Vous êtes sur la page 1sur 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari

berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan

keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup

(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun. Dalam anastesi dibagi beberapa macam jenis

anastesi diantaranya anastesi umum, anastesi lokal dan anastesi regional. Salah

satu anestesi regional yang banyak digunakan adalah subarachnoid block

(SAB) atau disebut juga anestesi spinal.

Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas berupa blok

simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik (tergantung pada dosis,

konsentrasi atau volume dari anestesi lokal) dengan memasukkan anestesi local

dalam ruang subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini

menghasilkan anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah.

Keuntungan lain dari penggunaan neuraxial blok yang efektif adalah

penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi

sehubungan dengan simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade

serabut kardioselarator, untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap

dalam batas normal, sering dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena.

SAB mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan

metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, jumlah

perdarahan dapat dikurangi, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat


2

minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah

yang terblok sementara pasien tetap dalam kondisi sadar. Selain keuntungan

juga terdapat kerugian dalam cara ini, yaitu berupa komplikasi yang meliputi

hipotensi, mual, muntah, postdural puncture headache (PDPH), nyeri

pinggang dan lainnya. Hal ini menimbulkan timbunan darah di perifer dan

mengurangi aliran balik vena sehingga menyebabkan turunnya curah jantung.

Pasien dapat mengalami kerusakan organ akibat perfusi yang kurang, bahkan

dapat terjadi henti jantung karena kurangnya perfusi koroner. Penurunan

tekanan darah berhubungan dengan penurunan curah jantung, resistensi

pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptor, depresi kontraktilitas

miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik negative. Efek

depresi miokard dan vasodilatasi yang tejadi tergantung dosis. Vasodilatasi

terjadi akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung mobiliasasi Ca

pada interseluler otot polos.

Ada beberapa alternatif terapi hipotensi. Autotransfusi dengan posisi

head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Bradikadi yang

berat dapat diberikan antikolinergik. Jika hipotensi tetap terjadi setelah

pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat

diberikan, seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus IV. Efedrin merupakan

vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral)

dan vasokonstriktor (efek perifer). Efek perifer tergantung ketersediaan

katekolamin, bila kosong efek tidak terjadi. Vasopresor langsung seperti

phenylephrine memperbaiki tonus vena, menyebabkan vasokonstriksi arteriole

dan meningkatkan preload. Pada kasus hipotensi berat, pemberian epinefrin


3

mungkin memberi perfusi koroner sebelum iskemik mencetuskan cardiac

arrest. Jika hipotensi disertai bradikardi, phenylephrine mungkin lebih baik

dihindari.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apendiks

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang

mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks

vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan

aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya

bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak mempunyai posisi

anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan menyempit di

bagian proksimal.. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar

pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi

sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu.

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di

regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada

titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan

umbilicus yang di sebut titik McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri

appendicularis yang merupakan arteri tanpa kolateral dan vena appendicularis,

sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf simpatis

danparasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran

limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nadi

mesenterici superiors.
5

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar

submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan

pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh

lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam

mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum

viserale.

Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang

secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.

Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan

dalam patogenesis apendisitis. GULT (gut associated lymphoid tissue) yang

terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk apendiks vermiformis

menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA sangat efektif sebagai

pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada apendiks

vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem

imun tubuh.

Gambaran apendiks diperlihatkan gambar 2.1


6

2.2 Definisi dan Klasifikasi Apendisitis

2.2.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis

akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah

rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat .

Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus

ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan

laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,

angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai

cacing yang terinfeksi hancur.

2.2.2 Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik.

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut

talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral

didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual

dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa

jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih

tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik

setempat.
7

2. Apendisitis kronik.

Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah

menemkan banyak kasus dimana pasien dengan nyeri abdomen kronik,

sembuh setelah apendektomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika

apendiks tidak terisi atau hanya terisi sebagian oleh barium saat barium

enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang bersifat kronik

intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin. Apendisitis

kronis lebih jarang terjadi dari pada apendisitis akut dan lebih sulit untuk

didiagnosis, insdensnya hanya 1% di Amerika serikat. Untuk

mendiagnosis apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu

(1) pasien memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama

paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain; (2) setelah

dilakukan apendiktomi, gejala yang di alami pasien tersebut hilang ; (3)

secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi

kronis aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks. Menurut

crabbe M et al, pada tahun 1986 studi dilakukan pada pasien 205 pasien

yang telah menjalani apendiktomi, 21 pasien yaitu (10%) memenuhi

kriteria apendisitis rekuren, sementara 3 pasien (1,5%) memenuhi kriteria

apendisitis kronis atau rekuren berdasarkan riwayat perjalanan penyakit

dan temuan histopatologi dari infiltrasi limfosit dan eosinofil pada dinding

apendiks dan terdapat fibrosis banyak apendiks yang diperiksa dengan

otopsi atau diangkat secara selektif berukuran kecil, tanpa lumen, dan

secara histologis, mukosa dan jaringan limfoidnya atrofik dan submukosa

sering digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Sulit untuk


8

memutuskan apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi

fisiologis atau berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang

membandingkan apendiks dari pasien dengan gejala yang menunjukan

apendisitis dengan apendiks yang diangkat tanpa gejala, telah menunjukan

perbedaan yang sangat sedikit pada gambaran patologi. Diagnosis

apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat

nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks

secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis

kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau

total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan

adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

Gejala yang dialami pasien dengan apendisitis kronis tidak jelas dan

progresinya bersifat lambat. Terkadang pasien mengeluh nyeri pada

kuadran kanan bawah yang interminten atau persisten selama berminggu-

minggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis, sumbatan hanya

bersifat partial dengan sedikit invasif bakteri. Sekalipun gejala dan

progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah

berbahaya jika dibiarkan tanpa ditangani. Mekanisme pastinya tidak jelas,

walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi. Penyakit seperti colitis

ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa, penyakit crohn, tuberkulosis dan

lain-lain yang dapat berhubungan dengan apendisitis kronis.


9

2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.

Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan

pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis

menurun, tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan

dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2.

Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun

menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan. Sekitar 20-30% kasus

apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di Amerika sebanyak 38,7%

insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan 23,5% pada wanita.

Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di indonesia

pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada tahun

tersebut mencapai 28.949 pasien, berada diurutan keempat setelah dispepsia,

gastritis dan duodenitis dan penyakit saluran cerna lainnya. Satu dari 15 orang

pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidens tertinggi terdapat pada

laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih

banyak menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia

25 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun.

2.4 Etiologi

Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi

lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi

apendiks vermiformis. Disamping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks

vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi mukosa
10

apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab lain yang

dapat menimbulkan apendisitis.

Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat, serta

pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis. Konstipasi

akanmenaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Semua

ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penelitian epidemiologi

menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh

konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan

intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan

mempermudah timbulnya apendisitis akut.

2.5 Patofisiologi

Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan

seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam pertama.

Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus (lendir) setiap

harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan,

akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60 cmH2O, yang

seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL.

Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi

dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan

kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika


11

tekanan kapiler melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi.

Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan invasi

bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan transmural,

edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan

apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan

kongesti pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding

apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis

flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut

apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi gangren

pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi. Bila semua proses

diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah

apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis.

Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada

anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka

dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada

orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi

membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.

Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut lagi dan

dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.


12

2.6 Gejala

Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat bahwa nyeri

perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua organ tubuh.

Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk mendiagnosis apendistis.

Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan

nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering

disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam

beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini

nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri

somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi

sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap

berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare

tidak tergantung pada beratnya infeksidan lokasi apendiks. Bila apendiks

melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila

ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan

rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujungapendiks berada dekat rektum.

nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan

kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus

kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi

kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa

dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.

Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
13

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat

bervariasi.Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi

usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai

ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada

lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan

tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.

2.7 Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini

terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau

rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk

mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah

demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,

diduga sudah terjadi perforasi.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan

membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi

perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler

abses.

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.

Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,

dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran

kanan bawah:
14

• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan

kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda

kunci diagnosis.

• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri

lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan

penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence

muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

• Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan

bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal

ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi

peritoneal pada sisi yang berlawanan.

• Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus

psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

• Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila

panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar

secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada

daerah hipogastrium.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat

peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis

generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu

dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis


15

maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur

(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12.

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor

Alvarado, yaitu:

Tabel 2.1 Skor Alvarado

SKOR ALVARADO

Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke

fossa iliaka kanan 1

Anoreksia 1

Mual atau Muntah 1

Nyeri di fossa iliaka kanan 2

Nyeri lepas 1

Peningkatan temperatur (>37,5C) 1

Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x


2
109/L

Neutrofilia dari ≥ 75% 1

Total 10

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak

memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.


16

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan

jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan

penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita,

pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan

diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET

(kehamilan diluar kandungan).

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)

dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala)

didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa

membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit

lainnya di daerah rongga panggul.

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis

apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya

dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan

orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya

lebih agresif dalam bertindak.

2.9 Diagnosis Banding

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis

karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan

appendisitis, diantaranya:
17

- Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare

mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering

ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan

appendisitis akut.

- Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan

mual dan nyeri tekan perut.

- Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh

hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang

meningkat.

- Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendisitis

akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut

bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai

keputihan dan infeksi urin.

- Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat

memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.

- Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan

keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar

rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic

dan bisa terjadi syok hipovolemik.

- Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan

appendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip


18

pada appendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan

bedah yang sama.

- Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi

gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

- Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai

appendisitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis,

hematuria, dan terjadi demam atau leukositosis.

2.10 Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah

ditegakkan.Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk

membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat

diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan

untukmengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan

resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau

spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode

terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak

dipilih oleh para ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan

observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila

dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan

laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan

dilakukan operasi atau tidak.


19

2.11 Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai

32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum

terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C

atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang

kontinyu.

Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,

obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan

kematian. Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan

komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-

abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses

residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja

internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.

2.12 Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa

penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah

terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya

penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,

keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi

dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari. Alasan

adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut

ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.


20

2.13 Regional Anestesi Subarachnoid Block (RA-SAB)

1. SEJARAH RA-SAB

Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam

klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB pertama

kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan

secara luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan

cedera neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi

tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika

dilakukan dengan teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan

asepsis dan penggunaan lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal

memberikan lapangan yang luas bagi ahli anestesi, sebagai alternatif

anestesi umum jika kondisi memungkinkan.

2. DEFINISI RA-SAB

Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi

hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik

– central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan

peripheral nerve blockade.

Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin

dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan

pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT).

Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan

monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan
21

resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-

Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.

3. INDIKASI RA-SAB

Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:

a. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat

inervasi pada buli buli kencing)

b. Hysterectomy

c. Caesarean section (T6)

d. Evakuasi alat KB yang tertinggal

e. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti

arthroplasty

f. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal

4. KONTRAINDIKASI RA-SAB

Kontraindikasi Absolut

- Pasien menolak

- Deformitas pada lokasi injeksI

- Hipovolemia berat

- Sedang dalam terapi antikoagulan

- Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta

- Peningkatan tekana intracranial.


22

Kontraindikasi Relatif

- Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)

- Infeksi sekitar tempat penyunikan

- Kelainan neurologis

- Kelainan psikis

- Bedah lama

- Penyakit jantung

- Hipovolemia ringan

- Nyeri punggung kronis

5. KOMPLIKASI RA-SAB

Komplikasi Pasca Tindakan

- Nyeri tempat suntikan

- Nyeri punggung

- Nyeri kepala karena kebocoran likuor

- Retensio urine

- Meningitis

6. TEKNIK ANASTESI

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau

posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan

posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya

obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:


23

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus

lateral. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang

spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka

dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat

tusukannya, misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2

atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-

2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22

G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang

kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun

jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser

sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan

jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah

resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar

likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-

pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan

posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat

dimasukkan kateter.

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 –

1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
24

Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.

Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.

Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh

dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik

biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

7. PREOPERATIF

a) Penilaian Preoperatif

Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian

tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan

untuk menjalani tindakan operatif.

Tujuan:

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif

2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi

3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai

4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan

atau pascabedah

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang

diramalkan.

b) Tatalaksana evaluasi

1. Anamnesis

Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni

meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan

penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi


25

organ, dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit

sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia

terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi.

2. Pemeriksaan fisik

Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,

frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi

badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan

pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis,

saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal,

hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan

endokrin, otot rangka.

3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya

Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.

Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang

menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan

khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium

lengkap, pemeriksaan radiologi

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital

Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait

bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan

berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap

perlu, pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf

medis fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di


26

bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang

resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD.

5. Menentukan prognosis pasien perioperative

Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American

Society of Anesthesiologist (ASA).

Tabel 2.3 Klasifikasi ASA

Kelas Definisi

ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit


ASA 2
sistemikringan sampai sedang

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit

ASA 3 sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab

tetapi tidak mengancam nyawa.

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit

ASA 4 sistemik berat yang secara langsung mengancam

kehidupannya.

pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit

ASA 5 sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,

dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal.

pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi


ASA 6
organ untuk donor.

Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status


E
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)
27

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko

anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari

efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan

menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk

ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA

secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas

perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari

banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif.

Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam

perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

c) Persiapan Preoperatif

1. Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi

isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas

merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi.

Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang

dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus

dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu

sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8

jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak

berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman

bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
28

minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum

induksi anesthesia.

2. Terapi Cairan

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan

mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak

adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat

karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,

keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan

paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan

maintenance dengan waktu puasa.

3. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan

bangun dari anestesi diantaranya:

 Meredakan kecemasan dan ketakutan

 Memperlancar induksi anestesi

 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

 Meminimalkan jumlah obat anestetik

 Mengurangi mual muntah pasca bedah

 Menciptakan amnesia

 Mengurangi isi cairan lambung

 Mengurangi reflek yang membahayakan


29

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat

membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan

bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi

anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya

petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis

asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2

histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum

jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan

premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau

ondansetron 2-4 mg.

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa

pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk

profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide

digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan

metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin

pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,

mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung

sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.

Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi

yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram

uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine
30

pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna

untuk pencegahan muntah pasca operasi.

Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan

ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2

sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat

mengurangi risiko 4.

8. Durante Operasi

a. Persiapan Pasien

Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk

mengatur suhu pendingin ruangan.

b. Pemakaian Obat Anestesi

Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan

menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg

bersama dengan bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.

c. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,

atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion

low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan

cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti

protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan

onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular,

sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan

mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.


31

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang

digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air,

penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis

maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,

penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis

replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,

cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang

paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit

hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan

cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer

laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi

cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling

fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante

operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga

empat kali jumlah volume darah yang hilang.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan

kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction

dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang

terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah

10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah.

Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut

ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.


32

d. Monitoring

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang

dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu

dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard

monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor

berikut ini adalah standard minimal monitoring):

1. Standard Basic Anesthetic Monitoring

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun

pada kondisi emergensi, appropriate life support harus

diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic

monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan

anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)

beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis

dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin

gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.

1) Standard I

Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi

selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan

memonitor perawatan anestesi.

2) Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi,

sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus.


33

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama

anestesi adalah:

- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas

reflek palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

9. POSTOPERATIF

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia

care unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini,

pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level

nyerinya. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU

memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di

antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu

dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak

luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya

dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain

itu, pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang

menyumbat drain dan selang drainase.


34

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan

dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang

telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular

juga. Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat.

Segera setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur,

pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus

segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari

kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti

dan diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus

dipasang untuk mencegah terjadinya risiko injury.

Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan

dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani

dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien

ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak

jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,

monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi

bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut

berjalan dengan lancar.

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi

hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum

efek anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat

masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.


35

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia

pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan

sensitivitas individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery

yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan,

riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-

benar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan

pemantauan seperangkat alat berikut :

a. Pulse oximeter

b. Non-invasive blood pressure monitor

c. Elektokardiograf

d. Nerve stimulator

e. Pengukur suhu

1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:

a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan

goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga

perlu nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung

dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.

b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,

perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien

secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.

c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan

rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus


36

dipertahankan selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk,

ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien dapat

kembali pulang.

2) Ruang Pulih

a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau

secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah

respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem

respirasi dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi,

mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.

b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di

ruang pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya

normal, pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan

di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak

memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan

tindakan khusus di ruangan.

3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik

c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan

kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),

sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan

saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu

tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca

anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan

Skor Aldrete.
37

Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh

anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen

minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.

Tabel 2.4 Aldrete Score

POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE

ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue

COLOR Oxygenation

PINK SpO2>92% on room air 2

PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1

CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0

RESPIRATION

CAN BREATHE DEEPLY Breathes deeply and coughs 2

AND COUGH freely

SHALLOW BUT ADEQUATE Dyspneic, shallow or limited 1

EXCHANGE breathing

APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0

CIRCULATION

BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20 mmHg of 2

20% OF NORMAL normal

BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20–50mmHg 1

20–50% OF NORMAL of normal

BLOOD PRESSURE Blood pressure more than ± 50 0

DEVIATING >50% FROM mmHg of normal


38

NORMAL

CONSCIOUSNESS

AWAKE, ALERT, AND Fully awake 2

ORIENTED

AROUSABLE BUT READILY Arousable on calling 1

DRIFTS BACK TO SLEEP

NO RESPONSE Not responsive 0

ACTIVITY

MOVES ALL EXTREMITIES Same 2

MOVES TWO EXTREMITIES Same 1

NO MOVEMENT Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.

Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score

revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor

10 atau minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien

untuk dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu

b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang

e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam

f. Mual dan muntah dalam kontrol


39

g. Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan

normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring

untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah

SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.

Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di

PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi

seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang

sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%

pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah

discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya

multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor

pasien sendiri.

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama

anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi

strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus

vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau

bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.

Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti

ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg

intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3

antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic)


40

dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau

phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in

children), bila dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk

mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa

digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis

untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa

dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).

10. EFEK RA-SAB

Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional

dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid

dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan

relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada

ruang subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang

subarachnoid adalah untuk menghindari adanya kerusakan pada medulla

spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang

subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan

blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini

tergantung kepada banyak factor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat

(Sunaryo, 2005).
41

BAB III

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

 Nama : Melani Ashari

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Umur : 30 Tahun

 Agama : Islam

 Alamat : Jln. Pelajar No. 147 Medan

 Pekerjaan : IRT

 Status Perkawinan : Menikah

 No RM : 25.22.43

2. ANAMNESA

 Keluhan Utama : Nyeri didaerah Perut

 Telaah : Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keluhan nyeri

didaerah perut yang dialami sejak 1 bulan yang lalu dan semakin terasa

sakit semenjak 7 hari ini. Nyeri ini lebih terasa pada bagian bawah perut

sebelah kanan. Pada saat dipalpasi pasien terlihat kesakitan. Keluhan tidak

disertai demam, batuk, sesak nafas, sakit kepala.. Riwayat operasi usus

sebelumnya tidak ada.. Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes

mellitus, hipertensi, dan Asma.

 RPT : (-)
42

 RPO : (-)

 RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

 Keadaan Umum : Tampak Sakit

Vital Sign

 Sensorium : Compos Mentis

 Tekanan Darah : 120/90 mmHg

 Nadi : 90x/menit

 RR : 20x/menit

 Suhu : 37,00C

 Tinggi Badan : 165 cm

 Berat Badan : 52 kg

Pemeriksaan Umum

 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)

 Kepala : Normocepali

 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-

 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)

 Leher : Pembesaran KGB (-)


43

Thorax

Paru

 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan

abdominotorakal, retraksi costae -/-

 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

 Perkusi : sonor seluruh lapang paru

 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen

 Inspeksi : Datar, Simetris

 Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar dan Lien tidak teraba

 Perkusi : Nyeri Ketok (+)

 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

 Ekstremitas : edema -/-

Genitalia : Tidak diperiksa

Pemeriksaan Penunjang :

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

 Hb : 13,7 g/dl

 HT : 42,4 %

 Eritrosit : 4,6 x 106/µL

 Leukosit : 7,700 / µL

 Trombosit : 235,000/µL
44

Metabolik

 KGDS : 82 mg/dl

 Asam Urat :-

Fungsi Ginjal

 Ureum: 18 mg/dl

 Kreatinin: 0,58 mg/dl

Diagnosis : Appendisitis kronis

4. RENCANA TINDAKAN

 Tindakan : Appendectomy

 Anesthesi : RA-SAB

 PS-ASA :1

 Posisi : Supinasi

 Pernapasan : spotan + Kanul nasal O2

5. KEADAAN PRA BEDAH

Pre operatif

B1 (Breath)

 Airway : Clear

 RR : 20x/menit

 SP : Vesikuler ka=ki

 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)
45

 Akral : Hangat/Merah/Kering

 TD : 120/90 mmHg

 HR : 90 x/menit

B3 (Brain)

 Sensorium : Compos Mentis

 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

 RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

 Urine Output : -

 Kateter : tidak terpasang

B5 (Bowl)

 Abdomen : Soepel

 Peristaltik : Normal (+)

 Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

 Oedem : (-)

6. PERSIAPAN OBAT RA-SAB

Intratekal

 Bupivacaine 0,5% : 20 mg

 Fentanyl : 25 mcg

Jumlah Cairan

 PO :-

 DO : RL 500 cc + 500 cc
46

 Produksi Urin :-

Perdarahan

 Kasa Basah :-

 Kasa 1/2 basah :3x5 = 15 cc

 Suction : -

 Jumlah : 15 cc

 EBV : 52 x 65 = 3380 cc

 EBL 10 % = 338 cc

20 = 676 cc

30 % = 1014 cc

Durasi Operatif

 Lama Anestesi = 13.15 s/d selesai WIB

 Lama Operasi = 13.25 – 14.05 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB

 Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan

betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) →

injeksi bupivacain 0,5% 20 mg + fentanyl 20 mcg → posisi supine →

atur blok setinggi T4.

7. POST OPERASI

 Operasi berakhir pukul : 14.05 WIB

 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan

darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.


47

 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9

o Pergerakan :2

o Pernapasan :2

o Warna kulit :2

o Tekanan darah :2

o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI

 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah

dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta

vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk

bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal

headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

 IVFD RL 92gtt/menit

 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal

 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV

 Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah


48

DAFTAR PUSTAKA

Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.

EGC. Jakarta. pp:229-231

Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC

Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta

Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto,

Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147–

200

Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit

Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi