Vous êtes sur la page 1sur 29

1.

Klarifikasi istilah-istilah penting


a. Kejang
Kejang adalah merupakan gejala neurologis yang timbul mendadak dan
sementara sebagai akibat dari pelepasan muatan listrik yang abnormal pada
bagian otak tertentu. (Samsul, 2014)
b. Kelojotan
Kelojotan adalah kejang yang sifatnya bergantian kaku dan lemas secara
cepat
c. Mengompol
Mengompol adalah mengeluarkan air kencing pada waktu tidur
d. Tekanan Darah
TD (Tekanan Darah) : adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan
sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat
jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio
tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai normalnya berkisar
dari 100/60 sampai 140/90. (Smeltzer & Bare, 2014).
e. Heart Rate
Heart rate adalah jumlah detak jantung per satuan waktu, biasanya
dinyatakan dalam denyut per menit atau beats per minute (bpm). Detak
jantung bervariasi,tergantung pada kebutuhan tubuh untuk menyerap Oksigen
dan mengeluarkan CO2 dalam berbagai keadaan, misalnya saat olah raga atau
tidur.
f. Respirasi Rate
Respirasi rate adalah jumlah seseorang mengambil napas per menit.
Tingkat respirasi biasanya diukur ketika seseorang dalam posisi diam dan
hanya melibatkan menghitung jumlah napas selama satu menit dengan
menghitung berapa kali dada meningkat.
g. Suhu Tubuh
Suhu tubuh Dalam keadaan sehari-hari kita mengenal panas dan
dinginSuhu tubuh manusia secara kasar dibagi menjadi 2 yaitu : suhu inti

1
(core temperature) dan suhu perifer/suhu kulit. Suhu inti adalah suhu pada
jaringan / organ vital yang baik perfusinya (otak dan organ bagian dalam
tubuh). Suhu ini relatif sama. Dengan kata lain, distribusi panas pada bagian-
bagian tubuh ini cepat, sehingga suhu pada beberapa tempat yang berbeda
hampir sama. Bagian tubuh di mana suhunya tidak homgen dan bervariasi
sepanjang waktu merupakan bagian dari suhu perifer. Suhu kulit/ perifer
berbeda dengan suhu inti, naik dan turun sesuai dengan suhu lingkungan.Pada
gambar di bawah terlihat topografi temperatur kulit pada manusia. daerah
tubuh maupun kepala mempunyai temperatur kulit lebih tinggi daripada
anggota badan
2. Kata Kunci
a. Laki-laki
b. 12 tahun
c. Kejang saat tidur dengan posisi kepala mengedah ke atas,
d. mata melenting ke atas
e. kejang kelojotan pada ke empat anggota gerak
f. tidak sadarkan diri
g. Mengompol
h. Mulut berbusa
i. Keluhan terjadi kedua kalinya
j. Ada riwayat keluhan yang sama di keluarga
k. RR : 34x/menit

2
3. Mind Map

EPILEPSI TONIK-KLONIK

ANEURISMA OTAK TUMOR OTAK


KEJANG

MENINGITIS

Penyakit
Tanda dan TUMOR OTAK MENINGITIS ANEURISMA EPILEPSI
Gejala TONIK-KLONIK
Kejang    

mata melenting ke atas    

tidak sadarkan diri   

mulut berbusa 

Ada riwayat keluhan 


yang sama di keluarga
Peningkatan respirasi  
rate

3
4. Pertanyaan-Pertanyaan Penting
1) Apakah usia mempengaruhi terjadinya epilepsi ?
2) Apakah Jenis kelamin mempengaruhi terjadinya epilepsi ?
3) Apakah faktor genetik berpengaruh pada epilepsi ?
5. Jawaban Pertanyaan Penting
1) Epilepsi umumnya terjadi pada anak kecil dan manula. Biasanya anak kecil
yang baru berusia 1 atau 2 tahun akan mengalami ayan atau kejang akibat
epilepsi. Setelah usia seseorang mencapai 35 tahun ke atas, tingkat kasus baru
epilepsi yang mulai muncul pun meningkat. Kondisi ini bisa disebabkan oleh
stroke, tumor otak, atau penyakit Alzheimer, yang semua dapat menyebabkan
epilepsi.
2) Epilepsi adalah suatu kondisi yang dapat mempengaruhi setiap orang dengan
berbeda faktor dan gejalanya. Jenis kelamin bisa menjadi faktor dalam
bagaimana epilepsi akan mempengaruhi orang tertentu. Perawatan epilepsi
juga harus dipertimbangkan terkait berbedanya epilepsi antara pria dan
wanita. Contohnya, pertimbangan kesehatan seperti perubahan hormonal, dan
fungsi sosial. Dalam banyak hal, penyebab epilepsi berbeda bagi wanita
daripada pria. Perbedaan timbul karena perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki, dan juga karena peran sosial yang berbeda dari masing-masing
jenis kelamin pada penderita epilepsi
3) Menurut Lumbantobing, sekitar 0,5 – 12% kejang berulang merupakan faktor
predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari. Penelitian kasus kontrol
yang dilakukan oleh Budiarto, mendapatkan bahwa kejang demam sebagai
faktor risiko epilepsi. Faktor genetik memegang peranan penting dalam
terjadinya kejang. Anderson dan Hauser mengatakan cara pewarisannya
melalui faktor autosomal dominan. Kemungkinan besar sifat genetik yang
diturunkan adalah sifat menurunnya ambang kejang pada kenaikan suhu
tubuh. Hal ini memberi keyakinan terjadinya kejang demam oleh karena sel-
sel neuron hiperiritabel terhadap peningkatan suhu tubuh. Kondisi saraf yang
hipereksitabel ( spasmofili ) merupakan suatu keadaan dimana terjadi
hiperiritabilitas yang bermanifestasi sebagai kejang otot. Spasmofili diyakini

4
diwariskan secara autosom dominan. Riggs dalam penelitiannya menyatakan
spasmofili terjadi secara turun-temurun dan luas penyebarannya.. Gen
pembawa faktor epilepsi terdapat pada kromosom X baik pada sisi ayah
maupun ibu. Epilepsi jarang disebabkan oleh mutasi gen tunggal, karena gen
penyebab epilepsi bersifat oligogenik, yang berarti berasal lebih dari satu
rangkaian gen. Faktor genetik mempengaruhi 70-80% risiko kejadian epilepsi
dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Individu dengan gen epilepsi
tidak bisa langsung dipastikan mengidap epilepsi, karena selain gen epilepsi,
faktor risiko lain seperti faktor lingkungan, juga dapat mencetuskan epilepsi,
bahkan pada individu yang tidak memiliki gen epilepsi sekalipun. Apabila
terjadi persilangan gen ibu dan ayah, dimana terdapat gen epilepsi di salah
satu orangtua (ayah/ibu) ataupun keduanya, dapat menghasilkan keturunan
yang memiliki risiko mengalami epilepsi. Probabilitas atau kemungkinan
lahirnya anak dengan faktor risiko epilepsi dapat diprediksi dengan hukum
Mendel (hukum genetik). Saat salah satu / kedua pasangan orang tua dengan
gen X faktor epilepsi (Xe) memiliki keturunan, probabilitas munculnya faktor
epilepsi pada anak digambarkan dari ilustrasi berikut.
6. Tujuan Pembelajaran Selanjutnya
Mengetahui apakah aktivitas fisik dapat memperburuk epilepsi ?
7. Informasi Tambahan
Mengecilkan aktivitas fisik di PWE telah menjadi norma sampai
pertengahan tahun tujuh puluhan. American Medical Association (AMA), pada
tahun 1968, merekomendasikan membatasi aktivitas PWE karena takut cedera
atau menginduksi aktivitas kejang. Karena menimbulkan kontroversi, AMA, pada
tahun 1974, mengizinkan partisipasi dalam olahraga kontak jika '' untuk
melakukannya dianggap sebagai faktor pembenahan utama dalam penyesuaian
pasien ke sekolah, rekan, dan gangguan kejang''.
Kemungkinan, banyak faktor pemicu kejang ada dalam kaitannya dengan
latihan fisik, kelelahan, stres, cedera kepala berulang selama olahraga kontak,
latihan aerobik berlebihan, hiperventilasi, perubahan dalam metabolisme obat
antiepilepsi (AED), dan gangguan ionik / metabolik. Secara umum, kejang

5
tampaknya jarang dipicu oleh aktivitas fisik. Dalam sebuah penelitian yang
mencakup 400 PWE, hanya dua yang mampu mengidentifikasi aktivitas fisik
sebagai presipitan. Tidak ada hubungan antara kelelahan latihan pasca dan
peningkatan frekuensi kejang. Stress telah diidentifikasi sebagai pemicu kejang
pada sejumlah besar pasien, menunjukkan bahwa aktivitas atletik yang intens
dapat meningkatkan kejut jantung. Selain itu, stres fisik dan neurosteroid
tampaknya terkait dengan epilepsi. Menanggapi stres yang disebabkan oleh
latihan fisik, telah ditunjukkan, baik dalam model manusia dan hewan, bahwa
aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal mempengaruhi steroid adrenal dan
neurosteroid dan meningkatkan kerentanan kejang. Namun, stres yang sama dapat
terjadi juga mengaktifkan hormon pelepas kortikotropin hipotalamus, yang pada
gilirannya merangsang produksi deoxycorticosterone di kelenjar adrenal.
Telah diketahui bahwa hiperventilasi saat istirahat memicu kejang absen;
oleh karena itu orang mungkin berasumsi bahwa hal yang sama akan berlaku
selama latihan. Namun selama latihan, hiperventilasi adalah respons fisiologis
terhadap peningkatan permintaan metabolik, respons kompensasi untuk mencegah
hiperkapnia. Di sisi lain, hiperventilasi istirahat mengarah ke hipokapnia dan
vasokonstriksi. Selanjutnya, hiperventilasi yang diinduksi oleh olahraga, sebagai
reaksi adaptif terhadap asidosis, bahkan dapat menghasilkan supresi abnormalitas
interiktal. Oleh karena itu, hiperventilasi selama latihan tampaknya untuk
mencegah onset kejang.
8. Klarifikasi Informasi
JOURNAL : Epilepsy and physical exercise (Laboratory of
Neuropathology, Epilepsy, Clinic, Department of Neurology, Faculty of Medicine
of the University of Lisbon, Hospital de Santa Maria, Lisbon, Portugal 2014)
Epilepsy is one of the commonest neurologic diseases and has always been
associated with stigma. In the interest of safety, the activities of persons with
epilepsy (PWE) are often restricted. In keeping with this, physical exercise has
often been discouraged. The precise nature of a person’s seizures (or whether
seizures were provoked or unprovoked) may not have been considered. Although
there has been a change in attitude over the last few decades, the exact role of

6
exercise in inducing seizures or aggravating epilepsy still remains a matter of
discussion among experts in the field. Based mainly on retrospective, but also on
prospective, population and animal-based research, the hypothesis that physical
exercise is prejudicial has been slowly replaced by the realization that physical
exercise might actually be beneficial for PWE. The benefits are related to
improvement of physical and mental health parameters and social integration and
reduction in markers of stress, epileptiform activity and the number of seizures.
Nowadays, the general consensus is that there should be no restrictions to the
practice of physical exercise in people with controlled epilepsy, except for scuba
diving, skydiving and other sports at heights. Whilst broader restrictions apply for
patients with uncontrolled epilepsy, individual risk assessments taking into
account the seizure types, frequency, patterns or triggers may allow PWE to enjoy
a wide range of physical activities.
9. Analisa dan sintesa
Berdasarkan pengamatan dan kasus yang ada, klien mengeluh kejang saat
tidur dengan posisi kepala menengadah ke atas, mata melenting ke atas dan kejang
kelojotan pada ke empat gerak. Saat anak kejang tidak sadarkan diri dan dan
mengompol, mulut berbusa, dan terjadi selama 1-2 menit.
Dari penjelasan klien kami mengamati gejala yang muncul adalah gejala
dari Epilepsi Tonik Klonik. Tonik klonik (Grandma), yaitu tiba-tiba penderita
jatuh, pernafasan berhenti sejenak dan seluruh tubuh menjadi kaku (tonik),
gerakan-gerakan klonik, yaitu gerakan relaksasi secara ritmik yaitu fleksi ringan
dan ekstensi kuat pada persendian anggota gerak atas dan bawah, juga otot wajah.
Penderita dapat mengeluarkan air seni dan mulutnya berbusa akibat kontraksi
tonik involunter kandung kemih dan kontraksi tonik-klonik otototot wajah, mulut,
dan orofaring.

7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani epilepsia, yang berarti “Kejang”.
Dulu, epilepsi dipandang sebagai penyakit dari tuhan dan disebut sebagai
“dikejangkan” atau digoncangkan oleh Dewa. Sindrom epiletik terdiri atas
episode berulang dari satu atau lebih gejala, yaitu hilang kesadaran, gerakan
konvulsif atau aktivitas motorik lainnya, fenomena sensoris, dan prilaku
abnormal, sekitar 2,3 juta orang Amerika diketahui mengalami kejang atau
epilepsi. Sekitar 181.000 kasus kejang baru tercatat tiap tahunnya
Epilepsi merupakan penyakit neurologis yang umum. Penyakit ini terjadi
pada berbagai tingkatan usia. Menurut WHO (2018) hampir 50 juta orang di dunia
menderita Epilepsi. Dan sebagian besar, sebanyak 80% kasus Epilepsi terdapat di
negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Epilepsi merupakan penyakit yang
ditandai dengan kejang yang berulang, dengan episode singkat gerakan involunter
yang melibatkan sebagian bagian tubuh atau seluruhnya dan kadang-kadang
disertai dengan kehilangan kesadaran, kontrol bowel atau fungsi blader (WHO,
2018). Sedangkan menurut Mayo Clinic (2017) Epiepsi merupakan gangguan
sistem saraf pusat dimana aktivitas otak menjadi abnormal yang menyebabkan
terjadinya kejang, gangguan perilaku serta sensasi, dan kadang-kadang disertai
dengan kehilangan kesadaran. Epilepsi ini dapat menimbulkan beberapa masalah
dalam kehidupan penderitanya
Asuhan keperawatan epilepsi di buat untuk menambah pengetahuan
mahasiswa dalam mengetahui tindakan keperawatan pada pasien epilepsi serta
mempermudah proses tindakan keperawatan di rana kesehatan.

B. Tujuan
a) Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari penyakit epilepsi
b) Tujuan Khusus :

8
a. Untuk mengetahui definisi, etiologi, prognosis, manifestasi klnis,
klasifikasi, patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan dari penyakit epilepsi.
b. Untuk mengetahui pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana asuhan
keperawatan dan web of caution dari penyakit epilepsi.
c. Untuk mengetahui tren dan issue keperawatan dari penyakit epilepsi
C. Manfaat
a) Manfaat praktis:
a. Bagi penulis
Menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada
penyakit epilepsi
b) Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Dengan adanya laporan ini, diharapkan dapat memberikan
informasi baru mengenai asuhan keperawatan epilepsi.

9
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Menurut Azhari S. (2014 : 281) Epilepsi adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan serangan kejang spontan berulang. Secara klinis, epilepsi
merupakan gangguan paroksimal dimana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau
sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik (Ginsberg L,
2008 : 79).
Menurut Kumala et al (Batticaca, 2008 : 118) mengatakan epilepsi adalah
setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang
bersifat paroksimal yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodik, fenomena motorik yang abnormal, gangguan psikis,
sensorik, dan system otonom. Gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik
otak.

B. Etiologi
terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan epilepsy, yaitu :
1. Faktor fisiologis
2. Faktor biokimiawi
3. Faktor anatomis
4. Gabungan Faktor-faktor diatas, atau
5. Penyakit yang pernah diderita (trauma lahir, trauma kapitis, radang otak,
tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly congenital otak,
degenari susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan elektrolit,
keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut, faktor herediter).
C. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi
serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu

10
waktu akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan
terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial,
dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai
adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah
mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan
penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai
bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu
dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat
dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian
obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah
usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran
abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi
memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko
kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit
neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak
paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari
timbulnya bangkitan epilepsi.
D. Manifestasi Klinis
Epilepsi dapat digolongkan berdasarkan usia onset, penyebab, daerah asal,
abnormalitas pada elektroensefalogram (EEG), dan manifestasi klinis dari kejang.
International Classification of Epileptic Seizures, ang digunakan disini,
didasarkan pada tipe klinis dari kejang dan pada temuan EEG selama kejang
(periode iktal) dan antara kejang (periode interictal). Menurut klasifikasi ini,
terdapat dua kelompok besar kejang. Abnormalitas neurologis dapat terbatas pada
bagian tertentu atau focus dari otak, sehingga diistilahkan kejang parsial. Selain
itu, kejang juga dapat melibatkan keseluruhan permukaan korteks, menghasilkan
kejang umum (Black & Hawks, 2014 : 576).

11
E. Klasifikasi
Menurut Azhari S. (2014:281) bentuk-bentuk serangan kejang yang terjadi
dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan gejalanya, yaitu :
a. Kejang umum
Focus epileptogenik pada epilepsy umum ini adalah thalamus. Saraf –
saraf yang berperan dalam sirkuit ini adalah nukleus ventral dan nucleus
ventrolateral thalamus, serta sel-sel piramida pada korteks serebri.
Dalam keadaan normal, nucleus ventral memberikan input neuronal
melalui jaras thalamokortikal kepada korteks somatomotorik primer, korteks
premotorik dan suplemen serta selretikular thalamus.
Selain berproyeksi ke sel pyramidal korteks serebri, nukleus
ventrolateral talamus juga memberikan input kepada sel intenrneuron
penghambat (inhibitory interneuron), dan sel-sel retikular. Ketiga proyeksi
bersifat merangsang (eksitasi). Jadi pada saat yang bersamaan terjadi aktifasi
sel piramidal pada korteks serebri, aktifasi neuron penghambat, dan aktifasi
sel-sel retikular talamus. Sel-sel pyramidal korteks serebri yang tereksitasi
memberikan input kepada interneuron penghambat dan nucleus reticular
talamus.
Mekanisme penghambatan oleh sel interneuron penghambat ini dikenal
dengan mekanisme umpan maju (feed forward inhibition) sementara itu,
korteks serebri yang teraktifasi juga memberikan inhibisi umpan balik
(inhibitory interneuron) kenukleus talamus sehingga tidak terjadi aktivitas
perangsangan yang berlebihan dan nucleus ventral talamus ini,
Apabila terjadi disritmia jaras talamo-kortikal, hiperpolarisasi
berkepanjangan dari sel-sel talamus menyebabkan rangsangan dengan
frekuensi rendah baik kekorteks maupun kesel interneuron, sehingga inhibisi
yang dihasilkan oleh interneuron frekuensinya juga rendah. Hal ini
menyebabkan perangsangan (eksitasi) yang terus menerus keseluruh korteks
serecri dan merupakan dasar mekanisme dari kejang umum.
a) Tonik klonik (grandma), yaitu tiba-tiba penderita jatuh, pernafasan
berhenti sejenak dan seluruh tubuh menjadi kaku (tonik), gerakan-gerakan

12
klonik, yaitu gerakan relaksasi secara ritmik yaitu fleksi ringan dan
ekstensi kuat pada persendian anggota gerak atas dan bawah, juga otot
wajah. Penderita dapat mengeluarkan air seni dan mulutnya berbusa
akibat kontraksi tonik involunter kandung kemih dan kontraksi tonik-
klonik otot-otot wajah, mulut, dan orofaring.
b) Absans (petitmal), yaitu kejang berupa gangguan kesadaran tanpa adanya
gangguan motorik.
b. kejang parsial
a) kejang parsial sederhana
kejang parsial sederhana adalah jenis kejang yang disertai hilang
kesadaran dengan gejala kejang-kejang, rasa kesemutan atau rasa kebal
disuatu tempat yang berlangsung dalam hitungan menit atau jam. Jenis
epilepsy ini disebabkan oleh abnormalitas jaringan otak setempat, sehingga
gejala yang ditimbulkannya sesuai dengan daerah otak yang terkena.
b) kejang parsial kompleks
fokus epileptogenik kejang jenis ini sering berasal dari lobus
temperal, meskipun dapat muncul dari daerah manapun pada konteks
serebri, dimana terdapat perubahan struktual dimana terdapat atrofi,
hilangnya sel-sel saraf, dan pembentukan jaringan parut (gliosis). Kelainan
ini juga disebut juga mesial temporal sklerosis, dan hippokampal sclerosis
atau emoris horn sclerosis. Keruskan ini disebabkan oleh trauma, infeksi,
kekurangan oksigen atau kejang demam berulang yang tidak terkontrol,
atau status epileptikus (kejang yang berlangsung > 30 menit).
c. Epilepsy mioklonik juvenil
Yaitu salah satu jenis epilepsy yang diturunkan secara genetic. Pada
sejumlah penelitian dijumpai adanya kelainan struktur korteks dan subkorteks
pada penderita epilepsy jenis ini. Gejalanya berupa kontraksi singkat pada
satu atau beberapa otot mulai dari yang ringan tidak terlihat sampai yang
mneyentak hebat sperti jatuh tiba-tiba, melemparkan benda yang dipegang
tiba-tiba dan lain sebagainya.

13
F. Patofisiologi
Jika integritas membran sel saraf terganggu, sel-sel mulai melepaskan
impuls dengan frekuensi dan amplitudo yang meningkat. Ketika intensitas
pelepasan impuls melebihi ambang batas, impuls akan menyebar ke sel saraf di
sekitarnya, sehingga menyebabkan suatu kejang. Normalnya, sinyal eksitatoris
dari saraf tunggal hipersensitif di korteks serebral akan dimodulasi oleh struktur
yang lebih dalam (misalnya, thalamus dan batang otak) (figure 69-1). Pada
epilepsi, semburan aktivitas listrik dari korteks ini tidak dimodulasi. Akhirnya,
neuron inhibitor di korteks, thalamus anterior, dan ganglia basalis akan
memperlambat pelepasan impuls saraf. Setelah proses penghambatan ini muncul
atau neuron epileptogenik sudah kelelahan, kejang akan berhenti. Kejadian bagian
akhir ini akan menekan aktivitas CNS dan mengganggu kesadaran. Periode
gangguan kesadaran setelah kejang ini disebut kondisi postictal, yang dapat
muncul sebagai tidur, kebingungan, atau rasa lelah.
Aktivitas kejang meningkatkan konsumsi oksigen otak dan kebutuhan
akan adenosine trifosfat (ATP). Suplai oksigen dan glukosa akan dikonsumsi
dengan cepat. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka aliran darah serebral akan
meningkat selama kejang. Jika kejang berlangsung terus-menerus (seperti pada
status epilektikus), dapat terjadi hipoksia yang parah dan asidosis laktat yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak (Black & Hawks 2014 : 576).
G. Komplikasi
a. Kehilangan kontrol
a) Tenggelam (lebih sering)
b) Berpotensi jatuh dan mematahkan tulang atau menyebabkan cedera
kepala
b. Kehamilan
a) Kejang selama kehamilan berbahaya perkembangan janin
b) Obat-obatan epilepsi juga menyebabkan kelainan pada anak-anak
c. Sudden Death
Kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan pada epilepsi (SUDEP).
SUDEP tidak memiliki tanda-tanda peringatan, dan biasanya kematian

14
mendadak dan tak terduga. Kontrol kejang dengan pengobatan juga dapat
membantu mencegah terjadinya SUDEP
H. Pemeriksaan Lab
a. Pemeriksaan darah tepi secara rutin
b. Pemeriksaan lain sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit
c. Pemeriksaan CSS (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan,
berdarah, xantokrom, jumlah sel, kadar protein, gula, NaCl.
d. Pemeriksaan lain atas indikasi.
I. Penatalaksanaan
Menurut Batticaca (2008:120) penatalaksanaan epilepsi meliputi upaya
pencegahan dan pengobatan.
a. Pengobatan Kuratif (kausal)
Selidiki adanya penyakit yang masih aktif (tumor otak, hematoma
subdural kronis) pada lesi atau aktif progresif yang belum ada obatnya
(penyakit degeneratif) lesi (idiopatik, kriptogenetik), atau lesi yang sudah
inaktif (sequel karena trauma lahir, meningoensefalitis).
b. Pengobatan Preventif (rumat)
Klien dapat epilepsi cenderung mengalami serangan kejang secara
spontan, tanpa factor provokasi yang kuat atau nyata. Pengobatan kejang pada
epilepsi perlu dilakukan untuk mencegah kejang.
Tujuan utama pengobatan kejang adalah membuat penderita terbebas
dari serangan kejangnya sedini mungkin. Apabila penyebab serangan kejang
sudah diketahui, maka penanganannya ditujukan untuk mengatasi
penyebabnya. Apabila penyebab kejangnya adalah tumor, abses atau kelainan
pembulu darah, maka pennanganannya adalah dengan cara oprasi apabila
penyebab serangan kejang tidak diketahui, penanganannya adalah dengan
pemberian obat-obatan anti kejang yang cocok guna mengatasi serangan
kejang pada pasien. Pengobatan awal harus dimulai dengan pemakaian satu
jenis obat dulu (monoterapi), mengingat efek toksiknya lebih minimal, lebih
mudah menilai efektivitas obat, tidak ada interaksi obat, dan dosis terapi

15
dalam serum lebih mudah tercapai. Penembahan obat diberikan bila
monoterapi gagal untuk mengatasi serangan kejang.
Obat-obatan anti kejang bertujuan untuk menurunkan ambang
rangsangan sel saraf, baik dengan cara memblokade reseptor maupun kanal
ion yang berperan depolarisasisel saraf, atau memperkuat kerja kanal ion
yang berperan dalam hiperpolarisasi sel saraf.
Ada juga kejang yang disebabkan oleh abnormalitas pada suatu daerah
otot yang berulang kali melepaskan muatan listrik, yang disebut zona
epileptogenik. Tindakan operasi dipertimbangkan untuk dilakaukan bila
serangan kejang tetap tidak teratasi dengan terapi obat-obatan.
Tindakan bedah epilepsi adalah tindakan bedah yang untuk
menghilangkan dengan cara mengangkan atau mengeliminasi zona
epileptogenik. Atau dapat juga dengan memotong komisura garis tengah otak
untuk kasus epilepsi yang tidak mempunyai kasus yang jelas. Tindakan bedah
epilepsi harus dilakukan dengan tetap mempertahankan daerah otot yang
memiliki fungsi yang penting (korteks elokuen). Yang dimaksud korteks
elokuen adalah pusat bicara, pusat gerakan anggota badan, pusat penglihatan,
pusat pendengaran, dan pusat pemahaman atau area interpretasi umur.

16
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : An
Umur : 12 Tahun
Agama :-
Jenis Kelamin : Laki - laki
Status :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku Bangsa :-
Alamat :-
Tanggal Masuk :-
Tanggal Pengkajian :-
No. Register :-
Diagnosa Medis : Epilepsi
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama :-
Umur :-
Hub. Dengan Pasien :-
Pekerjaan :-
Alamat :-
2) Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
a) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini) : klien di bawa ke rumah sakit
dengan keluhan kejang saat tidur dengan posisi kepala menengadah ke
atas. Mata melinting ke atas dan kejang kelojotan pada ke empat
anggota gerak.

17
b) Alasan masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini : Saat anak
kejang dan tidak sadarkan diri dan mengompol, mulut berbusa, dan
terjadi selama 1-2 menit, keluhan ini terjadi kedua kalinya.
c) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya : -
3) Satus Kesehatan Masa Lalu :-
4) Riwayat Penyakit Keluarga : Ada riwayat keluhan yang sama pada
keluarga.
5) Pola kehidupan sehari-hari :-
6) Pengkajian Fisik
1. Keadaan umum : Kejang
2. Tanda-tanda Vital :
a. TD : 100/60 mmHg
b. HR : 88x/Menit
c. RR : 34 X/menit
d. Suhu Tubuh : 37.5oC
3. Pemeriksaan fisik :-
4. Keadaan fisik
a. Kepala :-
b. Kulit :-
c. Penglihatan : Mata melinting ke atas
d. Penciuman/Penghidu :-
e. Pendengaran :-
f. Mulut : Keluar busa
g. Leher :-
h. Dada/Pernapasan :-
i. Abdomen :-
j. Ekstremitas bawah : Kelojotan
k. Ekstremitas atas : Kelojotan
7) Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
1. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan :
2. Pola Nutrisi-Metabolik :-

18
3. Pola eliminasi :-
4. Pola aktivitas dan latihan :-
5. Pola kognitif dan Persepsi :-
6. Pola Konsep diri :-
7. Pola Tidur dan Istirahat :-
8. Pola Peran-Hubungan :-
9. Pola Seksual-Reproduksi :-
10. Pola Toleransi Stress-Koping :-
11. Pola Nilai-Kepercayaan :-
8) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksan Lab : -
9) Pemeriksaan saraf-saraf cranial
1. Nervus Olfaktorius :-
2. Nervus Optikus :-
3. Nervus Okulomotorius : Mata melinting ke atas
4. Nervus Trokhlearis :-
5. Nervus Trigeminus :-
6. Nervus Abdusen :-
7. Nervus Fasialis : Mulut berbusa
8. Nervus Vestibulokokhlearis :-
9. Nervus Glosofaringeus :-
10. Nervus Vagus :-
11. Nervus Aksesorius :-
12. Nervus Hipoglosus :-

19
B. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Kategori Subkategori

1 Risiko Aspirasi (D.0006) Fisiologi Respirasi

2 Risiko Cedera (D.0136) Lingkungan Keamanan dan Proteksi

20
C. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional


1 Risiko Aspirasi (D.0006) 1. Pencegahan Aspirasi : Manajemen Kejang Manajemen Kejang
Kategori : Fisiologi Tindakan personal untuk Observasi Observasi
Subkategori : Respirasi mencegah masuknya 1. Monitor arah kepala dan mata saat 1. Untuk mengetahui
Definisi : Berisiko cairan dan partikel padat kejang. bagaimanama na dan arah
memasuki sekresi ke dalam paru - paru. kepala klienselama kejang
gastrointestinal, sekresi Tujuan : Setelah dilakukan 2. Monitor status neurologis 2. untuk mengecek status
orofaring,benda cair atau tindakan keperawatan dalam neurologi pasien
padat ke dalam saluran waktu …..x24 jam 3. Monitor tanda – tanda vital 3. untuk memastikan pasien
trakeobronkhial akibat diharapkan Risiko Aspirasi dalam keadaan stabil
disfungsi mekanisme dapat teratasi dengan kriteria 4. Monitor tingkat obat – obatan anti 4. karena salah satun efek dari
protektif saluran napas. hasil: epilepsi dengan benar obat anti epilepsi yaitu
Ds : 1. Mengidentifikasi faktor – defsiensi vitamin D.
Do : faktor risiko (teratasi dari 5. Catat lama kejang 5. untuk memantau
skala 1 – skala 5) seberapalama kejang yang
2. Menghindari faktor – dialami pasien

21
faktor risiko (teratasi dari 6. Catat karakteristik kejang 6. untuk mengetahui apakah
skala 1 – skala 5) (misalnya, keterlibatan anggota saat terjadi kejang klien
3. Memposisikan tubuh tubuh, aktivitas motorik, dan melibatkan anggota
untuk tetap tegak ketika kejang progresif) tubuhnya, apakah ada
makan dan minum aktifitas motorik dan
(teratasi dari skala 1 – jugaapakah kejang yang
skala 5) dialami itukejang progresif
4. Memposisikan tubuh Mandiri Mandiri
untuk miring ketika 1. Pertahankan jalan napas 1. agar saat kejang pasien tidak
makan dan minum jika kekurangan oksigen yang
dibutuhkan (teratasi dari nantinya dapat
skala 1 – skala 5) meneyebabkan kerusakan
Keterangan : otak, karena pada umumnya
1. Tidak pernah dilakukan pasien kejang membutuhkan
2. Jarang dilakukan oksigen lebih banyak untuk
3. Kadang – kadang membawa darah menuju
dilakukan otak agar tidak terjadi
4. Sering dilakukan kerusakan sel-sel otak
5. Dilakukan secara 2. Balikan badan klien kesatu sisi 2. Balikkan badan klien kesatu

22
konsisten sisi (mis. Posisi tubuh
menghadap kearah kanan,
posisi tangan sebagai
penyangga kepala dengan
menekuk kaki yang berada
dibagian atas untuk
membantu penderita agar
ludah dapat dicegah masuk
ke dalam menghambat
saluran pernfasan, selain itua
liran darah keotakpun akan
lancar
3. Longgarkan pakaian 3. karena saat kondisi ini, Ia
sedang memiliki resiko
besar untuk sesak napas.
Selain itu, saat kejang-
kejang, air liurnya juga akan
banyak keluar sehingga
sebaiknya segera kita

23
bersihkan. Jika tidak
dibersihkan, dikhawatirkan
pernafasannya mengalami
gangguan.
4. Tetap disisi klien selama [klien 4. Ketika tubuh klien bergerak-
mengalami] kejang gerak saat kejang, perawat
harus berada disisi klien
untuk menjaga supaya tubuh
klien tidak membentur
benda-benda yang ada
disekelilingnya
5. Berikan oksigen dengan benar 5. Untuk memenuhi kebutuhan
oksigen klien.
6. Orientasikan [pasien] kembali 6. untuk mengembalikan
setelah kejang kembali kesadaran pasien
setelah mengalami kejang
7. Berikan obat anti kejang dengan 7. Pemberian obat kejang yang
benar benar dapat membantu
proses penyembuhan

24
Manajemen Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
Observasi Observasi
1. Monitor status pernapasan dan 1. Untuk mengetahui
oksigenasi, sebagaimana mestinya perkembangan status
kesehatan pasien dan
mencegah komplkasi
Mandiri lanjutan.
1. Posisikan pasien untuk Mandiri
memaksimalkan ventilasi 1. Posisikan pasien dengan
Posisi semi fowler untuk
Pencegahan Aspirasi mengurangi sesak.
Observasi Pencegahan Aspirasi
1. Monitor status pernapasan Observasi
1. Untuk mengetagui
pernapasan klien terganggu
Mandiri atau tidak.
1. Jaga kepala tempat tidur Mandiri
ditinggikan 30 sampai 45 menit 1. Untuk mencegah aspirasi.
setelah pemberian makan

25
2 Risiko Cedera (D.0136) NOC NIC
Kategori : Lingkungan 1. Keseimbangan Manajemen Lingkungan : Manajemen Lingkungan :
Subkategori : Keamanan 2. Pergerakan Keselamatan Keselamatan
dan Proteksi 3. Kontrol risiko Observasi Observasi
Definisi : Berisiko Tujuan : Setelah dilakukan 1. Identifikasi kebutuhan keamanan 1. Menentukan kebutuhan
mengalama bahaya atau tindakan keperawatan dalam pasien berdasarkan fungsi fisik dan pasien terhadap keamanan
kerusakan fisik yang waktu …..x24 jam kongnitif serta riwayat perilaku dan menentukan
menyebabkan seseorang diharapkan Risiko Cedera dimasa lalu intervensi yang tepat
tidak lagi sepenuhnya dapat teratasi dengan kriteria 2. Identifikasi hal – hal yang 2. Bahaya lingkungan dapat
sehat atau dalam kondisi hasil: membahayakan di lingkungan menyebabkan klien
baik. 1. Postur (teratasi dari skala (misalnya, [bahaya] fisik, biologi, mendapatkan trauma fisik
Ds : 1 – skala 5) dan kimiawi sehingga dapat
Do : 2. Goyah (teratasi dari skala memperparah penyakitnya
1 – skala 5) 3. Monitor lingkungan terhadap 3. Untuk mengetahui
3. Tersandung (teratasi dari terjadinya perubahan status lingkungan apa saja yang
skala 1 – skala 5) keselamatan dapat membahayakan
4. Keseimbangan (teratasi klien sehingga harus
dari skala 1 – skala 5) dihindarkan
5. Kinerja pengaturan tubuh Mandiri Mandiri

26
(teratasi dari skala 1 – 1. Singkirkan bahan berbahaya dari 1. Barang- barang di sekitar
skala 5) lingkungan jika diperlukan pasien dapat
6. Mencari informasi tentang membahayakan saat terjadi
risiko kesehatan kejang.
7. Mengidentifikasi faktor Identifikasi risiko Identifikasi risiko
risiko Observasi Observasi
8. Memonitor faktor risiko di 1. Kaji ulang riwayat kesehatan masa 1. Untuk mengetahui adan
lingkungan lalu dan dokumentasikan bukti penyakit lain yang
Keterangan : yang menunjukkan adanya menjadi pencetus
1. Sangat terganggu penyakit medis, diagnosa
2. Banyak terganggu keperawatan serta perawatan
3. Cukup terganggu 2. Kaji ulang data yang didapatkan 2. Agar data yang didapat
4. Sedikit terganggu dari pengkajian risiko secara rutin lebih akurat
5. Tidak terganggu Health Education
1. Instruksikan faktor risiko dan
rencana untuk mengurangi faktor Health Education
risiko 1. Untuk mengurangi faktor
risiko yang muncul

27
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kasus yang ada kelompok kami mengangkat epilepsi sebagai
diagnosa medis. Epilepsi adalah suatu kelainan neurologi yang disebabkan oleh
berlebihnya aliran listrik di dalam otak yang menyebabkan penderita mengalami
kejang yang berulang. ada beberapa penyebab dari epilepsi salah satunya adalah
faktor genetik.
Diagnosa keperawatan yang bisa di angkat pada pasien epilepsi adalah
Resiko Aspirasi dan Resiko Cedera. Intervensi yang bisa diberikan yaitu
membalikan badan klien ke satu sisi untuk membantu penderita agar ludah yang
di produksi secara berlebihan tidak masuk ke dalam dan menghambat saluran
pernfasan yang dapat mengakibatkan klien mengalami aspirasi, selain itu aliran
darah keotakpun akan lancar sehingga otak klien tidak akan mengalami
kerusakan.
B. Saran
Kelompok kami Menyadari bahwa penyusunan makalah masih jauh dari
kata sempurna, kedepannya penyusunan makalah akan lebih fokus dan details
dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Azhari S. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2014

Ginsberg L. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga. 2008

Batticaca Fransisca B. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medica. 2008

Black Joyce M, Hawks Jane H. Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier.


2014

29

Vous aimerez peut-être aussi