard.
Namun, pada umumnya sistem pengukuran kinerja perusahaan-perusahaan
Indonesia memiliki keterbatasan berikut ini:
1. Basis yang digunakan untuk pemberian penghargaan adalah posisi (position-
based reward)—yaitu posisi seseorang dalam jenjang organisasi, bukan
kinerja (performance-based reward)—yaitu kinerja yang dihasilkan oleh personel
dalam mewujudkan sasaran-sasaran strategik yang telah disepakati melalui inisiatif
strategik yang telah ditetapkan. Position-based reward tidak memotivasi personel
untuk mengelola secara strategik perusahaan mereka, karena secara sederhana posisi
personel tidak mencerminkan kinerja yang dihasilkan melalui pengelolaan.
2. Job description digunakan sebagai basis untuk menentukan kinerja personel,
padahal job description merupakan pekerjaan (work) personel, bukan kinerja
(performance) personel. Balanced Scorecard disamakan dengan key performance
indicator (KPI) dan KPI ditentukan berdasarkan job description personel. Job
description personel biasanya disusun terlepas dari strategi yang dipilih perusahaan
untuk bersaing dalam memperebutkan pilihan customer. Dengan pemberian
penghargaan atas kinerja yang ditetapkan berdasarkan job description, penghargaan
tidak memotivasi personel dalam mewujudkan strategi perusahaan, sehingga peluang
terwujudnya strategi perusahaan menjadi rendah. Dalam memasuki lingkungan bisnis
kompetitif, strategi memegang peran penting untuk mengerahkan dan mengarahkan
seluruh kompetensi dan komitmen personel dalam mewujudkan visi perusahaan. KPI
ditetapkan pada proses penyusunan anggaran, sehingga mencakup kinerja yang
diharapkan dapat dihasilkan oleh personel hanya untuk tahun anggaran yang akan
datang. Sebagai akibatnya, KPI yang dihasilkan tidak benar-benar bersifat kunci (key)
karena hanya berupa kinerja kecil yang dicapai dalam jangka pendek (setahun atau
kurang).
3. Bahkan masih banyak perusahaan Indonesia yang memfokuskan ukuran kinerja
eksekutif mereka ke ukuran kinerja keuangan (rentabilitas, solvabilitas, dan likuiditas).
Ukuran kinerja ini memfokuskan perhatian dan usaha eksekutif ke pencapaian kinerja
jangka pendek, karena ukuran kinerja keuangan diambilkan dari informasi akuntansi
yang hanya menggunakan satu tahun sebagai periode laporannya. Sebagai akibatnya
eksekutif menjadi berpandangan jangka pendek dan mengabaikan pembangunan daya
saing perusahaan dalam jangka panjang. Sistem pengukuran kinerja eksekutif yang
berfokus ke kinerja keuangan ini tidak sejalan dengan sistem manajemen strategik
berbasis Balanced Scorecard.

F. Perspektif dalam Balanced Scorecard

1. Perspektif Keuangan
Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam balanced scorecard, karena ukuran
keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan
dan tindakan ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik
merupakan fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-
sasaran perspektif keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis
yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap:
a) Growth (Berkembang), yang merupakan tahap pertama dari siklus kehidupan
bisnis. Untuk menciptakan potensi ini, seorang manajer harus mengembangkan
suatu produk atau jasa baru, atau membangun dan mengembangkan fasilitas
produksi dan proyek lainnya. Perusahaan dalam tahap pertumbuhan mungkin secara
aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian atas modal
yang rendah. Sasaran keuangan untuk Growth Stage menekankan pada
pertumbuhan penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru dan atau dari
produk dan jasa baru.
b) Sustain Stage (Bertahan), merupakan tahap kedua yaitu suatu tahap dimana
perusahaan masih melakukan investasi dengan mensyaratkan tingkat pengembalian
yang terbaik. Dalam hal ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar
yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Pada tahap ini perusahaan
tidak lagi bertumpu pada strategistrategi jangka panjang. Sasaran keuangan pada
tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang
dilakukan.
c) Harvest (Panen), merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana
perusahaan melakukan panen terhadap invetasi mereka. Perusahaan tidak lagi
melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan
fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru.
Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke
perusahaan.

2. Perspektif Pelanggan
Pada masa lalu seringkali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan
internal dan kurang memperhatikan kebutuhan konsumen.
Sekarang strategi perusahaan telah bergeser fokusnya dari internal ke eksternal.
Jika suatu unit bisnis ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka
panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa yang
bernilai dari biaya perolehannya. Dan suatu produk akan semakin bernilai apabila
kinerjanya semakinmendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dan
dipersepsikan konsumen. Tolak ukur kinerja pelanggan dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu:
Kelompok Inti, yang terdiri dari:
a) Pangsa pasar, mengukur seberapa besar proporsi segmen pasar tertentu yang
dikuasai oleh perusahaan.
b) Tingkat perolehan para pelanggan baru, mengukur seberapa banyak perusahaan
berhasil menarik pelanggan-pelanggan baru.
c) Kemampuan mempertahankan para pelanggan lama, mengukur seberapa banyak
perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan-pelanggan lama.
d) Tingkat kepuasan pelanggan, mengukur seberapa jauh pelanggan merasa puas
terhadap layanan perusahaan.
e) Tingkat profitabilitas pelanggan, mengukur seberapa besar keuntungan yang
berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk kepada para pelanggan.

3. Perspektif Proses Bisnis Internal


Menurut Kaplan dan Norton (1996), dalam proses bisnis internal, manajer harus
bisa mengidentifikasi proses internal yang penting, dimana perusahaan diharuskan
melakukan dengan baik karena proses bisnis internal tersebut mempunyai nilai-nilai
yang diinginkan konsumen dan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh
para pemegang saham. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi:
a) Inovasi, dalam proses inovasi ini, perusahaan berusaha mencari apa kebutuhan
konsumennya dan kemudian menciptakan produk atau jasa yang dapat memenuhi
kebutuhan konsumennya tersebut. Identifikasi yang dilakukan adalah berapa
besarnya pangsa pasar, kebutuhan pelanggan, tingkat harga yang ditargetkan pada
produk tersebut. Pengukuran kinerja dalam proses inovasi selama ini kurang
mendapat perhatian dibandingkan dengan pengukuran dalam proses operasi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal yaitu: pertama, beberapa dekade yang lampau ketika
badan usaha mulai berkembang, pusat perhatian badan usaha ada pada proses
manufaktur bukannya proses litbang (penelitian dan pengembangan) dan yang
kedua, tidak ada hubungan yang pasti antara input yang dipergunakan dalam litbang
dengan output yang dihasilkannya. Output yang dihasilkan oleh litbang
membutuhkan waktu yang lama untuk benarbenar menghasilkan uang bagi badan
usaha. Secara umum, upaya-upaya untuk pengukuran kinerja litbang yang baku
biasanya dipusatkan pada tiga indikator yaitu: hasil secara teknis, dan penilaian
tentang keberhasilan masing-masing proyek.
b) Proses Operasi, tahapan ini merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk
memberikan solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan
keinginan pelanggan. Tolak ukur yang digunakan antara lain, Manufacturing Cycle
Effectiveness (MCE), tingkat kerusakan paroduk pra penjualan, banyaknya bahan
baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk sebagai akibat
terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat
dipenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual terhadap biaya angganran produksi
serta tingkat efisiensi per kegiatan produksi.
c) Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan, aktivitas ini meliputi
pengumpulan, penyimpanan dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan
puarna jual dimana perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada
pelanggan yang telah membeli produknya seperti layanan pemeliharaan produk,
layanan perbaikan kerusakan, layanan penggantian suku cadang, dan perbaikan
pembayaran.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan


Tujuan dari perspektif ini adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung
pencapaian tiga perspektif sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan sasaran
dari perspektif bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan
yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai
suatu kinerja yang handal. Untuk memperkecil kesenjangan itu, maka suatu badan
usaha harus melakukan investasi dalam bentuk reskilling karyawan, yaitu:
meningkatkan kemampuan sistem dan teknologi informasi, serta menata ulang prosedur
yang ada.
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mencakup 3 prinsip kapabilitas yang
terkait dengan kondisi intemal perusahaan, yaitu:
1. Kapabilitas pekerja.
Kapabilitas pekerja adalah merupakan bagian kontribusi pekerja pada
perusahaan. Sehubungan dengan kapabilitas pekerja, ada 3 hal yang harus diperhatikan
oleh manajemen:
a. Kepuasan pekerja.
Kepuasan pekerja merupakan prakondisi untuk meningkatkan produktivitas,
tanggungjawab, kualitas, dan pelayanan kepada konsumen. Unsur yang dapat diukur
dalam kepuasan pekerja adalah keterlibatan pekerja dalam mengambil keputusan,
pengakuan, akses untuk mendapatkan informasi, dorongan untuk bekerja kreatif, dan
menggunakan inisiatif, serta dukungan dari atasan.

b. Retensi pekerja.
Retensi pekerja adalah kemampuan imtuk mempertahankan pekerja terbaik
dalam perusahaan. Di mana kita mengetahui pekerja merupakan investasi jangka
panjang bagi perusahaan. Jadi, keluamya seorang pekerja yang bukan karena keinginan
perusahaan merupakan loss pada intellectual capital dari perusahaan. Retensi pekerja
diukur dengan persentase turnover di perusahaan.
c. Produktivitas pekerja.
Produktivitas pekerja merupakan hasil dari pengaruh keseluruhan dari
peningkatan keahlian dan moral, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan.
Tujuannya adalah untuk menghubungkan output yang dihasilkan oleh pekerja dengan
jumlah pekerja yang seharusnya untuk menghasilkan output tersebut.

2. Kapabilitas sistem informasi.


Adapun yang menjadi tolak ukur untuk kapabilitas sistem inforaiasi adalah tingkat
ketersediaan informasi, tingkat ketepatan informasi yang tersedia, serta jangka waktu
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.

3. Iklim organisasi yang mendorong timbulnya motivasi, dan pemberdayaan adalah


penting untuk menciptakan pekerja yang berinisiatif. Adapun yang menjadi tolak ukur
hal tersebut di atas adalah jumlah saran yang diberikan pekerja.

Vous aimerez peut-être aussi