Vous êtes sur la page 1sur 5

PAJAK INTERNASIONAL

Pada umumnya terdapat dua faktor penghubung yang dituangkan dalam ketuntuan pajak dari
suatu negara ketika mengatur aspek internasional dari ketentuan pajaknya, yaitu sebagai
berikut:
1. Personal Connecting Factor
Factor penghubung ini mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan status subjek
pajaknya ‘terhubung’ dengan negara tersebut. Oleh karena penekanannya adalah
keterhubungan antara negara dan subjek pajaknya, konsep ini juga disebut dengan konsep
residence atau personal attachment.
2. Objective Connecting Factor
Faktor penghubung ini mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan keberadaan
aktivitas ekonomi atau objek pajaknya ‘terhubung’’dengan daerah territorial suatu negara .
Oleh karena penekanannya adalah keterhubungan antara negara dan letak objek pajaknya ,
konsep ini disebut dengan konsep source atau objective attachment.

Dalam konteks ini peran pajak internasional adalah mengatur batasan penerapan aspek
internasional dari ketentuan pajak domestik masing – masing negara berdasarkan hukum
kebiasaan internasional dan perjanjian antar negara (treaty) Dalam konteks pajak, ketentuan
yang mengatur batasan batasan disngkat dengan P3B. Yang menjadi ruang lingkup P3B
adalah pajak penghasilan (PPh). Model yang dikembangkan oleh Organisation of Economic
Cooperation and Development (OECD Model) merupakan model utama yang digunakan
sebagai acuan oleh berbagai negara.

A. Kebijakan dan Tujuan Pajak Internasional


Terdapat tiga tujuan utama mengapa suatu negara menuangkan ketentuan pajak
internasional dalam ketentuan pajak domestic, yaitu:
I. Peningkatan Pendapatan Nasional
Fungsi utama pajak suatu negara adalah untuk mengisi pundi – pundi penerimaan negara.
Dalam konteks ini suatu negara akan berupaya untuk mendapat bagian yang adil (fair share)
atas klaim hak pemajakan internasional dengan tetap memperhatikan klaim hak pemajakan
negara lain.
II. Kesetaraan
Prinsip kesetaraan mengatur bahwa pemajakan atau penghasilan yang diterima oleh subjek
pajak dalam negri, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. akan
diperlakukan secara sama (ability to pay principle).
III. Efisiensi Ekonomi
Suatu desain sitem pajak internasional yang bersifat netral.Netralitas dapat dicapai jika suatu
sitem pajak tidak mendistorsi pilihan pilihan ekonomi dari subjek pajak.Terdapat 2 netralitas
utama yang dituju dalam kebijakan pajak internasional yaitu capital export neutrality dan
capital import neutrality.
B. Langkah Antisipasi dan Minimalisasi Penghindaran Pajak
Dikenal dua pendekatan untuk memerangi praktik penghindaran pajak yaitu:
Melalui judicial doctrine,dengan pendekatan tanpa mengunakan ketentuan khusus dalam
peraturan melaui judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan oleh putusan
pengadilan.
Melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR), yaitu ketentuan khusus dalam
peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat
dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak.
Dalam menafsirkan peraturan sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal dua
pendekatan yang berlawanan yaitu secara literal dan purposif.
Pendekatan literal, dimana peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit
tercantum dalam naskah peraturan. Sedangkan pendekatan purposif, dimana dalam
menafsirkan peraturan juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya
peraturan teresebut.

Saat ini untuk mengantisipasi meminimalisir praktik penghindaran pajak dalam


Undang – Undang Perpajakan specific anti avoidance rule dalam pasal 18 ayat (3b) dan (3c)
UU PPh. Karena UU 18 tidak mungkin dapat mencakup keseluruhan jenis transaksi
penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan
memperkenalkan suatu statutory general avoidance rule pada undang – undang perpajakan
diindonesia . Ketentuan statutory GAAR memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas
perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan
melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi
penghindaran pajak. Namun diskresi yang luas dapat berdampak pada penyalahgunaan oleh
otoritas pajak melakukan koreksi yang kurang tepat, sehingga memperoleh perlawanan dari
dunia usaha.
Selain itu pemerintah juga melakukan upaya yang lebih spesifik dan faktul untuk
meminimalisir dan mengantisipasi penghindaran pajak yaitu mengadakan perjanjian bilateral
dengan negara lain dalam bentuk persetujuan penghindaran pajak berganda, kesepakatan
Advance Pricing Agreement (APA),penetapan domisili fiscal atas perusahaan offshore di
negara tax haven , dan menerapkan persyaratan pelaporan dan dokumentasi Transfer Pricing
(TP Doc).

C.Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak internasional
antar kedua negara (bilateral) untuk menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat
perekonomian kedua negara.

D.Pajak Berganda
Terjadi ketika dalam suatu transaksi lintas batas negara, terdapat lebih dari suatu
negara yang mengklaim hak pemajakan atas transaksi lintas batas negara tersebut
berdasarkan salah satu faktor perhubungan tersebut menyebabkan lebih dari satu negara
diberikan klaim hak pemajakan atas suatu transaksi ekonomi yang sama.
Menurut sistem pajak domestik di banyak negara, klaim hak pemajakan terhadap
penghasilan baik yang bersumber di dalam daerah teritorial suatu negara maupun yang
bersumber dari luar negara (world income atau disebut juga dengan universality principle)
Sebaliknya, suatu klaim hak pemakan berdasarkan objective connecting faktor
menimbulkan klaim hak pejakan yang berbatas hanya terhadap penghasilan yang bersumber
dari suatu negara (limited tex liablity atau di sebut juga dengan teritoriality principle).
Konflik antara 2 faktor perhubungan tersebut umumnya di sebut dengan residonce-sovice
conflict dan merupakan salah satu contoh situasi terjadinya pemajakan berganda

Negara D Negara S

Subjek Pajak A Penghasilan

Yurisdiksi Pemajakan Negara D


Yurisdiksi Pemajakan Negara S
Penghasilan yang diterima oleh subjek pajak termasuk dalam yurisdiksi
pemajakan Negara D maupun Negara S

penjelasan
 Subjek pajak A adalah subjek pajak dalam negri negara D yang memperoleh
penghasilan dari Negara S. Dalam konteks Pajak International, Negara D disebut
sebagai negara domisili (residence satet) dari subjek pajak yang menerima
penghasilan. Negara S adalah negra tempat sumber penghasilan (source state) yang
diterima oleh subjek pajak A.
 Negara D menganut asas wordwide income terhadap subjek pajak dalam negrinya.
Atas dasar asas tersebut, Negara D mengenakan pajak atas penghasilan Subjek Pajak
A yang diterimanya dari Negara S. Dalam konteks pajak International, pengenaan
pajak tersebut dapat dibenarkan karena telah memenuhi personal connecting factor.
 Dari sudut pandang ketentuan pajak Negara S, negara S berhak mengenakan pajak
atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak A karena penghasilan yang diterima
di Negara S.
 Situasi yang saling mengenakan pajak atas penghasilan (objek pajak) yang sama
terhadap subjek pajak yang sama (subjek pajak A) oleh 2 negara yang berbeda
(Negara D dan Negara S) di sebut sebagai pajak berganda secara yuridis (Juridikal
Double Taxation) dan
 Pajak berganda dapat bersifat yuridis maupun ekonomis pajak berganda secara yuridis
seperti yang telah di jelaskan pada gambar diatas, merujuk pada situasi suatu subjek
pajak dikenakan pajak oleh lenih dan satu Negara atas penghasilan yang sama pada
suatu periode (tahun)pajak yang sama.
Selain pajak berganda secara yuridis, terdapat juga terminology pajak berganda secara
ekonomis (economical double taxation). Pajak berganda secara ekonomis merujuk pada
situasi suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali di dua atau lebih
subjek pajak yang berbeda.
Gambar Pajak Berganda Secara Ekonomis.

Penghasilan Subjek Pajak Badan Subjek Pajak Orang


Pribadi

Laba Kena Pajak 100 Pajak di tingkat Subjek


Pajak Penghasilan Badan (25% x 100) 25 Pajak Badan
Laba Setelah Pajak 75

Dividen 75 Pajak ditingkat Subjek


Pajak Penghasilan Final 7,5 Pajak Orang Pribadi
Laba Setelah Pajak 67,5

Penjelasan:
 Pengenaan pajak ke- 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan ditingkat
subjek pajak badan, yaitu 25 (100 x tariff PPh badan 25%), dan
 Pengenaan pajak yang ke-2 adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang
sama ditingkat subjek pajak orang prtibadi,yaitu 7,5 (penghasilan dividen 75 x tarif
PPh final 10%).
Isu pajak berganda secara ekonomis dapat juga terjadi dalam konteks transaksi dividen
lintas batas negara antara perusahaan anak dan perusahaan induk (intercompany
dividends). Dalam kasus ini bahkan dapat terjadi pajak berganda rangkap tiga (triple
double taxation) yaitu kombinasi daripada pajak berganda secara yuridis dan ekonomis.
Gambar Pajak Berganda Rangkap Tiga.

(Pajak ke-1) Pajak Penghasilan Badan PT X


Penghasilan

Laba Kena Pajak


Pajak Penghasilan Badan
Laba Setelah Pajak

Sebagai laba usaha

PT X

(Perusahaan Aanak)

Negara S
Negara D

Srbagai Dividen

Corp Y

(Perusahaan Induk)

Vous aimerez peut-être aussi