Vous êtes sur la page 1sur 29

ASUHAN KERAWATAN CEDERA MEDULLA SPINALIS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan


Kegawat Daruratan I

Dosen Pengampu: Ns. Lestari Eko Darwati, M. Kep

Oleh Kelompok 3

1. Riska Alviani (SK113035)


2. Dian Lestari (SK115009)
3. Jihan Citra R (SK115025)
4. Lutvianti (SK115028)
5. Teri Febrianto (SK115043)
6. Iriana Mur Indriani (SK117018)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
KENDAL, OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai“Asuhan Keperawatan Trauma Medulla
Spinalis” Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Rabu, 24 Oktober 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera medula spinalis merupakan cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara,
dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian
ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75% dari seluruh cedera.
Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu
banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis
pada daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama.
Vertebra ini adalah paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih
besar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak
terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan
kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause). Klien yang mengalami trauma medulla
spinalis khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian lebih
diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan
kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami
komplikasi trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal
napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat
merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat
terhindar dari masalah yang paling buruk.
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, tempat yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan
persambungan thorak dan regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula
spinalis dapat menimbulkan transaksi dari medula spinalis atau merobek
medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang lain pada tingkat tertentu disertai
hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat medula spinalis /
tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek. Fungsi
sensori dan autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan
gangguan sistem perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta
fungsi seksual juga dapat terganggu.
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan
pada pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi.
Langkah-langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal,
tindakan bedah untuk membebaskan kompresi spina. Sangat penting untuk
mempertahankan tubuh dengan tubuh dipertahankan lurus dan kepala rata.
Kantong pasir mungkin diperlukan untuk mempertahankan kedudukan tubuh.
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah
pengkajian lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi
kejadian tidak dilakukan maka akan membahayakan jiwa paramedik dan
orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan meningkat. Dalam
kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian,
kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat
komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian,
biasanya akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik.
Kematian akibat hal ini tidak dapat dicegah. Kematian berikutnya mungkin
muncul sekitar sejam atau dua jam sesudah trauma. Kematian pada fase ini
biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural atau epidural, hemo atau
pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan darah. Kematian
akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai
“golden hour” dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan
nyawa korban.
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya
diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan
segera untuk mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat
mengurangi resiko kematian ini. Dalam menangani kasus ini, meskipun
dituntut untuk bekerja secara cepat dan tepat, paramedik harus tetap
mengutamakan keselamatan dirinya sebagai prioritas utama sebelum
menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar
aman untuk tindakan pertolongan. Berdasarkan uraian diatas di harapkan
dengan adanya makalah yang berjudul “Trauma medulla spinalis” dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan
keperawatan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian cedera medula spinalis?
2. Apa penyebab atau etiologi terjadinya cedera medula spinalis?
3. Bagaimana patofisiologi cedera medula spinalis?
4. Bagaimana pathway cedera medula spinalis?
5. Bagaimana klasifikasi cedera medula spinalis?
6. Bagaimana manifestasi klinis cedera medula spinalis?
7. Bagaimana komplikasi yang akan terjadi pada cedera medula spinalis?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada kasus
cedera medula spinalis?
9. Bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus cedera
medula spinalis?
10. Bagaimana cara-cara imobilisasi pada cedera medula spinalis?
11. Bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilakukan pada kasus
cedera medula spinalis?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum
Membantu mahasiswa memahami tentang konsep dasar manajemen
keperawatan berkaitan dengan adanya gangguan pada tubuh manusia
yang diakibatkan oleh cedera medula spinalis serta mengetahui
bagaimana konsep penyakit atau cedera medula spinalis dan bagaimana
Asuhan Keperawatannya..
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian cedera medula spinalis.
b. Mengetahui etiologi adanya cedera medula spinalis.
c. Mengetahui patofisiologi cedera medula spinalis.
d. Mengetahui pathway cedera medula spinalis.
e. Mengetahui klasifikasi cedera medula spinalis.
f. Mengetahui manifestasi klinis cedera medula spinalis.
g. Memahami komplikasi yang akan terjadi pada kasus cedera medula
spinalis.
h. Mengetahui pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
kasus cedera medula spinalis.
i. Memahami penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus cedera
medula spinalis.
j. Mengetahui cara-cara imobilisasi pada cedera medula spinalis.
k. Mengetahui pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilakukan pada
kasus cedera medula spinalis.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mekanisme dasar terjadinya
kasus Cedera Medula Spinalis yang diakibatkan karena adanya gangguan
pada sistem susunan saraf terutama pada struktur medula spinalis yang dapat
terjadi akibat berbagai sebab, sehingga dengan begitu mahasiswa dapat
dengan mudah untuk melakukan asuhan dan tindakan serta penanganan
keperawatan yang tepat terkait cedera medula spinalis tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Trauma/Cedera Medula Spinalis

Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-


masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui foramen inverterbra. Terdapat 8 pasang saraf servikalis, 12 pasang
torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang sakralis, dan 1 pasang saraf kogsigis.
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang
mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan
diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal
kord. Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan
tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu
terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan
mekanik dapat digunakan. (Muttaqin, 2008).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &
Suddarth, 2002). Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan
trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang,
ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan
dapat menusuk ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang
mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera medula spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab
gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada
usia muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini
seringkali mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur
atau duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia.
Chairuddin Rasjad (2009) menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal
pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit, penderita harus
diperlakukan secara hati-hati. Trauma tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang dan sumsum tulang belakang (medula Spinalis).

B. Etiologi
Cedera Medula Spinalis disebapkan oleh trauma langsung yang
mengenai tulang belakang dimana trauma tersebut melampaui batas
kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf di dalamnya.
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah
torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif,
dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang
dapat berupa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada
sumsum belakang dapat disebabkan hipoksemia dan iskemia. Iskemia
disebabkan karena hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang
merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi
dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan
apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari
jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
Menurut Arif muttaqin (2008) penyebab dari
cedera medula spinalis adalah:
1. Kecelakaan dijalan raya (penyebab paling sering).
2. Olahraga
3. Menyelan pada air yang dangkal
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
6. Kejatuhan benda keras
7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang
8. Luka tembak atau luka tikam
9. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
slompai, yang seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang
menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif
terhadap medulla spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi
infeksi maupun non infeksi osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra, singmelia, tumor infiltrasi maupun kompresi,
dan penyakit vascular.
10. Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
11. Infeksi
12. Osteoporosis
13. Mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan saat mengendarai mobil atau
sepeda motor.

C. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat
menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada
waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti
secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam dan
masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Mekanisme Terjadinya Cedera Medulla Spinalis:
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi
pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil
dan dapat terjadi subluksasi.
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama
dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan
fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi
vertebra di atasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
3. Kompresi Vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang
akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan
permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah
(pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur
yang terjadi bersifat stabil
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi
dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan
jarang pada vertebra torako-lumbalis. Ligamen anterior dan diskus dapat
mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini
biasanya bersifat stabil.
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen
vertebra, dan sendi faset.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang
dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.
D. Pathway
E. Klasifikasi
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Komosio medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi mendula
spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis dapat berupa edema,
perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark pada sekitar pembuluh
darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral, akibat
dari tekanan pada edula spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis umumnya bersifat permanen.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis trauma medula spinalis (Brunner dan Suddarth, 2002)
yaitu:
1. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
2. Paraplegia
3. Tingkat neurologik
4. Paralisis sensorik motorik total
5. Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung
kemih)
6. Penurunan keringat dan tonus vasomoto
7. Penurunan fungsi pernafasan
8. Gagal nafas
9. Pasien biasanya mengatakan takut leher atau tulang punggungnya patah
10. Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar
11. Biasanya terjadi retensi urine, dan distensi kandung kemih, penurunan
keringat dan tonus vasomotor, penurunan tekana darah diawalai dengan
vaskuler perifer.
12. Penurunan fungsi pernafasan sampai pada kegagalan pernafasan
13. Kehilangan kesadaran
14. Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah
15. Penurunan keringat dan tonus vasomotor.

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat cedera medula spinalis yaitu:
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga
menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan
menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia
dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan
ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
2. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks
setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks
disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda
dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian
lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang
sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan
hipoksia yang parah.
3. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari
dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi
akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal
dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari,
tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul
hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks,
pengosongan kandung kemih dan rektum.
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper
refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal.
Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan
mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf
simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem.
5. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.
Pada transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis
ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau
lebih tinggi dan disebut kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh
terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia. Apabila
hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi
hemiparalisis.
6. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke Jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
7. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur
terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh
pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
8. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik cedera medula spinalis meliputi:
1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba
di rumah sakit.
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher).
3. Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada
servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
4. Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan,bila terdapat defisit neurologi
harus dilakukan MRI atau CT mielografi.
5. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
6. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural.
7. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
8. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
9. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan
pada diafragma, atelektasis).
10. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
11. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi.
12. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
13. Urodinamik, proses pengosongan bladder.

I. Cara-cara Imobilisasi
1. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita.
2. Lakukan in line imobilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian
pasang kolar servikal semirigid.
3. Luruskan lengan penderita dan letakkan disamping badan.
4. Luruskan tungkai bawah penderita secara hati-hati dan letakkan dalam
posisi kesegarisan netral sesuai tulang belakang. Kedua pergelangan kaki
diikat satu sama lain dengan plester/kasa.
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu penolong
memegang pada daerah bahu dan pergelangan tangan penderita.
6. Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher,
lakukan log roll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada
pada sisi penderita.
7. Spine board terletak di bawah penderita dan dilakukan log roll ke arah
spine board.
8. Demi mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita
maka diperlukan bantalan yang diletakkan di bawah leher penderita.
9. Letakkan bantalan desebelah kiri dan kanan kepala serta leher dan kepala
diikat dengan spine board.
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan
kehilangan fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau
kecelakaan berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma
langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan
mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
a. Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah Trauma komplit.
b. Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk
mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
c. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau
alat imobilisasi servikal dipasang.
d. Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati-
hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit.
Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel
yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau
memotong medula komplit.
2. Penatalaksanaan trauma medula spinalis (fase akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah trauma medula
spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit
neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan
oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
3. Penatalaksanaan medis trauma medula spinalis
Prinsip penatalaksanaan medis trauma medula spinalis adalah sebagai
berikut:
a. Segera dilakukan imobilisasi.
b. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan
pasir.
c. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
d. Terapi Pengobatan :
1) Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
2) Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan
darah akibat autonomic hiperrefleksia akut.
3) Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan
aktifitas bladder.
4) Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk
meningkatkan tonus leher bradder.
5) Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan
uretra.
6) Agen antiulcer seperti ranitidine
7) Pelunak fases seperti docusate sodium.
e. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya
fraktur dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
f. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi
cacat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer dan Sekunder
a. Pengkajian Primer
1) Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas
kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah,
atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine
control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan
chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang
keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk
menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan
pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas.
2) Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat.
Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
3) Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan
darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
4) Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya
kesadaran pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan:
Simple head injury bila tanpa defisit neurologi.
5) Exprosure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien yaitu:
a) Dilakukan rawat luka
b) Pemeriksaan radiologi
b. Pengkajian Skunder.
1) Aktifitas /Istirahat.
Tanda: kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal
pada bawah lesi. Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan
adanya kompresi saraf).
2) Sirkulasi.
Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda: hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas
dingin dan pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
3) Eliminasi.
Tanda: retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang,
melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis,
Inkontinensia defekasi berkemih.
4) Integritas Ego.
Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5) Makanan /cairan.
Tanda: mengalami distensi abdomen yang berhubungan dengan
omentum., peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
6) Higiene.
Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-
hari (bervariasi).
7) Neurosensori.
Tanda: kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat
terjadi perubahan pada syok spinal). Kehilangan sensasi (derajat
bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks
asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis,
hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
trauma spinal.
Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal
teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit.
8) Nyeri /kenyamanan.
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot dan hiperestesia tepat di atas
daerah trauma.
Tanda: mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9) Pernapasan.
Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan
bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
10) Keamanan.
Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
11) Seksualitas.
Gejala: keinginan untuk kembali berfungsi normal.
Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak
teratur.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spasme
otot servikalis sekunder dari cedera spinal stabil dan tidak stabil serta
berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervertebralis,
tekanan di daerah distribusi ujung saraf.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi otot
jantung jantung sekunder dari hilangnya kontrol pengiriman dari
refleks baroreseptor akibat kompresi korda.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neurovaskular.
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
kerusakan tulang punggung, disfungsi neurovascular, kerusakan
sistem muskuloskletal.
e. Resiko kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan penekanan
setempat jaringan sekunder dari kelumpuhan gerak ekstremitas
bawah, paraplegia.
f. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan gangguan fungsi
miksi sekunder dari kompresi medula spinalis.
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Nyeri akut00132 Setelah dilakukan tindakan - Lakukan pengkajian nyeri
keperawatan selama 3x24 secara komprehensif
jam diharapkan nyeri akut termasuk lokasi,
dapat teratasi dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil : frekuensi, kualitas dan
1. Mampu mengontrol factor presipitasi
nyeri (tahu penyebab - Control lingkungan yang
nyeri, mampu dapat mempengaruhi
menggunakan teknik nyeri, seperti suhu
nonfarmakologi untuk ruangan, pencahayaan dan
mengurangi nyeri. kebisingan
2. Melaporkan bahwa nyeri - Ajarkan teknik
berkurang nonfarmakologi
3. Mampu mengenali nyeri - Berikan analgetik untuk
4. Menyatakan rasa mengurangi nyeri
nyaman setelah nyeri - Monitor penerimaan
berkurang pasien tentang manajemen
nyeri
Resiko penurunan Setelah dilakukan tindakan - Monitor vital sign
curah jantung00240 keperawatan selama 3x24 - Monitor adanya cushing
jam diharapkan resiko tinggi triad (tekanan nadi yang
penerununan curah jantung melebar, bradikardi,
dapat teratasi dengan kriteria peningkatan sistolik)
hasil : - Catat adanya tanda

1. Frekuensi nadi dalm penurunan cardiac output


batas normal - Anjurkan pasien untuk
2. Kualitas dan irama nadi menurunkan stres
dalam batas normal - Evaluasi adanya nyeri
TD dalam batas norma
dada (intensitas, lokasi,
CRT > 3 detik
durasi)
Akral hangat
Hambatan Setelah di lakukan tindakan - Monitoring vital sign
mobilitas fisik00085 keperawatan selama 3x24 sebelum dan sesudah
jam diharapkan gangguan latihan serta lihat respon
kerusakan mobilitas fisik klien saat latihan
dapat teratasi dengan kriteria - Latih klien dalam
hasil: pemenuhan kebutuhan
1. Aktifitas fisik klien ADLs secara mandiri
meningkat sesuai kemampuan
2. Mengerti tujuan dari - Ajarkan klien atau tenaga
peningkatan mobilitas medis lain tentang teknik
3. Memverbalisasikan ambulasi
perasaan dalam - Berikan alat bantu jika
meningkatkan kekuatan klien membutuhkan
dan kemampuan - Dampingi dan bantu klien
berpindah saat mobilisasi serta bantu
4. Mempergunakan alat penuhi kebutuhan ADLs
bantu untuk mobilisasi klien
Ketidakefetifan Setelah dilakukan tindakan - Monitor adanya cushing
pola nafas00032 keperawatan selama 3x24 triad (tekanan nadi yang
jam diharapkan melebar,
ketidakefektifan pola nafas bradikardi,peningkatan
akut dapat teratasi dengan sistolik)
kriteria hasil : - Monitor respirasi dan
1. Frekuensi pernafasan status O2
dalam rentan normal dan - Identifikasi penyebab dari
tidak ada nafas abnormal perubahan vital sign
2. Mampu mengeluarkan - Auskultasi suara nafas,
sputum catat adanya suara
3. Mampu bernafas dengan tambahan
mudah - Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
- Berikan bronkodilator jika
perlu
Resiko kerusakan Setelah dilakukan tindakan - Kaji secara komprehensif
00047
integritas kulit keperawatan selama 3x24 sirkulasi perifer (cek
jam diharapkan resiko tinggi pulsasi perifer, adanya
gangguan integritas kulit udema, pengisian kapiler,
warna kulit dan suhu
dapat teratasi dengan kriteria
ekstrimitas)
hasil :
- Amati kulit dari
1. Pengisian kapiler perifer munculnya perlukaan atau
adekuat memar akibat tekanan
2. Pulsasi perifer distal kuat - Kaji adanya
3. Pulsasi proximal perifer ketidaknyamanandatau
kuat nyeri local
4. Warna kulit normal - Rendahkan ekstrimitas
untuk meningkatkan
sirkulasi arteri, jika tidak
ada kontra indikasi
- Atur posisi yang nyaman
untuk pasien
Gngguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan - Monitor eliminasi urine
urine00016 keperawatan selama 3x24 (frekuensi, konsistensi,
jam diharapkan kebutuhan bau, volume, warna)
eliminasi urine pasien - Monitor tanda dan gejala
terpenuhi dengan kriteria retensi urine
hasil: - Ajarkan pada pasien tanda
1. Pengosongan kandung dan gejala ISK
kemih komplit - Catat waktu urinal terakhir
2. Mampu jika diperlukan
menahan/mengontrol - Libatkan pasien/keluarga
urine untuk mencatat urine
3. Terbebas dari ISK output jika diperlukan
6.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera medula spinalis merupakan suatu trauma yang mengenai
medula spinalis atau sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang
mengenai tulang belakang. Penyebab cedera medula spinalis adalah kejadian-
kejadian yang secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kompresi
pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain. Cedera medula spinalis dapat
menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika mengenai saraf-saraf yang berperan
terhadap suatu organ maupun otot.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat
penting, dengan pemberian obat kortikosteroid dan melihat kepada sistem
pernapasan, jika terjadi gangguan maka perlu diberikan oksigen. Asuhan
keperawatan yang diberikan pada pasien cedera medula spinalis adalah
melihat kepada diagnosa apa saja yang muncul. Pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah
memperhatikan posisi dalam mobilisasi pasien sehingga tidak memperparah
cedera yang terjadi.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma
medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat
melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
volume 2. Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi 3,
Jakarta : EGC
Hudak and Gallo. (1994). Critical Care Nursing A Holistic Approach. JB
Philadelpia: Lippincott company.
Laurralee Sherwood. .2001. Fisiologi Manusia. Edisi 2, Jakarta : EGC
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Reksoprodjo Soelarto. (2008). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Suddarth Doris Smith. (2008). The lippincott Manual of Nursing Practice Fifth
Edition. Philadelphia: JB Lippincott Company.
Sylvia and Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi 6,
volume 2. Jakarta : EGC.
W. F. Ganong. 2005. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.

Vous aimerez peut-être aussi