Vous êtes sur la page 1sur 20

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

REFERAT
“ASMA BRONKIAL”

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Ambarawa

Pembimbing :

dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD

Disusun Oleh :

Abigale Christopher 1710221100

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Ambarawa
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Periode Oktober – Desember 2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“ASMA BRONKIAL”

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD ambarawa

Disusun Oleh:
Abigale Christoher
1710221100

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

Pembimbing : dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD


Tanggal : November 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
Rahmat dan Berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan
judul “Asma Bronkial” Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
penilaian pada kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Ambarawa. Dalam
penyelesaian skripsi ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang
telah banyak berjasa sehingga penulis bias menyelesaikan jurnal ini. Terimakasih saya
ucapkan kepada dr. Susanto Sp.PD, selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan
masukan dan saran. Serta teman-teman sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian
referat ini serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

Ambarawa, November 2018


ASMA BRONKIAL

1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala
pernapasan.1 Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam
kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang
ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan
oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat
dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena
pemberian obat.2

2. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka
ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia. 5
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma adalah
25 – 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak
dari pada laki – laki (52,86%). 6

3. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1
dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan
faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.

4. Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian
jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat
sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi.
Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi


inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang
sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

5. Klasifikasi

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran


klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol
asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu
pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan
adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut
berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya. 7
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)7 :
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa7
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma
serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami
serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik
jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan 7


6. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan
pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target
saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan
hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat
kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara
sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik. 8
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada
malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.8

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

pemicu

Hiperreaktivitas

Banyak Sel : Melepas MEDIATOR :


 Sel Mast  Histamin
 Eosinofil  Prostaglandin (PG)
 Netrofil  Leukotrien (L)
 Limfosit  Platelet Activating
Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus,


edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

Gambar 1. Patogenesis Asma9

BATUK, MENGI, SESAK


Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma 10

Mediator Pengaruh terhadap asma

 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Kontruksi otot polos
 Bradikinin
 Platelet-activating factor (PAF)
 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan E2
 Bradikinin Udema mukosa
 Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
 Radikal oksigen
 Histamin
 LTC4, D4,E4 Sekresi mukus
 Prostaglandin
 Hidroxyeicosatetraenoic acid
 Radikal oksigen
 Enzim proteolitik Deskuamasi epitel bronkial
 Faktor inflamasi dan sitokin

7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya
riwayat alergi.11
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi
saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan
denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi. 11
 Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,
kristal Charcot Leyden).11
 Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang
merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa
(FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
o Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus
terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada
serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
Tabel 4. Diagnosis Asma12

8. Diagnosis Banding
 Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk
yang disertai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama
kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.

 Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
 Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba
terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau
berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
 Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

9. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan


mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktiviti sehari-hari.13

Tujuan penatalaksanaan asma13:

 Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

 Mencegah eksaserbasi akut

 Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

 Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

 Menghindari efek samping obat

 Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

 Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai


asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan.13

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan


pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa

 Penyuluhan

 Menghindari faktor pencetus

 Pengendali emosi

 Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan


napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13

Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :

 Kortikosteroid inhalasi
 Kortikosteroid sistemik
 Sodium kromoglikat
 Nedokromil sodium
 Metilsantin
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers
 Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
 Lain-lain

Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.


Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat).
Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi 13

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat
Beklometason dipropionat 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug
Budesonid 200-400 ug 400-800 ug >800 ug
Flunisolid 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Flutikason 100-250 ug 250-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat 100-400 ug 400-800 ug >800 ug
Budesonid 100-200 ug 200-400 ug >400 ug
Flunisolid 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug
Flutikason 100-200 ug 200-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-800 ug 800-1200 ug >1200 ug

Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral
jangka panjang.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma


persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah
obat ini bermanfaat atau tidak.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner


seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai
obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari
sel mast dan basofil.

Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213

Onset Durasi (Lama kerja)


Singkat Lama
Cepat Fenoterol Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat Salmeterol

Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:
 Agonis beta2 kerja singkat

 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila


penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik

 Aminofillin

 Adrenalin
Agonis beta-2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol


yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan
akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah


dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan


asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah
ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian
secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan
gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi
harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Cara pemberian pengobatan
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13:

 lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas


 efek sistemik minimal atau dihindarkan
 beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13


Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif
Asma pengontrol lain
harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikoste  Teofilin lepas lambat ------
Persisten roid inhalasi  Kromolin
Ringan (200-400 ug  Leukotriene modifiers
BD/hari atau
ekivalennya)
Asma Kombinasi  Glukokortikosteroid inhalasi (400-800  Ditambah
Persisten inhalasi ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis
Sedang glukokortikoster Teofilin lepas lambat ,atau beta-2
oid  Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 kerja lama
ug BD atau ekivalennya) ditambah oral, atau
(400-800 ug agonis beta-2 kerja lama oral, atau  Ditambah
BD/hari atau  Glukokortikosteroid inhalasi dosis teofilin
ekivalennya) tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) lepas
dan atau lambat
 Glukokortikosteroid inhalasi (400-800
agonis beta-2 ug BD atau ekivalennya) ditambah
kerja lama leukotriene modifiers

Asma Kombinasi Prednisolon/ metilprednisolon oral


Persisten inhalasi selang sehari 10 mg
Berat glukokortikoster
oid (> 800 ug ditambah agonis beta-2 kerja lama oral,
BD atau ditambah teofilin lepas lambat
ekivalennya)
dan agonis beta-
2 kerja lama,
ditambah  1 di
bawah ini:

 teofilin lepas
lambat
 leukotriene
modifiers
 glukokortikost
eroid oral

10. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema

11. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir


menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.14

Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,


sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 – 87.
2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.
3. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2011 June 29]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
4. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir
Rev 2007; 16: 104, 67–72
5. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009
May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1
3&Itemid=5
6. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari – Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. 2006.
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
8. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal
Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.
9. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.
10. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G (Igg)
Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.
12. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Nopember 2008; 58(11), 444-51.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
14. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.

Vous aimerez peut-être aussi