Vous êtes sur la page 1sur 18

INFORMED CONSENT

I. PENDAHULUAN
“Informed consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang
berarti persetujuan atau memberi izin. Consent dibagi menjadi 2 yaitu
expressed yang berarti dapat secara lisan atau tulisan, implied yang berarti
yang dianggap telah diberikan. Jadi “informed consent” mengandung
pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.
Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan
yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta risiko
yang berkaitan dengannya.1,2
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya
tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan
kelalaian.Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau
keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.3
Pelaksanaan informed consent wajib hukumnya bagi dokter/dokter gigi.
Jika kewajiban informed consent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu
pihak, baik dokter maupun pasien. Apabila pasien tidak puas dengan informasi
yang diterima tentang barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter
menganggap informed consent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar
untuk dikerjakan, maka dapat mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum,
terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan kesehatan.1,2
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal,
ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang
“informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti
para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan
melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan
pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari
pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.4

II. FUNGSI DAN TUJUAN INFORMED CONSENT


Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan untuk
melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek
yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;1
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis
yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment”
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan
teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam
batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan
kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan
(ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman
sejawat lainnya.Perlunya memberi inform consent pada pasien adalah untuk:2
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien; 5
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang
tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan
semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.5
Fungsinya dimintakan informed consent dari pasien karena informed
consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :6

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati
pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal


yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang
paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting,
namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat
bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter
berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan
sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk
menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir
dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of
necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik.Hal ini dijabarkan
dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed
consent.7
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek
dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh
pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat
dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan
tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan
perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan
kesengajaan adalah sebagai berikut :1

1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter,


tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko
dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

III. BENTUK PERSETUJUAN INFORMED CONSENT


Informed Consent dalam profesi kedokteran (juga tenaga kesehatanan
lainnya) adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari pasien yang
diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi
cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.1,8
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu
tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam
keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan
atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam
keadaan gawat darurat ”Emergency” memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya
pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik
menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11). Informed consent
juga bisa dalam bentuk dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan
dinyatakan secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada
tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan
kuku, sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan
medis yang mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan perlu
surat pernyataan dari pasien/keluarga. Secara detail pembahagian dan
contohnya adalah seperti berikut:1
1. Implied Consent
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya
dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari
isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Pasien menyetujui penjelasan
yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan oleh dokter dengan
isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin untuk
pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya
menghulurkan tangan untuk pengambilan darah.1

2. Explicit / Express Consent


Express atau explicit consent adalah dimana pasien dengan jelas
menyatakan persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini
bisa dalam bentuk verbal atau tulisan. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya
mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum
dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi1,8
3. Verbal consent
Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien
menyetujui tindakan medis dokter secara verbal.1,8
4. Written consent
Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan
medis secara bertulis pada lembar inform consent yang telah
disediakan.1

Keadaan Dibutuhkan Persetujuan Tertulis


Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya
tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa
dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent
adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang
kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
(ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun
sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent
secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati
sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan
disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai
alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan
pasien. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan
pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan
tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan
dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan
pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap
telah terjadi perjanjian terapeutik.1
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :1
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko
atau efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial
pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

IV. INFORMASI YANG WAJIB DIBERIKAN DALAM INFORMED


CONSENT
Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai
diagnosis dapat meliputi:1
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka
sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.

Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang


tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :1
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan
sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.

Serta alternatif tindakan lain dan risikonya.1


a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternatif tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan
darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.

Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi juga harus diberikan1.


Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua
risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang
prognosis meliputi :
a. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

V. KETENTUAN INFORMED CONSENT


Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES 290
Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang
dimaksud adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-sudara kandung atau pengampunya1,4
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus
mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten
karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak
dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan
diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika
pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang
ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien. Dokter atau
dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.1
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.1
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :1

1. Keadaan darurat medis


2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat
dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab
dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk
memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak.
Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan
penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter
pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara
benar dan layak.8
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima
persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin
bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang
diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya–untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara
benar dan layak.8
Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan
Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak
suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien
tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila
konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah
pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek
kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien,
tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya.8
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan
kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat
mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat
keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan
sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus
secara jelas didokumentasikan dengan baik.8
Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya
oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan,
misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah
keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut
cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih
berlaku atau tidak.8
Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka
dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum
tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien
bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh
karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Lama Persetujuan Berlaku
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila
informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau
alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan
persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara
saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah
lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih
berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi
mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki
pertanyaan.8

VI. ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.1
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan
hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu
dapat diterapkan.9
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok
ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika
terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka
sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.9
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan
adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil
(ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok
ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.7
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh
pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak
pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan
sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien
mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa
adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat
dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.3
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit
untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap
masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.7
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam:7
1. Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban
umum yang harus dipenuhi oleh seorang dokter terutama pada pasal 5,
dimana tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.1
2. Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasal 45 dan Pasal 25 huruf d dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan
Dokter Gigi Pasal 17 bahwa :10
a. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka
memperoleh persetujuan tindakan medic, baik dokter atau dokter
gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban
untuk saling member informasi.
b. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter
gigi dan memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan
dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolah (refuse)
tindakan medik yang akan dilakukan padanya.
c. Setiap tindakan medic yang akan dilakukan kepadda pasien,
mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan.
Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan
secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak
memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga
yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara
kandung) atau wali atau pengampunya.
3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu
harus dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai
dengan aturanhukum yang berlaku. Di Indonesia, yang menjadi dasar
hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan medik adalah sebagai
berikut 10 .
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
a. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran

b. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaraan praktik dokter
dan dokter gigi

d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/ Medical
Record

f. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.

g. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun


1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan
tanggal 21 April 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik).

HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER

Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi


mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban
ini diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :10

Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai


hak :

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar


prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau


keluarganya; dan

d. Menerima imbalan jasa.

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai


kewajiban :

a. Memberikan pelayanan medis


b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien;

c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;

d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan


juga setelah pasien itu meninggal dunia;

e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila


ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu


kedokteran atau kedokteran gigi.

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN

Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun


mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban
ini diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :1

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis; dan

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai


kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan


memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

VII. KESIMPULAN
Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan kesehatan yang
akan dijalani oleh seorang pasien setelah pasien tersebut mendapatkan
informasi (penjelasan) yang lengkap dari dokter yang akan melakukan
tindakan tersebut. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua pihak, atau perjanjian yang bersifat khusus,
karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak bisa menjanjikan sesuatu
dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi seorang dokter akan selalu
berupaya semaksimal mungkin menurut standar pelayanan dan keilmuan
tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya penyembuhan dan
penyelamatan nyawa seseorang.Karena setiap tindak dalam pelayanan
kesehatan mengandung resiko, maka dari itu informed concent lebih
cendrung kearah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak
lain.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-


Making in Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1st Edition.
Queensland. Queensland Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-
59.
2. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with
Informed Consent. University of Texas. Texas. Available from http://
www. ethicalissues-pdf.com. Accessed 7th October 2013.
3. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Indonesia. Available: www.codigo_penal_Indonesia.com. Accessed 6th
October 2013.
4. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008. Accessed 7th October 2013.
5. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga
Medik, Rumah Sakit dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta. November 2010. Accessed 8th
October 2013.
6. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com. Accessed 7th October 2013.
7. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di
Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor
15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
Accessed: 6th October 2013.
8. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review
Committee. World Health Organization. Available:
http://www.who.int/rpc/research_ethics . Accessed: 8th October 2013
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik
Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta. 1991. Accessed 7th October 2013.
10. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004. Accessed
7th October 2013.

Vous aimerez peut-être aussi