Vous êtes sur la page 1sur 16

4

A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral
yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia
dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria
diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius
(Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar
dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali,
Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post
operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu
sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.

B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan
hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT)
dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat

4
5

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang


mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring
dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan
hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam
sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam
inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia
kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan
terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran
urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk
dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329;
Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi
gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan usia
6

Ketidakseimbangan hormonal

Kadar testosterone Kadar testosterone


menurun meningkat
DHT kompleks Hiperplasia sel stoma pada
jar. prostat
RNA dlm inti sel

Proliferasi sel prostat

BPH

Obtruksi saluran kemih yg bermuara di VU

Tekanan intravesikel ↑

Kompensasi otot destrusor Dekompensasi otot destrusor

Penebalan dinding VU

Kotraksi otot VU Retensio urine

Retensio urine

Prostatektomi

Luka pembedahan Imobilisasi

Kelemahan fisik Motilitas usus


menurun
Terputusnya saraf perifer Perdarahan Jaringan terputus Aktivitas terbatas
Proses penyem- Konstipasi
buhan luka
Port dentry
Nyeri
Kurang Gangguan
Resti infeksi perawatan diri eliminasi; BAB
Tidak terkontrol Bekuan darah
Pengangkatan DC
Resti < volume Sumbatan aliran Kebutuhan nutrisi
cairan urine meningkat Inkontinensia

Resti perubahan Resti kurang Resti disfungsi


eliminasi; BAK nutrisi seksual

Sumber: (Mansjoer A, 2000. hal: 329)


(Poernomo, 2000. hal: 74 -76)
E. MANIFESTASI KLINIS
7

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih


maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari
Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi
pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias
sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus
mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi
yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia
karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih
sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang
secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih
bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang
selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia,
peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati
perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya
hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 — 78; Mansjoer, 2000,
hal 330).

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH,
mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
8

b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi
lebih tua.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum
dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan
fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan
ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari
pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
9

Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur


pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi
oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan
uretra.
b. Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat
(biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat,
apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat
yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa
repelus.
3. Terapi bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi terbuka
4. Terapi invasif minimal
a. TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c. High Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi jarum trans uretra
e. Stent Prostat
10

H. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori
konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai
dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan
bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi
individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan
aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif
yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola Nutrisi — Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan
metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya,
kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan
vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa,
gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1) pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan alat-alat bantu
3) penggunaan obat-obatan.
d. Pola Aktivitas
1) pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan gerak
3) alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola Istirahat — Tidur
Yang menggambarkan:
1) Pola tidur dan istirahat
2) Persepsi, kualitas, kuantitas
3) Penggunaan obat-obatan.
f. Pola Kognitif — Perseptual
1) Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan bahasa
11

3) Kemampuan membuat keputusan


4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1) Body image
2) Identitas diri
3) Harga diri
4) Peran diri
5) Ideal diri.
h. Pola peran — hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1) Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah keluarga dan masyarakat
3) Peran tanggung jawab.
i. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1) Penyebab stress
2) Kemampuan mengendalikan stress
3) Pengetahuan tentang toleransi stress
4) Tingkat toleransi stress
5) Strategi menghadapi stress.
j. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1) Masalah seksual
2) Pendidikan seksual.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1) Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi dalam kesehariannya.
2. Fokus Intervensi
a. Perubahan eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi
mekanikal; bekuan darah, trauma, prosedur bedah tekanan dan
iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
12

Kriteria hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.


Rencana intervensi:
1) Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama
irigasi kandung kemih
Rasional : Retensi bisa terjadi karena oedema area bedah,
bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa
normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas
Rasional : Kateter biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk
beberapa waktu karena oedema urethral dan
kehilangan tonus.
4) Dorong masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan
pada malam hari, setelah kateter dilepas
Rasional : Mengurangi resiko bekuan akibat adanya perdarahan
sekunder, pemasangan kateter, mengevakuasi residu
urine akibat sumbatan bekuan darah.
5) Kolaborasi: pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai
indikasi pada periode paska operasi dini
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah untuk
mempertahankan patensi dan aliran kateter.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan area bedah; kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan
pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh
tanda vital stabil, menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana intervensi:
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan
perdarahan atau pembentukan bekuan dan
pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
13

2) Awasi pemasukan dan pengeluaran


Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan
penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi
pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara
akurat mengkaji haluaran urine.
3) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan
atau berlanjut
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam
pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan
kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi warna dan konsistensi urine
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan
memerlukan terapi cepat.
5) Inspeksi balutan atau luka drain
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan
dalam jaringan perineum.
6) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaporesis, membran mukosa kering
dan pucat
Rasional : Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi
cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7) Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan
debris tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan
bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan
dalam 4 — 5 jam, catat periode pemasangan dan pengendoran
traksi
Rasional : Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa
urethral prostat akan membuat tekanan pada aliran
darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau
mengontrol perdarahan.
14

9) Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi


Rasional : Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi
menurunkan resiko perdarahan rectal perineal.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,
kateter, trauma jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak
mengalami infeksi.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter
reguler
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan
pernapasan cepat, gelisah
Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk
syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau
instrumentasi.
3) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan
perineal)
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan
memberikan media untuk pertumbuhan bakteri,
peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko
untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema,
drainase purulen.
5) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan
dengan peningkatan resiko pada prostatektomi
d. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih;
refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan atau
tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai
dengan menunjukkan relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat
dengan tepat.
15

Rencana intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 — 10)
Rasional : Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya
spasme kandung kemih.
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan
pertahankan selang bebas dari bekuan dan lekukan
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem
menurunkan resiko distensi dan spasme kandung
kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong
penggunaan teknik relaksasi
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan
koping.
4) Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional : Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami
spasme.
e. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan
vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan masukan sekunder
terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit (Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang
mencukupi serat, protein, vitamin dan mineral.
Rencana intervensi:
1) Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional : Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat
membantu proses penyembuhan luka.
2) Pantau status hipermetabolisme
Rasional : Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi
penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3) Evaluasi kemungkinan penyebab mual
Rasional : Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang
adekuat.
16

4) Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut


yang mendukung
Rasional : Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan
dapat meningkatkan nafsu makan yang baik.
5) Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional : Variasi jenis makanan dan sajian menghindari
kejenuhan yang mengakibatkan ketidakcukupan
masukan peroral.
6) Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1
— 2 jam setelah makan
Rasional : Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga
menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7) Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional : Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual
akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f. Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan
penurunan peristaltik sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan
obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil:
Eliminasi efektif pasca operasi
Rencana intervensi:
1) Kaji bising usus
Rasional : Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko
konstipasi.
2) Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi
Rasional : Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal
usus.
3) Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit
seimbang, masukan cairan adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan
pengisian usus akibat kurang residu.
4) Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi
eliminasi dengan pemberian laxatif
17

Rasional : Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat


meningkatkan terjadinya resiko perdarahan akibat
peningkatan tekanan intra abdomen.
g. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan
situasi krisis, inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan
kateter, keterlibatan area genital (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1) Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia
dan fungsi seksual
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan
dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan.
Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk
menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi
seksual
Rasional : Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur
radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan
pasien
Rasional : Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat
melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan
kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak
menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak
memberikan pengobatan permanen dan hipertropi
dapat berulang.
4) Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan
intervensi profesional.
h. Kurang perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan
keterbatasan gerak sekunder terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000,
hal 324)
Kriteria hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana intervensi:
18

1) Kaji faktor penyebab dan penyulit


Rasional : Mencari penyebab kurang perawatan diri menentukan
jenis bantuan yang diberikan pada pasien
2) Tingkatkan partisipasi optimal
Rasional : Keterlibatan pasien dalam merawat dirinya sendiri
meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup
dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari.
3) Bantu dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional : Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
4) Berikan reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai
selama aktivitas
Rasional : Memberikan rasa percaya diri dan memberikan harga
diri
5) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional : Partisipasi yang maksimal dapat dievaluasi sehingga
bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
i. Kurang pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi
prognosis, kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan tidak
mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000,
hal 684)
Kriteria hasil:
1) Menyatakan pemahaman prosedur bedah
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan
Rencana intervensi:
1) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan informasi.
2) Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-
buahan, meningkatkan diit tinggi serat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca
operasi
19

3) Diskusikan pembatasan aktivitas


Rasional : Peningkatan tekanan abdominal yang menempatkan
stress pada kandung kemih dan prostat menimbulkan
resiko perdarahan
4) Berikan gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan
kebutuhan pengobatan
Rasional : Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang
berdasarkan pada kebutuhan informasi dari pasien.
5) Instruksikan perawatan lanjut atau kontrol
Rasional : Tindak lanjut untuk perawatan luka, pengangkatan
jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan
pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi
lukanya.

Vous aimerez peut-être aussi