Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tuberkulosis Paru
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis Paru (TB Paru)
Menurut Sumantri (2010) Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi
yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Myobacterium
tuberculosis.
Tuberkolosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga
menyebar kebagian tubuh lain seperti menigen, ginjal tulang, dan nodul
limfe.Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri dan menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil
tuberkulosis (Kementrian kesehatan, 2014).
2.1.2 Etiologi
Myobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen
Myobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu
tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak
oksigen. Oleh karena itu, Myobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah
apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Sumantri, 2010).
2.1.3 Patofisiologi
Penyebab tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaman. Dalam suasana lembab dan
gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. BCG partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat, maka akan menempel pada jalan nafas atau
paru-paru. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
kewar dari cabang trakea bronchial bersama gerakan silia dalam sekretnya. Bila
34
kuman menetap di jaringan paru, maka akan berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Bila,
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening virus.
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kuman menyebar melalui jalan napas ke alveoli, di mana pada daerah
tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebarannya dapat melalui
sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri)
dan area lain dari paru-paru. Kemudian sistem kekebalan tubuh berespons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag memfagositosis bakteri.
Limfosit yang spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan basil dan jaringan
normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam
alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar (Sumantri, 2010).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul
tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik.
2.1.4.1 Gejala respiratorik
2.1.4.1.1 Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2.1.4.1.2 Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya
35
melakukan refleks batuk. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-
kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru
pleura, cairan pleura, caira lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urine,
dan tinja.
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Pengobatan TB Paru membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada
pengobatan infeksi bakteri lainnya. Antibiotik harus dikonsumsi selama 3-9 bulan
secara kontinu dan teratur. Jenis obat dan lamanya pengobatan bergantung pada
usia, tingkat keparahan penyakit, risiko resistensi antibiotik, bentuk TB Paru (aktif
atau laten), dan lokasi infeksi.
Umumnya untuk pengobatan TB Paru laten hanya membutuhkan satu
jenis antibiotik saja, sedangkan untuk TB Paru aktif membutuhkan kombinasi dari
beberapa antibiotik. Obat yang sering digunakan adalah isoniazid, rifampisin,
etambutol, dan pirazinamid. Penggunaan obat-obatan untuk terapi TB Paru
umumnnya menimbulkan efek samping ringan yang dapat ditoleransi seperti
perut kembung, flatulen, mual, perubahan warna pada cairan tubuh, insomnia,dan
fotosensitivitas. Namun, perlu diingat bahwa semua pengobatan TB Paru dapat
bersifat toksik terhadap hati. Oleh karena itu apabila muncul efek samping seperti
mual, muntah, nafsu makan menurun, kulit berwarna kuning /jaundis, urine gelap,
demam tiga hari atau lebih tanpa adanya penyebab yang jelas dan perubahan pada
perilaku dan daya ingat, maka penderita diwajibkan untuk segera menghubungi
dokter. Penggunaan obat TB Paru harus diperhatikan untuk pasien yang memiliki
riwayat penyakit hepatitis maupun menggunakan obat-obatan lainnya yang
bersifat hepatotoksik. Penggunaan obat-obatan harus dihentikan ketika toksisitas
mata, neurotoksisitas, ototoksisitas, hepatotoksisitas dan renotoksisitas muncul.
TB paru dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat dan teratur.
Ketidakpatuhan terhadap terapi TB dapat menimbulkan resistansi bakteri
terhadap obat standar TB. TB-MDR merupakan suatu bentuk TB yang sulit dan
mahal untuk diobati akibat gagalnya terapi menggunakan standart obat lini
38
pertama. Pada tahun 2010, WHO melaporkan kejadian TB-MDR tertinggi dengan
kejadian 28% pada negara-negara bekas Uni Soviet dan sekitar 650.000 orang
diseluruh negara memiliki TB-MDR. Pada tahun 2008 diestimasikan kejadian TB-
MDR sebesar 440.000 untuk seluruh dunia, namun hanya lebih dari 30.000 dari
kejadian yang terjadi dilaporkan kepada WHO. Akibatnya dari kurangnya
pemantauan dan penanganan yang baik terhadap penyakit TB Paru, maka
sekarang ini telah dilaporkan adanya resistansi terhadap obat lini kedua
(extensively drug-resistant TB) pada 58 negara. Resistan ini akan meningkatkan
angka mortalitas terhadap penyakit penyakit TB Paru diseluruh dunia. Oleh
karena itu, berbagai organisasi kesehatan sedang merancang dan menggalangkan
program pengobatan dan pengendalian TB Paru secara global (Syamsudin,
2013:158).
Brunner (2002) dalam Trullyen, (2013) tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas,
meningkatkan inflasi alveolarmaksimal, meningkatkan relaksasi otot,
menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang
tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan,
mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernafas.
2.3.3 Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Menurut Brunner & Suddarth (2002) dalam Trullyen, (2013) teknik
relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas
simpatik dalam sistem saraf otonom. Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan
tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-
waktu. Prinsip yang mendasari penurunan oleh teknik relaksasi terletak pada
fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf
periferyang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat
terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi p
yang akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan saraf simpatis
mengalami vasokonstriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang
menimbulkan berbagai efek spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah.
Mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang
menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinaliske otak dan
dipersepsikan sebagai nyeri.
2.3.4 Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Ada beberapa posisi relaksasi nafas dalam yang dapat dilakukan menurut
Smeltzer & Bare, (2002) dalam Trullyen, (2013)yaitu :
2.3.4.1 Posisi relaksasi dengan terlentang
Letakkan kaki terpisah satu sama lain dengan jari-jari kaki agak meregang
lurus kearah luar, menyentuh sisi tubuh, pertahankan kepala sejajar dengan
tulang belakang dan gunakan bantal yang tipis dan kecil di bawah kepala.
2.3.4.2 Posisi relaksasi dengan berbaring miring
Berbaring miring, kedua lutut ditekuk, dibawah kepala diberi bantal dan
dibawah perut sebaiknya diberi bantal juga, agar perut tidak menggantung.
2.3.4.3 Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang
43
45
33
Populasi Penelitian Tindakan yang diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan
30 responden pasien TB Paru Penelitian ini menggunakan Penelitian menunjukkan Penelitian ini menggunakan
di ruang rawat inap RS Mardi metode kuantitatif uji statistic adanya efektifitas batuk efektif metode kuantitatif uji
Rahayu Kudus Paired Sample t-tes dan dalam pengeluaran sputum statistic Paired Sample t-tes
pengambilan data dilakukan untuk penemuan BTA pasien dan pengambilan data
dengan pengukuran volume TB paru di ruang rawat inap dilakukan dengan
sputum pada 30 responden RS Mardi Rahayu Kudus yaitu pengukuran volume sputum
pasien TB Paru di ruang rawat dari specimen 1 (sebelum pada 30 responden pasien
inap RS Mardi Rahayu Kudus batuk efektif) dan specimen 2 TB Paru di ruang rawat inap
(sesudah batuk efektif) 21 RS Mardi Rahayu Kudus
responden (70%) mengalami
peningkatan volume
sputumnya. Berdasarkan
specimen 1
46
47
Variabel
Independent Variabel Dependent
2.6 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu penyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau
lebih variable yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian.
Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari suatu permesalahan
(Nursalam, 2011).
Hipotesis nol (HO) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran
statistik dan interprestasi hasil statistik. Sedangkan hipotesis alternative (H1)
adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini menyatakan adanya suatu hubungan,
pengaruh dan perbedaan antara dua atau lebih variabel (Nursalam, 2011)
Hipotesis penelitian adalah suatu peryataan hubungan antara dua atau
lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab pertanyaan dalam penelitian
(Nursalam, 2011). Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian yaitu:
2.6.1 Hipotesis nol (Ho) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran
statistik dan interprestasi hasil statistik. Hipotesis nol dapat sederhana
atau kompleks dan bersifat sebab atau akibat.
2.6.2 Hipotesis alternatif (Hₐ/H¹) adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini
menyatakan suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau
lebih variabel (Nursalam, 2011).
Hipotesis yang diajukan akan dilakukan perhitungan uji statistik untuk
memutuskan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Ketentuan uji statistik yang
berlaku adalah sebagai berikut :
1. Bila nila P ≤0,05, maka keputusannya adalah Ho ditolak, H1 diterima
artinya ada pengaruh antara variabel independen dan dependen.
2. Bila nilai P > 0,05, maka keputusannya adalah Ho diterima, H1 di tolak
artinya tidak ada pengaruh antara variabel independen dan variabel
dependen
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif
yaitu: