Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang sementara membangun dirinya dari suatu
Negara agraris yang sedang berkembang menuju masyarakat industri banyak
member andil terhadap pola fertilitas, gaya hidup, dan sosial ekonomi yang
pada gilirannya dapat memicu peningkatan penyakit tidak menular. Perubahan
pola penyakit menular ke penyakit tidak menular ini lebih dikenal dalam
sebutan transisi epidemiologi (Bustan, 2007).
Transisi epidemiologi sangat dipengaruhi oleh transisi demografi,
sebab dalam salah satu tahap transisi demografi terjadi proses pertumbuhan
rendah yang mengakibatkan mortalitas dan fertilitas relatif stabil, kadang
fertilitas lebih rendah dari mortalitas sehingga pertumbuhan negatif (Rajab,W
2008). Pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) diprediksi akan meningkat
cepat di masa yang akan datang terutama di negara-negara berkembang.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami
ledakan jumlah penduduk lansia, kelompok umur 0-14 tahun dan 15-49 tahun
berdasarkan proyeksi 2010-2035 menurun. Sedangkan kelompok umur lansia
berdasarkan proyeksi 2010-2035 terus meningkat (Buletin Lansia, Kemenkes,
2012).
Terjadinya transisi epidemiologi yang paralel dengan transisi
demografi dan transisi teknologi telah mengakibatkan perubahan pola
penyakit dari penyakit menular menjadi menjadi penyakit tidak menular
(PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made disease yang merupakan
faktor utama masalah morbiditas dan mortalitas (Rahajeng, E dan Tumimah,
2009).
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian
secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang
terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya
disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. Peningkatan kejadian PTM
berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup
seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan
populasi dan peningkatan usia harapan hidup (Buletin Penyakit Tidak
Menular, Kemenkes, 2012).
Sedangkan menurut laporan WHO tahun 2014, PTM menyebabkan
kematian pada 40 juta orang setiap tahunnya, setara dengan 70% dari seluruh
jumlah kematian secara global (WHO, 2014). Salah satu PTM yang menjadi
masalah kesehatan yang sangat serius adalah hipertensi. Hipertensi merupakan
“silent killer” sehingga menyebabkan fenomena gunung es. Prevalensi
hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Kondisi patologis ini jika
tidak mendapatkan penanganan secara cepat dan secara dini maka akan
memperberat risiko (Wahyuningsih dan Astuti, 2013).
Berdasarkan laporan WHO tahun 2013, hipertensi bertanggungjawab
atas sekitar 45% kematian akibat jantung iskemik dan 51% kematian akibat
stroke (WHO, 2013). Pada tahun 2015, kematian yang disebabkan oleh
jantung iskemik dan stroke meningkat menjadi 54% (dari 56.4 juta kematian
di dunia) (WHO, 2017).
Bedasarkan data WHO pada tahun 2014 terdapat sekitar 600 juta
penderita hipertensi di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi terjadi di wilayah
Afrika yaitu sebesar 30%. Prevalensi terendah terdapat di wilayah Amerika
sebesar 18%. Hipertensi merupakan tantangan besar di Indonesia. Betapa
tidak, hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan
kesehatan primer kesehatan (Infodatin Hipertensi, 2014). Riskesdas pada
tahun 2013 mencatat prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 25,8 %,
dengan prevalensi tertinggi terdapat di Bangka Belitung (30,9%), diikuti
Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat
(29,4%).
Prevalensi hipertensi pada lansia menurut hasil Rikesdas 2013 mulai
dari lansia dan lansia tua berturut-turut adalah pada pada kelompok umur 55-
64 sebesar 45,6%, pada kelompok umur 65-74 sebanyak 58,9% dan pada
kelompok umur >75 tahun sebesar 62,6%.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013) yang diselenggarakan oleh
kementerian kesehatan menunjukan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia
berdasarkan pengukuran tekanan darah sangat tinggi yaitu 25,8 % dari total
penduduk dewasa menderita hipertensi. Di Sumatera Barat, hipertensi
termasuk ke dalam 5 penyakit yang terbanyak dialami oleh masyarakat.
Angka kejadiannya juga cenderung meningkat, menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar yang dilakukan Departemen Kesehatan RI tahun 2007, prevalensi
hipertensi di Sumatera Barat sudah mencapai 31,2 % (Ramadi, 2012).
Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Manik (2011),
diperoleh distribusi proporsi hipertensi sebesar 30,50% atau sebanyak 32
orang dari 105 lansia. Proporsi hipertensi lansia tertinggi juga pada kelompok
umur 60-74 tahun (57,10%).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini
adalah “Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi
pada lansia.
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian tekanan darah dan hipertensi
2. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan lansia
3. untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia
4. untuk mengetahui jenis-jenis hipertensi pada lansia
5. untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia
6. untuk mengetahui penatalaksanaan hipetensi pada lansia
7. untuk mengetahui faktor-faktor penyebab hipertensi pada lansia
c. Manfaat Penulisan
a) Memberikan informasi bagi penulis untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhbungan dengan hipertensi pada lansia.
b) Memberikan informasi bagi keluarga yang mempunyai lansia yang
menderita hipertensi tentang upaya yang dapat dilakukan dalam
mencegah ataupun menanggulangi hipertensi, sehingga dampak
hipertensi tidak semakin berat bagi penderita.
c) Bagi kampus sebagai tambahan referensi untuk faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipertensi pada lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tekanan Darah dan Hipertensi
1. Pengertian Tekanan Darah
Menurut Aris Sugiharto (2007) yang dikutip Masriadi (2016)
bahwa tekanan darah adalah suatu tekanan darah yang mengalir dalam
pembuluh darah untuk beredar ke seluruh tubuh membawa oksigen dan zat
yang dibutuhkan tubuh agar dapat hidup dan melaksanankan tugasnya.
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan darah ketika
bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Jantung adalah pompa muskular
yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah. Pembuluh darah
memiliki dinding yang elastis dan memiliki ketahanan yang kuat. Oleh
karena itu, di dalam sistem itu di antara denyut jantung ada tekanan
(Hayens, R.B dkk, 2000).
Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain dikenal
sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan
darah rendah. Pada umumnya yang lebih banyak dihubungkan dengan
kelainan tekanan darah adalah hipertensi, sedangkan hipotensi sering kali
dihubungkan dengan kasus syok (Masud, Ibnu. 1989).
2. Pengertian Hipertensi
Menurut Masriadi (2016) yang mengutip pendapat Sheps, S.G
(2005) menyatakan bahwa hipertensi adalah penyakit dengan tanda adanya
gangguan tekanan darah sistolik maupun diastolik yang naik di atas
tekanan darah normal. Tekanan darah sistolik (angka atas) adalah tekanan
puncak yang tercapai ketika jantung berkontraksi dan memompakan darah
keluar melalui arteri. Tekanan darah sistolik dicatat apabila terdengar
bunyi pertama pada alat pengukur tekanan darah. Tekanan darah diastolik
(angka bawah) diambil ketika tekanan jatuh ke titik terendah saat jantung
rileks dan mengisi darah kembali. Tekanan darah diastolik dicatat apabila
bunyi tidak terdengar.
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang akan
member gejala lanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak),
penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertropi
ventrikel kiri / left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan
target organ di otak yang berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab
utama stroke yang membawa kematian yang tinggi ( Bustan, M.N, 2015).
Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima
menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang ( Infodatin Hipertensi, 2014).
Hipertensi bearti terjadi peningkatan secara abnormal dan terus
menerus tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan
darah secara normal (Hayens, R.B dkk, 2000). Sedangkan menurut Jain
(2011), yang dikutip Masriadi (2016), hipertensi merupakan salah satu
penyakit degeneratif yang banyak terjadi dan mempunyai tingkat
mortalitas yang cukup tinggi serta mempengaruhi kualitas hidup dan
produktivitas seseorang. Hipertensi (tekanan darah tinggi) bearti
meningkatnya tekanan darah secara tidak wajar dan terus menerus karena
rusaknya salah satu atau beberapa faktor yang berperan mempertahankan
tekanan darah tetap normal.
Sedangkan menurut Agoes, Azwar dkk, (2009) hipertensi atau
penyakit “darah tinggi”, merupakan kondisi ketika seseorang mengalami
kenaikan tekanan darah baik secara lambat atau mendadak (akut). Tekanan
darah tinggi adalah salah satu penyebab utama terjadinya cacat fisik atau
kematian akibat stroke, serangan jantung, kegagalan fungsi jantung, dan
gagal ginjal (Sheps, S.G, 2005).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus
lebih dari suatu periode. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan
arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan
pembuluh darah (Udjianti,W.J, 2011). Hipertensi adalah suatu keadaan
ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal
tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan,
penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-
organ vital seperti jantung dan ginjal (Riskesdas, 2013).
B. Lanjut Usia
1. Pengertian Lansia
Menurut Constantinides (1994) yang dikutip oleh Sunaryo dkk
(2015), pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya secara pelahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Oleh karena itu, dalam tubuh akan menumpuk makin banyak
distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degenaratif yang
menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal
(Darmojo dan Martono, 1999 dalam Suryono dkk 2015).
Berdasarkan pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) yang
dikutip Suryono dkk (2015), batasan-batasan umur yang mencakup
batasan umur lansia sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 Pasal 1 ayat 2
yang berbunyi “Lansia usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut: usia pertengahan (middle age)
ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah
di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) tersebar empat fase,
yaitu: pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase
virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-
65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia
(geriatric age) : >65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia
(getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur,
yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun) very old (>80
tahun) (Effendi, 2009).
Lima klasifikasi pada lansia (Maryam, dkk, 2008):
a. Pralansia (prasenilia)
b. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih degan masalah kesehatan
(Depkes RI, 2003)
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan / atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa (Depkes
RI, 2003)
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI,
2003).

2. Karakteristik Lansia
Menurut Budi Anna Keliat (1999) yang dikutip Maryam (2008),
lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Berusia 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentang Kesehatan.
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat
sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual,
serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
3. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya
(Nugroho, 2000 dalam Maryam, 2008). Tipe tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah,
rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan
menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan
memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.

d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe
konstruktif, tipe dependen (ketergantungan), tipe defensif
(bertahan), tipe militan dan tipe serius, tipe pemarah/frustasi
(kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe
putus asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandirianya yang
dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari (indeks kemandirian Katz), para lansia dapat
digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu lansia mandiri
sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung
keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak
langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia panti
wreda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan
gangguan mental
4. Kesehatan Lansia
Fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degenerative
(penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada usia
lanjut. Selain itu masalah degeneratif menurunkan daya tahan tubuh
sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Penyakit tidak menular
pada lansia di antaranya hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan radang
sendi atau rematik. Sedangkan penyakit menular yang diderita adalah
tuberkulosis, diare, pneumonia, dan hepatitis (Buletin Lansia, 2013).
Faktor yang juga mempengaruhi kondisi fisik dan daya tahan
tubuh lansia adalah pola hidup yang dijalaninya sejak usia balita. Pola
hidup yang kurang sehat berdampak pada penurunan daya tahan tubuh,
masalah umum yang dialami adalah rentannya terhadap berbagai penyakit
(Buletin Lansia, 2013).
Perjalanan dan penampilan serta sifat penyakit pada lanjut usia
berbeda dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat
disimpulkan bahwa penyakit pada lanjut usia sebagai berikut (Nugroho,
2008):
a. Penyakit bersifat multipatologis/penyakit lebih dari satu.
b. Bersifat degeneratif, saling terkait, dan silent.
c. Mengenai multi-organ/multisistem.
d. Gejala penyakit muncul tidak jelas/tidak khas.
e. Penyakit bersifat kronis dan cenderung menimbulkan kecacatan
lama sebelum meninggal.
f. Sering terdapat polifarmasi dan iatrogenik.
g. Biasanya juga mengandung komponen psikologis dan sosial.
h. Lanjut usia lebih sensitif terhadap penyakit akut.
C. Posyandu Lansia
1. Pengertian Posyandu Lansia
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat
usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang
digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan
kesehatan. Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan
pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang
penyelenggaraannya melalui program puskesmas dengan melibatkan peran
serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial dalam
penyelenggaraannya (Sunaryo dkk, 2015).

2. Tujuan posyandu lansia


Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar adalah:
Pertama, meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di
masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan lansia. Kedua, mendekatkan pelayanan dan meningkatkan
peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan di samping
meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut (Sunaryo dkk,
2015).
3. Sasaran Posyandu lansia
Sasaran posyandu lansia meliputi sasaran langsung dan sasaran
tidak langsung. Sasaran langsung adalah prausia lanjut (45-59 tahun), usia
lanjut (60-69 tahun), dan usia lanjut risiko tinggi, yaitu lebih dari 70 tahun
atau usia lanjut berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
Sasaran tidak langsung adalah keluarga di mana usia lanjut berada,
masyarakat tempat lansia berada, organisasi sosial, petugas kesehatan, dan
masyarakat luas (Sunaryo dkk, 2015).
4. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Menurut R.Siti Maryam dkk (2010), ada lima mekanisme dalam
kegiatan kesehatan posbindu dengan sistem 5 meja, yaitu:
Tabel 2.1 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia Meja
Kegiatan Sarana Pelaksana
Meja Kegiatan Sarana Pelaksana
I Pendaftaran Meja, Kursi, Kader
alata tulis, buku
register, dan
buku pencatatan
kegiatan, KMS
II Pencatatan ADL, Meja, kursi, alat Kader
penimbangan tulis, KMS,
BB, dan timbangan,
pengukuran TB meteran
III Pengukuran TD, Meja, kursi, alat Petugas
pemeriksaan tulis, KMS, kesehatan (bisa
kesehatan stetoskop dan status
mental
tensimeter
dibantu kader)
IV Pemeriksaan Gula darah, Petugas
kolesterol, asam kesehatan (bisa
urat dan laian- dibantu kader)
lain.

V Penyuluhan, Meja, kursi, alat Petugas


konseling tulis, KMS, kesehatan/kader
leaflet, poster

5. Kendala Pelaksanaan Posyandu Lansia


Terdapat beberapa kendala yang dihadapi lansia dalam mengikuti
kegiatan posyandu. Pertama, pengetahuan lansia yang yang rendah tentang
manfaat posyandu. Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat
diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan mendapatkan
penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala
keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan
pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat yang menjadi
dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi
mereka untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.
Kedua, jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit
dijangkau. Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah
menjangkau posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan
fisik karena penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan
dalam menjangkau lokasi posyandu ini berhubnungan denagan faktor
keamanan atau keselamatan bagi lansia. Jika lansia merasa aman atau
merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus
menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka hal ini data
mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan
posyandu. Dengan demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal
dari terbentuknya motivasi untuk menghadiri posyandu lansia.
Ketiga, kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun
mengingatkan lansia untuk datang ke posyandu. Dukungan keluarga
sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan lansia untuk
mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat
bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau
mengantar lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal
posyandu, dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan
bersama lansia.
Keempat, sikap yang kurang baik terhadap petugas posyandu.
Penilaian pribadi atau sikap yang baik terhadap petugas merupakan dasar
atas kesiapann atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu.
Dengan sikap yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau
mengikuti kegiatan yang diadakan posyandu lansia. Hal ini dapat
dipahami karena sikap seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek. Kesiapan merupakan kecenderungan
potensial untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu apabila individu
dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respons.
D. Patofisiologi Hipertensi pada Lansia
Dimulai dengan atherosklerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh
darah perifer yang berlanjut dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan
pembuluh darah disertai dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran
plague yang menghambat gangguan peredaran darah perifer. Kekakuan dan
kelambanan aliran darah menyebabkan beban jantung bertambah berat yang
akhirnya dekompensasi dengan peningkatan upaya pemompaan jantung yang
memberikan gambaran peningkatan tekanan darah dalam sistem sirkulasi
(Bustan, 2007).
Hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi sistolik terisolasi
(isolated systolic hypertension) dimana terdapat kenaikan tekanan tekanan
darah sistolik disertai penurunan tekanan darah diastolik, yang disebabkan
adanya perubahan di dalam struktur pembuluh darah utama, yang menjadi
kurang elastis dan kaku.
Pada kondisi ini penigkatan TDS disebabkan oleh kekakuan dinding
arteri dan elastisitas aorta yang berkurang. Kekakuan dinding pembuluh darah
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, sehingga aliran darah yang
dialirkan ke jaringan dan organ-organ tubuh menjadi berkurang. Akibatnya
terjadi peningkatan tekanan darah sistolik agar aliran darah ke jaringan dan
organ-organ tubuh tetap mencukupi (Kaplan, 2006).
E. Klasifikasi Hipertensi
1. Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-VII
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC-VII
(The Joint National Committee On Prevention, Detection Evaluation and
Treatment Of High Blood Preassure (JNC 7) (Masriadi, 2016).
Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-90
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 >160 >100
2. Klasifikasi hipertensi berdasarkan WHO
WHO menggunakan tekanan diastolik sebagai bagian tekanan
yang dipakai dalam kriteria diagnosis dan klasifikasi. Tekanan darah
manusia meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah waktu jantung
menguncup dan tekanan darah diastolik yakni tekanan darah waktu
jantung istirahat. Pentingnya perhatian terhadap diastolik dalam
manajemen hipertensi berkaitan dengan lebih tinginya prevalensi
hipertensi diastolik dibandingkan dengan prevalensi sistolik sehingga
diastolik sangat penting dalam menegakan diagnosis hipertensi. Diastolik
dapat digunakan dalam pengukuran keberhasilan pengobatan hipertensi
dan menjadi pegangan dalam melakukan prognosis serta pedoman dalam
evaluasi atau pengontrolan pengobatan (Bustan, 2007).
Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah Pada Usia Dewasa
Kategori Sistolik Diastolik
Normal 120-30 80-85
Normal tinggi 130-135 85-90
Hipertensi stadium 1 140-159 90-99
Hipertensi stadium 2 160-179 100-109

Hipertensi stadium 3 >180 >110

3. Klasifikasi hipertensi berdasarkan derajat kerusakan organ


Adanya kerusakan organ memberi tanda adanya peningkatan risiko
kardiovaskular pada semua aras tekanan darah. Penggolongan hipertensi
berdasarkan derajat kerusakan organ menggunankan tahapan untuk
menunjukkan meningkatnya keparahan penyakit seiring dengan waktu
(Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Tabel 2.4 Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Kerusakan Organ
Tahap I Tidak ada manifestasi perubahan
organ
Tahap II Sekurang-kurangnya terdapat salah
satu dari manifestasi
keterlibatan organ berikut:
Hipertropi bilik jantung kiri
(dideteksi dengan
radiogram, elektrokardiogram,
ekokardiogram)
Penyempitan arteri retina secara
umum dan fokus
Mikro-albuminuria, proteinuria
dan/atau sedikit
peningkatan konsentrasi kreatinin
plasma (1,2-2,0 mg/dl)
Bukti ultrasonografi atau radiologi
tentang adanya plak
aterosklerosis ( dalam aorta atau
carotid, arteri ilium atau
femur)
Tahap III Gejala dan tanda sama –sama sudah
tampak akibat kerusakan
organ, antara lain:
Jantung
Angina pectoris
Infark myokard
Gagal jantung
Otak
Stroke
Serangan iskemia sesaat
Enselopati hipertensi
Demensia vascular
Fundus optic
Perdarahan dan eskudat retina
dengan atau tanpa edema
papila (ciri-ciri ini merupakan
penanda penyakit fase ganas
atau dipercepat)
Ginjal
Konsentrasi kreatinin plasma > 2,0
mg/dl)
Gagal ginjal
Pembuluh
Aneurisme diseksi
Penyakit oklusi arteri simptomatik

Sumber:Komisi Pakar Organisasi Kesehatan Dunia mengenai Hipertensi


Arteri dan Pedoman 1993 untuk pengelolaan hipertensi ringan
F. Jenis Hipertensi
1. Hipertensi berdasarkan faktor penyebabnya
a. Hipertensi Primer (Esensial)
Budiyanto (2002) dalam Masriadi (2016) mengatakan bahwa
hipertensi esensial merupakan salah satu faktor risiko penting untuk
terjadinya penyakit cerebrovasculer dan penyakit jantung koroner.
Hipertensi esensial merupakan etiologi kesakitan dan kematian yang
cukup banyak dalam masyarakat. Bila dilihat presentase kasus
hipertensi secara keseluruhan, maka hipertensi esensial meliputi
kurang lebih 90-95% dan lainnya adalah kasEus hipertensi sekunder.
Menurut Rinawang (2011) yang dikutip Masriadi (2016),
hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama
karena interaksi antara faktor risiko tertentu. Faktor utama yang
berperan dalam patofisiologi hipertensi adalah interaksi faktor gentik
dan faktor lingkungan. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikontrol.
b. Hipertensi Non Esensial (Sekunder)
Aris Sugiarto (2007) dalam Masriadi (2016) menyatakan
bahwa hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya
ginjal, jantung koroner, diabetes, dan kelainan sistem saraf pusat.
Menurut Masriadi (2016) yang mengutip pendapat Sunardi
(2000) menyatakan bahwa hipertensi yang disebabkan kelainan organ
tubuh lain kejadiannya mencapai 10%, misalnya penyakit ginjal,
penyakit endokrin, penyakit pembuluh darah dan sebagainya, yang
memerlukan pemeriksaan khusus agar dapat ditentukan penyebabnya.
2. Hipertensi berdasarkan gangguan tekanan darah (Bustan, 2015).
a. Hipertensi sistolik ; peninggian tekanan darah sistolik saja.
b. Hipertensi diastolik ; peninggian tekanan diastolik.
3. Hipertensi berdasarkan beratnya atau tingginya peningkatan
tekanan darah (Bustan, 2015).
a. Hipertensi ringan
b. Hipertensi sedang
c. Hipertensi berat

G. Gejala Hipertensi
Hipertensi biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
rutin. Hipertensi dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah. Biasanya
penyakit ini tidak memperlihatkan gejala, meskipun beberapa pasien
melaporkan nyeri kepala, lesu, pusing, pandangan kabur, muka yang terasa
panas atau telinga mendenging (Agoes, A dkk, 2009).
Hipertensi sering terjadi bersamaan dengan ketegangan mental, stress,
dan gelisah. Gelisah berkepanjangan atau kronis, atau mudah tersinggung
sering ditemukan pada pengidap hipertensi. Di pihak lain, enselopati
hipertensi sering menimbulkan gejala mengantuk, kebingungan, gangguan
penglihatan, mual, dan muntah (Agoes, A dkk, 2009).
Pada hipertensi sekunder, akibat penyakit lain, seperti tumor
(freomositoma) terdapat keringat berlebihan. Peningkatan frekuensi denyut
jantung, rasa cemas yang hebat, dan penurunan berat badan. Sebaliknya pada
sindrom Cushing, terjadi pertambahan berat badan, lesu, pertumbuhan rambut
abnormal di tubuh, dan pada wanita menstruasi dapat terhenti dan terbentuk
garisgaris pigmentasi di dinding perut. Hiperparatiroidisme dengan
peningkatan kadar kalsium akan menimbulkan gejala berupa lesu,
peningkatan berkemih, konstipasi atau pembentukan batu ginjal (Agoes, A
dkk, 2009).
Sedangkan menurut Sidabutar, R.P (1990) dalam Roslina (2008) yang
menyebutkan bahwa hasil survey hipertensi di Indonesia dengan keluhan di
antaranya: Pusing, mudah marah, sukar tidur, telinga berdengung, sesak nafas,
rasa berat di tengkuk, rasa mudah lelah, mata berkunang - kunang. Gejala lain
akibat komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan
neurologi, gejala payah jantung dan gejala akibat perdarahan pembuluh darah
otak yang berupa kelumpuhan, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran
bahkan sampai koma.
Menurut Palmer (2007), bila tekananan darah tidak terkontrol dan
menjadi sangat tinggi, (keadaan ini disebut hipertensi berat atau hiertensi
maligna), maka mungkin akan timbul gejala seperti pusing, pandangan kabur,
sakit kepala kebingungan, mengantuk, sulit bernapas.

H. Komplikasi Hipetensi
Tekanan darah tinggi perlu dikendalikan karena bersama berlalunya
waktu, kekuatan berlebihan pada dinding arteri dapat sangat membahayakan
banyak organ-organ vital pada tubuh. Umumnya, semakin tinggi tekanan
darah atau semakin tak terkontrol, semakin parah kerusakan yang terjadi
(Sheps, S.G, 2005). Menurut Susalit (2001) yang dikutip Masriadi (2016)
tekanan darah tinggi dalam jangka panjang waktu lama akan merusak
endhotel arteri dan mempercepat arterioklorosis. Bila penderita memiliki
faktor risiko kardiovaskuler lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan
morbiditas akibat gangguan kardiovaskulernya tersebut.
Menurut studi Farmingham, pasien dengan hipertensi mempunyai
peningkatan risiko bermakna untuk penyakit jantung koroner, stroke, penyakit
arteri perifer dan gagal jantung. Sedangkan Suhardjono (2006) dalam
Masriadi (2016) menyatakan hipertensi yang tidak dapat diobati akan
mempengaruhi semua sistim organ dan akhirnya akan memperpendek harapan
hidup sebesar 10-20 tahun.
1. Gagal jantung.
Gagal jantung adalah istilah untuk suatu keadaan di mana secara
progresif jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh secara
efisien. Jika fungsinya semakin buruk, maka akan timbul tekanan balik
dalam sistem sirkulasi yang menyebabkan kebocoran cairan dari kapiler
terkecil paru. Hal ini akan menimbulkan sesak napas dan pembengkakan
pada kaki dan pergelangan kaki (Palmer, A dkk, 2007).
Penyakit jantung adalah kausa tersering kematian pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensif terjadi karena adaptasi struktural
dan fungsional yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi
diastolik, GJK, kelainan aliran darah karena penyakit aterosklerotik arteri
koronaria dan penyakit mikrovaskular, serta aritmia jantung (Jameson, J.
Larry dan Loscalzo, Joseph, 2010).
2. Ginjal
Ginjal bertugas menyaring zat sisa dari darah dan menjaga
keseimbangan cairan dan kadar garam dalam tubuh. Gagal ginjal timbul
bila kemampuan ginjal dalam membuang zat sisa dan kelebihan air
berkurang. Kondisi ini cenderung bertambah buruk setiap tahunnya.
Penyakit gagal ginjal kronik biasanya berakhir pada keadaan yang disebut
gagal ginjal stadium terminal. Keadaan ini bersifat fatal kecuali bila
penderitanya menjalani dialisis (fungsi ginjal dalam menyaring darah
digantikan oleh mesin) atau transplantasi ginjal. Ginjal secara intrinsic
berperan dalam pengaturan tekanan darah, dan inilah sebabnya mengapa
tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyaakit ginjal dan demikian
pula sebaliknya (Palmer, A dkk, 2007).
3. Otak
Komplikasinya berupa stroke dan serangan iskhemik. Stroke dapat
timbul akibat pendarahan tekanan darah tinggi di otak, akibat emboli yang
terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke
dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri yang mempengaruhi
otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah
yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami arterosklorosis
dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya
anurisma (Rinawang, 2011 dalam Masriadi 2016).
Hipertensi adalah suatu faktor risiko penting untuk infark dan
perdarahan otak. Sekitar 85% stroke disebabkan oleh infark dan sisanya
disebabkan oleh perdarahan, baik perdarahan intraserebral maupun
perdarahan subaraknoid. Pada orang berusia >65 tahun, insiden stroke
meningat progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah, terutama
tekanan darah sistolik (Jameson, J.Larry dan Loscalzo, Joseph, 2010).
4. Mata
Tekanan darah tinggi mempercepat penuaan normal dari pembuluh
darah halus di dalam mata. Di dalam kasus-kasus yang berat, hal ini
bahkan dapat menyebabkan hilangnya penglihatan. Tekanan darah tinggi
juga dapat menyebabkan pembuluh darah halus di dalam retina robek dan
membocorkan darah serta cairan (lain) ke jaringan disekitarnya. Pada
kasus-kasus berat, syaraf yang membawa sinyal-sinyal penglihatan dari
retina ke otak (syaraf optik) mungkin mengalami pembengkakkan. Ini
dapat mengarah pada kebutaan (S.G, Sheldon 2005). Tekanan darah tinggi
dapat mempersempit atau menyumbat arteri di mata sehingga
menyebabkan kerusakan pada retina (area pada mata yang sensitive
terhadap cahaya). Keadaan ini disebut penyakit vaskular retina. Penyakit
ini dapat menyebabkan kebutaan dan merupakan indikator awal penyakit
jantung (Palmer, A dkk, 2007).
I. Determinan Penderita Hipertensi
1. Umur
Tekanan darah tinggi sangat sering terjadi pada orang berusia lebih
dari 60 tahun karena tekanan darah secara alami cenderung meningkat
seiring bertambahnya usia. (Palmer dkk, 2007). Akibat pertambahan
umur dan proses penuaan, serabut kolagen di pembuluh darah dan
dinding arteriol bertambah sehingga dinding pembuuh tersebut mengeras.
Dengan berkurangnya elastisitas ini, daerah yang dipengaruhi tekanan
sistolik akan menyempit sehingga tekanan darah rata-rata meningkat
(Agus, A dkk, 2010). Lima puluh enam persen pria dan 52% wanita yang
berusia lebih dari 65 tahun menderita tekanan darah tinggi (S.G, Sheldon
2005).
2. Jenis kelamin
Di kalangan orang dewasa muda dan setengah baya, para pria lebih
cenderung terkena tekanan darah tinggi daripada wanita. Belakangan, hal
sebaliknya-lah yang terjadi setelah berusia kira-kira 50 tahun, ketika
kebanyakan wanita telah mencapai menopause, tekanan darah tinggi
menjadi lebih umum ditemukan pada wanita daripada pria (S.G, Sheldon
2005).
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang menunjukkan adanya tekanan darah yang
meninggi merupakan faktor risiko paling kuat bagi seseorang untuk
mengidap hipertensi di masa datang. (Laporan Komisi Pakar WHO,
2001). Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah seorang anak akan
lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka memiliki
hubungan darah (Palmer dkk, 2007).
Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan di dalam keluarga. Jika
salah seorang dari orangtua mengidap tekakan darah tinggi, maka akan
seseorang akan mempunyai peluang sebesar kira-kira 25% untuk
mewarisinya. Jika ibu maupun ayah mempunyai tekanan darah tinggi,
maka peluang untuk tekena penyakit ini meningkat menjadii kira - kira
60% (S.G, Sheldon 2005).
4. Obesitas
Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan dimana terjadi
penumpukan lemak tubuh yang berlebih, sehingga berat badan seseorang
jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan (Irwan, 2016).
Obesitas berisiko terhadap munculnya berbagai penyakit jantung dan
pembuluh darah. Disebut obesitas apabila melebihi Body Mass Index
(BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). BMI untuk orang Indonesia
adalah 25. BMI ini menggambarkan jumlah lemak dalam tubuh. BMI
memberikan gambaran tentang risiko kesehatan yang berhubungan dengan
berat badan. Body Mass Indeks (BMI) dapat diketahui dengan membagi
berat badan dengan tinggi badan (Marliani, L dkk, 2007).

Rumus BMI: Berat Badan


Tinggi Badan dalam meter
Secara umum, populasi kita cenderung semakin kelebihan berat
badan. Hal ini merupakan hal yang tidak sehat karena berbagai macam
alasan. Berkaitan dengan tekanan darah, secara umum semakin tinggi
berat badan, semakin tinggi pula tekanan darah (Palmer dkk, 2007).
Semakin besar massa tubuh yang dimiliki, semakin banyak darah
yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi kepada jaringan
tubuh. Itu bearti bahwa volume darah yang diedarkan melalui pembuluh
darah meningkat, menciptakan kekuatan tambahan pada dinding-dinding
arteri (S.G, Sheldon 2005).
5. Pola makan
Makanan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan
darah. Menerapkan pola makan yang rendah lemak jenuh, kolesterol, dan
total lemak serta kaya akan buah, sayur, serta produk susu rendah lemak
telah terbukti secara klinis dapat menurunkan tekanann darah (Palmer dkk,
2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Adriaansz, P. N dkk
(2016), konsumsi makanan tinggi natrium dapat mempengaruhi kenaikan
tekanan darah Dilihat dari hasil penelitian 30 responden dengan konsumsi
makanan asin lebih mengalami hipertensi dan hanya ada 1 responden yang
tidak hipertensi. Menurut Soeharto (2002), faktor yang mempengaruhi
perubahan tekanan darah yaitu pengobatan yang teratur dan pengontrolan
tekanan darah secara teratur.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian WHO (2000)
bahwa konsumsi garam berlebih memiliki efek langsung terhadap tekanan
darah. Menurut Blood Pressure UK (2008), peningkatan tekanan darah
akibat mengkonsumsi terlalu banyak garam atau natrium secara terus
menerus dapat berakibat fatal untuk arteri (Adriaansz, P. N, dkk 2016).
6. Aktivitas fisik
Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung
lebih cepat dan otot jantung juga harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi. Semakin keras dan sering jantung memompa, semakin besar
pula kekuatan yang mendesak arteri (S.G, Sheldon 2005). Orang yang
bergaya hidup tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan darah tinggi.
Melakukan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga bentuk tubuh dan
berat badan , tetapi juga dapat menurunan tekanan darah. Jenis latihan
yang dapat mengontrol tekanan darah adalah berjalan kaki, bersepeda,
berenang, aerobik (Palmer dkk, 2007).
Cara pengukuran aktivitas fisik berdasarkan pendapat Arifin
(2015) yang mengutip dari (Craig, dkk., 2003; IPAQ group, 2002; Wolin,
dkk., 2008; Harvard Publication Health, 2009), dengan menggunakan
International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) merupakan salah
satu jenis kuesioner yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas fisik
seseorang. IPAQ berisikan pertanyaan yang meliputi jenis, durasi dan
frekuensi seseorang melakukan aktivitas fisik dalam jangka waktu tertentu
misalkan dalam 7 hari terakhir.
Berbagai jenis aktivitas fisik tersebut dikelompokkan menjadi tiga
tingkatan yaitu aktivitas ringan, aktivitas sedang dan aktivitas berat.
Pengukuran aktivitas fisik dapat dilakukan dengan cara mengukur
banyaknya energi yang dikeluarkan untuk aktivitas setiap menitnya.
7. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang
dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses
artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan
kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada
seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan
kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan
pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006).
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah secara temporer,
yakni tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg dan tekanan
darah diastolic naik sekitar 8 mmHg. Kenaikan tekanan darah itu terjadi
saat sedang merokok dan sesaat setelah merokok selesai. Tekanan darah
akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap
rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah
juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan
darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari (Hayens, 2006).
Derajat berat merokok dapat dinilai menggunakan indeks
Brinkman. Nilai indeks Brinkman didapat dari hasil perkalian antara
jumlah batang rokok rata-rata yang dihisap dalam sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Klasifikasi berat merokok dengan indeks Brinkman
adalah : (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
 Ringan : 0-199
 Sedang : 200-599
 Berat : 600
Menurut penelitian Leffondre dkk mengenai model-model riwayat
merokok, status merokok dapat dibagi menjadi never smoker dan ever
smoker. Never smoker adalah orang yang selama hidupnya tidak pernah
merokok (Indeks Brinkman 0). Ever smoker adalah seseorang yang
mempunyai riwayat merokok sedikitnya satu batang tiap hari selama
sekurang-kurangnya satu tahun baik yang masih merokok ataupun yang
sudah berhenti (Leffondre dkk, 2002).
8. Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,
dendam, rasa takut, dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih
cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress
berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan atau perubahan patologis. Gejala yang muncul
dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Depkes, 2006).
Stres juga sangat erat hubungannya dengan hipertensi. Stres
merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi di mana hubungan
antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di
pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Andria K.E, 2013).
J. Pencegahan Hipertensi
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial adalah usaha pencegahan predisposisi
terhadap hipertensi, belum terlihat faktor yang menjadi risiko penyakit
hipertensi. Contoh : adanya peraturan pemerintah membuat peringatan
agar tidak mengonsumsi rokok, dan melakukan senam kesegaran jasmani
untuk menghindari terjadinya hipertensi (Ismayadi, 2012).
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau
mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi,
melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan
cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktivitas dan
tidak merokok (Ginting, F, 2013). Tujuan pencegahan primer adalah untuk
menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan primer dapat dilakukan
dengan mengadakan penyuluhan dan promosi kesehatan, menjelaskan dan
melibatkan individu untuk mencegah terjadinya penyakit melalui usaha
tindakan kesehatan gizi seperti melakukan pengendalian berat badan,
pengendalian asupan natrium dan alkohol serta penghilangan stress
(Ismayadi, 2012).
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mejadikan orang
yang sakit menjadi sembuh, menghindarkan komplikasi, dan kecacatan
akibatnya. Misalnya mengukur tekanan darah secara rutin dan skreening.
Pencegahan sekunder juga dapat dilakukan terapi nonfarmakologis seperti
menejemen stres dengan relaksasi, pengurangan berat badan dan berhenti
merokok (Yulia, 2011).
Dikutip dari Roslina (2008) oleh Sidabutar R.P.(1990), Untuk
menegakkan diagnosa hipertensi dapat diperoleh dari data anamnese
penderita, pemeriksaan tekanan darah secara akurat yang dilakukan
setelah cukup istirahat 5-10 menit. Pemeriksaan yang lebih teliti pada
target organ untuk menilai komplikasi dan pemeriksaan laboratorium
sebagai data pendukung seperti pemeriksaan gula, urine kalium dalam
darah dan kreatinin pemeriksaan laboratorium ini juga diperlukan untuk
mengikuti perkembangan pengobatan dan untuk menilai kemungkinan
dari efek samping yang timbul.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat atau kematian. Upaya yang dilakukan pada pencegahan
tersier ini yaitu menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan
mengobati penyakit yang dapat memperberat hipertensi (Manik, 2011).
Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari
komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan
memperpanjang lama ketahanan hidup (Ginting, F, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Adriaansz, P. N; Rottie, J, dan Lolong, J., 2016. Hubungan Konsumsi Makanan
dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Puskesmas Ranomuut Kota
Manado. E-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 1.
Agoes, A; Agoes, A, dan Agoes, A., 2009. Penyakit di Usia Tua. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Andria, K.M., 2013. Hubungan Antara Perilaku Olahraga, Stress dan Pola
Makan dengan Tingkat Hipertensi pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia
Kelurahan Gebang Putih Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Volume 1. No.
2, halaman 111–117.
Arif, Djauhar ; Rusnoto, dan Dewi Hartinah. 2013. Faktor–Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Pusling Desa
Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus. JIKK Volume 4, No 2,
halaman : 18-34.
Arifin, 2015., Pengaruh Aktifitas Fisik, Merokok, dan Riwayat Penyakit
Dasar Terhadap Terjadinya Hipertensi di Puskesmas Sempu Kabupaten
Banyuwangi. FKM Universitas Udayana, Bali. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI,. 2007.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional 2007.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
_____________,. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Basha, A., 2004. Hipertensi: Faktor Resiko dan Penatalaksanaan Hipertensi.
Dibuka di website http://www.mediscastro. Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular. Cetakan Kedua. Rineka Cipta, Jakarta. ., 2015.
Manajemen Pengendalian Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan
Pertama. Rineka Cipta, Jakarta.
Depkes RI., 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit
Hipertensi. Direktorat Pengendalian PTM, Jakarta.
Efendi, F dan Makhfudli., 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
Fitrina, Y., 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Kebun Sikolos
Kecamatan Padang Panjang Barat Tahun 2014. STIKes YARSI Sumbar,
Bukittinggi.
Ginting, F., 2013. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Hipertensi
pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013.
FKM USU, Medan Hafiz, M; Weta I.W, dan Ratnawati, N.L.K.A,. 2016. Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Kelompok
Lanjut Usia di Wilayah Kerja Upt Puskesmas Petang I Kabupaten Badung
Tahun 2016. E-Jurnal Medika.Volume 5. No.7. Hayens, R.B; H Leenen, F.H, dan
Soetrisno, Eddy., 2000. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Penerjemah:
Karyani, Dwi. Ladang Pustaka & Intimedia, Jakarta.
Infodatin Kementrian Kesehatan RI., 2014. Infodatin Hipertensi. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Irwan., 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Deepublish, Yogyakarta.
Ismayadi., 2012. Faktor-faktor yang Memengaruhi Terhadap Kejadian
Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Medan
Johor Tahun 2012.
FKM USU, Medan. Jameson, J.L dan Loscalzo, J,. 2010. Harrison Nefrologi
dan Gangguan Asam- Basa. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kaplan, N.M., 2006. Clinical Hypertension, Cetakan Kesembilan. Penerbit
Lippincott Williams & Wilkins, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI.., 2012. Buletin Penyakit Tidak menular, Jakarta.
______________________., 2013. Buletin Lansia, Jakarta.
Laporan Komisi Pakar WHO., 2001. Pengendalian Hipertensi. Penerjemah :
Padmawinata, Kokasih. ITB, Bandung.
Lenffondre, K ; Abrahamowicz, M ; Siemiatycki, J dan Rachet, B., 2002.
Modelling Smoking History : A Comparison of Different Approach. American
Journal of Epidemiology.
Lemeshow., 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan Edisi Bahasaa
Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Manampiring, A.E., 2008. Hubungan Status Gizi dan Tekanan Darah pada
Penduduk Usia 45 tahun ke Atas di Kelurahan Pakowa Kecamatan Wanea

Vous aimerez peut-être aussi