Vous êtes sur la page 1sur 50

TESIS

EFEKTIVITAS AMINOFILIN UNTUK MENCEGAH KEJADIAN APNEA

PREMATUR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

dr. Hendy
MS-PPDS Ilmu Kesehatan Anak
09/294367/PKU/11078

Pembimbing Utama

dr. I Made Kardana, SpA(K)

Pendamping Pembimbing

Prof. DR. I Gde Raka Widiana, dr, Sp.PD, KGH


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi prematur adalah bayi lahir dengan umur kehamilan (UK) kurang dari 37

minggu. Angka kelahiran bayi prematur di dunia sebesar 9,6%, tertinggi di

Afrika 11,9%, terendah di Eropa 6,2% dan asia tenggara 11,1% (Beck dkk.

2010). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Bali mendapatkan angka

kelahiran bayi prematurnya sebesar 32,9% selama tahun 2011. Kejadian henti

napas merupakan masalah utama pada bayi prematur yang salah satu

penyebabnya adalah pusat napas yang belum berkembang dengan sempurna. Hal

tersebut dikenal sebagai apnea prematur (AP) dengan angka kejadian mencapai

85% pada bayi dengan UK kurang dari 34 minggu (Barrington dan Finer 1991).

Kami belum berhasil mendapatkan data kejadian AP di Indonesia sampai

saat ini karena diagnosis AP sulit ditegakan dan waktu timbulnya AP sulit

diprediksi. Apnea prematur sulit ditegakan karena gejala apnea pada bayi

prematur bukan hanya disebabkan oleh perkembangan pusat napas yang belum

sempurna saja, tapi disebabkan oleh berbagai macam faktor, oleh karena itu

setelah kita berhasil menyingkirkan penyebab lain dari apnea, diagnosis AP baru

bisa ditegakan.Waktu timbulnya AP ternyata juga sulit diprediksi, menurut Carlo

dkk (1982) AP dapat terjadi pada 24 jam pertama kehidupan bayi prematur,

sedangkan peneliti lain mendapatkan AP sering terjadi pada hari kelima dan

kesepuluh. Kesulitan diagnosis dan prediksi waktu timbulnya AP tersebut yang


mendasari perlunya usaha pencegahan AP untuk mengurangi risiko

keterlambatan terapi.

Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan (2007), penyebab kematian perinatal terbanyak di Indonesia adalah

masalah pernapasan (35,9%) dan prematur (32,3%). Apnea prematur mungkin

menjadi salah satu penyebab kematian perinatal pada survei tersebut. Peneliti lain

memperlihatkan AP dapat berdampak jangka pendek seperti perdarahan

intraventrikel dan jangka panjang seperti gangguan kognitif maupun perilaku

pada anak, selain itu perawatan bayi dengan AP yang lama dan membutuhkan

perawatan intensif mengakibatkan biaya menjadi tinggi.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan pemberian

obat gologan methylxanthine yaitu kafein sitrat atau aminofilin untuk mencegah

AP (Ashworth 2005). Pada rekomendasi tersebut kami dapatkan dosis aminofilin

yang lebih tinggi dibanding dosis penelitian lain untuk pencegahan AP.

Rekomendasi tersebut didukung oleh dua review Cochrane oleh Steer dan

Henderson-Smart 1999; 2001. Hasil meta analisis oleh Steer dan Henderson-

Smart 1999 belum mendukung sepenuhnya pemberian kafein untuk mencegah

AP akan tetapi, pada hasil berikutnya tahun 2001 memperlihatkan keberhasilan

kafein mencegah kejadian apnea pada bayi prematur yang berisiko tinggi yaitu

bayi yang menjalani prosedur operasi dengan anestesi umum. McCallum dan

Duke (2006) memperlihatkan kemungkinan terjadinya kesalahan tipe dua pada

kedua meta analisis tersebut karena penelitian hanya terfokus pada kafein saja

dan dilakukan pada populasi bayi prematur dengan risiko rendah, oleh karena itu
rekomendasi ini masih belum banyak diadopsi oleh klinisi karena masih perlu

penelitian lebih lanjut.

Keberhasilan aminofilin dalam mencegah AP kami dapatkan dari

penelitian yang dilakukan oleh Merchant dkk.1993, akan tetapi dosis yang

digunakan terlalu tinggi sehingga didapatkan gejala toksisitas. Penelitian

berikutnya oleh Larsen dkk. 1995; Skouroliakou dkk. 2009 menyimpulkan bahwa

efektivitas aminofilin tidak sebaik kafein dalam mencegah AP, sehingga hanya

kafein yang direkomendasikan untuk mencegah AP. Baru-baru ini penelitian oleh

Patel dkk. 2013 memperlihatkan pemberian kafein lebih awal dapat mencegah

kematian dan kejadian bronchopulmonary dysplasia. Kafein sitrat adalah sediaan

kafein dalam bentuk injeksi, saat ini belum tersedia di Indonesia, sedangkan

aminofilin adalah sediaan teofilin dalam bentuk injeksi yang merupakan obat

golongan methylxanthine dan banyak terdapat di Indonesia tapi efektivitasnya

dalam mencegah AP masih kontroversi. Bila dosis aminofilin yang diberikan

lebih tinggi dari penelitian sebelumnya sesuai rekomendasi WHO, apakah

efektivitas aminofilin akan lebih baik untuk mencegah AP dibanding dengan

kafein?

B. Keaslian Penelitian

Perbedaan penelitian yang dilakukan saat ini dengan penelitian sebelumnya

adalah (1) penelitian ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia, (2) pada

penelitian ini kami memakai dosis aminofilin sesuai rekomendasi WHO yang

berbeda dengan penelitian sebelumnya, (3) lama pemberian aminofilin dan kafein

selama tujuh hari dan diobservasi sampai bayi berumur 10 hari, (4) umur
kehamilan bayi prematur dalam penelitian ini antara 28-34 minggu dianggap

sebagai umur yang optimal dan memiliki risiko tinggi mengalami AP.

Kami mendapatkan beberapa penelitian uji klinis, kohort dan meta

analisis setelah melakukan penelusuran jurnal tentang pemberian kafein dan

aminofilin untuk mencegah AP. Hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 1.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas aminofilin dengan dosis lebih

tinggi dalam mencegah apnea prematur dibanding kafein.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi pasien dan keluarga untuk mencegah AP,

mengurangi biaya dan kemungkinan kecacatan serta mortalitas.

Bagi klinisi dan ilmu pengetahuan bermanfaat untuk mengetahui

efektivitas aminofilin untuk mencegah AP sebagai alternatif kafein, mengurangi

kecacatan yang dapat terjadi dikemudian hari akibat AP dan menambah khasanah

ilmu pengetahuan kedokteran anak dalam bidang neonatologi.

Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah untuk

mengurangi morbiditas dan kecacatan serta risiko mortalitas akibat AP, sehingga

diharapkan dapat membantu menurunkan angka kematian bayi prematur.


Tabel 1. Penelitian aminofilin dan kafein untuk mencegah apnea prematur
Penelitian Judul Intervensi Kadar serum Hasil
Merchant dkk. Prophylactic Teofilin infus 25 Rerata teofilin AP dapat dicegah dengan
1993, uji klinis theophylline infusion mg/ml VS plasebo 12,7 mcg/ml pemberian teofilin
pada bayi UK < 34 for prevention of Pemberian: 5 hari (2,3-39,5 Apnea teofilin: 1/48
mgg apnea of prematurity mcg/ml), gejala Apnea plasebo 4/21
toksisitas 30,1
mcg/ml

Larsen dkk. 1995, Aminophylline versus Kafein 20,2 Median kafein Kafein: frekuensi denyut
uji klinis pada bayi caffeine citrate for mg/kgBB lalu 2,5 16,0 mg/L(9,6- jantung lebih rendah dan
UK  33 mgg apnea and mg/kgBB/ 12 jam 23,8 mg/L); aspirat lambung lebih
bradycardia oral/IV VS Median teofilin sedikit
prophylaxis in aminofilin 6,2 10,3 mg/L (4,8- Median apnea aminofilin
premature neonates mg/kgBB lalu 3,1 16,8 mg/L) 2,0 (0-67), kafein 2,5 (0-
mg/kgBB/ 12 jam 70).
oral/IV Median bradikardi
Pemberian: 10 hari aminofilin 4,5 (0-78),
kafein 5,0 (0-72)
Intubasi pada aminofilin
21,4%, kafein 23,2%

Steer dan Prophylactic Kafein IV 20 mg/kg N/A Kafein perlu penelitian


Henderson-Smart methylxanthine for BB lalu 5 mg/kg BB/ lebih lanjut untuk
1999, meta prevention of apnea in 24 jam vs placebo mencegah AP
analisis pada bayi preterm Pemberian: 4 hari Apnea > 4 x/hari RR 0,87
UK < 33 mgg Infants (95% CI 0,5-1,5)
Bradikardi > 24 x/hari RR
1,18 (95% CI 0,8-1,6)
Hypoxemia > 12 x/hari
RR 1,16 (95% CI 0,9-1,5)

Steer dan Prophylactic caffeine Kafein sitrat IV dosis N/A Kafein dapat mencegah
Henderson-Smart to prevent tunggal 5-10 apnea Apnea/bradikardi
2001, meta postoperative apnea mg/kgBB RR 0,09 (95% CI 0,02,
analisis pada bayi following Pemberian: 1 kali 0,34)
UK 30-32 mgg general anesthesia in sebelum operasi Hypoxemia RR 0,13 (95%
preterm infants CI 0,03, 0,63)

Skouroliakou dkk. Caffeine versus Kafein IV, 20 mg/kg Rerata kafein Kafein dapat digunakan
2009, uji klinis theophylline for apnea BB lalu 5 mg/kg BB 13,5 mg/L (5,5- untuk mencegah AP
pada bayi UK < 33 of prematurity: a IV/ 24 jam vs teofilin 23,7 mg/L); Teofilin kejadian apnea ≥
mgg randomised controlled IV, 4,8 mg/kg BB Rerata teofilin 3x per hari pada hari 1-3
trial lalu 2 mg/kg BB IV/ 7,1 mg/L(2,2- (p=0,008) dan hari 4-7
12 jam 13,9 mg/dl) (p=0,001) dibanding
Pemberian: sampai apnea pada kafein
UK 34 mgg

Patel dkk. 2013, Early caffeine therapy Terapi dengan N/A Pemberian kafein awal
kohort retro, pada and clinical outcome Kafein sitrat memiliki prognosis yang
bayi BB  1250 in extremely preterm kapanpun selama di lebih baik
infants rumah sakit. Bayi dengan EC, 25%
Pemberian:  umur 3 mati/BPD dibanding 53%
hari (EC),  umur 3 dengan LC
hari (LC) aOR 0.26, CI 95% 0.09-
0.70; P<0.01
N/A: not available, IV: intravena, BB: berat badan, mgg: minggu, RR: risiko relatif, AP apnea prematur, UK: umur
kehamilan, EC: early caffeine, LC: late caffeine, BPD: bronchopulmonary dysplasia, aOR: adjusted odds ratio.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Apnea prematur

1. Definisi

Apnea adalah henti napas lebih dari 20 detik atau lebih dari 10 detik yang

diikuti oleh bradikardi atau desaturasi oksigen (Aranda dan Turmen 1979). Apnea

prematur adalah apnea yang terjadi pada bayi prematur akibat pusat napas yang

belum berkembang secara sempurna (Thompson dan Hunt 2005).

2. Epidemiologi

Apnea prematur terjadi pada lebih dari 50% bayi prematur (Finer dkk.

2006), menurut Barrington dan Finer (1991) kejadian AP di Kanada pada bayi

dengan UK kurang dari 34 minggu sebesar 85%, sedangkan pada bayi dengan

UK kurang dari 28 minggu didapatkan hampir 100% (Stark 2008).

Apnea prematur menurut Carlo dkk (1982) dapat terjadi pada 24 jam

pertama kehidupan bayi prematur yang bernapas spontan tanpa gejala kesulitan

napas sebelumnya dan dapat timbul kemudian bahkan pada bayi prematur dengan

ventilator sekalipun, sedangkan Krauss (1986) mendapatkan AP sering terjadi

pada hari kelima dan kesepuluh. Bayi dengan episode apnea berulang, sebanyak

92% akan berhenti mengalami apnea ketika mencapai umur 37 minggu setelah

konsepsi dan lebih dari 98% bebas apnea pada umur 40 minggu setelah konsepsi

(Eichenwald dkk. 1997).


3. Klasifikasi

Klasifikasi AP adalah apnea tipe sentral, obstruksi dan campuran

(Thompson dan Hunt 2005). Tipe sentral adalah henti napas akibat hilangnya

usaha untuk bernapas. Tipe obstruktif adalah hilangnya kontrol dari pusat napas

terhadap otot saluran napas atas, sehingga terjadi sumbatan akibat gangguan

patensi saluran napas, tapi proses inspirasi oleh otot diafragma tetap terjadi. Pada

tipe tersebut terlihat usaha napas, tapi aliran udara inspirasi ke paru menghilang.

Tipe campuran adalah henti napas yang terdiri dari komponen sentral dan

obstruktif seperti terlihat pada Gambar 1. Tipe terakhir ini merupakan tipe

terbanyak pada AP sekitar 53-71% (Martin dkk 2002).

Gambar 1. Karakteristik apnea campuran selama 20 detik dimulai dengan


komponen sentral dan kemudian diikuti dengan usaha napas pada keadaan
obstruksi (Fanarof 2001). B/M: beat per minute, HR: heart rate, SaO2: saturasi
oksigen.
4. Etiologi

Apnea prematur disebabkan oleh pusat napas bayi prematur yang belum

berkembang sempurna seperti bayi cukup bulan atau dewasa. Perkembangan

yang belum sempurna tersebut terjadi pada tahap pembentukan dendrit, sinaps

maupun mielinisasi.(Martin dkk 2002). Pembentukan dendrit dan sinaps terutama

terjadi pada late gestation dan awal kelahiran, sedangkan mielinisasi pada jaras

kortikospinal baru mulai pada minggu ke 38 (Sarnat 2006). Hal tersebut

mengakibatkan waktu konduksi otak menjadi lambat (Thompson dan Hunt 2005).

5. Anatomi dan fisiologi pusat napas

Pada dewasa dan bayi cukup bulan pusat napas terdapat pada otak

belakang yang terdiri dari pusat napas pons dan medula. Pusat napas pons dibagi

menjadi pusat pneumotaxic dan apneustic, sedangkan pusat napas medula dibagi

menjadi pusat napas dorsal dan ventral. Pengaturan sistim pernapasan terutama

dilakukan oleh pusat napas dorsal. Regulasi pernapasan ternyata juga tergantung

oleh badan sel motor neuron pada medula spinalis, kemoreseptor pusat di medula,

kemoreseptor perifer di badan karotis dan badan aorta, serta reseptor peregangan

paru di saluran napas (Sherwood 2004).

Pada bayi prematur, pusat napas terutama terdapat pada batang otak di

daerah bulbopontine. Daerah tersebut berisi neuron yang dapat merespon sinyal

serabut afferent yang berasal dari kemoreseptor perifer, reseptor peregangan paru,

korteks dan reticular activating system. Respon dari pusat napas akan dikirim

melalui serabut efferent berupa stimulus pada otot-otot pernapasan yang berguna
untuk ventilasi dan mengatur irama napas (Haddad 2003), secara skematis terlihat

pada Gambar 2.

Gambar 2. Faktor utama yang berperan dalam mengatur pernapasan (Martin dkk.
1986). PCO2: tekanan parsial karbondioksida; PO2: tekanan oksigen.

6. Patogenesis apnea prematur

Fungsi pusat napas yang belum sempurna dapat mengakibatkan apnea

secara langsung maupun melalui beberapa mekanisme lain seperti hilangnya

respon terhadap hiperkapni, terjadi depresi ventilasi hipoksia dan peningkatan

refleks inhibisi pernapasan (Martin dkk. 2002), seperti tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme yang mengakibatkan terjadinya apnea prematur


(Martin dkk.2002).
Hiperkapnia adalah suatu keadaan terjadinya peningkatan CO2 di dalam

darah. Hiperkapnia dapat terjadi setelah lahir ketika plasenta dipisahkan dari bayi
dan bayi mulai bernapas sendiri. Pada bayi cukup bulan hiperkapnia akan

direspon dengan peningkatan ventilasi melalui peningkatan tidal volume dan

frekuensi napas, sedangkan pada bayi prematur hanya direspon dengan

pemanjangan fase ekspirasi. (Noble dkk. 1987). Respon tersebut dihasilkan oleh

neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA) yang mengakibatkan

inhibisi pernapasan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya apnea.

Neurotransmitter dan neuromodulator lain seperti dopamin, adenosin, endorfin,

dan prostaglandin ternyata juga berperan dalam inhibisi kemoreseptor pusat dan

perifer yang mengakibatkan hilangnya respon terhadap hiperkapnia (Dreshaj dkk.

1999).

Hipoksia adalah suatu kondisi penurunan tekanan oksigen dalam arteri

dan saturasi oksigen. Saat bayi baru lahir, terjadi peningkatan PaO2 yang

mengakibatkan kemoreseptor perifer tidak terstimulasi. Kondisi tersebut tidak

bertahan lama sehingga akan terjadi kondisi hipoksia (Martin dkk. 2002).

Hipoksia pada bayi prematur akan direspon dengan ventilasi bifasik yaitu

hiperventilasi sementara yang bertahan selama satu sampai dua menit, kemudian

minute volume akan menurun sampai terjadi depresi ventilasi yang dilanjutkan

oleh inspirasi dengan konsentrasi oksigen yang rendah (Cross dan Oppe 1952;

Rigatto dkk. 1975). Hal tersebut terakhir dikenal sebagai depresi ventilasi

hipoksia. Depresi ventilasi hipoksia merupakan dasar terjadinya AP. Beberapa

neurotransmitter ternyata berperan sebagai mediator yang dapat menyebabkan

terjadinya depresi ventilasi hipoksia seperti adenosine, endorphin dan GABA

(Martin dkk. 2002). Hiperventilasi sementara yang terjadi disebabkan oleh respon
kemoreseptor perifer yang tumbang tindih dengan depresi pusat napas akibat

hipoksia, sedangkan depresi ventilasi hipoksia merupakan proses inhibisi

sekunder dari upper brainstem, midbrain dan higher structure (Miller dan Martin

1992).

Stimulasi mukosa laring secara kimia seperti pemberian minum maupun

secara mekanik menyebabkan refleks inhibisi pernapasan yang dapat

menginduksi kejadian apnea (Pickens dkk. 1988). Hal tersebut disebabkan karena

terjadi stimulasi saraf laring superior yang mengakibatkan kontraksi otot

thyroarytenoid, sehingga terjadi penutupan glotis dan gerakan menelan (Lee dkk.

1977). Reflek tersebut ternyata juga distimulasi oleh pusat napas secara aktif.

Pada bayi prematur terjadi reflek inhibisi yang berlebihan dan mengakibatkan

apnea yang berkepanjangan. Mekanismenya masih belum diketahui secara pasti,

hal tersebut diduga karena penurunan impuls dari saraf pusat atau dominansi dari

jaras inhibisi (Abu-Shaweesh dan Martin 2005).

7. Diagnosis

Gejala klinis AP adalah henti napas lebih dari 20 detik. Apnea akan

mengakibatkan terjadinya desaturasi oksigen tergantung dari lamanya apnea dan

kadar O2 saat awal (Martin dkk. 2002). Apnea diikuti oleh beberapa keadaan

seperti bradikardi dan sianosis (Nimavat dkk. 2009). Bradikardia yang mengikuti

kejadian apnea dan desaturasi oksigen diakibatkan oleh stimulasi hipoksia pada

kemoreseptor badan karotis ketika pengembangan paru tidak ada atau melalui

stimulasi reflek inhibisi yang dihasilkan dari stimulasi saluran napas atas.

Gambar 4. Semakin berat kejadian bradikardi, maka sistolik dan diastolik akan
semakin turun yang dapat mengakibatkan terjadi penurunan aliran darah ke otak

dan berpotensi menjadi kerusakan otak akibat hypoxic ischemic (Martin dkk.

2002).

Gambar 4. Mekanisme apnea menginduksi terjadinya bradikardi. (Martin RJ dan


Fanarof 1998)

8. Diagnosis Banding

Kejadian apnea pada bayi prematur tidak hanya disebabkan oleh AP, tapi

juga disebabkan oleh berbagai penyebab seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyebab apnea pada bayi prematur


Penyebab Keterangan
Idiopatik Apnea prematur dengan imaturitas pusat napas

Susunan Saraf Pusat Perdarahan intrakranial, kejang, penggunaan obat antidepresan,


hipoksemia, hipotermia, hipertermia

Pernapasan Pneumonia, lesi obstruksi jalan napas, Sindrom Gawat Napas, reflek
laryngeal, paralisis pita suara atau saraf frenikus, pneumotorak,
hipoksemia, hiperkarbia, oklusi nasal, oklusi trakea akibat fleksi trakea

Kardiovaskuler Gagal jantung, hipotensi, hipertensi, hipovolemia, peningkatan tonus


vagal

Gastrointestinal Gastroesofageal refluks, distensi abdomen, peritonitis

Infeksi Pneumonia, sepsis, meningitis

Metabolik Asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, hypernatremia

Hematologi Anemia
(Hunt 1996)
9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis AP sampai saat ini

belum ada. Diagnosis AP baru dapat ditegakan setelah penyebab apnea yang lain

dapat disingkirkan. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah pemeriksaan untuk membantu menegakkan diagnosis penyebab

apnea yang lain.

Beberapa alat dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis kejadian

apnea. Polysomnography dapat melakukan perekaman terhadap gerakan dinding

dada, aliran udara dari hidung dan atau mulut, saturasi oksigen dan frekuensi

jantung dapat membantu mendiagnosis tipe apnea (Nimavat 2009). Sampai saat

ini kami belum memiliki alat polysomnography tersebut. Oleh karena itu kejadian

apnea kami tegakan melalui gejala klinis, monitor cardiorespiratory maupun alat

saturasi oksigen.

10. Kerangka teori

Kejadian apnea pada bayi prematur kurang dari 34 minggu dapat

disebabkan oleh banyak faktor, selain faktor belum berkembangnya sistim saraf

pusat yang mengatur pusat napas dengan baik. Faktor-faktor tersebut antara lain

infeksi, masalah di sistim saraf pusat, sistim pernapasan, anemia, gastrointestinal,

metabolik dan kardiovaskuler. Pada Gambar 5 kami mengilustrasikan faktor-

faktor yang dapat menjadi penyebab kejadian apnea pada bayi dengan umur

kehamilan kurang dari 34 minggu.


Sistim Pernapasan:
 Pneumonia
 Lesi obstruksi jalan napas
Sistim Saraf Pusat:
 Sindrom Gawat Napas
 Perdarahan
 Reflek laryngeal
Intrakranial
 Paralisis pita suara/ saraf frenikus
 Kejang
 Pneumotorak
 Penggunaan obat
 Hipoksemia
antidepresan
Infeksi:  Hiperkarbia
 Hipoksemia
 Sepsis  Oklusi nasal
 Hipotermi
 Meningitis  Oklusi trakea akibat fleksi trakea
 Hipertermia
 Pneumonia

Peningkatkan
reflek inhibisi

Bayi prematur Immaturitas Hilangnya respon


< 34 minggu pusat napas APNEA
hiperkapni

Depresi ventilasi
hipoksia
Hematologi:
 Anemia

Gastrointestinal:
 Gastroesofageal Metabolik:
Kardiovaskuler:
 Asidosis
refluks  Gagal jantung
 Distensi abdomen  Hipoglikemia
 Hipotensi
 Peritonitis  Hipokalsemia
 Hipertensi
 Hiponatremia
 Hipovolemia
 Hipernatremia  Peningkatan tonus
vagal

Gambar 5. Kerangka teori.

11. Terapi

Terapi AP tidak dilakukan secara spesifik terhadap apnea yang

disebabkan oleh imaturitas pusat pernapasan, akan tetapi terapi dilakukan

terhadap kejadian apnea secara umum. Langkah pertama dengan mengoreksi


kondisi hipotermi, hipoksemia, anemia, hipokalsemia dan hipoglikemia

(Thompson dan Hunt 2005) serta memberikan terapi keperawatan berupa

rangsang taktil, oksigenasi, membersihkan jalan napas dan memperbaiki posisi

tidur bayi. Rangsang taktil dilakukan dengan mengusap dada atau perut bayi agar

terjadi stimulus ke subkorteks yang akan diteruskan ke pusat napas medula untuk

meningkatkan ventilasi (Nimavat dkk. 2009). Oksigenasi bertujuan meningkatkan

fraksi inspirasi oksigen (FiO2) dan menurunkan frekuensi apnea (Weintraub dkk.

1992). Posisi tidur bayi menurut Jenni dkk. 1997 adalah posisi kepala

ditengadahkan sekitar 15° ketika bayi tidur terlentang. Hal tersebut bertujuan agar

tidak terjadi obstruksi saluran napas atas. Cara lain yaitu bayi tidur dalam posisi

tengkurap, walau masih kontroversi tapi pada beberapa penelitian

memperlihatkan penurunan kejadian apnea (Heimler dkk. 1992; Kurlak dkk.

1994). Membersihkan daerah orofaring dari cairan maupun bahan setengah padat

dengan selang penghisap dapat mengurangi rangsangan terhadap saraf laring

superior tapi tindakan ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat terjadi hal

sebaliknya.

Bila koreksi awal dan terapi keperawatan sudah dilakukan tapi belum

memberikan perbaikan, maka penanganan selanjutnya adalah pemberian obat

golongan methylxanthines. Tujuan pemberian obat tersebut adalah meningkatkan

sensitifitas CO2, memperbaiki volume tidal dan minute volume serta gas darah

karena methylxanthines dapat berperan sebagai stimulan pusat napas (Thompson

dan Hunt 2005). Obat golongan methylxanthines antara lain kafein, teofilin dan

aminofilin. Kafein adalah obat yang direkomendasikan oleh WHO, 2005 untuk
pengobatan AP dengan dosis awal 20 mg/kg berat badan, dilanjutkan setiap 24

jam dengan dosis 5 mg/kg berat badan secara oral atau intravena. Bila tidak ada

kafein dapat diberikan teofilin oral dengan dosis awal 5 mg/kg berat badan dan

dilanjutkan dengan dosis 2 mg/kg berat badan setiap 8 jam atau aminofilin

dengan dosis awal 6 mg/kg berat badan dan dilanjutkan setiap 8 jam dengan dosis

2 mg/kg berat badan per oral atau intravena. Semua pengobatan dapat diberikan

selama 7 hari (Kosim dkk. 2004).

Langkah selanjutnya bila pemberian obat golongan methylxanthine tidak

berespon adalah pemakaian alat bantu napas berupa continuous positive airway

pressure (CPAP) dengan nasal prongs. Terapi ini bertujuan untuk membuka

saluran udara dengan tekanan positif, serta mencegah terjadinya obstruksi dari

faring dan laring. Tekanan positif sebesar 2 sampai 5 cm H2O dikatakan dapat

mengurangi episode apnea obstruktif maupun campuran (Miller dkk. 1985).

Pemberian doxapram yang merupakan obat injeksi golongan analeptic

(Romeo dkk. 1991) dipertimbangkan pada bayi yang tidak berhasil dengan

pemberian methylxanthines dan CPAP. Mekanisme terapi ini adalah stimulasi

kemoreseptor badan karotis pada dosis rendah dan pada dosis tinggi dapat

menstimulasi pusat napas. Dosis awal 2,5-3 mg/kg berat badan selama 15 menit

diikuti dengan 1 mg/kg berat badan dititrasi sampai dosis efektif yang terendah

dan dosis maksimum 2,5 mg/kg berat badan/jam (Thompson dan Hunt 2005).

Ventilator mekanik diberikan pada AP yang gagal merespon semua terapi

yang diberikan sebelumnya. Pemakaian ventilator berguna untuk mengatur

seluruh proses pernapasan.


Muntah sebagai gejala dari gastroesophageal reflux (GER) dan

pemberian minum secara oral merupakan keadaan yang perlu diperhatikan

selama terapi AP. Hubungan antara GER dan AP masih kontroversi, sehingga

pemberian obat-obatan untuk penanganan refluks dengan menurunkan asam

lambung atau meningkatkan motilitas saluran pencernaan dapat dipertimbangkan

pada bayi yang muntah atau regurgitasi saat pemberian makanan, walaupun tidak

didapatkan apnea sebelumnya (Baird dkk. 2002). Pemberian makanan oral pada

bayi prematur memerlukan kerja motorik yang komplek antara menghisap,

menelan dan bernapas. Jika bayi prematur memperlihatkan desaturasi selama

pemberian minum yang dapat mengakibatkan bradikardi dan apnea, pemberian

minum oral sebaiknya ditunda (Thompson dan Hunt 2005). Pemberian obat

methylxanthines secara oral atau intravena dapat terus diberikan dengan

pemberian oksigen selama meminumkan obat (Mathew 1988).

12. Prognosis

Sebagian besar bayi prematur berhenti mendapat serangan apnea setelah

mencapai usia 36-40 minggu usia gestasi. Pada bayi yang sangat prematur (usia

kehamilan 24-28 minggu) AP sering persisten sampai umur kehamilan 36

minggu bahkan dapat memanjang sampai 40 minggu (Abu-Shaweesh dan Martin

2005).

Dampak jangka pendek dan panjang akibat AP telah banyak diteliti

sebelumnya. Butcher-Puech dkk. 1985; Baird dkk. 2002 mendapatkan bayi

dengan AP dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intraventrikel,

hydrocephalus dan perkembangan saraf yang abnormal. Apnea berulang dan


bradikardi berat dapat mengakibatkan kerusakan otak karena proses hipoksia

iskemik (Perlman dan Volpe 1985; Janvier dkk. 2004). Taylor dkk.(1998)

memperlihatkan anak dengan riwayat AP sebelumnya memiliki perkembangan

yang buruk pada fungsi kognitif, kemampuan neuropsikologi, akademik dan

perilakunya. Masalah lain yang ditimbulkan oleh AP adalah Bayi dengan AP

memerlukan perawatan intensif yang cukup panjang dan dinyatakan sembuh bila

bayi tersebut bebas apnea selama tiga sampai tujuh hari tanpa alat bantu napas

(DiFiore dkk. 2001). Thompson dan Hunt 2005 menyatakan bahwa apnea

prematur dapat mengakibatkan perdarahan intraventrikuler, bronchopulmonary

dysplasia, mudah terserang virus RSV dan retinopati prematur, walaupun jarang

dilaporkan terjadi kematian.

B. Pencegahan apnea prematur

Angka kejadian AP yang tinggi dan kesulitan dalam menegakkan diagnosis

membuat para peneliti berusaha untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi

keterlambatan dalam terapi.

Para ahli merekomendasikan beberapa cara untuk mencegah apnea

prematur seperti penggunaan CPAP, cooling surface dan pemberian obat-obatan.

Penggunaan CPAP diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah pernapasan

pada bayi kurang bulan dengan pemberian tekanan positif melalui hidung, akan

tetapi dari review yang dilakukan Subramaniam dkk. 2005 belum mendapatkan

bukti yang cukup terhadap penggunaan CPAP untuk mencegah terjadinya apnea

prematur. Cooling surface adalah metode mendinginkan permukaan. Menurut

Martin dkk. 2002 mendinginkan lokasi kemosensitif dapat mengakibatkan


penurunan kemosensitivitas pusat napas terhadap inhibisi otot saluran napas atas.

Hal tersebut didukung oleh penelitian Tourneux dkk. 2008 yang mendapatkan

penurunan durasi dan frekuensi apnea pada bayi prematur yang dirawat dengan

suhu inkubator 30,4˚C.

Kedua metode tersebut sampai saat ini belum direkomendasikan oleh

WHO, oleh karena itu masih perlu penelitian lebih lanjut. Pemberian obat

golongan methylxanthine untuk mencegah apnea prematur telah direkomendasi

oleh WHO (Ashworth 2005). Methylxanthine memiliki kemampuan dalam

menghambat cyclic nucleotide phosphodiesterase (Beavo dan Reifsynder 1990)

dan sebagai kompetitif antagonis reseptor adenosine (Freedholm dan Persson

1982). Adenosin adalah nukleotida yang terdapat di seluruh tubuh dan dapat

berfungsi sebagai neuromodulator pada susunan saraf pusat, mengontrol eksitasi

neuron, mengatur pelepasan neurotransmiter dan meregulasi fungsi ion channel

(Ruby dkk. 2011). Adenosin merupakan neurotransmiter yang dapat menghambat

kemoreseptor pusat dan perifer sehingga dapat menganggu pernapasan. Adenosin

dan analognya dapat mengakibatkan depresi pernapasan (Zaidi dkk. 2006).

Mekanisme kerja methylxanthine dalam mencegah apnea prematur seperti terlihat

pada Gambar 6. Pada mekanisme tersebut diperlihatkan obat golongan

methylxanthine dapat menghambat kerja adenosin, sehingga inhibisi pernapasan

menjadi berkurang.
Phosphodiesterase

Methylxanthine

Methylxanthine

Gambar 6. Mekanisme kerja methylxanthine

Secara patogenesis maka methylxanthine dapat meningkatkan respon

terhadap hypercapnia, menghilangkan respon depresi ventilasi hipoksia dan

mengurangi reflek inhibisi pernapasan (Martin dkk. 2002). Kafein merupakan

obat yang direkomendasikan oleh WHO untuk mencegah terjadinya AP.

Aminofilin juga memiliki karakteristik yang serupa dengan kafein seperti yang

disajikan pada Tabel 3, bahkan pada neonatus dengan fungsi hepar yang belum

sempurna ternyata aminofilin ternyata dikonversi menjadi kafein.

Tabel 3. Karakteristik farmakologi aminofilin dan kafein


Karakteristik Aminofilin Kafein
Sediaan Injeksi dan oral: aminofilin dihidrate Injeksi : kafein sitrat
(teofilin dan etilendiamide) Oral: kafein base
Konversi: oral dan injeksi tidak ada Konversi: 20 mg kafein sitrat = 10
perbedaaan dosis mg kafein base

Mekanisme Pada AP belum diketahui dengan pasti, namun didapat efek berupa stimulasi
kerja pusat napas, meningkatkan minute ventilation, menurunkan ambang batas
hiperkapnia, meningkatkan respon terhadap hiperkapnia, meningkatkan tonus
otot rangka, menurunkan kelelahan otot diafragma, meningkatkan metabolisme
dan meningkatkan konsumsi oksigen. Keduanya adalah antagonis reseptor
adenosin.

Absorpsi Cepat dan lengkap per oral dan intravena. Cepat dan lengkap per oral dan
Tidak terganggu oleh makanan. Kadar intravena. Tidak terganggu oleh
puncak dalam serum (10 mcg/mL) makanan. Kadar puncak dalam
dicapai 1-2 jam. serum (6-10 mcg/mL) dicapai 30
menit-2 jam.

Distribusi Dalam bentuk terikat protein dan bebas. Dalam bentuk terikat protein dan
Distribusi cepat ke otak. Volume 0,45 bebas. Distribusi cepat ke otak.
L/kg. Peningkatan volume pada bayi Volume pada bayi 0,8- 0,9 L/kg.
prematur.

Metabolisme Hati. Biotransformasi: 1). Demethylation Hati oleh cytochrome P450 1A2.
(katalisis: cytochrome P-450 1A2) 1- Metabolisme kafein pada bayi
methylxanthine dan 3-methylxanthine. 1- pramatur tebatas  sistim enzim
methylxanthine di hydroxylated oleh hati masih immatur.Terjadi
xanthine oxidase 1-methyluric acid, 2). interkonversi antar kafein dan
Hydroxylation (katalisis: cytochromes P- teofilin pada bayi prematur. Pada
450 2E1 dan P-450 3A3)  1,3- pemberian teofilin 25% akan
dimethyluric acid dan 3). 6% teofilin di menjadi kafein, sedangkan pada
N-methylated  kafein. Pada neonatus: pemberian kafein 3-8 % akan
N-demethylationpathway tidak terjadi, menjadi teofilin.
hydroxylation pathway kurang berfungsi,
hanya kafein dan 3-methylxanthine (1/10
saja)  metabolit teofilin aktif. Efek
farmakologi kafein akan terlihat setelah
sebelumnya terakumulasi sampai
mendekati konsentrasi teofilin, selama
terakumulasi kafein tidak di
metabolisme.

Ekskresi Pada neonatus, 50% dosis teofilin  urin Pada neonatus T1/2 sekitar 3-4 hari
dalam bentuk utuh, maka neonatus dan diekskresi dalam bentuk utuh
dengan penurunan fungsi ginjal dosis sekitar 86% dalam 6 hari.
diturunkan dan perlu pemantauan
konsentrasi dalam serum.

Perhatian Clearance teofilin sangat rendah pada Kafein harus digunakan hati-hati
khusus neonatus. Ekskresi teofilin di renal pada bayi dengan riwayat kejang.
neonatus dalam bentuk yang tidak
dimetabolisme sebanyak 50%.

Kontraindikasi Hipersensitif terhadap teofilin atau Hipersensitif terhadap kafein.


etilendiamide.

Interaksi obat Peningkatan atau penurunan efektivitas Peningkatan atau penurunan


teofilin oleh obat yang dimetabolisme efektivitas kafein oleh obat yang
dengan enzim hati yang sama. dimetabolisme dengan enzim hati
yang sama.

Efek samping Kadar <20 mcg/mL: mual, muntah, sakit SSP: irritability, restlessness,
kepala, insomnia, diare, irritability, jitteriness. Jantung: takikardi,
restlessness, tremor dan diuresis peningkatan keluaran atrium kiri
sementara. Kadar >20 mcg/mL: muntah, dan peningkatan curah sekuncup.
aritmia dan kejang intractable sampai Gastrointestinal: peningkatan
letal. Reaksi alergi terhadap aspirat lambung.
ethylenediamine walaupun jarang. Gula darah: hypoglycemia,
hyperglycemia.
Ginjal: meningkatkan produksi urin,
creatinine clearance dan ekskresi
natrium dan kalsium.
Penanganan Penghentian pemberian obat methylxanthine
efek samping

Gejala Akut: bila dosis >10 mg/kg sekali minum Kadar serum kafeinlebih dari 50
kelebihan pada usaha bunuh dan gejala kejang baru mg/L dapat menyebabkan gejala
dosis timbul pada konsentrasi serum >100 overdosis pada bayi prematur
mcg/mL, Kronis: dosis berlebih dan seperti demam, takipnea, preterm
berulang dengan konsentrasi dengan >30 infants include fever, tachypnea,
mcg/mL, gejala: kejang umum, aritmia jitteriness, insomnia, tremor pada
dan kematian Manifestasi lain dari ekstremitas, hypertonia,
keracunan teofilin seperti peningkatan opisthotonos, gerakan tonik-klonik,
serum kalsium, kreatinin kinase, kejang, gerakan rahang dan bibir
myoglobin dan hitung lekosit, yang tidak bertujuan, muntah
menurunkan serum fosfat dan hiperglikemia, peningkatan blood
magnesium, akut myocardial infark dan urea nitrogen dan peningkatan total
retensi urin pada laki-laki yang konsentrasi leukocyte. Tidak ada
mengalami obstruksi uropati. kematian yang dilaporkan akibat
overdosis kafein pada bayi
prematur.

Penanganan Penanganan kelebihan dosis (serum Penanganan kelebihan dosis pada


kelebihan teofilin >30 mcg/mL): kafein hanya simptomatis dan
dosis 1). Suportif, 2). Bila kejang: diazepam suportif saja mirip dengan
(dosis 0.1-0.2 mg/kg) setiap 1-3 menit penanganan overdosis
sampai hilang, bila berulang diterapi aminopylline. Kadar kafein dapat
dengan fenobarbital (20 mg/kg) infus diturunkan dengan transfusi tukar.
selama 30-60 menit. Anestesi umum + Kejang ditangani dengan diazepam
pelumpuh otot dapat dipergunakan bila atau fenobarbital.
kejang belum teratasi, 3). Aritmia tanpa
gangguan hemodinamik: penurunan
konsentrasi aminofilin, dengan gangguan
hemodinamik  anti aritmia sesuai tipe
aritmia, 4). Dekontaminasi
gastrointestinal  aktif charcoal per oral
(0.5 g/kg, maksimal 20 g), diulang 1-2
jam setelah pemberian pertama 
memblok absorpsi teofilin bahkan setelah
pemberian beberapa jam sebelumnya.
Bila muntah dapat diberikan per OGT
serta penambahan anti muntah, 5).
Monitor konsentrasi serum teofilin
segera, 2-4 jam kemudian dan rutin
setiap 4 jam karena konsentrasi teofilin
masih dapat terus meningkat, 6). Monitor
keadaan umum.

Dosis Aminofilin dihidrat Kafein sitrat


pencegahan Dosis awal: oral atau intravena selama 30 Dosis awal: oral: 20 mg/kg beart
(Ashworth menit 10 mg/kg berat badan, kemudian badan atau intravena selama 30
2005) Dosis rumatan: minggu pertama menit, kemudian dosis rumatan:
kehidupan oral/intravena: 2,5 mg/kg oral 5 mg/kg berat badan/hari atau
berat badan/ dosis setiap 12 jam; minggu intravena selama 30 menit
ke-2-4 kehidupan oral/intravena: 4 mg/kg
berat badan dosis setiap 12 jam
(Aminophylline 2012; Caffeine citrate 2012)
Methylxanthine pada dosis terapi yang digunakan untuk tujuan

pencegahan ini, tidak sampai menimbulkan efek samping karena kadarnya dalam

serum masih dalam batas aman (Hochwald 2002). Pemakaian yang tidak lama

tidak akan memperlihatkan gejala overdosis, sehingga pemantauan ketat terhadap

kadar serum methylxanthine dapat diabaikan (Natarajan 2007).

C. Kerangka konsep

Bayi prematur dengan UK 28- 34 minggu perkembangan pusat napasnya masih

belum sempurna. Hal tersebut dapat mengakibatkan kejadian apnea. Pemberian

obat golongan methylxanthine yaitu aminofilin atau kafein ketika bayi prematur

tersebut masih dapat bernapas spontan diharapkan dapat menurunkan kejadian

apnea akibat immaturitas pusat pernapasan. Beberapa keadaan seperti hipoksia,

hiperkapnia dan reflek saraf laring superior ternyata juga dapat mengakibatkan

terjadinya apnea karena perkembangan pusat napas yang belum sempurna.

Bayi prematur dengan umur kehamilan antara 28-34 minggu ternyata juga

dapat mengalami kejadian apnea akibat kondisi lain yang diderita oleh bayi

tersebut. Kondisi tersebut antara lain sepsis, meningitis, pneumonia, GER, NEC,

gagal jantung kongesti, penyakit membran hialin, perdarahan intrakranial, kejang

dan penyakit metabolik. Beberapa keadaan seperti berat badan lahir, jenis

kelamin serta pemakaian CPAP sedini mungkin juga dapat mempengaruhi

kejadian apnea pada bayi kurang bulan. Kerangka konsep tersebut kami sajikan

pada Gambar 7.
D. Hipotesis

Efektivitas aminofilin dengan dosis lebih tinggi untuk mencegah terjadinya apnea

prematur lebih baik dibanding dengan kafein.

Bayi prematur UK 28-34


minggu yang mendapat

Terapi pencegahan AP
dengan aminofilin/kafein

 Sepsis
 Rangsangan saraf laring
 Meningitis
superior
 Pneumonia
 Hiperkapni
 GER
 Hipoksia
 NEC
 Penyakit jantung
 Penyakit membran
hialin
 Berat badan lahir
 Anemia
 Jenis kelamin
 Perdarahan intrakranial
 Penggunaan CPAP pada
 Kejang
awal kelahiran
 Penyakit metabolik

Apnea

Keterangan gambar :

: Tidak dianalisis

: Dikendalikan dengan desain penelitian

: Dikendalikan dengan analisis statistic penelitian

Gambar 7. Kerangka konsep.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan rancangan uji klinis dan tersamar ganda.

Penelitian ini membandingkan kejadian apnea antara bayi dengan UK 28-34

minggu yang diberikan aminofilin dan bayi dengan UK 28-34 minggu yang

diberikan kafein.

B. Tempat dan waktu penelitian

Penelitan ini dilakukan di ruang rawat bayi level II dan unit perawatan intensif

neonatus (NICU) RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Pengambilan data dimulai

bulan Februari sampai April 2013.

C. Populasi dan sampel penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi target adalah bayi prematur dengan umur kehamilan < 34

minggu lahir di Bali. Populasi terjangkau adalah bayi prematur dengan umur

kehamilan 28-34 minggu lahir dan atau dirawat di RSUP Sanglah sejak hari

pertama kelahirannya dan sesuai kriteria inklusi maupun ekslusi.

2. Sampel dan cara pemilihan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yang

merupakan pengambilan sampel secara nonprobability. Cara ini kami lakukan

karena kami tidak memungkinkan memiliki daftar sampel (sampling frame)

sebelumnya. Setiap bayi prematur dengan UK 28-34 minggu yang dirawat di


RSUP Sanglah selama kurun waktu penelitian kami jadikan sampel penelitian.

Sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian, selanjutnya diikutsertakan sebagai

subyek penelitian.

Kriteria subyek penelitian terdiri dari :

a. Kriteria inklusi

1. Bayi prematur dengan UK 28-34 minggu lahir dan atau dirawat di RSUP

Sanglah sejak hari pertama kelahiran.

2. Dapat bernapas spontan selama 24 jam kelahirannya.

3. Bayi mendapat terapi continous positive airway pressure (CPAP) untuk

pencegahan apnea.

b. Kriteria ekslusi

1. Orang tua yang tidak setuju berpartisipasi dalam penelitian.

Subyek penelitian selanjutnya dialokasikan dengan randomisasi blok

menggunakan permurtasi enam. Tabel randomisasi blok tersebut kemudian

disimpan dalam amplop tertutup yang hanya diketahui oleh peneliti saja, seperti

terlihat pada Lampiran 1 yang. Huruf A adalah subyek yang dialokasikan ke

dalam kelompok aminofilin, sedangkan huruf B untuk kelompok kafein.

Kriteria drop out (DO) adalah subyek yang tidak minum obat minimal

80% dari jumlah puyer yang diberikan selama tujuh hari dan subyek yang

mengalami penghentian terapi akibat efek samping obat dan diagnosis

necrotizing enterocolitis.
2. Estimasi besar sampel

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk perbedaan

dua proporsi sebagai berikut:

(Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2)2


n1 = n2 =
(P1-P2)2 (1)

Keterangan:

n1 dan n2 adalah jumlah sampel minimal yang dicari.

Zα = deviasi baku α. Penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 95% (α

sebesar 5%) dan satu arah, sehingga Zα = 1,645.

Zβ = deviasi baku β. Kekuatan penelitian dipakai 80% maka β sebesar 20%,

sehingga Zβ = 0,842.

P = proporsi total = (P1+P2)/2

Q = 1-P

P1 adalah proporsi kelompok aminofilin. Proporsi aminofilin yang mengalami

apnea sebesar 3,2%, karena perbedaan minimal yang dianggap bermakna adalah

20%.

P2 adalah proporsi kelompok kafein sebagai obat standar pencegahan apnea. Hasil

penelitian Larsen dkk (1995), dari 82 bayi prematur yang diberikan kafein, 19

bayi diintubasi dan dianggap mengalami apnea, sehingga didapatkan proporsinya

sebesar 23,2%.

P1-P2 adalah selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna, pada penelitian

ini kami tentukan sebesar 20%.


Jumlah sampel minimal setelah perhitungan berdasarkan rumus besar sampel

diatas, didapatkan jumlah masing-masing kelompok sebanyak 34,35 sampel.

Sampel tersebut kemudian ditambah 10% untuk kemungkinan sampel yang drop

out (DO), maka didapatkan total 75,6 sampel, dibulatkan menjadi 75 sampel

sesuai kriteria.

D. Instrumen pengumpulan data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi bayi,

catatan medik sampel penelitian, alat monitor saturasi oksigen, kriteria umur

kehamilan berdasarkan new ballard score (NBS).

E. Prosedur penelitian

Penelitian mulai dilakukan dengan menilai NBS pada setiap sampel yang masuk

ke RSUP Sanglah melalui ruang gawat darurat kebidanan atau anak. Penilaian

tersebut dilakukan oleh residen yang bertugas di ruang masing-masing dan

hasilnya dilaporkan pada peneliti, bila sesuai kriteria inklusi, peneliti memberikan

formulir informed consent kepada orang tua bayi, bila tidak setuju sampel

diekslusi. Peneliti kemudian memberikan nomor urut pada sampel yang telah

setuju ikut dalam penelitian, lalu membuatkan obat sesuai dengan kelompok

terapi yang teralokasi pada Lampiran 1dan berat badan sampel dibantu oleh

apotik kimia farma. Obat diberikan dalam bentuk puyer sebanyak 14 bungkus.

Cara pemberian obat dengan dilarutkan memakai cairan aqua steril

sebanyak 1 ml, kemudian diberikan melalui oro gastric tube (OGT) dan dibilas

dengan 1 ml aqua steril atau pemberian langsung per oral. Pada pasien yang

puasa, pemberian obat masih dapat dilanjutkan melalui OGT dan selama
pemberian obat, terapi oksigen tetap dilanjutkan. Pada pasien yang terdiagnosis

NEC sebelum obat habis diberikan, pemberian obat dihentikan. Pemberian obat

dilakukan oleh perawat bayi yang bertugas dimasing-masing bangsal. Bungkus

pertama merupakan puyer dengan dosis awal yang harus diminumkan terlebih

dahulu, kemudian dilanjutkan dengan puyer dosis rumatan setiap 12 jam.

Kandungan obat dalam puyer hanya diketahui oleh peneliti saja.

Observasi kejadian apnea dilakukan oleh residen, perawat maupun dokter

muda tanpa mengetahui kandungan obat yang didapat oleh sampel. Observasi

terhadap sampel yang dirawat di rumah sakit dilakukan dengan memonitor

frekuensi jantung dan saturasi oksigen maupun klinis kebiruan pada daerah

mukosa selama tujuh hari pemberian obat sampai umur sampel 10 hari. Observasi

terhadap sampel yang telah diperbolehkan pulang maupun pulang paksa sebelum

umur 10 hari dilakukan via telepon setiap tiga hari sampai umur sampel 10 hari

terhadap klinis kebiruan pada daerah bibir atau observasi dilakukan ketika sampel

kontrol ke poliklinik neonatus saat umur 7 atau 10 hari. Seluruh data observasi

dicatat pada lembar observasi dan dikumpulkan oleh peneliti.

Observasi efek samping obat terhadap sampel yang dirawat dilakukan

dengan memonitor kejadian takikardi, muntah atau aspirat lambung dan kejang

yang dilakukan oleh residen, dokter muda maupun perawat yang bertugas. Hasil

observasi dicatatkan pada lembar observasi. Observasi efek samping obat

terhadap sampel yang pulang dilakukan oleh orang tua dan bila terjadi efek

samping segera menghubungi peneliti. Bila terdapat frekuensi jantung lebih dari

200 kali per menit selama dua jam, maka pemberian dosis selanjutnya dihentikan
dan subyek dianggap mengalami efek samping obat. Pada sampel yang

mengalami kejang pada ketika pemberian obat masih dilakukan, sampel

diberikan charcoal aktif. Kejadian takikardi dan kejang akan dicatat sebagai

sampel DO.

Observasi terhadap variabel perancu dilakukan dengan melakukan

pencatatan terhadap diagnosis akhir ketika sampel keluar dari RSUP Sanglah.

Penanganan apnea lebih lanjut dilakukan sesuai dengan prosedur tetap

yang berlaku di RSUP Sanglah.

Análisis data dilakukan setelah semua data terkumpul sesuai jumlah

sampel minimal dan hasil dipresentasikan oleh peneliti. Sampel drop out

dilakukan análisis intention to treat dengan kemungkinan terburuk yaitu apnea.

F. Identifikasi variabel

Variabel terikat adalah kejadian apnea pada dua kelompok penelitian, sedangkan

variabel bebas adalah bayi prematur UK 28-34 minggu yang diberikan aminofilin

atau kafein. Variabel perancu adalah sepsis, penyakit membran hialin,

pneumonia, meningitis, penyakit jantung, GER, NEC, anemia, perdarahan

intrakranial, kejang dan penyakit metabolik. Variabel luar pada penelitian ini

antara lain berat badan lahir, jenis kelamin, pemakaian CPAP, rangsangan saraf

laring superior, hiperkapni, hipoksia.

G. Definisi operasional

Definisi operasional dari masing-masing variabel pada penelitian ini seperti

tertera di bawah ini.


1. Umur kehamilan adalah bayi prematur dengan umur kehamilan 28-34 minggu

(Larsen dkk.(1995); Nimavat dkk.2009). Umur kehamilan diukur dengan

NBS sebelum 24 jam kelahiran bayi. Umur kehamilan diklasifikasikan

menjadi skala numerik.

2. Bernapas spontan adalah suatu keadaan bayi prematur yang dapat bernapas

sendiri tanpa alat bantu napas selama 24 jam pertama kelahiran. Bernapas

spontan diklasifikasikan menjadi skala nominal.

3. Apnea adalah keadaan henti nafas yang disertai minimal salah satu dari

keadaan bradikardi, desaturasi oksigen dan sianosis. Apnea diklasifikasikan

menjadi skala nominal.

4. Bradikardi adalah frekuensi jantung < 90 kali/menit yang diukur dengan alat

saturasi oksigen maupun secara manual dengan stetoskop. Bradikardia

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

5. Desaturasi adalah suatu konsentrasi oksigen dalam darah sebanyak kurang

dari 85% dan terjadi selama 5 detik atau lebih (Nimavat dkk. 2009) yang

diukur dengan alat saturasi oksigen. Pada sampel dengan riwayat kelainan

jantung sianotik, desaturasi terjadi bila saturasi oksigen kurang dari 60%.

Desaturasi diklasifikasikan menjadi skala nominal.

6. Sianosis adalah kebiruan yang terjadi pada mukosa atau dikenal sebagai

sianosis sentral. Sianosis diklasifikasikan menjadi skala nominal.

7. Kelompok aminofilin adalah kelompok yang diterapi dengan aminofilin oral

secara langsung atau per OGT dengan dosis awal 10 mg/kg berat badan,

kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 2,5 mg/kg berat badan setiap 12
jam. Terapi diberikan selama 7 hari dalam bentuk puyer yang diberikan setiap

jam 10 malam dan pagi. Kelompok aminofilin diklasifikasikan menjadi skala

nominal.

8. Kelompok kafein adalah kelompok yang diterapi dengan kafein anhidrous

oral secara langsung atau per OGT dengan dosis awal 10 mg/kg berat badan,

kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 1,25 mg/kg berat badan setiap 12

jam. Terapi diberikan selama 7 hari dalam bentuk puyer yang diberikan setiap

jam 10 malam dan pagi. Kelompok kafein diklasifikasikan menjadi skala

nominal.

9. Continous positive airway pressure (CPAP) adalah alat bantu napas dengan

pemberian tekanan positif yang terus menerus. Alat bantu napas ini dapat

diberikan sedini mungkin sebagai pencegahan apnea pada bayi dengan UK <

34 minggu maupun sebagai terapi. Continous positive airway pressure

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

10. Ventilator mekanik adalah alat bantu nafas yang dapat menciptakan

perbedaan tekanan antara bukaan jalan nafas dengan paru, yang kemudian

akan menghasilkan aliran udara ke dalam paru. Ventilator mekanik

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

11. Takikardi adalah frekuensi jantung lebih dari 200 kali/menit yang diukur

dengan alat saturasi oksigen maupun secara manual dengan stetoskop.

Takikardi diklasifikasikan menjadi skala nominal.


12. Kejang adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik seperti perilaku,

sensorik, motorik dan fungsi autonom sistim saraf. Kejang diklasifikasikan

menjadi skala nominal.

13. Sepsis adalah infeksi sistemik yang ditandai dengan ditemukannya bakteri

dalam darah dan ditegakkan dengan pemeriksaan kultur darah. Sepsis

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

14. Pneumonia adalah suatu kondisi akibat infeksi pada parenkim paru. Diagnosis

ditegakkan dengan pemeriksaan rontgen paru. Pneumonia diklasifikasikan

menjadi skala nominal.

15. Sindrom gagal napas atau penyakit membran hialin (PMH) adalah suatu

kondisi yang terjadi akibat kekurangan surfaktan pada paru bayi prematur.

Penyakit membrane hialin diklasifikasikan menjadi skala nominal.

16. Meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak. Hal tersebut

ditegakan dengan pemeriksaan analisis cairan lumbal maupun kultur cairan

lumbal. Meningitis diklasifikasikan menjadi skala nominal.

17. Perdarahan intraventrikel adalah perdarahan yang terjadi pada matriks

germinal atau intraventrikel. Perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi

skala nominal.

18. Muntah adalah keluarnya isi lambung secara paksa melewati kerongkongan

dan akhirnya keluar dari mulut. Muntah merupakan gejala dari

gastroesofageal reflux (GER). Muntah atau GER diklasifikasikan menjadi

skala nominal.
19. Necrotizing enterocolitis (NEC) adalah suatu keadaan kematian jaringan usus

akibat keadaan hipoksia. Gejala yang ditimbulkan adalah distensi sampai

yang paling buruk adalah kejadian perforasi. Necrotizing enterocolitis

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

20. Gagal jantung kongestif adalah diagnosis klinis yang disebabkan oleh tidak

mampunya jantung untuk memenuhi kecukupan metabolisme jaringan. Gagal

jantung kongestif diklasifikasikan menjadi skala nominal.

21. Anemia adalah konsentrasi hemoglobin dibawah rentang normal sesuai

dengan umur dan jenis kelamin. Anemia diklasifikasikan menjadi skala

nominal.

22. Penyakit metabolik adalah suatu gejala gangguan metabolik yang terjadi pada

neonatus. Pada penelitian ini kami ikut sertakan bayi dengan diagnosis

asfiksia yang ditegakan dengan penilaian APGAR, hipoglikemia yang

ditegakan dengan pemeriksaan gula darah, serta keadaan asidosis yang lain

berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah. Penyakit metabolik

diklasifikasikan menjadi skala nominal.

H. Etika penelitian

Penelitian ini telah mendapat kelaikan etik dari Badan Penelitian dan

Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah No:

81/UN.14.2/Litbang/2013 dan surat ijin Kementrian Kesehatan RI Direktorat

Jenderal Bina Upaya Kesehatan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

No: LB..02.01./II.C5.D11/1612/2013. Persetujuan penelitian (informed consent)

telah dilakukan kepada subyek penelitian.


I. Analisis statistik

Uji hipotesis yang dipakai untuk membandingkan efek aminofilin dengan kafein

adalah uji Chi-square, bila ternyata sebaran data maupun syarat yang didapat

tidak sesuai dengan syarat uji Chi-square maka dilakukan uji Fisher. Analisis

multivariat dilakukan untuk analisis faktor perancu. Perhitungan analisis statistik

ini dibantu dengan program computer dengan nilai P < 0,05 dianggap bermakna.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Distribusi dan komparabilitas subyek

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2013, selama

periode tersebut kami dapatkan sejumlah 85 subyek dengan umur kehamilan 28-

34 minggu. Satu subyek mengalami apnea sebelum 24 jam umurnya dan

sembilan subyek tidak diikutsertakan dalam penelitian karena keluarga tidak

setuju. Total 75 subyek tersebut kemudian kami alokasikan ke dalam kelompok

terapi. Tiga puluh sembilan subyek mendapatkan terapi kafein, sedangkan 36

lainnya mendapat terapi aminofilin. Terapi diberikan selama tujuh hari dan

observasi dilakukan sampai umur subyek 10 hari, selama waktu tersebut kami

dapatkan sembilan subyek tidak menyelesaikan 80% terapinya yaitu empat dari

kelompok kafein dan lima dari kelompok aminofilin karena meninggal.

Kesembilan subyek tersebut masuk dalam kriteria DO. Tidak ada subyek yang

mengalami takikardi dan kejang selama pemberian terapi. Alur penelitian kami

sajikan pada Gambar 8.

Pada kedua kelompok penelitian ini kami dapatkan distribusi yang

merata. Hal tersebut terlihat dari jenis kelamin antara kedua kelompok relatif

sama, rata-rata berat badan lahir antar kedua kelompok berkisar 1800-1900 gram.

Median lama minum obat selama tujuh hari dan median umur saat dimulai

pemberian obat yaitu satu hari, sedangkan median UK pada kedua kelompok

adalah 32 minggu. Karakteristik tersebut di atas tersaji pada Tabel 4.


85 subyek dengan umur kehamilan 28-34 minggu

9 subyek menolak
1 subyek apnea < 24 jam

75 subyek penelitian

39 subyek 36 subyek
terapi kafein terapi aminofilin

4 subyek DO 5 subyek DO
karena karena
meninggal meninggal

35 subyek 31 subyek
terapi kafein terapi aminofilin

Gambar 8. Alur penelitian.

B. Keadaan klinik subyek

Pada kelompok aminofilin lebih banyak kami dapatkan subyek dengan diagnosis

sepsis, gagal jantung kongestif, meningitis, GER, pneumonia neonatal, penyakit

metabolik dan anemia, sedangkan pada kelompok kafein lebih banyak kami

dapatkan subyek dengan diagnosis PMH dan NEC.

Pada kelompok aminofilin kami dapatkan subyek lebih banyak

menggunakan alat bantu napas CPAP untuk profilaksis apnea maupun terapi

apnea, sedangkan penggunaan ventilator pada kedua kelompok hampir

berimbang. Pada penelitian ini tidak kami dapatkan kejang, takikardi dan

perdarahan intrakranial. Keadaan klinik subyek tersaji pada Tabel 4.


Tabel 4. Karakteristik sampel penelitian
Kelompok Terapi
Karakteristik
Aminofilin (N=39) Kafein (N=36)
Jenis kelamin
Laki-laki, n (%) 20 (55,6) 18 (46,2)
Perempuan, n (%) 16 (44,4) 21 (53,8)
Berat badan lahir, gram, mean (SD) 1819,2 (340,79) 1916,2 (413,29)
Umur kehamilan, minggu, median (IQ) 32 (2) 32 (2)
Umur pemberian obat, hari, median (IQ) 1 (0) 1 (1)
Lama minum obat, hari, median (IQ) 7 (2) 7 (1)
Kejadian apnea
Apnea, n (%) 7 (19,4) 9 (23,1)
Tidak apnea, n (%) 29 (80,6) 30 (76,9)
Sepsis
Ya, n (%) 13 (36,1) 11 (28,2)
Tidak, n (%) 23 (63,9) 28 (71,8)
Penyakit membrane hialin
Ya, n (%) 8 (22,2) 10 (25,6)
Tidak, n (%) 28 (77,8) 29 (74,4)
Pneumonia neonatal
Ya, n (%) 8 (22,2) 5 (12,8)
Tidak, n (%) 28 (77,8) 34 (87,2)
Gagal jantung kongestif
Ya, n (%) 3 (8,3) 0 (0)
Tidak, n (%) 33 (91,7) 39 (100)
Anemia
Ya, n (%) 10 (27,8) 7 (17,9)
Tidak, n (%) 26 (72,2) 32 (82,1,2)
Meningitis
Ya, n (%) 8 (22,2) 4 (10,3)
Tidak, n (%) 28 (77,8) 35 (89,7)
GER
Ya, n (%) 6 (16,7) 5 (12,8)
Tidak, n (%) 30 (83,3) 34 (87,2)
NEC
Ya, n (%) 1 (2,8) 2 (5,1)
Tidak, n (%) 35 (97,2) 37 (94,9)
Penyakit metabolik
Ya, n (%) 16 (44,4) 13 (33,3)
Tidak, n (%) 20 (55,6) 26 (66,7)
CPAP
Ya, n (%) 8 (22,2) 4 (10,3)
Tidak, n (%) 28 (77,8) 35 (89,7)
Penggunaan ventilator
Ya, n (%) 3 (8,3) 2 (5,1)
Tidak, n (%) 33 (91,7) 37 (94,9)

B. Hasil penelitian

Kami melakukan uji bivariat untuk mengetahui efektivitas kafein dan aminofilin

dalam mencegah apnea prematur.seperti yang tersaji pada Tabel 5. Kejadian tidak
apnea pada kelompok yang mendapatkan terapi aminofilin dan kafein ternyata

hampir sama banyaknya.

Tabel 5. Efektifitas kafein dibanding aminofilin untuk mencegah AP


Apnea Tidak Apnea
P RR IK 95%
(N=16) (N=59)
Aminofilin, n 7 29 0,92 1,04 0,8 sampai 1,3
Kafein, n 9 30

Apnea yang terjadi pada subyek penelitian mungkin dapat disebabkan

oleh berbagai macam faktor, untuk mengetahui faktor tersebut kami melakukan

uji multivariat terhadap diagnosis akhir subyek pada kedua kelompok terapi.

Hasil uji multivariat tersaji pada Tabel 6.


Tabel 6. Variabel perancu subyek penelitian yang diterapi dengan
aminofilin atau kafein
Aminofilin Kafein
Apnea Tdk P P Apnea Tdk P P
Variabel
(N=7) Apnea OR (IK Exp (B) (N=9) Apnea IK 95% Exp (B)
(N=29) 95%) (IK 95%) (N=30) IK 95%
Sepsis
Ya 5 (71,4) 8 (27,6) 0,073* 0,9 7 (77,8) 4 (13,3) 0,001 0,001
Tidak 2 (28,6) 21 (72,4) 4,4 0,5 (0- 2 (22,2) 26 (86,7) 8,9 (2,2- 22,7
(0,9- 10530,8) 36,4) (3,4-
19,7) 150,8)
Pneumonia
Ya 1 (14,3) 7 (24,1) 0,9 0,8 1 (11,1) 4 (13,3) 1,0* 0,6
Tidak 6 (85,7) 22 (75,9) 0,6 0,6 (0,009- 8 (88,9) 26 (86,7) 0,9 (0,1- 2,5 (0,1-
(0,08- 37,5) 5,4) 48,2)
4,2)
HMD
Ya 5 (71,4) 3 (10,3) 0,003 0,03 6 (66,7) 4 (13,3) 0,005 0,14
Tidak 2 (28,6) 26 (89,7) 8,8 12,1 (1,3- 3 (33,3) 26 (86,7) 5,8 (1,8- 4,7 (0,6-
(2,1- 110,1) 18,9) 36,8)
36,9)
Meningitis
Ya 3 (42,9) 5 (17,2) 0,3 0,1 4 (44,4) 0 0,002* -
Tidak 4 (57,1) 24 (82,8) 2,6 0,05 5 (55,6) 30 (100) 7 (3,1-
(0,7- (0,001- 15,8)
9,4) 1,8)
GER
Ya 4 (57,1) 2 (6,9) 0,008* 0,09 5 (55,6) 0 0,0001* -
Tidak 3 (42,9) 27 (93,1) 6,7 8,01 (0,72- 4 (44,4) 30 (100) 8,5 (3,4-
(1,9- 89,2) 21,3)
22,4)
NEC
Ya 0 1 (3,4) 1,0* - 2 (22,2) 0 0.049* -
Tidak 7 (100) 28 (96,6) - 7 (77,8) 30 (100) 5,3 (2,7-
10,3)
CHF
Ya 1 (14,3) 2 (6,9) 0,5* 0,2 0 0 - -
Tidak 6 (85,7) 27 (93,1) 1,8 13,1 (0,3- 9 (100) 30 (100) -
(0,4- 542,2)
1,8)
Anemia
Ya 3 (42,9) 7 (24,1) 0,6 0,4 4 (44,4) 3 (10,0) 0,06 0,7
Tidak 4 (57,1) 22 (75,9) 1,9 0,3 (0,01- 5 (55,6) 27 (90,0) 3,7 (1,3- 0,5
(0,5- 5,9) 10,2) (0,03-
7,2) 9,1)
Metabolik
Ya 5 (71,4) 11 (37,9) 0,2* 0,2 3 (33,3) 10 (33,3) 1,0 0,6
Tidak 2 (28,6) 18 (62,1) 3,1 11,6 (0,2- 6 (66,7) 20 (66,7) 1,0 (0,3- 0,6
(0,5- 690,9) 3,4) (0,07-
1,1) 4,6)
PMH: penyakit membrane hialin, GER: gastroesofageal reflux, NEC: necrotizing
enterocolitis, CHF: cardiac heart failure.
C. Pembahasan hasil

Pada penelitian ini, karakteristik awal subyek pada kedua kelompok terapi terlihat

sama, akan tetapi perkembangan kondisi klinik subyek penelitian selama

observasi memperlihatkan kelompok aminofilin lebih berisiko mengalami

kejadian apnea dibanding kelompok kafein.

Angka kejadian apnea pada penelitian ini relatif rendah pada kedua

kelompok terapiyaitu sebesar 19,4% pada kelompok aminofilin dan 23,1% pada

kelompok kafein. Perbedaan kejadian apnea pada kelompok terapi kafein dan

aminofilin didapatkan tidak bermakna dengan RR sebesar 1,04 (IK 95% 0,8-1,3)

dan P = 0,92. Number needed to treat (NNT) pada penelitian ini sebesar 28,

artinya perlu 28 subyek diterapi dengan aminofilin selama tujuh hari untuk

mencegah satu kejadian apnea. Relative risk reduce (RRR) pada penelitian ini

sebesar 15,7% artinya aminofilin mencegah kejadian apnea sebesar 15,7%

dibanding dengan kafein.Absolute risk reduction (ARR) pada penelitian ini

sebesar 3,6% artinya aminofilin dalam mencegah kejadian apnea lebih besar

3,6% dari kafein. Berdasarkan nilai RRR dan ARR terlihat aminofilin dosis tinggi

lebih baik dalam mencegah kejadian apnea prematur.

Number needed to harm kejadian GER pada penelitian ini sebesar 26,

artinya sebanyak 26 subyek diterapi dengan aminofilin selama tujuh hari akan

memperlihatkan satu gejala GER.

Observasi yang kami lakukan sampai umur subyek 10 hari

memperlihatkan kondisi klinis yang beragam. Kami melakukan uji multivariat

untuk melihat apakah kondisi klinis tersebut dapat menjadi faktor perancu dalam
penelitian ini. Hasil uji multivariat memperlihatkan hyaline membrane disease

berpotensi menjadi faktor perancu pada kelompok aminofilin, sedangkan pada

kelompok kafein kami dapatkan kondisi sepsis yang berpotensi sebagai faktor

perancu.

D. Diskusi

Barrington dan Finer (1991) mendapatkan kejadian AP di Kanada pada bayi

umur kehamilan kurang dari 34 minggu sebesar 85%. Pada penelitian ini kami

dapatkan median umur kehamilan adalah 32 minggu dengan angka kejadian

apnea pada kelompok kafein sebesar 23,1% dan kelompok aminofilin sebesar

19,4%. Angka kejadian tersebut relatif rendah dibanding penelitian sebelumnya.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa pemberian aminofilin maupun kafein

bermanfaat untuk mencegah kejadian AP. Hal ini konsisten dengan penelitian

yang dilakukan sebelumnya.

Nilai ARR sebesar 3,6% pada penelitian ini memperlihatkan perbedaan

yang tidak cukup bermakna antara aminofilin dengan kafein dalam mencegah

apnea prematur. Hal ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang selalu

mendapatkan kafein lebih baik dibanding aminofilin. Hal tersebut mungkin

disebabkan oleh karena dosis aminofilin yang kami berikan pada penelitian ini

jauh lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Efek samping yang terjadi berupa pada penelitian ini adalah kejadian

GER, sedangkan takikardi dan kejang tidak didapatkan. Kejadian GER pada

penelitian ini terjadi baik pada kelompok aminofilin maupun kafein. Kejadian

GER pada pemberian obat golongan methylxanthine dikatakan oleh beberapa


penelitian sebelumnya memang dapat meningkat, bahkan ditakutkan dapat

memicu kejadian apnea itu sendiri. Pada penelitian ini kami dapatkan kejadian

GER yang meningkat dan merupakan salah satu faktor perancu terjadinya apnea.

Beberapa peneliti menyarankan pemberian obat H2-blocker untuk mengatasi

masalah ini selain pemberian oksigen saat pemberian obat golongan

Sepsis dapat berpotensi menjadi faktor perancu pada kelompok kafein,

akan tetapi index kepercayaan yang sangat lebar sehingga presisinya tidak terlalu

baik. Penyakit membran hialin dapat berpotensi menjadi faktor perancu pada

kelompok aminofilin, akan tetapi sama seperti sepsis pada kelompok kafein,

penyakit membran hialin ternyata juga memiliki index kepercayaan yang lebar

sehingga presisinya tidak baik. Kedua kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

E. Kelemahan penelitian

Kelemahan penelitian ini adalah kurangnya fasilitas untuk melakukan

pengukuran kadar aminofilin maupun kafein yang telah diberikan. Pengukuran

kadar ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah obat yang kita berikan sesuai

dengan dosis terapi yang kita inginkan.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian kami adalah pemberian aminofilin dosis WHO

memperlihatkan efektivitas yang sama dengan kafein dalam mencegah AP

terbukti dengan kejadian apnea yang rendah.

B. Saran

Saran dari penelitian ini adalah pemberian aminofilin sesuai dosis yang

direkomendasikan oleh WHO dapat diterapkan untuk pencegahan AP. Efek

samping kejadian GER perlu menjadi perhatian dalam pemberian aminofilin

sebagai profilaksis AP, serta kemungkinan dapat mengakibatkan kejadian apnea

itu sendiri. Sepsis dan penyakit membran hialin tetap merupakan faktor yang juga

dapat menyebabkan terjadinya apnea pada bayi prematur, tapi perlu penelitian

lebih lanjut untuk hal tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Shaweesh, J.M. dan Martin, R.J. (2005). Apnea of prematurity: past, present
and future. Journal Arab Neonatal Forum. 2, hal.63-73.
Aminophylline injection [online]. (2012). Available from:
<http://www.drugs.com/pro/aminophylline-injection.html>. [Accessed 20
October 2012].
Aranda, J.V. dan Turmen, T. (1979). Methylxanthines in apnea of
prematurity. Clinics in perinatology. 6, hal.87–108.
Ashworth, A., Bickler, S., Deen, J., Duke, T., Hussey, G., English, M.,
dkk.(2005). Problems of the neonate and young infant. Dalam: H.
Campbell, (ed). Pocket Book of Hospital Care for children, Geneva:
World Health Organiztion, hal.55.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.(2007). Riset Kesehatan Dasar.
Republik Indonesia: Departemen Kesehatan.
Baird, T.M., Martin R.J., Abu - Shaweesh J.M.L., Edwards, D.A. (2002). Clinical
associations, treatment, and outcome of apnea of prematurity. Neonatal
Reviews. 3, hal.e66-e70.
Barrington, K. dan Finer, N. (1991). The natural history of the appearance of
apnea of prematurity. Pediatric Research.29, hal.372-375.
Beavo, J.A. dan Reifsnyder, D.H. (1990). Primary sequence of cyclic nucleotide
phosphodiesterase isozymes and the design of selective inhibitors.. Trends
in Pharmacological Sciences. 11, hal.150-155.
Beavo, J.A. dan Reifsnyder, D.H. (1990). Primary sequence of cyclic nucleotide
phosphodiesterase isozymes and the design of selective inhibitors.. Trends
in Pharmacological Sciences. 11, hal.150-155.
Beck, S., Wojdyla, D., Say, L., Betran, A.P., Merialdi, M., Requejo, J.H., dkk.
(2010). The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of
maternal mortality and morbidity. Bulletin World Health
Organization. 88, hal.31–38.
Butcher – Puech, M.C., Henderson - Smart, D.J., Holley, D., Lacey, J.L.,
Edwards, D.A (1985). Relation between apnoea duration and type and
neurological status of preterm infants. Archives of Disease in
Childhood. 60, hal.953-958.
Caffeine citrate [online]. (2012). Available from:
<http://www.drugs.com/pro/caffeine-citrate.html>. [Accessed 20 October
2012].
Carlo, W.A., Martin, R.J., Versteegh, F.G., Goldman, M.D., Robertson, S.S.,
Fanaroff, A.A. (1982). The effect of respiratory distress syndrome on
chest wall movements and respiratory pauses in preterm infants. The
American review of respiratory disease. 126, hal.103-107.
Cross, K.W. dan Ohale, T.E. (1952).The effect of inhalation of high and low
concentration of oxygen on the respiration of the premature
infant. Journal of Physiology. 117, hal.38.
Di Fiore, J.M., Arko, M.K., Miller, M.J., Krauss, A., Betkerur, A., Zadell, A.,
dkk. (2001). Cardiorespiratory events in preterm infants referred for apnea
monitoring studies. Pediatrics. 108, hal.1304–1308.
Dreshaj, I.A., Haxhiu, M.A., Abu-Shaweesh, J.M., Carey, R.E., Martin, R.J.
(1999).CO2-induced prolongation of expiratory time during early
development. Respirology Physiology. 116, hal.125-132.
Eichenwald, E.C., Aina, A., Stark, A.R. (1997). Apnea frequenly persists beyond
term gestation in infants delivered at 24 to 28 weeks. Pediatrics. 100, hal.
354-359.
Finer, N.N., Higgins, R., Kattwinkel, J., Richard, J.M. (2006). Summary
proceedings from the apnea-of-prematurity group. Pediatrics. 117,
hal.S47-S51.
Fredholm, B.B. dan Persson, C.G. (1982). Xanthine derivatives as adenosine
receptor antagonist. European Journal of Pharmacology. 81, hal.673-676.
Haddad, G. (2003). Respiratory control and disorders in the newborn. Dalam:
Mathew OP, (ed). Respiratory control in the newborn: comparative
physiology and clinical disorders., Marcel Dekker: New York, hal1-13..
Heimler, R., Langlois, J., Hodel, D.J. (1992). Effect of positioning on the
breathing pattern of preterm infants.Archives of Disease in Childhood. 67,
3, hal.312-314.
Henderson-Smart, D.J. dan Steer, P.A. Prophylactic caffeine to prevent
postoperative apnea following general anesthesia in preterm
infants.Cochrane Database of Systematic Reviews 2001, Issue 4. Art. No:
CD000048. DOI: 10.1002/14651858.CD000048.
Henderson-Smart, D.J. dan Steer, P.A. Prophylactic methylxanthine for
prevention of apnea in preterm infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews 1999, Issue 2. Art. No: CD000432. DOI:
10.1002/14651858.CD000432.
Hochwald, C., Kennedy, K., Chang, J. dan Moya, F. (2002). A randomized,
controlled, double-blind trial Comparing two Loading Doses of
Aminophylline. Journal of Perinatology.22, hal.275–278.
Hunt, C.E. (1996). Diagnosis and therapy. Dalam: R.M. Kliegman, (ed). Apnea
and sudden infant death syndrome in strategies in pediatric, Philadelphia:
W.B. Saunders Co.
Janvier, A., Khairy, M., Kokkotis, A., Cormier, C., Messmer, D, Barrington, K.J.
(2004). Apnea is associated with neurodevelopmental impairment in very
low birth weight infants. Journal of Perinatology. 24, hal.763–768.
Jenni, O.G., von Siebenthal, K.,Wolf, M. (1997). Effect of nursing in the head
elevated tilt position (15 degrees) on the incidence of bradycardic and
hypoxemic episodes in preterm infants. Pediatrics. 100, 4, hal.622-625.
Kosim, M.S., Surjono, A., Setyowireni, D. (eds). (2004). Buku panduan
manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, perawat, bidan di
rumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI-UKK perinatologi IDAI -
MNH-JHPIEGO.
Krauss, A.N. (1986). Apnea in infancy: pathophysiology, diagnosis, and
treatment. New York state journal of medicine. Feb, hal.89-96.
Kurlak, L.O., Ruggins, N.R., Stephenson, T.J. (1994). Effect of nursing position
on incidence, type, and duration of clinically significant apnoea in
preterm infants. Archives of Disease in Childhood.Fetal and Neonatal
Edition.71, 1, hal.F16-F19.
Larsen, P.B., Brendstrup, L., Skov, L., Flachs', H. (1995). Aminophylline versus
caffeine citrate for apnea and bradycardia prophylaxis in premature
neonates. Acta Paediatric. 84, hal.360-364.
Lee, J.C., Stoll, B.G., Downing, S.E. (1977). Properties of the laryngeal
chemoreflex in neonatal piglets. The American journal of physiology. 233,
1, hal.R30-R36.
Martin, R.J., Abu-Shaweesh, J.M., Baird, T.M. (2002). Pathophysiologic
mechanisms underlying apnea of prematurity. Neonatal Reviews. 3, 4,
hal.e59-e65.
Martin, R.J., Miller, M.J., Carlo, W.A. (1986). Pathogenesis of apnea in preterm
infants. Journal of Pediatrics. 109, hal.733-741.
Mathew, O.P. (1988). Respiratory control during nipple feeding in preterm
infants.. Pediatric Pulmonology. 5, hal.220-224.
McCallum, A.D. dan Duke, T. (2006). Evidence behind the WHO guidelines:
hospital care for children: is caffeine useful in the prevention of apnoea of
prematurity?, clinical review. Journal of Tropical Pediatrics. 53, hal.76-
77.
Merchant, R.H., Sakhalkar, V.S., Ashavaid, T.F. (1992). Prophylactic
theophylline infusion for prevention of apnea of prematurity, clinical
trial. Indian Pediatrics. 29, 11, hal.77-81.
Miller, M.J. dan Martin, R.J. (1992).Apnea of prematurity. Clinical of
Perinatology. 19, hal.789-808.
Miller, M.J., Carlo, W.A., Martin, R.J. (1985). Continuous positive airway
pressure selectively reduces obstructive apnea in preterm infants. Journal
of Pediatric. 106, hal.91-94.
Natarajan G., Botica M.L., Thomas, R., Aranda, J.V. (2007). Therapeutic drug
monitoring for caffeine in preterm neonates: an unnecessary exercise?
Pediatrics.119, hal.936-940.
Nimavat, D.J., Sherman, M.P., Santin, R.L., Porat, R. (2009). Apnea of
prematurity. Oct 26, 2009. Medscape reference Drugs Diseases [online].
[Accessed Dec 20, 2009]. Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/974971-overview>.
Noble, L.M., Carlo, W.A., Miller, M.J., DiFiore, J.M., Martin, R.J. (1987).
Transient changes in expiratory time during hypercapnia in premature
infants. Journal of Appllied Physiology. 62, 3, hal.1010-1013.
Patel, R.M., Leong, T., Carlton, D.P., Vyas-Read, S. (2013). Early caffeine
therapy and clinical outcomes in extremely preterm infants.Journal of
Perinatology.33, hal. 134-140.
Perlman, J.M. dan Volpe, J.J. (1985). Episodes of apnea and bradycardia in the
preterm newborn: impact on cerebral circulation. Pediatrics. 76, 3,
hal.333-338.
Pickens, D.L., Schefft, D., Thach, B.T. (1988). Prolonged apnea associated with
upper airway protective reflexes in apnea of prematurity. The American
Review of Respiratory Disease. 137, hal.113-118.
Rigatto, H., Brady, J.P., Verduzco, R.T. (1975). Chemoreceptor reflexes in
preterm infants: 1. The effect of gestational and postnatal age on the
ventilatory response to inhalation of 100% and 15%
oxygen. Pediatrics. 55, 4, hal.604-613.
Romeo, M.G., Proto, N., Tina, L.G., Parisi, M.G., Distefano, G. (1991). A
comparison of the efficacy of aminophylline and doxapram in preventing
idiopathic apnea in preterm newborn infants. Medical and Surgical
Pediatrics. 13, 1, hal.77-81.
Sarnat, B.H. (2006). Neuroembryology, genetic programming and malformations
of the nervous system.Dalam: J.H. Menkes, H.B. Sarnat, B.L. Maria,
(ed). Child Neurology, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
hal.278-281.
Sherwood, L. (2004). The respiratory system. Dalam: M. Julet, (ed). Human
Physiology From Cells to Systems, Belmont: Brooks/Cole, Thomson
Learning Inc, hal.459-504.
Skouroliakou, M., Bacopoulou, F., Markantonis S.L. (2009). Caffeine versus
theophylline for apnea of prematurity: a randomised controlled
trial. Journal of Pediatrics and Child Health. 45, hal.587–592.
Stark, A.N. (2008). Apnea. Dalam: J.P. Cloherty, E.C. Eichenwald, A.N. Stark,
(ed). Manual of Neonatal Care, Philadelphia: Lippincott Williams&
Wilkins, hal.369-373.
Taylor, H.G., Klein, N., Schatschneider, C., Hack, M. (1998). Predictors of early
school age outcomes in very low birth weight infants. Journal of
Developmental and Behavioral Pediatrics. 19, hal.235–243.
Thompson, M.W., Hunt, C.E. (2005). Control of breathing: development, apnea
of prematurity, apparent life-threatening events, sudden infant death
syndrome. Dalam: M.G. MacDonald, M.M.K. Seshia, M.D. Mullett,
(ed). Avery's Neonatology, Philadelphia: Lippincott Williams& Wilkins,
hal.536-553.
Weintraub, Z., Alvaro, R., Kwiatkowski, K. (1992). Effects of inhaled oxygen
(up to 40%) on periodic breathing and apnea in preterm infants. Journal
of Applied Physiology. 72, 1, hal.116-120.
Lampiran 1. Alokasi sampel kelompok penelitian dengan randomisasi blok
No urut Huruf No urut Huruf No urut Huruf No urut Huruf
01 B 26 B 51 B 76 A
02 B 27 B 52 A 77 A
03 B 28 A 53 B 78 A
04 A 29 A 54 B 79 B
05 A 30 B 55 B 80 B
06 A 31 B 56 A 81 A
07 B 32 A 57 B 82 A
08 A 33 A 58 A 83 B
09 A 34 B 59 A 84 A
10 B 35 B 60 B 85 A
11 A 36 A 61 B 86 B
12 B 37 A 62 B 87 B
13 A 38 B 63 A 88 B
14 B 39 A 64 B 89 A
15 A 40 B 65 A 90 A
16 B 41 A 66 A 91 B
17 A 42 B 67 B 92 A
18 B 43 B 68 B 93 B
19 A 44 B 69 B 94 A
20 B 45 B 70 A 95 B
21 A 46 A 71 A 96 A
22 B 47 A 72 A 97 B
23 A 48 A 73 B 98 A
24 B 49 A 74 B 99 A
25 A 50 A 75 B 100 B

Vous aimerez peut-être aussi