Vous êtes sur la page 1sur 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan Sindrom Gradenigo


Sindrom gradenigo merupakan kasus yang jarang, terdiri dari trias gejala yaitu
otore, nyeri retroorbita dan parese nervus abdusen ipsilateral. Sindrom gradenigo
sering terjadi pada petrositis yang merupakan salah satu komplikasi yang jarang pada
otitis media supuratif kronis. Tomografi komputer atau magnetic resonance imaging
memegang peranan penting pada sindrom gradenigo untuk membedakan petrositis
dengan penyakit non inflamasi.1,2
Sindrom gradenigo pertama kali diperkenalkan tahun 1907 oleh Guisseppe
Gradenigo. Sindrom ini terjadi akibat komplikasi otitis media karena inflamasi pada
apeks petrosus tulang temporal, menyebabkan komplikasi intra temporal yang cukup
jarang terjadi1,2,3
OMSK dengan adanya kolesteatom digolongkan kepada OMSK tipe bahaya
atau maligna yang secara umum membutuhkan terapi pembedahan.1,2,3
Komplikasi OMSK dibagi menjadi komplikasi intra temporal dan komplikasi
intrakranial. Komplikasi intratemporal antara lain mastoiditis yang dapat
berhubungan dengan abses subperiosteal dan abses leher dalam inferior (Bezold),
petrositis, labirinitis dan kelumpuhan nervus fasialis. Komplikasi intrakranial antara
lain abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, abses otak, hidrosefalus otitis,
meningitis dan abses subdural. 1,2,3
Walaupun kasus ini jarang ditemukan namun sindrom gradenigo harus
ditangani segera karena dapat berakibat fatal.Neuroanatomi nervus abdusen (N.VI)
dan nervus trigeminus cabang oftalmika (N.V1) pada regio temporal menjelaskan
patofisiologi sindrom gradenigo pada petrositis. 5,6,7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam.8

Gambar 2.1 Anatomi Telinga8


2.1.1 Telinga luar
Telinga luar merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar meliputi daun
telinga atau pinna, Liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang
telinga atau membrana timpani. 8,9
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Daun telinga berfungsi
untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju
gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk

2
menangkap suara dan bagian terpenting adalah liang telinga. Saluran ini merupakan
hasil susunan tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit tipis.9
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga
luar dan tulang di dua pertiga dalam. Liang telinga memiliki panjang kira-kira 2,5 - 3
cm. Di dalam liang telinga terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti
lilin yang disebut serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang
memproduksi sedikit serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat
gendang telinga yang meneruskan suara ke telinga tengah.9

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga Dalam Rongga telinga dalam dibatasi sekelilingnya oleh tulang
temporal (pars petrosus). Di dalamnya terdapat sistem keseimbangan (vestibular)
yang terdiri dari tiga buah canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis
posterior, dan canalis semicircularis lateralis bersama sacculus dan utriculus di dalam
vestibulum. Selain itu terdapat pula organ pendengaran yang terdiri dari cochlea.
Cochlea ini menyerupai rumah siput dengan permukaan dalam yang berbentuk
spiral.10
Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi
menghantarkan bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan
ruang telinga dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh
foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat bagian-
bagian sebagai berikut:10
• Membran timpani.
• Kavum timpani.
• Prosesus mastoideus.
• Tuba Eustachius.
2.1.2.1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Ketebalannya rata-rata 0,1 mm.
Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring

3
yang arahnya dari belakang luar ke depan dalam dan membuat sudut 45 o dari dataran
sagital dan horizontal. Membran timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak
dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari
umbo ke depan bawah tampak refleks cahaya (cone of light).10
Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian :11
1. Pars tensa
2. Pars flasida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih
tipis dari pars tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior ( lipatan muka).
b. Plika maleolaris posterior ( lipatan belakang)
2.1.2.2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosus dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan
diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : bagian
atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.12
Atap kavum timpani.
Dibentuk tegmen timpani, memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan
lobus temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosus tulang
temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama. 12
Lantai kavum timpani
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus
jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah
merembet ke bulbus vena jugularis. 12
Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga
merupakan dinding lateral dari telinga dalam. 12
2.1.2.3. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral
fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini.12

4
Pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Prosesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), dimana tidak ditemui sel sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel -sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini
besar. 12
2.1.2.4. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.
Bentuknya seperti huruf S. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan
ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm. 10
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).10

2.1.3 Telinga dalam


Anatomi Telinga Dalam Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal
bagian petrosus, di dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD
yaitu labirin, merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga
TD yang dilapisi epitel.13
Telinga dalam terdiri dari labirin osea, yaitu sebuah rangkaian rongga pada
tulang pelipis yang dilapisi periosteum yang berisi cairan perilimfe & labirin
membranasea, yang terletak lebih dalam dan memiliki cairan endolimfe.9
Di depan labirin terdapat koklea. Penampang melintang koklea terdiri atas tiga
bagian yaitu skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Bagian dasar dari skala
vestibuli berhubungan dengan tulang stapes melalui jendela berselaput yang disebut
tingkap oval, sedangkan skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui
tingkap bulat.9
Bagian atas skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau membran
Reissner dan sebelah bawah dibatasi oleh membran basilaris. Di atas membran

5
basilaris terdapat organ corti yang berfungsi mengubah getaran suara menjadi impuls.
Organ corti terdiri dari sel rambut dan sel penyokong. Di atas sel rambut terdapat
membran tektorial yang terdiri dari gelatin yang lentur, sedangkan sel rambut akan
dihubungkan dengan bagian otak dengan N.vestibulokoklearis.9
Selain bagian pendengaran, bagian telinga dalam terdapat indera keseimbangan.
Bagian ini secara struktural terletak di belakang labirin yang membentuk struktur
utrikulus dan sakulus serta tiga saluran setengah lingkaran atau kanalis semisirkularis.
Kelima bagian ini berfungsi mengatur keseimbangan tubuh dan memiliki sel rambut
yang akan dihubungkan dengan bagian keseimbangan dari N. vestibulokoklearis.9

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam


(Organo korti/Koklea) 9
2.2 Anatomi Petrosus
Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel-
sel udara sampai ke apeks os petrosus. Bagian petrosus atau sering disebut petrosus
pyramid, merupakan tulang padat di cranium, berbentuk kerucut atau piramida dan
tebal. Bagian dari tulang temporal ini berisi organ pendengaran dan keseimbangan.
Dari dasar squama dan mastoid, petrosus terlihat di bagian medial dan bagian depan
antara greater wing dari tulang sphenoid dan tulang oksipital ke badan tulang
sphenoid yang terdapat di puncak artikulasi. Arteri karotis interna di karotis kanalis
memasuki bagian bawah petrosus, melewati atas koklea, kemudian melewati bagian
medial untuk keluar menuju petrosus apex. Dekat petrosus apex adalah foramen kasar

6
yang disebut foramen lacerum. Saluran karotis membuka foramen ini, dan di
dalamnya berisi arteri karotis interna. Di tengah bagian belakang petrosus terdapat
internal acoustic meatus (IAM), tempat saraf vestibulocochlear dan saraf wajah.
Batas atas dari petrosus sering disebut sebagai petrosus ridge. Bagian atas ridge
disebut top of ear attachment (TEA).13.

Gambar 2.3 Basis Cranii Interna tampak superior14

7
Gambar 2.4 Os Temporal tampak inferior 15

Gambar 2.5 Apeks Petrosus tampak superior 16

2.2.1 Persarafan di Daerah Petrosus


Guisseppe Gradenigo menyatakan hubungan anatomi apek petrosus tulang
temporal dengan perjalanan nervus trigeminus cabang oftalmika dan nervus abdusen
menyebabkan nervus tersebut mudah cedera akibat inflamasi ataupun trauma. Secara
neuroanatomi ganglion trigeminal terletak di kavum Meckel basis kranii di antero-
superior apek os petrosus, tepat di lateral bagian posterolateral sinus kavernosus.

8
Ganglion ini membentuk tiga buah cabang nervus trigeminus ke area wajah yang
berbeda, yaitu nervus oftalmikus (V1) yang keluar dari tengkorak melalui fisura
orbitalis superior, nervus maksilaris (V2) yang keluar melalui foramen rotundum dan
nervus mandibularis (V3) yang keluar melalui foramen ovale. Nervus trigeminus
cabang oftalmika merupakan serabut sensorik bola mata. Sedangkan nukleus nervus
kranial abdusen terletak di kaudal tegmen pontis, tepat di bawah ventrikel keempat.
Nervus abdusen keluar dari batang otak kemudian berjalan disepanjang klivus yaitu 1
cm di bawah apek petrosus pada ligamen petroklinoid bersama nervus trigeminus
cabang oftalmika yang kemudian masuk ke kanal Dorello. Melalui kanal ini nervus
abdusen dan nervus trigeminus cabang oftalmika berjalan ke sinus petrosusl inferior
selanjutnya menembus duramater yang kemudian bergabung dengan saraf saraf otot
mata lain di sinus kavernosus. Nervus ini terus menuju ke fisura orbita superior
masuk ke medial muskulus rektus lateral (gambar 2.6). Nervus abdusen bekerja pada
muskulus rektus lateral untuk menggerakkan bola mata ke lateral. Inflamasi disekitar
daerah tersebut akan mengiritasi nervus abdusen sehingga melumpuhkan muskulus
rektus lateral dan mengiritasi nervus trigeminus cabang oftalmika yang menimbulkan
rasa nyeri pada retroorbita. Oleh karena itu sindrom gradenigo dapat ditemukan pada
petrositis akibat komplikasi suatu OMSK.17,18,19

Gambar 2.6 Perjalanan nervus abdusen ke otot mata tampak lateral, yang
melewati petrosus tulang temporal.16

9
Gambar 2.7. Perjalanan nervus oftalmikus (N.V1)14

2.3 Sindrom Gradenigo


2.3.1 Definisi
Pada tahun 1907 Guisseppe Gradenigo menggambarkan kompleks gejala
otitis media supuratif, rasa sakit dalam distribusi saraf trigeminal, dan kelumpuhan
saraf abdusen. Sejak munculnya antibiotik, kejadian dari kondisi yang berpotensi
fatal ini telah berkurang, tetapi kadang-kadang masih terjadi. Karena gejalanya halus,
kondisinya sering terlambat. Pengetahuan tentang etiologi dan pemeriksaan yang
tepat dapat mengarahkan ke diagnosis dini.20

2.3.2 Etiologi
Etiologi sindrom Gradenigo21
 Petrositis apikal sekunder terhadap otitis media supuratif
 Peradangan ekstradural pada apex petrosus yang melibatkan: ganglion
trigeminal dan saraf abdusen

10
Gambar 2.8 petrositis komplikasi otitis media21

Selain peradangan pada apex petrosus, kerusakan nervus abdusen di puncak


os petrosus memiliki 4 penyebab lain yaitu22 :
1. Mastoiditis atau infeksi telinga tengah yang menyebabkan peradangan difus os
petrosus.
2. Trombosis sinus lateralis yang mengakibatkan peningkatan TIK.
3. Karsinoma nasofaring atau tumor sinus paranasal yang menginfiltrasi fissura di
basis kranii.
4. Parese nervus abdusen transient benigna.
Ada lima tempat potensial terjadinya lesi pada nervus abdusen yaitu lesi
tingkat nukleus atau fasikulus, lesi tingkat subarakhnoid atau basiler, lesi tingkat
puncak petrosus, lesi tingkat sinus kavernosus dan lesi di tingkat fissura orbita
superior dan orbita. 22

2.3.3 Gejala
Sindrom gradenigo memiliki kompleks gejala yaitu otitis media supuratif, rasa
sakit dalam distribusi saraf trigeminal, dan kelumpuhan saraf abdusen. Petrositis
dengan gejala yang lengkap memenuhi kriteria trias sindrom gradenigo sangat jarang,
hanya 24 kasus yang ditemukan dari 57 kasus yang diteliti oleh Gradenigo.

11
Kriteria diagnostik dari Sindrom Gradenigo:20
 Otitis media supuratif
 Nyeri dalam distribusi saraf trigeminal
 Kelumpuhan saraf abdusen
Adanya petrositis sudah harus dicurigai, apabila pada pasien otitis media
terdapat keluhhan diplopia, karena kelemahan N.VI. Sering kali disertai dengan rasa
nyeri di daerah parietal, temporal atau oksipital, oleh karena terkenanya N.V.,
ditambah dengan terdapatnya otore yang persisten, terbentuklah suatu sindrom
Gradenigo. Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar
terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi. Sindrom gradenigo
tidak hanya terdapat pada petrositis tapi juga bisa pada trombosis sinus lateral akibat
komplikasi OMSK. Trombosis sinus lateral terjadi akibat penyebaran infeksi pada
sinus lateral melalui dehiscence tulang diatasnya sebagai salah satu akibat komplikasi
OMSK. Gejala klinisnya berupa trias sindrom gradenigo, demam, anemia, dan
berlanjut dengan gejala septik emboli seperti papil edema, sakit kepala hebat yang
menandakan perluasan inflamasi ke sinus kavernosus melalui sinus petrosus superior
dan inferior yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat
gangguan drainase otak. Papil edema dapat merupakan gejala dari suatu trombosis
sinus lateral atau trombosis sinus kavernosus.23,24

2.3.4 Patofisiologi
Terdapat beberapa cara penyebaran infeksi dari telinga tengah ke os petrosus.
Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel-sel udara yang terdapat pada apeks os
petrosus. Guisseppe Gradenigo menyatakan hubungan anatomi apek petrosus tulang
temporal dengan perjalanan nervus trigeminus cabang oftalmika dan nervus abdusen
menyebabkan nervus tersebut mudah cedera akibat inflamasi ataupun trauma.
Inflamasi disekitar daerah tersebut akan mengiritasi nervus abdusen sehingga
melumpuhkan muskulus rektus lateral dan mengiritasi nervus trigeminus cabang
oftalmika yang menimbulkan rasa nyeri pada retroorbita. Oleh karena itu sindrom
gradenigo dapat ditemukan pada petrositis akibat komplikasi suatu OMSK. 17,18,19

12
Pada pasien dengan infeksi otitis media supuratif dapat menyebar ke apeks
petrosus tulang temporal, sehingga menimbulkan petrositis apikal. Penyebaran infeksi
mungkin melalui saluran sel udara pneumatised, melalui saluran vaskular, atau
sebagai akibat dari perluasan langsung melalui fasia.21
Dekat dengan apeks petrosus, terpisah oleh dura mater, terletak ganglion
trigeminal. Saraf abducens terletak medial dan berdekatan dengan ganglion
trigeminal. Peradangan ekstradural sekunder untuk petrositis apikal dapat
mempengaruhi struktur di atas dan menimbulkan gejala sindrom Gradenigo.
Penyebaran infeksi lebih lanjut dapat menimbulkan komplikasi lain. 21

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis sindrom gradenigo pada petrositis akibat komplikasi OMSK
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tomografi komputer atau MRI. Pemeriksaan tomografi komputer mastoid dan atau
MRI sangat penting untuk membedakan inflamasi dengan penyakit non inflamasi
pada apek petrosus tulang temporal.5,6,7
Pemeriksaan penunjang mengambil bentuk pencitraan tulang temporal
petrosus menggunakan modalitas yang berbeda. Computed tomography akan
menunjukkan bukti kekeruhan udara petromastoid, kemungkinan kerusakan tulang,
dan sangat membantu dalam mendiagnosis bukti pembentukan abses intrakranial.25,26
Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan perubahan peradangan pada
apeks petrosus. Pemindaian tulang radioisotop menunjukkan peningkatan serapan di
apeks petrosus dan karenanya membantu lokalisasi proses penyakit. Kelompok pasien
tertentu lebih rentan untuk mengembangkan kondisi ini: mereka termasuk penderita
diabetes, mereka yang steroid dosis tinggi, dan pasien imunosupresif, termasuk tentu
saja mereka dengan AIDS. Oleh karena itu semua ini perlu diselidiki. 27
Pemeriksaan radiologi dengan tomografi komputer atau MRI sangat penting
dalam membuat diagnosis sindrom gradenigo ec petrositis. Tomografi komputer
mastoid atau MRI dapat membedakan suatu inflamasi dengan non inflamasi pada os
petrosus tulang temporal. Adanya suatu inflamasi akan terlihat gambaran lesi berupa

13
perselubungan, cairan (air fluid level) atau pneumatisasi tidak beraturan pada tulang
temporal yang menandakan suatu destruksi atau erosi. Pneumatisasi adalah suatu
proses infiltrasi epitel perkembangan tulang dan membentuk rongga epitel berlapis
sel-sel udara. 28, 29
30
Dikutip dari Tornabe , Jacky dan Parker menyatakan tomografi komputer
sebagai pemeriksaan pilihan yang cukup sensitif dengan angka positif palsu yang
31
rendah. Damrose EJ menyatakan bahwa petrositis pada tomografi komputer
terlihat berupa bayangan opak atau koalesen pada sel udara di apek petrosus. Namun
pemeriksaan MRI lebih baik dibandingkan tomografi komputer karena pada MRI
dapat melihat gambaran jaringan lunak lebih jelas untuk menilai suatu inflamasi.

Gambar 2.9 MRI menunjukkan hiperintensitas di sel udara mastoid kiri dan
telinga tengah.

14
Gambar 2.10 Pemindaian tulang radioisotop menunjukkan peningkatan
serapan di apeks petrosus kiri

Diagnosis banding sindrom gradenigo ec petrositis antara lain granuloma


kolesterol, osteomilitis, trombosis sinus lateral, trauma tulang temporal, infiltrasi
tumor nasofaring, neoplasma seperti neuroma akustik, meningioma, kondroma dan
kordoma. 28, 29

2.3.6 Penatalaksanaan
Kesadaran akan gejala ditambah dengan pemeriksaan yang cepat penting
untuk pengenalan dini. Pengobatan petrositis ialah operasi serta pemberian antibiotika
protokol komplikasi intracranial. Terapi antibiotik dosis tinggi, baik sistemik dan
topikal, adalah perawatan pilihan. Ini harus diperpanjang untuk waktu yang lama
bahkan jika pasien tampak merespon secara memadai untuk rejimen pendek. Jika

15
penyakit ini berlanjut maka drainase bedah dalam bentuk petrosektomi apikal
mungkin diperlukan.27
Penatalaksanaan sindrom gradenigo pada petrositis tergantung kepada
etiologi. Sejak era antibiotik, tidak semua kasus petrositis membutuhkan intervensi
bedah. Pembedahan pada petrositis diperlukan bila tidak respon terhadap terapi
konservatif atau berpotensi untuk terjadi komplikasi intrakranial. Pada waktu
melakukan operasi telinga tengah dilakukan juga eksplorasi sel-sel udara tulang
petrosus serta mengeluarkan jaringan pathogen. Sesuai kepustakaan terapi konservatif
meliputi antibiotik sistemik intravena sesuai kultur sensitivitas selama 2 sampai 4
minggu, antiinflamasi sistemik intravena, cuci telinga dengan H2O2 3% dan
antibiotik tetes telinga. Sedangkan terapi operatif meliputi mastoidektomi dan bila
terjadi destruksi pada apek petrosus dilakukan petrosektomi. 30,31,32

2.3.7 Komplikasi
Keterlambatan dalam mendiagnosis petrositis ataupun terapi yang tidak
adekuat dapat berakibat fatal yaitu mengakibatkan komplikasi intrakranial seperti
abses ekstradural, sindrom horner, ruptur karotis, labirinitis dan meningitis.28,29
Kemungkinan gejala sisa sindrom Gradenigo21
 Meningitis
 Abses intrakranial
 Menyebar ke dasar tengkorak dan keterlibatan IX, X, XI saraf kranial
(sindrom Vernet)
 Abses prevertebral / parapharyngeal, menyebar ke pleksus simpatik di
sekitar lapisan karotis (carotid sheath)

2.3.8 Prognosis
Parese nervus abdusen pada kasus sindrom gradenigo akibat petrositis akan
mengalami perbaikan dan kembali normal seiring penyembuhan proses inflamasi
32
pada apek petrosus tulang temporal. Burston BJ dkk melaporkan 2 kasus parese

16
nervus abdusen pada petrositis yang diterapi konservatif mengalami pemulihan pada
muskulus rektus lateral setelah 6 sampai 12 minggu.
Hilding dan Price melaporkan satu kasus petrositis yang dilakukan
mastoidektomi dan pemberian antibiotik intravena mengalami pemulihan pada nervus
abdusen setelah 9 hari pasca operasi. 32

17
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom gradenigo merupakan kasus yang jarang, terdiri dari trias gejala yaitu
otore, nyeri retroorbita dan parese nervus abdusen ipsilateral. Sindrom gradenigo
sering terjadi pada petrositis yang merupakan salah satu komplikasi yang jarang pada
otitis media supuratif kronis. Tomografi komputer atau magnetic resonance imaging
memegang peranan penting pada sindrom gradenigo untuk membedakan petrositis
dengan penyakit non inflamasi.
Walaupun kasus ini jarang ditemukan namun sindrom gradenigo harus
ditangani segera karena dapat berakibat fatal.Neuroanatomi nervus abdusen (N.VI)
dan nervus trigeminus cabang oftalmika (N.V1) pada regio temporal menjelaskan
patofisiologi sindrom gradenigo pada petrositis.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Proctor B. Chronic Otitis Media and Mastoiditis. In : Paparella, Schumrick,


Gluckman and Meyerhoff editors. Otolaryngology. Third edition. Saunders.
1991:p. 1349-75.
2. Goycoolea M, Jung TTK. Complications of suppurative otitis media. In:
Paparella, Schumrick, Gluckman and Meyerhoff editors. Otolaryngology. Third
edition. Saunders. 1991:p.1382-99.
3. Chole RA, Sudhoff HH. Chronic Otitis Media, Mastoiditis, and Petrositis. In:
Cummings editors. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Fourth edition.
Elsevier mosby. 2005: p. 2989-3009.
4. Santiago MR, Almazan NA. Gradenigo Syndrome. Otolaryngology Head And
Neck Surgery. Philippine. 2008; 23 (2): 46-48.
5. Sherman SC, Buchanan A. Gradenigo Syndrome: A case report and review of
rare complication of otitis media. The journal of emergency medicine. Chicago
Illinois 2004; 253-56.
6. Yoong HS, Kiaang TK. Gradenigo’s syndrome presenting as a tumor. American
otolaryngology head and neck surgery. 2005; 135, 821-22. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang
7. Felisati D, Sperati G. Gradenigo syndrome andDorello’s canal. Acta
otorhinolaryngologica Italia. 2009;29: 169-72.
8. Soepardi EA, Iskandar I, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 2008
9. Hain TC. Tinnitus. England. Diakses pada 6 Juni 2017 http://www.dizziness-
and-balance.com/disorders/hearing/tinnitus.htm
10. Djaafar Z.A., 2001. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi E.A., Iskandar
N., Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi kelima. Jakarta: FKUI. h. 49-62.
11. Paparella M.M., Adams G.L., Levine S.C., 1997. ‘Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC. hal: 88-118.
12. Berman S. 2006. Otitis media in developing countries. Pediatrics. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7596700 [Accessed: 16 Mei 2015]
13. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa:
Staf pengajar FKUIRSCM. 16td ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 2002:105-9.
14. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25TH Edition. Jakarta: EGC,
2014
15. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal. Penerjemah: Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC
16. Baehr M. Brainstem. Topical diagnosis in neurology. 4 th edition. Thieme. 2005;
p. 101-80

19
17. Brazis P. Localization in clinical neurology. 5th edition. Williams L & Wilkins.
2007; p. 170-98.
18. Sedwick LA. Sixth nerve palsies in Neoroopthalmology the practical guide.
Thieme. 2005;p. 292-95.
19. BCSC section 5. Neuro-opthalmic anatomy. American academic of
ophthalmology. 2008-2009; p.1-57
20. Gradenigo G. Ueber die paralyse des Nervus abducens bei Otitis. Arch
Ohrenheilunde 1907;774:149–87.
21. Allam AF, Schuknecht HF. Pathology of petrositis. Laryngoscope
1968;78:1813–32.
22. Agarwal A. Abducent nerve and it lesions. In: Manual of neuro-opthalmology.
1st edition: 2009; p. 132-44.
23 Dorn M, Liener K, Rozsasi A. Prolong diplopia following sinus vein thrombosis
mimicking gradenigo’s syndrome. Otolaryngology 2006;70:741-43.
24. Scardapane A, Torto MD, Nozzi M, Ellio C, Breda L, Chiarelli F. Gradenigo’s
syndrome with lateral venous sinus thrombosis: successful conservative
treatment. Eur J Pediatr 2010; 169: 437-440.
25. Murakami T, Tsubaki J, Tahara Y, et al. Gradenigo’s syndrome: CT and MRI
findings. Pediatr Radiol 1996;26: 684–5.
26. Hardjasudarma M, Edwards RL, Ganley JP, et al. Magnetic resonance imaging
features of Gradenigo’s syndrome. Am J Otolaryngol 1995;16:247–50.
27. Gillanders DA. Gradenigo’s syndrome revisited. J Otolaryngol 1983;12:169–74.
28. Bidner A, Lee A. Gradenigo syndrome – A case report. ANZ nuclear medicine.
Aust. 2007;2-5.
29. Pedroso JL, et all. Gradenigo’s syndrome: Beyond the classical triad of diplopia,
facial pain and otorrhea. Neurology and neurosurgery, medicine. Brazil. 2011;
45-47.
30. Tornabe S, Vilke GM. Gradenigo’s syndrome. Clinical Communications: Adult.
The journal of emergency medicine. Chicago Illinois. 2010; 449-51.
31. Damrose EJ, Petrus LV, Ishiyama A. Radiology forum: quiz case 2. Diagnosis:
petrosus apicitis with secondary abducens nerve palsy. Arch Otolaryngol Head
Neck Surg 2001;80:305-7.
32. Burston BJ, Pretorius PM, Ramsden JD. Gradenigo’s syndrome: succeefull
conservative treatment in adult and paediatric patients. The journal of
Laryngology and Otology. 2005; 325-29.

20

Vous aimerez peut-être aussi