Vous êtes sur la page 1sur 15

ASKEP ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS

BAB 2
PEMBAHASAN
KONSEP DASAR
2.1 Pengertian

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histolagik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti kesinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

2.2 Anatomi

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang
berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral
nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus,
dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea
asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap
nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
9. Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau
dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari
kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk
kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.

2.3 Epidemiologi

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) banyak dialami terutama remaja putra


berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan
kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade
kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25
tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada
Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap
tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service
of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per
15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

2.4 Etiologi

Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima
adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di
turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang
berada di occipital plate. Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari
nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri
maksilaris juga dipostulasikan. Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga
berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene
p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan
asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak
bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen
(RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara
langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan
menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana
memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.
Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari
24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE.
Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma. Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi
proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau
faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif,
dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua
spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

2.5 Patofisiologi

Menurut Mansfield E., asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior
dari middle turbinate.
Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya
menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri
pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan
yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL.,
tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali
memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi
nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke
anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu
sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya. Pertumbuhan superior langsung
menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus)
dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior
sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi,
membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita
didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang
lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah
(less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak
lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai
putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap
berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal
sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari
jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan
konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah
ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang
berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi
batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi
trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang
melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-
kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan
karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya.
Dapat meluas ke dalam:
1. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
2. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang.
3. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
4. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura orbitalis
inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis
superior.
5. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :


1. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada
dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
2. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

2.6 Manifestasi klinis

 Tanda
1) Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonencapsulated
dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai
(pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2) Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate), terdapat
massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau
pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa
di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol
(proptosis) sekitar 10-15%.
3) Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan
zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah
menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic
nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
 Gejala
1) Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering,
terutama pada permulaan penyakit.
2) Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged
nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang
(recurrent).
3) Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4) Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5) Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6) Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan
tekanan pada kiasma optik.
7) Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhinorrhea),
tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent
otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-
langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan
rhinolalia.

2.7 Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan
transfusi perioperative.

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).


Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness)
sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek)
sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang
(mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding
tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan
elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan
tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

2. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

3. Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum
reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak
ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa,
seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari
kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.

4. Pemeriksaan Radiologis
a. FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman
dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada
lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari
tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau
invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

b. MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)


Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-
kasus dari keterlibatan intrakranial.
c. ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat
lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi
terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada
pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

2.9 Penatalaksanaan Medis


1. Terapi Medis
a. Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai
44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
 Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor blocker,
efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
 Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat
mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan
(feminizing side effects).
 Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
 Schuon, et.al. melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA.
Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-
faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini
dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).

b. Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi
modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar
Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan
penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
 Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi.
 Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah ke
jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau
kasus yang berulang.
 Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran
hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional
berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
 External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak dapat
dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46
Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit
sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.

c. Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan
menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh
darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan
perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.

2. Terapi Pembedahan
a. Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
b. Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-
tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
c. Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
d. Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses
posterior terhadap tumor.
e. Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan
koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
f. Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc),
dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
g. Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan
sinus paranasal.

MANAJEMEN KEPARAWATAN

2.10 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi
data tentang klien. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 144)
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker
payudara.
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan
yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan
hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

Pada pengkajian Angiofibroma Nasofaring Juvenilis ditemukan tanda dan gejalanya yaitu :
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidaung.
3. IntegritasEgo
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak
berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus,
distensi abdomen.
5. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa
kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor
kulit.
6. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena
fibrosis jaringan
8. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
9. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam
kulit.
10. Interaksisosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
2.11 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons actual atau potensial klien
terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk
mengatasinya. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 166)
Diagnosa Keperawatannya adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
2.12 Intervensi

 Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf.


Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan
imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
5. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik.

 Diagnosa 2 : Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan

Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
6. Bicara pada sisi telinga yang sehat

 Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan

Intervensi Keperawatan :
1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi
pasien
2. Berikan dorongan higiene oral yang sering
3. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
4. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan
dan haluaran.
5. Pantau masukan makanan tiap hari
6. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
7. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
8. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

 Diagnosa 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder


imunosupresi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi
respiratori

Intervensi Keperawatan :
1. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi
2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,
perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang
mengalami infeksi.
4. Tekankan higiene personal
5. Pantau suhu
6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

 Diagnosa 5 : Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik


Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
1. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
2. Tidak menunjukkan adanya epistaksis

Intervensi Keperawatan
1. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
2. Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada
hidung.

2.13 Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. (Potter, Patricia A. 2005. Hal
203)

2.14 Evaluasi
Evaluasi menentukan respons klien terhadap tindakan keperawatan dan seberapa
jauh tujuan perawatan telah terpenuhi. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 229)
Evaluasi juga merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, hasil yang diharapkan
merupakan standar penilaian bagi perawat untuk melihat apakah tujuan telah terpenuhi, dengan
pelayanan telah berhasil ((Potter, Patricia A. 2009. Hal 460)
1) Diagnosa 1
Rasa nyeri pasien teratasi atau terkontrol dengan kriteria hasil dapat mendemonstrasikan
penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

2) Diagnosa 2
Pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi dengan kriteria hasil dapat
mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.

3) Diagnosa 3
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil adanya penurunan mual dan insidens
muntah, pasien mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat, pasien menunjukkan turgor
kulit normal dan membran mukosa yang lembab dan tidak adanya penurunan berat badan
tambahan.

4) Diagnosa 4
Tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil pasien menunjukkan suhu normal dan
tanda-tanda vital normal, tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema,
nyeri dan menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi
dan infeksi respiratori.

5) Diagnosa 5
Perdarahan pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil tanda dan gejala perdarahan
teridentifikasi dan tidak menunjukkan adanya epistaksis.

Vous aimerez peut-être aussi