Vous êtes sur la page 1sur 8

Analisis Tentang landasan Hukum Keuangan Publik terhadap Pembiayaan

Pendidikan
(UUD 45, UU Sisdiknas, UU Otonomi Daerah dan UU APBN)

Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) Pasal 31 Ayat 1-4
Tentang Pendidikan dan Kebudayaan yang berbunyi :
“1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, 2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3)Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang, 4) Negara memperioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.”

Dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :


“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara”.
Pasal 11 Ayat 2
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima
belas tahun.”
Pasal 12, Ayat 1
“Setiap peserta didik pada setiap tahun pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi
yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Setiap
peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan,
kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34
Setiap Warga Negara yang berusia 6(enam) tahun dapat mengikuti program wajib
belajar, pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar
merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Dana pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan dalam
APBN dan APBD.
UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran untuk
meningkatkan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerinta,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidikan diatur dengan PP.
Pasal 49 ayat 1 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang berbunyi :
“1) Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)”.
Dalam UU Otomoni Daerah No.23 Tahun 2014 :
“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Dalam UU APBN No.15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun 2018, Pasal 1 Ayat 31 yang berbunyi :
“Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang
dianggarkan melalui kemeterian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan
melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui
pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran
pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah”
“Persentase anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan
terhadap total anggaran belanja negara”
Pasal 20 No.1 -3 yang berbunyi :
“1) Anggaran Pendidikan direncanakan sebesar Rp.444.131.393.403.000,00 (empat ratus
empat puluh triliun seratus tiga puluh satu miliar tiga ratus sembilan puluh tiga juta empat ratus
tiga ribu rupiah)., 2) Persentase Anggaran Pendidikan adalah sebesar 20,0 % (dua puluh koma
nol persen), yang merupakan perbandingan alokasi Anggaran Pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap total anggaran Belanja Negara sebesar
Rp.2.220.656.966.577.000,00 (dua kuadriliun dua ratus dua puluh triliun enam ratus lima puluh
enam miliar sembilan ratus enam puluh enam juta lima ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah), 3)
Alokasi Anggaran Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk alokasi untuk
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional sebesar Rp.15.000.000.000.000,00 (lima belas
triliun rupiah).

Dari landasan hukum tentang pembiayaan pendidikan di Indonesia yang telah


disebutkan di atas dapat kita menarik suatu kritikal isu dalam pembiayaan pendidikan kita.
Salah satu kritikal isu adalah apakah biaya pendidikan yang telah diatur dalam UUD 1945 dan
telah diperjelas dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, UU Otonomi daerah dan UU APBN
No.15 tahun 2017 yang telah dianggarkan dalam APBN dan APBD 20% untuk membiayai
pendidikan sudah tepat sasaran?
Dalam sebuah Jurnal yang ditulis Armida (vol 26 No.1;2011) mengatakan bahwa model
pembiayaan pendidikan memiliki dua sisi yaitu sisi pengalokasian dan sisi penghasilan. Seperti
yang dikatakan oleh John S.Mrophet, pada dasarnya pembiayaan diklasifikasikan menjadi dua
model, yaitu :
a. Flat Grand Model
Flat Grand Model menggunakan system distribusi dana, semua distrik atau
Kabupaten/kota menerima jumlah dana yang sama untuk setiap muridnya tidak
memperlihatkan perbedaan kemampuan daerah. Daerah yang sumber dayanya
kaya raya dan daerah yang sumber daya alamnya tidak mendukung (miskin),
untuk membiayai program pendidikan setiap menerima dan dengan jumlah
yang sama dan dihitung biaya per siswa dalam 1 (satu) tahun yang direfleksikan
sebagai kebutuhan yang bervariasi dalam unit biaya yang diberikan kepada
sekolah.
b. Equalization Model
Equalization Model ini bertitik tolak pada ability to pay (kemampuan
membayar) masyarakat. Masyarakat yang miskin tentu perlu menerima bantuan
dana lebih serius dibanding dengan masyarakat yang incomenya lebih tinggi.
Karena itu sekolah miskin akan memperoleh kesempatan sejajar dengan sekolah
lainnya, artinya setiap daerah akan menerima jumlah dana yang berbeda tiap
tahun tergantung bagaimana membagi sesuai kepada kemampuan daerah.
Daerah miskin akan menerima 5 per mil ditambah 7 per mil dana dasar daerah.
Untuk kondisi Indonesia, model pembiayaan tidak bisa terlepas dari subsidi pemerintah
pusat, sekalipun telah ada wewenang sebagaimana diamanatkan UU otonomi daerah. Hal ini
dikarenakan kemampuan sumber daya alam yang sangat berbeda atau penghasilan (PAD) yang
sangat rendah, serta kesadaran pada pembangunan inverstasi pendidikan.
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu sisi
anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan.(Nanang Fattah, 2006:23)
Perhitungan biaya dalam pendidikan akan ditentukan oleh unsur-unsur tersebut yang
didasarkan pula pada perhitungan biaya nyata (the real cost) sesuai dengan kegiatan menurut
jenis dan volumenya. Dalam konsep pembiayaan pendidikan dasar ada dua hal penting yang
perlu dikaji atau dianalisis yaitu biaya pendidikan secara keseluruahn (total cost) dan biaya
satua per siswa (unit cost). Biaya satuan di tingkat sekolah merupakan aggregate biaya
pendidikan tingkat sekolah, baik yang bersumbr dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat
yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan dalam satu tahun.
Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan
sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah
diberbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.
Ditinjau lebih jauh, pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik terhadap
pendidikan. Misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam APBN. Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No.18 tahun 2006 tentang APBN 2007 yang
mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah
ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada tahun 2006 lalu, dimana Pemerintah
tidak merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No.13 tahun 2005 tentang APBN
2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1% bertentangan dengan UUD 1945.
Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh
jenjang pendidikan di negeri ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidkan sebesar 20%
dari APBN dan APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No.20 tahun 2003 Tentang
Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor
kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping terus
mengupayakan secara bertahap anggaran pendidikan menuju 20%
Dan jika Berdasarkan UU Sisdiknas diatas dapat penulis analisis dari kenyataan dan
data lapangan terkait pelaksanaan UU tersebut apakah sudah sesuai dengan apa yang
direncanakan dan sudah secara menyeluruh dalam pengalokasian dana pendidikan sebesar
20%, menurut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut Daryanto yang saya kutip
dari kabar24.bisnis.com mengatakan bahwa data mengenai pendapatan daerah belum jelas, dan
dengan hanya mengantungkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) saja dapat menjadi
persoalan. Dalam kesempatan tersebut, Irjen Kementerian Dalam Negeri, Sri Wahyuningsih
mengungkapkan sumber pendanaan pendidikan di daerah mencakup hibah, Bantuan
Operasional Sekolah, tunjangan profesi guru, dana insentif daerahm dana alokasi khusus, dana
bagi hasil dana alokasi umum, pendapatan asli daerah, bantuan atau sumbangan swasta. Saat
alokasi anggaran 20% belum terpenuhi, dirinya menganjurkan untuk mengurangi hibah
bansos.” Alokasi anggaran itu 20% dari APBD, dan apabila belum terpenuhi hibah bansos bisa
dikurangi,”katanya.
Daryanto menyampaikan bahwa kemendikbud mengeluarkan Neraca Pendidikan
Daerah (NPD) untuk mengurangi pelanggaran peratuaran alokasi anggaran pendidikan harus
20%. Menurutnya, kehadiran NPD sudah cukup dan sangat jelas dan bagian setiap unsur yang
memenuhi sudah dijelaskan. Adapun neraca Pendidikan Daerah dapat ditemukan di
http://npd.data.kemdikbud.go.id. NPD memuat informasi tentang :
1. Anggaran Pendidikan yang dialokasikan daerah untuk pendidikan (menurut urusan)
dan yang diterima daerah dari pusat (transfer pusat ke daerah untuk bidang
pendidikan.)
2. Jumlah kondisi dan akreditasi Satuan Pendidikan,
3. Jumlah peserta didik dan guru serta nisbahnya,
4. Capaian Pendidikan (nilai Ujian Nasional, nilai Ujian Kompetensi Guru, Indeks
Integritas UN).
5. Presentase Penduduk Tuna Aksara, serta
6. Indeks Pembangunan Manusia (berdasarkan angka harapan lama sekolah dan rata-
rata lama sekolah).

Berdasarkan Databoks, Katadata Indonesia Pemerintah berkomitmen untuk


mengalokasikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 untuk
pendidikan dengan tujuannya meningkatkan kualitas pendidikan serta mencapai sasaran
program pemerintah. Di antaranya adalah Program Indonesia Pintar ditargetkan dapat
dimanfaatkan oleh 19,7 jiwa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk 56 juta siswa, Bidik
Misi untuk 401 ribu mahasiswa, serta perbaikan ruang ruang kelas
Indikator pendidikan juga ditargetkan mengalami perbaikan pada tahun ini. Angka
Partisipasi Kasar diharapkan meningkat menjadi 89,7% dari 88,1% (outlook 2017) dan Angka
Partisipasi Murni meningkat menjadi 65,3 persen dari sebelumnya 63,4%.
Guna mencapai target tersebut, pemerintah mengalokasikan Rp 444,1 triliun untuk
anggaran pendidikan, yang berarti meningkat Rp 24,3 triliun naik 5,8% dari anggaran
sebelumnya. Jumlah tersebut mencapai 20% dari total belanja negara sebesar Rp 2.220,7
triliun.
Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa Pemerintah selalu berupaya memberikan
Anggaran yang terbaik untuk pendidikan di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari kenaikan
anggaran untuk tiap tahunnya walaupun ada penurunan pada tahun 2016, grafik diatas
menunjukkan anggaran pendidikan pada tahun 2014 sebesar 353,4 Triliun, tahun 2015
meningkat sebesar 390,1 Triliun, tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 370,4 Triliun,
tahun 2017 meningkat sebesar 419,8 triliun dan tahun 2018 meningkat sebesar 444,1 triliun.
Akan tetapi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2018 pemerintah sudah
meningkatkan APBN dari tahun 2017 sebesar 419,8 triliun menjadi 444,1 triliun, hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah sudah berupaya meningkatkan pendidikan di indonesia
dengan memberikan anggaran pendidikan sesuai dengan kebutuhan rakyat indonesia dengan
rincian alokasi dana sebesar 279,5 transfer ke daerah, 15,0 pembiayaan, 149,7 pusat dengan
sasaran Program Indonesia Pintar sebanyak 19,7 juta jiwa, Bantuan Operasional Sekolah
sebanyak 56 juta jiwa, Beasiswa bidik misi 401,5 ribu mahasiswa, pembangunan/rehab
sekolah/ruang kelas 61,2 ribu, tunjangan profesi guru Non-PNS 435,9 ribu guru, PNS 257,2
ribu guru dan PNS Daerah 1,2 juta guru.
Menurut Soedijarto (2006:28) negara kurang menyadari bahwa belum cerdasnya
kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional dan belum sejahteranya kehidupan
rakyat secara berkeadilan, akarnya adalah karena masihrendahnya kualitas manusia indonesia.
Semua negara maju dan yang kini menjadi Negara maju adalah Negara yang sejak mulai proses
pembangunan bangsa telah meletakan pendidikan sebagai elemen utamanya dan diberi alokasi
anggaran pendidikan yang memadai. Kini rata-rata anggaran pendidikan anggota Uni Eropa
adalah 5% Produk Domestik Bruto (PDB), Negara Belanda adalah 7% PDB atau 37% APBN.
Di Asia, Indonesia merupakan yang terendah alokasinya hanya 1,4% PDB, sedangkan negara
lain, Malaysia 5,2% PDB, Vietnam 2,8% PDB, Filipina 3,4% PDB, Thailand 5,0% PDB, Korea
Selatan 5,3% PDB dan Jepang 7,0% PDB.
Dari gambaran diatas jelaslah bahwa sesungguhnya kalau penyelenggara Negara
mempunyai kemasan politik
seharusnya dapat mengambil
sebagian dari alokasi dana tersebut
agar amanat pasal 31 UUD 1945
dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam Tempo.Co, Menurut Sri
Mulyani Mengatakan :
“Kualitas pendidikan Indonesia
dengan Vietnam, yang juga
berkomitmen mengalokasikan
belanja pendidikan sebesar 20
persen. “ Ranking Vietnam di
grading matematika dan sains itu
peringkat ke-8 terbaik di dunia,
sementara Indonesia hanya
peringkat ke-53. Spending-nya
sama, tapi hasilnya sangat
berbeda.”
Dilansir dari The Guardian,
Indonesia menempati urutan ke-57 dari total 65 negara dalam bidang pendidikan, survei ini
diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and development, sedangkan pada
tahun 2017 Indonesia masuk dalam 5 besar peringkat pendidikan wilayah Asean dengan skor
0,603 berdasarkan UNESCO, sedangkan negara Singapura menimpati urutan pertama dengan
skor 0,678 disusul oleh negara Brunei Darussalam Skor 0,672, Malaysia Skor 0,671, Thailand
Skor 0,608 dengan anggaranya sekitar 7,6% (Paling tinggi di ASEAN).
Berdasarkan data dan analisa alokasi anggaran pendidikan, dapat disimpulkan bahwa
pemerintah pusat telah melaksanakan amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003 yang
mewajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, akan
tetapi alokasi APBN untuk pendidikan belum berjalan secara optimal dan efisien serta masih
banyak daerah yang belum mengalokasikan minimal 20% APBD-nya untuk sektor pendidikan.
Alokasi anggaran Pendidikan merupakan alokasi anggaran pada klasifikasi fungsi
pendidikan yang terdiri dari sub fungsi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan
Dasara (SD), Pendidikan Menengah (SLTP/SMP), Pendidikan Menengah Atas (SMA),
Pendidikan Non Formal dan Informal, Pendidikan Kedinasan, Pendidikan Tinggi, Pelayanan
Bantuan terhadap Pendidikan,Pendidikan Keagamaan, Litbang Pendidikan, Pendidikan
Kepemudaan dan Olahraga dan Pendidikan Lainnya.
Alokasi APBN untuk pendidikan belum berjalan secara optimal dan efisien serta masih
banyak daerah yang belum mengalokasikan minimal 20% APBD-nya untuk sektor pendidikan.
Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak buruk pada kualitas pendidikan di
Indonesia. Maka dari itu perlu adanya tuntutan untuk mewujudkan realisasi anggaran APBN
dan APBD untuk sektor pendidikan yang lebih baik lagi.
Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut
masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki
jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika katanya pendidikan bermutu
membutuhkan biaya. Namun persoalannya, dana finansial sebagian masyarakat di negeri ini
khususnya masih belum mencukupi akibatnya sumber pendapatan yang tidak menentu. Sistem
pembiayaan pendidikan di Indonesia banyak sekali dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah. Kita tahu ada dua sistem yaitu terpusat (sentralisasi) dan tidak terpusat
(desentralisasi). Biaya pendidikan di Indonesia memang belum bisa dikatakan murah begitulah
realitasnya dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan income penduduk rata-
rata masyarakat lebih kecil dibanding dengan output yang lebih besar.

Vous aimerez peut-être aussi