Vous êtes sur la page 1sur 22

REFLEKSI KASUS STASE ANESTESI

PASIEN ICU

Disusun Oleh:
Daniel Derian Chrisandi
42170

Pembimbing Klinik:
dr. Yos Kresna W., M.Sc, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2018
KASUS

Identitas Pasien

Nama Pasien : Ibu S

Tanggal Lahir :1 Juli 1973

No RM : 00260XXX

Usia : 45 tahun

Tanggal Masuk ICU : 3 Desember 2018


Tanggal Keluar ICU : 4 Desember 2018

Status Umum

Keadaan Umum : Sedang


Kesadaran : Compos Mentis E4 V5 M6
Berat Badan : ±50𝑘𝑔
Status Gizi : Baik
Penggunaan Alat Bantu Napas : O2 3-5 lpm Nasal Canul

Masuk ICU

Keluhan Utama : Sesak napas dan febris

Riwayat Penyakit Sekarang : pasien masuk IGD pada pukul 01.30


dengan keluhan demam dan sesak
napas. Seluruh badan terasa dingin
hingga menggigil. Saat di rumah sudah
dilakukan pengukuran suhu 38oC
kemudian anaknya memberikan
penurunan panas Ibuprofen tetapi tidak
ada perubahan. Pasien merasa lemas
hingga kaki dan tangan terasa
kesemutan. mual dan muntah sekali saat
di rumah

Riwayat Penyakit Dahulu : pasien memiliki riwayat penyakit DM


tipe 2 sejak 5 tahun lalu

Riwayat Alergi : Tidak ada riwayat alergi obat maupun


makanan.
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada riwayat penyakit yang sama
dengan keluhan pasien yang sekarang,
riwayat sakit DM, HT dan penyakit
menular disangkal.
Lifestyle : pekerjaan pasien sebagai pedagang
yang berjualan dari pukul 05.30 hingga
10.00. Pola makan 2 kali sehari sering
mengkonsumsi daging dan santan.
Konsumsi air putih 2 liter perhari , rutin
minum kopi 1 bungkus per harinya

1. Pemeriksaan Fisik (Assesmen awal di IGD)

a. Keadaan Umum : Sedang

b. Kesadaran : CM

c. GCS : E4 V5 M6

d. Vital Sign

 Tekanan Darah : 90/50 mmHg

 Nadi : 120x/menit
 Respirasi Rate : 28x/menit

 Suhu : 38°𝐶

e. Saturasi Oksigen : 100%

f. Pemeriksaan Lokalis

 Kepala Konjungtiva anemis (-/-), Sklera


Ikterik (-/-) Refleks cahaya (+/+),
normocephali

 Leher Benjolan (-), pembesara KGB (-)

 Thorax

Inspeksi Tidak terdapat ketertinggalan gerak


dinding dada saat bernapas, jejas (-)

Palpasi tidak terdapat ketertinggalan gerak


dinding dada saat bernapas, Fremitus
Normal, Ictus Cordis teraba pada sic
5 linea mid clavivularis sinistra

Perkusi Suara lapang paru sonor

Auskultasi Rhonki (-/-), murmur (-)

 Abdomen

Inspeksi tidak terlihat jejas, hematom (-),


scar(-), kemerahan, maupun tanda
inflamasi lainnya

Auskultasi peristaltik usus tidak terdengar


Perkusi suara timpani

Palpasi Supel, tidak ada massa, acites (-)

 Ekstremitas akral dingin, edema (-/-), CRT<2


detik,kebas pada tangan kanan

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal : 3 Desember 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 14,2 14-18 g/dL

Leukosit 32.96 H 4,8 – 10,8 Ribu/mm3

Eritrosit 4,85 4,2 – 5,4 Juta/mm3

Hematokrit 37 37 – 47 %

MCV 76 79,0 – 99,0 fL

MCH 29,3 27,0 – 31,0 Pg

MCHC 38,6 H 33,0 – 37,0 g/dL

RDW 43,7 35 – 47 fL

Trombosit 366 150-450 ribu Ribu/mm3

PDW 12,8 9,0-13,0 fL

P-LCR 29,9 H 15 – 25 %
MPV 10,7 7,2 – 11,1 fL

Neutrofil Segmen % 88,8 H 50 – 70 %

Eosinofil% 0,2 L 2–4 %

Basofil% 0,1 0–1 %

Limfosit% 5,2 L 25 – 40 %

Monosit% 5,6 2–8 %

KIMIA KLINIK

Gula Darah HI 70 – 115 Mg/dl


Sewaktu

SGPT 43 H 13-40

Creatinin Darah 1,01 0,8-1,3 mg/dL

b. EKG

EKG tanggal 3 Desember 2018


Diagnosis dan Terapi

a. Diagnosis Kerja : Syok Sepsis dengan riwayat DM

Terapi Oksigen : Nasal Canul Oksigen

Pemasangan Infus : (+)

Lain-lain :-

b. Terapi

Obat-obatan yang diberikan:

 Ondansetron 2x1 Amp

 Ceftriaxone 2x2 g

 Paracetamol 3x500 mg

 Ranitidine 2x1 Amp

 Metformin 3x500 mg

 Glimepiride 1x 4 mg

 Novorapid 3x4 ui

 Levormin

 Inf NaCl 1000cc/ 24 jam

 Drip Dobutamin

3. Status Hemodinamik

Hari ke-1 (3 Desember 2018)


Vital Sign
• Kesadaran : CM
• Tekanan Darah: 90/60 mmHg
• GCS : 456
• Nadi: 135x/menit
• Terapi
• RR: 12

• Suhu: 38,4
• SpO2: 100%

Hari ke-2 (4 Desember 2018)

Vital Sign Status Neurologis


Kesadaran: Coma
• Tekanan Darah: 97/52 mmHg
GCS: E2 V1 M1
• Nadi: 160x/menit
Pupil: 1/1; -/-
• RR: 20
Kejang ekstremitas kiri
• Suhu: 35,5
Diberikan extra sedacum 2 mg
• SpO2: 100%
Fartison 100mg
Transfusi PRC 1 kolf, bila HR diatas
205 hentikan transfusi sementara

Novorapid 20 U  GDS 355


TINJAUAN PUSTAKA

1. Sepsis
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti
klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38C atau <36oC) ;takikardi; asidosis
metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan
takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat
disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia.
Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah,
sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh
tubuh, termasuk organ-organ. Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih
tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal,
hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan
tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal
pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan
darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.

Kriteria diagnosis dari sepsis itu sendiri masih terus diperbarui :

Gejala Umum

1. Demam (>38,3oC)

2. Hipotermia/ suhu pusat tubuh <36oC

3. HR >90 bpm atau lebih dari dua standar deviasi diatas normal usia

4. Takipneu

5. Perubahan mental state

6. Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif >20mL/kg/24jam


7. Hiperglikemi (glukosa plasma >140mg/dL dan tidak diabetes

Inflamasi

1. Leukositosis > 12.000 uL

2. Leukopeni <4000 uL

3. AL dengan lebih dari 10% ditemukan bentuk imatur

4. CRP > 2 standar deviasi diatas nilai normal

5. Prokalsitonin plasma > 2 standar deviasi diatas nilai normal

Hemodinamik :

Hipotensi arteri (sistole <90mmHg, MAP <70mmHg atau sistole turun


>40mmHg pada dewasa atau lebih rendah 2 standar deviasi nilai normal umur)

Disfungsi Organ :

1. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)

2. Oliguria akut (jumlah urin <0,5ml/kg/jam selama inimal 2 jam meskipun


resusitasi cairan adekuat)

3. Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL

4. Koagulasi abnormal INR >1,5 atau aPTT >60s

5. Ileus (tidak terdengar suara usus)

6. Trombositopeni <100.000 uL

7. Hiperbilirubinema (bilirubin plasma total >4mg/dL

Sepsis dapat dipicu dari bagian tubuh manapun, daerah yang paling sering
sebagai sumber infeksi adalah paru-paru, saluran kemih, panggul, kulit, infeksi post
op, infeksi sistem saraf. Sekitar satu dari lima kasus, sumber infeksi sepsis tidak
dapat diketahui.

SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi


sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini
ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :
§ demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)
§ takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
§ takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3 kPa)
§ leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit <
4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.
Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi
organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis
laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.
Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan
tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).
Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah
dasarnya.
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan
fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
adanya intervensi terapi.
MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya
sistem organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan
stabilisasi homeostasis

Patofisiologi

Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area


yang cedera atau destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau
membatasi penyebab trauma dan kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal
reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang berbeda) selalu melibatkan
aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines intraseluler dan
mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :
- aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis
- respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag,
sel mast.
Tipe sel efektor yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada
tipe pemicu cedera (perdarahan, iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor
melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals, histamin, eicosanoid, faktor
koagulasi.
Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan
(up-regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory
mechanism) yang sangat komplek. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi
patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan
bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu saat ini mekanisme seperti itu disebut
sebagai common pathway of inflamatory respons.
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi
lokal respon inflamasi tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut.
Intensitas dari respon inflamasi tersebut merupakan refleksi biologik yang
bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang terjadi atau berat-ringannya
infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan menyebabkan
respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome).
Namun apabila luka traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka
akan terjadi respon inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response
Syndrome (SIRS). Respon inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada
organ jauh (remote organ) akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi
sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS (Multiple Organ Dysfunction
Syndrome).
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ
melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
(1) Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil
masuk ke sirkulasi sistemik.
(2) Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk
ke dalam sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
(3) Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi
intensitas respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan
terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin
kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin
1,6,8,12,18, interferon-, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10;
komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag,
reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet
actvating factor (PAF)).

Gejala Klinis

1. Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)


Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi
berat, trauma atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan
vaskuler sistemik dan peningkatan COP yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen
arteri dan vena tetap sama seperti keadaan normal.
Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan
oksigen yang sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar
laktat yang masih normal. Hal ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap
pasien yang mengalami trauma berat atau operasi besar.
Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek
sistemik dari reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis
seiring dengan penyembuhan penyakit.
2. Tahap B (Fase MODS)
Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi
penurunan tajam dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung
untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi
cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung (sebaiknya dengan cairan
kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami hipotensi.
Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang
diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim
metabolisme sel.
Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat
meningkat dan terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai
meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum penggunaan metoda pencegahan
stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa lambung menunjukkan cairan yang
berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas
1,0 mg/dL.
3. Tahap C (Fase Dekompensasi)
Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan
kompensasi jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena
penurunan tekanan afterload yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau
sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan
arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan
preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok atau
keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan suatu
kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.
4. Tahap D (Fase Terminal)
Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal.
Keadaan sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana
hal ini akan menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas
normal. Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan
pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak adekuat dan
vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi sangat tinggi. Sebagian
besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.

Tata Laksana
Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial
dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi
oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap
paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan
memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b. Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis.
Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan
membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan
resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan
inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat
sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga
berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai
antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh
karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.
c. Inotropik
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan
hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi.
Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya
terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter
perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac
indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin
digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d. Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada
pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi.
Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada
pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.
e. Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila
terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah
sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler.
Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.
f. Vasokonstriktor
Penambahan zat -agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih
rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan
tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2.
Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah
nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh
vasokonstriksi zat -agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi
yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal
adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

Mengontrol respon pasien terhadap trauma


Hal ini dapat dicapai dengan :
a. Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah
1. Meminimalkan trauma lebih lanjut
2. Debridemen yang agresif
3. Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4. “second-look procedure”
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik
yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian
antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu
hasil tes kultur dan resistensi.
b. Modifikasi respon stress hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan
penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan
glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase
hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat
mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang
dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien
cedera kepala.
c. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial
harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari
infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia),
hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi
intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya
seperti dari usus.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus
yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah
dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak
digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas
dilaporkan.
Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama
pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk
mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan
penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi
enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.

Kriteria Masuk ICU

Indikasi pasien yang layak dirawat di ICU adalah:


a .Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh Tim intensive care
b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis
Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas
1) lebih didahulukan disbanding dengan pasien yang hanya memerlukan
pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis
penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan
prioritas masuk ke ICU.
a. Pasien prioritas 1
Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan / bantuan ventilasi, alat
penunjang fungsi organ / system yang lain, infus obat -obat vasoaktif / inotropic,
obat anti aritmia, serta pengobatan lain–lainnya secara kontinyu dan tertitrasi.
Pasien yang termasuk prioritas 1 adalah pasien pasca bedah kardiotorasik, sepsis
berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa.
Institusi setempat dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain seperti derajat
hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada kriteria pasien
prioritas 1 demikian, umumnya tidak mempunyai batas.
b. Pasien prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab sangat
beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan
intensif menggunakan pulmonary arterial catheter Pasien yang tergolong dalam
prioritas 2 adalah pasien yang menderita penyakit dasar jantung –paru, gagal ginjal
akut dan berat, dan pasien yang telah mengalami pembedahan mayor. Pasien yang
termasuk prioritas 2, terapinya tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya
senantiasa berubah.
c. Pasien prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil
status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya,
atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan
atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini sangat kecil, sebagai contoh adalah
pasien dengan keganasan metastatic disertai penyulit infeksi, pericardial
tamponade, sumbatan jalan napas, dan pasien penyakit jantung dan penyakit paru
terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien kriteria
ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak
sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
d. Pasien prioritas 4
Pasien dalam prioritas ini bukan merupakan indikasi masuk ICU. Pasien
yang termasuk kriteria ini adalah pasien dengan keadaan yang “terlalu baik”
ataupun “terlalu buruk” untuk masuk ICU.
PEMBAHASAN

Pasien masuk IGD pada pukul 01.30 dengan keluhan demam dan sesak
napas. Seluruh badan terasa dingin hingga menggigil. Saat di rumah sudah
dilakukan pengukuran suhu 38oC kemudian anaknya memberikan penurunan panas
Ibuprofen tetapi tidak ada perubahan. Pasien merasa lemas hingga kaki dan tangan
terasa kesemutan. mual dan muntah sekali saat di rumah

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda syok sepsis yang ditandai


dengan_____. Dari hasil laboratorium didapatkan bahwa nilai Hb, Hct, Eritrosit
serta RDW yang menurun dan termasuk dalam nilai kritis, sementara hasil
pemeriksaan Creatinin menunjukkan adanya peningkatan yang tinggi yaitu 4,51.
Hal ini dapat menjadi indikasi adanya gangguan fungsi ginjal yang mengarah ke
gagal ginjal. Pasien memiliki riwayat DM yang tidak terkontrol sejak masih muda
karena jarang mengonsumsi obat DM, sehingga pada assesmen awal didapatkan
hasil GDS yang tak dapat dinilai hasilnya karena terlampau tinggi.

Pemeriksaan vital sign pasien menunjukkan bahwa pasien mengalami


takikardi, dengan hipotensi, CRT >2s dan oligouri yang mengindikasikan pasien
memasuki tahap dekompensasi syok yang beresiko ke tahap irreversible dan terjadi
gagal multi organ, apabila pasien selamat dari syok, pasien tetap memiliki resiko
kematian karena telah terjadi gagal multi organ. Keadaan yang memburuk
didukung dengan faktor usia lanjut, riwayat DM yang tidak terkontrol yang dapat
meningkatkan resiko terjadi asidosis metabolik, riwayat infeksi dengan AL yang
tinggi (25000) serta pasien yang mengalami penurunan kesadaran.

Obat-obatan yang diberikan:


 Ondansetron 2x1 Amp  Ondansetron akan menghambat serotonin
bereaksi pada reseptor 5HT3

 Ceftriaxone 2x2 g  Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi


ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan cara
menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri.
 Paracetamol 3x500 mg  sebagai antipiretik

 Ranitidine 2x1 Amp  obat maag yang termasuk dalam golongan antihistamin,
lebih tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi
produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat
ulkus atau tukak lambung, dan masalah asam lambung tinggi lainnya.

 Metformin 3x500 mg  digunakan untuk manajemen diabetes mellitus pada


pasien.

 Glimepiride 1x 4 mg  digunakan untuk manajemen diabetes mellitus pada


pasien.

 Novorapid 3x4 ui  digunakan untuk manajemen diabetes mellitus pada


pasien.

 Levormin  digunakan untuk manajemen diabetes mellitus pada pasien.

 Inf NaCl 1000cc/ 24 jam

 Drip Dobutamin digunakan untuk manajemen kontraktilitas jantung dan


mencegah hipotensi. Dopamine juga berguna untuk proteksi ginjal.

Pasien diberikan O2 3 lpm melalui Nasal Canul, namun keadaan pasien


mengindikasikan kebutuhan terhadap ventilator karena terdapat resiko apneu oleh
karena syok septik yang dialami. Infus asering 1000cc diberikan sebagai terapi
resusitasi, tidak diberikan RL karena penambahan laktat akan meningkatkan resiko
keadaan asidosis metabolik. Diberikan dobuject dan Raivas guna meningkatkan
tekanan darah. Transfusi PRC diberikan sebagai terapi karena blood loss yang
tinggi.

Pasien merupakan prioritas 1 kriteria masuk ICU dikarenakan pasien sakit


kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan
/ bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ / system yang lain, infus obat -obat
vasoaktif / inotropic, obat anti aritmia, serta pengobatan lain–lainnya secara
kontinyu dan tertitrasi. Pasien yang termasuk prioritas 1 sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa. Institusi setempat
dapat juga membuat kriteria spesifik yang lain seperti derajat hipoksemia, hipotensi
di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada kriteria pasien prioritas 1 demikian,
umumnya tidak mempunyai batas.

Vous aimerez peut-être aussi