Vous êtes sur la page 1sur 22

Nama : Dwi Satria Firmansyah

Kelas : 3SE2
NIM : 16.9095

1. Plot Data Aktual

Dari plot data time series di atas, terlihat indikasi bahwa data jumlah wisatawan ke Indonesia
tidak stasioner.
2. Uji Stasioneritas Data
a. Correlogram

Dengan hipotesis
H0: ρk = 0 (Data Stasioner)
H1: ρk ≠ 0
Berdasarkan gambar di atas, terlihat terdapat indikasi data tidak stasioner. Hal tersebut terlihat
dari correlogram tidak menuju nol (turun secara lambat) seiring dengan meningkatnya k, atau
juga dapat dilihat nilai probabilitasnya (p-value) yang kurang dari nilai α berapapun, sehingga
hipotesis nol ditolak dan data tidak stasioner.
b. Unit Root Test (Augmented Dicky-Fuller Test)
Intercept

Trend and Intercept


None

Dengan hipotesis
H0: δ = 0 (Data Tidak Stasioner)
H1: δ < 0
Secara umum, di seluruh persamaan uji pada level (trend, trend and intercept, none) dapat
terlihat bahwa harga mutlak nilai statistik uji lebih kecil daripada nilai kritik pada tingkat
signifikansi 1%, 5% maupun 10%, serta nilai probabilitas (p-value) pada masing-masing
persamaan lebih besar daripada nilai α berapapun. Maka, hipotesis nol gagal ditolak, sehingga
hasil output tersebut menunjukkan bahwa data tidak stasioner pada level (orde 0).
3. Proses first difference untuk menstasionerkan data
Berikut adalah plot data setelah dilakukan proses first difference, terlihat bahwa data terlihat
lebih stasioner.

4. Uji stasioneritas data hasil proses first difference


a. Correlogram
Berdasarkan gambar di atas, terlihat terdapat indikasi data telah stasioner. Hal tersebut terlihat
dari correlogram turun secara cepat menuju 0 seiring dengan meningkatnya k.

b. Unit Root Test (Augmented Dicky-Fuller Test)


Intercept

Trend and Intercept


None

Dengan hipotesis
H0: δ = 0 (Data Tidak Stasioner)
H1: δ < 0
Maka secara umum, di seluruh persamaan uji pada first difference (trend, trend and intercept,
none) dapat terlihat bahwa harga mutlak nilai statistik uji lebih besar daripada nilai kritik pada
tingkat signifikansi 1%, 5% maupun 10%, serta nilai probabilitas (p-value) pada masing-
masing persamaan lebih kecil daripada nilai α berapapun. Maka, hipotesis nol ditolak (terima
H1), sehingga hasil output tersebut menunjukkan bahwa data telah stasioner pada first
difference (orde 1).
5. Identifikasi Model Tentative

Penentuan ordo maksimal dari AR (p) dan MA (q) dapat dilakukan dengan menggunakan
correlogram, yaitu dengan melihat banyak koefisien autokorelasi (AC) yang secara signifikan
berbeda dengan nol.
Untuk menentukan ordo maksimal AR (p) yang perlu diamati adalah bagian Partial
Autocorrelation (PACF). Sedangkan untuk menentukan ordo maksimal MA (q), bagian dari
correlogram yang perlu diamati adalah Autocorrelation (ACF).
Berdasarkan correlogram di atas, dapat diusulkan beberapa alternatif model yang mungkin
untuk menggambarkan sifat data menurut prinsip kesederhanaan pemodelan (parsimony),
yaitu.

a. Model 1: Model Arima (1,1,0)


b. Model 2: Model Arima (0,1,1)
c. Model 3: Model Arima (1,1,1)
6. Estimasi parameter model tentative
Model 1: Model Arima (1,1,0)

Model 2: Model Arima (0,1,1)


Model 3: Model Arima (1,1,1)

7. Diagnostic Checking
Untuk melakukan diagnostic checking dapat dilakukan dengan melihat uji Q-
Ljung-Box dan plot ACF/PACF untuk melihat apakah terdapat korelasi serial
dalam residual dari hasil estimasi dengan model yang diamati.
Selain itu, uji ini juga digunakan untuk melihat apakah error yang dihasilkan
memiliki sifat random. Model yang baik memiliki residual yang bersifat random
(white noise) yang ditandai dengan koefisien ACF dan PACF yang secara
individual tidak signifikan.
Model 1: Model Arima (1,1,0)

Model 2: Model Arima (0,1,1)


Model 3: Model Arima (1,1,1)

8. Pemilihan model terbaik


Untuk menentukan model terbaik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Semua koefisien signifikan berbeda terhadap nol (dibuktikan dengan menggunakan
uji F dan uji T).
b. Memenuhi beberapa kriteria model terbaik, seperti nilai r-square,r-square adjusted
yang besar, dan nilai AIC (Akaike Information Criterion) dan SC (Schwarz
Criterion) yang kecil.
c. Error yang dihasilkan memiliki sifat random/white noise (terlihat dari nilai
probabilita Q statistic yang lebih besar daripada α).
Berikut adalah rangkuman hasil estimasi dari pemodelan tentative tersebut (dengan α = 5%).

Model Parameter Koef. p-value Sig p-value Sig R sq R sq AIC SC


Parameter t-stat f-stat adj
Arima C 45,75 0,7778 TS 0,026 S 0,05 0,04 13,41 13,46
(1,1,0) AR(1) 0,23 0,0263 S
Arima C 46,04 0,0735 TS 0,008 S 0,07 0,06 13,38 13,43
(0,1,1) MA(1) 0,31 0,0019 S
Arima C 45,38 0,0654 TS 0,022 S 0,08 0,06 13,40 13,48
(1,1,1) AR(1) -0,18 0,5826 TS
MA(1) 0,47 0,1228 TS

Kemudian untuk melihat diagnostic checking dengan uji Q-Ljung-Box dan plot ACF/PACF,
dengan hipotesis

H0 : tidak terdapat korelasi residual antar lag (error memiliki sifat random/white noise)

H1 : terdapat korelasi antar lag (error tidak memiliki sifat random/white noise)

Berdasarkan rangkuman hasil estimasi serta diagnostic checking, maka dapat disimpulkan
bahwa model arima (0,1,1) merupakan model yang sesuai untuk menggambarkan sifat-sifat
data.
9. Plot ACF dan PACF residual kuadrat

10. Pengujian asumsi klasik (homoskedastisitas)


Dengan hipotesis:
H0 : Residual homoskedastisitas
H1 : Residual heteroskedastisitas

Berdasarkan output di atas, dapat terlihat bahwa harga mutlak nilai statistik uji lebih besar
daripada nilai kritik pada tingkat signifikansi 1%, 5% maupun 10%, serta nilai probabilitas (p-
value) yang lebih kecil daripada nilai α berapapun. Maka, hipotesis nol ditolak, sehingga hasil
output tersebut menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran asumsi homoskedastisitas (terjadi
heteroskedastisitas).

11. Estimasi model ARCH/GARCH


Model 1 : GARCH (0,1)

Model 2 : GARCH (0,2)


Model 3 : GARCH (1,0)

Model 4 : GARCH (2,0)


Model 5 : GARCH (1,1)

Model 6 : GARCH (1,2)


Model 7 : GARCH (2,1)

Model 8 : GARCH (2,2)


Berikut adalah rangkuman hasil estimasi dari pemodelan ARCH/GARCH (dengan α = 5%).

Model R sq R sq AIC SC
adj
GARCH (0,1) 0,07 0,06 13,18 13,27
GARCH (0,2) 0,066 0,056 13,18 13,32
GARCH (1,0) 0,06 0,055 13,33 13,44
GARCH (2,0) 0,059 0,049 13,33 13,46
GARCH (1,1) 0,05 0,04 13,19 13,32
GARCH (1,2) 0,065 0,055 13,20 13,36
GARCH (2,1) -0,007 -0,018 12,93 13,1
GARCH (2,2) 0,05 0,04 13,21 13,4

Berdasarkan rangkuman hasil estimasi serta diagnostic checking, maka dapat disimpulkan
bahwa model GARCH (0,1) merupakan model yang sesuai untuk menggambarkan sifat-sifat
data.
12. Post Analysis
a. ARCH-LM test
Bertujuan untuk melihat apakah masih ada efek ARCH yang tersisa dalam residual hasil
estimasi model ARCH/GARCH

Dengan hipotesis:
H0 : Residual homoskedastisitas
H1 : Residual heteroskedastisitas

Berdasarkan output di atas, dapat terlihat bahwa harga mutlak nilai statistik uji lebih kecil
daripada nilai kritik pada tingkat signifikansi 1%, 5% maupun 10%, serta nilai probabilitas (p-
value) yang lebih besar daripada nilai α berapapun. Maka, hipotesis nol gagal ditolak, sehingga
hasil output tersebut menunjukkan bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Artinya pada
tidak mengandung efek ARCH.
b. Uji korelasi serial untuk data yang distandardisasi

c. Normality test
Bertujuan untuk melihat apakah residual berdistribusi normal dengan menggunakan
uji formal (Jarque-Bera)
Dengan hipotesis:
H0 : Residual berdistribusi normal
H1 : Residual tidak berdistribusi normal

Berdasarkan output di atas, dapat terlihat bahwa harga mutlak nilai statistik uji lebih kecil
daripada nilai kritik pada tingkat signifikansi 1%, 5% maupun 10%, serta nilai probabilitas (p-
value) yang lebih besar daripada nilai α berapapun. Maka, hipotesis nol gagal ditolak, sehingga
hasil output tersebut menunjukkan bahwa residual telah berdistribusi normal.

Vous aimerez peut-être aussi